Anda di halaman 1dari 10

PEDOMAN MENGENAI SISTEMATIKA

LAPORAN KONSEP PERANCANGAN TUGAS BESAR

MATA KULIAH KONSERVASI BANGUNAN DAN KAWASAN HERITAGE

OBJEK BANGUNAN ( HOTEL MELATI )

MUH . JIHAD FII ARDHI USMAN


551421055
A Arsitektur 2021

Program Studi S1 Arsitektur


Universitas Negeri Gorontal
BAB I
PENDAHUUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Cagar budaya atau heritage merupakan sebuah warisan masa lalu, apa yang saat ini dijalanimanusia,
dan apa yang diteruskan kepada generasi mendatang (UNESCO). Menurut UU Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, warisan budaya ini dapat berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan
kawasan yang perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah,ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama, dan kebudayaan melalui proses penetapan. Cagarbudaya perlu dilestarikan
melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan agar memperoleh manfaat baik secara
ekonomi, lingkungan, maupun sosial (Mills, 1994).

Cagar budaya merupakan sebuah warisan sebagai harta peninggalan yang diciptakan di masa lalu
milik masyarakat, seperti tradisi, bahasa, maupun bangunan. Cagar budaya atau heritage tidak hanya
berupa barang atau jasa yang berhubungan dengan masa lampau, tetapi juga sebagai ungkapan
kualitas perasaan secara umum, keberlanjutan atau keakraban dan kesejahteraan (Graham dkk,
2000).

Kirshenblatt-Gimblett (1995) memandang cagar budaya terbentuk di masa kini dan mempunyai
hubungan dengan masa lalu, kemudian dianggap sebagai industri yang memiliki nilai tambah,
menghasilkan produk lokal yang dapat diekspor, memiliki ciri khas hubungan problematis antara
objek dan instrumennya, serta ada atau tidaknya aktualitas di dalam cagar budaya karena keutamaan
merupakan kunci dari cagar budaya. Terdapat 6 (enam) ciri heritage, yaitu kelangkaan, kesejarahan,
estetika, superlativitas, kejamakan, dan pengaruh. Selain itu juga memiliki nilai sosial, komersial, dan
juga nilai ilmiah. Dalam sebuah buku berjudul Heritage Management karya Hall dan McAther (1996)
dikatakan bahwa warisan budaya dapat bersifat kebendaan (tangible) maupun non kebendaan
(intangible).

Bangunan bersejarah dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya yang merupakan upaya
pemerintah dalam melindungi dan melestarikan kekhasan sejarah kota. Perlindungan terhadap benda
cagar budaya juga termuat dalam UU No.11 Tahun 2010 dalam Pasal 3 yang menjelaskan bahwa
pelestarian terhadap cagar budaya bertujuan: (a) melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan
umat manusia; (b) meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya; (c) memperkuat
kepribadian bangsa; (d) meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan (e) mempromosikan warisan budaya
bangsa kepada masyarakat internasional.

Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama melakukan pembangunan
atau pengembangan, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi
baru suatu aset masa lalu. Untuk melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disipin
serta berkelanjutan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian
keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta
pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat.

Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang
memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya
masyarakat di lingkungan kawasan tertata, tapi masyarakat dalam arti luas. Untuk itu, perlu
mekanisme yang jelas. Aspek lain yang penting dan sangat berperan dalam revitalisasi, yaitu
penggunaan peran teknologi informasi, khususnya dalam mengelola keterlibatan banyak pihak untuk
menunjang kegiatan revitalisasi.
1.2 Maksud dan Tujuan Perancangan

Maksud
Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian.
Memanfaatkan obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini.
Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu,
tercermin dalam obyek pelestarian.
Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota, dalam wujud fisik tiga dimensi Lingkup
Kegiatan.

Tujuan
Menurut (Poinsett, 2019), keberadaan preservasi objek-objek bersejarah biasanya mempunyai tujuan:
Pendidikan Peninggalan objek-objek bersejarah berupa benda-benda tiga dimensi akan memberikan
gambaran yang jelas kepada manusia sekarang, tentang masa lalu, tidak hanya secara fisik bahkan
suasana dan semangat masa lalu.
Rekreasi Adalah suatu kesenangan tersendiri dalam mengunjungi objekobjek bersejarah karena kita
akan mendapat gambaran bagaimana 26 orang-orang terdahulu membentuk lingkungan binaan yang
unik dan berbeda dengan kita sekarang.
Inspirasi Patriotisme adalah semangat yang bangkit dan tetap akan berkobar jika kita tetap
mempertahankan hubungan kita dengan masa lalu, siapa kita sebenarnya, bagaimana kita terbentuk
sebagai suatu bangsa dan apa tujuan mulia pendahulu kita. Preservasi objek bersejarah akan
membantu untuk tetap mempertahakan konsepkonsep tersebut.
Ekonomi Pada masa kini objek-objek bersejarah telah bernilai ekonomi dimana usahausaha untuk
mempertahan bangunan lama dengan mengganti fungsinya telah menjadi komoditas parawisata dan
perdagangan yang mendatangkan keuntungan.

1.3 Metode Perancangan

Penelitian ini menggunakan metode eksploratif melalui tahapan alisis SWOT agar diperoleh strategi
pelestarian yang sesuai dengan kondisi objek penelitian. Analisis SWOT ini mengklasifikasikan aspek
tinjauan berdasarkan tanggapan terkait kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Hasil analisis
tersebut kemudian menghasilkan rumusan strategi pelestarian Kawasan. Sehingga metode ini relevan
dengan pendekatan penelitian yang digunakan yaitu revitalisasi. Pada dasarnya dapat dikatakan
bahwa revitalisasi adalah upaya untuk menvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang
dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Untuk itu,
Revitalisasi dapat dikatakan sebagai salah satu pendekatan dalam meningkatkan vitalitas suatu
bangunan atau kawasan cagar budaya melalui beberapa kegiatan, diantaranya:
a. Renovasi Kawasan maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan
dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya;
b. Penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan;
c. Rehabilitasi kualitas lingkungan hidup; dan
d. Peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya.

Keempat kegiatan tersebut kemudian dibagi menjadi beberapa indikator penelitian dan sekaligus
menjadi point of view pada objek penelitian agar memudahkan peneliti dalam merumuskan strategi
penelitian. Adapun objek penelitian ini adalah bangunan / kawasan cagar budaya yang terdapat di
Hotel Melati Kota Gorontalo. Keberhasilan pendekatan Revitalisasi dipengaruhi oleh aspek sosial dan
karakteristik bangunan atau kawasan yang merupakan image atau citra suatu kawasan, bukan pada
ide atau konsep yang diterapkan tanpa penyesuaian dengan lingkungan kawasan tersebut.
Pendekatan

Teknik pengumpulan data Dalam penelitian ini, data yang diperlukan meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang diperlukan antara lain :
1. Data gambaran kondisi eksisting fisik bangunan, serta kondisi lingkungan sekitar daerah obyek
studi.
2. Atraksi serta aktivitas wisata yang ada
3. Ketersediaan serta kondisi akomodasi
4. Ketersediaan serta kondisi fasilitas pendukung:
5. Kondisi sarana transportasi
6. Ketersediaan serta kondisi prasarana pendukung:
7. Elemen kelembagaan
8. Penilaian serta keinginan masyarakat terhadap kondisi lingkungan obyek studi, termasuk
didalamnya faktor kebersihan, keamanan, kenyamanan lingkungan
9. Kendala-kendala yang dihadapi dalam usahausaha pengembangan yang pernah dilakukan

1.4 Sistematika Pembahasan

Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dibagi menjadi 5, yaitu :

BAB I (PENDAHULUAN) Berisi tentang latar belakang, tujuan dan sasaran pembahasan, lingkup
pembahasan, metoda pembahasan dan sistematika pembahasan.

BAB II (TINJAUAN PUSTAKA DAN STUDI LAPANGAN ) Berisi tentang tinjauan umum, tinjauan khusus,
kesimpulan, batasan dan anggapan.

BAB III (TINJAUAN OBJEK BANGUNAN HERITAGE) Berisi tentang analisa pendekatan arsitektur, analisa
pendekatan sistem bangunan dan analisa pendekatan konteks lingkungan.

BAB IV (ANALISIS DAN STRATEGI KONSERVASI) Berisi tentang konsep program, tujuan perancangan,
faktor penentu perancangan, faktor persyaratan perancangan, dan program arsitektur.

BAB V (KONSEP RANCANGAN KONSERVASI) Mencakup di dalamnya kajian teori penekanan/ tema
desain dan kajian teori permasalah dominan.

BAB VI (SIMPULAN DAN PENUTUP) Berisi kata akhir yang menjadi konklusi dari pembahasan pada
laporan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN STUDI LAPANGAN

2.1 Terminologi / definisi

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 18 tahun 2010 tentang Pedoman Revitalisasi
Kawasan, Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai lahan/ kawasan melalui pembangunan
kembali dalam suatu kawasan yang dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya (pasal 1 ayat 1).
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya (pasal 1 ayat 4).

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang
dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala
revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan
aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan
memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat) (Danisworo,
2002).

Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja,
tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya
yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang
dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya
partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan
tersebut saja, tetapi masyarakat dalam arti luas (Laretna, 2002).

Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat


isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik
kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan 9
lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.

2.2 Tinjauan pustaka tentang panduan dan regulasi konservasi cagar budaya

Berbeda dengan Undang-Undang Cagar Budaya yang sebelumnya yaitu UU Nomor 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 ini terdapat hal baru yang
berbeda, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Secara filosofis, tidak hanya terbatas pada
benda tetapi juga meliputi bangunan, struktur, situs, dan kawasan Cagar Budaya yang di darat
dan/atau di air. Satuan atau gugusan Cagar Budaya itu perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Secara sosiologis, UndangUndang ini mencakup kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi,
dan insentif. Secara yuridis, Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan pelestarian
yang meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Di dalamnya juga tercantum tugas
dan wewenang para pemangku kepentingan serta ketentuan pidana.
Definisi Cagar Budaya berdasarkan Pasal 1, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, yaitu : “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar
Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan.”

Benda Cagar Budaya yang dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya, adalah benda alam/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak,
berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan
erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Dikatakan Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria :
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan;
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

2.3 Tinjauan pustaka mengenai konservasi cagar budaya dalam lingkup bangunan dan kawasan

Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa
Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan
Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah
a. Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada
pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
b. Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam
c. (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kiamia atau
transformasi fisik.
d. Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan
e. Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-
ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya.

Terdapat beberapa kategori objek pelestarian diantara nya :

1. Lingkungan Alami (Natural Area)


Di Indonesia pelestarian alami terbagi menjadi dua yaitu pelestarian alam ex situ dan pelestarian alam
in situ. Pelestarian alam ex situ adalah pelestarian yang mengutamakan untuk melindungi jenis atau
spesialis tumbuhan dan satwa langka dengan mengambilnya dari lingkungan hidup yang tidak aman
atau terancam, kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih aman serta mendapatkan perlindungan
dari manusia. Contoh pelertarian alam ex situ adalah Kebun raya Bogor dan Taman Safari.

2. Kota dan Desa (Town and Village)


Pelestarian kota dan desa merupakan sebuah pelestarian yang ditujukan untuk mempertahankan
suatu ciri khas dari sebuah kota ataupun desa baik dari segi bangunan, budaya ataupun adat dari kota
ataupun desa itu sendiri.
Contoh : Desa adat Tenganan di Bali, kota lama Semarang dan Kampung Naga.

3. Kawasan (District)
Pelestarian kawasan merupakan pelestarian yang ditujukan untuk mempertahankan kondisi fisik, ciri
khas dan karakter kawasan sebagai kawasan peninggalan sejarah ataupun colonial.
Contoh dari pelestarian kawasan adalah kawasan kampung batik laweyan kota Surakarta dan
Kawasan Kota Tua Jakarta.

5. Bangunan (Buildings)
Meripakan suatu pelestarian yang ditujukan untuk mempertahankan bangunan yang ada pada masa
colonial dengan tidak merusak ciri khas yang ada pada bangunan tersebut.
Contoh : Lawang Sewu dan Masjid Kauman

6. Benda dan Penggalan (Object and Fragments)


Melindungi benda-benda cagar budaya yang dilakukan secara langsung dengan cara membersihkan,
memelihara, memperbaiki, baik secara fisik maupun khemis secara langsung dari pengaruh berbagai
faktor lingkungan yang merusak.

Hukum bagi Konservasi ( Cagar Budaya )

Guna mencegah benda-benda bersejarah itu dari kerusakan, Negara perlu menyiapkan aturan-aturan
hukum yang memadai. Persoalan hukum yang sering terjadi di Indonesia yang terkait dengan sejarah
peradaban dan kebudayaan kuno adalah tentang Cagar Budaya, khususnya mengenai hukum
kepemilikan atas penemuan aset. Dengan latar belakang itu, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-
Undang (UU) No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, yang menggantikan UU sebelumnya, UU No.
5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,
tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat

Aspek Pengendalian Desain dalam Konservasi

Berikut beberapa aspek yang diambil dalam pengendalian desain :


 Tata Guna Lahan ( Land use )
 Bentuk dan Kelompok bangunan
 Penataan Aktivitas
 Ruang parkir dan Sirkulasi
 Jalan pejalan kaki

2.4 Tinjauan pustaka mengenai analisis SWOT

Analisis SWOT adalah sebuah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi
Strengths, Weakness, Opportunities, dan Threats terlibat dalam suatu proyek atau dalam bisnis
usaha. Hal ini melibatkan penentuan tujuan usaha bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor-
faktor internal dan eksternal yang baik dan menguntungkan untuk mencapai tujuan itu. Teknik ini
dibuat oleh Albert Humphrey, yang memimpin proyek riset pada Universitas Stanford pada dasawarsa
1960-an dan 1970-an dengan menggunakan data dari perusahaanperusahaan Fortune 500

Matriks SWOT sebagai suatu pendekatan kualitatif


Pendekatan kualitatif matriks SWOT sebagaimana dikembangkan oleh Kearns, (1992) menampilkan
delapan kotak, yaitu dua paling atas adalah kotak faktor eksternal (peluang dan tantangan) sedangkan
dua kotak sebelah kiri adalah faktor internal (kekuatan dan kelamahan). Empat kotak lainnya
12merupakan kotak isu-isu strategis yang timbul sebagai hasil titik pertemuan antara faktor-faktor
internal dan eksternal.

Menentukan Pendekatan Kuantitatif Matriks SWOT

Data SWOT kualitatif di atas dapat dikembangkan secara kuantitatif melalui perhitungan Analisis
SWOT yang dikembangkan oleh Pearce and Robinson (1998) agar diketahui
secara pasti posisi yang sesungguhnya. Perhitungan yang dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

a. Melakukan perhitungan skor (a) dan bobot (b) point faktor setta jumlah total perkalian skor dan
bobot (c = a x b) pada setiap faktor S-W-O-T; Menghitung skor

b. Masing-masing poin faktor dilakukan secara saling bebas (penilaian terhadap sebuah poin faktor
tidak boleh dipengaruhi atau mempengeruhi penilaian terhadap poin faktor lainnya. Pilihan rentang
besaran skor sangat menentukan akurasi penilaian namun yang lazim digunakan adalah dari 0 sampai
dengan 5 berarti hasil baik/ positif, sedangkan skor 0 sampai dengan -5 berarti hasil buruk/ negatif,
dengan asumsi -5 adalah skor terendah dan skor 5 adalah nilai tertinggi.

c. Masing-masing poin faktor dilaksanakan secara saling ketergantungan. Artinya, penilaian terhadap
satu poin faktor adalah dengan membandingkan tingkat kepentingannya 13dengan poin faktor
lainnya. Sehingga formulasi perhitungannya adalah nilai yang telah didapat (rentang nilainya sama
dengan banyaknya poin faktor) dibagi dengan banyaknya jumlah poin faktor).

d. Melakukan pengurangan antara jumlah total faktor S dengan W (d) dan faktor O dengan T (e);
Perolehan angka (d = x) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu X, sementara perolehan angka
(e = y) selanjutnya menjadi nilai atau titik pada sumbu Y.

e. Mencari posisi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada kuadran SWOT.

2.5 Studi lapangan berupa identifikasi kegiatan konservasi di Kota Gorontalo dan sekitarnya

Kegiatan konservasi yang terjadi di sekitar kota gorontalo terjadi di beberapa bangunan sejarah,
Menurut Data kegiatan konservasi yang di lakukakan pada Hotel Melati ini, terjadi kegiatan
Revitalisasi pada area bangunan dan di sekitarnya yang dialihfungsikan sebagai tempat publik (Food
Court) dan fasilitas lainnya, Kegiatan konservasi lainnya juga di lakukan di beberapa bangunan sekitar
mulai dari bangunan pemerintahan, bangunan publik, bangunan militer hingga tempat beribadah.

BAB III
TINJAUAN OBJEK BANGUNAN HERITAGE

3.1 Sejarah dan kepemilikan

Kota Gorontalo sebagai Ibu Kota Provinsi Gorontalo memiliki akar sejarah yang cukup panjang,
sejarah Gorontalo ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan sampai masuk penjajahan bangsa-
bangsa Eropa. Perjalanan sejarah yang cukup panjang itu meninggalkan keragaman warisan budaya.
Diantara warisan budaya tersebut salah satu yang menarik adalah bangunan cagar budaya dari
Periode Kolonial. Dalam penelusuran bangunan cagar budaya kolonial yang dilaksanakan melalui
kegiatan inventarisasi ditemukan sebanyak 15 cagar budaya/ situs, salah satu diantaranya yaitu Hotel
Melati ( Hotel Venberg ).

Hotel Melati terletak di Jalan Wolter Monginsidi No. 05, Kelurahan Tenda RT VII/RW III,
Kecamatan Kota Selatan. Sejak awal bangunan ini berfungsi sebagai penginapan, nama awalnya Hotel
Velberg, kemudian sejak tahun 1960-an berubah nama menjadi Hotel Melati. Hotel Melati pertama
kali dibangun pada tahun 1900 oleh Hendrik Vellberg seorang syahbandar pelabuhan Gorontalo pada
masa itu. Hotel Melati adalah hotel pertama yang dibangun pada zaman Belanda di Gorontalo. Hotel
ini dulunya lebih banyak digunakan oleh pelaut-pelaut yang kapalnya sedang singgah di pelabuhan
Gorontalo (Inventarisasi Cagar Budaya 2010). Bentuk bangunan ini merupakan perpanduan antara
arsitektur colonial dan arsitektur Sulawesi utara yang dibuat dari bahan kayu hitam. Lantai bagian
terbuat dari campuran semen warna hitam, dinding dari kayu berwarna krem, jendela berbentuk
panil dan menggunakan jendela dobel, jendela bagian dalam terbuat dari kaca,diatas jendela terdapat
lubang angin, pintu panil dan bagian dalam dilapisi pintu kaca, plafon dari bahan papan, Atap
bangunan berbentuk pelana dengan bahan seng, bagian depan terdapat teras yang ditopang dengan
tiang dari kayu berjumlah 5 (lima) tiang. Hotel melati mempunyai kamar berjumlah 6 (enam) buah,3
(tiga) terletak disebelah kiri dan 3 (tiga) disebelah kanan.Bagian belakang bangunan berfungsi sebagai
ruang makan dan dapur. Luas keseluruhan bangunan adalah 106, 4 m2 (Inventarisasi Cagar Budaya
2010).

3.2 Kondisi Eksisting

Secara garis besar, bangunan ini dipengaruhi oleh arsitektur kolonial dan tradisional, terlihat dari
dinding bangunan yang sangat kokoh, sebagian bukaan seperti pintu dan jendela, bentuk bangunan,
dan juga bentuk dari atapnya yaitu berbentuk atap pelana dan prisma. Jika dilihat dari kondisinya,
bangunan Hotel ini masih layak dipakai dan mungkin sudah ada beberapa perubahan dari segi
eksterior maupun interior, contohnya lantai bangunan ini sudah diganti menjadi cor beton sehingga
tampak dari bangunan ini tidak terlihat rumah panggung seperti fasad asli dari bangunan dulunya

Hotel ini mempunyai luasan 106, 4 m2 yang memiliki Atap berbentuk pelana dengan bahan seng,
bagian depan terdapat teras yang ditopang dengan tiang dari kayu berjumlah 5 (lima) tiang. Hotel
melati mempunyai kamar berjumlah 6 (enam) buah,3 (tiga) terletak disebelah kiri dan 3 (tiga)
disebelah kanan.Bagian belakang bangunan berfungsi sebagai ruang makan dan dapur. menurut data
yang ada hotel ini memiliki 8 kamar ( dulunya ), kondisi kamar tersebut sudah hilang hanya saja
beberapa kolom penopang dinding.

3.3 Kegiatan Konservasi yang pernah dilakukan

Adapun kegiatan konservasi yang pernah dilakukan pada hotel melati ini adalah dengan melakukan
Revitalisasi pada bangunan dan kawasan sekitar yang dijadikan sebagai Area komersial dengan
harapan menghidupkan citra bangunan Hotel Melati juuga perubahan fasad dan juga langgam yang
ada kegiatan ini menyebabkan hilangnya identitas Bangunan Hotel tersebut karena sulit untuk
mengenali bangunan ini merupakan cagar budaya jika dilihat dari segi visualnya.
BAB IV
ANALISIS DAN STRATEGI KONSERVASI

4.1.1 Identifikasi Faktor Internal

S (Strength)
S.1 Undang-Undang dan SK Gubernur
S.2 Bangunan-bangunan tua di Area Lapangan Taruna hingga Kampung Tenda
S.3 Memiliki beberapa bangunan bernilai sejarah tinggi.
S.4 Lokasi yang strategis Tersedianya fasilitas penginapan Hotel, rumah makan dan
parkir yang baik sebagai fasilitas pendukung kegiatan wisata.

W (Weakness)
W.1 Penurunan kualitas dan kuantitas bangunan.
W.2 Kurangnya daya tarik wisata
W.3 Visual Identitas bangunan yang sulit di kenali
W.4 Kurangnya tingkat keamanan pada malam hari.

4.1.2 identifikasi Faktor Eksternal

O (Opportunity)
O.1 Dukungan dari masyarakat Kota Gorontalo
O.2 Dukungan dari organisasi terkait
O.3 Pemanfaatan SDM yang berkompeten serta berkualitas
O.4 Pengadaan Area Publik di sekitar Lapangan Taruna
O.5 Berdekatan dengan beberapa ODTW yang bervariatif jenisnya.

T (Threat)
T.1 Bangunan tua yang sulit dikenali ( Visual )
T.2 Dampak atraksi dan aktivitas wisata terhadap kelestarian lingkungan
T.3 Kurangnya promosi yang dilakukan baik melalui media cetak maupun media
elektronik dalam hal memperkenalkan Bangunan Hotel Melati sebagai Bangunan
yang memiliki potensi urban heritage tourism.
Faktor Internal STRENGTH (KEKUATAN): WEAKNESS (KELEMAHAN):

• bertahan dari zaman Belanda Penurunan kualitas dan kuantitas


dari bentuk bangunannya saja bangunan.
sampai saat ini Kurangnya daya tarik wisata
• Tersedianya fasilitas pendukung Visual Identitas bangunan yang sulit di
wisata kenali
• . Keberadaan wilayah studi yang
strategis

Faktor Eksternal PELUANG (Opportunity) ANCAMAN (Threat)


Bangunan tua yang sulit dikenali ( Visual )
Dukungan dari organisasi terkait Dampak atraksi dan aktivitas wisata
Pemanfaatan SDM yang terhadap kelestarian lingkungan
berkompeten serta berkualitas Kurangnya promosi yang dilakukan baik
Pengadaan Area Publik di sekitar melalui media cetak maupun media
Lapangan Taruna elektronik dalam hal memperkenalkan
Berdekatan dengan beberapa Bangunan Hotel Melati sebagai bangunan
ODTW yang bervariatif jenisnya. Cagar Budaya

Anda mungkin juga menyukai