jauh lebih harum dari musim kembang dekap masih tersirat di badan saat kau berucap: Kutinggalkan dahulu lalu perlahan semu dalam genggam. Kau bawakah rindu? kalau tak, aku jemput saja rindumu kasih beri isyarat pada rembulan dan pasir ombak selalu mengguncang pikir senan mengantar diri hanya pada kasih. Bolehkah hati ada tapi? manakala tanya teramat buas merusuhkan segala, mengacau semua tapi kupercaya, tapi kuyakin.
Saat jauh hanya seduhan air ini
hitam pekatnya merenggut sejenak membawaku pada kasih yang di seberang. Angin lalu-lalang tak acuh kulentang badan menatap rumah rembulan awan begitu mahir mengaburkan segala pandang, menyekat bintang. Kasih? Bolehkah aku gundah atau gelisah? bagai melepas anak penyu kelautan yang dingin nan dalam sendirian aku masih tak larat rela bagaimana jika tak kunjung tiba jua? Ada kata semoga sebagai tiang penyangga segala rasa tuk menepis keluh kuhapus resah walau gelisah kuhapus prasangka walau terreka kurindu saja walau tanpa kasih.
Kujamin rasa ini terhimpun rapi
masih utuh kurawat baik takkan kubiarkan hasut menggigit kalau bisa waktu kupaksa menoleh dan mundur sejenak. Kubaca selarik saja untuk kau supaya kelak, setiap kurun yang habis aku dan kau menjelma kita tanpa isyarat rindu yang jemu membuat semua kaku andai saja. Masih sama, tak ada tangis yang menghambat langit masih menyatu di garis laut karang masih tegar dihantam jangan takut jangan sedan hapus cemas hilanglah getir aku setia, di sini menatap ribuan kali perginya surya pada senja dan kembalinya mentari pada fajar.