Anda di halaman 1dari 14

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS ILMU BUDAYA


DEPARTEMEN ARKEOLOGI

Program Studi Magister Arkeologi

TUGAS UAS
Pendekatan Historical Urban Landscape (HUL) dalam Pembangunan dan Pelestarian
Warisan Budaya
Mata Kuliah : “Kajian Kritis Manajemen Warisan Budaya”

Dosen Pengampu: Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A..

Dikerjakan oleh :
Anggrita Salfa Pharmacytha
22/499452/PSA/20152
Topik yang dipilih: Masalah Pembangunan dan Pelestarian
Salah satu masalah serius dalam pelestarian warisan budaya dan cagar budaya di
Indonesia adlah dikotomi (konflik) antara pembangunan dan pelestarian. Di beberapa negara di
luar Indonesia, saat ini telah disarankan sejumlah cara untuk menyelaraskan dan memadukan
pembangunan dan pelestarian, bukannya mempertentangkannya. Coba diskusikan, apa saja
upaya yang anda ketahui telah dilakukan oleh banyak pihak pemerhati dan praktisi pelestarian di
luar negeri untuk memadukan pembangunan dan pelestarian agar dapat berjalan secara selaras.
Diskusikan, bagaimana jika upaya-upaya yang anda ketahui itu diimplementasikan juga di
Indonesia? Apa saja yang harus disiapkan (termasuk perubahan jika perlu) agar upaya-upaya itu
dapat dipraktekkan di sini. Atau, anda juga dapat mendiskusikan secara kritis mengenai untung
rugi atau kelemahan-keunggulan upaya-upaya itu jika diterapkan di Indonesia

Pendekatan Historical Urban Landscape (HUL) dalam Pembangunan dan Pelestarian


Warisan Budaya
Abstrak:
Permasalahan pembangunan dan pelestarian warisan budaya merupakan permasalahan
yang terus berkembang hingga saat ini. Perlu adanya suatu metode untuk menyelesaikan
permasalahan dalam pembangunan dan warisan budaya di dunia, bahkan di Indonesia. Artikel ini
merupakan artikel yang bertujuan untuk memberikan pandangan mengenai salah satu metode
pendekatan dalam pelestarian warisan budaya supaya dapat berjalan beriringan dengan
pembangunan. Pendekatan historical urban landscape (HUL) merupakan pendekatan yang
dibahas sebagai salah satu rekomendasi UNESCO dalam melakukan pembangunan dan
pelestarian warisan budaya. HUL telah diterapkan diberbagai negara di dunia. Pendekatan HUL
ini dapat diterapkan di Indonesia seiring dengan berjalannya waktu dan perlu adanya pemenuhan
terhadap empat komponen HUL supaya HUL dapat berjalan dengan baik di Indonesia.

PENDAHULUAN
Warisan budaya merupakan peninggalan sejarah yang dapat dianggap sebagai usaha
untuk memahami sejarah yang ada di dalamnya. Pemahaman mengenai nilai sejarah suatu
warisan budaya tidak hanya berlaku dalam memahami masa lalunya saja, tetapi juga untuk
memahami masa sekarang dan memberikan gambaran pada masa depan (Yulita Titik dan Y
Trihoni Nalesti Dewi, 2012, p. 228). Pengelolaan warisan budaya merupakan hal yang penting
untuk diperhatikan. Warisan budaya yang dikelola dengan tepat akan memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitar maupun masyarakat luas. Namun sayangnya, saat ini pelestarian terhadap
warisan budaya banyak menghadapi tantangan dan hambatan terutama berkaitan dengan
pembangunan. Pembangunan yang berfokus pada perkembangan kota ke arah modern menjadi
permasalahan yang perlu dihadapi dan dicari solusinya untuk mempertahankan nilai suatu
warisan budaya.
Permasalahan mengenai pembangunan dan pelestarian warisan budaya ini lebih banyak
terjadi di daerah perkotaan yang sedang dikembangkan untuk kemajuan kota. Perkembangan
pengelolaan lanskap pada warisan budaya berkaitan dengan pembangunan terjadi hampir di
seluruh dunia, Indonesia merupakan salah satu negara yang juga menghadapi permasalahan
tersebut. Ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian warisan budaya
menyebabkan stagnasi dari kedua unsur tersebut (Brahmantara, 2020, p. 61). Kondisi yang sering
terjadi adalah pembangunan ekonomi yang tidak terintegrasi dengan konsep pelestarian yang
kemudian mengakibatkan hilangnya nilai-nilai warisan budaya dan identitas yang dimiliki oleh
suatu kota.
Perubahan suatu kota karena pembangunan merupakan hal yang wajar. Hal ini berkaitan
dengan pendapat masyarakat yang menganggap bahwa perubahan pada kota merupakan hal yang
layak dilakukan untuk merubah bangunan lama menjadi bangunan yang lebih baru. Namun,
perubahan yang dilakukan di kota bersejarah perlu memperhatikan pelestarian bagunan warisan
budaya. Apabila perubahan akibat pembangunan tidak disertai dengan adanya pelestarian akan
mengakibatkan penanda kota hilang dan menjadi sama dengan kota yang lainnya/ ciri khas dan
identitas kota merupakan salah satu daya tarik suatu kota. Sehingga dalam pembangunan perlu
adanya instrumen pelestarian juga terhadap kota bersejarah. Permasalahannya, dalam
pelaksanaan pembangunan kota bersejarah masih sering mengesampingkan aspek pelestarian
terhadap bangunan warisan budaya (Niken Wirasanti, 2009, p. 60-62) .
Pelestarian warisan budaya kota menjadi salah satu isu yang berkembang pesat. Dalam
pengelolaannya dibutuhkan suatu manajemen pengelolaan yang tepat. Pengelolaan yang tepat
memiliki tujuan untuk keperluan pengelolaan sumberdaya yang ada dan mendapatkan hasil atau
output yang maksimum (Henry Cleere, 1984, p. 8). Konservasi terhadap bangunan cagar budaya
adalah bagian integral dari pengelolaan tempat-tempat bersejarah dan merupakan tanggungjawab
berbagai stakeholders secara berkesinambungan. Jaringan kemitraan antara kota bersejarah
menjadi satu wadah yang penting dalam mengembangkan strategi manajemen pengelolaan
terpadu dan inovatif dalam pelestarian budaya kota.
Jaringan kemitraan yang dibentuk memiliki tujuan yang cenderung kepada bagaimana
memfasilitasi keseimbangan yang tepat antara pelestarian nilai yang ada pada warisan budaya
kota dengan pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya (Brahmantara, 2020, p. 61). Adanya
keseimbangan ini memberikan harapan untuk mampu menjadi daya tarik yang pada akhirnya
akan menumbuhkan kepedulian terhadap kelestarian khususnya masyarakat lokal yang menjadi
bagian penting dari nilai penting yang ada pada kota bersejarah.
Pesatnya modernisasi menjadi salah satu alasan pemicu perubahan. Tentunya perubahan
ini berdampak pada pelestarian warisan budaya kota. Adanya pembangunan ke arah modernisasi
terkadang kurang memperhatikan bangunan-bangunan bersejarah. Padahal bangunan bersejarah
ini yang menjadikan identitas suatu kota dan perlu untuk dipertahankan. Permasalahan mengenai
pelestarian dan pembangunan warisan budaya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di
negara-negara lain seperti di benua Eropa, Afrika, Amerika, maupun negara-negara di Asia
lainnya juga mengalami permasalahan yang hampir sama terkait dengan pelestarian dan
pembangunan.
Menurut UNESCO kota merupakan organisme yang dinamis (UNESCO, 2013, p.24).
Tidak ada kota bersejarah di dunia yang selalu mempertahankan karakter aslinya. UNESCO
menjelaskan bahwa konsep mengenai kota bersejarah ini dinamis, ditakdirkan untuk berubah
seiring perkembangan masyarakat itu sendiri. Sehingga untuk melestarikan lanskap bersejarah
perkotaan, perlu dibangun aliansi strategis dan dinamis antar berbagai aktor dalam bidang
perkotaan, terutama antara otoritas publik yang mengelola kota dan pengembang serta pengusaha
yang beroperasi di kota (UNESCO, 2013).
Terdapat banyak cara untuk mengatasi permasalahan pelestarian dan pembangunan
warisan budaya. Salah satu pendekatan yang dikeluarkan oleh UNESCO dalam mengatasi
permasalahan pelestarian dan pembangunan warisan budaya adalah pendekatan historical urban
landscape atau HUL. pendekatan HUL telah digunakan di berbagai negara untuk menyelaraskan
antara pelestarian dan pembangunan kota bersejarah. Sehingga tangible dan intangible heritage
suatu kota bersejarah tetap dapat dilestarikan dengan adanya pembangunan yang juga
menguntungkan bagi masyarakat (UNESCO, 2013). Adanya pendekatan HUL ini dapat
menjawab tantangan bagaimana menyelaraskan warisan budaya dari segi fisik dan non fisik yang
dimiliki kota bersejarah dengan kepentingan yang dimiliki oleh masyarakat. Apabila ditangani
dengan benar, cagar budaya perkotaan akan berperan sebagai katalisator pembangunan
sosial-ekonomi melalui pariwisata, perdagangan, dan tanah dan properti nilai yang lebih tinggi.
Sehingga mampu menyediakan pendapatan untuk membayar untuk perawatan, restorasi dan
rehabilitasi (Brahmantara, 2020, p. 62).

RUMUSAN PERMASALAHAN
Warisan budaya merupakan peninggalan yang perlu untuk dilestarikan. Pelestarian
terhadap warisan budaya memiliki berbagai permasalahan. Salah satu permasalahannya adalah
berkaitan dengan pembangunan. Menghubungkan dan menyeimbangkan antara pembangunan
sosial-ekonomi yang berkelanjutan dengan perlindungan warisan budaya dan identitas yang
dimiliki merupakan permasalahan yang perlu untuk diatasi. Pendekatan HUL merupakan salah
satu metode pendekatan yang dapat digunakan dalam permasalahan pembangunan dan
pelestarian. Bagaimana metode pendekatan HUL ini menjadi salah satu solusi dalam
menyelaraskan pembangunan dan pelestarian? Penjelasan mengenai pertanyaan tersebut akan
dijabarkan dalam artikel ini.

METODE PENELITIAN
Artikel ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisis studi literatur mengenai
pendekatan historical urban landscape yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan
pembangunan dan pelestarian warisan budaya. Pendekatan HUL digunakan untuk
menyeimbangkan antara pembangunan dan pelestarian warisan budaya sehingga dapat
memberikan output yang bermanfaat bagi masyarakat. Pembangunan suatu kota bersejarah
memerlukan suatu metode pendekatan yang tepat sehingga tidak hanya mengedepankan
pembangunan saja tetapi juga pelestarian dari warisan budaya di kota tersebut. Melalui
pendekatan HUL ini berbagai aspek terintegrasi di dalamnya seperti aspek ekonomi, sosial, dan
budaya sehingga aspek tangible dan intangible heritage tetap terjaga kelestariannya seiring
dengan perkembangan pembangunan kota ke arah yang lebih modern. (UNESCO, 2013)

PEMBAHASAN
a. Permasalahan Pembangunan dan Pelestarian Warisan Budaya
Perkembangan sebuah kota akan membawa perubahan pada berbagai aspek kehidupan,
diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan perubahan lingkungan fisik. Adanya
perkembangan dan perubahan pada sebuah kota akan memberikan tekanan permasalahan
terhadap kota yang memiliki nilai sejarah dan sebagai warisan budaya. Permasalahan ini akan
berdampak pada melemahnya atau bahkan menghilangnya nilai-nilai yang menjadi identitas kota
bersejarah (Sarwosri Moertiningsih dan Dedes Nur Gandarum, 2022, p. 1-2).
Perubahan iklim, urbanisasi, eksplorasi pasar, dan pariwisata massal adalah beberapa
faktor pemicu permasalahan pada kota-kota bersejarah. Fakta tersebut mengakibatkan
melemahnya bahkan hilangnya identitas sebuah kota, yang meliputi hilangnya pemahaman
tentang sejarah kota dan aspek-aspek lain pelestarian kota, yang menjadi dasar dalam merancang
sebuah kota (Ginzarly, Houbart, & Teller, 2018; Sudikno, 2004, p. 98-99). Dalam kegiatan
konservasi kota, intervensi desain hendaknya memperhatikan lingkungan terbangun yang ada,
warisan budaya tak berbenda, keragaman budaya, faktor sosial-ekonomi, dan nilai-nilai
masyarakat setempat. (The et al., 2008, p. 394).
Konservasi di daerah perkotaan umumnya memiliki kendala yang lebih kompleks. Proses
global pada perkotaan memiliki dampak mendalam terhadap nilai-nilai yang dikaitkan dengan
masyarakat pada daerah perkotaan, setting, persepsi dan realitas penduduknya. Di satu sisi,
urbanisasi memberikan peluang ekonomi, sosial dan budaya untuk meningkatkan kualitas hidup
dan karakter tradisional pada daerah perkotaan. Namun di sisi lain, sejalan dengan
perkembangan sebuah kota, berbagai tekanan permasalahan dalam kota seringkali menjadi isu
utama dalam rangka mempertahankan nilai sejarah kota tersebut. Perubahan iklim, urbanisasi,
eksplorasi pasar, dan pariwisata massal adalah beberapa permasalahan yang timbul dari sekian
banyak masalah tekanan kota bersejarah (United Nations, 2011). Permasalahan yang meningkat
pada kawasan kota bersejarah dapat menimbulkan kemerosotan dan penghancuran warisan
sejarah kota.
Permasalahan mengenai pembangunan dan pelestarian terhadap kota bersejarah terjadi di
beberapa negara di dunia. Berdasarkan kuliah Manajemen Warisan Budaya dengan Bapak
Tjahjono Prasodjo (2023) disampaikan bahwa kota-kota di dunia memiliki fenomena
permasalahan diantaranya:
1. Urbanisasi yang cepat dan proses pembangunan yang tidak berkelanjutan. •
Pertumbuhan kota yang tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik telah
menyebabkan penurunan kualitas kota.
2. Pertumbuhan penduduk, kepadatan bangunan yang berlebihan, perkembangan modern
yang standar dan monoton, hilangnya ruang dan fasilitas publik, infrastruktur yang
tidak layak, isolasi sosial, kemiskinan perkotaan, penggunaan sumber daya yang tidak
berkelanjutan, dan perubahan iklim hanyalah beberapa dari beberapa
3. Di tengah arus globalisasi yang intens dan tuntutan modernisasi yang meningkat,
identitas lokal dan integritas visual kota, yang dibentuk oleh budaya khas dan
perkembangan sejarahnya, terkena dampak langsung.
4. Urbanisasi yang cepat dan tidak terkendali telah menyebabkan kemerosotan dan
penghancuran warisan perkotaan, mengancam identitas dan budaya lokal masyarakat
dan “the sense of place” kota.
Permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota bersejarah di dunia telah diperhatikan oleh
para pelestari dan UNESCO. Dalam hal ini telah ada naskah rekomendasi mengenai historical
urban landscape (HUL). pendekatan ini telah digunakan dalam pembangunan kota bersejarah di
beberapa negara dunia. Rekomendasi tersebut merupakan suatu hukum lunak untuk dilaksanakan
oleh masing-masing negara anggota UNESCO secara sukarela. Rekomendasi HUL ini tidak
menggantikan doktrin atau pendekatan konservasi yang ada, melainkan sebagai alat tambahan
yang memberi kita peta jalan untuk mengintegrasikan kebijakan dan praktik konservasi
lingkungan binaan ke dalam tujuan internasional yang lebih luas dari pembangunan perkotaan,
sambil menghormati nilai-nilai konteks budaya yang berbeda. (UNESCO, 2011)
b. Pendekatan Historical Urban Landscape
Pendekatan historical urban landscape atau HUL merupakan salah satu pendekatan
untuk konservasi pelestarian lanskap kota bersejarah. Mempelajari mengenai management of
cultural resource tentunya akan berkaitan dengan benda material yang diproduksi oleh
kehidupan masa lalu manusia seperti artefak, struktur, bangunan, monumen, kawasan bersejarah
dan hal lain yang berkaitan. Peninggalan-peninggalan masa lalu tersebut masih terus dapat
digunakan seperti contohnya bangunan bersejarah atau monumen. Namun, karena manusia juga
terus berkembang dan melakukan modifikasi terhadap suatu lanskap tempat mereka tinggal,
sehingga beberapa nama, mitos, nilai penting dari bangunan atau tempat bersejarah itu akan
hilang (Henry Cleree, 1984, p.1). Hadirnya pendekatan HUL dapat digunakan sebagai salah satu
pendekatan yang menyeimbangkan antara pembangunan dan pelestarian terhadap warisan
budaya.
Pendekatan HUL pertama kali dicetuskan tahun 2005 melalui The Vienna Memorandum
kemudian mengalami pengembangan pada tahun 2007 hingga perkembangan terakhir pada tahun
2011 melalui Rekomendasi UNESCO dalam HUL (UNESCO, 2016). Di Indonesia, Konsep
Lanskap Kota Bersejarah pertama kali diperkenalkan pada tahun 2016 melalui Workshop
Historic Urban Landscape yang diadakan oleh P3KP, yang dimaksudkan untuk memperkaya
pemahaman dalam pengembangan dan pengelolaan kota pusaka. (Sarwosari Moertiningsih dan
Dedes Nur Gandarum, 2022, p.9) kota pusaka yang dimaksud disini adalah Kota Pusaka adalah
kota yang didalamnya terdapat kawasan cagar budaya dan atau bangunan cagar budaya yang
memiliki nilai-nilai penting bagi kota, serta menempatkan penerapan kegiatan penataan dan
pelestarian pusaka sebagai strategi utama pengembangan kotanya. (Sarwosari Moertiningsih dan
Dedes Nur Gandarum, 2022, p.10)
HUL merupakan suatu pendekatan yang dilakukan secara holistik atau menyeluruh,
mengintegrasikan tujuan konservasi warisan budaya kota dengan pembangunan ekonomi dan
sosial. Metode ini menempatkan warisan budaya kota sebagai aset sosial, ekonomi, dan budaya
untuk pengembangan kota. Pendekatan HUL ini tidak hanya bergerak dalam pelestarian fisik
lingkungan saja, namun juga berfokus pada lingkungan manusia beserta lingkungannya, baik
yang bersifat tangible maupun intangible. Berikut merupakan pengembangan konsep HUL yang
dilakukan oleh UNESCO (2016):

Gambar. 1. Timeline pengembangan konsep Historical Urban Landscape


Sumber: UNESCO, 2016
Metode ini berusaha meningkatkan keberlanjutan perencanaan pengembangan kota
dengan tetap memperhatikan lingkungan binaan, warisan budaya tak benda, keragaman budaya
dan faktor sosial- ekonomi bersama-sama dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat.
Sebagaimana rekomendasi yang dijelaskan dalam Historical Urban Landscape Guide Book
bahwa keberhasilan dalam pendekatan ini mencakup serangkaian alat interdisipliner dan inovatif
yang diorganisir dalam empat komponen, yaitu: community engagement (keterlibatan
masyarakat), knowledge and planning tools (perencanaan dan ilmu pengetahuan), regulatory
systems (sistem peraturan) dan financial (pembiayaan) (UNESCO, 2016).
Berdasarkan naskah rekomendasi UNESCO, HUL merupakan hukum lunak untuk
dilaksanakan oleh masing-masing negara anggota UNESCO secara sukarela. Adanya
rekomendasi HUL ini tidak menggantikam doktrin atau pendekatan konservasi yang ada tetapi
lebih pada sebagai alat tambahan yang memberi peta jalan untuk mengintegrasikan kebijakan
dan praktik konservasi lingkungan binaan ke dalam tujuan internasional yang lebih luas dari
pembangunan perkotaan, sambil menghormati nilai-nilai budaya yang berbeda. (UNESCO,
2011)
Berdasarkan kuliah Manajemen Warisan Budaya dengan Bapak Tjahjono Prasodjo (2022)
menyebutkan bahwa pendektan HUL dilakukan melalui 7 proses rencana aksi, yaitu:
1. Melakukan penilaian penuh terhadap sumber daya alam, budaya dan manusia kota;
2. Menggunakan perencanaan partisipatif dan konsultasi pemangku kepentingan untuk
memutuskan tujuan dan tindakan konservasi;
3. Menilai kerentanan warisan kota terhadap tekanan sosial-ekonomi dan dampak
perubahan iklim;
4. Mengintegrasikan nilai-nilai warisan perkotaan dan status kerentanannya ke dalam
kerangka pembangunan kota yang lebih luas;
5. Memprioritaskan kebijakan dan tindakan untuk konservasi dan pembangunan, termasuk
pengelolaan yang baik;
6. Membangun kemitraan (publik-swasta) yang sesuai dan kerangka kerja pengelolaan
lokal;
7. Mengembangkan mekanisme untuk koordinasi berbagai kegiatan antara aktor yang
berbeda.
Wilayah cagar budaya perkotaan sering menuntut peningkatan manajemen, karena
adanya peraturan yang lebih ketat dalam mengendalikan dan memantau lingkungan binaan,
sehingga memperbaiki perencanaan dan desain jika dilaksanakan dengan baik (UNESCO, 2016).
Hal ini, pada gilirannya, meningkatkan kepastian dan keamanan investasi jangka panjang.
Pendekatan HUL ini memiliki tujuan dalam pelestarian warisan budaya kota, yaitu bertujuan
untuk (Brahmantara, 2020, p.63):
1. Melestarikan kualitas lingkungan manusia;
2. Meningkatkan penggunaan ruang secara produktif dan berkelanjutan melalui karakter
yang dinamis;
3. Mempromosikan keragaman sosial dan fungsional;
4. Memperkuat karakter tempat;
5. Lebih banyak lagi sektor jasa dan usaha kelas atas;
6. Peningkatan harga tanah dan bangunan;
7. Pendapatan lebih tinggi untuk perawatan, restorasi, dan upaya rehabilitasi;
8. Adanya sektor pariwisata;
9. Peningkatan pada kualitas perencanaan dan desain.
Langkah-langkah dalam pendekatan HUL apabila dilakukan dengan baik dan memenuhi
keempat komponen HUL akan dapat mencapai pada tujuan HUL itu sendiri. Sehingga perlu ada
kesatuan yang holistik baik dari berbagai stakeholders sehingga pendekatan ini mampu menjadi
jawaban dari solusi permasalahan pembangunan dan pelestarian warisan budaya.

c. Penerapan Pendekatan Historical Urban Landscape


Perkembangan lanskap perkotaan dapat mengubah identitas suatu tempat dengan
menutupinya dengan budaya lokal atau sebaliknya. Pada tahun 2005 UNESCO mengusulkan
gagasan tentang Lansekap Kota Bersejarah (Taylor, 2011, p.4). Konsep HUL menempatkan
dirinya dalam pendekatan konservasi yang lebih luas, daripada hanya berfokus pada konservasi
bangunan bersejarah, untuk memasukkan gagasan kota sebagai lapisan signifikansi, identitas,
dan nilai, dan untuk mengakui integrasi aspek perkotaan yang tidak berwujud budaya (Taylor,
2011, p. 5).
Rodwell (2010) menjelaskan bahwa Pendekatan berbasis lanskap, seperti pendekatan
HUL, diperkirakan akan menjadi jalur pengelolaan warisan yang akan datang. Hal ini juga
dianggap sebagai, indikator kunci untuk pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Konsep
'lanskap kota bersejarah' menghubungkan komponen warisan berwujud dan tidak berwujud.
Rodwell juga menganggap kota atau daerah perkotaan sebagai suatu proses, bukan sebagai
objek. Keterkaitan antara elemen berwujud dan tidak berwujud ini merupakan ambang utama
teori-teori yang akan datang dalam proses gerakan konservasi.
Rekomendasi HUL menentukan konteks yang lebih luas dari kawasan bersejarah untuk
memasukkan lima elemen fisik sebagai berikut: (1) morfologi situs, geomorfologi, hidrologi dan
kenampakan alam; (2) Lingkungan buatannya, baik bersejarah maupun kontemporer; (3)
Infrastrukturnya baik di atas maupun di bawah tanah; (4) "ruang terbuka" dan kebunnya, "pola
penggunaan lahan" dan "organisasi spasialnya"; (5) Persepsi dan hubungan visual; dan semua
elemen lain dari ''struktur perkotaan” (Hoda Zeayter, et.al., 2017, p.9).
HUL telah diterapkan dibeberapa kota di dunia, seperti di Rawalpindi (Pakistan), Stone
Town (Zanzibar City), Amsterdam (Netherlands), Cuenca (Ekuador), Shanghai (China), Suzhou
(China), Ballart (Australia), dan beberapa kota bersejarah dunia lainnya. HUL digunakan oleh
negara-negara dunia untuk mengintegrasikan antara pembangunan dan pelestarian terhadap
warisan budaya kota bersejarah. Di Indonesia sendiri HUL juga dapat diterapkan. Peluang untuk
mengembangkan HUL di Indonesia terbuka lebar karena mandat UNESCO, pada tahun 2010,
pada masa kepresidenan Soesilo Bambang Yudhoyono, mengikuti trend pelestarian warisan
budaya global, perangkat legislatif baru yang disempurnakan, undang-undang No.11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya, diumumkan oleh Pemerintah Indonesia (Era Nopera Rauzi1 dan Cut
Dewi, 2017, p. 54).
Perundang-undangan cagar budaya yang baru memberikan mandat keterlibatan, tanggung
jawab, dan kewenangan yang sama kepada pemerintah daerah dalam mengelola cagar budaya.
Hal ini mengoreksi undang-undang sebelumnya, yang dilihat oleh Rath (1997) mendorong
persatuan budaya, sementara mengabaikan budaya daerah yang tidak sesuai dengan definisi
pemerintah pusat tentang “kesatuan dalam keragaman”. Undang-undang baru ini mengakui
berbagai tingkat daftar warisan mulai dari tingkat nasional hingga provinsi dan lokal (lihat pasal
17 UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Hal ini menggeser hak otoritatif untuk
mendaftarkan dan menetapkan warisan dari menteri dan pemerintah pusat kepada gubernur,
bupati, dan walikota, yang memiliki hak untuk mendaftarkan dan menghapus warisan yang
penting untuk tingkat tanggung jawab mereka.
Menurut Orbasli (2000), konservasi perkotaan memiliki tiga tujuan yang saling terkait:
fisik dengan mengadaptasi lanskap kota, spasial dengan penggunaan ruang yang efisien dan
kelangsungan sirkulasi dan lalu lintas, dan sosial yang menyangkut pengguna, komunitas lokal,
dan lingkungan populasi perkotaan. Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Anna Foley
(2015) bahwa dalam merencanakan HUL perlu melakukan identifikasi nilai penting kemudian
melihat bagaimana nilai penting itu berharga bagi sebagian orang atau komunitas dalam
intensitas yang sama atau berbeda sesuai dengan kepentingan mereka. Maka dari situlah
pembangunan dan pelestarian akan dapat berjalan selaras.
Penerapan HUL di Indonesia sangat memungkinkan. Pendekatan HUL ini dapat
digunakan dalam melakukan konservasi dan pelestarian terhadap kota-kota bersejarah di
Indonesia. Beberapa aspek dan komponen HUL telah ada di beberapa kota bersejarah di
Indonesia. Namun, HUL di Indonesia juga menghadapi tantangan. Bahwa harus terdapat sistem
peraturan yang tegas, serta pembiayaan yang cukup dalam melakukan pembangunan dan
pelestarian menggunakan pendekatan HUL. selain itu 2 komponen lain ilmu pengetahuan dan
keterlibatan masyarakat juga perlu untuk ditingkatkan. Perlu membangun kesadaran masyarakat
akan pentingnya melestarikan nilai-nilai dari kota bersejarah sangat perlu untuk ditingkatkan.
Tentunya keterlibatan masyarakat dan kesadaran masyarakat ini harus dibarengi dengan adanya
ilmu pengetahuan. Dengan begitu ketika empat komponen ini terpenuhi maka pendekatan HUL
dapat digunakan sebagai solusi pembangunan dan pelestarian warisan budaya di Indonesia.

KESIMPULAN
Pendekatan HUL merupakan salah satu pendekatan yang berkaitan dengan konservasi
dan pelestarian terhadap kota bersejarah. Pendekatan ini berusaha untuk menyeimbangkan antara
pembangunan dan pelestarian warisan budaya. Banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh para
pelestari warisan budaya mengenai pembangunan dan pelestarian cukup mengkhawatirkan.
Adanya pendekatan HUL ini dapat dijadikan sebagai salah satu solusi permasalahan tersebut.
Pendekatan yang dilakukan secara holistik atau menyeluruh, mengintegrasikan tujuan konservasi
warisan budaya kota dengan pembangunan ekonomi dan sosial. HUL dapat diterapkan di
Indonesia dengan memperhatikan 4 komponen HUL yaitu community engagement (keterlibatan
masyarakat), knowledge and planning tools (perencanaan dan ilmu pengetahuan), regulatory
systems (sistem peraturan) dan financial (pembiayaan). Dengan terpenuhinya 4 komponen ini
pembangunan dan pelestarian warisan budaya di Indonesia akan memugkinkan untuk dilakukan
dengan pendekatan HUL.

REFERENSI
Anna Foley. (2015). “The Historic Urban Landscape: a Gardener’s Perspective”. Dalam
Australian Garden History, 26 (4), April/May/June 2015 pp. 25-27.
Brahmantara. (2020). “Pelestarian Warisan Budaya Kota (Urban Heritage) Melalui Pendekata
Heritage Urban Landscape (HUL) dan Cultural Heritage Integrated Management Plans
(CHIMP)”. Dalam Jurnal Borobudur, Volume 14 , Nomor 1 , Juni 2020, hal 60-70.
Era Nopera Rauzi dan Cut Dewi. (2017). “ Historic Urban Landscape: Its Possibilities and
Challenges in Banda Aceh”. Dalam Proceedings of International Conference on
Architecture 2017 (ICRP-AVAN), Unsyiah (Banda Aceh) and UiTM (Perak), October
18-19, 2017, Banda Aceh, Indonesia.
Ginzarly, M., Houbart, C., & Teller, J. (2018). “The Historic Urban Landscape approach to
urban management: a systematic review”. dalam International Journal of Heritage
Studies, (November). https://doi.org/10.1080/13527258.2018.1552615
Henry Cleere. (1984). Approaches to the Archaeological Heritage. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hoda Zeayter, Ashraf Mansour Habib Mansour. (2017). “Heritage conservation ideologies
analysis – Historic urban Landscape approach for a Mediterrane historic city case study.”
dalam HBRC Journal, 1-12.
Niken Wirasanti. (2009). “Kompleksitas Pengelolaan Kawasan Benteng Vredeburg
Yogyakarta”. Dalam Jurnal Berkala Arkeologi Tahun XXIX Edisi No. 1/ Mei 2009.
Orbasli, A. (2000). Tourist in Historic Towns, Urban Conservation and Heritage Management.
London: E & FN Spon
Rath, A. (1997). “Cultural Sublimation : the Museumizing of Indonesia”. Explorations in
Southeast Asian studies : the journal of the Southeast Asian Studies Student Association
Explorations in Southeast Asian studies, 1(1), 13-35.
Rodwell, D. (2010). Historic urban landscapes: concept and management. in: UNESCO &
WHC (eds.) Managing Historic Cities (pp. paper 27 (pp 99-104)).
Sarwosri Moertiningsih dan Dedes Nur Gandarum. (2022). SPIRIT OF PLACE: Lanskap Kota
Bersejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
Sudikno, A. (2004). “Pendekatan Sejarah Dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan
Kota”. Dalam Jurnal Plannit, 2(2), 98–112.
Taylor, K. (2011). Protection of Urban Cultural Landscape Heritage. Urbanology Forum:
Hangzhou China
The, O. N., Of, P., Spirit, T. H. E., & Place, O. F. (2008). “Québec Declaration on the
Preservation of the Spirit of Place: Adopted at Québec, Canada, October 4th 2008”. Dalam
International Journal of Cultural Property, 15(4), 393–396.
Tjahjono Prasodjo. (2022). Dalam Kuliah di kelas Mata Kuliah Manajemen Warisan Budaya
mengenai Historical Urban Landscape.
UNESCO.(2011). Recommendation on the Historic Urban Landscape. Paris: UNESCO.
UNESCO. (2016). The Hul Guidebook : Managing heritage in dynamic and constantly
changing urban environments. A practical guide to UNESCO recommendation on the
Historic Urban Landscape.
Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Yulita Titik dan Y Trihoni Nalesti Dew. (2012). “Pengelolaan Bangunan dan Kawasan Cagar
Budaya Berbasis Partisipasi Masyarakat”. Dalam Seminar Nasional SCAN#3:2012 “Sticks
and Carrots” Reward and Punishment.

Anda mungkin juga menyukai