Anda di halaman 1dari 16

International Tourism Conference & Exhibition

Tourims and Heritage: The ASEAN & Borneo Context

Sense of Place and the Sustainable Tourism in Urban Heritage Area


Christin Dameria(1), Roos Akbar(2), Petrus Natalivan Indradjati(2)
christindameria@gmail.com
1)
Department of Regional and City Planning. School of Architecture, Planning, and Policy Development. Bandung Institute of Technology.
(2)
Urban Planning and Design. School of Architecture, Planning, and Policy Development. Bandung Institute of Technology.

Abstrak

Keberadaan kawasan pusaka di perkotaan sebenarnya merupakan sebuah potensi alternatif pengembangan
pariwisata di perkotaan akan tetapi kegiatan pariwisata di kawasan pusaka ini ternyata dinggap memiliki nilai-
nilai yang kontradiktif. Di satu pihak, kegiatan ini mendukung hidupnya kembali aktivitas kawasan dan
berdayanya kawasan tersebut namun di sisi lain, aktivitas turis ternyata memiliki eksternalitas yang negatif
terhadap lingkungan tangible dan intangible kawasan pusaka. Tingginya aktivitas turis dalam kawasan pusaka
ternyata tidak mampu diimbangi oleh daya dukung lingkungan kawasan sehingga menimbulkan degradasi
lingkungan. Kemacetan lalu-lintas, polusi udara dan air, serta permasalahan sampah, menjadi beberapa contoh
eksternalitas negatif kegiatan pariwisata di kawasan pusaka. Perilaku pragmatis turis yang tidak peduli pada
kondisi kawasan pusaka yang rapuh juga menjadi pemicu terjadinya permasalahan lingkungan tangible di
kawasan pusaka. Pembangunan pariwisata di kawasan pusaka dianggap hanya sebagai eksploitasi semata
ketika terjadi pergeseran orientasi pasar yang berfokus pada produk peninggalan sejarah, yang dipilih sesuai
kriteria permintaan wisatawan sebagai konsumen, dan dikelola melalui intervensi pasar, sehingga menurunkan
makna pusaka budaya. Selain itu, benturan budaya yang berpotensi mengganggu ruang privat dan merubah
gaya hidup wargal lokal juga menjadi salah satu eksternalitas negatif pada aspek intangible lingkungan.
Akibatnya, kegiatan pariwisata di kawasan heritage dianggap memiliki sifat eksploitatif lingkungan karena
keuntungan komersial dari kegiatan tersebut ternyata telah menciptakan ketidakseimbangan antara nilai-nilai
pelestarian dan budaya. Tulisan ini berargumen bahwa salah satu faktor yang penting dalam keberlanjutan
pariwisata di lingkungan kawasan pusaka di perkotaan adalah dengan membangun pariwisata budaya (heritage
tourism) yang berorientasi pada sense of place. Wisatawan perlu memiliki sense of place yang positif sehingga
mendorong perilaku yang meminimalisasi eksternalitas negatif pada aspek tangible dan intangible lingkungan.
Dalam konteks keberlanjutan, konsep sense of place seharusnya juga dapat dijadikan salah satu indikator dalam
penilaian aspek social support, yang merupakan salah satu indikator pencapaian sustainable tourism.

Keywords: Environment, Sense of Place, Urban Heritage, Sustainable Tourism

1. Research Background
1.1. Introduction
Pentingnya keberadaan kawasan pusaka di perkotaan menuntut perlunya upaya pelestarian dalam
menghadapi tekanan globalisasi dan tuntutan modernisasi terhadap fungsi dan bentuk kota. Coleman
(2004) menyatakan bahwa kini pelestarian tidak hanya terkait dengan perubahan fisik saja namun
sebagai upaya penciptaan hubungan baru antara eksisting (tangible dan intangible) dimana kualitas dan
keberhasilan hubungan inilah yang penting bagi keberlanjutan pelestarian. Ouf (2001) menjelaskan
bahwa pendekatan terbaru dalam pelestarian pusaka adalah bertujuan untuk penciptaan pengalaman
perkotaan yang menyenangkan dan tidak sekadar retensi sejarah perkotaan yang dianggap otentik bagi
generasi berikutnya sehingga perlu memberikan perhatian lebih pada upaya penciptaan sense of place
daripada restorasi detail. Kualitas hubungan fisik dan non fisik ini diterjemahkan dalam konsep sense
of place yang menurut Punter dan Montgomery dalam Carmona et al. (2003) adalah perpaduan hasil
penataan setting fisik (physical setting), aktivitas (activity) dan makna (meaning) pada sebuah tempat
(place).
Salah satu strategi yang dilakukan oleh kota-kota saat ini terkait manfaat pelestarian adalah
dengan mendudukkan kawasan pusaka sebagai mesin pendorong perekonomian kota terutama pada
sektor pariwisata dan jasa perdagangan. Joga (2017) menjelaskan bahwa agar pelestarian pusaka
memiliki manfaat nyata bagi masyarakat, antara lain demi meningkatkan kualitas lingkungan dan
mampu membangkitkan ekonomi lokal, maka dibutuhkan suatu kegiatan industri kreatif,
kepariwisataan, jasa dan pelayanan di kawasan tersebut. Menurut Srivinas (2015), pengembangan
pariwisata memang merupakan salah satu aspek yang terkait dengan strategi pelestarian kawasan
pusaka di tingkat perkotaan. Ashworth dan Tunbridge (1990) juga menyatakan bahwa pariwisata dapat
dipandang sebagai alat untuk mendukung pemeliharaan artefak masa lalu sehingga pusaka tersebut
dapat memanfaatkan dan memelihara dirinya sendiri secara mandiri.
Akan tetapi dalam perkembangannya, selain menghasilkan keuntungan ekonomi, kegiatan
pariwisata di kawasan pusaka perkotaan ternyata memiliki eksternalitas negatif terhadap
lingkungannya, terutama terkait perilaku wisatawan (lihat Nasser 2003; Priyani 2007). Selain
berdampak pada aspek ekologi lingkungan, perilaku wisatawan itu ternyata mampu mengakibatkan
degradasi nilai-nilai yang harusnya dilestarikan. Lalu bagaimana penyelesaian isu eksternalitas negatif
ini mengingat kawasan pusaka memiliki nilai-nilai tangible dan intangible yang harus dilestarikan?
Apakah prinsip pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang berkembang saat ini mampu
menyelesaikan isu eksternalitas negatif, terutama akibat perilaku wisatawan? Tulisan ini berupaya
menambah tinjauan baru dalam perdebatan mengenai isu lingkungan yang didorong perilaku
wisatawan dalam konteks pelestarian pusaka melalui gagasan akan pentingnya membangun sense of
place sebagai salah satu indikator dalam sustainable tourism untuk mengatasi isu-isu lingkungan yang
terjadi.

1.2. Heritage and Tourism


Menurut Undang-Undang nomor 10 Republik Indonesia Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai
fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah
Daerah. Lalu apa yang membedakan pariwisata di tempat-tempat wisata pada umumnya dengan
pariwisata di kawasan pusaka?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal pertama yang perlu dibicarakan adalah pengertian
pusaka. Dalam Piagam pelestarian pusaka Indonesia (2003), heritage terbagi atas (1) Pusaka alam
(natural heritage) yaitu bentukan alam yang istimewa; (2) Pusaka budaya (cultural heritage) hasil cipta,
rasa, karsa, dan karya yang istimewa; dan (3) Pusaka saujana (cultural landscape heritage) yaitu
gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu, berupa properti/situs
budaya yang merupakan kombinasi hasil alam dan karya manusia. Berdasarkan bentuknya, pusaka
terbagi atas 2 (dua) bagian yaitu pusaka tak berwujud (intangible heritage) antara lain tradisi lisan, seni
pertunjukan, adat istiadat masyarakat, perayaan, pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam
dan semesta, dan kemahiran kerajinan tradisional (Ministry of Culture and Tourism, 2009) serta pusaka
berwujud (tangible) antara lain berupa berupa situs, bangunan dan monumen bersejarah buatan
manusia (Butler, 2016). Di Indonesia sendiri, pemahaman kawasan pusaka sebagai sebuah pusaka yang
dilestarikan, mengacu pada istilah pusaka saujana (cultural landscape heritage (Piagam pelestarian
pusaka Indonesia 2003). Pusaka saujana memiliki nilai keunggulan yang terkandung dalam sejarah
kawasan, wujud fisik lansekap, ataupun budaya masyarakatnya.
Faktor budaya kini menjadi salah satu hal yang mampu menarik wisatawan. Salah satu perubahan
trend di dunia pariwisata saat ini, menurut Cahyadi & Gunawijaya (2009), adalah adanya keinginan
wisatawan untuk melihat budaya yang berbeda, melihat atraksi lokal, membeli barang produksi lokal,
bertemu dengan penduduk lokal dan menghadiri acara-acara lokal. Salah satu jenis kegiatan pusaka
yang dilakukan dalam ruang kawasan pusaka perkotaan adalah pariwisata budaya (culture tourism).
Pendit (1999) menyebutkan wisata budaya adalah perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan
untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan ke tempat lain
atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan adat istiadat mereka, cara hidup
mereka, kebudayaan dan seni mereka. Menurut Spillane (2002), produk pariwisata budaya memiliki
segmen pasar khusus yaitu para “mature tourist” yang mengunjungi kawasan lain dengan motivasi
yang tidak hanya bersifat rekreasi namun ingin memiliki pengalaman melalui keterlibatan langsung
dengan aktivitas dan tradisi budaya masyarakat lokal.
Akan tetapi, Hall & Zeppel (1992) menyatakan bahwa pariwisata di kawasan pusaka bukanlah
pariwisata budaya dan dianggap lebih tepat bila menggunakan istilah pariwisata pusaka. Pariwisata
pusaka dianggap berbeda dengan pariwisata budaya seperti yang ditegaskan oleh Zeppel & Hall
(1992): “Cultural tourism is experiential tourism based on being involved in and stimulated by the
performing arts, visual arts and festivals. Heritage tourism, whether in the form of visiting preferred
landscapes, historic sites, buildings or monuments, is also experiential tourism in the sense of seeking
an encounter with nature or feeling part of history of a place”. Poria et al. (2003) juga mendefinisikan
pariwisata pusaka sebagai: “A subgroup, in which the main motivation for visiting is based on the
characteristics of the place according to the tourists’ perception of their own heritage”. Istilah
pariwisata budaya dan pariwisata pusaka memang belum memiliki perbedaan yang jelas. Di Indonesia
sendiri, merujuk pada UNESCO, Cahyadi & Gunawijaya (2009) menjelaskan bahwa istilah pariwisata
pusaka dapat juga disebut sebagai pariwisata pusaka budaya (cultural and heritage tourism atau cultural
heritage tourism) atau lebih spesifik disebut dengan pariwisata pusaka budaya dan alam.
Tulisan ini berpendapat bahwa wisata pusaka merupakan bagian dari wisata budaya karena
pusaka merupakan hasil budaya manusia yang diwariskan. Wisata budaya sendiri tidak selalu harus
memiliki unsur sejarah karena budaya kontemporer mungkin saja menjadi tujuan destinasi dalam
wisata budaya. Untuk itu, dalam penulisan selanjutnya, istilah yang akan digunakan merujuk pada
kegiatan wisata di kawasan pusaka perkotaan adalah wisata pusaka (heritage tourism).

1.3. The Negative Externalities of Urban Heritage Tourism


Pariwisata pusaka semakin diminati karena dianggap memiliki eksternalitas positif terutama bagi
kehidupan perkotaan. Manfaat ini dijelaskan oleh Priyani (2007) yang menyatakan bahwa dampak
positif dari promosi tempat-tempat bersejarah sebagai daya tarik wisata antara lain adalah terciptanya
kesempatan kerja sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesempatan mendapat dana
pelestarian dari kegiatan wisata, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola tempat
dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan warga lokal. Di sisi lain, banyak pihak yang mengkritik
keberadaan pariwisata pusaka ini dalam konteks pelestarian.
Tulisan ini akan membagi kritik terhadap wisata pusaka tersebut tersebut menjadi 2 (dua) bagian
yaitu dampaknya terhadap keberadaan lingkungan tangible dan intangible kawasan pusaka perkotaan:

1.3.1. Negative Externalities on Tangible Environment


Jansen-Verbeke (1997) mengungkapkan bahwa berbagai aktivitas wisata pusaka ternyata
memiliki dampak fisik pada artefak di lingkungan perkotaan dan bahkan mengganggu keberlangsungan
pelestarian. Dalam tulisan ini, eksternalitas negatif yang terjadi terhadap lingkungan fisik tangible
dibagi atas 2 (dua) bagian yaitu (1) Pencemaran lingkungan fisik dan; (2) Perubahan fisik kawasan.
Jumlah atraksi dan penyebaran artefak yang menarik di kawasan pusaka aktivitas wisata yang
terus berkembang dalam ruang dan waktu menyebabkan terjadinya kepadatan yang berlebihan,
kemacetan lalu lintas, kurangnya lahan parkir, kisaran bias dalam perdagangan eceran (retail), kenaikan
harga, dan intrusi di ranah privat, yang akhirnya mengarah pada bias pelestarian itu sendiri (Jansen-
Verbeke 1997). Tingginya aktivitas pariwisata di dalam kawasan ternyata tidak diimbangi oleh daya
dukung lingkungan sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran. Pencemaran terhadap lingkungan
fisik dijelaskan oleh Spillane (1994) yang menyatakan bahwa pariwisata dapat menimbulkan masalah
lingkungan seperti polusi air dan udara, kekurangan air, hingga keramaian lalu lintas. Dalam konteks
Indonesia, permasalahan ini digambarkan oleh Apriando (2015) yang menyatakan fenomena
permasalahan lingkungan di Jogyakarta akibat pembangunan hotel antara lain adalah mengeringnya
sumber air warga karena pengambilan air dari sumur dalam oleh hotel. Selain mengalami masalah
kekeringan, badan air di perkotaan juga berpotensi tercemar akibat pembuangan limbah cair (detergen
pencucian linen hotel) dan limbah padat (sisa makanan tamu). Gambaran mengenai polusi udara di
kawasan pusaka juga dijelaskan oleh Sugiarta (2008) dengan pernyataannya bahwa akibat kegiatan
wisata pusaka di Denpasar, kualitas udara yaitu debu total telah melebihi standar Baku Mutu
Lingkungan.
Selain akibat terbatasnya daya dukung lingkungan, tulisan ini juga ingin mengangkat adanya
pencemaran fisik lingkungan akibat langsung dari perilaku wisatawan, yaitu permasalahan sampah
yang dibuang sembarangan, dirusaknya objek-objek fasilitas pendukung wisata pusaka, termasuk aksi
vandalisme. Dalam tulisan jurnalistiknya, Setiawan (2014) dan Matondang (2017) melaporkan
banyaknya sampah antara lain tisu, botol plastik, kaleng minuman, hingga wadah styrofoam yang
dibuang sembarangan oleh para wisatawan di Kawasan Kota Tua Jakarta walaupun telah tersedia
fasilitas tempat sampah yang disediakan oleh pengelola. Kisah yang sama diberitakan oleh Agmasari
(2017) mengenai wisatawan yang bahkan tidak sungkan untuk menaiki objek pusaka yang berumur
ratusan tahun demi mendapatkan sudut foto yang lebih baik. Simanjuntak (2105) juga melaporkan
dalam website Pemprov. DKI mengenai kondisi tempat penampungan sampah di Kawasan Kota Tua
Jakarta yang sengaja dirusak oleh pengunjung. Di Kawasan Kota Lama Semarang, aksi vandalisme
terhadap bangunan pusaka yang ada juga menjadi laporan Saputra (2017) di dalam Solo Pos.
Eksternalitas negatif lain adalah terjadinya perubahan bentuk fisik kawasan. Kegiatan pariwisata
memang banyak membutuhkanf fasilitas pendukung. Hal ini terjadi karena kebutuhan dalam
pengembangan daya tarik wisata yang dijelaskan oleh Maryani (1991:11), yaitu selain adanya objek
dan atraksi wisata (what to see), dan fasilitas rekreasi lain seperti café, galeri, dan lain sebagainya
(what to do), harus juga memiliki fasilitas untuk kegiatan berbelanja, terutama barang souvenir dan
kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk di bawa pulang ke tempat asal (what to buy), memiliki
aksesbilitas (what to arrived) serta fasilitas akomodasi berupa hotel berbintang dan non berbintang
(what to stay). Fasilitas penunjang kegiatan wisata pusaka inilah yang dituduh oleh Ashworth &
Tunbridge (1990) sebagai penyebab terjadinya eksternalitas negatif. Ashworth & Tunbridge (1990)
menjelaskan bahwa dalam melakukan kegiatan wisata, para wisatawan juga memerlukan fasilitas
pendukung yang modern sehingga tercipta fungsi-fungsi yang dapat mendukung kegiatan wisatawan
yang pada akhirnya menjadi justifikasi sebagai bagian dari kawasan pusaka.
Akibat dominasi fungsi layanan penunjang kegiatan wisata pusaka yang sangat progresif, terjadi
konversi fungsional, yang merubah banyak hunian menjadi fungsi penyediaan layanan makanan hingga
penyediaan kerajinan. Keseragaman dalam penyediaan ritel dan layanan seperti kehadiran gerai
makanan cepat saji, fasilitas parkir modern, streetscape, dan standar arsitektur hotel seringkali juga
terdistorsi dengan signifikan melebihi dari apa yang dibutuhkan, setidaknya dalam pelayanan terhadap
warga lokal. Ashworth dan Tunbridge (1990) menyatakan konversi tersebut terjadi karena adanya
tuntutan untuk mengatasi tingginya permintaan wisatawan. Perubahan fungsi dan keseragaman fasilitas
di dalam kawasan pusaka ini mengakibatkan terjadinya upaya kompromi dalam kegiatan pelestarian di
kawasan pusaka.

1.3.2. Negative Externalities on Intangible Environment


Kritik lain yang diberikan adalah hilangnya otentisitas pusaka. Saat ini, sebagian besar destinasi
wisata pusaka justru malah berkembang ke arah bentuk yang semakin mirip akibat kesamaan atraksi-
atraksi yang ditawarkan, bentuk pelayanan yang seragam, kemiripan pengalaman yang diperoleh,
hingga cindera mata yang dibawa pulang pun oleh wisatawan, nyaris sudah tidak dapat dibedakan lagi
(Cahyadi & Gunawijaya 2009). Barang-barang budaya yang menjadi pusaka pun mengalami devaluasi,
kalah oleh kehadiran pasar barang replika akibat keinginan wisatawan untuk mendapatkan “artefak”
yang lebih murah. Keinginan wisatawan ini juga menyebabkan hilangnya kerajinan lokal karena pasar
barang-barang fabric yang lebih disukai wisatawan seperti kaus t-shirt hingga cendera mata, dianggap
lebih menguntungkan. Priyani (2007) juga menyatakan bahwa di beberapa kawasan, wisata pusaka
seringkali menawarkan event-event palsu yang mungkin tidak terkait dengan realitas sejarah sehingga
menganggu keaslian atau otentisitas pusaka. Kondisi ini menurut Furze et al. (1996) adalah wujud
hiburan industri pariwisata yang pada akhirnya menghancurkan makna yang diwariskan kepada
penduduk lokal.
Eksternalitas negatif lain pada aspek intangible pusaka adalah adanya konfrontasi budaya.
Terjadinya pertemuan budaya dari warga lokal dan wisatawan dari luar kawasan yang berbeda norma
dan asumsi berpotensi menyebabkan fenomena terjadinya pergeseran adat istiadat akibat arus
kedatangan wisatawan tersebut yang menimbulkan dampak culture shock. Salah satunya akibatnya
adalah terjadinya perubahan gaya hidup warga lokal akibat perilaku konsumerisme wisatawan. Herbert
(1995) menjelaskan bahwa warga lokal terancam menjadi bagian dari "tontonan" pariwisata, yang
ditonton oleh pengunjung (orang luar) yang tidak memahami budaya atau masyarakat lokal sehingga
rentan terjadi konflik antara lain tentang isu alkohol, peran perempuan, hingga agama. Perbedaan
budaya, kaya-miskin, dan perbedaan sikap ternyata menciptakan konflik dan akhirnya mengarah pada
persepsi umum yang bersifat dua arah yaitu wisatawan itu merugikan warga lokal dan warga lokal itu
sering menipu wisatawan (Orbasli, 2000). Konflik terbesar lain yang terjadi antara warga lokal sebagai
“host” dengan wisatawan adalah penggunaan ruang publik yang berbeda. Ruang privat, seperti rumah
tinggal, juga ruang religius menjadi contoh ruang yang sensitif terhadap intervensi turis (Orbasli,
2000).
Pada akhirnya, kawasan pusaka pun dipaksa untuk dapat merespons permintaan konsumen
komersial, sehingga dalam beberapa kasus, nilai pelestarian dan budaya itu pun akhirnya
dikompromikan. Nasser (2003) menjelaskan bahwa akibat munculnya sejumlah besar tujuan wisata
yang saling bersaing dalam memberikan pengalaman wisata yang unik, tempat-tempat pusaka yang
bersejarah pun kini mengalami redefinisi dan penafsiran kembali akan pusaka budaya mereka agar
menjadi kompetitif dan menarik. Konflik atau dikotomi yang terjadi adalah antara melestarikan masa
lalu dengan kebutuhan pembangunan masa kini sehingga ketika budaya dieksploitasi atau diciptakan
sebagai sebuah fabric, pusaka pun menjadi produk konsumen yang rentan terhadap proses seleksi yang
dibatasi oleh pilihan, fashion, dan selera dari organisasi, yang terlibat dalam pemasaran produk pusaka,
dan konsumen (Nasser 2003). Sebagai kesimpulannya, Newby (1994) menyatakan bahwa pada
kenyataannya, kehadiran pariwisata membawa serta erosi perbedaan di antara tempat-tempat pusaka
tersebut. Karena pusaka dianggap tidak eksis secara logika tanpa konsumen, maka pada akhirnya,
konsumen yang mendefinisikan pusaka (Nasser 2003).

2. Literature Review: Understanding of Tourist Behaviour


Penjelasan mengenai eksternalitas negatif yang terjadi akibat wisata pusaka di kawasan pusaka
perkotaan di atas telah memperlihatkan bahwa aspek perilaku wisatawan ternyata berpengaruh pada
kerusakan pusaka tangible dan intangible. Kondisi ini yang perlu dieksplorasi lebih lanjut dalam upaya
menyelesaikan permasalahan akibat terjadinya eksternalitas negatif di kawasan pusaka. Poria et al.
(2003) menyatakan bahwa mencoba memahami permasalahan pariwisata hanya dengan menganalisis
atribut situs (fisik) saja itu sama saja dengan mencoba memeriksa fenomena sosial tanpa membahas
individu-individu yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Lalu siapa yang dimaksud dengan wisatawan dalam konteks wisata pusaka? Di Indonesia,
menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, pengertian wisatawan adalah
orang yang melakukan kegiatan wisata. Berdasarkan asalnya, wisatawan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
wisatawan nusantara (domestik) yaitu wisatawan yang melakukan kunjungan ke obyek wisata yang
masih berada di dalam wilayah negaranya dan wisatawan mancanegara yaitu wisatawan yang
melakukan kunjungan wisata ke negara lain yang bukan negaranya (Maulana 2015). Lalu bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan yang diperlukan terkait pemahaman mengenai perilaku wisatawan
tersebut? Tulisan ini akan menjelaskan beberapa perdebatan yang ada di dalam literatur akademik
mengenai topik ini.
Kondisi kebutuhan akan wisata yang bersifat edukatif, seperti wisata pusaka, menurut Patria
(2015) ditentukan oleh tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang karena semakin tinggi tingkat
pendidikan atau wawasan seseorang, kebutuhan tersebut semakin tinggi. Akan tetapi, Teo et al. (2014)
menyatakan bahwa walaupun tingkat pendidikan dan ekonomi wisatawan berpengaruh terhadap
kebutuhan namun ternyata faktor-faktor tersebut tidak berhubungan dengan perilaku, karena
menurutnya, perilaku wisatawan bukanlah ditentukan oleh karakteristik sosial ekonomi ataupun
demografis tetapi lebih lebih karena attitude (sikap), actions (tindakan) dan motivations (motivasi).
Pendapat lain dijelaskan oleh Gray (1970) yang menggolongkan wisatawan pusaka ke dalam kategori
Wanderlust tourist, yakni wisatawan yang perjalanan wisatanya didorong oleh motivasi untuk
mendapatkan pengalaman baru, atau kebudayaan baru, juga mengagumi keindahan alam yang belum
pernah dilihat.
Chen (1998) dalam Timothy dan Boyd (2003) menemukan bahwa pelaku wisata pusaka
sebenarnya didorong oleh 2 (dua) motivasi, yaitu: (1) Mencari pengetahuan. (2) Manfaat lainnya
(seperti kesehatan, relaksasi, spiritual, rekreasi, dan menikmati pemandangan. Akan tetapi, terkait
dengan perilaku, pemahaman motivasi wisatawan pusaka ini dikritik oleh Poria et al. (2003) yang
menyatakan bahwa untuk menghasilkan perilaku yang mampu menjaga kawasan pusaka, dibutuhkan
motivasi yang tidak hanya sekadar mencari pengalaman atau pengalaman saja, akan tetapi lebih kepada
usaha untuk mencari makna dan keinginan menjadi bagian dari pusaka tersebut. Menurut Uzzel (1996),
lokasi bersejarah yang sama mungkin saja dikunjungi karena berbagai alasan oleh wisatawan dari
generasi tertentu terkait kenangan atau penghormatan, sementara generasi yang lebih muda memiliki
persepsi bahwa kunjungan tersebut hanyalah sebuah perjalanan biasa. Karena itu, menurut Poria et al.
(2003), pariwisata pusaka sebaiknya tidak perlu memperhitungkan wisatawan pusaka yang hanya
sekadar datang atau “kebetulan ada di situ”, yang oleh Patria (2015) disebut sebagai pengunjung pasif,
karena hanya menganggap objek sejarah sebagai daya tarik sekunder, atau mereka yang hanya
menganggap lingkungan pusaka sekadar benda budaya untuk dipelajari.
Mencoba melihat keterkaitan perilaku dan eksternalitas negatif pada aspek intangible pusaka,
Priyani (2007) menganggap perilaku yang tidak memedulikan otentisitas pusaka disebabkan karena
kurangnya pengetahuan yang cukup untuk memahami dan mengapresiasi pusaka perkotaan. Patria
(2015) juga memberikan isu terkait keberagaman (pluralism) yang belum dimililiki oleh wisatawan
pusaka, terutama wisatawan domestik. Menurutnya, untuk kasus Indonesia, sebagian besar masyarakat
merasa tidak memiliki attachment (keterikatan) dan sense of belonging dengan pusakanya, terutama
(karena sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam) sementara pusaka yang ada sebagian
besar berasal dari zaman Hindu, Budha dan kolonial. Berbeda dengan wisatawan mancanegara dari
negara maju yang telah melalui masa Renaissance dan industri, yang dibangun langsung oleh generasi
sebelumnya.
Beberapa berargumen bahwa perilaku wisatawan juga berhubungan dengan persepsi yang mereka
miliki, seperti yang dinyatakan oleh Teo et al. (2014), bahwa untuk mampu memahami perilaku
wisatawan pusaka dan permasalahan yang terkait, dibutuhkan pemahaman mengenai persepsi
wisatawan. Teo et al. (2014) menjelaskan, bahwa persepsi wisatawan adalah kunci untuk memahami
kunjungan mereka, terutama lebih pada makna yang mereka anggap sebagai artefak bersejarah, bukan
pada apa dan seberapa banyak objek yang dilihat atau diamati oleh wisatawan. Hasil penelitian Poria et
al. (2003) menyatakan bahwa perilaku wisatawan terhadap kawasan pusaka berhubungan dengan
persepsi wisatawan di kawasan pusaka, mulai dari motivasi untuk berkunjung, semua keputusan-
keputusan bersikap saat mengunjungi kawasan, hingga keinginan untuk kembali datang.
Apa yang dimaksud dengan persepsi? Menurut Robins & Novaco (1999), persepsi adalah suatu
proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka untuk
memberikan makna terhadap lingkungannya sementara Rapoport (1977) mendefinisikan maksud dasar
dari persepsi adalah mengumpulkan, merasakan, dan memahami. Oleh karena itu, seseorang bisa saja
memiliki persepsi yang berbeda, walaupun objeknya sama akibat adanya perbedaan dalam hal sistem
nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan. Persepsi wisatawan pun menjadi kunci untuk
dalam memahami pola-pola kunjungan mereka, terutama pada makna yang mereka anggap sebagai
artefak bersejarah, bukan sekadar mengenai apa yang dilihat atau diamati oleh wisatawan (Teo et al.
2014). Permasalahan terjadi karena, menurut Orbasli (2000), persepsi wisatawan terhadap lingkungan
kawasan pusaka sangatlah miskin, terlebih lagi persepsinya terhadap pemahaman budayanya. Brown et
al. (2010) menyatakan bahwa keberhasilan terbesar dalam mempengaruhi tindakan wisatawan, berasal
dari pemahaman tentang apa yang mereka pikirkan, terutama dalam upaya mendorong perilaku yang
berorientasi pada lingkungan untuk meminimalkan dampak lingkungan.
Orbasli (2000) menjelaskan bahwa dalam kasus kota-kota bersejarah, salah satu komponen dasar
dalam mengevaluasi proses perencanaan pariwisata pusaka adalah mengenai masyarakat dan
pemahaman mereka tentang place dan kebutuhannya. Karena itu, terlepas dari permasalahan teknis
karena kurangnya sarana prasarana yang seharusnya tersedia dalam kawasan hingga lemahnya
peraturan dan pengawasan yang ada, tulisan ini berpendapat bahwa persepsi wisatawan memang
berperan untuk mendapatkan gambaran perilaku wisatawan yang menjadi salah satu faktor pendorong
terjadinya eksternalitas negatif kawasan pusaka perkotaan. Akan tetapi, tulisan ini berpendapat bahwa
terdapat sebuah konsep yang lebih besar dari sekadar konsep persepsi dalam upaya mendapatkan
pemahaman mengenai perilaku wisatawan pusaka, yaitu konsep sense of place, sebuah pemahaman
mengenai bagaimana perspektif wisatawan memaknai kawasan pusaka sebagai sebuah place melalui
pengalaman beraktivitas di dalamnya. Seperti yang juga dikatakan oleh Teo et al. (2014), dibutuhkan
in-depth study into actual travel experience, yang lebih daripada sekadar persepsi.

3. Discussioin: Sense of Place and Sustainable Heritage Tourism


Persepsi dan sense of place sebenarnya konsep yang saling berhubungan karena menurut Jiven &
Larkham (2003), dalam pemaknaan suatu tempat, persepsi menjadi unsur utama terciptanya sense of
place. Canter (1991) menyatakan bahwa sebuah place dapat dikonseptualisasikan sebagai sistem
terpadu yang terdiri dari 3 (tiga) domain sikap yaitu kognitif, behavior, dan emotions, dan tindakan
(actions) yang kemudian dijabarkan kemudian oleh Hashemnezhad et al.(2013) seperti dalam Tabel 01.

Tabel 01. Domain Sikap dalam Sense of Place


Source: Hashemnezhad et al. (2013)
Type of Details of Relationship Place
Relationship Components
Interaction General perception in order to understand the
Cognitive Form
between geometry of space and orientation
humans and Behavioral Perception of space capabilities to obviate the needs Function
places Emotional Perception of satisfaction and attachment to place Meaning

Hashemnezhad et al.(2013) menyatakan bahwa ketiga domain sikap ini akan menghasilkan sense dan
reaksi yang berbeda di masing-masing place serta menentukan apakah sense tersebut berbentuk positif
atau negatif. Jika sense negatif yang dihasilkan maka individu tersebut akan berusaha menghindari
tempat tersebut sedangkan jika sense positif yang dihasilkan maka individu akan berupaya untuk tetap
tinggal dan melakukan komunikasi di tempat tersebut.
Penjelasan lain Carmona et al. (2003), yang menyatakan bahwa sense of place berada di dalam
hasil interaksi manusia dengan ketiga unsur yaitu physical setting, activity, dan meaning serta mampu
memberikan identitas bagi suatu tempat. Cross (2001) kemudian memberikan konsep lain yang berbeda
tentang sense of place, yang membedakan konsep ini dengan konsep persepsi yaitu dengan menyatakan
bahwa konsep ini sebenarnya terdiri dari 2 (dua) aspek yaitu: (1) aspek hubungan dengan tempat
(relationships to place) yaitu bagaimana cara-cara orang berhubungan dengan tempat, atau jenis ikatan
yang dimiliki dengan tempat tersebut; dan (2) Aspek keterikatan masyarakat (community attachments)
yang terdiri dari kedalaman dan tipe keterikatan (attachment) tertentu pada suatu tempat.
Kianicka et.al. (2006) menyatakan bahwa sense of place milik wisatawan terbentuk dari faktor
estetika dan karakteristik suatu tempat saat mereka mendapat pengalaman dari sebuah kegiatan rekreasi
yang dilakukan di tempat tersebut. Walau begitu, sense of place tidak sekadar berbicara tentang
lingkungan fisik, namun juga non fisik. Keberadaan festival-festival tematik di kawasan pusaka yang
rutin diadakan sebenarnya berpotensi menghasilkan pengalaman yang unik bagi para wisatawan dalam
membangun sense of place yang baik. The need to understand tourists’ cultural responsible behavior
assists in tourist education towards codes of responsible conduct in destinations (Pennington-Gray,
2005). Karena itu, beberapa pendapat menyatakan bahwa salah satu upaya membangun sense of place
yang kuat di kawasan wisata pusaka adalah dengan memberikan pengetahuan melalui teknik
interpretasi dan kemajuan teknologi. Interpretasi dapat dilakukan oleh pemandu wisata melalui papan
informasi dan leaflet, melalui keterangan tertulis tentang objek yang dipamerkan di suatu museum,
media elektronik, bahkan dengan cara yang lebih interaktif, yakni menggunakan media digital.
Di banyak negara maju, media interpretasi menjadi kebutuhan yang tak terpisahkan dari koleksi
benda-benda bersejarah di museum-museum. Ini terus berkembang dan menjadi lebih interaktif dan
menggugah para pemburu wisata sejarah dan budaya. Dari koleksi yang dipamerkan di museum, para
wisatawan yang berkunjung dapat belajar tentang nilai-nilai positif dari perjalanan suatu peradaban
maupun kebudayaan, bahkan terinspirasi oleh pencapaian yang telah dihasilkan generasi terdahulu. Hal
yang sama juga berlaku untuk wisata budaya lainnya, seperti situs cagar budaya, tempat ibadah,
maupun pemukiman tradisional. Tempat-tempat wisata seperti itu harus dilengkapi dengan pemandu
yang kompeten ataupun informasi yang detil mengenai tempat tersebut.
Tulisan ini yakin bahwa membangun sense of place yang berkualitas di kawasan pusaka
merupakan salah satu strategi memengaruhi persepsi wisatawan sehingga akan meningkatkan
kesadaran wisatawan tentang isu-isu keberlanjutan dan bersedia melakukan praktik pengelolaan
lingkungan yang baik di sekitar kawasan. Mendukung konsep ini, Hall (1996) menyatakan bahwa
kemampuan manusia dalam memahami ruang untuk memenuhi kebutuhannya sangat tergantung pada
bentuk interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungan binaan tersebut, serta bagaimana
pengaruh lingkungan binaan tersebut terhadap sikap dan tingkah laku manusia.
Sebenarnya dalam konteks pariwisata sendiri, telah ada upaya-upaya mengurangi eksternalitas
negatif pada kawasan wisata dengan mewujudkan pembangunan yang memiliki prinsip pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism). Prinsip pariwisata berkelanjutan ini merupakan sebuah bentuk
pariwisata alternatif yang didorong oleh tumbuhnya kesadaran lingkungan dan pengenalan bahwa
pariwisata adalah salah satu metode yang dipakai dalam upaya mewujudkan tujuan pelestarian (Nasser
2003). Sebenarnya konsep sustainable tourism ini merupakan sebuah bentuk kritik terhadap mass-
tourims yang dianggap tidak memperhatikan aspek lingkungan. Prinsip-prinsip pariwisata
berkelanjutan ini mengacu prinsip pembangunan berkelanjutan yang dijelaskan oleh Brutland (1987)
sebagai keseimbangan 3 (tiga) aspek yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya.
Walaupun prinsip pembangunan berkelanjutan ini juga mendapat kritik karena dianggap sebagai
sebuah konsep yang belum jelas (lihat Terborgh 1999), namun prinsip ini tetap diadopsi dalam
pembangunan pariwisata. Dalam konteks Indonesia, prinsip pariwisata berkelanjutan ini telah disebut
dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan yang menekankan bahwa kegiatan pariwisata harus
mendukung pembangunan ekologi jangka panjang, layak secara ekonomi, serta adil secara etika dan
sosial terhadap masyarakat lokal (Indrawati, 2010). Mowforth & Munt (1998) menjelaskan bahwa
keberlanjutan dalam pembangunan pariwisata itu terkait dengan (1) Ecologycal Sustainability:
Pembangunan pariwisata tidak disebabkan oleh perubahan yang irreversible dalam suatu ekosisitem
yang telah ada, dan menjadi dimensi yang secara umum dierima karena adanya kebutuhan melindungi
sumber daya alam dari dampak negatif kegiatan pariwisata; (2) Social Adaptabiliy: Kemampuan
kelompok untuk mengundang wisatawan tanpa menimbulkan ketidakharmonisan hubungan sosial antar
pihak; (3) Cultural sustainability: Kehadiran wisatawan tidak membawa dampak negatif terhadap
perkembangan budaya setempat serta pelestarian pusaka untuk generasi masa depan.
Merujuk pada prinsip keberlanjutan yang telah dijelaskan di atas, sektor pariwisata pun diharap
mampu menjaga keberlangsungan serta kelestarian ekosistem lingkungan dengan tetap memperhatikan
kondisi sosial budaya warga lokal (local community) sehingga pusaka yang menjadi destinasi wisata tetap
dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Penekanan pada kondisi sosial budaya ini terjadi karena menurut
Wall dalam Suwena (2010), keberlanjutan budaya merupakan sumber daya penting dalam pembangunan
pariwisata. Keberlanjutan (sustainability) memang tidak sekadar terkait sumber daya fisik saja tetapi
juga tentang komunitas dan budayanya (English Heritage dalam Stubbs, 2004). Karena itu, dalam
konsep sustainability tourism, signifikansi persepsi dan opini masyarakat yang berdasarkan keyakinan
pribadi dan nilai-nilai yang dianut menjadi sebuah isu penting.
Walaupun konsep pariwisata berkelanjutan ini telah menjadi bidang penelitian yang semakin
populer sejak akhir 1980-an namun perdebatan mengenai konsep ini masih terus berlangsung
walaupun Liu (2003) menganggap debat yang terjadi terkesan tidak komprehensif, tidak lengkap, dan
memakai asumsi serta argumen yang salah. Salah satu kritik Liu (2003) adalah masih ada beberapa isu
yang diabaikan dalam konsep dan harus diteliti lebih lanjut, antara lain keterkaitannya dengan peran
demand dalam pariwisata, perbandingan ekuitas intra-generasi, peran pariwisata dalam
mempromosikan kemajuan sosiokultural, dan pengukuran keberlanjutan. Liu (2003) juga menganggap
bahwa untuk mentransformasi penelitian mengenai pariwisata berkelanjutan ke tingkat yang lebih
ilmiah, dibutuhkan perspektif dan pendekatan yang multidisplin. Dodds & Joppe (2005) juga
mengkritik penelitian sustainable tourism yang dianggap cenderung terkonsentrasi pada wilayah
lingkungan alam yang dilindungi dan mengabaikan fakta bahwa penduduk dunia lebih banyak tinggal
di perkotaan dan kegiatan wisata justru lebih banyak dilakukan di perkotaan.
Di sisi lain, walaupun secara teori telah ada pemahaman pentingnya keberadaan stakeholder
dalam prinsip sustainable tourism, akan tetapi Bernini & Cracolici (2015) menganggap penelitian di
dalam konsep ini masih lebih berfokus pada perspektif warga lokal dan masih jarang membicarakan
perspektif wisatawan yang datang. Padahal Orbasli (2000) menyatakan dalam bukunya bahwa sebuah
survei di Antalya, misalnya, mengungkapkan dengan cukup jelas bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara persepsi dan perilaku warga lokal dan pengelola dalam memandang perkembangan wisata
budaya itu sendiri. One of the greatest challenges tourism authorities face in sustainable and
responsible heritage tourism is to encourage visits to act in ways that minimize environmental and
experiential impacts (Brown et al. 2010). Menambah kritik terhadap hal tersebut, Buonincontri et al.
(2017) juga berpendapat bahwa salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan sustainable tourism
adalah mendorong wisatawan untuk berperilaku yang dapat meminimalkan dampak buruh terhadap
lingkungan. Oleh karena itu, tulisan ini berpendapat bahwa penelitian mengenai peran sense of place
dalam mengurangi eksternalitas negatif pada lingkungan kawasan pusaka perkotaan akan dapat
menambah referensi pengetahuan untuk indikator sustainable tourism.
Saat ini, sustainable development menjadi isu yang menarik akan tetapi tanpa adanya indikator,
konsep sustainable development ini menjadi tidak berarti. Manfaat indikator yang baik tidak hanya
untuk mengevaluasi dan mengkoordinasikan konsep pembangunan berkelanjutan, namun juga
mengidentifikasi batasan dan peluang dari waktu ke waktu. Seiring pertumbuhan industri pariwisata
yang pesat, pengembangan pariwisata yang berkelanjutan juga menjadi penting sehingga indikator
pariwisata yang berkelanjutan juga menjadi mekanisme penting yang penting (Ngamsomsuke et al.
2011).
Ngamsomsuke et al. (2011) sendiri telah membuat indikator sustainable tourism menggunakan
Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) indikator sustainable
tourism yaitu economic activites, social supports, management of cultural heritage sites, dan
surrounding environment of cultural heritage sites. Perilaku turis dalam konteks sustainable tourism,
oleh Ngamsomsuke et al. (2011), digolongkan ke dalam penilaian social support yaitu terkait kepuasan
(satisfaction) dan sikap (attitude). WTO (2004) menjelaskan bahwa yang dinilai sebagai indikator
satisfaction (kepuasan) dalam sustainable tourism adalah tingkat kepuasan pengunjung dan tingkat
kepuasan warga lokal. Menambah pemikiran tersebut, tulisan ini berpendapat bahwa selain faktor
kepuasan, faktor sense of place seharusnya juga menjadi salah satu indikator dalam penilaian social
support karena mengandung kompleksitas yang lebih tinggi dari sekadar hasil persepsi wisatawan,
yaitu bagaimana wisatawan memandang kawasan sebagai place. Peran sense of place menjadi penting
karena dapat menjadi menjadi tolok ukur pengetahuan akan keterlibatan wisatawan sebagai salah satu
stakeholder, yang memang sesuai dengan nilai dalam prinsip sustainable tourism.
Dalam konteks keberlanjutan, sense of place justru merupakan sebuah dimensi penting dalam
keberlanjutan suatu tempat, untuk mempertahankan identitas lokal, hingga memperkuat komunitas
(Beatley & Manning 1997). Strategi ini sebenarnya sejalan dengan pendekatan terbaru dalam
pelestarian kawasan yang telah menyadari pentingnya melestarikan sense of place sebagai sebuah
pengalaman ruang di perkotaan (lihat Ouf, 2001 dan Martokusumo, 2014). Beberapa pihak percaya
bahwa hubungan sense of place dan pariwisata itu sebenarnya merupakan hubungan 2 (dua) arah dan
saling mempengaruhi. Walaupun sense of place telah berhasil dibangun demi keberlangsungan
pariwisata, namun keberadaannya justru dapat terancam akibat kegiatan pariwisata itu sendiri.
Pariwisata merupakan mesin pertumbuhan dan pengembangan yang dinamis akan tetapi saat tekanan
pariwisata bersaing dengan kepentingan masyarakat, sense of place pun menjadi terancam (Binder
2008).
Di sisi lain, faktor sense of place ini dianggap unik karena sebenarnya setiap tempat memiliki
nilai-nilai yang berbeda sehingga berpotensi menghasilkan sense of place yang berbeda-beda pula.
Diperlukan indikator yang spesifik untuk dapat dikembangkan dan diterapkan di masing-masing
tempat karena adanya perbedaan geografis, budaya dan lingkungan (Ngamsomsuke et al. (2011).
Binder (2008) menyatakan bahwa walaupun kita telah mengetahui sense of place itu sangat penting
untuk dipahami oleh para aktor pelestarian, namun metode sense of place itu akan tetap menjadi
konsep yang sulit dipahami dan tersembunyi. Karena itu, dibutuhkan eksplorasi lebih lanjut bagaimana
cara untuk menilai sense of place stakeholder. Dalam konteks pariwisata, menurut Ngamsomsuke et al.
(2011), karakteristik yang berbeda-beda di setiap tempat wisata akan membutuhkan indikator
sustainable tourism yang berbeda-beda pula.

4. Conclusion
Kawasan pusaka dengan ruang yang memiliki nilai-nilai sejarah karena menyimpan
perkembangan peradaban kota, ternyata berpotensi untuk memberikan konntribusi dalam kegiatan
pariwisata perkotaan. Hal ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan utama dalam perencanaan
pusaka, seperti yang dijelaskan Nasser (2003) bahwa “symbiosis of both tourism and heritage places
has become a major objective in the management and planning of historic areas”. Bila pariwisata dan
pusaka berdampingan maka pendapatan pariwisata dapat digunakan untuk menopang dan melestarikan
lingkungan nilai pusaka (Newby 1994).
Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan wisata pusaka yang semakin meningkat untuk
memenuhi kebutuhan manusia, namun tidak mampu diimbangi oleh daya dukung lingkungan, telah
menyebabkan eksternalitas negatif pada aspek tangible lingkungan kawasan pusaka. Seperti halnya
aktivitas ekonomi lainnya, pariwisata juga memanfaatkan sumber daya sehingga menghasilkan dampak
lingkungan yang setara dengan eksploitasi jika kuantitas dan kualitas sumber daya tersebut terdegradasi
(Nasser 2003). Masyarakat lokal pun mulai resah dengan kondisi memudarnya berbagai praktek
budaya lokal (adat istiadat hingga berbagai kesenian dan kerajinan lokal) akibat adanya persinggungan
budaya lokal dengan budaya luar. Ternyata mendatangkan pengunjung ke suatu tempat bersejarah itu
berpotensi juga menganggu aspek intangible pusaka saat perilaku wisatawan yang datang tidak
berorientasi pada lingkungan. Karena itu, pengembangan destinasi pariwisata berbasis pusaka
membutuhkan strategi khusus karena aspek yang dikemas dan ‘dijual’ adalah tentang cerita dan makna
di balik sebuah situs, bukan sekadar perwujudan fisik heritage.
Di tengah kondisi semacam ini,prinsip keberlanjutan ini dalam pembangunan pariwisata
dianggap menjadi salah satu jawaban bagi permasalahan yang dialami oleh pemgbangunan pariwisata.
Pariwisata berkelanjutan dapat pula didefinisikan sebagai "pariwisata yang menghormati penduduk
lokal dan wisatawan, warisan budaya dan lingkungan". Pembangunan pariwisata dapat disebut
berkelanjutan jika pembangunan dan pengembangan kawasan pariwasata selalu berbasis keseimbangan
lingkungan hidup dan melibatkan masyarakat dan komunitas lokal.
Tulisan ini berpendapat bahwa salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk memenuhi prinsip
keberlanjutan dari aspek sosial budaya adalah dengan membangun sense of place yang berkualitas di
kawasan pusaka. Sense of place menjadi sebuah pengalaman yang terbentuk karena beraktivitas di
dalam sebuah lingkungan fisik. Konsep ini dianggap sebagai sebuah dimensi penting dalam
keberlanjutan suatu tempat karena akan memengaruhi persepsi wisatawan sehingga berdampak pada
perilaku yang berorientasi pada lingkungan. Karena itu, faktor sense of place seharusnya dapat
dijadikan sebagai salah satu bagian yang dinilai dari aspek social support, yang merupakan salah satu
indikator keberlanjutan pembangunan pariwisata di kawasan pusaka. Keberadaan kajian mengenai
sense of place dari perspektif wisatawan akan membantu metode-metode yang digunakan dalam
menilai keberlanjutan wisata pusaka di masing-masing kawasan pusaka akibat adanya perbedaan nilai
budaya dan persepsi di setiap kawasan pusaka.

References

Agmasari, S. (2017). Daftar Kelakuan Buruk Turis Indonesia yang Bikin Jengah. Kompas Travel.
http://travel.kompas.com/read/2017/07/13/190400927/daftar-kelakuan-buruk-turis-indonesia-yang-bikin-
jengah. Diakses 30 November 2017.
Apriando, T. (2015). Pembangunan Hotel Dan Mal di Yogyakarta Merusak Lingkungan. Mengapa? Mongabay
Indonesia 29 April. http://www.mongabay.co.id/2015/04/29/pembangunan-hotel-dan-mal-di-yogyakarta-
merusak-lingkungan-mengapa/. Diakses 1 Desember 2017.
Ashworth, G.J. and Tunbridge, J.E. (1990). The tourist-historic city. London: Belhaven.
Beatley, T. & Manning, K. (1997). The ecology of place : planning for environment, economy and community.
Washington, DC. : Island Press.
Bernini, C., & Cracolici, M. (2015). Demographic change, tourism expenditure and life cycle behaviour.
Tourism Management, 47, 191205
Binder, Regina (2008) Sense of Place in Sustainable Tourism Development. In: 16th ICOMOS General
Assembly and International Symposium: ‘Finding the spirit of place – between the tangible and the
intangible’, 29 sept – 4 oct 2008, Quebec, Canada.
Brundtland Commission. (1987). Our Common Future. Oxford University Press
Budihardjo, Eko. (1992). Arsitektur dan Kota di Indonesia. Alumni. Bandung.
Burns. P & Holden. A. (1997). Tourism: A New Perspective. Prestice Hall International (UK) Limited, Hemel
Hempstead.
Budiningtyas, R. (2013). Showroom Batik di Kampoeng Batik Laweyan Respon Masyarakat terhadap
Pengembangan Pariwisata Di Kawasan Cagar Budaya. Jurnal Nasional Pariwisata. Volume 5, Nomor 3,
Desember (168 - 179)
Brown, T. J. (1999). Antecedents of culturally significant tourist behavior. Annals of Tourism Research, 26(3),
676-700
Buonincontri, P., Marasco, A., & Ramkissoon, H. (2017). Visitors’ Experience, Place Attachment and
Sustainable Behaviour at Cultural Heritage Sites: A Conceptual Framework. Sustainability 9, 1112.
Butler, Diane. (2016). Dari Istilah menuju Praktek: Konsep-konsep dalam Konvensi Internasional UNESCO
untuk Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia dan Warisan Budaya Takbenda. Workshop
Workshop Pelestarian Cagar Budaya dan Warisan Budaya Takbenda di Museum Airlangga. Kediri 07 Mei
2016.
Carmona, M., Heath, T., Oc, T. & Tiesdell, S (2003) Public Places Urban Spaces, The Dimensions of Urban
Design, Architectural Press.
Cahyadi, R. & Gunawijaya, J. (2009). PARIWISATA PUSAKA Masa Depan bagi Kita, Alam dan Warisan
Budaya Bersama. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) &
Program Vokasi Pariwisata, Universitas Indonesia
Coleman, Victoria. (2004). Heritage and Sustainability: A Discussion Paper. NSW Heritage office, National
Trust of Australia. www.heritage.nsw.gov.au.
Dodds, R. and Joppe, M. (2005). CSR in the Tourism Industry? The Status and Potential for Certification, Codes
of Conduct and Guidelines. IFC/World Bank, Washington.
Drummond, S. & Yeoman, I. (2001). Quality Issues in Heritage Visitor Attractions. UK:
ButterworthHeinemann.
Furze, B., De, L. T., & Birckhead, J. (1996). Culture, conservation, and biodiversity: The social dimension of
linking local level development and conservation through protected areas. Chichester: John Wiley.
Chicago.
Graburn, Nelson H. H., Lutzi-Mitchell, Roy D. (2000). Learning to Consume: What is Heritage and When is it
Traditional? Consuming Tradition, Manufacturing Heritage. Nezar Al Sayyad, (ed.), pp. 68-89. London:
Routledge.
Gray J. (1970). International Travel – International Trade. Lexington Books. Lexington Heath.
Gunn. C.A. & Var, T. (2002). Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases. Psychology Press.
Hall, E. (1996). The Hidden Dimension. New York: Anchor Books.
Herbert, D.T. 1995. Heritage places, leisure and tourism. D. Herbert. (ed). Heritage, tourism and society.
London: Pinter. 1–20
Herbert, D.T. 1997. Heritage, Tourism, and Society, London: Pinter Press.
Idid, S. Z. A. (2005). Urban conservation approach for a multi cultural historic cities: The urban planning and
design perspective: case study, Historic City of Malacca. Department of Urban Engineering, University of
Tokyo.
Indrawati, Y. 2010. Pelestarian Warisan Budaya Bali dalam Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan di Kota
Denpasar. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global. Denpasar: Udayana University Press.
Jamieson, W. (1998). Cultural Heritage Tourism Planning and Development: Defining the Field and Its
Challenges. APT Bulletin, Vol. 29, No. 3/4, Thirtieth-Anniversary Issue pp. 65-67.
Jansen-Verbeke, M. (1997). Urban tourism: Managing resources and visitors. In S. Wabab & J. Pigram (Eds.),
Tourism development & growth: The challenge of sustainability (pp. 237–256). London: Routledge
Jiven, Gunila dan Larkham, Peter. (2003). Sense of Place, Authenticity and Character: A Commentary. Journal
of Urban Design, Vol. 8, No. 1, 67–81. Carfax Publishing.
Joga, Nirwono. (2017). Gerakan Kota Hijau Berkelanjutan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Larkham P. J. (1995) 'Heritage as Planned and Conserved', in Herbert D. T. (eds) Heritage, Tourism and Society,
Mansell, London, 85–116.
Liu, Z. (2003). Sustainable tourism development : a critique. Journal of Sustainable Tourism Vol. 11 Issue 6 pp.
459-475.
Martokusumo, Widjaja. (2014). Kota (Pusaka) Sebagai Living Museum. Makalah dalam Temu Pusaka Indonesia
2014 di Galeri Cemara, Jakarta, 7-9 September 2014.
Maryani, E. (1991). Pengantar Geografi Pariwisata. Bandung: Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS IKIP.
Matondang, D. (2017). Kota Tua Ramai Pengunjung, Sayang Ada yang Buang Sampah Sembarangan. Detiknews Senin
26 Juni. https://news.detik.com/berita/d-3542590/kota-tua-ramai-pengunjung-sayang-ada-yang-buang-sampah-
sembarangan. Diakses 1 Desember 2017.
Maulana, Addin. (2015). Pengaruh Kunjungan Wisatawan Mancanegara Dan Perjalanan Wisatawan Nusantara
Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pariwisata Di Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol.
11 No. 1 Juni.
Ministry of Culture and Tourism in collaboration with UNESCO Office. (2009). Practical Handbook for
Inventory of Intangible Cultural Heritage of Indonesia. Jakarta.
Mowforth, M. & Munt, I. (1998). Tourism and Sustainability: New Tourism in the Third World. Psychology
Press.
Munasinghe, Mohan. (1993). Environmental economics and natural resource management in developing
countries. Committee of International Development Institutions on the Environment.
Nasser, Noha. (2003). Planning for Urban Heritage Places: Reconciling Conservation, Tourism, and Sustainable
Development. Journal of Planning Literature, Vol. 17, No. 4. Sage Publications.
Ngamsomsuke, W., Hwang, T. & Huang, C. (2011). Sustainable Cultural Heritage Tourism Indicators.
International Conference on Social Science and Humanity IPEDR vol.5. IACSIT Press, Singapore.
Newby, P.T. (1994). TOURISM Support or threat to heritage? Building a new Heritage: Tourism, Culture and
Identity, New York, Routledge, pp.206-228.
Orbasli, Aylin. (2000). Tourist in Historic Towns. Urban Conservation and Heritage Management. London &
New York. E & FN Spon.
Ouf, Ahmed M. Salah. (2000). Authenticity and the Sense of Place in Urban Design. Journal of Urban Design.
Patria T. (2015). Dinamika Perkembangan Pariwisata Pusaka: Tinjauan Dari Sisi Penawaran Dan Permintaan Di
Kota Bandung. Binus Business Review Vol. 6 No. 2 Agustus: 169-183.
Pendit, N.I. (1999). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : Pradya Paramita
Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. (2003). Badan Pelestarian Pusaka Indonesia.
http://www.indonesianheritage.org/produk-hukum/74-piagam-pelestarian-pusaka-indonesia.html.
Diunduh: 1 Oktober 2016.
Pitana, I Gde., & Gayatri, Putu G. (2005). Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : CV Andi Offset.
Poria, Y., Butler, R., Airey, D. (2003). The Core of Heritage Tourism. Annals of Tourism Research, 30(1): 238-
254, Great Britain: Elsevier Science Ltd.
Prentice, R. (1994). Heritage Tourism. New Jersey.
Priyani, Rina. (2007). Pluralitas dalam Teori Perencanaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.18/No.3,
Hal. 23-37.
Rapoport, A. (1977). Human Aspect of Urban Form: Towards a Man - Environment Approach to Urban Form
and Design. Pergamon Press.
Sanyal, B. (2005). Comparative Planning Cultures. Routledge. New York & London.
Saputra, G. (2017). Vandalisme Semarang.
Duh, Cagar Budaya Kota Lama Dicoret-Coret. Solo Pos Minggu 29 Oktober.
http://www.solopos.com/2017/07/16/vandalisme-semarang-duh-cagar-budaya-kota-lama-dicoret-coret-
833947. Diakses 29 November 2017.
Setiawan, T.S. (2017). Pengunjung Membeludak, Sampah Kota Tua Berserakan. Tempo.co 29 Juli.
https://metro.tempo.co/read/596351/pengunjung-membeludak-sampah-kota-tua-berserakan. Diakses 1
Desember 2017.
Shamsuddin, S. & Sulaiman, A. B. (2002). The Importance of Conserving the Old Town Centre in Achieving a
Sustainable Built Environment of the Future. In: National Seminar on Built Environment: Sustainability
through Management and Technology.
Soini, K., Vaaralab, H., & Poutaa, E. (2012). Residents’ sense of place and landscape perceptions at the rural–
urban interface. Landscape and Urban Planning, 104, 124–134.
Suwena, I.K. (2010). “Format Pariwisata Masa Depan” dalam “Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis
Global”. Denpasar: Penerbit Udayana University Press.
Robins, S. & Novaco, R.W. (1999). Systems conceptualization and treatment of anger. Journal of Clinical
Psychology Vol. 55 Issue 3 March Pages 325–337
Shaw G. & Williams, A.M. (1997). Critical Issues in Tourism: A Geographical Perspective. Oxford: Blackwell
Publishers.
Shirvani, Hamid. (1985). The Urban Design Process. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
Sidharta dan Budihardjo, Eko. (1989). Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Simanjuntak, T.P. (2015). Tong Sampah Animasi Banyak yang Rusak. BeritaJakarta. Website Berita Resmi
Pemprov. DKI. Senin 12 Januari.
http://www.beritajakarta.id/read/7499/Tong_Sampah_Animasi_Banyak_yang_Rusak#.WijxfVWWbIU.
Diakses 30 November 2017.
Soini, K., H. Vaarala, and E. Pouta. (2012). Residents’ sense of place and landscape perceptions at the rural–
urban interface. Landscape and Urban Planning 104:124-134
Spillane, J.J. (1994). Pa riwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Spillane, JJ. (2002). Ekonomi Pariwisata: Sejarah danProspeknya. Yogyakarta: Kanisius.
Srinivas, S. (2015) A Place for Utopia: Urban Designs from South Asia. Seattle: University of Washington Press
and Hyderabad: Orient Blackswan.
Stubbs, M. (2004). Heritage-sustainability: Developing A Methodology for The Sustainable. Planning Practice &
Research, 19:3, 285-305.
Sugiarta, A.A.G. (2008). Dampak Bising dan Kualitas Udara pada Lingkungan Kota Denpasar. Jurnal Bumi
Lestari Vol. 8 No.2 Agustus, hal. 162-167.

Anda mungkin juga menyukai