Anda di halaman 1dari 3

SISTEM ASURANSI KESEHATAN

Nama : Tri Yunita


NIM : 2022005

Tugas :
Carilah artikel adverse selection bagaimana proses, pelaku dan pencegahannya

Judul Artikel : Asuransi Covid-19 dan Kaitannya dengan Informasi Asimetris

Pandemi Covid-19 berdampak signifikan terhadap peningkatan kesadaran masyarakat soal


pentingnya asuransi. Dalam penelitian 2022 Insurance Industry Outlook oleh Gary Shaw,
diperkirakan bahwa permintaan asuransi akan terus meningkat di seluruh dunia. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) bahwa
tren pertumbuhan stabil positif industri asuransi jiwa bisa ditingkatkan pada tahun 2022.
Asuransi kesehatan kian diminati dan permintaannya diperkirakan terus meningkat
dikarenakan pandemi Covid-19 yang belum usai. Ketidakpastian dari pandemi tentu
menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, apalagi melihat mahalnya biaya pengobatan dan
adanya risiko kematian akibat Covid-19.
Worldometer bahkan menempatkan angka kasus di Indonesia di urutan 4 tertinggi Asia.
Dengan mempunyai asuransi, setidaknya masyarakat merasa lebih aman dan terlindungi.

Pasar Asuransi dan Informasi Asimetris

Penelitian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan


bahwa sekitar 92% lansia DKI Jakarta memiliki jaminan atau asuransi kesehatan dengan 60%
di antaranya non penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional.
Kelompok masyarakat yang berisiko lebih tinggi terinfeksi Covid-19 cenderung menginginkan
asuransi. Kelompok itu adalah orang-orang yang berusia lebih tua atau memiliki kondisi medis
yang sudah ada sebelumnya.
Masyarakat sebagai konsumen lebih paham mengenai kesehatan mereka dibandingkan
perusahaan asuransi itu sendiri, sekalipun perusahaan mengharuskan konsumen melakukan
berbagai tes kesehatan.
Situasi di mana pembeli dan penjual memiliki informasi yang berbeda mengenai suatu
transaksi ini disebut sebagai informasi asimetris (asymmetric information), yang berakibat
pada seleksi negatif (adverse selection) hingga berujung pada kegagalan pasar.
Proses terjadinya Adverse Selection

Perusahaan asuransi tidak bisa mengawasi pihak tertanggung secara ketat akibat adanya
keterbatasan informasi. Pihak tertanggung bisa saja melakukan hal-hal yang meningkatkan
angka cideranya. Kemungkinan dari perubahan perilaku seseorang akibat memiliki asuransi
merupakan contoh dari risiko moral (moral hazard).
Jika dilihat dari pihak tertanggung, mereka sering tidak berhati-hati dan tidak mengacuhkan
protokol kesehatan sehingga risiko terkena Covid-19 pun meningkat. Ekstremnya seperti kasus
yang sedang viral di negara Thailand.
Bersumber dari thaipbsworld, seorang pria mencari teman (social companion) dengan syarat
positif Covid-19 agar dirinya tertular. Bukan tanpa alasan, setelah diselidiki ternyata pria ini
rela menderita demi klaim asuransi kesehatannya. Sangat tidak patut dicontoh. Dalam kasus
ini, klaim asuransinya pun kemungkinan besar ditolak.

Pelaku Adverse Selection

Informasi asimetris ini akan berdampak pada peningkatan harga asuransi sehingga orang
berisiko rendah memilih untuk tidak memiliki asuransi. Akhirnya, sebagian besar orang yang
mau membeli asuransi adalah orang-orang berisiko tinggi. Hal ini bisa berdampak buruk,
jangan sampai perusahaan asuransi berhenti menjual produk asuransinya.
Perusahaan asuransi memang lebih mengetahui tentang produk asuransi yang dimilikinya.
Bahkan dalam menjabarkan syarat dan ketentuan seringkali perusahaan asuransi memakai
istilah hukum yang sulit dipahami masyarakat umum, alhasil, klaim yang dilakukan oleh
peserta asuransi ditolak karena tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan.

Pencegahan Adverse Selection

Untuk mengurangi keterbatasan informasi, beberapa upaya dan kebijakan dilakukan oleh
perusahaan asuransi. Salah satunya penggunaan jasa aktuaris yang berperan penting sebagai
penilai kemungkinan terjadinya risiko.
Perusahaan asuransi publik juga mengambil langkah. Pemerintah Indonesia menerapkan
kebijakan paternalis melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, yang mewajibkan warga negara Indonesia mengikuti program
BPJS Kesehatan. Jadi, peluang bahwa hanya orang berisiko tinggi yang membeli asuransi akan
berkurang.
Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta agar perusahaan asuransi selalu
memastikan agen-agennya bersertifikat dan memberikan informasi yang jelas kepada nasabah
atas produk yang dijualnya. Artinya, tidak ada klaim asuransi yang dipersulit, hanya saja
pembeli asuransi seringkali kurang memahami syarat dan ketentuan yang berlaku.
Klaim Asuransi yang Terkesan Dipersulit

Informasi asimetris ini akan berdampak pada peningkatan harga asuransi sehingga orang
berisiko rendah memilih untuk tidak memiliki asuransi. Akhirnya, sebagian besar orang yang
mau membeli asuransi adalah orang-orang berisiko tinggi. Hal ini bisa berdampak buruk,
jangan sampai perusahaan asuransi berhenti menjual produk asuransinya.

REFERENSI
https://kumparan.com/mercy-pranadjaja/asuransi-covid-19-dan-kaitannya-dengan-informasi-
asimetris-1xOawq0uO0S/full

Anda mungkin juga menyukai