Anda di halaman 1dari 102

MODEL KONSELING KELUARGA DALAM PERSPEKTIF

MUBADALAH SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN RELASI


KELUARGA YANG SEHAT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


sidang munaqosyah pada jurusan Bimbingan Konseling Islam

Eva Zulfauzah
NIM. 1708306078

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CIREBON
1443 H / 2021 M
MODEL KONSELING KELUARGA DALAM PERSPEKTIF
MUBADALAH SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN RELASI
KELUARGA YANG SEHAT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


sidang munaqosyah pada jurusan Bimbingan Konseling Islam

Eva Zulfauzah
NIM. 1708306078

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CIREBON
1443 H / 2021 M
ABSTRAK

Eva Zulfauzah: Model Konseling Keluarga dalam Perspektif


Mubadalah sebagai Upaya Menciptakan Relasi Keluarga yang Sehat

Banyak persoalan rumit yang dihadapi oleh setiap keluarga.


Persoalan tersebut kerapkali menyakiti anggota keluarga secara fisik
maupun psikis. Faktor pemicu dari persoalan tersebut beragam, akan tetapi
kebanyakan korban dari persoalan tersebut adalah perempuan dan anak-
anak yang seringkali di anggap lemah. Sehingga yang tadinya keluarga
menjadi tempat untuk berlindung dan nyaman, justru menjadi tempat yang
membawa keburukan. Hal ini dikarenakan hubungan yang dibangun dalam
suatu keluarga tersebut tidaklah sehat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengupayakan relasi yang sehat
dalam keluarga menurut perspektif mubadalah dan mengetahui model
konseling keluarga berspektif mubadalah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka
atau library research. Dimana sumber data yang diperoleh dari penelitian
ini berasal dari buku Qira'ah mubadalah dan tulisan atau artikel yang
membahas tentang mubadalah maupun konseling.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mubadalah dalam
memandang kehidupan keluarga yaitu bahwa seluruh anggota keluarga di
dalamnya merupakan sistem yang memiliki ketergantungan dan
ketersalingan Selain itu, mubadalah dalam mewujudkan relasi yang sehat
di dalam keluarga dengan membangun lima pilar penyangga kehidupan
keluarga dan mempelajari 5 bahasa cinta. Kemudian, konsep mubadalah
pun dapat dijadikan sebagai model konseling keluarga dengan
mengkombinasikan antara konseling feminis dan konseling relasi.

Kata kunci : Konseling Keluarga, Mubadalah, Relasi Sehat

i
ABSTRACT

Eva Zulfauzah: Model Konseling Keluarga dalam Perspektif


Mubadalah sebagai Upaya Menciptakan Relasi Keluarga yang Sehat

There are many complex problems faced by every family.


These problems often hurt family members physically and
psychologically. The triggering factors for these problems are various, but
most of the victims of these problems are women and children who are
often considered weak. So that what was once a family as a place of refuge
and comfort, has become a place that brings ugliness. This is because the
relationship that is built in a family is not healthy.
This study aims to seek healthy relationships in the family
according to the perspective of muballah and to find out the model of
family counseling with the perspective of muballah.
The method used in this research is library research. Where the
source of the data obtained from this research comes from the book Qira'ah
muballah and writings or articles that discuss muballah and counseling.
The results of this study indicate that mublah in looking at
family life is that all family members in it are a system that has
dependence and interdependence. In addition, mublah is in realizing
healthy relationships within the family by building five pillars supporting
family life and learning the 5 love languages. Then, the concept of mublah
can be used as a model of family counseling by combining feminist
counseling and relationship counseling.

Keywords: Family Counseling, Mubadalah, Healthy Relationships

ii
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Eva Zulfauzah lahir di Cirebon pada tanggal 05 Oktober


1999. Merupakan anak kelima dari enam bersaudara dan lahir dari pasangan
suami istri Bapak Amin dan Ibu Rofiqoh. Penulis bertempat tinggal di Desa
Buntet, Kec. Astanajapura, Kab. Cirebon, RT/RW 003/005, kode pos 45181.

PENDIDIKAN FORMAL
1. 2005-2011 : MI Wathoniyah Putri Buntet Pesantren
2. 2011-2014 : Mts NU Putri 3 Buntet Pesantren
3. 2014-2017 : MA NU Putri Buntet Pesantren Cirebon
4. 2017-2021 : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati
Cirebon, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Jurusan Bimbingan dan
Konseling Islam
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Sekretaris KOPRI An-Nahdloh (2018-2019)
2. Sekretaris Umum HIMA BKI (2019-2020)
3. Ketua Koord. Biro Keilmuan PMII An-Nahdloh (2019-2020)
4. Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) FUAD (2020-2021)
5. Penggerak Komunitas Gusdurian Cirebon (2019 – sekarang)

iii
MOTTO

“Be the Best Version of Yourself”

iv
OTENTISITAS SKRIPSI

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Model
Konseling Keluarga dalam Perspektif Mubadalah sebagai Upaya
Menciptakan Relasi Keluarga yang Sehat” ini beserta seluruh isinya
merupakan karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan dengan cara-cara
yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.

Atas pernyataan ini, saya menanggung resiko atau sanksi atau apapun
yang dijatuhkan kepada saya dengan peraturan yang berlaku. Apabila di kemudian
hari adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan, atau ada klaim terhadap karya
yang telah saya buat ini.

Cirebon, 25 Agustus 2021

Yang membuat pernyataan

Eva Zulfauzah
NIM. 1708306078

v
LEMBAR PERSETUJUAN

MODEL KONSELING KELUARGA DALAM PERSPEKTIF


MUBADALAH SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN RELASI
KELUARGA YANG SEHAT

Disusun oleh

Eva Zulfauzah
NIM. 1708306078

Menyetujui:

Pembimbing I pembimbing 2

Drs. Abd Basit, M.Ag Drs. Muzaki, M.Ag


NIP. 196505141996031001 NIP. 196607201999031001

Mengetahui:
Ketua Jurusan BKI

Drs. Muzaki, M.Ag


NIP. 196607201999031001

vi
PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Model Konseling Keluarga dalam Perspektif


Mubadalah sebagai Upaya Menciptakan Relasi Keluarga yang Sehat” oleh
Eva Zulfauzah, NIM 1708306078, telah di munaqosyahkan pada hari Senin,
tanggal 30 September 2021 di hadapan dewan penguji dan dinyatakan LULUS.
Skripsi ini telah memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.sos) pada Jurusan Bimbingan Konseling Islam Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon.
Tanggal Tanda Tangan
Ketua Jurusan
Drs. Muzaki, M.Ag
NIP. 196607201999031001 _______________ _________________

Sekertaris Jurusan
Dr. Jaja Suteja, M.Pd.I
NIP. 198307052011011014 _______________ _________________

Penguji 1
Dr. Arief Rachman, M.Si
NIP. 196909272000031003 _______________ _________________

Penguji 2
Dr. Jaja Suteja, M.Pd.I
NIP. 198307052011011014 _______________ _________________

Pembimbing 1
Drs. Abd Basit, M.Ag
NIP. 196505141996031001 _______________ _________________

Pembimbing 2
Drs. Muzaki, M.Ag
NIP. 196607201999031001 _______________ _________________

Mengetahui,
Dekan Fakultas Ushuluddin Adab, dan Dakwah

Dr. Hajam, M.Ag


NIP. 1967707212003121002

vii
NOTA DINAS

Kepada
Yth. Ketua Jurusan BKI
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Di Cirebon.

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Setelah melaksanakan bimbingan, arahan, dan koreksi terhadap penulisan


skripsi berikut ini:

Nama : Eva Zulfauzah

NIM : 1708306078

Judul : Model Konseling Keluarga dalam Perspektif Mubadalah sebagai


Upaya Menciptakan Relasi Keluarga yang Sehat

Kami bersepekat bahwa skripsi tersebut sudah dapat diajukan pada Jurusan BKI
Fakultas Ushuluddin Adab, dan Dakwah IAIN Syekh Nurjati Cirebon untuk di
Munaqosyahkan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Cirebon, 25 Agustus 2021

Pembimbing I pembimbing 2

Drs. Abd Basit, M.Ag Drs. Muzaki, M.Ag


NIP. 196505141996031001 NIP.196607201999031001

viii
PERSEMBAHAN

Persembahan ini merupakan sebagai perwujudan rasa terimakasih kepada


orang-orang yang telah beriringan dan berdampingan bersama saya dalam
melalui berbagai proses dan dinamika selama perkuliahan dengan di akhiri
sebuah karya penyusunan skripsi ini. Saya persembahkan untuk orang-
orang terkasih yaitu :
1. Untuk diri saya sendiri. Saya sangat berterimakasih pada diri saya
yang telah begitu hebat melewati berbagai macam dinamika dalam
hidup ini, yang termasuk proses perkuliahan dan menyelesaikannya.
Saya sangat cinta pada diri saya dan sangat berterimakasih sedalam-
dalamnya.
2. Terima kasih kepada kedua orang tua, yang mengharu biru selalu
mendoa demi kebaikan anaknya ini, sehingga sampailah pada anaknya
dapat merampungkan kuliahnya. Salam cinta untuk Bapak Amin dan
Ibu Rofiqoh.
3. Kepada saudara-saudara saya, yang telah menginspirasi dalam memilih
untuk berada di bangku kuliah.
4. Kepada sahabat pilpres, Neni, Niswah, Bul-bul, Mpit, Ucup, Isal,
Fadli, Ojan, terimakasih telah membersamai dan selalu mensupport
selama menjalani perkuliahan ini, bukan hanya itu, pun telah
mensupport dan menguatkan di lain hal, seperti minat dan bidang yang
ingin digeluti masing-masing. Thank you so much.
5. Kepada Mba Fida dan Mba Agung Qona'ah, yang telah menjadi kakak
terbaik, yang tidak bosan menuntun dan membimbing saya. Saya
haturkan terimakasih sebanyak-banyaknya karena saya sering
mengganggu dan mengusik kalian.
6. Kepada teman-teman berproses saya, Maul, Nihay, Anjar dan Oyah,
terimakasih telah sampai di sini akhirnya kita saling menguatkan,
semoga sampai seterusnya kita menjadi sahabat.

ix
7. Kepada sahabat-sahabat saya yaitu keluarga besar Rayon Annahdloh
Fakultas UAD, terimakasih tak terhingga telah mengizinkan saya
berproses dan menjadi bagian keluarga besar ini. Yang menjadi bagian
yang tak terlepas pada proses perjalanan kuliah ini. Jazakumullah
ahsanal jaza.
8. Kepada para penggerak Gusdurian Cirebon pula, yang telah
mengiringi proses dan senantiasa mewujudkan hal-hal baik dalam
hidup saya.
9. Kepada partner SEMA periode 2020-2021, partner HIMABKI periode
2019-2020, jazakumullah telah mempercayakan saya untuk
mengemban tanggung jawab kepengurusan.
10. Kepada angkatan BKI B 2017 yang telah mewarnai pula dalam
mengisi kelas-kelas bersama.
11. Kepada Pak Kiai Faqihuddin, yang telah menginspirasi atas konsep
mubadalahnya dalam pembuatan skripsi ini.
12. Kepada manusia-manusia yang pernah hadir dalam mewarnai
perjalanan selama saya kuliah maupun berorganisasi yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu.

x
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, atas berkat , rahmat, dan
hidayah-Nya penulis telah menyelesaikan skripsi dengan judul “Model Konseling
Keluarga dalam Perspektif Mubadalah sebagai Upaya Menciptakan Relasi
Keluarga yang Sehat” .

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.sos) pada jurusan Bimbingan Konseling dan Islam IAIN Syekh
Nurjati Cirebon. Skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta bimbingan
dan motivasi dari berbagai pihak penulis. Untuk itu, dengan segala kerendahan
hati penulis mengucapkan terimakasih setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. H. Sumanta, M.Ag, selaku Rektpr IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
2. Bapak Dr. Hajam, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab, dan
Dakwah IAIN Syekhnurjati Cirebon
3. Bapak Drs. Muzaki, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Bimbingan Konseling
dan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon sekaligus Dosen Pembimbing II.
4. Bapak Drs. Abd Basit, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing I.

Penulis menyadari sepenuhnya masih terdapat kekurangan dalam penulisan


skripsi ini. Penulis menerima saran dan kritis yang konstruktif guna
menyempurnakan skripsi ini. Semoga amal baik Bapak/Ibu/Saudara/Saudari yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini mendapat pahala dari Allah SWT,
Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Cirebon, 25 Agustus 2021


Eva Zulfauzah

xi
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii

RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. iii


MOTTO ................................................................................................................ iv
OTENTISITAS SKRIPSI ......................................................................................v

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ vi


PENGESAHAN ................................................................................................... vii
NOTA DINAS ..................................................................................................... viii

PERSEMBAHAN ................................................................................................. ix
KATA PENGANTAR .......................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................1
B. Perumusan Masalah...............................................................................5
C. Tujuan Penelitian...................................................................................6
D. Kegunaan Penelitian..............................................................................6
E. Literatur Review ....................................................................................6
F. Sistematika Penulisan ............................................................................8

BAB II LANDASAN TEORI


A. Model Konseling Keluarga .................................................................9
1. Pengertian Model .........................................................................9
2. Pengertian Konseling ...................................................................9
3. Keluarga .....................................................................................11
4. Konseling Keluarga ...................................................................18
B. Perspektif Mubadalah .......................................................................22
1. Pengertian Perspektif ....................................................................22
2. Konsep Mubadalah .......................................................................22
3. Makna Mubadalah ........................................................................25
C. Relasi Keluarga yang Sehat ..............................................................27
1. Pengertian Relasi ..........................................................................27

xii
2. Relasi dalam Keluarga ..................................................................29
3. Kekerasan dalam Relasi ................................................................35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN DAN SEKILAS TENTANG BUKU


QIRA’AH MUBADALAH
A. Metodologi Penelitian .......................................................................38
1. Jenis Penelitian .............................................................................38
2. Pendekatan Penelitian ...................................................................39
3. Sumber Data .................................................................................40
4. Teknik Pengumpulan Data............................................................40
5. Analisis Data .................................................................................41
B. Sekilas Tentang Buku Qira’ah Mubadalah .......................................42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Konsep Mubadalah Faqihuddin Abdul Kodir dalam Memandang Isu
Keluarga ............................................................................................45
B. Mengupayakan Relasi Keluarga yang Sehat Menurut Konsep
Mubadalah ........................................................................................57
1. Urgensi Relasi Sehat dalam Keluarga ..........................................57
2. Relasi Timbal Balik atau Berkesalingan Sebagai Upaya
Mewujudkan Relasi yang Sehat dalam Keluarga .............................61
3. Ekspresi 5 Bahasa Kasih dalam Menjalin Relasi yang Sehat .......64
C. Konseling Keluarga Menggunakan Perspektif Mubadalah ..............67
1. Teknik Konseling Keluarga Menggunakan Perspektif Mubadalah68
2. Sikap atau Sifat yang Harus Di miliki Konselor...........................75

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................76
B. Saran .................................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................79

LAMPIRAN

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Individu terlahir sebagai bagian dari keluarga. Perananan keluarga
menentukan kualitas pribadi dari seorang individu. Baik buruk individu
sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Keluarga ialah kelompok
masyarakat terkecil yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang
lainnya yang tinggal dan berkumpul disuatu tempat di bawah satu atap
(rumah) dalam kondisi yang saling ketergantungan (Departemen
Kesehatan dalam Jaja & Muzaki, 2019). Dengan begitu, gambaran suatu
masyarakat dapat dilihat dari unit terkecil yaitu keluarga. Peranan keluarga
memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Karena keluarga adalah cikal bakal melahirkan generasi
penerus.
Dalam hal ini keluarga dapat di ibaratkan sebagai miniatur
masyarakat yang memberikan perlindungan untuk memberikan
kenyamanan dan kehangatan, tempat kembali pulang dari ancaman fisik
maupun psikologis, pemenuhan kebutuhan dasar biologis, pendidikan
pertama dan utama bagi anak, berfungsi ekonomis, dan penanaman nilai-
nilai religius dan spiritual. Menurut Yusi Riksa Yustiana (2000) keluarga
berfungsi sebagai pemberi rasa aman dan nyaman, sumber dari pemenuhan
kebutuhan pokok, kasih sayang, penerimaan, pengembangan perilaku
bermasyarakat, adaptasi diri terhadap lingkungan, tempat pembelajaran
pertama, pengembangan potensi dan lain sebagainya. Akan tetapi,
keberlangsungan dalam kehidupan berkeluarga tidak dapat berjalan secara
mulus-mulus saja karena setiap keluarga memiliki permasalahan masing-
masing sehingga hal tersebut dapat menghambat fungsi serta yang
semestinya keluarga lakukan.

1
2

Menurut Maryatul Kibtiyah (2014) persoalan yang kerapkali


muncul dalam kehidupan berkeluarga ialah persoalan ekonomi yang belum
mapan, kepribadian yang terlampau jauh perbedaannya ketidakpuasan
dalam hubungan seksual, kejenuhan rutinitas, kurang baiknya hubungan
dalam keluarga, perselingkuhan, masalah harta dan warisan, menurunnya
perhatian diantara suami/istri, orang tua/mertua yang ikut campur dalam
rumah tangga, kesalahpahaman antara kedua belah pihak, poligami dan
perceraian. Hal-hal tersebut memang kerap kali di jumpai dalam
permasalahan keluarga, namun hal tersebut pula yang menjadikan bumbu
dan bara api untuk memunculkan konflik yang lebih besar dan berujung
pada kekerasan seperti KDRT. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU)
yang disusun oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) tahun 2020 yang terjadi sepanjang tahun 2019
mencatat kasus KDRT mencapai angka 75% (11.105 kasus). Kekerasan
yang menempati peringkat pertama yaitu kekerasan fisik sebanyak 4.783
kasus (43%), disusul kekerasan seksual mencapai angka 2.807 kasus
(25%), kemudian psikis 2.056 (19%) dan ekonomi sebesar 1.459 kasus
(13%) (www.komnasperempuan.go.id). Dalam kasus kekerasan tersebut
korban bukan hanya perempuan dan anak perempuan saja, melainkan
terhadap laki-laki juga. Akan tetapi, kebanyakan korbannya adalah
perempuan.
Selain kasus KDRT yang semakin meningkat pertahunnya, kasus
perceraian pun sama demikian. Menurut Direktur Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Kemenag RI Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA
mengatakan bahwa secara nasional tingkat perceraian di Indonesia sangat
tinggi, setiap tahunnya dapat mendekati angka 500 ribu. Menurutnya
angka percerian tersebut di sebabkan karena kehidupan yang tidak
harmonis dan pertengkaran suami istri dalam menjalankan bahtera rumah
tangga, serta kekurangan ilmu pengetahuan mengenai adab dan makna
pernikahan (https://bengkulu.kemenag.go.id). Perceraian bukan hanya
berdampak pada perpecahan keluarga saja, namun juga berdampak pada
3

psikologis anggota keluarganya, anak pun turut merasakan. Ketika orang


tua memutuskan untuk bercerai, anaklah yang akan menjadi korban paling
terluka. Mereka akan merasa takut sebab kehilangan sosok ayah atau
ibunya juga akan merasa kehilangan kasih sayang karena tidak lagi tinggal
dalam satu rumah. Seorang anak sering menyendiri dan prestasinya di
sekolah akan menurun. Anak-anak yang sudah sedikit lebih besar dapat
merasa terjepit di tengah-tengah kedua orangtuanya. Sehingga hal itu
rentan membuat anak terlibat dalam pergaulan yang buruk sebagai
pelariannya, seperti narkoba dan lain sebagainya (Jaja & Muzaki, 2019).
Masalah-masalah tersebut berawal dari hal-hal kecil yang tidak
dapat diselesaikan oleh anggota keluarganya, baik itu antara suami dengan
istri, orang tua dengan anak atau kakak dengan adik. Hal ini dikarenakan
tidak setiap anggota keluarga dapat memahami peranannya masing-
masing. Faktor pemicu dapat pula disebabkan oleh pernikahan dini dan
penganut sistem patriarki dalam berkeluarga. Sehingga dalam menjalankan
kehidupan rumah tangga terdapat pola hubungan atau relasi antar anggota
yang tidak sehat, yaitu ada yang mendominasi dan ada yang dirugikan di
dalam kelurga baik itu suami, istri ataupun anak. Kondisi tersebut jika
dibiarkan terus menerus bisa jadi akan berdampak pada fisik atau psikis
anggota keluarga yang dirugikan, dan dalam hal ini keluarga tidak lagi
memberikan kebermanfaatan atau kebaikan.
Keluarga yang sehat dan harmonis bukan berarti keluarga yang
tanpa konflik dan masalah. tetapi keluarga yang dapat membangun relasi
yang baik tanpa ada dominasi dan kekerasan di dalamnya, yang terdapat
bentuk kesalingan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota
keluarga. Seperti saling menghormati, saling bekerja sama, saling
mendukung, saling menciptakan suasana yang nyaman sehingga akan
menciptakan kebaikan dan kemaslahatan dalam keluarga, sebagaimana
ayat Al-Qur’an yaitu: Fa Imsaakun bi ma’ruufin aw tasriihun bi ihsaanin :
“ikatan keluarga itu harus dikelola dalam kebaikan, dan jika berpisah juga
harus dengan kebaikan pula” (Al-Baqarah dalam
4

referensi.mubadalahnews.com). KDRT dan perceraian adalah puncak


bentuk ketidakharmonisan yang ada pada keluarga. Karena masih banyak
bentuk-bentuk relasi yang tak sehat dan tidak harmonis dalam keluarga.
Hal tersebut dikarenakan masih banyak keluarga yang menganut
sistem patriarki. Dimana dalam kehidupan patriarki seluruh keputusan dan
sudut pandang diambil dari perspektif laki-laki (suami) sehingga mau
tidak mau perempuan (istri) harus mengikuti apapun yang dikatakan oleh
laki-laki (suami). Artinya laki-laki memegang kekuasaan tertinggi di atas
perempuan. Belum lagi hal tersebut di langgengkan oleh penafsiran teks-
teks Al-Qur'an dan hadis yang konservatif dan lagi-lagi masih bersudut
pandang pada laki-laki. Hal ini menjadi tidak adil karena seringkali dalam
konteks berkeluarga suami dapat menggunakan kekuasaan tersebut untuk
melemahkan istrinya. Atas dasar itu tidak heran jika banyak kasus-kasus
KDRT yang terjadi. Hal ini menjadi tidak relevan dengan tujuan
pernikahan yakni sakinah mawaddah warahmah dan Islam sebagai agama
yang adil. Islam sendiri menempatkan standar moral tertinggi yaitu pada
perilaku Mulia seseorang terhadap keluarganya sebagaimana Aisyah Ra.
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "sebaik-baiknya orang di
antara kalian adalah yang terbaik perilakunya terhadap keluarganya dan
aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan
keluarga." (Sunan al-Tirmidzi dalam Faqihuddin Abdul K, 2019).
Oleh karena itu penting sekali pembacaan dan penafsiran ulang
terhadap teks Al-Quran dan Hadis yang adil kepada laki-laki dan
perempuan. Agar relasi yang terjalin itu sehat dan ketersalingan,
menjauhkan dari kemudharatan dan menciptakan kemaslahatan. Hal
tersebut perlu dibangun dalam keluarga. Untuk membentuk pola relasi
keluarga yang demikian, perlu adanya konseling keluarga yang memiliki
perspektif adil gender agar tidak terjadi ketimpangan relasi dalam
berkeluarga. Dalam hal ini yaitu menggunakan konseling keluarga
menurut perspektif mubadalah. Mubadalah merupakan cara pandang dan
penafsiran ulang teks Al-Qur'an dan Hadis agar adil terhadap laki-laki dan
5

perempuan untuk membentuk relasi ketersalingan atau resiprokal.


Penggagas dari konsep mubadalah yaitu Faqihuddin Abdul Kodir. Penulis
berasumsi bahwa dalam konsep mubadalah terdapat prinsip-prinsip
konseling yang mana memberikan pemahaman kepada anggota keluarga
untuk membentuk relasi yang sehat dalam keluarga. Tentu berdasar pada
keislaman yaitu Al-Quran dan Hadis. Hal tersebut dapat menjadi referensi
bagi dunia konseling khususnya konseling keluarga yang masih minim
berdasarkan pada keislaman. Maka berkenaan hal tersebut penulis tertarik
untuk meneliti terkait pembentukan relasi keluarga yang sehat
menggunakan konsep mubadalah dengan judul "Model Konseling
Keluarga dalam Perspektif Mubadalah sebagai Upaya Menciptakan Relasi
Keluarga yang Sehat".

B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan, dapat di
identifikasikan masalah sebagai berikut :
a. Kekerasan dan perpecahan yang terjadi dalam keluarga
b. Dominasi salah satu anggota keluarga
c. Ketidakharmonisan dan relasi yang tidak sehat dalam keluarga
d. Sehingga berdampak pada kondisi psikologis anggota keluarga.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mencegah pelebaran pembahasan dalam penelitian ini
pembatasan masalah nya adalah seputar relasi keluarga yang tidak
sehat yang mengakibatkan berdampaknya pada kondisi psikologis
anggota keluarga, oleh karena itu penelitian ini mengupayakan dan
menciptakan relasi keluarga yang sehat melalui konseling keluarga
dengan menggunakan perspektif mubadalah.
3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut dapat dirumuskan
pertanyaan sebagai berikut :
6

a. Bagaimana konsep mubadalah Faqihuddin Abdul Qodir dalam


memandang isu keluarga?
b. Bagaimana mengupayakan relasi keluarga yang sehat menurut
konsep mubadalah ?
c. Bagaimana konseling keluarga menggunakan perspektif
mubadalah ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep mubadalah Faqihuddin Abdul Qodir
dalam memandang isu keluarga.
2. Untuk mengemukakan bagaimana upaya membentuk relasi
keluarga yang sehat menurut perspektif mubadalah.
3. Mengetahui proses konseling keluarga menggunakan perspektif
mubadalah.

D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Kegunaan penelitian ini secara teoritis di harapkan dapat
mengembangkan dunia konseling khususnya dalam persoalan
keluarga. Serta di harapkan pula hasil penelitian ini dapat dijadikan
referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis
Kegunaan penelitian ini secara praktis diharapkan dapat mampu
memberikan wawasan bagi para pembaca dan praktisi konseling
khususnya di bidang konseling keluarga. Kemudian diharapkan pula
dapat dipraktikkan dalam kehidupan berkeluarga.

E. Literatur Review
1. "Analisis Konseling Resiprokal Untuk Meningkatkan Sensitifitas
Gender Pada Pasangan Suami Istri (Kajian Bimbingan Konseling
7

Islam faqihuddin Abdul Kodir)" (Rafi Fauzan Al Baqi dan Agus


Santoso, Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang
bermaksud untuk eksplorasi dan verifikasi. penelitian tersebut
menghasilkan kesimpulan analisis yaitu Bahwa konseling resiprokal
telah berhasil meningkatkan sensitifitas gender pada pasangan suami
istri. persamaan pada penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-
sama menggunakan konsep mubadalah. Akan tetapi, Penelitian yang
dilakukan oleh peneliti ini lebih di fokuskan pada konseling keluarga
dalam upaya menciptakan keluarga sehat kemudian metode yang
digunakan peneliti yaitu dengan menggunakan studi pustaka atau
library research.
2. "Peran Konseling keluarga dalam menghadapi gender dengan segala
permasalahannya (Maryatul Kibtyah berupa skripsi UIN Walisongo
Semarang)"
Gender identik dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Permasalahan yang dibawa ke dalam proses konseling akan melibatkan
seluruh anggota keluarga, karena pada dasarnya jenis kelamin laki-laki
dan perempuan ini akan selalu hadir dalam sebuah keluarga manakala
mereka sudah diikat oleh tali perkawinan yang sah. Oleh karena itu
membicarakan gender secara otomatis akan berbicara juga masalah
keluarga. Kompleksnya permasalahan yang diakibatkan oleh gender
dalam sebuah keluarga, misalnya perbedaan pendapat tentang
pentingnya pendidikan dalam keluarga, karir suami/istri, kepengurusan
anak, kenakalan anak, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
yang dialami istri/perempuan dan anak-anak, semua ini harus
diselesaikan secara kekeluargaan dengan bantuan konselor yang
memahami gender dengan segala permasalahan yang
ditimbulkannyaPenelitian ini Bertujuan untuk mengurai tentang proses
konseling keluarga dengan menggunakan peranan gender sebagai
alternatif pemecahan masalahnya.
8

3. "Urgensi konseling keluarga dalam menciptakan keluarga sakinah (di


susun oleh Risdawati Siregar yang berupa jurnal Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi IAIN Padangsidimpuan)"
Pada penelitian ini dapat di simpulkan bahwa konseling keluarga
merupakan upaya untuk memberikan konsep-konsep, dasar-dasar
teoritik, prinsip dan asas bimbingan konseling beserta pengembangan
dan aplikasinya dalam berkeluarga dan perkawinan untuk membentuk
keluarga sakinah. Persamaan dari penelitian ini adalah cakupan kajian
tentang konseling keluarga, kemudian Perbedaannya terletak pada
pemakaian teori dan tujuan dari konseling keluarga. Pada penelitian
Risdawati Siregar penelitian dilakukan untuk menciptakan keluarga
sakinah sedangkan pada penelitian ini yaitu untuk menciptakan
keluarga sehat dan harmonis.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri atas lima bab, dimana pada setiap babnya
terdapat sub-sub bab. Agar penulisan skripsi ini tersusun secara
sistematis maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai
berikut :

1. BAB I, berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar


belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, literatur review, dan sistematika
penulisan.
2. BAB II, pada bab ini berisi tentang landasan teori dari para
ahli yang berkaitan dengan keluarga sehat, konseling keluarga
dan mubadalah.
3. BAB III, berisi tentang metodologi penelitian yang meliputi
metode pendekatan, jenis pendekatan, sumber data, teknik
pengumpulan data, dan analisis data.
9

4. BAB IV, pada bab ini berisi tentang paparan hasil penelitian,
mengemukakan dan menarasikan konseling keluarga menurut
perpektif mubadalah.
5. BAB V, berisikan kesimpulan pokok penelitian serta saran
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Model Konseling Keluarga


1. Pengertian Model
Model merupakan representasi dari suatu benda, objek atau ide-ide
berbentuk kondisi atau fenomena alam yang disederhanakan. Model berisi
tentang informasi-informasi suatu fenomena yang di buat untuk
mempelajari fenomena sistem yang sebenarnya. Model dapat merupakan
tiruan dari suatu benda, sistem atau kejadian yang sesungguhnya hanya
berisi informasi-informasi yang dianggap penting untuk di telaah
(Mahmud Achmad, 2008).
2. Pengertian Konseling
Konseling berawal dari kata “counseling” yang merupakan bentuk
masdar kata “to counsel”secara etimologis berarti “to give advice” atau
memberikan nasihat dan saran. Konseling juga berarti pemberian bantuan
kepada orang lain dengan tatap muka (face to face). (Samsul Munir,
2013).
Menurut Juntika (2006) menyatakan bahwa “konseling adalah
upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi
antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan
lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan
berdasarkan nilai yang diyakini sehingga konseli merasa bahagia dan
efektif perilakunya”.
Sedangkan menurut Sumarwiyah, dkk. (2015) “konseling adalah
bantuan yang diberikan oleh seseorang (konselor) kepada seseorang
konseli atau sekelompok konseli (klien, terbimbing, seseorang yang
memiliki problem) untuk mengatasi problemnya dengan jalan wawancara
dengan maksud agar klien atau sekelompok klien tersebut mengerti lebih
jelas tentang problemnya sendiri dan memecahkannya sendiri sesuai

9
10

dengan kemampuannya dengan mempelajari saran-saran yang diterima


dari konselor”.
Sementara itu Hartono & Soedarmadji (2014) mendefinisikan
konseling berdasarkan dua macam, yaitu konseling konvensional dan
konseling modern. Konseling konvensional ialah bantuan konselor yang
diberikan kepada konseli secara langsung (direct contacts) dan tidak dapat
diberikan melalui perantara atau secara tidak langsung seperti halnya
media cetak dan elektronik. Sedangkan konseling modern merupakan
pengembangan konseling di era digital atau teknologi, sehingga dalam
prosesnya memanfaatkan fitur-fitur dan teknologi. Konseling modern ialah
profesi bantuan yang diberikan kepada konseli oleh konselor dengan
menggunakan teknologi sebagai medianya untuk memfasilitasi proses
berjalannya konseling, memantau perkembangan konseli dan membantu
konseli dalam mengatasi masalahnya.
Sofyan S. Wills (2019) mengatakan konseling adalaha upaya
bantuan yang diberikan seorang pembimbing yang terlatih dan
berpengalaman, terhadap individu-individu yang membutuhkannya agar
individu tersebut berkembang potensinya secara optimal, mampu
mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya yang selalu berubah.
Berikut merupakan definisi konseling menurut para ahli dalam
buku Sofyan S. Wills (2019) :
a. English & English (1958) mengemukakan “konseling adalah
suatu hubungan antara seseorang dengan orang lain, dimana
seorang berusaha keras untuk membantu orang lain agar
memahami masalah dan dapat memecahkan masalahnya dalam
rangka penyesuaian dirinya”.
b. Glen E. Smith (1955) mengatakan bahwa konseling
“merupakan suatu proses dimana konselor membantu konseli
(klien) agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta
11

yang berhubungan dengan pemilihan, perencanaan, dan


penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan individu”.
c. Milton E. Hahn (1955) dalam mendefinisikan “konseling
adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seorang
dengan seorang yaitu individu yang mengalami masalah yang
tak dapat diatasinya dengan seorang petugas profesional yang
telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu
agar klien mampu memecahkan kesulitannya”.
Berdasarkan definisi yang dipaparkan oleh ahli diatas dapat
disimpulkan bahwa konseling merupakan upaya bantuan yang dilakukan
oleh seseorang terhadap seseorang lain yang sedang mengalami masalah
agar dapat memahami diri, masalah serta lingkungannya. Orang yang
memberi bantuan disebut sebagai konselor dan yang menerima bantuan
disebut sebagai konseli.

3. Keluarga
a. Definisi Keluarga
Kata keluarga berasal dari bahasa latin yaitu famulus yang artinya
pembantu atau pelayan, yang berarti suatu proses saling mempengaruhi
antar bagian didalam keluarga, dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Keluarga merupakan institusi dalam masyarakat maupun
pemerintah, di dalam keluarga terdiri dari keluarga inti (nuclear family)
yaitu satu laki-laki sebagai kepala keluarga, satu perempuan sebagai istri
dan anak-anak mereka (Kathrin Geldard & David Geldard, 2016).
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu
rumah tangga karena adanya hubungan darah perkawinan atau adopsi.
Mereka saling berkomunikasi, saling berinteraksi satu dengan yang lain,
mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan
suatu budaya yang ada di masyarakat (Bailon dan Maglaya, 1978 dalam
Jaja & Muzaki, 2019).
Sumarwiyah, dkk. (2015) mengatakan bahwa keluarga merupakan
suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa
12

yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau
seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik
anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004) dalam buku Sri Lestari
(2013) definisi keluarga dapat di tinjau dari tiga sudut pandang :
1) Definisi struktural, keluarga di definisikan berdasarkan
kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga seperti
orang tua dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan
pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari
perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga
sebagai asal usul (families origin), keluarga sebagai sarana
mendapatkan keturunan (families of procreation) dan
keluarga batih (extended family).
2) Definisi fungsional. Definisi keluarga ditekankan pada
terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial.
Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi
pada anak, hubungan emosi dan materi, dan pemenuhan
peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-
tugas yang dilakukan oleh keluarga.
3) Definisi transaksional. Definisi keluarga sebagai kelompok
yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku
yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (families
identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis,
maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan
pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
keluarga merupakan sekumpulan manusia yang memiliki ikatan darah,
ikatan pernikahan, atau adopsi baik itu laki-laki atau perempuan yang
sudah sendirian dengan atau tanpa anak yang saling memiliki
ketergantungan dan ketersalingan satu sama lain.
b. Struktur Keluarga
13

Dalam Sri Lestari (2013) struktur keluarga dapat dibedakan


menjadi dua yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih
(extended family) :
1) Keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya hanya
terdapat tiga posisi sosial yaitu suami (ayah), istri (ibu), dan
anak-sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga yang demikian
menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu
keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadi
keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga inti
terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan
menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Dalam keluarga
inti hubungan antara suami istri bersifat saling
membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan,
sedangkan anak-anak tergantung pada orang tuanya dalam
hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosial.
2) Keluarga batih adalah keluarga yang didalamnya
menyertakan posisi lain selain posisi ketiga di atas (Lee,
1982). Bentuk pertama dari keluarga batih yang banyak di
temui di masyarakat adalah keluarga bercabang (stem
family). Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak,
dan hanya seorang, yang sudah menikah tapi masih tinggal
dalam rumah orang tuanya. Bentuk keluarga dari keluarga
batih adalah keluarga berumpun (lineal family). Bentuk ini
terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah
tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Bentuk ketiga
dari keluarga batih adalah keluarga beranting (full
extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu
keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah
menikah dan tetap tinggal bersama.
Sementara itu Kathryn Geldard & David Geldard (2011)
menguraikan struktur keluarga bukan hanya pada keluarga inti dan
14

keluarga batih, akan tetapi lebih luas lagi seperti keluarga luas (ibu, ayah,
anak-anak, nenek, kakek, bibi, paman), pasangan yang tidak memiliki
anak (memilih tidak punya atau tidak mampu), keluarga dengan orang tua
tunggal, ibu remaja yang punya anak yang tinggal bersama orang tua atau
orang lain yang bukan bagian dari sistem keluarga, keluarga dengan anak
atau anak-anak yang di adopsi, keluarga yang disusun kembali/campuran
(salah satu atau kedua partner telah menikah sebelumnya dan membawa
anak-anak dalam perkawinan sebelumnya), keluarga komunal (kelompok-
kelompok keluarga dengan anak-anak dan beberapa orang dewasa lajang)
dan keluarga dengan jenis kelamin yang sama (gay/lesbian).
c. Tujuan dan Fungsi Keluarga
Menurut UU No. 52 Tahun 2009 tujuan keluarga adalah
meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram dan
harapan masa depan yang baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin. Selain tujuan, didalam keluarga terdapat beberapa
fungsi keluarga. Sementara Duvall dan Logan (1986) mengungkapkan
tujuan keluarga “untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan
meningkatkan perkembangan fisik, emosional, mental dan sosial dari
setiap anggota keluarganya.
Menurut Soelaeman (1994) dalam buku Ulfiah (2016)
menyebutkan fungsi keluarga adalah sebagai berikut :
1) Fungsi Edukasi, fungsi ini berkaitan dengan pendidikan dan
pembinaan anak serta anggota keluarga lainnya. Dimana
keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak yang
mengenalkan, membangun landasan karakter dan sifat serta
pribadi yang seperti apa pada anak. Bukan hanya itu, fungsi
edukasi pula berkaitan dengan pengelolaan, perencanaan
dana dan prasarana terkait dengan pendidikan anak.
2) Fungsi Sosialisasi, pada fungsi ini keluarga atau orang tua
berperan sebagai penghubung antara kehidupan sosial dan
norma-norma sosial dengan anak, dalam hal ini orang tua
15

sebagai penerjemah, penyaring dan memberikan


pengertian kepada anak agar mereka dapat berperan dan
menempatkan diri serta berpartisipasi dalam masyarakat.
3) Fungsi Proteksi atau Fungsi Perlindungan, fungsi ini
memberikan perlindungan bagi anggota keluarga nya
terhadap ancaman-ancaman dari luar.
4) Fungsi Afeksi atau Perasaan, dalam hal ini dalam suatu
keluarga terdapat hubungan dimana antara anggota lain
dapat mengangkat atau merasakan suasana hati anggota
keluarga yang lain.
5) Fungsi Religius, pada hakikatnya tujuan berkeluarga adalah
untuk mencapai spiritualitas yang lebih meningkat dan
lebih dekat dengan Tuhan. Dalam fungsi ini keluarga
sebagai awal dari pengenalan seorang individu terhadap
Tuhannya.
6) Fungsi Ekonomis, dalam fungsi ini berkaitan dengan
kondisi keuangan dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari,
mulai dari pendapatan dan pengeluaran.
7) Fungsi Rekreatif, fungsi rekreatif dapat terlaksana ketika
didalam keluarga tercipta suasana yang aman, nyaman, dan
saling membahagiakan.
8) Fungsi Biologis, dalam fungsi ini berhubungan dengan
kebutuhan biologis seperti makanan, pakaian, rumah dan
seksual.
Sedangkan menurut Berns (2004) dalam buku Sri Lestari (2013)
keluarga memiliki lima fungsi dasar yaitu :
1) Reproduksi, keluarga memiliki tugas untuk
mempertahankan populasi yang ada di dalam masyarakat.
2) Sosialisasi/Edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk
mentransmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan,
16

keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke


generasi yang lebih muda.
3) Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas
kepada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial
ekonomi, dan peran gender.
4) Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat
berlindung makanan dan jaminan kehidupan.
5) Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan
pengalaman interaksi sosial pertama bagi anak. Interaksi
yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh dan berdaya
tahan sehingga memberikan rasa nyaman pada anak.
Jadi berkenaan dengan hal diatas, setiap keluarga mestinya
mewujudkan tujuan dan fungsi didalam keluarga, agar anggota keluarga
didalamnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga tercipta
keluarga yang sehat dan harmonis.
d. Problematika Keluarga
Di dalam kehidupan rumah tangga tidak selamanya akan dipenuhi
dengan kesenangan, kebahagiaan secara menerus akan tetapi terdapat
dinamika yang menimbulkan kesedihan dan kesakitan. Secara alamiah di
dalam setiap keluarga terdapat problematika yang dihadapi. Sehingga
menghambat untuk tercapainya tujuan dan fungsi dalam keluarga.
Permasalahan yang muncul pun beragam dan kompleks berdasarkan
kondisi sosial dan budaya dalam keluarga. Akan tetapi, terdapat
permasalahan yang kerap kali di jumpai dan lumrah di kebanyakan
keluarga. Menurut Ulfiah (2016) permasalahan dalam keluarga yaitu
masalah komunikasi, konflik orang tua dan anak, masalah ekonomi,
cemburu, merasa superior, perselingkuhan, Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT) dan ikut campur orang tua dalam keluarga.
Permasalahan demikian banyak di jumpai didalam keluarga.
Sementara itu, probematika dalam keluarga menurut Bambang Ismaya
17

(2015) dalam skripsi Siti Rijaeni (2017) mengungkapkan permasalahan


yang terjadi dalam keluarga adalah sebagai berikut :
1) Persoalan hubungan keluarga seperti kesalahpahaman
dalam keseharian, trauma terhadap mantan pacar, istri tidak
memahami ritme kerja suami, karena tinggal berjauhan,
istri tidak boleh mengelola keuangan, persoalan dengan
mertua dan ipar dan suami anak mami.
2) Persoalan seksualitas seperti perilaku aneh dalam
berhubungan intim, perselingkuhan dan perkosaan dalam
perkawinan.
3) KDRT, seperti suami suka memukul (temperamen), suami
jadi pemarah sejak dirumahkan, suami pemabuk dan
penjudi, dan lainnya.
4) Permasalahan karir dan keuangan, contohnya istri dilarang
bekerja, karir menanjak rumah tangga terbengkalai, jam
kerja tanpa batas, istri jadi TKW, sama-sama tidak
memiliki pekerjaan, suami pemalas dan berujung
perceraian.
5) Keluhan suami istri, keadaan seperti dapat terjadi karena di
antara kedua belah pihak tidak dapat mengerti
pasangannya, sehingga timbul keluhan-keluhan.
6) Permasalahan anak, kemunculan anak di tengah-tengah
keluarga ini seringkali menimbulkan persoalan baru.
Problematika keluarga/rumah tangga seperti di atas merupakan
dinamika kehidupan di dalam setiap keluarga. Pasang surut- naik-turun
lumrah dijumpai. Namun, tidak banyak keluarga yang mampu
menghadapinya dengan bijak dan dengan cara yang baik-baik dalam
menyelesaikan konflik. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan pun terjadi
seperti perpecahan, perceraian dan KDRT.
18

4. Konseling Keluarga
a. Pengertian
Konseling keluarga adalah proses bantuan kepada individu anggota
keluarga untuk meningkatkan potensi yang di miliki dan dapat mengatasi
masalah dalam keluarganya atas dasar kerelaan dan kecintaan terhadap
keluarga untuk membantu seluruh anggota keluarga (Cathryn Geldard &
David Geldard, 2016).
Sedangkan menurut Yusi Riksa Yustiana (2000) konseling
keluarga adalah proses komunikasi antara konselor dengan klien dalam
hubungan yang membantu, sehingga keluarga dan masing-masing anggota
keluarga mampu membuat keputusan, merubah perilaku dan
mengembangkan suasana kehidupan keluarga sehingga konstelasi keluarga
berfungsi secara keseluruhan, meningkatkan ketahanan keluarga serta
mengembangkan potensi masing-masing anggota keluarga sebagai pribadi
maupun sebagai anggota keluarga.
Menurut Sofyan S. Wills (2013) mengatakan konseling keluarga
adalah membantu individu anggota keluarga untuk mengaktualisasikan
potensinya atau mengantisipasi masalah yang dialaminya, melalui sistem
kehidupan keluarganya dan mengusahakan agar terjadi perubahan perilaku
yang positif pada diri individu yang akan memberi dampak positif pula
terhadap anggota keluarga lainnya.
Berdasarkan uraian teori diatas dapat disimpulkan bahwa konseling
keluarga merupakan proses bantuan konselor dalam menangani konselinya
yaitu anggota dalam suatu keluarga agar dapat memahami kondisi dalam
keluarganya dan mampu menyelesaikan masalahnya dengan ketersalingan.
b. Sejarah Singkat Konseling Keluarga
Awal mula perkembangan konseling keluarga didunia pada abad
ke-20 yang berasal dari Eropa dan Amerika Serikat. Perkembangan
bermula di daratan Eropa pada abad ke-20, namun perkembangan yang
lebih pesat berada di Amerika Serikat pada tahun 60-an dan seterusnya.
Perbedaan konseling keluarga yang berasal dari Erpoa dan Amerika
19

Serikat yaitu terletak pada orientasinya. Jika aliran Eropa berawal dari
praktisi (dokter) dengan tidak memikirkan teoritisnya, sedangkan di
Amerika Serikat berorientasi pada teoritis yaitu menganut aliran-aliran
psikologi. Tokoh-tokoh ahli yang mencetuskan pada awal sejarah adalah
Rutherford Groves (1877-1948), kemudian menyusul Abrahaman Stone,
Dr. Paul Popence dan Dr. Emily Mudd.
Perkembangan konseling keluarga di Indonesia sendiri kurang
begitu pesat. Hal ini dikarenakan tertimbun oleh pesatnya perkembangan
bimbingan dan konseling disekolah. Akan tetapi banyak pula ditemukan
siswa-siswa yang mendapatkan masalah karena kondisi keluarganya yang
tidak baik. Namun karena perkembangannya yang kurang pesat,
mengakibatkan salah anggapan atau kurang efektif dalam pelaksanannya.
Seperti guru pembimbing menyambil penanganan masalah siswa dan tidak
khusus menangani permasalahan keluarganya (Sofyan S. Wills, 2013).

c. Tujuan dan Fungsi Konseling Keluarga


Menurut Sofyan S. Wills (2013) terdapat tujuan umum dan tujuan
khusus dalam konseling keluarga, yaitu sebagai berikut :
1) Tujuan Umum Konseling Keluarga
 Membantu anggota keluarga belajar dan menghargai
secara emosional bahwa dinamika keluarga adalah kait-
mengait di antara anggota keluarga.
 Untuk membantu anggota keluarga agar menyadari
tentang fakta jika satu anggota keluarga bermasalah,
maka akan mempengaruhi kepada persepsi, ekspektasi
dan interaksi anggota-anggota lain.
 Agar tercapai keseimbangan yang akan membuat
pertumbuhan peningkatan setiap anggota keluarga.
 Untuk mengembangkan penghargaan penuh sebagai
pengaruh dari hubungan parental.
2) Tujuan Khusus anggota keluarga
20

 Untuk meningkatkan toleransi dan dorongan anggota-


anggota keluarga terhadap cara-cara yang istimewa
(idiocyncratic ways) atau keunggulan-keunggulan
anggota keluarga lain.
 Mengembangkan toleransi terhadap anggota-anggota
keluarga yang mengalami frustasi/kecewa, konflik dan
rasa sedih yang terjadi karenaa faktor sistem keluarga
atau di luar sistem keluarga.
 Mengembangkan motif dan potensi-potensi setiap
anggota keluarga dengan cara mendorong (men-
support), memberi semangat dan mengingatkan anggota
keluarga tersebut.
 Mengembangkan keberhasilan persepsi diri orang tua
secara realistis dan sesuai dengan anggota-anggota lain.

Selain itu tujuan konseling keluarga menurut Ulfiah (2016) adalah sebagai
berikut :
1) Memberi bantuan kepada anggota keluarga untuk memahami
dan belajar bahwa hubungan antaranggota keluarga dapat
mempengaruhi dinamika yang terjadi didalam keluarga.
2) Membantu anggota keluarga agar dapat menerima realitas
yang terjadi apabila ada salah satu anggota keluarga yang
bermasalah, dia dapat berperan dan memberi pengaruh untuk
anggota yang lain baik dari persepsi maupun harapan.
3) Upaya mencapai keseimbangan dalam kehidupan berumah
tangga serta mengupayakan tumbuh dan berkembang melalui
konseling keluarga kepada anggota keluarga.
4) Untuk dapat mengembangkan rasa penghargaan diri antar
anggota keluarga.
5) Membantu anggota keluarga untuk mencapai kesehatan fisik
agar fungsi keluarga menjadi maksimal.
21

6) Membantu anggota keluarga untuk mencapai pemahaman dan


kesadaran diri sendiri bahwa dirinya sedang mengalami
masalah bahwa terdapat pengharapan yang lebih baik serta
nasibnya yang berhubungan dengan kehidupan keluarganya.
Sementara itu Cathryn Geldard & David Geldard (2017)
mengungkapkan tujuan dari konseling keluarga ialah membantu anggota
keluarga untuk belajar serta memahami bahwa hubungan antar anggota
keluarga berpengaruh terhadap dinamika keluarga. Konseling keluarga
memfokuskan terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan
situasi keluarga serta dalam penyelenggaraannya melibatkan anggota
keluarga yang lain dan memandang keluarga bahwa secara keseluruhan
permasalahan yang di alami oleh salah satu anggota keluarga akan efektif
di atasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain (Cathryn Geldard,
David Geldard, 2017).
Selain daripada tujuan, konseling keluarga pula memiliki fungsi.
Yaitu fungsi pencegahan, fungsi pemahaman, fungsi pengentasan, fungsi
pemeliharaan dan pengembangan, fungsi penyaluran, fungsi penyesuaian,
fungsi perbaikan, fungsi fasilitasi, fungsi penyembahan dan fungsi
advokasi (Jaja & Muzaki, 2019).
d. Peranan Konselor dalam konseling keluarga dan perkawinan
Menurut Conttone (1992) dalam Ulfiah (2016) peran konselor
pada konseling keluarga adalah sebagai berikut :
1) Membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya
dan tindakan-tindakannya sendiri (facilitative a
comfortable).
2) Menggunakan perlakuan (treatment) melalui setting peran
interaksi.
3) Berusaha menghilangka pembelaan diri dan keluarga.
4) Mengedukasi klien untuk berbuat secara dewasa dan
bertanggung jawab dan melakukan self-control.
22

5) Berperan sebagai penengah dari pertentangan atau


kesenjangan komunikasi dan menginterpretasikan pesan-
pesan yang disampaikan anggota keluarga.
6) Menolak pembuatan penilaian dan membantu membantu
jadi congruence dalam responrespon anggota keluarga.
B. Perspektif Mubadalah
1. Pengertian Perspektif
Perspektif dalam KBBI ialah sudut pandang atau pandangan
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI, 1988). Sedangkan
perspektif secara definisi menurut Martono (2010) yaitu cara pandang tertentu
yang digunakan untuk melihat suatu fenomena atau suatu sudut pandang
terhadap permasalahan yang terjadi. Jadi, perspektif merupakan cara pandang
dalam melihat suatu fenomena atau persoalan yang terjadi.
2. Konsep Mubadalah
Mubadalah merupakan konsep pemikiran Faqihuddin Abdul Kodir
yang berisi tentang konsep berelasi yang adil antara laki-laki dan
perempuan dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam kehidupan
berumah tangga. Menurutnya, yang di maksud dengan relasi yang adil
adalah relasi yang berkesalingan. Dalam kehidupan berkeluarga, antara
laki-laki (suami), perempuan (istri) serta anak perlu adanya kerja sama
untuk saling menjaga, saling membahagiakan dan saling memperlakukan
satu sama lain secara baik (mu'asyarah bila ma'ruf). Sehingga tidak ada
relasi yang timpang atau mendominasi salah satu pihak yang menjadi
percikan api kepada persoalan-persoalan yang lebih besar dan berbuntut
pada merugikan salah satu anggota keluarga (Faqihuddin Abdul K. 2019).
Dalam bukunya yang berjudul qira’ah mubadalah Faqihuddin
memaparkan tentang dua hal yang melatarbelakangi perspektif dan metode
mubadalah. Yaitu secara bahasa dan sosial. Faktor bahasa merupakan
bahasa teks-teks dalam sumber Islam yakni dari struktur bahasa Arab,
baik dari segi kata benda, kata kerja atau kata ganti dalam bentuk tunggal
maupun plural sehingga membedakan antara laki-laki dan perempuan.
23

Sedangkan faktor sosial berkenaan dengan cara pandang masyarakat yang


seringkali bahkan banyak yang memaknai agama berdasarkan pada
pengalaman laki-laki (Faqihuddin Abdul K. 2019).
Pertama, faktor sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa dikalangan
masyarakat kita tafsir keagamaan banyak digunakan melalui cara pandang
dan pengalaman laki-laki. Layaknya perempuan hanya sebagai pelengkap
semata di dunia ini. Hal tersebut di buktikan realita yang masih banyak
tafsir-tafsir dengan menggunakan perspektif laki-laki. Seperti halnya
bidadari bagi laki-laki shalih. Tefsir semacam ini lahir dari akal kesadaran
laki-laki, kemudian seringkali cenderung menjawab kegelisahan-
kegelisahan dan memenuhi harapan yang ada dalam benak mereka. Dalam
waktu yang cukup lama, perempuan nyata absen dalam panggung
penafsiran keagamaan. Seringkali perempuan hanya dijadikan orang ketiga
sebagai objek pembicaraan antara teks sebagai orang pertama, penafsir
laki-laki sebagai orang kedua.
Padahal Islam hadir untuk memanusiakan laki-laki dan perempuan.
Teks-teks menyapa laki-laki dan perempuan adil dan membawa rahmat
bagi laki-laki dan perempuan, sampai pada menyediakan surga dengan
kenikmatan paripurna untuk laki-laki dan perempuan. Akan tetapi perlu
refleksi yang mendalam terkait siapa yang menafsirkan teks-teks
keagamaan, menggunakan cara pandang laki-laki ataupun perempuan?.
Seringkali pertanyaan terkait sesuatu yang baik atau tidak, merusak atau
tidak, menggoda atau tidak, adil atau tidak, merupakan pertanyaan yang
diajukan pada laki-laki dan dijawab pula oleh laki-laki. Alhasil konsep
surga atau aturan-aturan yang ada di dunia ini berangkat dari akal,
kesadaran dan ekspektasi laki-laki, kemudian dijawab pun lebih banyak
diserap dengan perasaan, pengalaman dan pengetahuan laki-laki. Akhirnya
semua sikap dan pernyataan keagamaan lebih banyak melayani harapan,
kebutuhan dan cara pandang laki-laki.
Kemudian pada isu-isu sosial yang mana perempuan minim sekali
mendapat apresiasi dari tafsir agama terkait perempuan yang bertanggung
24

jawab dan menjadi kepada keluarga. Pada realitanya, banyak perempuan


yang memilki kapasitas untuk memipin rumah tangga. Hal ini sesuai
dengan data BPS tahun 2010 yang menyebutkan ada 9 juta dari 65 juta
keluarga Indonesia yang dikepalai oleh perempuan. Akan tetapi, secara
sosial dan agama mereka belum diperhitungkan dan minim diberikan
apresiasi. Justru masih banyak yang menganggap bahwa kepala keluarga
adalah laki-laki dengan tanpa diverifikasi kapasitas dan kemampuannya.
Kedua, faktor bahasa. Seperti yang diketahui bahwa bahasa Arab
merupakan bahasa Al-Qur’an yang mana bentuk kata dan kalimat
membedakan laki-laki dan perempuan. Baik itu kata benda (ism), kata
kerja (fi’il), maupun kata dhammir (kata ganti). Baik dalam bentuk
tunggal (mufrad), berdua (mutsanna) maupun plural (jama’). Baik dalam
kata masa lalu (madhi), masa sekarang (mudhari’) ataupun masa yang
akan datang (mustaqbal). Dalam semua bentuk kata dan kalimat tersebut
harus dibedakan antara redaksi laki-laki dan perempuan. Sekalipun suatu
benda itu tidak berjenis kelamin, akan tetapi harus diimajinasikan dan
diredaksikan sebagai laki-laki (mudzakkar) dan perempuan (mu’annats).
Realitanya, banyak redaksi dalam ayat-ayat Al-Qur’an menggunakan
redaksi dan bentuk laki-laki (mudzakkar). Secara struktur bahasa yang di
ajak berbicara oleh Al-Qur’an pun laki-laki. Seperti halnya perintah, ajaran
dan kisah-kisah dalam Al-Qur’an mengenai hijrah, keimanan, berbuat baik
kepada orang lain, puasa, shalat, haji, menjaga diri dari fitnah dunia,
mencari pengetahuan, mencari rezeki, memimpin komunitas, masuk surga,
menikmati segala yang ada di surga, semua hal ini sebagian besar di
ungkapkan dalam redaksi laki-laki (sighat al-tadzkir) (Faqihuddin Abdul
K. 2019).
Faqihuddin Abdul K. mengutip penjelasan ulama klasik
bahwasanya redaksi Al-Qur’an dengan bentuk kata laki-laki tersebut
dianggap sebagai redaksi yang mencakup perempuan juga. Pendekatan
pemahaman itu disebut sebagai kaidah taghlib, atau pencakupan
perempuan ke redaksi laki-laki. Dengan demikian, teks-teks Islam yang
25

menggunakan redaksi laki-laki harus dibaca dengan kesadaran penuh


bahwa perempuan pun menjadi subjek. Sehingga perempuan harus masuk
ke dalam lingkup penafsiran keagamaan mengenai, surga, fitnah, keluarga,
ibadah, serta isu-isu sosial yang bersifat publik sebagai subjek yang sama
memperoleh manfaat seperti halnya laki-laki. Maka tidak benar bahwa
perempuan hanya makhluk pelengkap laki-laki yang mengambil peran
pinggiran, tidak diperhitungkan dan tidak penting, karena keduanya sama-
sama subjek. Akan tetapi, yang benar adalah laki-laki melengkapi
eksistensi perempuan dan perempuan melengkapi eksistensi laki-laki.
Sehingga sebagai manusia yang utuh keduanya saling melengkapi dan
memandang setara. Itulah substansi dalam perspektif mubadalah yang
kemudian dioperasionalkan dalam membaca seluruh teks sumber Islam
(Faqihuddin Abdul K. 2019).
Demikian konsep mubadalah yang di gagas oleh Faqihuddin Abdul
K. yang dibentuk oleh faktor sosial dan bahasa. Dimana dalam
pemahaman keagamaan yang berkembang di dalam suatu masyarakat atau
dalam perkembangan tafsir, peran perempuan kurang diperhatikan dan
apresiasi keberadaan dan posisinya.
3. Makna Mubadalah
Mubadalah berasal dari bahasa Arab yaitu “mubadalah” dengan
akar suku kata “ba-da-la” yang artinya mengubah, mengganti, dan
menukar. Dalam Al-Qur’an akar kata ini terdapat 44 kali dengan bergama
bentuk kata tetapi memiliki makna yang serupa. Sementara itu, makna dari
kata mubadalah ialah bentuk kerja sama antara dua pihak (musyarakah)
dan kesalingan (mufa'alah), yang artinya saling menukar satu sama lain,
saling mengganti, dan saling mengubah (Faqihuddin Abdul K. 2019).
Pada kamus klasik maupun modern yaitu lisan Al-Arab karya Ibnu
Mazhur dan Al-Mu'jam Al-Wasith kata mubadalah di artikan tukar
menukar antara dua pihak yang bersifat timbal balik. Di dalam kedua
kamus tersebut, kata “badala-mubadalatan” digunakan untuk
mengungkapkan seseorang ketika mengambil sesuatu dari orang lain dan
26

menukarnya atau menggantikannya dengan sesuatu yang lain (Faqihuddin


Abdul K. 2019).
Kemudian pada Kamus modern yang lain yaitu karya Dr. Rohi
Baalbaki yang berjudul Al-Mawarid, untuk Arab-Inggris, mengartikan
kata mubadalah yaitu muqbalah bi al-mitsl dengan makna menghadapkan
sesuatu dengan padanannya. Kemudian dalam bahasa Inggris terjemahkan
dengan beberapa makna yaitu reprocity, reprocation, repayment, requital,
payung back, returning ini kind or degree. Sementara itu terjemahan
mubadalah dan reciprocity dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata
kesalingan di gunakan untuk menunjukkan hal-hal yang bermakna timbal
balik (Faqihuddin Abdul K. 2019).
Dari makna-makna di atas, istilah mubadalah kemudian di
kembangkan menjadi sebuah perspektif dan pemahaman dalam berelasi
antar dua pihak yang mengandung nilai dan semangat kemitraan,
kesalingan, kerja sama, timbal balik dan prinsip resiprokal. Baik itu relasi
manusia secara umum yaitu antar individu, antar kelompok, guru dan
murid, buruh dan majikan, pemerintah dan rakyat, laki-laki dan
perempuan, relasi dalam keluarga, dan lain sebagainya manusia yang
memiliki relasi.
Akan tetapi, dalam pembahasan mubadalah karya Faqihuddin
Abdul yang tercetak dalam buku berjudul qira'ah mubadalah itu lebih di
fokuskan kepada relasi antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik
maupun publik. Tentunya yang berdasar pada prinsip kerja sama dan
kemitraan. Faqihuddin Abdul Kodir pun menjadikan istilah mubadalah
sebagai metode interpretasi teks-teks sumber Islam yang meniscayakan
perempuan dan laki-laki sebagai subyek yang setara, yang keduanya di
sapa oleh teks dan harus tercakup dalam makna yang terkandung di dalam
teks tersebut.
27

C. Relasi Keluarga yang Sehat


1. Pengertian Relasi
Relasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu “relation”
yang dalam kamus bahasa Inggris dan Indonesia bermakna “Hubungan,
pertalian, dan perhubungan” sedangkan dalam istilah penggunaannya “relasi”
atau “relation” yang bermakna hubungan biasa diartikan dengan hubungan
kekerabatan atau hubungan interaksi makhluk satu dengan yang lain
(hubungan makhluk sosial) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KBBI,
1988).
Relasi merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu
dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Suatu relasi atau
hubungan akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramalkan secara tepat macam
tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Dikatakan
sistematik karena terjadinya secara teratur dan berulang kali dengan pola
yang sama.
Menurut Novi, dkk (2019) relasi mencakup adanya pola interaksi,
terdiri dari dua orang atau lebih, saling berpengaruh baik dalam pikiran,
perasaan dan perilaku serta berlangsung dalam waktu yang lam bahkan
diwaktu yang akan datang.
Ciri-ciri relasi sebagai berikut :
a. Melibatkan dua orang atau lebih. Relasi tidak dapat sendirian, akan
tetapi selalu melibatkan dua orang atau lebih. Bahkan secara
spesifik, relasi sosial merupakan suatu hubungan antara dua
individu yang disebut “dyad”, tiga individu disebut dengan
“triad” atau lebih yang disebut dengan “kelompok sosial”.
b. Kesalingterpengaruhan. Dalam relasi atau suatu perubahan
perilaku pada seseorang akan menghasilkan perubahan perilaku
pada orang lainnya.
c. Dampak keterpengaruhan. Relasi interpersonal yang terjalin akan
saling memengaruhi secara verbal, fisik, atau emosional atau
berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku masing-masing.
28

d. Jangka panjang. Relasi terjalin dalam suatu pola interaksi yang


memakan waktu yang lama dan keberlangsungannya sampai pada
pengaharapan untuk berinteraksi di masa yang akan datang
(https://jurnal .ugm.ac.id).
Sehingga apabila kata relasi ini di kaitkan dengan hubungan laki-laki
dan perempuan sebagai suami dan istri maka bermakna hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat maupun keluarga.
Bagaimana di antara keduanya dalam kehidupan sosial melakukan interaksi
dalam upaya mewujudkan kehidupan keluarga yang harmonis dan seimbang
saling tolong-menolong, serta menjalankan hak dan kewajibannya dengan
penuh sadar dan bertanggungjawab sesuai perannya masing-masing (Rusdi
Ma’ruf, 2015) .
Pola relasi dalam keluarga menurut prinsip perkawinan menyatakan
bahwa hubungan suami istri adalah hubungan kemitraan, di dalamnya harus
ada rasa saling membantu dan saling tolong menolong. Sebagai pasangan
bermitra, suami dan istri seharusnya sama-sama menjadi subjek kehidupan
dalam rumah tangga, bukan satu subjek sementara yang satunya menjadi
objek, bukan pola yang satu sisi superior sementara posisi yang satunya
inferior.
Ada beberapa pola relasi dalam keluarga menurut Rusdi Ma’ruf (2015)
yang bertujuan untuk menuju konsep kesetaraan dan partnership antara suami
dan istri, yaitu sebagai berikut ;
a. Kesetaraan perempuan dan laki-laki, bahwasanya adalah
istri merupakan pasangan suami dan suami adalah pasangan
istri dan sesungguhnya perempuan mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya. Sebagaimana firman Allah
pada QS. Al-Baqarah (2):228 yang artinya “….dan para
wanita mempunyai hak yang seimbangdengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”
b. Konsep kesejajaran untuk saling mengasihi dan mencintai.
Dalam hal ini dijelaskan bahwa antara suami dan istri tidak
29

hanya saling mengasihi dan mencintai antara keduanya,


akan tetapi diharuskan juga berbuat baik kepada kedua
orang tua laki-laki dan perempuan, mencintai dan
mengasihi keduanya. Sebagaimana firman Allah pada QS.
Al-Ahqaf (46):15 yang artinya”kami perintahkan kepada
manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula)”.
c. Konsep keadilan dan persamaan. Hak perempuan harus
sesuai dengan kewajibannya dan sesungguhnya balasan
amal antara laki-laki dan perempuan adalah sama.
Sebagaimana firman Allah pada QS. An-Nahl (16):97 yang
artinya “barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami berikan
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan”.
d. Konsep saling tolong menolong. Konsep ini sama halnya
dengan konsep yang diatas bahwa ayat Al-Quran yang
memerintahkan untuk saing tolong menolong tidaklah
membeda-bedakan jenis kelamin, sebagaimana dalam
firman Allah pada QS. At-Taubah (9): 71 yang artinya:
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain”.
2. Relasi dalam Keluarga
Sri Lestari (2013) menyebutkan umumnya keluarga terbentuk
berawal dari perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
dewasa. Pada tahap tersebut terjalin relasi pasangan suami istri. Kemudian
ketika mereka memiliki anak pertama maka timbullah relasi yang baru
30

yaitu relasi antara orang tua dan anak. Selanjutnya ketika mereka
melahirkan anak kembali maka akan timbul relasi yang lain yaitu relasi
siblings (saudara sekandung). Macam relasi tersebut merupakan bentuk
relasi pokok yang terdapat dalam keluarga inti. Namun pada keluarga yang
lebih luas atau disebut keluarga batih relasi yang terjalin pun akan lebih
banyak, seperti kakek/nenek dengan cucu, mertua dengan menantu,
paman/bibi dengan keponakan, dan lain sebagainya. Dalam keluarga
bentuk relasi yang terjalin biasanya memiliki karakteristik yang tidak
sama. Karakteristik dalam relasi akan dipaparkan sebagai berikut menurut
Sri Lestari (2013).
Relasi pasangan suami istri. Sebelum memulai relasi yang lain
dalam keluarga, relasi pasangan suami-istri merupakan landasan terpenting
dan berpengaruh bagi terbangunnya relasi-relasi yang lain. Banyak
keluarga yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya
karena gagal dalam membangun relasi suami-istri. Menurut Calhoun &
Acocella (1995) kunci kelanggengan dalam perkawinan adalah pandai
dalam melakukan penyesuaian terhadap pasangannya. Melakukan
penyesuaian perlu sikap dan cara berpikir yang luwes karena sifatnya
dinamis. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan. Untuk mencapai proses penyesuaian tersebut
terdapat tiga indikator menurut Glenn (2003) yaitu konflik, komunikasi
dan pembagian tugas rumah tangga (peran). Adanya konflik bukan
berarti hal yang buruk, justru keberhasilan dalam melakukan penyesuaian
di tandai dengan cara dan sikap yang konstruktif dalam menghadapi
konflik. Dalam menghadapi konflik perlu di bangun komunikasi yang
positif.
Komunikasi yang positif perlu dibangun untuk melakukan resolusi
konflik yang konstruktif. Komunikasi berperan penting untuk membangun
keintiman dan kedekatan pada pasangan. Ketika keintiman dan kedekatan
pasangan sudah terjalin, maka hal tersebut pertanda berlangsung baik
proses penyesuaian antara keduanya. Indikator yang ketiga adalah
31

pembagian tugas antara suami-istri. Pada masyarakat tradisonal, lumrah


terjadi pembagian peran diberatkan pada seorang istri yaitu mengemban
segala macam urusan rumah tangga dan pengasuhan anak, sedangkan
suami hanya berperan mencari nafkah. Namun konsep perkawinan
tersebut harus segera dihapuskan dengan relasi seimbang dan kemitraan,
bahwa keduanya (suami-istri) harus mengemban tanggung jawab dan
peran yang imbang dan kuncinya adalah dikomunikasikan dalam
pembagian tersebut. Peran atau tugas harus bersifat luwes dan tidak
mutlak, berbagai macam peran dapat dipertukarkan dan berbagi tugas baik
itu dalam ranah domestik maupun urusan mencari nafkah. Kemudian
dalam mengurus anak perlu adanya kesadaran antara keduanya karena
anak membutuhkan keterlibatan kedua orang tuanya. Berhasil dalam
membangun kebersamaan pada pelaksanaan kewajiban menjadi salah satu
indikasi keberhasilan penyesuaian pasangan.
Relasi orang tua dan anak. Pandangan terhadap relasi antara orang
tua dan anak dalam tinjauan psikologi pada umumnya merujuk pada teori
yang di cetuskan pertama kali oleh John Bowlby (1969) yaitu teori
kelekatan (attachment theory). Menurut Bowlby hubungan yang dibangun
antara orang tua dan anak sejak usia dini kuncinya adalah bagaimana
perilaku orang tua dalam mengasuh. Anak akan mengembangkan
hubungan emosinya secara mendalam pada awal kehidupannya dengan
orang dewasa yang telah secara teratur merawatnya. Kelekatan merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan khusus antara
bayi dan pengasuhnya (Rosen & Rothbaum, 2003). Menurut Mercer
(2006) kelekakatan merupakan ikatan emosi yang terjadi di antara manusia
yang memandu perasaan dan perilaku. Kelekatan antara anak dan
pengasuhan orang tua dapat dicirikan sebagai hubungan yang timbal balik.
Selain teori kelekatan, hubungan orang tua dan anak juga dapat
dijelaskan dengan pendekatan teori penerimaan dan penolakan orang tua
(parental acceptance-rejection theory) yang dikembangkan oleh Rohner
(Schwartz, Zambonga, Ravert, Kim, Weisskirch, Williams, Bersamin, &
32

Finley, 2009). Penerimaan dan penolakan orang tua membentuk dimensi


kehangatan (warmth dimension) dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas
ikatan afeksi antara orang tua dan anak (Rohner, Khaleque & Cournoyer,
2009). Dimensi kehangatan merupakan suatu rentang kontinum, yang satu
sisi ditandai oleh penerimaan yang mencakup berbagai perasaan dan
perilaku yang menunjukkan kehangatan, afeksi, kepedulian, kenyamanan,
perhatian, perawatan, dukungan dan cinta. Adapun sisi yang lain ditandai
oleh penolakan yang mencakup ketiaadan atau penarikan berbagai
perasaan atau perilaku tersebut (kehangatan, afeksi dan lain-lain), dan
adanya berbagai perasaan atau perilaku yang menyakitkan secara fisik
maupun psikologis (seperti tidak menghargai, penelantaran, tak acuh, caci
maki dan penyiksaan). Menurut Rohner dkk., persepsi anak terhadap
penerimaan dan penolakan orang tua atau sosok signifikan yang lain akan
mempengaruhi perkembangan kepribadian individu dan mekanismeyang
dikembangkan dalam menghadapi masalah.
Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan
tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security),
kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan
(responsiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi komponen
dasar dalam hubungan orang tua-anak yang dapat membuat anak merasa
dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri. Mereka memiliki rasa
percaya dan menikmati kesertaan mereka dalam aktivitas bersama prang
tua. Kehangatan memberi konteks bagi afeksi positif yang akan
meningkatkan mood untuk peduli dan tanggap terhadap satu sama lain.
Rasa aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang
karena interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiaagaan,
kepekaan, dan ketanggapan. Interaksi tersebut mengembangkan kelekatan
pada masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan. Rasa percaya
diri anak dapat tumbuh karena adanya rasa aman terhadap lingkungan dan
orang lain. Rasa aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan
eksplorasi yang bermanfaat bagi perkembangan kompetensi.
33

Menurut Hinde (1976) relasi orang tua-anak mengandung beberapa


prinsip pokok, yaitu :
a. Interaksi. Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu
yang menciptakan suatu hubungan. Berbagai interaksi tersebut
membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi
terhadap interaksi di kemudian hari.
b. Kontribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki
sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap
relasi keduanya.
c. Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang
melibatkan dua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan
dengan orang atau dengan anak yang lain.
d. Pengharapan masa lalu. Interaksi orang tua-anak yang telah
terjadi membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan
memahami bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu
situasi. Demikian pula sebaliknya anak pada orang tuanya.
e. Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat
kekal, masing-masing membangun pengharapan yang
dikembangkan dalam hubungan keduanya.
Relasi saudara kandung (siblings). Hubungan dengan saudara
merupakan jenis hubungan yang berlangsung dalam jangka panjang. Pola
hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat bertahan hingga
dewasa. Hubungan dengan saudara dapat mempengaruhi perkembangan
individu, secara positif maupun negatif tergantung pola hubungan yang
terjadi. Menurut Steel man & Koch (2009) pada masa kanak-kanak pola
hubungan dengan sibling dipengaruhi oleh empat karakteristik, yaitu :
jumlah saudara, urutan kelahiran, jarak kelahiran, dan jenis kelamin.
Penelitian Powell dan Steelman (1990) menemukan bahwa kombinasi
antara jumlah saudara dan jarak kelahiran yang dekat berpengaruh negatif
terhadap prestasi akademik dibandingkan yang memiliki jarak kelahiran
34

yang jauh. Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh
cara orang tua dalam memperlakukan mereka. Perlakuan orang tua
terhadap anak dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan
harga diri yang pada gilirannya bisa menimbulkan distres pada hubungan
romantis di kemudian hari (Rauer & Volling, 2007).
Menurut Dunn (2002), pola hubungan antara saudara kandung
dicirikan oleh tiga karakteristik. Pertama, kekuatan emosi dan tidak
terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai
hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun positif.
Kedua, keintiman yang membuat antar saudara kandung saling mengenal
secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber dukungan maupun
konflik. Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan
diantara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian,
kerja sama, dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya
permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya
ketidaksukaan satu sama lain.
Pada satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing
dalam memanfaatkan sumber daya dari orang tua. Dalam perspektif ini
seorang anak dapat mengalami kemunduran perkembangan (regresi) yang
disebabkan oleh kelahiran adiknya. Regresi tersebut menjadi taktik bagi
anak untuk memperoleh bagian sumber daya yang lebih besar. Selain itu,
terdapat suatu kecenderungan bahwa orang tua akan menginvestasikan
sumber dayanya secara lebih besar pada anak sulung daripada anak yang
lahir kemudian.
Menurut Ihinger Tallman & Hsio (2003) saudara kandung
memiliki manfaat sebagai berikut :
a. Sebagai tempat uji coba (testing ground). Saat bereksperimen
dengan perilaku baru, anak akan mencobanya terhadap
saudaranya sebelum menunjukkan kepada orang tua atau teman
sebayanya.
35

b. Sebagai guru. Biasanya anak yang lebih besar, karena


memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak,
akan banyak mengajari adiknya.
c. Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negosiasi. Saat
melakukan tugas dari orang tua atau memanfaatkan alokasi
sumber daya keluarga, kakak beradik biasanya akan melakukan
negosiasi mengenai bagian masing-masing.
d. Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja
sama dan konflik.
e. Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan
kesetiaan.
f. Sebagai pelindung bagi saudaranya.
g. Sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya
terhadap adiknya.
h. Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang perilaku
dikenalkan pada keluarga.
3. Kekerasan dalam relasi
Berdasarkan pedoman tentang relasi sehat yang di inisiasikan oleh
Aliansi Laki-laki Baru (2017) terdapat dua kekerasan dalam relasi, yaitu
sebagai berikut :
a. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), KDRT adalah
segala tindak kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga
yang dilakukan oleh suami, istri, ataupun anak yang berdampak
buruk pada fisik dan psikis korbannya. Jenis-jenis kekerasan
yang terjadi didalam rumah tangga atau sebuah keluarga adalah
kekerasan fisik, seksual, psikologis dan ekonomi. Mayoritas
korbannya adalah perempuan dan anak.
b. Kekerasan dalam Pacaran (KDP), KDP adalah segala bentuk
tindak kekerasan secara fisik, psikis dan seksual yang
dilakukan dalam sebuah relasi berpacaran dengan tujuan untuk
36

mengontrol pasangannya. Mayoritas korbannya adalah


perempuan.
Dasar dari relasi tidak sehat adalah berawal dari kekuasaan (power)
yang dimiliki oleh salah satu pihak, kemudian karena kekuasaan tersebut
digunakan untuk mengontrol pasangannya sehingga menimbulkan rasa takut
pada korbannya. Relasi yang tidak sehat dipengaruhi oleh relasi kuasa yang
timpang dalam berpasangan. Agar relasi kuasa yang timpang tersebut dapat
terus berjalan, perlu diciptakan rasa takut terhadap pihak yang ingin
didominasi. Ketika rasa takut itu sudah muncul, maka korban akan sangat
mudah dikuasai atau dikontrol oleh pelaku. Pada titik tersebut pelaku akan
mulai mendominasi segala aspek dalam relasinya dengan korban (https://laki-
lakibaru.or.id).
4. Keluarga Sehat
Keluarga sehat merupakan lingkungan didalam keluarga yang penuh
dengan dukungan, mengatasi konflik dengan baik serta mengutamakan
kebaikan seluruh anggota keluarga dan tidak toxic terhadap anggota keluarga
yang lain. Keluarga sehat dapat dikatakan sebagai sebuah keluarga yang utuh,
terdiri dari suami, istri, anak, cucu, kakek, nenek dan lain sebagainya dalam
keadaan yang sejahtera baik fisik, mental dan sosial (
https://lamongankab.go.id/dinkes/tips-menuju-keluarga-sehat ).
Di dalam suatu keluarga terdapat banyak interaksi sehingga terjadilah
hubungan multifungsional antar anggota keluarga. Hal demikian yang kerap
kali munculnya konflik-konflik yang tidak diinginkan. Namun hal tersebut
adalah wajar. Sebagai keluarga sehat, suatu keluarga akan selalu
mengutamakan kemaslahatan/kebaikan seluruh anggota keluarganya dan
menjauhkan dari tindakan-tindakan yang toxic. Toxic atau dalam bahasa
Indonesia yang artinya beracun adalah suatu istilah yang digunakan untuk
sikap/tindakan seseorang yang merugikan orang lain. Jika dalam penelitian ini
dapat di sebut keluarga beracun (toxic family). Artinya relasi yang di bangun
pada keluarga tidaklah sehat dan merugikan anggota keluarga yang lain
bahkan orang lain. Indikasi Keluarga yang toxic dapat di lihat dari seperti
37

sikap mendahulukan pasangan agar dirinya terus bisa diterima, perlakuan


buruk kepada pasangan atau anggota keluarga, seperti pembatasan kebebasan
dan kekerasan, adanya dominasi, mengkritik tanpa henti dan lain sebagainya
Patresia Kirnandita (2019).
Oleh karena itu penting sekali membentuk relasi yang sehat dalam
keluarga. Relasi relasi yang sehat merupakan hubungan yang adil dan setara di
antara pihak yang ada didalamnya (yayasanpulih.org (2019). Menurut artikel
yang ditulis oleh Patresia Kirnandita (2019) karakteristik keluarga sehat dapat
dilihat dari :
a. Apresiasi dan kasih sayang
b. Komitmen
c. Komunikasi yang positif
d. Gemar menghabiskan waktu bersama
e. Mampu menyelesaikan masalah bersama
f. Menerima anggota keluarga apa adanya.
BAB III

METODE PENELITIAN DAN SEKILAS TENTANG BUKU QIRA'AH


MUBADALAH

A. Metodologi Penelitian

Metodologi adalah ilmu tentang Kerangka kerja untuk


melaksanakan sistem penelitian; sekumpulan peraturan, kegiatan, dan
prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu; studi atau
analisis teoritis mengenai suatu cara atau metode; atau cabang ilmu logika
yang berkaitan dengan prinsip umum pembentukan pengetahuan
(knowledge). penelitian sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran,
harus didasari oleh proses berpikir ilmiah yang dituangkan dalam metode
ilmiah (Juliansyah, 2013).
Komponen-komponen yang perlu ada pada metode penelitian
kepustakaan menurut mirshad (2014) dan Mirzaqon dan Purwoko (2017)
dalam Milya Sari dan Asmendri adalah sebagai berikut.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
research) dengan menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu
dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklarifikasi,
menyusun dan menginterpretasikannya (Surakhmand, 1980).
Menurut Juliansyah (2013) penelitian deskriptif adalah penelitian
yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian
yang terjadi saat sekarang. Penelitian kepustakaan merupakan
penelitian yang dilakukan di perpustakaan dan peneliti berhadapan
dengan berbagai macam literatur sesuai tujuan dan masalah yang
sedang dipertanyakan (Masyhuri dan Muhammad Zainuddin,
2008). Menurut Mestika Zed (2008) penelitian kepustakaan
merupakan teknik mengumpulkan data dan informasi dengan
bantuan berbagai materi yang terdapat dalam kepustakaan berupa

38
39

buku, jurnal, majalah, penelitian terdahulu, dan berbagai jenis


laporan atau dokumen. Penelitian dilaksanakan dengan menelaah
koleksi buku-buku yang memuat informasi spesifik dan paling
umum serta paling sering dirujuk untuk penelitian.
Kemudian menurut Khatibah (2011) dalam Milya S. dan
Asmendri mengemukakan penelitian kepustakaan sebagai kegiatan
yang dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan, mengolah
dan menyimpulkan data dengan menggunakan metode/teknik
tertentu guna mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi
melalui penelitian kepustakaan. Sementara itu Danandjaja (2014)
mengemukakan bahwa penelitian kepustakaan adalah cara
penelitian bibliografi secara sistematik ilmiah, yang meliputi
pengumpulan bahan-bahan bibliografi yang berkaitan dengan
penelitian, teknik pengumpulan dengan dengan metode
kepustakaan, dan mengorganisasikan serta menyajikan data-data.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini yaitu menggunakan kualitatif
deskriptif. Moleong (2019) mengatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah. Secara umum penelitian kualitatif digunakan untuk
memahami makna realitas atau fakta dengan cara non-statistik,
yang bersifat deskriptif, interpretatif, induktif, analitis dan
pengembangan teori. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan
untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif
konstruktif (misalnya makna-makna yang bersumber dari
pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah dengan tujuan
untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu) atau
40

berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya orientasi terhadap


politik, isu, kolaborasi, atau perubahan atau keduanya) (Creswell,
2009).
Gunawan (2015) mendefinisikan penelitian kualitatif adalah
sebuah metode penelitian yang digunakan dalam permasalahan
kehidupan kerja organisasi pemerintah, swasta, kemasyarakatan,
kepemudaan, perempuan, olahraga, seni dan budaya, sehingga
dapat dijadikan suatu kebijakan untuk dilaksanakan demi
kesejahteraan bersama.
3. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data atau keterangan yang diperoleh
peneliti langsung dari sumber utama (Sugiyono, 2016). Karena
jenis penelitian ini adalah library research sumber data primer
yang penulis gunakan adalah buku Qira’ah Mubadalah karya
Faqihuddin Abdul Kodir, buku Konseling Keluarga karya
Kathryn Geldard & David Geldard dan buku teori dan praktik
konseling dan psikoterapi karya Gerald Corey.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber
kedua atau data sekunder dari data yang dibutuhkan (Bungin,
2005). Untuk sumber data sekunder, penulis menggunakan
karya atau tulisan yang mengelaborasi konsep mubadalah
seperti jurnal, skripsi atau tulisan lain yang relevan dengan
penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
dokumentasi. Yaitu data-data yang berupa buku-buku, jurnal,
catatan-catatan, teori, artikel atau lainnya yang relevan dengan
pembahasan penelitian. (Mirzaqon dan Purwoko, 2017). Untuk
41

instrument pengumpulan data menurut Mirshad (2014) dalam


mengumpulkan instrument ada dua yang dapat di gunakan, yaitu;
a. Pengumpulan data dalam bentuk verbal simbolik, yaitu
mengumpulkan naskah-naskah yang belum di analisis.
b. Kartu data yang berfungsi untuk mencatat hasil data yang
telah didapat untuk lebih memudahkan peneliti dalam
mengklarifikasi data.

Kemudian Mirshad (2014) menjelaskan teknik pengumpulan


data pada penelitian kepustakaan adalah menentukan lokasi
pencarian data. Setelah lokasi ditentukan mulailah pencarian data
diperlukan. Pada tahap ini peneliti harus membaca data. Ada dua
cara membaca data yaitu:

a. Membaca pada tingkat simbolik. Seorang peneliti tidak


mungkin akan membaca seluruh sumber yang didapatkan.
Cara cepatnya dengan menangkap sinopsis dari buku, bab,
sub bab sampai pada bagian terkecil dari buku. Hal ini
sangat penting dilakukan untuk mengetahui peta penelitian,
hasilnya akan dicatat dalam kartu data dan diberikan kode
sesuai dengan peta dan kategori penelitian yang dilakukan.
b. Membaca pada tingkat semantik. Membaca data yang telah
dikumpulkan dengan lebih terperinci, terurai dan
menangkap esensi dari data tersebut.
5. Analisis Data
Menurut Milya Sari dan Asmendri (2020) analisis digunakan
untuk menentukan keberadaan kata-kata tertentu, konsep, tema,
frase, karakter atau kalimat dalam teks-teks atau serangkaian teks.
Teks dapat di definisikan secara luas sebagai buku, bab buku, esai,
wawancara, diskusi, tajuk berita dan artikel surat kabar, dokumen
sejarah, pidato, percakapan, iklan, atau dalam bentuk dokumen.
Untuk melakukan analisis teks di kodekan terlebih dahulu. Dapat
42

digunakan dalam penelitian kepustakaan adalah analisis konten.


Menurut Arikunto (2006) analisis konten yaitu mengungkapkan
makna simbolik yang tersamar dalam karya sastra. Dalam artian
peneliti berusaha mengungkap makna dan unsur-unsur konseling
yang terkandung dalam sumber data. Analisis konten adalah teknik
penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan
mengidentifikasi karakteristik-karakteristik khusus dalam teks
dengan sistematik dan objektif (Ismawati, 2011).
Langkah-langkah dalam menganalisis data adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi konsep mubadalah terkait dengan isu-isu
keluarga.
b. Mengidentifikasi relasi keluarga yang sehat menurut
konsep mubadalah.
c. Merelevansikan konsep mubadalah yang diaplikasikan
dengan konseling keluarga.
Adanya langkah-langkah atau tahapan yang harus ditempuh agar
penelitian ini dapat terarah yaitu:
a. Memahami isi yang ada di dalam buku-buku yang menjadi
data primer dan sekunder penelitian ini.
b. Mendeskripsikan konsep mubadalah sehingga
memunculkan implikasi terhadap relasi keluarga sehat dan
konseling keluarga dalam buku atau sumber data primer
maupun sekunder.
c. Membuat kesimpulan dari analisis yang didasarkan pada
analisis secara keseluruhan.
B. Sekilas Tentang Buku Qira’ah Mubadalah
Qira’ah mubadalah merupakan buku karya Faqihuddin Abdul
Kodir dengan judul lengkap Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk
Keadilan Gender dalam Islam. Buku ini terlahir karena Faqihuddin intens
bersinggungan dengan kegiatan lembaga-lembaga gerakan pemberdayaan
perempuan dan gender dalam perspektif Islam (Faqihuddin Abdul K.,
43

2019). Di sisi lain, Faqihuddin juga resah terhadap teori-teori gender atau
feminis dari barat yang terkesan galak sehingga tidak dapat diterima oleh
kalangan pesantren dan Muslim pada umumnya. Selain itu pula,
pemahaman keagamaan yang banyak diyakini terkesan masih sangat
patriarkis dan sering mendiskriminasi perempuan. Oleh karena itu
Faqihuddin merupakan satu dari sekian banyak orang yang mampu
menafsirkan bahwa Islam dan kesetaraan gender memiliki hubungan yang
sangat erat.
Qira’ah Mubadalah ini merupakan sebuah buku yang membahas
bagaimana memahami teks-teks nash (al-Qur’an dan Hadis) yang
menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. Selain itu, Faqihuddin pun
merumuskan konsep kesetaraan gender dalam Islam dengan sebutan
Mubadalah yaitu dengan melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat
Qur’an dan Hadis (Taufan, 2019). Faqihuddin meyakini bahwa ajaran
Islam pula ramah terhadap perempuan dan adil kepada laki-laki maupun
perempuan (Faqihuddin Abdul K., 2019). Akan tetapi kadang pembacaan
yang tidak utuh terhadap dalil-dalil atau ayat-ayat yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Hadis seputar relasi laki-laki dan perempuan yang ditafsirkan
secara tekstualis sehingga hal tersebut yang menimbulkan ketidakadilan
dan dijadikan alat untuk menindas. Hal tersebut yang menjadi kegelisahan
Faqihuddin untuk melakukan pembacaan ulang terhadap dalil-dalil al-
Qur’an dan Hadis yang ramah terhadap laki-laki maupun perempuan
dengan tujuan untuk menciptakan kemaslahatan tanpa ada yang di
diskriminasi. Menciptakan relasi yang adil, berkesalingan, kemitraan, dan
kerja sama antara laki-laki dan perempuan.
Pada karyanya ini, Faqihuddin mendapat dukungan dan disambut
baik oleh banyak kalangan dan tokoh. Mulai dari aktivis perempuan,
kalangan pesantren, akademisi dan lain sebagainya. Seperti K.H Husein
Muhammad, Ibu Sinta Nuriyah Wahid, Nyai Badriyah Fayyumi, Mbak
Alissa Wahid, Ibu Nur Rofi’ah, K.H Marzuki Wahid dan masih banyak
lagi (Faqihuddin Abdul K., 2019). Buku Qira’ah Mubadalah ini berisi
44

tujuh pembahasan. Pada bab pertama berisi tentang pendahuluan dari


penulis yang memaparkan latar belakang penulisan buku dan kerangka
penelitian yang ditempuhnya. Lalu bab dua dan ketiga merupakan
penjelasan tentang konsep mubadalah secara rinci. Kemudian bab empat
sampai enam merupakan inti penjelasan yaitu reinterpretasi Faqihuddin
terhadap teks-teks seputar relasi laki-laki dan perempuan. Dan terakhir bab
ketujuh merupakan argumen penutup dari Faqihuddin yang
mengemukakan tentang beberapa catatan khusus tentang metode
mubadalah yang ditawarkannya (Taufan, 2019). Topik-topik yang dibahas
dalam buku ini adalah mengenai isu-isu eksistensi jati diri kemanusiaan,
isu-isu publik seperti agama, sosial, ekonomi, politik, isu-isu pernikahan,
keluarga dan rumah tangga. Kemudian isu-isu tersebut dibahas lagi lebih
terperinci dalam bukunya. Karena pada konsep mubadalah ini mencakup
banyak isu yang dibahas, untuk itu peneliti hanya akan menggunakan
konsep mubadalah yang berkaitan tentang isu pernikahan, keluarga dan
rumah tangga.
Bersandar pada relasi antara laki-laki dan perempuan mengenai
prinsip kesalingan, Faqihuddin melihat secara jeli bagaimana
membenturkan teks agama dan realitas untuk mencari titik temu atas
ketimpangan relasi gender. Dengan konsep mubadalah yang ditawarkan,
sangat membantu menjawab kegelisahan dan mengubah paradigma
seseorang terkait isu ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan
yang selalu dikokohkan oleh tafsir agama (Siti Hajar, 2020).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsep Mubadalah Faqihuddin Abdul Kodir dalam Memandang Isu


Keluarga

Dalam konsep mubadalah terdapat banyak isu-isu yang dibahas


mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan. Namun, peneliti hanya
akan mencantumkan dan membahas terkait konsep mubadalah yang
berkenaan dengan fokus penelitian yaitu mengenai isu pernikahan, rumah
tangga dan keluarga. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya bahwa keluarga merupakan sekumpulan manusia yang
memiliki ikatan darah, ikatan pernikahan, atau adopsi baik itu laki-laki
atau perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak yang saling
memiliki ketergantungan dan ketersalingan satu sama lain. Di sisi lain,
keluarga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan manusia-manusia
yang berkarakter dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan
membawa kemaslahatan untuk para anggota keluarganya. Atas dasar itu,
di dalam keluarga karena ketergantungan satu sama lain menjadi sebuah
sistem yang saling mempengaruhi. Akibatnya, seringkali permasalahan
yang datang dalam suatu sistem keluarga begitu kompleks dan pelik. Oleh
karena itu Faqihuddin Abdul K dalam konsepnya yaitu mubadalah
memberikan tawaran untuk memandang kehidupan berumah tangga atau
keluarga menjadi lebih bijaksana dan mendatangkan kemaslahatan bagi
para anggota keluarga. Walaupun di dalam setiap keluarga mesti ada
problematika, namun dapat diselesaikan dengan cara yang baik.
Dalam maknanya sendiri Mubadalah berasal dari bahasa Arab
yaitu “mubadalah” dengan akar suku kata “ba-da-la” yang artinya
mengubah, mengganti, dan menukar. Dalam Al-Qur’an akar kata ini
terdapat 44 kali dengan beragam bentuk kata tetapi memiliki makna yang
serupa. Sementara itu, makna dari kata mubadalah ialah bentuk kerja sama

45
46

antara dua pihak (musyarakah) dan kesalingan (mufa'alah), yang artinya


saling menukar satu sama lain, saling mengganti, dan saling mengubah
(Faqihuddin Abdul K. 2019). Artinya ketika di aplikasikan dalam
kehidupan keluarga, seluruh anggota keluarga di dalamnya merupakan
sistem yang memiliki ketergantungan dan ketersalingan. Bahwa hubungan
antara suami dan istri sifatnya adalah kerja sama, timbal balik dan tidak
ada pihak yang superior dan pihak lainnya inferior. Begitu juga dengan
hubungan antara orang tua dan anak atau antar kakak beradik, walaupun
peran orang tua tetap memiliki kendali terhadap anaknya. Akan tetapi,
hubungan yang di bangun haruslah bersifat timbal balik, ketersalingan
dalam memberikan perlindungan, kenyamanan, kasih sayang, dan yang
lainnya untuk mewujudkan keluarga yang memberikan kemaslahatan.
Faqihuddin sendiri membahas isu keluarga dalam mubadalah
dengan detail berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an maupun hadis. Dalam
bukunya ada satu bab sendiri yang membahas terkait isu keluarga. Mulai
dari pondasi pernikahan yaitu tujuan menikah, kemudian pilar-pilar
penyangga kehidupan rumah tangga, peran yang fleksibel antara suami
dan istri, problematika krusial yang ada dalam keluarga sampai pada pola
pengasuhan anak.
Pada buku qira’ah mubadalah pembahasan bab isu keluarga
tersebut di awali dengan pembahasan mengenai tujuan pernikahan.
Menurut mubadalah, dalam Islam sendiri tujuan pernikahan di sebutkan
oleh beberapa teks Al-Qur'an dan Hadis. Oleh karenanya, mubadalah pun
merujuk pada teks-teks Al-Qur'an dan Hadis tersebut, yang kemudian
ditafsirkan dengan metode mubadalah dengan hasil bahwa tujuan teks-teks
ayat tersebut menyapa laki-laki dan perempuan. Seperti pada Q.S. ar-
Ruum (30): 21 yang berarti : “dan dari tanda-tanda (keagungan)-Nya,
Dia menciptakan untuk kamu pasangan kamu, dari jenis yang sama
dengan kamu, agar kamu bisa memperoleh ketentraman disis-Nya dan Dia
menjadikan diantara kamu (pasangan-pasangan) rasa saling cinta dan
sayang. Sesungguhnya pada (semua) hal itu, tanda-tanda (keagungan
47

Tuhan) bagi orang-orang berpikir” (QS. Ar-Ruum (30): 21). Mubadalah


menafsirkan bahwa ayat tersebut berlaku untuk laki-laki dan perempuan
dan berbicara memperoleh ketentraman (sakinah) dari pasangan sebagai
tujuan dari kehidupan berpasangan yang ideal. Ayat ini secara lafal literal
mengenai laki-laki yang memperoleh ketentraman dari istrinya. Namun
secara makna mubadalah juga mengenai perempuan yang memperoleh
ketentraman dari suaminya. Sehingga dengan tafsir metode qira’ah
mubadalah kata “azwaj” pada ayat diatas tidak diartikan “istri-istri” untuk
merujuk pada pasangan laki-laki saja, melainkan dimaknai “pasangan”
agar dapat berlaku untuk laki-laki (suami) yang berpasangan dengan
perempuan (istri), pun sebaliknya perempuan dengan laki-laki.
Berdasarkan Q.S. ar-Ruum (30): 21 tersebut tujuan daripada
pernikahan adalah untuk mendapatkan (sakinah) yang dirasakan oleh
suami-istri, dengan pondasi rasa dan sikap cinta (mawaddah) dan kasih
(rahmah). Begitu pun sama halnya dengan mubadalah bahwa seseorang
yang memutuskan untuk menikah agar memperoleh ketenangan,
ketentraman dan kebahagiaan bersama pasangan. Tujuan ketentraman
dapat terkait biologis(jamal), sosial (hasab), ekonomi (mal), dan moral-
spiritual (din). Bagi setiap orang tujuan pernikahan lumrah dengan empat
hal pertama. Empat hal tersebut tentu saja hal baik yang dalam menjalani
kehidupan berumah tangga. Namun jika tujuan pernikahan hanya
dikaitkan pada empat hal tersebut yang sifatnya sementara, naik-turun atau
datar, maka ikatan pernikahan akan mudah goyah jika empat hal tersebut
berkurang atau hilang.
Oleh karena itu, sangat diperlukan untuk memperkokoh serta
memperkuat tali dan komitmen berumah tangga yaitu komitmen-moral-
spiritual (din). Nabi Muhammad Saw. pun menyarankan agar memastikan
tujuan utama pernikahan seseorang adalah karena din. Kata din dapat
berarti agama, yang mana puncaknya adalah akhlak mulia. Din juga satu
akar dengan dayn, yang artinya utang, tanggung jawab, dan komitmen.
Dalam konteks pernikahan din dapat dimaknai sebagai “pondasi spiritual-
48

moral yang ada pada seseorang, yang membuatnya memiliki komitmen


untuk selalu berbuat baik terhadap pasangannya dan seluruh anggota
keluarga”. Komitmen ini memiliki nilai spiritul (din) sekaligus tanggung
jawab moral-sosial (dayn). Jadi perilaku baik seseorang kepada
pasangannya diharapkan merupakan dorongan dua hal yaitu keimanan
kepada Allah swt. (din) dan tanggung jawab kemanusiaan (dayn).
Teks lain yang dapat menjadi rujukan tujuan pernikahan adalah
teks hadis dari Abu Hurairah Ra. Yang artiya: “Abu Hurairah Ra.
Meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda “seorang
perempuan dinikahi seorang laki-laki (begitu pun sebaliknya, seorang
laki-laki dipilih perempuan) biasanya karena empat hal, harta (yang
melimpah), status sosial (yang baik), paras yang rupawan, dan komitmen
agaman (yang tinggi). Maka pilihlah yang memiliki (komitmen) agama,
agar tanganmu (tanggung jawab hidupmu) terbebas (dari kesengsaraan
hidup). (HR. Bukhori no. 5146). Pada hadis tersebut menyebutkan bahwa
tujuan dari pernikahan boleh saja karena ekonomi, sosial, dan biologis
karena Nabi Muhammad Saw. tidak melarangnya dan tidak pula
menganjurkannya karena hal tersebut wajar dan manusiawi. Akan tetapi
Nabi mengingatkan agar mengambil tujuan pernikahan adalah karena din.
Din dapat membuat keluarga menjadi lebih kuat, kokoh dan tidak mudah
goyah, bahkan memiliki nilai spiritual yang dalam. Din di sini pula
diartikan sebagai komitmen berelasi untuk menghadirkan kebaikan
terhadap pasangan.
Dalam hal ini, menurut pemahaman penulis bahwa mengetahui
tujuan menikah menjadi sangat perlu sebelum seseorang berani
memutuskan untuk menikah. Kemudian setelah mengetahui tujuan
pernikahannya, hal yang dilakukan adalah menjaga keutuhan rumah
tangga dan keluarga yang akan di bangun. Lalu bagaimana menjaga
keutuhan dan keharmonisan keluarga agar terhindar dari sesuatu yang
tidak diinginkan?. Mubadalah sendiri telah menjawab bahwa untuk
menjaga kekokohan rumah tangga, diperlukan adanya pilar penyangga
49

untuk menopangnya. Karena dalam menjalankan kehidupan rumah tangga


yang penuh dinamika, diperlukan pilar-pilar penyangga untuk
memperkokoh bangunan keluarga agar mencapai kebaikan hidup di dunia
dan akhirat. Dalam mubadalah terdapat lima pilar penyangga dalam
kehidupan rumah tangga.

Pertama, komitmen pada ikatan janji yang kokoh sebagai amanah


Allah Swt. (mitsaqon ghalizhan). Yang dimaksud dalam pilar pertama ini
adalah membicarakan tentang perjanjian atau kesepakatan antara kedua
belah pihak dan komitmen bersama yang diwujudkan melalui akad nikah.
Walaupun pada akad nikah berlangsung yang melakukan ijab qabul adalah
calon pengantin laki-laki dengan wali laki-laki dari calon pengantin
perempuan, akan tetapi subjek yang bersedia dan mengikat diri pada
perjanjian/kesepakatan untuk membangun rumah tangga adalah pengantin
lak-laki dan perempuan. Kedua belah pihak tersebutlah yang berjanji,
bersepakat dan berkomitmen untuk hidup bersama dan membangun
rumah tangga. Ikatan itulah yang harus diingat, dirawat dan dipelihara
bersama. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai “ikatan
yang kokoh” agar menjadi pengingat yang harus terus dikokohkan secara
bersama-sama sepanjang kehidupan pernikahan. Sebagaimana disebutkan
dalam QS. An-Nisaa (4): 20-21 yang artinya: “ Dan jika kamu ingin
mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka jangnlah
kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain
(sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”

Pilar kedua, yaitu prinsip berpasangan dan berkesalinga (zawaj).


Pilar ini menjelaskan bahwa dalam relasi pernikahan, laki-laki dan
50

perempuan adalah pasangan. Dalam Al-Qur’an istilah suami atau istri


menggunakan kata “zawj”, yang berarti pasangan. Artinya suami adalah
pasangan (zawj) istri dan istri adalah pasangan (zawj) suami. Sebagaimana
digambarkan dalam Al-Qur’an prinsip berpasangan ini disebutkan dalam
QS. Al-Baqarah (2):187 yang mengungkapkan bahwa suami adalah
pakaian istri dan istri adalah pakaian istri. Pakaian dalam ayat tersebut
dijadikan sebagai perumpamaan bahwa fungsi suami istri adalah untuk
saling menutupi, menghangatkan, memelihara, menyempurnakan,
menghiasi dan memuliakan satu sama lain.
Ketiga, saling memperlakukan dengan baik (mu’asyaroh bil
ma’ruf). Pilar ini adalah etika relasi suami-istri yang paling fundamental.
Dalam pilar ini menegaskan terkait prinsip, perspektif dan nilai kesalingan
antara suami dan istri harus selalu dihadirkan dan dirasakan oleh kedua
bellah pihak maupun anggota keluarga yang lain. Yang menjadi landasan
dalam pilar ini adalah QS. An-Nisaa (4) : 19 yang artinya : “wahai orang-
orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak
mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Keempat, kebiasaan saling berembuk bersama (musyawarah). Pada
pilar ini membicarakan tentang perilaku atau sikap untuk selalu bertukar
pikiran dan berembuk dalam memutuskan sesuatu yang mengenai
kehidupan rumah tangga. Salah satu pihak dalam keluarga tidak boleh
otoriter atau memaksakan kehendak anggota keluarga yang lain. Pilar ini
disebutkan pada QS. Ath-Thalaq (65) : 6 dan QS. Al-Baqarah (2) : 233.
Keduanya berbicara tentang pentingnya musyawarah atau berembuk antara
suami-istri.
51

Kelima, perilaku saling memberi kenyamanan atau kerelaan


(taradhin). Pada pilar yang terakhir ini berbicara tentang perilaku saling
merasa nyaman dan memberi kenyamanan kepada pasangan. Bahwa antara
kedua belah pihak suami dan istri harus memiliki perilaku menerima dan
saling memberikan rasa nyaman.
Itulah kelima pilar yang hendaknya di bangun oleh seluruh anggota
keluarga di dalamnya. Selain daripada itu, dinamika dan problem dalam
keluarga dapat pula muncul berasal dari peran, hak dan kewajiban yang
menuntut antara satu sama lain. Sehingga, terdapat peran, hak dan
kewajiban baku yang di emban oleh anggota keluarga. Seperti istri yang
harus mengikuti apa kata suami nya dan tidak boleh membantah, nafkah
yang harus di lakukan oleh suami sedangkan istri bekerja di rumah
mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sehingga, hal ini jika
tidak dikomunikasikan dengan baik, akan menimbulkan problem pula.
Oleh sebab itu, dalam mubadalah hak dan kewajiban tersebut disifatkan
fleksibel dan tidak ada hal dan kewajiban yang mutlak antara keduanya.
Faqihuddin Abdul K. menjelaskan hak dan kewajiban pasangan
suami-istri berdasarkan pada fiqih klasik hanya bertumpu pada tiga hal
yaitu relasi yang baik (mu’asyaroh bil ma’ruf), nafkah harta dan layanan
seks. Pada hak dan kewajiban yang pertama yaitu relasi ditujukan untuk
kedua belah pihak. Relasi ini harus mendatangkan kebaikan dan tidak
mendominasi oleh salah satu pihak. Melainkan relasi di sini adalah bentuk
kesalingan (mubadalah), berpasangan (zawaj), kerja sama
(musyawakah), dan kemitraan (mu’awanah). Kemudian hak yang kedua
yaitu nafkah harta, cenderung lebih dibebankan kepada suami terhadap
istri, walaupun sesekali istri diminta untuk berkontribusi dalam kondisi
tertentu. Akan tetapi, untuk hak yang ketiga, cenderung dibebani kepada
seorang istri, yaitu terkait seks. Fiqih menekankan kewajiban seorang istri
kepada suami. Namun, melalui perspektif mubadalh hak dan kewajiban
tersebut dapat menjadi fleksibel dengan rumusan prinsip mu’asyarah bil
ma’ruf . karena hak dan kewajiban sifatnya tidak mutlak seiring
52

perkembangan zaman yang dinamis bahwa sudah banyak istri yang


bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pada persoalan nafkah dalam hubungan suami-istri sifatnya adalah
fleksibel, dimana kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab bersama
sehingga persoalan nafkah pun menjadi kewajiban bersama. Oleh karena
itu, harta yang dihasilkan oleh kedua belah pihak atau salah satunya adalah
milik bersama. Salah satu pihak tidak boleh mengkali atau menguasai
harta yang dihasilkan bersama atau salah satu pihak, karena harta tersebut
milik bersama dan dikelola bersama untuk kemaslahatan dalam keluarga.
Kemudian terkait seks, istri sebgaiamana suami yang perlu dipenuhi
kebutuhan seksnya. Islam pun memandang bahwa terkait kebutuhan seks
di dalam sebuah pernikahan sifatnya adalah timbal balik yang menjadi hak
dan kewajiban bersama. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah
(2) : 187 yang berbunyi “hunna libasun lakum wa antum libasun
lahunna” bahwa suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakian suami.
Sehingga, setiap pihak suami atau istri berhak mendapatkan layanan seks
dari pihak yang lain dan berkewajiban melayani pula. Hal tersebut
tentunya harus dikomunikasikan dengan terbuka dan setara. Agar tidak
ada pihak yang mendominasi dan merasa paling berhak atas kebutuhan
tersebut. Dengan demikian, dalam mubadalah yang berdasarkan pada lima
pilar pernikahan bahwa baik nafkah maupun kebutuhan seks harus
menjadi hak dan kewajiban antara kedua belah pihak.
Hak dan kewajiban tersebut perlu dipahami oleh suatu keluarga,
agar tidak saling menuntut satu sama lain. Karena jika tidak, akan
membawa problem dalam keluarga itu sendiri. Apalagi jika tidak berusaha
membangun limar pilar seperti yang sudah di jelaskan atas. Maka,
kemungkinan besar akan bermunculan persoalan-persoalan yang tidak
diinginkan dan menjadi menyakiti satu sama lain di dalam anggota
keluarga. Dalam tafsir al-Qur’an sendiri terdapat empat problem krusial
relasi suami-istri yang kemudian di tafsirkan pada qira'ah mubadalah
yaitu:
53

a. Nusyuz
Nusyuz lebih sering dimaknai dengan pembangkangan istri
terhadap suami. Pemaknaan tersebut terkesan bahwa hanya istri
yang membangkang terhadap suami, sehingga tidak ada
pembangkangan suami terhadap istri. padahal pembangkangan
dapat terjadi oleh suami maupun istri. dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) sendiri hanya ada pasal nusyuz istri yang tidak
melaksanakan kewajiban kepada suami, jika tanpa alasan di
anggap nusyuz. Pada hal tersebut artinya tidak seimbang dan perlu
dimaknai ulang secara mubadalah. Al-Qur’an sendiri membahas
nusyuz dari dua arah yaitu pada QS. An-Nisaa (4)): 34 tentang
nusyuz istri kepada suami dan QS. An-Nisaa (4): 128 membahas
nusyuz suami kepada istri. di dalam perspektif mubadalah, nusyuz
adalah kebalikan dari taa. Dimana keduanya bersifat resiprokal
karena suami ataupun istri dituntut untuk memiliki komitmen
bersama dalam menciptakan segala kebaikan dalam rumah tangga
(jalbu al-mashalih) dan menghindarkan segala keburukan darinya
(dar’u mafashid). Dengan demikian menurut perpektif mubadalah
nusyuz dapat terjadi oleh kedua belah pihak. Dalam kondisi
tersebut kemudia Allah menganjurkan untuk berdamai dan kembali
pada komitmen bersama antar keduanya.
b. Kekerasan
Dalam perspektif mubadalah segala jenis kekerasan atau
pemukulan bentuk apapun sangat tidak dianjurkan untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam keluarga.
Faqihuddin Abdul K. mengutip dari perkataan Ibnu Hajar Al-
Asqallani bahwa pemukulan dapat menimbulkan sakit hati dan
kebencian. Karena hal ini bertentangan dengan prinsip pernikahan
yaitu berpasangan dan saling memperlakukan dengan baik.
Kekerasan dalam rumah tangga pula di tentang oleh negara dan
dijadikan sebagai sebagai regulasi yaitu UU penanggulangan
54

KDRT Tahun 2004. Rasulullah saw. sendiri menentang keras


perilaku kekerasan atau pemukulan terhadap anggota keluarganya.
Sebagaimana dalam hadis shahih muslim yang berbunya: Aisyah
Ra. Berkata, “Rasulullah Saw. tidak pernah memukul seseorang
sama sekali, tidak istri, tidak juga pembantu (hamba sahaya)”.
Kemudia lanjut pada hadir shahih bukhari yang mengatakan dari
Abdullah bin Zama’ah, dari Nabi Muhammad Saw. yang bersabda,
“janganlah seseornag di antara kamu memukul istrinya,
(menganggap boleh) bagaikan memukul hamba sahaya, (padahal)
kemudian menggaulinya di sore hari”.
c. Poligami
Poligami merupakan sesuatu yang masih banyak
diperdebatkan oleh banyak kalangan. Banyak pula pihak yang
melakukan poligami sebagai jalan untuk mengikuti sunnah Rasul.
Dalam mubadalah sendiri memandang bahwa poligami bukan
solusi dalam relasi dalam pasangan suami-istri, justru menjadi
problem yang mendatangkan keburukan. Ayat yang seringkali
dijadikan dalil poligami adalah QS. An-Nisaa (4) : 3 yang artinya:
“dan jika kamu takut tidak mampu berbuat adil kepada anak-anak
yatim (perempuan, jika kalian nikahi mereka, karena mereka
lemah dan tidak ada yang membela), maka nikahi saja perempuan-
perempuan lain, bisa dua, tiga, atau empat. Tetapi, jika kalian
takut tidak mampu berbuat adil (dengan menikah lebih dari satu
perempuan), maka nikahilah satu (perempuan) saja. Karena hal
itu (menikahi satu perempuan) lebih dekat untuk tidak berbuat
aniaya (kepada para perempuan dan anak-anak).”
Pada ayat ini memiliki empat penggalan yaitu : menjauhi
penzhaliman anak-anak yatim dengan tidak menikahi mereka;
tetapi menikahi perempuan lain bisa dua, tiga, atau empat; itu pun
kalau kekhawatiran tidak adil, satu istri saja; karena satu istri lebih
dekat untuk tidak dzalim atau berperilaku buruk. Keempat
55

penggalan tersebut terdapat pula satu ayat yang biasanya menjadi


dalil untuk memperbolehkan poligami. Padahal, terdapat tiga
penggalan lain yang membatasi kebolehan poligami yaitu
mengenai keadilan dan kewaspadaan dari kemungkinan berbuat
zhalim memandang hal ini, mubadalah memandang hal ini menjadi
tiga poin yaitu:
Pertama, jika kesabaran merupakan perilaku yang baik dan
mulia serta perlakuanya dicintai Allah Swt. Maka bukan
perempuan saja yang hanya dituntut dari suami yang ingin atau
sudah poligami. Akan tetapi, seharusnya suami pun dituntut untuk
bersabar dan tidak berpoligami agar menjadi orang yang mulia dan
dicintai Allah Swt. Sama halnya dengan kesetiaan. Kesetiaan
merupakan sesuatu yang baik pula dalam Islam, maka dari itu
bukan hanya perempuan (istri) saja yang dituntut untuk setia dan
melayani suaminya. Namun laki-laki (suami) pula dituntut untuk
setia dan melayani istrinya. Keduanya (suami dan istri) dituntut
yang sama terkait kesabaran dan kesetiaan pada pasangan karena
hal tersebut baik dan berpahala dilakukan oleh siapa pun.
Kedua, bahwa perempuan mempunyai hak sepenuhnya
menolak poligami dengan dasar untuk menjauhkan dirinya atau
keluarganya dari kerusakan dan mudharat (dar’u mafashid).
Sebagaimana yang diteladankan oleh Fatimah Ra. Putri Nabi
Muhammad Saw. fatimah Ra. Meminta ayahnya, Nabi Muhammad
Saw. untuk mendukung dirinya agar menolak rencana Ali Ra.
Yang ingin berpoligami.
Ketiga, perempuan memiliki hak cerai jika suaminya
memaksa poligami. Dalam narasi yang selama ini berkembang
dimasyarakat bahwa perempuan yang meminta cerai karena
poligami disebut sebagai pelanggar tuntunan istri shalihah yang
dijanjikan surga di akhirat kelak. Seorang istri diharuskan bersabar
dan menganggap cerai dari poligami sebagai sesuatu yang tidak
56

baik. Semua narasi tersebut (melarang cerai karena poligami) sama


sekali tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Justru sedari lima belas
abad yang lalu, Al-Qur’an menganggap poligami sebagai persoalan
rumah tangga sebagai bagian dari nusyuz suami kepada istri yang
bisa di sikapi dengan perceraian.
d. Perceraian
Perceraian merupakan isu yang seringkali dinarasikan tidak
seimbang dari problem rumah tangga. Seringkali dalam narasi
agama, permpuan dituntut untuk selalu bersabar dengan perilaku
suami dan tidak meminta cerai. Mubadalah memandang bahwa
narasi tersebut harus di seimbangkan dengan narasi yang sama
yang diajukan kepada suami, agar tidak mudah menjatuhkan cerai
kepada istri, dan bersabar dengan seluruh perilaku istri daripada
menjatuhkan cerai. Sehingga ketika istri meminta cerai tanpa sebab
akan dijauhkan dari surga, maka begitu pun dengan laki-laki yang
berniat menceraikan istri tanpa sebab juga memperoleh ancaman
serupa.
Selain dari pada problem-problem di atas, terdapat pula problem
yang sering muncul dalam suatu keluarga, yaitu soal pengasuhan dan
pendidikan. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Kuatnya
akan menjadi kekuatan dalam masyarakat, begitu pula lemahnya akan
menjadi kelemahan masyarakat. Mubadalah dalam memandang keluarga
merupakan tanggung jawab bersama setiap anggota keluarga di dalamnya.
Bukan hanya perempuan atau laki-laki, bukan pula hanya orang tua, akan
tetapi anak-anak bahkan sampai cucu pun memilki tanggung jawab. Dalam
kondisi keluarga yang lebih besar, tanggung jawab pun melebar tidak
hanya pada anggota inti saja. Tanggung jawab tersebut harus dimaknai dan
dijalankan dengan positif. Untuk memberikan yang terbaik (jalbu al-
mashalih) dan menjauhkan dari keburukan (dar’u al-mafashid) bukan
untuk mengekang, menyakiti atau menjerumuskan. Keluarga harus
menjadi tempat yang nyaman bagi setiap anggota keluarganya sebagai
57

upaya untuk meningkatkan potensi dan tumbuh berkembang dengan


kapasitasnya masing-masing.
Ada istilah yang menyatakan bahwa al-umm madrasah ula yang
artinya adalah ibu merupakan sekolah pertama bagi anak-anak. Ungkapan
tersebut bukan merupakan penyerahan tanggung jawab mendidik anak
atau keluarga kepada ibu atau perempuan semata. Bukan pula beban
apalagi sampai menyalahkan jika terjadi gagal dalam pengasuhan.
Keduanya harus berperan aktif dalam mengasuh, mendidik dan
membesarkan anak mereka. Sehingga dalam teks tersebut ketika dimaknai
menurut perspektif mubadalah diartikan sebagai keluarga atau orang tua,
bukan hanya ibu semata. Jadi ungkapan al-umm madrasah ula” menurut
tafsir mubadalah artinya adalah orang tua merupakan sekolah pertama dan
utama. Keluarga adalah sekolah kehidupan yang pertama dan utama bagi
anggota keluarganya.
Demikian merupakan konsep mubadalah dalam memandang isu
keluarga. Dimana yang pada intinya menurut pengamatan penulis adalah
di dalam keluarga harus terdapat relasi yang timbal balik antar anggota
keluarga. Hal tersebut guna mewujudkan kemaslahatan bagi para anggota
keluarga dan menghindarkan dari berbagai macam bentuk persoalan yang
fatal sehingga menyakiti pihak anggota keluarga yang lain. Karena,
keluarga yang sehat dan harmonis merupakan keluarga yang dapat di
topang oleh semua pihak, membangun relasi yang sehat, menyelesaikan
persoalan keluarga dengan baik dan tanpa kekerasan.

B. Mengupayakan Relasi Keluarga yang Sehat Menurut Konsep


Mubadalah
1. Urgensi Relasi Sehat dalam Keluarga
Relasi merupakan hubungan saling mempengaruhi dan timbal
balik antar individu yang satu dengan individu yang lainnya. Dimana
dalam suatu relasi terdapat interaksi antara dua orang atau lebih. Karena
terdapat interaksi di dalam hubungan tersebut, kemudian timbullah adanya
keterpengaruhan satu sama lain. Keterpengaruhan ini yang akan
58

menimbulkan dampak jangka panjang yang dirasakan oleh individu yang


memiliki hubungan. Nah, dampak ini bisa menjadi baik atau pun buruk,
tergantung pada bagaimana relasi yang telah di bangun. Berbicara tentang
relasi, memiliki makna yang sangat luas. Pasalnya setiap adanya
hubungan, interaksi yang terjadi antar manusia, pasti terdapat relasi di
dalamnya. Akan tetapi, relasi yang pertama kali terjalin pada manusia
yaitu relasi dalam keluarga. Relasi dalam keluarga inilah yang akan
membentuk manusia tersebut untuk membangun relasi-relasi di luar
keluarganya. Ketika relasi yang di bangun dalam keluarga itu baik, maka
individu yang ada di dalamnya bertumbuh baik pula. Pun sebaliknya,
ketika relasi dalam keluarganya buruk, individu yang bertumbuh pun akan
mengikuti. Pertanyaannya adalah bagaimana relasi yang baik dan buruk ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui tentang aspek-aspek
dalam relasi.
Terdapat aspek di dalam relasi menurut para ahli yang di kutip dari
jurnal Novi dkk, yaitu sosial network, sosial support dan sense of control
(Antonucci, 2001), support, conflict dan power (De-Goede et Al, 2008),
dominance, power dan status (Hall, Coats, & LeBau, 2005). Di lihat dari
yang diungkapkan para ahli tersebut terdapat perspektif yang sama yaitu
mengenai power dan support. Dimana dalam suatu relasi terdapat
kekuasaan dan adanya dukungan. Selain itu pula terdapat kata sense of
control dan dominance dimana kata tersebut konotasinya adalah
kekuasaan. Nah hal itulah yang akan membawa baik ataupun buruknya
dalam suatu relasi ataupun hubungan. Relasi yang baik itu biasanya di
sebut dengan relasi yang sehat. Relasi yang sehat merupakan hubungan
yang adil dan setara di antara pihak yang ada di dalamnya
(yayasanpulih.org (2019).
Dalam konteks suami istri, hubungan yang terjadi yaitu sejajar,
setara, dan adil antar kedua belah pihak, yang selalu mendahulukan
kebaikan atau kemaslahatan untuk semua pihak. Sehingga terbentuklah
sikap ketersalingan, seperti saling mendukung, saling menghargai, saling
59

menerima dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan relasi yang


buruk?. Relasi yang buruk atau yang biasa di sebut dengan toxic
relationship merupakan hubungan yang merugikan salah satu pihak.
Dimana terdapat pihak yang dirugikan dan mendominasi di antara pihak
yang lain. Hal ini yang akan memicu terjadinya kekerasan, pembatasan
kebebasan atau control, dan hal lain yang merugikan salah satu pihak.
Apabila toxic relationship terjadi dalam sistem keluarga maka disebut
sebagai toxic family. Toxic family akan menjadi bahaya untuk
keberlangsungan kehidupan berkeluarga. Pasalnya, hal tersebut akan
menghambat keberlangsungan fungsi dalam keluarga. Yang tadinya
keluarga menjadi tempat untuk pembentukan karakter dan penanaman
nilai-nilai yang luhur serta membawa kemaslahatan, justru karna
hubungan yang di bangun adalah toxic maka yang terjadi adalah
kebalikannya yaitu membawa keburukan atau kemadharatan.
Menurut zine (media cetak publikasi) yang di tulis oleh Shera
Rindra P (2017) untuk Aliansi Laki-laki baru, bahwa relasi yang tidak
sehat dipengaruhi oleh relasi kuasa yang timpang dalam berpasangan.
Agar relasi kuasa yang timpang tersebut dapat terus berjalan, perlu
diciptakan rasa takut terhadap pihak yang ingin didominasi. Ketika rasa
takut itu sudah muncul, maka korban akan dengan sangat mudah dikuasai
(kontrol) oleh pelaku. Pada titik tersebut pelaku akan mulai mendominasi
segala aspek dalam relasinya dengan korban. Terkait dengan keluarga hal
ini yang akan menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Berdasarkan catatan tahunan yang di buat oleh Komnas perempuan pada
tahun 2020 menunjukkan kasus KDRT mencapai angka 75% (11.105
kasus). Kekerasan yang menempati peringkat pertama yaitu kekerasan
fisik sebanyak 4.783 kasus (43%), disusul kekerasan seksual mencapai
angka 2.807 kasus (25%), kemudian psikis 2.056 (19%) dan ekonomi
sebesar 1.459 kasus (13%). Kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan
terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, marital rape, dan inses
(www.komnasperempuan.go.id). Data ini menunjukkan bahwa banyak
60

sekali perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam relasi yang di


tunjukkan dengan KDRT tersebut. Hal ini tidak jauh dikarenakan relasi
kuasa yang dilakukan oleh laki-laki (suami) sehingga mereka dapat
menggunakan kekuasaan itu untuk menyakiti anggota keluarganya. Di sisi
lain pula, dalam masyarakat kita masih melanggengkan budaya patriarki
dalam pemahaman terhadap dalil Al-Qur'an dan Hadis yang tekstual yang
mana masih bersudut pandang pada laki-laki dan cenderung tidak
menyapa kaum perempuan.
Untuk itu, sangat diperlukan penafsiran kontemporer yang melihat
situasi saat ini dan membaca ulang penafsiran terhadap dalil-dalil Al-
Qur'an dan Hadis yang lebih adil dan setara terkait relasi antara laki-laki
dan perempuan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Faqihuddin Abdul K
melalui gagasan yang di buatnya yaitu Mubadalah. Dalam konsep
mubadalah menguraikan tentang berelasi yang adil antara laki-laki dan
perempuan dalam berbagai sektor kehidupan termasuk dalam kehidupan
berumah tangga. Menurut Faqihuddin Abdul K yang di maksud dengan
relasi yang adil adalah relasi yang berkesalingan. Dalam kehidupan
berkeluarga, antara laki-laki (suami), perempuan (istri) serta anak perlu
adanya kerja sama untuk saling menjaga, saling membahagiakan dan
saling memperlakukan satu sama lain secara baik (mu'asyarah bil ma'ruf).
Sehingga tidak ada relasi yang timpang atau mendominasi salah satu pihak
yang menjadi percikan api kepada persoalan-persoalan yang lebih besar
dan berbuntut pada merugikan salah satu anggota keluarga. Pada konsep
mubadalah sendiri dijelaskan problem krusial yang di dapati dalam
kehidupan rumah tangga. Seperti yang telah sebutkan di atas yaitu nusyuz,
kekerasan, poligami, dan perceraian. Berbicara tentang persoalan yang
muncul dalam rumah tangga memang bukan hanya itu, akan tetapi dapat
pula timbul karena peran dan tanggung jawab masing-masing anggota
keluarga yang tidak fleksibel, masalah pengasuhan anak dan lain
sebagainya. Namun, berawal dari peran dan tanggung jawab yang tidak
fleksibel tersebut dalam anggota keluarga yang nantinya akan
61

menimbulkan klimaks problem krusial yang terjadi yaitu nusyuz,


kekerasan, poligami dan perceraian. Menurut hemat penulis, ini yang
disebut sebagai relasi yang tidak sehat. Dikarenakan problem yang muncul
tersebut akan merugikan salah satu pihak anggota keluarga dan berdampak
pada fisik atau psikisnya.
2. Relasi timbal balik atau berkesalingan sebagai upaya mewujudkan relasi
yang sehat dalam keluarga
Untuk mengupayakan relasi yang sehat dalam keluarga, mubadalah
membuatnya melalui 5 pilar penyangga kehidupan rumah tangga/keluarga,
yaitu:

a. Pertama, komitmen pada ikatan janji yang kokoh sebagai amanah


Allah Swt. (mitsaqon ghalizhan). Yang dimaksud dalam pilar pertama
ini adalah membicarakan tentang perjanjian atau kesepakatan antara
kedua belah pihak dan komitmen bersama yang diwujudkan melalui
akad nikah. Walaupun pada akad nikah berlangsung yang melakukan
ijab qabul adalah calon pengantin laki-laki dengan wali laki-laki dari
calon pengantin perempuan, akan tetapi subjek yang bersedia dan
mengikat diri pada perjanjian/kesepakatan untuk membangun rumah
tangga adalah pengantin lak-laki dan perempuan. Kedua belah pihak
tersebutlah yang berjanji, bersepakat dan berkomitmen untuk hidup
bersama dan membangun rumah tangga. Ikatan itulah yang harus
diingat, dirawat dan dipelihara bersama. Oleh karena itu dalam Al-
Qur’an disebutkan sebagai “ikatan yang kokoh” agar menjadi
pengingat yang harus terus dikokohkan secara bersama-sama
sepanjang kehidupan pernikahan. Sebagaimana disebutkan dalam QS.
An-Nisaa (4): 20-21 yang artinya: “ Dan jika kamu ingin mengganti
istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada
seorang di antara mereka harta yang banyak, maka jangnlah kamu
mengambil kembali sedikit pun darinya. A pkah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan
62

mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain


(sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”
b. Pilar kedua, yaitu prinsip berpasangan dan berkesalingan (zawaj).
Pilar ini menjelaskan bahwa dalam relasi pernikahan, laki-laki dan
perempuan adalah pasangan. Dalam Al-Qur’an istilah suami atau istri
menggunakan kata “zawj”, yang berarti pasangan. Artinya suami
adalah pasangan (zawj) istri dan istri adalah pasangan (zawj) suami.
Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an prinsip berpasangan ini
disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2):187 yang mengungkapkan
bahwa suami adalah pakaian istri dan istri adalah pakaian istri. Pakaian
dalam ayat tersebut dijadikan sebagai perumpamaan bahwa fungsi
suami istri adalah untuk saling menutupi, menghangatkan,
memelihara, menyempurkan, menghiasi dan memuliakan satu sama
lain.
c. Ketiga, saling memperlakukan dengan baik (mu’asyaroh bil ma’ruf).
Pilar ini adalah etika relasi suami-istri yang paling fundamental. Dalam
pilar ini menegaskan terkait prinsip, perspektif dan nilai kesalingan
antara suami dan istri harus selalu dihadirkan dan dirasakan oleh kedua
belah pihak maupun anggota keluarga yang lain. Yang menjadi
landasan dalam pilar ini adalah QS. An-Nisaa (4) : 19 yang artinya :
“wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut
cara yang patut. Jika kamu tidak mereka, (maka bersabarlah) karena
boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
kebaikan yang banyak padanya.”
d. Keempat, kebiasaan saling berembuk bersama (musyawarah). Pada
pilar ini membicarakan tentang perilaku atau sikap untuk selalu
63

bertukar pikiran dan berembuk dalam memutuskan sesuatu yang


mengenai kehidupan rumah tangga. Salah satu pihak dalam keluarga
tidak boleh otoriter atau memaksakan kehendak anggota keluarga yang
lain. Pilar ini disebutkan pada QS. Ath-Thalaq (65) : 6 dan QS. Al-
Baqarah (2): 233. Keduanya berbicara tentang pentingnya musyawarah
atau berembuk antara suami-istri.
e. Kelima, perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan (taradhin).
Pada pilar yang terakhir ini berbicara tentang perilaku saling merasa
nyaman dan memberi kenyamanan kepada pasangan. Bahwa antara
kedua belah pihak suami dan istri harus memiliki perilaku menerima
dan saling memberikan rasa nyaman.

Berdasarkan lima pilar tersebut ketika di aplikasikan dalam berelasi


bersama pasangan ini sejalan dengan apa yang di ungkapkan dalam Rusdi
Ma’ruf mengenai pasangan yang bermitra dan sejajar maka akan timbul sikap
seperti sebagai berikut :

a. Saling mengerti, yaitu mengerti latar belakang pasangan dan diri


sendiri.
b. Saling menerima adanya kesenangan dan kekurangan.
c. Saling menghormati, yaitu menghormati baik perkataannya, perasaan,
bakat dan keinginan serta menghargai keluarga.
d. Saling mempercayai
e. Saling mencintai dengan cara lemah lembut dalam pergaulan dan
pembicaraan, menunjukkan perhatian pada suami/istri, bijaksana
dalam pergaulan, menjauhi sikap egois, tidak mudah tersinggung dan
menunjukkan rasa cinta.
Demikian pola yang di bangun antar anggota keluarga, bukan hanya
suami dan istri akan tetapi berlaku pula terhadap anak akan menjadi sehat dan
memberikan kemaslahatan untuk seluruh anggota keluarga. Sekali lagi
menurut penulis keluarga sehat bukanlah keluarga yang tanpa masalah, akan
tetapi keluarga yang sehat adalah keluarga yang mengetahui dan menyadari
64

masalah dengan mengusahakan penyelesaian dengan baik tanpa adanya


kekerasan ataupun menyakiti secara fisik dan psikis anggota keluarga yang
lain. Problem atau masalah dalam keluarga hal yang wajar dan hal itu sebagai
proses pendewasaan dalam hubungan. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Shera Rindra P (2017) Bahwa “A healthy relationship is equally nourishing
one another and allowing each lovers mind to blossom freely all the while
being supportive”. Jadi intinya, relasi keluarga sehat merupakan relasi yang
setara antar anggota keluarga dan tanpa ada kekerasan di dalamnya.

3. Ekspresi 5 bahasa kasih dalam menjalin relasi yang sehat


Mengupayakan relasi keluarga yang terjalin agar menjadi sehat tidak
cukup sampai pada 5 pilar penyangga kehidupan rumah tangga/keluarga di
atas. Karena dalam menjalin hubungan, sangat perlu pula memahami karakter
yang dimiliki oleh anggota keluarga yang lain. Agar dapat memahami satu
sama lain yaitu dengan cara mengkomunikasikan bahasa cinta atau bahasa
kasih yang di miliki oleh pasangan atau anggota keluarga yang lain. Ekspresi
cinta ini harus di pahami dan dipelajari agar tidak salah paham dalam
melakukannya. Bahasa kasih pula merupakan bentuk penghargaan terhadap
pasangan atau anggota keluarga yang lain. Bahasa kasih merupakan sebuah
konsep sudut pandang terhadap kebutuhan oleh sepasang individu dalam
usaha menjalin hubungan (Yuarini, dkk., 2021) atau juga dalam artikel satu
persen yang ditulis oleh Fathan Akbar (2020) "love language atau bahasa
cinta/kasih adalah cara bagi seseorang untuk mengekspresikan rasa cintanya
kepada orang lain". Lima bahasa kasih ini pertama kali di cetuskan oleh
seorang penulis asal Amerika yaitu Gery chapman dengan judul buku the five
languages yang kemudian menjadi buku terlaris dengan terjualnya lebih dari
10 juta copy dan di terjemahkan ke dalam 50 bahasa (Andika Lady M., 2016).
Menurut Chapman (2010), Bahasa cinta terdiri dari lima Bahasa yang dapat
digunakan oleh individu, yaitu: Words of Afirmation (Pemberian kata-kata
positif), Quality Time (pemberian perhatian saat bersama individu lain), Acts
of Service (pemberian bantuan dari pasangan), Receiving Gifts (pemberian
hadiah kepada pasangan), dan Psychical Touch (pemberian rasa aman dan
65

dicintai berupa sentuhan fisik). Saat ini, konsep dari Gary chapman tersebut
sudah banyak digunakan dan diterapkan oleh banyak orang termasuk pada
konsep mubadalah.
Dalam konsep mubadalahnya, faqihuddin mengadopsi konsep 5
bahasa kasih yang di cetuskan oleh Gary chapman, akan tetapi di elaborasi
menjadi konsep mubadalah yaitu bersifat timbal balik. Bahwa ekpresi cinta
tidak bisa satu arah, masing-masing pihak mengusahakan untuk memberi dan
menerima, melakukan dan meminta ekpresi cinta tersebut. Menurut
Faqihuddin sendiri "Ekspresi atau bahasa kasih adalah segala tindakan dan
ekspresi masing-masing, dari suami dan istri, terhadap pasangannya yang
dapat memupuk cinta kasih mereka berdua". Sebagaimana Gary Chapman,
ada 5 bahasa kasih dalam mubadalah, yaitu :
a. Waktu, bahasa cinta waktu dalam hal ini mengandung arti
kebersamaan dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
Seseorang dengan bahasa cinta "waktu" selalu menginginkan
keberadaan pasangan atau anggota keluarga lainnya untuk
melewati kegiatan bersama, seperti nonton, makan bersama,
menghabiskan akhir pekan bersama, berwisata dan lain sebagainya.
Menurut Leman (2009) orang dengan bahasa cinta "waktu"
diperlukan juga keterlibatan penuh, perhatian, kontak mata, atau
yang biasa di sebut juga mindfullness. Jadi, tidak hanya keberadaan
fisik dalam melewati kegiatan bersama, akan tetapi hadir utuh dan
sadar penuh dalam keterlibatan tersebut.
b. Layanan, bahasa kasih layanan memiliki arti bahwa seseorang
yang membutuhkan layanan dari pasangan atau anggota
keluarganya. Seperti disiapkan pakaian atau makanan, diambilkan
minum, di antar, dan lain sebagainya yang membutuhkan
pelayanan. Seseorang dengan bahasa kasih layanan tentu saja harus
sesuai dengan kemampuan dan tidak memberatkan. Intinya, bahasa
kasih layanan ini seseorang yang menginginkan pasangan atau
66

anggota keluarga yang melakukan sesuatu untuk dirinya sebagai


bentuk rasa cinta.
c. Pernyataan, pernyataan yang dimaksudkan adalah bentuk ucapan-
ucapan atau kalimat yang mendukung dan menenangkan. Orang
dengan bahasa kasih pernyataan akan lebih suka di beri pujian dan
kata-kata yang ramah dari pasangan atau anggota keluarganya.
d. Sentuhan fisik, bahasa kasih ini dimaksudkan seseorang yang
memerlukan sentuhan secara fisik dari keluarga atau pasangannya.
Seperti, memeluk, mencium, bergandengan tangan, di belai dan
berhubungan seks bagi sepasang suami istri. Seseorang dengan
bahasa kasih ini tidak hanya membutuhkan kebersamaan saja
sebagai bentuk cinta nya, akan tetapi juga sentuhan secara fisik.
e. Hadiah. Dimaksudkan hadiah pada bahasa kasih ini adalah
seseorang yang memerlukan bentuk pemberian dari pasangan atau
keluarganya pada saat momen-momen tertentu. Seseorang dengan
bahasa kasih ini cenderung akan merasakan lebih di cintai dengan
di berikannya hadiah.
Inilah kelima ekspresi bahasa kasih dalam mengusahakan relasi
yang sehat. Dengan memahami bahasa kasih yang dimiliki oleh pasangan
atau anggota keluarga yang lain, akan lebih mempererat dan memperkuat
jalinan relasi dalam keluarga. Tentunya harus selalu di usahakan agar
mencapai kebahagiaan dan kenyamanan bagi seluruh anggota keluarga.
Tentunya dengan prinsip kesalingan atau mubadalah. Yang menginginkan
dan memenuhi bahasa kasih yang diperlukan oleh pasangan atau anggota
keluarganya.
Kemudian, dalam artikel mubadalah.id yang ditulis oleh Nur
Kholillah Mannan (2021) mengaitkan Lima bahasa kasih yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw. Seperti memanggil Aisyah dengan sebutan
Humaira yang artinya perempuan yang memiliki wajah merona, kepada
Fatimah dengan memanggil putriku. Kemudian nabi pun mencium
putrinya yaitu Fatimah juga sebaliknya saat mereka bertemu di, kepada
67

Aisyah nabi tidur dipangkuannya dan lain sebagainya. Hal ini


menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pun melakukan dan menunjukkan
bahasa kasih kepada para keluarganya yang sangat di sayangi.

C. Konseling Keluarga Menggunakan Perspektif Mubadalah


Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, yang namanya
permasalahan akan terus terjadi. Permasalahan yang terjadi pun beragam
dan dengan faktor yang bermacam pula. Dan itu wajar dalam kehidupan
setiap keluarga. Akan tetapi, terdapat permasalahan yang sangat serius
dalam keluarga sehingga berdampak pada kondisi fisik atau psikis yang
memburuk yang di alami oleh anggota keluarga. Sehingga hal ini
memerlukan bantuan orang lain untuk menyelesaikan nya. Dalam
mubadalah sendiri terdapat problem krusial yang terjadi dalam keluarga.
Yaitu nusyuz, kekerasan, poligami dan perceraian. Sehingga relasi yang
terbentuk dalam keluarga itu menjadi tidak sehat. Hal itu dapat terjadi di
akibatkan oleh relasi kuasa yang timpang, ketidakadilan gender seperti
marginalisasi, subordinasi, beban ganda, stereotipe dan kekerasan. Di
tambah lagi dalam kehidupan masyarakat kita masih banyak menjalani
kehidupan keluarga yang patriarki, yaitu yang menempatkan laki-laki pada
posisi di atas perempuan. Di samping itu pula, pemahaman terhadap
pedoman agama pun yang masih melanggengkan budaya patriarki
tersebut. Sehingga, laki-laki lebih berkuasa terhadap perempuan. Hal ini
yang mengakibatkan banyak suami yang menjadi pelaku atas tindakan-
tindakan problem krusial di atas dan banyak istri yang menjadi korbannya.
Selain daripada itu, karena sifat patriarki yang selalu berkuasa di atas yang
lemah, anak-anak pun tidak luput dari sasarannya. Sebagaimana data dari
Komnas perempuan yang sudah dibahas sebelumnya kebanyakan korban
dari kekerasan adalah perempuan dan anak-anak.
Permasalah-permasalahan tersebut di anggap krusial dalam konsep
mubadalah yang menurut penulis akan berdampak pada kondisi psikologis
anggota keluarga yang mengalaminya. Karena permasalahan tersebut telah
mencederai tujuan dan fungsi keluarga. Menurut mubadalah sendiri,
68

keluarga berperan sebagai tempat yang membawa kebaikan, kemaslahatan,


ketentraman, dan kebahagiaan bagi para anggota keluarganya. Akan tetapi,
akibat dari permasalahan krusial tersebut, akan membawa kerusakan dan
kemudharatan. Oleh karena itu untuk menangani problem tersebut,
dibutuhkan bantuan orang lain dalam menyelesaikan nya yaitu dengan
konseling keluarga.
1. Teknik Konseling Keluarga menggunakan perspektif mubadalah
Konseling keluarga merupakan proses bantuan konselor dalam
menangani konselinya yaitu anggota dalam suatu keluarga agar dapat
memahami kondisi dalam keluarganya dan mampu menyelesaikan
masalahnya dengan ketersalingan. Dalam melakukan konseling keluarga
yang berspektif mubadalah, diperlukan kombinasi antara metode konseling
feminis dan konseling relasi.
Konseling feminis atau juga disebut konseling berspektif gender
merupakan bantuan yang diberikan kepada klien untuk meningkatkan
kesadaran dan kepekaan gender, memperluas wawasan tentang peran
gender dan membantu meningkatkan keterampilan mengatasi hambatan
pengembangan diri dalam latar relasi gender (Good. G.E., dkk dalam
Yulianti & Zainal, tanpa tahun). Menurut hemat penulis, konseling feminis
dapat digunakan dalam melakukan konseling keluarga perspektif
mubadalah karena paradigma mubadalah yang secara basis
memperjuangkan dan membahas kesetaraan dan keadilan antara laki-laki
dan perempuan. Menurut Marecek dan Hare Mustin dalam Suryanti (2018)
terdapat tiga prinsip dalam melakukan konseling feminis:
a. Suatu pendekatan untuk memunculkan kesadaran gender dalam
konseli serta konseli pula dapat membedakan antara masalah
perilakunya dengan konstruksi sosial yang terbangun dalam
masyarakat.
b. Women Validating Process, konseli belajar menilai pengalaman-
pengalamannya dan mengenali kekuatan kekuatan pada dirinya.
69

c. Hubungan antara konseling dengan konselor sifatnya adalah


egaliter atau setara, hal ini bermaksud untuk mendorong konseli
agar berperan aktif dalam proses konseling serta mendorong
kepercayaan dirinya.

Prinsip-prinsip tersebut yang nantinya akan terus dipegang dalam


pelaksanaan konseling. Walaupun dalam hal ini konseling keluarga
berspektif mubadalah bukan konseling yang sifatnya formal, akan tetapi
untuk mencapai menuju keberhasilan diperlukan pula adanya prinsip-
prinsip tersebut. Selain dari pada prinsip, konselor pun harus
menggunakan teknik dalam melakukan konseling. Sebagaimana telah
disebutkan bahwa, dalam melakukan konseling keluarga perspektif
mubadalah, diperlukan teori konseling feminis. Menurut Gerald Corey
dalam Suryanti (2018) strategi dan teknik yang dikembangkan dan
digunakan dalam konseling feminis ialah :

a. Pemberdayaan. Teknik ini digunakan konselor sebagai upaya


pemberdayaan bagi konseli untuk memandirikan konseli dan
memiliki partisipasi di tengah masyarakat. Pada pemberdayaan ini
bertujuan untuk memandirikan para anggota keluarga, sehingga
mereka dapat memiliki kemandirian untuk membawa kehidupan
diri dan keluarganya ke arah yang lebih baik.
b. Keterbukaan. Hubungan Antara konselor dengan konseli dibangun
melalui keterbukaan tidak hanya sharing informasi dan
pengalaman tetapi ada hubungan timbal balik Antara konselor
dengan konseli. Tentunya keterbukaan dalam proses konseling
sangat diperlukan agar tidak ada informasi yg hilang dan menjadi
tidak utuh.
c. Menganalisis peran gender. Konselor mengeksplorasi harapan-
harapan konseli yang berkaitan dengan peran gender dan
dampaknya pada pengambilan keputusan untuk masa yang akan
datang. Selain itu pula, konselor menganalisis peran gender yang
70

dijalankan dalam keluarga itu seperti apa. Sehingga konselor


maupun konseli dapat melihat gambaran keluarganya sendiri dan
peran-peran gender seperti apa yang mereka jalankan. Apakah itu
berupa kontruksi sosial yang sehingga menimbulkan ketimpangan
dan konflik dalam keluarganya.
d. Intervensi peran gender. Konselor memberikan pemahaman yang
menekankan pada perbedaan peran Antara laki-laki dengan
perempuan. Pada intervensi peran gender ini sifatnya adalah
berbentuk pelatihan. Dimana konseli akan belajar tentang peran
gender antara laki-laki dan perempuan dengan mengacu pada
konsep mubadalah tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan
pula oleh penulis buku Qira'ah mubadalah Faqihuddin yaitu telah
melakukan pelatihan-pelatihan dengan tema sebagai berikut :
1) Pelatihan Ulama Laki-laki untuk Penguatan
Perspektif Keadilan Gender dalam Islam.
2) Pelatihan Ulama Perempuan untuk Penguatan
Perspektif Keadilan Gender dalam Islam.
3) Pelatihan Muballigh dan Muballighah Keluarga
Adil dan Sejahtera dalam Islam.
4) Pelatihan Pembacaan Kitab Kuning dalam
Perspektif KeadilanGender.
Pelatihan Metodologi Tafsir dan Hadits dalam
Perspektif Gender.
5) Pelatihan Perspektif Anti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga bagi Hakim-hakim Agama.
6) Pelatihan Teori Mubadalah dalam tafsir dan Isu-isu
Gender.
7) Pelatihan Penelitian Akademik dalam Isu-isu Islam
dan Gender (Al Baqi, 2016).
e. Bibliotherapy. Biblioterapi adalah teknik terapi yang
menggunakan media buku bacaan sebagai model
71

yang hendak ditiru oleh klien (Eko Darminto, 2007). Konsep


biblioterapi merujuk pada efek terapeutik dari membaca buku.
Biblioterapi dapat menjadi cara yang efektif untuk memfasilitasi
wawasan dan perubahan dalam diri klien, khususnya jika
dikombinasikan dengan konseling bertatap muka (John McLeod,
2006). Dalam hal ini konselor menggunakan sumber buku Qira'ah
mubadalah untuk dijadikan bahan diskusi bersama. Namun, pada
teknik sifatnya adalah fleksibel, hanya ketika pada konseli yang
menginginkan referensi bacaan lebih untuk memahami persoalan
dan penyelesaiannya.
f. Latihan untuk asertif. Konselor membantu konseli untuk bersikap
asertif sehingga konseli mempunyai kesadaran tentang hak-haknya.
Membantu mengubah stereotype negative peran gender, mengubah
keyakinan yang negatif dan mengimplementasikan perubahannya
dalam kehidupan. Latihan asertif ini dapat pula dengan konselor
memberikan pemahaman tentang Lima bahasa kasih dalam
menjalankan kehidupan rumah tangga. Sehingga setiap anggota
keluarga dapat belajar memahami bahasa kasih anggota keluarga
yang lain, menerima dan memberi bahasa kasih dari masing-
masing anggota keluarga. Sehingga hal tersebut secara tidak
langsung akan timbul sikap asertif dan kesalingan antar anggota
keluarga.
g. Reframing dan relabeling. Reframing yaitu pencarian makna baru
dari sesuatu yang sebelumnya dimaknai secara tertentu. Frame
adalah bingkai. Bila kita memasang lukisan dengan frame yang
polos maka akan berbeda nuansanya dengan frame yang bermotif.
Begitu juga dengan reframing yang merupakan upaya untuk
membingkai ulang sebuah kejadian dengan mengubah sudut
pandang tanpa merubah kejadiannya itu sendiri. Itu hampir sama
dengan relabeling atau redefining (R.H Wiwoho, 2011). Dalam
bingkai ini, seluruh anggota keluarga diajak dan diarahkan untuk
72

menyadari relasi yang selama ini terjadi di dalam keluarganya,


kemudian membingkai ulang dengan relasi yang timbal balik atau
berkesalingan satu sama lain.
h. Group work. Sebetulnya, group work ini di gunakan pada akhir
sesi konseling individual, yaitu konselor memberikan kesempatan
konseli untuk bergabung dalam kelompok. Langkah ini
dimaksudkan agar konseli merasa tidak sendiri dan dapat
mendiskusikan pengalaman hidupnya. Namun, karena sifat dari
konseling keluarga ini adalah konseling kelompok yakni
melibatkan seluruh anggota keluarga, dapat pula dijadikan sebagai
sesi akhir untuk seluruh anggota keluarga mendiskusikan
pengalamannya selama menjalankan sesi konseling dan
memutuskan bersama langkah seperti apa yang akan di ambil
untuk kebaikan keluarga mereka.
i. Sosial action. Dalam konseling feminis setelah sesi konseling
selesai, konselor mendorong konseli untuk terlibat dalam kegiatan
pemberdayaan perempuan, menuliskan pengalaman hidupnya atau
aktif dalam komunitas pendidikan yang berlatar isu gender dan
biasanya mereka menjadi korban itu disebut sebagai penyintas dan
menjadi aktif dalam menyuarakan isu-isu kesetaraan gender.
Namun, untuk sesi konseling keluarga ini sifatnya adalah
dikembalikan kepada konselinya, yang mana ketika keluarga yang
telah menyelesaikan sesi konseling bebas memilih untuk
bergabung pada kerja-kerja sosial dan menyuarakan isu kesetaraan
gender atau tidak.

Demikian, merupakan teknik yang dapat dilakukan dalam


melaksanakan konseling keluarga perspektif mubadalah. Lagi-lagi
dikatakan bahwa, konseling keluarga ini tidak bersifat formal dan
terstruktur sebagai mana yang dilakukan oleh profesional. Akan tetapi,
model konseling keluarga perspektif mubadalah ini dapat diterapkan
73

karena menurut hemat penulis terdapat unsur-unsur konseling di dalam


konsep mubadalah itu, yaitu relevan dengan konseling feminis.
Di sisi lain, mubadalah tidak hanya berfokus pada permasalahan
perempuan saja, tetapi juga fokus pada problem relasi di dalam keluarga,
entah itu permasalahan pasangan suami istri maupun dengan anak.
Sehingga problem relasi ini pun perlu menggunakan konseling relasi.
Konseling relasi merupakan bagian dari konseling keluarga yang
dikembangkan dan digunakan oleh praktisi konseling yaitu David Geldard
dan Kathryn Geldard. Model konseling relasi ini berdasar pada teori terapi
Gestalt untuk mengubah tingkah laku (David Geldard & Kathryn Geldard,
2011). Dalam bukunya tersebut, David dan Kathryn bertujuan membangun
relasi untuk saling memandirikan antaranggota keluarga. Berdasarkan
analisis penulis, hal tersebut relevan dengan konsep mubadalah tentang
mewujudkan relasi yang timbal balik dan berkesalingan agar mencapai
kebahagiaan dan kemaslahatan dalam keluarga. Dalam proses konseling
keluarga diharapkan terdapat perubahan-perubahan tingkah laku atau relasi
ke arah yang lebih baik. oleh karena itu dalam konseling keluarga
perspektif mubadalah ini diperlukan konseling relasi CACHO untuk
mengubah tingkah laku pada konseli. Model konseling relasi CACHO ini
merupakan singkatan dari :

C - Communication (komunikasi)

A - Awerennes (kesadaran)

CH - Choice (Pilihan)

O - Outcome (hasil)
a. C-communication (komunikasi)
Komunikasi merupakan langkah awal untuk melakukan konseling
relasi. Hal ini karena komunikasi dijadikan sebagai strategi untuk
membantu para konseli yaitu anggota keluarga agar dapat melihat
gambaran keluarganya sendiri dari berbagai sudut pandang. Masing-
74

masing anggota keluarga memiliki sudut pandangnya sendiri dalam


melihat keluarganya. Dari sudut pandang yang berbeda ini, kesadaran dari
masing-masing anggota akan meningkat.Sehingga mereka mulai mengerti
darimana asal konflik-konflik relasi dalam keluarganya dari komunikasi
tersebut.
b. A - Awerennes (Kesadaran)
Sekali para anggota keluarga dapat saling berbagi gambaran satu
sama lain, kesadaran mereka akan meningkat, bukan hanya pandangan dan
kehidupan mereka sendiri tentang keluarga, akan tetapi juga pandangan
dan kehidupan anggota keluarga yang lainnya. Sehingga seiring dengan
kesadaran dari masing-masing anggota keluarga meningkat, akan
membawa para anggota dan keluarga menuju kemampuan untuk
memutuskan sesuatu ke arah yang lebih baik dan membuat perubahan
c. C - choice (Pilihan)
Setelah timbul kesadaran dalam benak konseli, kemudian secara
bersamaan dapat pula timbul berbagai pilihan yang dapat dilakukan. Entah
muncul untuk memilih berpikir dan berperilaku yang berbeda dari
sebelumnya atau menentukan perubahan-perubahan selanjutnya. Dalam
hal ini, seorang konselor perlu menguatkan kembali kesadaran yang
dimiliki konseli agar keputusan yang akan di ambil sesuai dengan
harapannya. Kemudian selain daripada itu, konselor pun mengajak konseli
untuk mencermati berbagai kemungkinan solusi dan konsekuensinya serta
prospek pilihan yang lebih baik untuk keluarganya di masa yang akan
datang.
d. O - Outcome (hasil)
keputusan untuk mengubah pemikiran dan perilaku sudah dibuat
akan ada hasil dari sistem itu yang bisa diharap. konsekuensinya iyalah
setiap perubahan yang dilakukan tiap individu dalam sistem keluarga
untuk akan menimbulkan tanggapan dari anggota dari sistem yang lain.
Pada penggunaaan model CACHO ini, diperlukan kembali ke tahap awal
komunikasi dari proses yang sedang berlangsung, agar setiap anggota
75

keluarga dapat berbagi gambaran mengenai pilihan dan hasil keputusan


serta perubahan selanjutnya yang diharapkan terjadi. (Kathryn Geldard &
David Geldard, 2011).
Jadi, dalam melakukan konseling keluarga berspektif mubadalah
dibutuhkan kombinasi antara konseling feminis dan konseling relasi. Yang
mana, konseling feminis dijadikan sebagai paradigma dan teknik
melakukan konseling dan konseling relasi dijadikan sebagai upaya
perubahan tingkah laku konseli dalam melakukan konseling. Model
konseling keluarga perspektif mubadalah ini dapat dilakukan oleh
siapapun yang memiliki concern kepada dunia konseling, isu-isu gender
dan berspektif gender sebagai upaya mewujudukan keadilan dan
kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan sehingga tercapai pada
kemaslahatan dan kebahagiaan bersama.
2. Sikap atau sifat yang harus di miliki konselor
Dalam melakukan konseling tentunya seorang konselor harus
memiliki sikap dalam berhadapan dengan klien. Walaupun, dalam proses
konseling keluarga dengan menggunakan perspektif mubadalah bukanlah
kegiatan konseling yang formal, akan tetapi seorang konselor harus
memiliki sikap yang dilekatkan pada diri seorang konselor dan juga
konselinya nanti. Data ini di tunjukkan berdasar pada konsep mubadalah
yang memiliki perspektif tertentu, sehingga konselor yang hendak
mengaplikasikan dalam konseling ini pun harus mengikuti Perspektif
dalam mubadalah, agar tidak bersebrangan. Seperti konseling pada
umumnya, seorang konselor harus memiliki sikap seperti kongruensi
(congruence), penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive
regard), dan empati (empathy) dan menghargai (respect) pada konseli
(David Geldard & Kathryn Geldard dalam Sigit Sanyata, 2017). Namun
dalam konselor keluarga perspektif mubadalah, harus memiliki sikap
sebagai berikut :
76

a. Berspektif adil gender dan setara


Gender merupakan suatu konstruksi sosial yang mengatur
hubungan laki-laki dan Perempuan yang terbentuk melalui proses
sosialisasi. Konstruksi sosial itu mengalokasikan peranan, hak, kewajiban
serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam fungsi produksi dan
reproduksi. Dalam arti lain, gender merujuk pada sifat yang melekat pada
laki-laki maupun perempuan sebagai hasil konstruksi secara sosial dan
budaya setempat (Fathur Rahman & Siti Rohmah, tanpa tahun). Dari dasar
ini lah, laki-laki dan perempuan sering di beda-bedakan dan menimbulkan
ketimpangan relasi gender. Ketimpangan tersebut yang kemudian
memunculkan problem relasi antara laki-laki dan perempuan, termasuk
dalam relasi berkeluarga. Oleh karena itu, konselor harus memiliki
perspektif adil gender dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Agar
tidak terjadi bias dalam melihat relasi di dalam suatu anggota keluarga.
Sebagaimana konsep mubadalah yang terlahir dari persinggungan intensif
yang dilakukan oleh pencetusnya yaitu Faqihuddin yang telah bertahun-
tahun terlibat dalam kerja-kerja sosial dan bergabung pada lembaga yang
concern terhadap isu-isu gender, seperti Fahmina Institut, Swara Rahima,
KUPI, Alimat, LKK NU dan lain sebagainya. Selain daripada itu,
Faqihuddin pula getol terlibat dalam pelatihan-pelatihan dan workshop
tentang isu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Makadari itu, dalam usaha
melakukan konseling keluarga berspektif mubadalah ini, konselor harus
memiliki paradigma adil gender dan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan.

b. Memahami prinsip relasi kesalingan, timbal balik, kemitraan


atau resiprokal.
Setelah memiliki perspektif adil gender dan kesetaraan laki-laki
dan perempuan, seorang konselor pun harus memiliki sikap memahami
prinsip kesalingan atau timbal balik. Inilah inti dari konsep mubadalah,
bahwa tidak ada peran dan tanggung jawab yang mutlak antara seorang
77

suami, istri ataupun anak di dalam suatu keluarga. Peran dan


tanggungjawab itu bersifat fleksibel dan dapat dipertukarkan, tentunya
yaitu dengan prinsip kesalingan. Prinsip ini akan memudahkan konselor
dalam menghantarkan konselinya menuju kesetaraan dan keadilan di
dalam keluarganya.
c. Mengutamakan kemaslahatan
Kemaslahatan merupakan sesuatu yang mendatangkan kebaikan
dan menjauhkan dari keburukan. Salah satu fungsi dari keluarga sendiri
yaitu membawa kemaslahatan bagi seluruh anggota keluarga.
Sebagaimana dalam mubadalah menyebutkan bahwa "yang menjadi
kompas dan pemandu dari relasi suami istri serta antaranggota keluarga
adalah komitmen untuk berperilaku baik dengan menghadirkan segala
kebaikan ke dalam rumah tangga dan menjauhkan segala keburukan
darinya (jalbu al-mashalih li al-ailah wa dar'u al-mafasid anha)". Atas
dasar ini, seorang konselor perlu memiliki sikap untuk selalu
memperhatikan dan mengutamakan kemaslahatan dari setiap anggota
keluarga yang sedang di hadapinya.
Dengan demikian, dari sikap ini konselor diharapkan mampu
menangani konselinya dengan baik, mulai dari memiliki perspektif adil
gender dan kesetaraan, di wujudkan dengan relasi yang timbal balik
sehingga dapat mencapai suatu kemaslahatan bersama. Model konseling
keluarga perspektif mubadalah ini berusaha untuk ditempatkan pada kajian
akademik sehingga dapat diterapkan untuk mewujudkan relasi yang sehat
dalam hubungan suatu keluarga, sehingga pun dapat pula mewujudkan
keadilan yang setara di dalam kehidupan keluarga. Yang berkesalingan,
timbal balik, membahagiakan satu sama lain. Sebagaimana kalimat yang
ada dalam buku qira'ah mubadalah yaitu bahwa "keluarga yang kuat
adalah yang ditopang oleh dua sisi, laki-laki dan perempuan. Baik sebagai
suami dan istri, sebagai orang tua--ayah dan ibu, atau sebagai anggota
keluarga--saudara, adik, dan Kakak. Begitu pun keluarga yang baik, sehat,
sakinah dan maslahat. Nilai-nilai ini harus diperjuangkan bersama agar
78

dirasakan secara bersama pula. Jika perempuan sebagai istri, ini, maupun
anak, segala tindak-tanduknya dituntut bisa menjaga kehormatan keluarga
dan membawa kebaikan untuk mereka, maka hal yang sama juga kepada
laki-laki, baik sebagai suami, ayah maupun anak". Berdasarkan hal
tersebut, menurut analisis penulis, konsep mubadalah dapat digunakan
sebagai salah satu model konseling nonformal, karena terdapat unsur-
unsur konseling yang dapat dijadikan sebagai suatu pemecahan persoalan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui studi pustaka
(library research) mengenai model konseling Keluarga dalam perspektif
mubadalah sebagai upaya menciptakan relasi keluarga yang sehat, dapat
ditarik kesimpulan :

1. Mubadalah dalam memandang kehidupan keluarga yaitu bahwa


seluruh anggota keluarga di dalamnya merupakan sistem yang
memiliki ketergantungan dan ketersalingan. Bahwa hubungan
antara suami dan istri sifatnya adalah kerja sama, timbal balik dan
tidak ada pihak yang superior dan pihak lainnya inferior. Begitu
juga dengan hubungan antara orang tua dan anak atau antar kakak
beradik, walaupun peran orang tua tetap memiliki kendali terhadap
anaknya. Akan tetapi, hubungan yang di bangun haruslah bersifat
timbal balik, ketersalingan dalam memberikan perlindungan,
kenyamanan, kasih sayang, dan yang lainnya untuk mewujudkan
keluarga yang memberikan kemaslahatan bagi seluruh anggota
keluarganya.
2. Dalam mengupayakan relasi yang sehat dalam keluarga, menurut
mubadalah relasi yang di bangun harus bersifat timbal balik,
resiprokal atau kesalingan satu sama lain di dalam keluarga, yaitu
dengan menjaga prinsip atau pilar penyangga kehidupan keluarga,
yaitu janji yang kokoh (mitsaqon gholidzan), prinsip berpasangan
dan berkesalingan (zawaj), saling memperlakukan dengan baik
(mu'asyaroh bil ma'ruf), kebiasaan berembuk bersama
(musyawarah), dan perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan
(tardhin). Selain daripada itu, dalam mengupayakan relasi yang

76
77

sehat, perlu juga memahami bahasa cinta setiap anggota keluarga.


Terdapat 5 bahasa cinta yaitu waktu, layanan, pernyataan, sentuhan
fisik dan hadiah. Sehingga dengan memahami ini antar anggota
keluarga dapat saling memberi, menerima, mewujudkan
kemaslahatan bersama di dalam keluarganya. Walhasil, relasi yang
terbentuk akan menjadi sehat dan saling bahagia dan
membahagiakan.
3. Model konseling keluarga menggunakan perspektif mubadalah ini
merupakan konseling nonformal yang mengkombinasikan teori
konseling feminis dan teori konseling relasi. Teori konseling
feminis dijadikan sebagai paradigma dan teknik melakukan proses
konseling, seperti pemberdayaan, keterbukaan, menganalisis peran
gender, intervensi peran gender, biblioterapi, latihan asertif,
reframing dan relabeling, group work dan sosial action. Sedangkan
teori konseling relasi dijadikan sebagai upaya untuk mengubah
tingkah laku yaitu dengan model konseling CACHO yang
singkatan dari C - Communication, A - Awerennes, CH - Choice,
dan O - Outcome. Kemudian selain teknik yang harus dikuasai
konselor, di sisi lain pun konselor perlu memiliki sikap yang harus
di pegang yaitu berspektif adil gender dan kesetaraan, Memahami
prinsip relasi kesalingan, timbal balik, kemitraan atau resiprokal,
serta Mengutamakan kemaslahatan bersama.
B. Saran
1. Bagi keluarga
Perlu adanya suatu pemahaman bahwa di dalam keluarga, setiap
anggota keluarga merupakan subjek yang berperan untuk
membawa kebaikan bersama di dalam keluarga. Tidak ada hak dan
kewajiban mutlak yang dimiliki oleh anggota keluarga, namun hal
tersebut bersifat fleksibel dan dapat di tukarkan. Dengan prinsip
kesalingan dan timbal balik, kebahagiaan dan kemaslahatan akan
lebih dekat diwujudkan.
78

2. Bagi konselor
Perlu ada paradigma dan perspektif bagi konselor untuk
memasukkan perspektif adil gender dan konsep mubadalah dalam
proses konseling keluarga. Sehingga, konselor akan lebih mudah
mengidentifikasi persoalan yang dihadapi kliennya, terkait problem
mana yang timbul dari konstruksi sosial dan peran gender.
3. Bagi peneliti
Bagi peneliti bisa mengembangkan konseling yang berspektif
mubadalah dalam ranah konseling yang lain. Karena, dalam
penelitian ini, peneliti hanya menemukan model konseling
keluarganya saja. Barangkali, untuk ke depan dapat dikembangkan
bidang konseling lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Arikunto, S. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Bumi Aksara

Baron, R.A dan Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga

Berns, R.M. 2004. Child, Family, School, Community: Sosialization and


Support. Sixth Edition. Belmont : Wadsworth/Thomson Learning.

Calhoun, J.F., & Acocella, J.R. 1995. Psikologi tentang Penyesuaian


Dalam Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Alih Bahasa oleh
Prof. dr. R. S. Satmoko. Semarang: Penerbit IKIP Semarang Press.

Cathriyn Geldard, David Geldard. 2016. Konseling Keluarga. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Corey, Gerald. 2005. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi.


Bandung: PT Refika Aditama.

Danandjaja, J. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan. Antropologi


Indonesia.

Darminto, Eko. 2007. Teori-teori Konseling. Surabaya: Unesa University


Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Duvall & Logan. 1986. Marriage & family Development. New York :
Herper & Row Publisher

Glenn, N.D. 2003. Marital quality. In James J. Ponzetti, Jr. (Ed)


International Encyclopedia ofMarriege and Family (pp.1070-
1078). New York: The Gale Group Inc.

79
Ismawati, Esti. 2011. Metode Penelitian Pendidikan dan Sastra. Surakarta:
Yuma Pustaka.

Juntika, A. N. (2006). Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar


Kehidupan. Bandung:PT Refika Aditama

Kodir, Faqihuddin Abdul. (2019). Manual Mubadalah : Ringkasan Konsep


untuk Pelatihan Perspektif Kesalingan dalan Isu Gender dan
Islam. Yogyakarta : Umah Sinau Mubadalah

Lee, G.R. 1982. Family Structur and Interaction. Minneapolis : University


of Minnesota press.

Lestari, Sri. 2013. Psikologi Keluarga (Penanaman nilai dan Penanganan


Konflik dalam Keluarga). Jakarta : Kencana.

Masyhuri, & Zainuddin, M. 2008. Metodologi Penelitian. Bandung:


Refika Aditama.

McLeod, John. 2006. Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus.


Terjemahan oleh A. K.Anwar. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Mercer, J. 2006 Understading Attachment: Parentin, Child Care, and


Emotional Development. Westport,CT: Greenwood Publishing
Group, Inc.

Moleong, J. Lexy. 2019. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Noor, Juliansyah.2013. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi


dan Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana.

Suteja, Jaja & Muzaki. 2019. Konseling Keluarga (Upaya Pencegahan


Kekerasan dalam Rumah Tangga). Cirebon : CV. CONFIDENT

80
R.H. Wiwoho. 2011. Reframing: Kunci Hidup Bahagia 24 Jam Sehari.
Jakarta: IndoNLP.

Rosen, K.S. & Routhbaum F. 2003. Parent-Child relationships. In In James


J. Ponzetti, Jr. (Ed.). International Encyclopedia of Marriege and
Family (pp. 1070-1078). New York: The gale group Inc.

Ulfiah. 2016. Psikologi Keluarga (Pemahaman Hakikat Keluarga &


Penanganan Problematika Rumah Tangga). Bogor : Ghalia
Indonesia.

Wills, S. Sofyan. (2019). Konseling Individual, Teori & Praktek. Bandung:


Alfabeta

Yustiana, Yusi R. 2000. Pedoman dan Materi Konseling Keluarga


Penanggulangan NAFZA. Jawa Barat: Badan Penanggulangan
NAFZA, Kenakalan Remaja, Prostitusi.

Zed, Mestika. 2008. Metode Peneitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia

2. Jurnal/Skripsi/Tesis/Disertasi

Al Baqi. R.F. (2016). Analisis Konseling Resiprokal untuk Meningkatkan


Sensitifitas Gender Pada Pasangan Suami Istri : Kajian
Bimbingan Konseling Islam Faqihuddin Abdul Kodir (Dooctoral
dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya)

Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss, vol. 1: Attachment. London: The


Hogarth Press and the Institute of Psycho-Analysis.

Amalia, I. (2020). Analisis Maqasid Al-Shariah terhadap konsep ketaatan


istri pada suami dalam perspektif Qira’ah Mubadalah
Faqihuddin Abdul Kodir (Doctoral dissertation, UIN Sunan
Ampel Surabaya).

81
Anggoro, Taufan. 2019. “Konsep Kesetaraan Gender dalam Islam: The
Concept of Gender Equality in Islam”, dalam Jurnal Afkaruna,
Vol. 15, No. 1.

Khatibah, K. (2011). Penelitian Kepustakaan. Iqra’: Jurnal Perpustakaan


dan Informasi, 5(01), 36-39.

Kibtyah, M. (2014). Peran Konseling Keluarga dalam Menghadapi Gender


dengan segala Permasalahannya. Sawwa. Jurnal Studi Gender,
9(2), 361-380.

Ma’ruf, R. 2015. Pemahaman Dan Praktik Relasi Suami Istri Keluarga


Muslim Di Perum Reninggo Asri Kelurahan Gumilir Kabupaten
Cilacap. Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 8(1), 37-48.

Mirshad, Z. 2014. Persamaan Model pemikiran al-Ghaza dan Abraham


Maslow tentang model dan motivasi konsumsi. Surabaya: Tesis.
UIN Sunan Ampel Surabaya.

Mirzaqon. T, A dan Budi Purwoko. (2017). Studi Keputakaan mengenai


Landasan Teori dan Praktik Konseling Expressive Writing.
Jurnal BK Unesa, 8(1).

Sari, Milya dan Asmendri. (2020). Penelitian Kepustakaan (Library


Research) dalam Penelitian Pendidikan IPA. Natural Science,
6(1), 41-53.

Siregar, R. (2015). Urgensi konseling keluarga dalam menciptakan


keluarga sakinah. HIKMAH: Jurnal Ilmu Dakwah dan
Komunikasi Islam, 2 (1), 77-91.

Zakiyah, U. (2020). Posisi Pemikiran Feminis Faqihuddin Dalam Peta


Studi Isam Kontemporer. The International Journal of Pegon:
Islam Nusantara civilization, 4(02), 115-138.

82
3. Website

https://bengkulu.kemenag.go.id di akses pada tanggal 2 Januari 2021 jam 10:33

https://lamongankab.go.id/dinkes/tips-menuju-keluarga-sehat di akses pada 28


Februari 2021 jam 15:06

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/toxic-family-ketika-sikap-anggota-
keluarga-terasa-mencekik-djWL di akses pada tanggal 28 Februari 2021 jam
09:51.

id.m.wikipedia.org di akses pada tanggal 1 Januari 2021 jam 19:45

referensi.mubadalahnews.com di akses pada tanggal 6 Januari 2021 jam 11.05

www.komnasperempuan.go.id di unduh pada tanggal 6 Januari 2021 jam 10:33

https://www.hipwee.com/wedding/5-bahasa-kasih-gary-chapman-ilmu-mujarab-
untuk-lebih-menyayangi-pasangan-halalmu/ di akses pada 5 Juli 2021 jam 12.44

https://mubadalah.id/memahami-lima-bahasa-cinta-nabi/ di akses pada 5 juli jam


12.50

https://laki-lakibaru.or.id di akses pada 5 juli 19.30

https://jurnal .ugm.ac.id di akses pada 5 juli 19.35

83

Anda mungkin juga menyukai