Abstrak
Keberadaan kawasan pusaka di perkotaan sebenarnya merupakan sebuah potensi alternatif pengembangan
pariwisata di perkotaan akan tetapi kegiatan pariwisata di kawasan pusaka ini ternyata dinggap memiliki nilai-
nilai yang kontradiktif. Di satu pihak, kegiatan ini mendukung hidupnya kembali aktivitas kawasan dan
berdayanya kawasan tersebut namun di sisi lain, aktivitas turis ternyata memiliki eksternalitas yang negatif
terhadap lingkungan tangible dan intangible kawasan pusaka. Tingginya aktivitas turis dalam kawasan pusaka
ternyata tidak mampu diimbangi oleh daya dukung lingkungan kawasan sehingga menimbulkan degradasi
lingkungan. Kemacetan lalu-lintas, polusi udara dan air, serta permasalahan sampah, menjadi beberapa contoh
eksternalitas negatif kegiatan pariwisata di kawasan pusaka. Perilaku pragmatis turis yang tidak peduli pada
kondisi kawasan pusaka yang rapuh juga menjadi pemicu terjadinya permasalahan lingkungan tangible di
kawasan pusaka. Pembangunan pariwisata di kawasan pusaka dianggap hanya sebagai eksploitasi semata
ketika terjadi pergeseran orientasi pasar yang berfokus pada produk peninggalan sejarah, yang dipilih sesuai
kriteria permintaan wisatawan sebagai konsumen, dan dikelola melalui intervensi pasar, sehingga menurunkan
makna pusaka budaya. Selain itu, benturan budaya yang berpotensi mengganggu ruang privat dan merubah
gaya hidup wargal lokal juga menjadi salah satu eksternalitas negatif pada aspek intangible lingkungan.
Akibatnya, kegiatan pariwisata di kawasan heritage dianggap memiliki sifat eksploitatif lingkungan karena
keuntungan komersial dari kegiatan tersebut ternyata telah menciptakan ketidakseimbangan antara nilai-nilai
pelestarian dan budaya. Tulisan ini berargumen bahwa salah satu faktor yang penting dalam keberlanjutan
pariwisata di lingkungan kawasan pusaka di perkotaan adalah dengan membangun pariwisata budaya (heritage
tourism) yang berorientasi pada sense of place. Wisatawan perlu memiliki sense of place yang positif sehingga
mendorong perilaku yang meminimalisasi eksternalitas negatif pada aspek tangible dan intangible lingkungan.
Dalam konteks keberlanjutan, konsep sense of place seharusnya juga dapat dijadikan salah satu indikator dalam
penilaian aspek social support, yang merupakan salah satu indikator pencapaian sustainable tourism.
1. Research Background
1.1. Introduction
Pentingnya keberadaan kawasan pusaka di perkotaan menuntut perlunya upaya pelestarian dalam
menghadapi tekanan globalisasi dan tuntutan modernisasi terhadap fungsi dan bentuk kota. Coleman
(2004) menyatakan bahwa kini pelestarian tidak hanya terkait dengan perubahan fisik saja namun
sebagai upaya penciptaan hubungan baru antara eksisting (tangible dan intangible) dimana kualitas dan
keberhasilan hubungan inilah yang penting bagi keberlanjutan pelestarian. Ouf (2001) menjelaskan
bahwa pendekatan terbaru dalam pelestarian pusaka adalah bertujuan untuk penciptaan pengalaman
perkotaan yang menyenangkan dan tidak sekadar retensi sejarah perkotaan yang dianggap otentik bagi
generasi berikutnya sehingga perlu memberikan perhatian lebih pada upaya penciptaan sense of place
daripada restorasi detail. Kualitas hubungan fisik dan non fisik ini diterjemahkan dalam konsep sense
of place yang menurut Punter dan Montgomery dalam Carmona et al. (2003) adalah perpaduan hasil
penataan setting fisik (physical setting), aktivitas (activity) dan makna (meaning) pada sebuah tempat
(place).
Salah satu strategi yang dilakukan oleh kota-kota saat ini terkait manfaat pelestarian adalah
dengan mendudukkan kawasan pusaka sebagai mesin pendorong perekonomian kota terutama pada
sektor pariwisata dan jasa perdagangan. Joga (2017) menjelaskan bahwa agar pelestarian pusaka
memiliki manfaat nyata bagi masyarakat, antara lain demi meningkatkan kualitas lingkungan dan
mampu membangkitkan ekonomi lokal, maka dibutuhkan suatu kegiatan industri kreatif,
kepariwisataan, jasa dan pelayanan di kawasan tersebut. Menurut Srivinas (2015), pengembangan
pariwisata memang merupakan salah satu aspek yang terkait dengan strategi pelestarian kawasan
pusaka di tingkat perkotaan. Ashworth dan Tunbridge (1990) juga menyatakan bahwa pariwisata dapat
dipandang sebagai alat untuk mendukung pemeliharaan artefak masa lalu sehingga pusaka tersebut
dapat memanfaatkan dan memelihara dirinya sendiri secara mandiri.
Akan tetapi dalam perkembangannya, selain menghasilkan keuntungan ekonomi, kegiatan
pariwisata di kawasan pusaka perkotaan ternyata memiliki eksternalitas negatif terhadap
lingkungannya, terutama terkait perilaku wisatawan (lihat Nasser 2003; Priyani 2007). Selain
berdampak pada aspek ekologi lingkungan, perilaku wisatawan itu ternyata mampu mengakibatkan
degradasi nilai-nilai yang harusnya dilestarikan. Lalu bagaimana penyelesaian isu eksternalitas negatif
ini mengingat kawasan pusaka memiliki nilai-nilai tangible dan intangible yang harus dilestarikan?
Apakah prinsip pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang berkembang saat ini mampu
menyelesaikan isu eksternalitas negatif, terutama akibat perilaku wisatawan? Tulisan ini berupaya
menambah tinjauan baru dalam perdebatan mengenai isu lingkungan yang didorong perilaku
wisatawan dalam konteks pelestarian pusaka melalui gagasan akan pentingnya membangun sense of
place sebagai salah satu indikator dalam sustainable tourism untuk mengatasi isu-isu lingkungan yang
terjadi.
Hashemnezhad et al.(2013) menyatakan bahwa ketiga domain sikap ini akan menghasilkan sense dan
reaksi yang berbeda di masing-masing place serta menentukan apakah sense tersebut berbentuk positif
atau negatif. Jika sense negatif yang dihasilkan maka individu tersebut akan berusaha menghindari
tempat tersebut sedangkan jika sense positif yang dihasilkan maka individu akan berupaya untuk tetap
tinggal dan melakukan komunikasi di tempat tersebut.
Penjelasan lain Carmona et al. (2003), yang menyatakan bahwa sense of place berada di dalam
hasil interaksi manusia dengan ketiga unsur yaitu physical setting, activity, dan meaning serta mampu
memberikan identitas bagi suatu tempat. Cross (2001) kemudian memberikan konsep lain yang berbeda
tentang sense of place, yang membedakan konsep ini dengan konsep persepsi yaitu dengan menyatakan
bahwa konsep ini sebenarnya terdiri dari 2 (dua) aspek yaitu: (1) aspek hubungan dengan tempat
(relationships to place) yaitu bagaimana cara-cara orang berhubungan dengan tempat, atau jenis ikatan
yang dimiliki dengan tempat tersebut; dan (2) Aspek keterikatan masyarakat (community attachments)
yang terdiri dari kedalaman dan tipe keterikatan (attachment) tertentu pada suatu tempat.
Kianicka et.al. (2006) menyatakan bahwa sense of place milik wisatawan terbentuk dari faktor
estetika dan karakteristik suatu tempat saat mereka mendapat pengalaman dari sebuah kegiatan rekreasi
yang dilakukan di tempat tersebut. Walau begitu, sense of place tidak sekadar berbicara tentang
lingkungan fisik, namun juga non fisik. Keberadaan festival-festival tematik di kawasan pusaka yang
rutin diadakan sebenarnya berpotensi menghasilkan pengalaman yang unik bagi para wisatawan dalam
membangun sense of place yang baik. The need to understand tourists’ cultural responsible behavior
assists in tourist education towards codes of responsible conduct in destinations (Pennington-Gray,
2005). Karena itu, beberapa pendapat menyatakan bahwa salah satu upaya membangun sense of place
yang kuat di kawasan wisata pusaka adalah dengan memberikan pengetahuan melalui teknik
interpretasi dan kemajuan teknologi. Interpretasi dapat dilakukan oleh pemandu wisata melalui papan
informasi dan leaflet, melalui keterangan tertulis tentang objek yang dipamerkan di suatu museum,
media elektronik, bahkan dengan cara yang lebih interaktif, yakni menggunakan media digital.
Di banyak negara maju, media interpretasi menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari koleksi
benda-benda bersejarah di museum-museum. Ini terus berkembang dan menjadi lebih interaktif dan
menggugah para pemburu wisata sejarah dan budaya. Dari koleksi yang dipamerkan di museum, para
wisatawan yang berkunjung dapat belajar tentang nilai-nilai positif dari perjalanan suatu peradaban
maupun kebudayaan, bahkan terinspirasi oleh pencapaian yang telah dihasilkan generasi terdahulu. Hal
yang sama juga berlaku untuk wisata budaya lainnya, seperti situs cagar budaya, tempat ibadah,
maupun pemukiman tradisional. Tempat-tempat wisata seperti itu harus dilengkapi dengan pemandu
yang kompeten ataupun informasi yang detil mengenai tempat tersebut.
Tulisan ini yakin bahwa membangun sense of place yang berkualitas di kawasan pusaka
merupakan salah satu strategi memengaruhi persepsi wisatawan sehingga akan meningkatkan
kesadaran wisatawan tentang isu-isu keberlanjutan dan bersedia melakukan praktik pengelolaan
lingkungan yang baik di sekitar kawasan. Mendukung konsep ini, Hall (1996) menyatakan bahwa
kemampuan manusia dalam memahami ruang untuk memenuhi kebutuhannya sangat tergantung pada
bentuk interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungan binaan tersebut, serta bagaimana
pengaruh lingkungan binaan tersebut terhadap sikap dan tingkah laku manusia.
Sebenarnya dalam konteks pariwisata sendiri, telah ada upaya-upaya mengurangi eksternalitas
negatif pada kawasan wisata dengan mewujudkan pembangunan yang memiliki prinsip pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism). Prinsip pariwisata berkelanjutan ini merupakan sebuah bentuk
pariwisata alternatif yang didorong oleh tumbuhnya kesadaran lingkungan dan pengenalan bahwa
pariwisata adalah salah satu metode yang dipakai dalam upaya mewujudkan tujuan pelestarian (Nasser
2003). Sebenarnya konsep sustainable tourism ini merupakan sebuah bentuk kritik terhadap mass-
tourims yang dianggap tidak memperhatikan aspek lingkungan. Prinsip-prinsip pariwisata
berkelanjutan ini mengacu prinsip pembangunan berkelanjutan yang dijelaskan oleh Brutland (1987)
sebagai keseimbangan 3 (tiga) aspek yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya.
Walaupun prinsip pembangunan berkelanjutan ini juga mendapat kritik karena dianggap sebagai
sebuah konsep yang belum jelas (lihat Terborgh 1999), namun prinsip ini tetap diadopsi dalam
pembangunan pariwisata. Dalam konteks Indonesia, prinsip pariwisata berkelanjutan ini telah disebut
dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan yang menekankan bahwa kegiatan pariwisata harus
mendukung pembangunan ekologi jangka panjang, layak secara ekonomi, serta adil secara etika dan
sosial terhadap masyarakat lokal (Indrawati, 2010). Mowforth & Munt (1998) menjelaskan bahwa
keberlanjutan dalam pembangunan pariwisata itu terkait dengan (1) Ecologycal Sustainability:
Pembangunan pariwisata tidak disebabkan oleh perubahan yang irreversible dalam suatu ekosisitem
yang telah ada, dan menjadi dimensi yang secara umum dierima karena adanya kebutuhan melindungi
sumber daya alam dari dampak negatif kegiatan pariwisata; (2) Social Adaptabiliy: Kemampuan
kelompok untuk mengundang wisatawan tanpa menimbulkan ketidakharmonisan hubungan sosial antar
pihak; (3) Cultural sustainability: Kehadiran wisatawan tidak membawa dampak negatif terhadap
perkembangan budaya setempat serta pelestarian pusaka untuk generasi masa depan.
Merujuk pada prinsip keberlanjutan yang telah dijelaskan di atas, sektor pariwisata pun diharap
mampu menjaga keberlangsungan serta kelestarian ekosistem lingkungan dengan tetap memperhatikan
kondisi sosial budaya warga lokal (local community) sehingga pusaka yang menjadi destinasi wisata tetap
dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Penekanan pada kondisi sosial budaya ini terjadi karena menurut
Wall dalam Suwena (2010), keberlanjutan budaya merupakan sumber daya penting dalam pembangunan
pariwisata. Keberlanjutan (sustainability) memang tidak sekadar terkait sumber daya fisik saja tetapi
juga tentang komunitas dan budayanya (English Heritage dalam Stubbs, 2004). Karena itu, dalam
konsep sustainability tourism, signifikansi persepsi dan opini masyarakat yang berdasarkan keyakinan
pribadi dan nilai-nilai yang dianut menjadi sebuah isu penting.
Walaupun konsep pariwisata berkelanjutan ini telah menjadi bidang penelitian yang semakin
populer sejak akhir 1980-an namun perdebatan mengenai konsep ini masih terus berlangsung
walaupun Liu (2003) menganggap debat yang terjadi terkesan tidak komprehensif, tidak lengkap, dan
memakai asumsi serta argumen yang salah. Salah satu kritik Liu (2003) adalah masih ada beberapa isu
yang diabaikan dalam konsep dan harus diteliti lebih lanjut, antara lain keterkaitannya dengan peran
demand dalam pariwisata, perbandingan ekuitas intra-generasi, peran pariwisata dalam
mempromosikan kemajuan sosiokultural, dan pengukuran keberlanjutan. Liu (2003) juga menganggap
bahwa untuk mentransformasi penelitian mengenai pariwisata berkelanjutan ke tingkat yang lebih
ilmiah, dibutuhkan perspektif dan pendekatan yang multidisplin. Dodds & Joppe (2005) juga
mengkritik penelitian sustainable tourism yang dianggap cenderung terkonsentrasi pada wilayah
lingkungan alam yang dilindungi dan mengabaikan fakta bahwa penduduk dunia lebih banyak tinggal
di perkotaan dan kegiatan wisata justru lebih banyak dilakukan di perkotaan.
Di sisi lain, walaupun secara teori telah ada pemahaman pentingnya keberadaan stakeholder
dalam prinsip sustainable tourism, akan tetapi Bernini & Cracolici (2015) menganggap penelitian di
dalam konsep ini masih lebih berfokus pada perspektif warga lokal dan masih jarang membicarakan
perspektif wisatawan yang datang. Padahal Orbasli (2000) menyatakan dalam bukunya bahwa sebuah
survei di Antalya, misalnya, mengungkapkan dengan cukup jelas bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara persepsi dan perilaku warga lokal dan pengelola dalam memandang perkembangan wisata
budaya itu sendiri. One of the greatest challenges tourism authorities face in sustainable and
responsible heritage tourism is to encourage visits to act in ways that minimize environmental and
experiential impacts (Brown et al. 2010). Menambah kritik terhadap hal tersebut, Buonincontri et al.
(2017) juga berpendapat bahwa salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan sustainable tourism
adalah mendorong wisatawan untuk berperilaku yang dapat meminimalkan dampak buruh terhadap
lingkungan. Oleh karena itu, tulisan ini berpendapat bahwa penelitian mengenai peran sense of place
dalam mengurangi eksternalitas negatif pada lingkungan kawasan pusaka perkotaan akan dapat
menambah referensi pengetahuan untuk indikator sustainable tourism.
Saat ini, sustainable development menjadi isu yang menarik akan tetapi tanpa adanya indikator,
konsep sustainable development ini menjadi tidak berarti. Manfaat indikator yang baik tidak hanya
untuk mengevaluasi dan mengkoordinasikan konsep pembangunan berkelanjutan, namun juga
mengidentifikasi batasan dan peluang dari waktu ke waktu. Seiring pertumbuhan industri pariwisata
yang pesat, pengembangan pariwisata yang berkelanjutan juga menjadi penting sehingga indikator
pariwisata yang berkelanjutan juga menjadi mekanisme penting yang penting (Ngamsomsuke et al.
2011).
Ngamsomsuke et al. (2011) sendiri telah membuat indikator sustainable tourism menggunakan
Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) indikator sustainable
tourism yaitu economic activites, social supports, management of cultural heritage sites, dan
surrounding environment of cultural heritage sites. Perilaku turis dalam konteks sustainable tourism,
oleh Ngamsomsuke et al. (2011), digolongkan ke dalam penilaian social support yaitu terkait kepuasan
(satisfaction) dan sikap (attitude). WTO (2004) menjelaskan bahwa yang dinilai sebagai indikator
satisfaction (kepuasan) dalam sustainable tourism adalah tingkat kepuasan pengunjung dan tingkat
kepuasan warga lokal. Menambah pemikiran tersebut, tulisan ini berpendapat bahwa selain faktor
kepuasan, faktor sense of place seharusnya juga menjadi salah satu indikator dalam penilaian social
support karena mengandung kompleksitas yang lebih tinggi dari sekadar hasil persepsi wisatawan,
yaitu bagaimana wisatawan memandang kawasan sebagai place. Peran sense of place menjadi penting
karena dapat menjadi menjadi tolok ukur pengetahuan akan keterlibatan wisatawan sebagai salah satu
stakeholder, yang memang sesuai dengan nilai dalam prinsip sustainable tourism.
Dalam konteks keberlanjutan, sense of place justru merupakan sebuah dimensi penting dalam
keberlanjutan suatu tempat, untuk mempertahankan identitas lokal, hingga memperkuat komunitas
(Beatley & Manning 1997). Strategi ini sebenarnya sejalan dengan pendekatan terbaru dalam
pelestarian kawasan yang telah menyadari pentingnya melestarikan sense of place sebagai sebuah
pengalaman ruang di perkotaan (lihat Ouf, 2001 dan Martokusumo, 2014). Beberapa pihak percaya
bahwa hubungan sense of place dan pariwisata itu sebenarnya merupakan hubungan 2 (dua) arah dan
saling mempengaruhi. Walaupun sense of place telah berhasil dibangun demi keberlangsungan
pariwisata, namun keberadaannya justru dapat terancam akibat kegiatan pariwisata itu sendiri.
Pariwisata merupakan mesin pertumbuhan dan pengembangan yang dinamis akan tetapi saat tekanan
pariwisata bersaing dengan kepentingan masyarakat, sense of place pun menjadi terancam (Binder
2008).
Di sisi lain, faktor sense of place ini dianggap unik karena sebenarnya setiap tempat memiliki
nilai-nilai yang berbeda sehingga berpotensi menghasilkan sense of place yang berbeda-beda pula.
Diperlukan indikator yang spesifik untuk dapat dikembangkan dan diterapkan di masing-masing
tempat karena adanya perbedaan geografis, budaya dan lingkungan (Ngamsomsuke et al. (2011).
Binder (2008) menyatakan bahwa walaupun kita telah mengetahui sense of place itu sangat penting
untuk dipahami oleh para aktor pelestarian, namun metode sense of place itu akan tetap menjadi
konsep yang sulit dipahami dan tersembunyi. Karena itu, dibutuhkan eksplorasi lebih lanjut bagaimana
cara untuk menilai sense of place stakeholder. Dalam konteks pariwisata, menurut Ngamsomsuke et al.
(2011), karakteristik yang berbeda-beda di setiap tempat wisata akan membutuhkan indikator
sustainable tourism yang berbeda-beda pula.
4. Conclusion
Kawasan pusaka dengan ruang yang memiliki nilai-nilai sejarah karena menyimpan
perkembangan peradaban kota, ternyata berpotensi untuk memberikan konntribusi dalam kegiatan
pariwisata perkotaan. Hal ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan utama dalam perencanaan
pusaka, seperti yang dijelaskan Nasser (2003) bahwa “symbiosis of both tourism and heritage places
has become a major objective in the management and planning of historic areas”. Bila pariwisata dan
pusaka berdampingan maka pendapatan pariwisata dapat digunakan untuk menopang dan melestarikan
lingkungan nilai pusaka (Newby 1994).
Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan wisata pusaka yang semakin meningkat untuk
memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak mampu diimbangi oleh daya dukung lingkungan, telah
menyebabkan eksternalitas negatif pada aspek tangible lingkungan kawasan pusaka. Seperti halnya
aktivitas ekonomi lainnya, pariwisata juga memanfaatkan sumber daya sehingga menghasilkan dampak
lingkungan yang setara dengan eksploitasi jika kuantitas dan kualitas sumber daya tersebut terdegradasi
(Nasser 2003). Masyarakat lokal pun mulai resah dengan kondisi memudarnya berbagai praktek
budaya lokal (adat istiadat hingga berbagai kesenian dan kerajinan lokal) akibat adanya persinggungan
budaya lokal dengan budaya luar. Ternyata mendatangkan pengunjung ke suatu tempat bersejarah itu
berpotensi juga menganggu aspek intangible pusaka saat perilaku wisatawan yang datang tidak
berorientasi pada lingkungan. Karena itu, pengembangan destinasi pariwisata berbasis pusaka
membutuhkan strategi khusus karena aspek yang dikemas dan ‘dijual’ adalah tentang cerita dan makna
di balik sebuah situs, bukan sekadar perwujudan fisik heritage.
Di tengah kondisi semacam ini,prinsip keberlanjutan ini dalam pembangunan pariwisata
dianggap menjadi salah satu jawaban bagi permasalahan yang dialami oleh pemgbangunan pariwisata.
Pariwisata berkelanjutan dapat pula didefinisikan sebagai "pariwisata yang menghormati penduduk
lokal dan wisatawan, warisan budaya dan lingkungan". Pembangunan pariwisata dapat disebut
berkelanjutan jika pembangunan dan pengembangan kawasan pariwasata selalu berbasis keseimbangan
lingkungan hidup dan melibatkan masyarakat dan komunitas lokal.
Tulisan ini berpendapat bahwa salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk memenuhi prinsip
keberlanjutan dari aspek sosial budaya adalah dengan membangun sense of place yang berkualitas di
kawasan pusaka. Sense of place menjadi sebuah pengalaman yang terbentuk karena beraktivitas di
dalam sebuah lingkungan fisik. Konsep ini dianggap sebagai sebuah dimensi penting dalam
keberlanjutan suatu tempat karena akan memengaruhi persepsi wisatawan sehingga berdampak pada
perilaku yang berorientasi pada lingkungan. Karena itu, faktor sense of place seharusnya dapat
dijadikan sebagai salah satu bagian yang dinilai dari aspek social support, yang merupakan salah satu
indikator keberlanjutan pembangunan pariwisata di kawasan pusaka. Keberadaan kajian mengenai
sense of place dari perspektif wisatawan akan membantu metode-metode yang digunakan dalam
menilai keberlanjutan wisata pusaka di masing-masing kawasan pusaka akibat adanya perbedaan nilai
budaya dan persepsi di setiap kawasan pusaka.
References
Agmasari, S. (2017). Daftar Kelakuan Buruk Turis Indonesia yang Bikin Jengah. Kompas Travel.
http://travel.kompas.com/read/2017/07/13/190400927/daftar-kelakuan-buruk-turis-indonesia-yang-bikin-
jengah. Diakses 30 November 2017.
Apriando, T. (2015). Pembangunan Hotel Dan Mal di Yogyakarta Merusak Lingkungan. Mengapa? Mongabay
Indonesia 29 April. http://www.mongabay.co.id/2015/04/29/pembangunan-hotel-dan-mal-di-yogyakarta-
merusak-lingkungan-mengapa/. Diakses 1 Desember 2017.
Ashworth, G.J. and Tunbridge, J.E. (1990). The tourist-historic city. London: Belhaven.
Beatley, T. & Manning, K. (1997). The ecology of place : planning for environment, economy and community.
Washington, DC. : Island Press.
Bernini, C., & Cracolici, M. (2015). Demographic change, tourism expenditure and life cycle behaviour.
Tourism Management, 47, 191205
Binder, Regina (2008) Sense of Place in Sustainable Tourism Development. In: 16th ICOMOS General
Assembly and International Symposium: ‘Finding the spirit of place – between the tangible and the
intangible’, 29 sept – 4 oct 2008, Quebec, Canada.
Brundtland Commission. (1987). Our Common Future. Oxford University Press
Budihardjo, Eko. (1992). Arsitektur dan Kota di Indonesia. Alumni. Bandung.
Burns. P & Holden. A. (1997). Tourism: A New Perspective. Prestice Hall International (UK) Limited, Hemel
Hempstead.
Budiningtyas, R. (2013). Showroom Batik di Kampoeng Batik Laweyan Respon Masyarakat terhadap
Pengembangan Pariwisata Di Kawasan Cagar Budaya. Jurnal Nasional Pariwisata. Volume 5, Nomor 3,
Desember (168 - 179)
Brown, T. J. (1999). Antecedents of culturally significant tourist behavior. Annals of Tourism Research, 26(3),
676-700
Buonincontri, P., Marasco, A., & Ramkissoon, H. (2017). Visitors’ Experience, Place Attachment and
Sustainable Behaviour at Cultural Heritage Sites: A Conceptual Framework. Sustainability 9, 1112.
Butler, Diane. (2016). Dari Istilah menuju Praktek: Konsep-konsep dalam Konvensi Internasional UNESCO
untuk Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia dan Warisan Budaya Takbenda. Workshop
Workshop Pelestarian Cagar Budaya dan Warisan Budaya Takbenda di Museum Airlangga. Kediri 07 Mei
2016.
Carmona, M., Heath, T., Oc, T. & Tiesdell, S (2003) Public Places Urban Spaces, The Dimensions of Urban
Design, Architectural Press.
Cahyadi, R. & Gunawijaya, J. (2009). PARIWISATA PUSAKA Masa Depan bagi Kita, Alam dan Warisan
Budaya Bersama. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) &
Program Vokasi Pariwisata, Universitas Indonesia
Coleman, Victoria. (2004). Heritage and Sustainability: A Discussion Paper. NSW Heritage office, National
Trust of Australia. www.heritage.nsw.gov.au.
Dodds, R. and Joppe, M. (2005). CSR in the Tourism Industry? The Status and Potential for Certification, Codes
of Conduct and Guidelines. IFC/World Bank, Washington.
Drummond, S. & Yeoman, I. (2001). Quality Issues in Heritage Visitor Attractions. UK:
ButterworthHeinemann.
Furze, B., De, L. T., & Birckhead, J. (1996). Culture, conservation, and biodiversity: The social dimension of
linking local level development and conservation through protected areas. Chichester: John Wiley.
Chicago.
Graburn, Nelson H. H., Lutzi-Mitchell, Roy D. (2000). Learning to Consume: What is Heritage and When is it
Traditional? Consuming Tradition, Manufacturing Heritage. Nezar Al Sayyad, (ed.), pp. 68-89. London:
Routledge.
Gray J. (1970). International Travel – International Trade. Lexington Books. Lexington Heath.
Gunn. C.A. & Var, T. (2002). Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases. Psychology Press.
Hall, E. (1996). The Hidden Dimension. New York: Anchor Books.
Herbert, D.T. 1995. Heritage places, leisure and tourism. D. Herbert. (ed). Heritage, tourism and society.
London: Pinter. 1–20
Herbert, D.T. 1997. Heritage, Tourism, and Society, London: Pinter Press.
Idid, S. Z. A. (2005). Urban conservation approach for a multi cultural historic cities: The urban planning and
design perspective: case study, Historic City of Malacca. Department of Urban Engineering, University of
Tokyo.
Indrawati, Y. 2010. Pelestarian Warisan Budaya Bali dalam Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan di Kota
Denpasar. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global. Denpasar: Udayana University Press.
Jamieson, W. (1998). Cultural Heritage Tourism Planning and Development: Defining the Field and Its
Challenges. APT Bulletin, Vol. 29, No. 3/4, Thirtieth-Anniversary Issue pp. 65-67.
Jansen-Verbeke, M. (1997). Urban tourism: Managing resources and visitors. In S. Wabab & J. Pigram (Eds.),
Tourism development & growth: The challenge of sustainability (pp. 237–256). London: Routledge
Jiven, Gunila dan Larkham, Peter. (2003). Sense of Place, Authenticity and Character: A Commentary. Journal
of Urban Design, Vol. 8, No. 1, 67–81. Carfax Publishing.
Joga, Nirwono. (2017). Gerakan Kota Hijau Berkelanjutan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Larkham P. J. (1995) 'Heritage as Planned and Conserved', in Herbert D. T. (eds) Heritage, Tourism and Society,
Mansell, London, 85–116.
Liu, Z. (2003). Sustainable tourism development : a critique. Journal of Sustainable Tourism Vol. 11 Issue 6 pp.
459-475.
Martokusumo, Widjaja. (2014). Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum. Makalah dalam Temu Pusaka Indonesia
2014 di Galeri Cemara, Jakarta, 7-9 September 2014.
Maryani, E. (1991). Pengantar Geografi Pariwisata. Bandung: Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS IKIP.
Matondang, D. (2017). Kota Tua Ramai Pengunjung, Sayang Ada yang Buang Sampah Sembarangan. Detiknews Senin
26 Juni. https://news.detik.com/berita/d-3542590/kota-tua-ramai-pengunjung-sayang-ada-yang-buang-sampah-
sembarangan. Diakses 1 Desember 2017.
Maulana, Addin. (2015). Pengaruh Kunjungan Wisatawan Mancanegara Dan Perjalanan Wisatawan Nusantara
Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pariwisata Di Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol.
11 No. 1 Juni.
Ministry of Culture and Tourism in collaboration with UNESCO Office. (2009). Practical Handbook for
Inventory of Intangible Cultural Heritage of Indonesia. Jakarta.
Mowforth, M. & Munt, I. (1998). Tourism and Sustainability: New Tourism in the Third World. Psychology
Press.
Munasinghe, Mohan. (1993). Environmental economics and natural resource management in developing
countries. Committee of International Development Institutions on the Environment.
Nasser, Noha. (2003). Planning for Urban Heritage Places: Reconciling Conservation, Tourism, and Sustainable
Development. Journal of Planning Literature, Vol. 17, No. 4. Sage Publications.
Ngamsomsuke, W., Hwang, T. & Huang, C. (2011). Sustainable Cultural Heritage Tourism Indicators.
International Conference on Social Science and Humanity IPEDR vol.5. IACSIT Press, Singapore.
Newby, P.T. (1994). TOURISM Support or threat to heritage? Building a new Heritage: Tourism, Culture and
Identity, New York, Routledge, pp.206-228.
Orbasli, Aylin. (2000). Tourist in Historic Towns. Urban Conservation and Heritage Management. London &
New York. E & FN Spon.
Ouf, Ahmed M. Salah. (2000). Authenticity and the Sense of Place in Urban Design. Journal of Urban Design.
Patria T. (2015). Dinamika Perkembangan Pariwisata Pusaka: Tinjauan Dari Sisi Penawaran Dan Permintaan Di
Kota Bandung. Binus Business Review Vol. 6 No. 2 Agustus: 169-183.
Pendit, N.I. (1999). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : Pradya Paramita
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. (2003). Badan Pelestarian Pusaka Indonesia.
http://www.indonesianheritage.org/produk-hukum/74-piagam-pelestarian-pusaka-indonesia.html.
Diunduh: 1 Oktober 2016.
Pitana, I Gde., & Gayatri, Putu G. (2005). Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : CV Andi Offset.
Poria, Y., Butler, R., Airey, D. (2003). The Core of Heritage Tourism. Annals of Tourism Research, 30(1): 238-
254, Great Britain: Elsevier Science Ltd.
Prentice, R. (1994). Heritage Tourism. New Jersey.
Priyani, Rina. (2007). Pluralitas dalam Teori Perencanaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.18/No.3,
Hal. 23-37.
Rapoport, A. (1977). Human Aspect of Urban Form: Towards a Man - Environment Approach to Urban Form
and Design. Pergamon Press.
Sanyal, B. (2005). Comparative Planning Cultures. Routledge. New York & London.
Saputra, G. (2017). Vandalisme Semarang.
Duh, Cagar Budaya Kota Lama Dicoret-Coret. Solo Pos Minggu 29 Oktober.
http://www.solopos.com/2017/07/16/vandalisme-semarang-duh-cagar-budaya-kota-lama-dicoret-coret-
833947. Diakses 29 November 2017.
Setiawan, T.S. (2017). Pengunjung Membeludak, Sampah Kota Tua Berserakan. Tempo.co 29 Juli.
https://metro.tempo.co/read/596351/pengunjung-membeludak-sampah-kota-tua-berserakan. Diakses 1
Desember 2017.
Shamsuddin, S. & Sulaiman, A. B. (2002). The Importance of Conserving the Old Town Centre in Achieving a
Sustainable Built Environment of the Future. In: National Seminar on Built Environment: Sustainability
through Management and Technology.
Soini, K., Vaaralab, H., & Poutaa, E. (2012). Residents’ sense of place and landscape perceptions at the rural–
urban interface. Landscape and Urban Planning, 104, 124–134.
Suwena, I.K. (2010). “Format Pariwisata Masa Depan” dalam “Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis
Global”. Denpasar: Penerbit Udayana University Press.
Robins, S. & Novaco, R.W. (1999). Systems conceptualization and treatment of anger. Journal of Clinical
Psychology Vol. 55 Issue 3 March Pages 325–337
Shaw G. & Williams, A.M. (1997). Critical Issues in Tourism: A Geographical Perspective. Oxford: Blackwell
Publishers.
Shirvani, Hamid. (1985). The Urban Design Process. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
Sidharta dan Budihardjo, Eko. (1989). Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Simanjuntak, T.P. (2015). Tong Sampah Animasi Banyak yang Rusak. BeritaJakarta. Website Berita Resmi
Pemprov. DKI. Senin 12 Januari.
http://www.beritajakarta.id/read/7499/Tong_Sampah_Animasi_Banyak_yang_Rusak#.WijxfVWWbIU.
Diakses 30 November 2017.
Soini, K., H. Vaarala, and E. Pouta. (2012). Residents’ sense of place and landscape perceptions at the rural–
urban interface. Landscape and Urban Planning 104:124-134
Spillane, J.J. (1994). Pa riwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Spillane, JJ. (2002). Ekonomi Pariwisata: Sejarah danProspeknya. Yogyakarta: Kanisius.
Srinivas, S. (2015) A Place for Utopia: Urban Designs from South Asia. Seattle: University of Washington Press
and Hyderabad: Orient Blackswan.
Stubbs, M. (2004). Heritage-sustainability: Developing A Methodology for The Sustainable. Planning Practice &
Research, 19:3, 285-305.
Sugiarta, A.A.G. (2008). Dampak Bising dan Kualitas Udara pada Lingkungan Kota Denpasar. Jurnal Bumi
Lestari Vol. 8 No.2 Agustus, hal. 162-167.