Anda di halaman 1dari 8

STRATEGI REVITALISASI KAWASAN PUSAT KOTA BUKITTINGGI

Jonny Wongso
Jurusan Teknik Arsitektur
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Bung Hatta Padang
jonny.wongso@lycos.com

ABSTRAK : Revitalisasi merupakan upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya
pernah vital / hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Gejala penurunan kualitas fisik ruang kota
dapat dengan mudah diamati pada kawasan kota bersejarah / tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat
kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam tekanan / pengaruh
pembangunan. Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari
bangunan maupun ruang kota.
Paper ini mencoba melihat sejauhmana peran intervensi fisik dalam kegiatan revitalisasi kawasan ruang kota. Mengingat
citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menciptakan kegiatan / fungsi baru,
menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Beberapa isu yang menjadi penekanan dalam
pembahasan ini yaitu strategi revitalisasi yang dilihat dari isu lingkungan (environmental sustainability), rehabilitasi kegiatan
ekonomi informal dan formal (local economic development) serta kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat
meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat / warga (public realms) yang selanjutnya dinamakan dengan
revitalisasi sosial / intitusional.

Keywords: revitalisasi, strategi

1. PENDAHULUAN
Sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel.
Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran dari tesis tersebut. Pertambahan
penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan
pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya. Dengan
persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah
menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh
banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau
Bandung.

Lahan (topos) akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang
semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah
mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat
memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk
mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas
yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah
memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya
untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital / hidup akan tetapi kemudian
mengalami kemunduran / degradasi. Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti pada
sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota yang lebih luas. Apapun
skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan
kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.

Tulisan singkat ini mencoba menjelaskan kegiatan revitalisasi di kawasan pusat kota Bukittinggi yang memiliki latar
belakang sejarah yang tumbuh dan berkembang dari lalu lintas perdagangan dan pusat pertahanan kolonial di dataran
tinggi Minangkabau di pertengahan abad ke-19, dan sekarang lebih dikenal sebagai kota wisata. Dengan latar
belakang perkembangan dan potensi ruang kota Bukittinggi yang dimiliki, telah mendorong digulirkannya kegiatan
revitalisasi ruang kota yang berawal pada tahun 2001 dalam bentuk kegiatan revitalisasi (fisik) di kawasan pusat kota
Bukittinggi. Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, kegiatan stimulan ini membutuhkan kurun waktu
tertentu dan melalui beberapa tahapan atau strategi yang saling bersinergi.

Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menciptakan
kegiatan / fungsi baru, menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Beberapa isu yang
menjadi penekanan dalam pembahasan ini yaitu strategi revitalisasi yang dilihat dari isu lingkungan (environmental
sustainability), rehabilitasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development) serta kegiatan
tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat / warga
(public realms) yang selanjutnya dinamakan dengan revitalisasi sosial / intitusional.

2. PENATAAN DAN REVITALISASI KAWASAN


Penataan dan Revitalisasi Kawasan menurut Departemen Kimpraswil (2002) adalah rangkaian upaya menghidupkan
kembali kawasan yang cenderuang mati, meningkatkan nilai-nilai vitalitas yang strategis dan signifikan dari kawasan

-1-
yang masih mempunyai potensi dan atau mengendalikan kawasan yang cenderung kacau atau semrawut. Penataan
dan Revitalisasi Kawasan dilakukan melalui pengembangan kawasan-kawasan tertentu yang layak untuk
direvitalisasi baik dari segi setting kawasan (bangunan dan ruang kawasan), kualitas lingkungan, sarana, prasarana
dan utilitas kawasan, sosio kultural, sosio ekonomi dan sosio politik.

Revitalisasi pada prinsipya tidak sekedar menyangkut masalah konservasi bangunan dan ruang kawasan bersejarah
saja, tetapi lebih kepada upaya untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali kawasan dalam konteks kota yang
tidak berfungsi atau menurun fungsinya agar berfungsi kembali, atau menata dan mengembangkan lebih lanjut
kawasan yang berkembang sangat pesat namun kondisinya cenderung tidak terkendali.

Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan kota bersejarah / tua, karena sebagai
bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya
berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa
memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-
an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan
(pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas
kawasan kota bersejarah/tua.

Hilangnya vitalitas awal dalam suatu kawasan historis budaya umumnya ditandai dengan kurang terkendalinya
perkembangan dan pembangunan kawasan, sehingga mengakibatkan terjadinya kehancuran kawasan, baik secara self
destruction maupun creative destruction (Danisworo, 2000). Urgensi revitalisasi dapat diukur berdasarkan tingkat
vitalitas yang signifikan pada kawasan terbangun, yaitu melalui beberapa variabel seperti menyangkut tingkat
kepadatan (populasi), income kawasan dan besarnya layanan, tingkat kriminal, keamanan dan tingkat kesehatan,
eksistensi warisan budaya – baik tangible (berwujud) maupun intangible (tidak berwujud), serta menyangkut
penyediaan (kualitas dan kuantitas) dan distribusi pelayanan kawasan atau bagian kota.

3. KOTA BUKITTINGGI DENGAN KESEJARAHANNYA


Kota Bukittinggi dengan luas wilayah 25,239 KM2 (2.523,9 Ha) dan jumlah penduduk 100.905 jiwa (2004), terletak
di tepi sebuah lembah yaitu Ngarai Sianok (pada sisi Barat). Sebagian besar daerahnya berbukit dan berlembah
dengan ketinggian yang bervariasi antara 909 M sampai 941 M di atas permukaan laut, serta memiliki panorama
alam yang indah. Tidak salah jika pada jaman Belanda, Bukittinggi pernah dijuluki dengan Parisj van Sumatera
(Tamir, 1981).

Perkembangan kota Bukittinggi ke dalam bentuk kota yang


sekarang, tidak terlepas dari perkembangan latar belakang sejarah baik secara politik, ekonomi maupun sosial
budaya. Tingkat perkembangan kota yang pesat ini yaitu pada kawasan pusat kota seperti dalam hal perkembangan
fisik-spasial, pemanfaatan ruang kota maupun aktifitas-aktifitas kota seperti pada sektor perdagangan dan pengadaan
fasilitas pariwisata. Perkembangan ini membentuk pusat-pusat kegiatan seperti di kawasan Pasar Atas, kawasan
perkantoran pemerintah di Belakang Balok dan kawasan perdagangan grosir dan terminal bus regional.
Perkembangan ini juga didukung oleh berbagai potensi yang dimiliki seperti potensi alam dan objek wisata serta
letak kota Bukittinggi yang secara geografis berada pada jalur perdagangan antar kota atau propinsi di Sumatera
bagian tengah. Terbentuknya pusat-pusat kegiatan yang ada di kawasan pusat kota saat ini merupakan suatu proses
dari perjalanan sejarah kota Bukittinggi yang dapat ditelusuri melalui tahapan perkembangannya (Wongso, 2001).
Pada kawasan pusat kota Bukittinggi, secara fisik masih menyisakan jejak-jejak sejarah yang mempunyai arti dalam
pembentukan ruang kota Bukittinggi. Seperti pada daerah perbukitan yang sekarang berfungsi sebagai Pasar Atas
Bukittinggi, Jam Gadang, Benteng Fort de Kock, Istana Negara dan Kebun Binatang. Daerah-daerah ini merupakan
daerah awal yang memiliki tingkat perkembangan fisik-spasial yang tinggi sebagai daerah perdagangan dan
akomodasi pariwisata.
Perkembangan Pasar Atas Bukittinggi berawal dari kesepakatan para ninik mamak Nagari Kurai yang diadakan di
bawah pohon beringin besar di Bukit Kubangan Kabau pada 1820 (Mangiang, 1988 dalam Sati, 1990). Bukit ini
dinamakan dengan Bukit Tertinggi atau Bukittinggi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu pasar, sehingga
akhirnya diberikan nama Pasar Kurai (pasar orang Kurai) atau Pasar Atas Bukit Tinggi.

-2-
P At B kitti i l b d 19
Perkembangan Pakan Kurai selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh berbagai intervensi dan pengaruh dari pihak
asing (kolonial Belanda). Berkembangnya Pakan Kurai di Bukit Kubangan Kabau, sekaligus merupakan alasan bagi
Belanda dalam memilih pendirian benteng di Bukit Jirek (benteng Fort de Kock) selain untuk strategi pertahanan,
juga untuk memudahkan dalam mendapatkan kebutuhan bagi para tentaranya, walaupun alasan ini akhirnya menjadi
tahap awal penguasaan perdagangan komoditi kopi yang sedang berkembang di daerah pedalaman Minangkabau
(Hadjerat, 1947., Zulqaiyyim, 1996).

L k iL S d
Di sebelah timur terdiri dari blok-blok bangunan berjajar yang dinamakan dengan ‘belakang pasar’ yang dibangun
pada tahun 1917 (berdasarkan yang tertera pada salah satu bangunannya). Blok ruko pada daerah ini menjual barang-
barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara deretan blok bangunan ini dikenal dengan
nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang-barang kelontong. Deretan blok bangunan
peninggalan Belanda ini masih bertahan sampai sekarang. Beberapa diantaranya sudah roboh dan mengalami
kerusakan.
Los Saudagar merupakan deretan rumah - toko (ruko) yang menjadi bagian dari Pakan Kurai (Pasar Kurai / Pasar
Atas Bukittinggi) berdasarkan catatan tahun yang ada di salah satu sisinya didirikan sekitar tahun 1917-an. Deretan
ruko ini pada mulanya menjual barang-barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara
deretan blok bangunan ini dikenal dengan nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang-
barang kelontong. Deretan blok bangunan peninggalan Belanda ini masih bertahan sampai sekarang. Beberapa
diantaranya sudah dihancurkan dan mengalami kerusakan.

Deretan bangunan los ini merupakan satu-satunya peninggalan fisik yang dapat menceritakan tentang bagaimana
kejayaan / kondisi Pasar Atas Bukittinggi yang terkenal dengan sebutan Pakan Kurai – Pakan Urang Agam (Pasar
Kurai – pasar orang Kabupaten Agam).

L S d

-3-
Bangunan ruko di sepanjang Los saudagar memiliki karakter arsitektur yang menarik dan mewakili bentuk arsitektur
pada jamannya di daerah pedalaman Minangkabau yang masih bertahan dan masih menyisakan kemegahannya di
masa lalu. Karakter bangunan deret dengan koridor yang menerus pada sisi kiri kanannya dipertegas dengan arcade
yang memberikan kenyamanan bagi orang yang menyusuri koridor di sepanjang Los Saudagar.

Kondisi ini sekarang sudah mengalami perubahan. Orang tidak dapat lagi berjalan menyusuri koridor bangunan
karena sudah tertutup / terhalangi oleh barang dagangan dan dinding yang sengaja dibuat untuk perluasan dari petak
toko.

Letak Los Saudagar berada dalam rangkaian potensi sejarah dan budaya yang ada di sekitarnya seperti Pasar Atas,
Jenjang 40, Taman Jam Gadang, Gedung Istana Bung Hatta, daerah Pecinan, Kebun Binatang Kinantan, dan Benteng
Fort de Kock. Potensi-potenasi ini belum termanfaatkan secara optimal guna meningkatkan kualitas fungsional dan
visual dari kawasan Pasar Atas dan sekitarnya.

Kondisi sekarang menunjukkan kecenderungan perkembangan yang mengarah kepada penurunan kualitas
lingkungan, penghancuran bangunan, tidak adanya perawatan bangunan dan belum ada perencanaan kegiatan yang
dapat menunjang potensi-potensi yang ada di sekitar kawasan.

4. PROGRAM REVITALISASI KAWASAN DI KOTA BUKITTINGGI


Kota Bukittinggi mempunyai banyak sekali peninggalan aktivitas masa lampau karena kota ini sudah berkembang
sejak jaman penjajahan Belanda pada awal abad XIX. Seiring dengan perkembangan jaman dan pertumbuhan kota,
maka terdapat beberapa peninggalan aktivitas masa lampau yang mengalami penurunan kualitas lingkungan. Namun
di sisi lain Pemerintah Kota Bukittinggi mencanangkan Kota Bukittinggi sebagai Kota Wisata. Oleh karena itu,
pembenahan lingkungan yang mengalami penurunan giat dilakukan melalui salah satu program yaitu revitalisasi
kawasan.
Departemen Pekerjaan Umum merupakan salah satu pemicu kegiatan revitalisasi di Kotamadya Bukittinggi. Pertama
kali kegiatan revitalisasi kawasan dilakukan pada tahun 2001 yang menghabiskan dana dari APBN sebesar Rp. 1,9
milyar. Anggaran dana ini digunakan untuk pelaksanaan kegiatan DED Fisik Revitalisasi Kawasan Jam Gadang dan
Pasar Atas. Adapun rincian obyek revitalisasinya adalah Penataan Taman Jam Gadang, Penataan Jenjang Ampek
Puluah, Penataan Jenjang Gudang, Penataan Jenjang Gantuang, dan Penataan Jenjang Lereng.
Kegiatan revitalisasi kawasan yang diselenggarakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dengan dana APBN telah
mendorong Pemerintah Kota Bukittinggi (Kimpraswil, 2005) untuk melanjutkan kegiatan tersebut melalui :
a. Revitalisasi kawasan benteng Fort de Kock dan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan pada tahun 2002-
2004, menghabiskan dana Rp. 10 Milyar.
b. Revitalisasi Taman Panorama dan Lubang Jepang pada tahun 2004, menganggarkan dana Rp. 9 Milyar
namun baru terealisasi Rp. 4,49 Milyar.
c. Relokasi Kantor Walikota ke Kawasan Bukit Gulai Bancah pada tahun 2002 mengahabiskan dana Rp. 35,75
Milyar.
d. Pembangunan Monumen Bung Hatta di Kawasan Istana Bung Hatta pada tahun 2003 menghabiskan dana
APBN Rp. 5 Milyar.
e. Pembangunan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta pada tahun 2003, menganggarakan dana Rp 30 Milyar
namun baru terealisasi Rp. 5,2 Milyar.
f. Revitalisasi Lapangan Sudirman (di Jl. Jendral Sudirman, Belakang Balok) menghabiskan dana Rp 675 Juta.
g. Revitalisasi Pasar banto pada tahun 2004 dengan rencana biaya sebesar Rp. 131 Milyar.
h. Revitalisasi kawasan terminal Aur Kuning ke Kawasan Tambuo dengan rencana biaya Rp. 300 Milyar.
i. Rencana Pembangunan Gedung Kesenian dengan rencana biaya Rp. 14 Milyar.
j. Bantuan Teknis Perencanaan Penataan dan Revitalisasi Kawasan Pasar Atas Bukittinggi yang berlangsung
pada tahun 2005 dan kegiatan pembangunan fisiknya pada tahun 2006.

Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan stimulan oleh Departemen Pekerjaan
Umum melalui revitalisasi kawasan Kota Bukittinggi pada tahun 2001 dinilai sangat berhasil, karena pada tahun-
tahun berikutnya mampu mendorong pemerintah setempat untuk melakukan program kegiatan yang sama di
kawasan yang berbeda dan saling melengkapi untuk mewujudkan Kota Bukittinggi sebagai Kota Wisata. Oleh
karena itu, untuk kegiatan bantuan teknis berikutnya Pemerintah Kota Bukittinggi berharap agar kegiatan berikutnya
dapat melengkapi kegiatan revitalisasi kawasan yang sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.

5. STRATEGI REVITALISASI KAWASAN PUSAKA KOTA BUKITTINGGI


“Vitalitas Kawasan untuk Kualitas Hidup Melalui Revitalisasi Kawasan”. Motto ini mungkin akan memberikan
kesan yang berlebihan, seandainya kita tidak meresapi benar, apa yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran dari
Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, yang saat ini merupakan salah satu Program Andalan Direktorat
Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Program tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2001, meliputi 13 (tiga belas) kawasan dalam bentuk Pelaksanaan
Fisik dan Bantuan Teknis untuk penataan kembali dan revitalisasi kawasan-kawasan yang memiliki potensi tertentu,

-4-
dan dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan roda perekonomian setempat, karena terbengkalainya
potensi yang dimiliki di kawasan tersebut.

Pendekatan pelaksanaan program yang lebih bersifat stimulus tersebut, akan lebih mengena pada tujuan dan sasaran
apabila interaksi dari Pemerintah Daerah (dalam hal ini terutama Pemerintah Kota / Pemerintah Kabupaten) cukup
kuat dan responsif, mengingat Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, dilandasi Latar Belakang :
“Menghidupkan kembali dan mengembangkan kawasan-kawasan yang tidak berfungsi atau telah menurun
fungsinya, akibat perkembangan yang cenderung tidak terkendali”.

Dari latar belakang di atas, sudah barang tentu peran Pemerintah Pusat tidak lagi sebagai pelaksana namun lebih
menitikberatkan pada peran pembinaan yang bersifat mendorong atau memacu untuk memfungsikan kembali suatu
kawasan yang tidak berfungsi atau menurun fungsinya, agar dapat berfungsi atau meningkatkan fungsi kembali,
terutama dalam mendukung berjalannya perekonomian lokal. Dengan demikian apabila program dimaksud dapat
berjalan sebagaimana diharapkan, maka yang akan memetik manfaat adalah kabupaten / kota yang bersangkutan.

Dalam salah satu artikel pada website Kimpraswil, dimuat; lebih jauh untuk mengenal dan menyamakan persepsi
tentang Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, pada hakekatnya, mengandung tujuan, yaitu terciptanya
kawasan yang terintegrasi dengan sistem kota dan tumbuhnya ruang-ruang ekonomi kawasan menuju pertumbuhan
dan stabilitas ekonomi lokal.

Mencermati tujuan yang dijadikan landasan pelaksanaan Program ini, terlihat beberapa aspek yang harus berjalan
secara seimbang, sehingga tercipta suatu keterpaduan di suatu kawasan tertentu. Aspek dimaksud adalah harus tetap
diperhatikannya sistem kota itu sendiri, yang memiliki kawasan potensial namun tidak berfungsi atau berkurang
fungsinya, di samping memperhatikan ruang-ruang pergerakan perekonomian kawasan tersebut, agar dapat tumbuh
sebagaimana diharapkan pada lingkup lokal. Hal yang lebih penting dari kesemua itu ialah tidak hanya dapat
menumbuhkan perekonomian, namun tercakup juga bagaimana untuk tetap menjaga kestabilan perekonomian pada
kawasan tersebut.

Dari tujuannya dengan sedikit ulasan untuk dapat memberikan ilustrasi yang mudah, lebih berlanjut program ini
mempunyai sasaran yang dituju, yaitu terciptanya berbagai peningkatan kawasan yang menitikberatkan pada
vitalitas dan stabilitas ekonomi, integrasi antar ruang, kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana lingkungan,
serta konservasi aset warisan budaya.

Dari sasaran yang hendak dicapai tersebut, semakin kentara, bahwa stimulus yang dilakukan Direktorat Jenderal Tata
Perkotaan dan Tata Perdesaan, melalui program ini, tidak sekedar untuk memfungsikan kembali kawasan yang dapat
mendorong pertumbuhan perekonomian, namun tetap memperhatikan integritas ruang di suatu kawasan, pemenuhan
kebutuhan prasarana dan sarana lingkungannya, serta dalam upaya pelestarian aset-aset kawasan yang memiliki nilai
histotis yang tinggi sebagai warisan budaya yang harus tetap terpelihara.

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, upaya revitalisasi kawasan pusat kota Bukittinggi melalui beberapa
program kegiatan (fisik), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, membutuhkan tahapan dan kurun waktu tertentu
dalam mewujudkan dan menjamin keberlanjutannya. Untuk itu ditawarkan beberapa strategi dalam bentuk
pendekatan yang dapat digunakan, tahapan kegiatan revitalisasi, regenerasi kawasan perkotaan, dan pemasaran kota
bersejarah.

a)Pendekatan Program Pelestarian Kawasan Pusaka Kota Bukittinggi


Program ini diterapkan oleh Jogja Heritage Society bekerjasama dengan Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur,
Jurusan Arsitektur FT UGM sebagai uji coba upaya pelestarian di Kawasan nJeron Beteng, Kraton,
Yogyakarta (kegiatan sejak tahun 1999 hingga sekarang) dan Manajemen Konservasi Kawasan Pusaka Di
Batusangkar dan Sekitarnya (2002-2003). Program ini selanjutnya diterapkan dalam lingkungan akademik
dalam bentuk kegiatan Kuliah Kerja Lapangan Arsitektur – Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Bung Hatta,
Padang di beberapa Nagari di Sumatera Barat pada 2004 – 2006 (sekarang konsep ini sedang diterapkan di
Kawasan Pusaka Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam Sumatera Barat.

Model ini menunjukkan penting dan besarnya peran masyarakat dalam mengelola dan melaksanakan
pelestarian lingkungan bersejarah. Program Pelestarian “Kawasan Pusaka” memiliki 6 pendekatan per-soalan
yang dilaksanakan secara paralel maupun bergantian dalam rentang waktu yang relatif panjang untuk menye-
lesaikan keseluruhan persoalan secara berkesinambungan dan tuntas.

Adapun tujuan program pelestarian Kawasan Pusaka (Adhisakti, 2003) adalah :


a. Membangun kepedulian banyak pihak dalam pelestarian pusaka.
b. Menjadi acuan perencanaan dan pengelolaan pelestarian secara berkesinambungan dan menyeluruh.
c. Mendorong kemandirian bagi masyarakat untuk mampu mengelola kawasan bersejarahnya.
d. Menjembatani kolaborasi lintas sektor, bidang ilmu dan keahlian yang sangat diperlukan dalam
pelaksanaan pelestarian.
e. Meningkatkan kualitas lingkungan kawasan bersejarah dan pendapatan masyarakat.

-5-
Menurut Adhisakti (2005) ada enam pendekatan yang tersarikan menjadi tulang punggung upaya ini, yaitu :
a. Adanya organisasi yang mengelola langsung revitalisasi. Melalui organisasi ini dibangun kesepakatan
dan kerja sama antar kelompok dan perseorangan yang berperan serta tahapan pelaksanaan kegiatan di
masa depan.
b. Dokumentasi dan presentasi yang selalu terbarui, adalah mutlak dilakukan inventarisasi secara
menyeluruh potensi dan masalah kawasan. Termasuk fisik dan non fisik, baik pusaka atau tidak. Hasil
inventarisasi disusun dalam dokumentasi yang terus diperbarui dan mudah diakses oleh publik.
Dokumentasi menjadi dasar pertimbangan aksi revitalisasi. Termasuk memanfaatkan pula sebagai materi
promosi.
c. Promosi. Pendekatan ini perlu dimulai sebelum revitalisasi. Awalnya ditujukan pada masyarakat lokal,
pemerintah dan berbagai pihak terkait. Promosi dan pemasaran selanjutnya kepada pembeli,
pengembang potensial, pelaku bisnis baru dan wisatawan.
d. Mewujudkan roh / kegiatan kawasan pusaka yang akan membuat vitalitas kawasan tumbuh kembali.
Bahkan bila perlu mencangkokkan roh baru. Ini merupakan hakiki upaya revitalisasi yang justru sering
terabaikan.
e. Meningkatkan rancangan fisik kawasan (desain). Dilaksanakan melalui rehabilitasi bangunan pusaka
dan membangun desain pengisi (infill design) yang tepat. Juga memformulasikan arahan desain (design
guidelines) tanpa merusak kualitas tatanan yang ada. Justru meningkatkan serta mewadahi kebutuhan
kontemporer.
f. Mengembangkan dan menciptakan ekonomi kawasan setempat melalui berbagai terobosan dan
kesempatan baru tanpa merusak tatanan kehidupan lokal.

b) Tahapan Revitalisasi
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan
membutuhkan kurun waktu tertentu (Danisworo, 2000). Beberapa tahapan yang bisa diacu dalam upaya
revitalisasi kawasan pusat kota Bukittinggi meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Intervensi fisik
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan
dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem
tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya
dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini
perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi
fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi
pemikiran jangka panjang.

2) Rehabilitasi ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi
kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa
mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu
memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu
dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas
baru).

3) Revitalisasi sosial / institusional


Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang
menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus
berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public
realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota
untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu
didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.

c) Regenerasi Kawasan Perkotaan


Pada saat ini kebutuhan akan regenerasi kawasan perkotaan dirasakaan semakin penting. Hal ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor, di antaranya adalah globalisasi, meningkatnya kebutuhan untuk mengubah image kota
(re-imagining city), dan pemanfaatan kultur sebagai suatu industri. Perkembangan globalisasi di dunia yang
disertai dengan perkembangan pasar dan meningkatnya kompetisi antarkota, telah mengharuskan setiap kota
mempunyai spesialisasi atau keunikan tersendiri untuk membedakan dirinya dengan kota-kota yang lain.

Untuk memenangkan persaingan antarkota di dunia, sebuah kota harus memiliki keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Salah satu cara untuk memiliki keunggulan
tersebut adalah melalui proses re- imagining kota (Gold and Ward, 1994) yang dapat dilakukan dengan cara
membuat sebuah program atau proyek yang cukup menarik dan menempatkan proyek tersebut menjadi suatu
dorongan bagi para pengunjung untuk datang ke kota tersebut.

-6-
Ada beberapa strategi yang dikenal dalam melakukan regenerasi kawasan perkotaan, antara lain, melalui
gentrifikasi (gentrification), revitalisasi, konservasi, dan cultural quarter (Maika, 2001). Pendekatan kultural
telah menjadi trend di dunia, terutama di negara-negara Eropa, untuk membentuk image baru suatu kota di
mata dunia. Perkembangan cultural quarter sebagai strategi regenerasi kawasan perkotaan mulai ramai
dibicarakan sejak tahun 1990an. Pemikiran untuk menggunakan potensi kultur sebagai industri menjadi
cultural quarter muncul melalui proses kreativitas. Kreativitas dalam konsep perkotaan dibentuk oleh dua
faktor utama, yaitu soft factor yang terdiri dari sejarah kota, sistem nilai, image, dan cara hidup (lifestyle), serta
hard factor, yaitu fasilitas kultural (cultural facilities), akses terhadap informasi dan pengetahuan di bidang
sosial, kultural, ekonomi, dan pembangunan fisik perkotaan. Dalam studi perkotaan, kota-kota yang berhasil
dalam melakukan regenerasi melalui proses kreativitas itu kemudian dikenal sebagai creative city, suatu
terminologi yang sangat populer di kalangan praktisi perencanaan perkotaan.

Cultural quarter merupakan suatu strategi bagi kota untuk melakukan suatu intervensi yang proaktif, yang
melibatkan proses regenerasi kawasan perkotaan. Tidak semua bagian atau area perkotaan dapat diubah
menjadi cultural quarter. Hanya daerah yang memiliki karakter dan image yang unik terutama di sektor
kultural, yang berpotensi menjadi cultural quarter. Untuk mengembangkan suatu area menjadi cultural
quarter, kota membutuhkan flagship project yang melibatkan regenerasi kawasan tidak bernilai (derelict)
menjadi area yang lebih dinamis dan bernilai ekonomis. Cultural quarter juga melibatkan orang-orang yang
bekerja di bidang seni dengan menyediakan tempat bekerja (working space) di dalam kawasan tersebut.
Strategi pengembangan cultural quarter ini diharapkan mampu menarik investor luar bagi pengembangan area
tersebut pada khususnya dan bagi kota pada umumnya.

d) Pemasaran Kota Bersejarah


Kata ‘pemasaran’ memiliki konotasi menjajakan dan mendapatkan untung. Berkaitan dengan upaya revitalisasi
kawasan bersejarah, pemasaran merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan usaha atau bisnis di bidang
pelestarian yaitu menjual potensi kawasan. Hal ini berkaitan dengan kuantitas dan kualitas layanan urban yang
tersedia dan memadai. Di samping itu belum semua kekayaan kota dikenali, dikualifikasi dan di-spesifikasi
serta dikemas dalam format untuk “jualan”. Sebuah pertanyaan yang sering dimunculkan dalam setiap
perencanaan upaya revitalisasi yaitu bagaimana menjual kawasan bersejarah?

Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menjual kawasan bersejarah ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh Hermanislamet (2001), adalah sebagai berikut; Pertama, menjual dengan kerangka
“spasial”; kawasan kota terdiri atas berbagai kawasan-kawasan bagian, yang dapat “distrukturkan” dalam satu
satuan manajemen kawasan. Kedua, menjual dengan kerangka “sektoral”; kehidupan urban terbagi atas
berbagai “sektor” yang merupakan satuan komunitas / manajemen. Ketiga, menjual layanan urban dengan
prinsip “cost recovery”; “produksi” dan “deliveri” layanan urban harus dilakukan dengan dasar menghasilkan
kembalinya biaya produksi untuk layanan yang lebih baik di kemudian hari. Keempat, menyiapkan “satuan
pengelola” kawasan yang memadai dan dapat menerima limpahan sebagian urusan sektor-sektor; kekayaan
kota yang potensial harus dilimpahkan kepada satuan manajemen kawasan profesional agar “penjualan” nya
dapat menghasilkan konstrribusi pendapatan kota untuk membiayaai layanan perkotaan.

6. PENUTUP
Pembangunan kota tidak jarang meninggalkan kawasan tertentu yang justru mati tanpa sinar kegiatan. Meskipun
tanda kehidupan yang pernah berkibar dan mengukir sejarah masih tersisa. Bangunan-bangunan pusaka kumuh tak
terurus menjadi penanda. Ketika ada upaya untuk revitalisasi—membangkitkan kembali vitalitas—banyak benturan
dihadapi. Umumnya bermuara pada konsep yang tidak tepat. Di antaranya: a) sekadar pemolesan fisik belaka; b)
tidak menyentuh properti individu masyarakat dan roh kawasan; c) terjebak paradigma bahwa pelestarian pusaka
bertentangan dengan pengembangan ekonomi.

Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari
bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk
mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan
kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap
diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek
sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui
pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng
terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.

Persoalan menghidupkan kembali kawasan pusaka melalui kaidah pelestarian justru harus terpadu dengan
pengembangan ekonomi. Di samping partisipasi penghuni yang mutlak perlu. Konsekuensinya pasti membutuhkan
waktu panjang. Karena, revitalisasi harus ditumbuhkan dengan akar yang kuat agar mampu berkembang secara
berkelanjutan, sepanjang masa.

Upaya tersebut bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, meskipun tujuan, sasaran dari program ini cukup
jelas, namun dalam pelaksanaannya akan terkait dengan aspek lain, yang sudah barang tentu memiliki karakteristik
dan kebijakan tersendiri. Hal tersebut apabila tidak dapat dihindari, namun paling tidak bisa diminimalkan, yaitu
melalui suatu tekad atau komitmen dari setiap pemerintah kota / kabupaten untuk memantapkan tekadnya dalam

-7-
mendukung keberhasilan upaya ini, termasuk menjamin keberlanjutan (pemeliharaan) atas upaya-upaya program
Penataan dan Revitalisasi Kawasan yang telah dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Adhisakti, Laretna T. 2003. Draft Program Pelestarian Kawasan Pusaka.


Adhisakti, Laretna T, 2005. Revitalisasi Kawasan Pusaka di Berbagai Belahan Bumi, Harian Kompas, Minggu, 13
November 2005.
Danisworo, Muhammad / Widjaja Martokusumo, 2000. Revitalisasi Kawasan Kota Sebuah Catatan dalam Pengembangan
dan Pemanfaatan Kawasan Kota, www.urdi.org (urban and reginal development institute, 2000).
Gold, John R, & Ward, Stephen V, eds. 1994, Place Promotion, The Use of Publicity and Marketing To Sell Towns and
Cities, John Willey & Sons, Wst Sussex, United Kingdom
Hadjerat, Mohammad H, 1947, Sedjarah Negeri Kurai V Djorong serta Pemerintahannya; Pasar dan Kota Bukittinggi, TS.
Ichwan, Bukittinggi.
Hall, Peter/Ulrich Pfeiffer, 2000. Urban Future 21, A Global Agenda for Twenty-first Century Cities, E & FN Spon, London.
Hermanislamet, Bondan, 2001. Pemasaran Kota Bersejarah, Materi Program Pasca Sarjana Arsitektur Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Kimpraswil, 2002. Pedoman Umum Program Penataan dan Revitalisasi Kawasan, Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Jakarta.
Kimpraswil, 2005. Bantuan Teknis Perencanaan Penataan dan Revitalisasi Kawasan Pasar Atas Bukittinggi, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Jakarta.
Maika, Amelia, 2001. Cultural Quarter / Kuarter Kultur (?): Suatu Alternatif Dalam Strategi Regenerasi Kawasan
Perkotaan, Center for Population and Policy Studies, Gadjah Mada University.
Serageldin, Ismaïl/Ephim Shluger/Joan Martin-Brown (eds.), 2000. Historic Cities and Scared Sites, Cultural Roots for
Urban Futures, The World Bank, Washington.
Sassen, Saskia, 1991. The Global City. Princenton University Press, New York.
Tamir, Zainuddin Koto, 1981, Bukittinggi Parisj van Sumatera, Panji Masyarakat No.334.
Wongso, Jonny, 2001, Perkembangan Pola Ruang Kota Bukittinggi, Dari Koto Jolang ke Kotamadya, Tesis, Program Studi
Teknik Arsitektur, UGM – Yogyakarta
Zulqaiyyim, 1996, Sejarah Kota Bukittinggi (1837-1942), Tesis S2, Program Studi Sastra Indonesia dan Jawa, Jurusan Ilmu-
ilmu Humaniora, UGM, Yogyakarta.

-8-

Anda mungkin juga menyukai