Anda di halaman 1dari 10

Rasio Akar-Mahkota Gigi Yang Tidak Seimbang Sebagai Faktor Anatomi Pada

Trauma Oklusi

WitaAnggraini
Departement of Anatomy (Oral Biology), Faculty of Dentistry Trisakti University

Abstract

In healthy gingival conditions, the roots of of teeth entirely embedded in the alveolar bone
covered by soft tissue. Long root and an extensive diameter will increaseperiodontal tissue
support. Anatomically, the alveolar bone support can be divided into several levels. Alveolar
bone level for each tooth, is defined as the critical mass of alveolar bone support. To determine
the critical level of alveolar bone support can be done with the probe and map the depth of
periodontal pockets, which are then correlated with radiographic evidence of alveolar bone loss.
The stability of the teeth will be disrupted in the event of periodontitis, depending on the size of
the attachment surface area of teeth roots are exposed. Tooth with short root, and large crown
usually confers a poor prognosis, because root-crown ratio of the teeth is unbalanced causing
periodontal tissues more susceptible to traumatic from occlusion

Key words: root-crown ratio and trauma from occlusion

Pendahuluan

Trauma oklusi merupakan bentuk kerusakan di dalam jaringan periodontal disebabkan oleh
tekanan pada gigi-geligi langsung atau tidak langsung pada rahang yang berlawanan. Istilah lain
trauma oklusi adalah: traumatizing occlusion, occlusal trauma, occlusal overload, periodontal
traumatism, occlusal disharmony, functional imbalance dan occlusal dystrophy. Harus dicatat
bahwa, trauma oklusi merujuk pada cedera jaringan, bukan pada gaya oklusal. Oklusi yang
menghasilkan tekanan yang menyebabkan terjadinya cedera jaringan tersebut adalah oklusi
traumatik. 1 Etiologi trauma oklusi dapat berupa ketidakseimbangan oklusi dan adanya kebiasaan
buruk. Ketidakseimbangan oklusi meliputi: hambatan oklusal pada waktu oklusi sentris (kontak
prematur) dan gerak artikulasi (blocking), gigi hilang tidak diganti, rasio akar-mahkota gigi
tidak seimbang, kontak edge to edge dan alat prostetik dan restorasi yang buruk. Kebiasaan
buruk yang menjadi penyebab trauma oklusi adalah bruksisme dan clenching.1,2,3
Rasio akar-mahkota gigi adalah fitur penting di dalam prognosis gigi. 4 Akar gigi pendek
menyebabkan rasio akar-mahkota gigi tidak menguntungkan.5 Rasio akar-mahkota gigi
didefinisikan sebagai "hubungan fisik antara posisi gigi di dalam tulang alveolar dibandingkan
dengan bagian gigi yang tidak berada di dalam tulang alveolar, yang ditentukan secara
radiografis". Rasio akar-mahkota gigi dapat meningkat dari waktu ke waktu diakibatkan oleh
hilangnya dukungan tulang alveolar, titik tumpu bagian mahkota gigi (effort arm) akan
meningkat dan pada bagian akar gigi (resistance arm) akan menurun. Pusat rotasi bergerak ke
apikal, sehingga gigi lebih rentan terhadap pengaruh buruk gaya lateral. 6 Di dalam makalah ini
ini akan dibahas bagaimana rasio akar-mahkota yang tidak seimbang dapat menyebabkan trauma
oklusi

Tinjauan Pustaka
Trauma oklusi dan penyakit periodontal
Etiologi penyakit periodontal adalah patogen primer yaitu bakteri virulen yang dijumpai
di dalam plak gigi dan di dalam rongga mulut. Bakteri paling penting adalah Aggregatibacter
actinomycetemcomitans (Aa), Porphyromonas gingivalis (Pg) dan Tannerella forsythia (Tf).
Bakteri harus ada untuk memulai dan memperluas periodontitis, tetapi bakteri tidak bertanggung
jawab penuh terhadap penyakit ini. Faktor pertahanan host dan kombinasi dengan faktor risiko
lainnya (merokok, stres dan lain-lain) di dalam penelitian terkini, menunjukkan pengaruh yang
bermakna terhadap kerentanan, ekspresi (misalnya: tipe dan keparahan) serta progres dari
periodontitis. 7
Lesi akibat trauma oklusi terjadi di dalam ligamen periodontal, gambaran histologisnya
dapat berkisar mulai dari kerusakan ringan sampai dengan nekrosis.8 Trauma oklusi
mempengaruhi struktur pendukung gigi, dapat terjadi saling berhubungan atau secara terpisah
dengan penyakit periodontal. Meskipun trauma oklusi dan penyakit periodontal dapat terjadi
secara bersamaan, masing-masing kondisi dapat diatasi secara terpisah. Terapi oklusal umumnya
dilakukan sebelum atau bersamaan dengan perawatan periodontal.9 Jenis kerusakan akibat
trauma oklusi bergantung pada arah, durasi dan besarnya gaya dan hanya terbatas pada daerah
ligamen periodontal, tidak pada gingiva (Gambar 1). Dari beberapa penelitian menyatakan
bahwa trauma oklusi tidak memulai atau mengubah inflamasi gingiva dan tidak memiliki efek
10
pada komposisi bakteri subgingiva tetapi peningkatan mobilitas gigi yang disebabkan trauma
oklusi dapat meningkatkan difusi metabolit plak.1

Struktur-struktur yang
dipengaruhi oleh plak

Struktur-struktur yang
dipengaruhi oleh trauma
oklusi

Gambar 1. Lesi Inflamasi dan Trauma Oklusi yang Terjadi pada


Struktur-struktur Anatomi yang Berbeda. 10

Trauma oklusi dapat klasifikasikan berdasarkan onset-durasi dan penyebab. Berdasarkan


onset serta durasinya dapat dibagi menjadi trauma oklusi akut dan trauma oklusi kronis. Gaya
oklusal yang besar dan tiba-tiba, seperti saat menggigit benda keras, restorasi atau alat-alat
prostetik yang mengubah arah gaya oklusal dapat menimbulkan trauma oklusi akut. Trauma
oklusi akut menyebabkan nyeri pada gigi, perkusi sensitif, dan peningkatan mobilitas gigi. Bila
tekanan oklusalnya dikurangi, cedera akan sembuh dan gejala-gejala tersebut di atas akan
berkurang. Bila tidak, cedera pada jaringan periodontal akan bertambah parah, menjadi nekrosis
disertai pembentukan abses periodontal atau menjadi kronis tanpa gejala. Trauma oklusi akut
dapat menyebabkan pecahnya sementum. Trauma oklusi kronis disebabkan oleh perubahan
oklusi karena ausnya gigi, drifting, dan ekstrusi, ditambah dengan parafungsi. Gaya oklusal tidak
terlalu besar, tetapi terus menerus menekan dan mengiritasi jaringan periodontal.1,3 Harus
diperhatikan adalah, gigi goyang tidak identik dengan trauma oklusi dan mungkin terkait dengan
11
sejumlah kondisi inflamasi di sekitar gigi. Berdasarkan penyebabnya, maka trauma oklusi
dapat dibedakan menjadi: trauma oklusi primer dan trauma oklusi sekunder (Gambar 2). Bila
terjadi gaya oklusal berlebihan terhadap gigi yang dikelilingi jaringan periodontal yang sehat
disebut trauma oklusi primer. Contohnya adalah: penumpatan yang terlalu tinggi, insersi
prostetik yang menciptakan gaya berlebihan pada gigi abutmen dan gigi antagonis, gerakan
drifting atau gigi ekstrusi ke dalam ruangan dimana gigi yang dicabut tidak diganti, atau gerakan
ortodontik ke posisi fungsional yang tidak dapat diterima. Trauma oklusi primer tidak
mempengaruhi tingkat perlekatan jaringan ikat dan tidak menginisiasi pembentukan poket karena
serat-serat gingiva suprakrestal tidak terpengaruh, sehingga mencegah junctional epithelium
bermigrasi ke apikal.1,3

A B C
Gambar 2. Gaya Traumatik Dapat Terjadi pada A. Jaringan Periodontal Normal
dengan Tinggi Tulang Normal Ttrauma Oklusi Primer); B. Jaringan
Periodontal Normal dengan Tinggi Tulang yang Berkurang (Trauma Oklusi
Sekunder); atau C. Periodontitis Marjinalis dengan Tinggi Tulang yang
Berkurang. 3

Trauma oklusi sekunder terjadi bila gaya oklusal yang tidak normal mengenai jaringan
periodontal yang tidak sehat/lemah disebabkan periodontitis. Inflamasi marjinal menyebabkan
hilangnya tulang alveolar sehingga kapasitas adaptif jaringan untuk menahan kekuatan oklusal
terganggu. Kondisi ini mengurangi area perlekatan jaringan periodontal dan mengubah
ketahanan jaringan yang tersisa terhadap daya pengungkit. Jaringan periodontal menjadi lebih
rentan terhadap cedera dimana kekuatan oklusal yang sebelumnya ditoleransi dengan baik,
berubah menjadi traumatis.3 Gigi dengan jaringan periodontal yang tidak sehat atau terinflamasi,
ditambah gaya oklusal yang berlebihan akan mengalami kehilangan tulang dan pembentukan
poket yang cepat. 12
Diagnosis trauma oklusi dapat ditegakkan jika ditemukan beberapa tanda-tanda klinis
dan gejala cedera di beberapa bagian sistem mastikasi.9 Pengetahuan, pengalaman dan intuisi
klinis juga diperlukan untuk mendiagnosis trauma oklusi.10 Tanda-tanda dan gejala trauma
oklusi dapat dibagi menjadi dua yaitu, klinis dan radiografis. Indikator-indikator trauma oklusi
dapat meliputi satu atau lebih tanda dan gejala.13
Trauma oklusi akut menunjukkan sakit gigi hebat, nyeri ketika mengunyah, nyeri pada
perkusi dan hipermobilitas gigi. Dalam kasus berat, terjadi pembentukan abses periodontal dan
kerusakan sementum.1,9 Gejala klinis lain adalah: fremitus, sensitif terhadap panas,
ketidaksesuaian oklusal (occlusal prematurities), rasa tidak nyaman yang persisten, poket
infrabony, keterlibatan furkasi, atrisi (wear facet), gigi gumpil atau fraktur, resesi gingiva dan
migrasi patologis.1,13,14 Gambaran radiografis trauma oklusi meliputi: pelebaran ruang ligamen
periodontal, gangguan pada lamina dura berupa penebalan lamina dura di sepanjang tepi lateral
akar gigi, apikal dan area bifurkasi dan diskontinuitas lamina dura (Gambar 3).14, 15 Destruksi
septum interdental lebih ke arah vertikal dibandingkan ke horisontal, radiolusen pada furkasi,
apeks gigi vital atau tampak resorpsi akar gigi.1,9,13,15 Perbandingan akar-mahkota gigi yang
tidak seimbang, bentuk akar gigi konvergen dengan mahkota gigi yang relatif besar menjadi
indikator trauma oklusi.3,4,5,6

Gambar 3. Gambaran Radiografis yang Menunjukkan Tanda-tanda Trauma Oklusi pada


Periodontitis Dalam Derajat Berbeda.14
Rasio akar-mahkota gigi trauma oklusi

Mahkota gigi anatomis adalah bagian gigi (di mulut atau ditangan) yang dilapisi email,
dan akar gigi anatomis adalah bagian gigi yang dilapisi oleh sementum. Sebuah garis servikal
(cemento-enamel junction) memisahkan mahkota gigi anatomis dari akar gigi anatomis.
Hubungan ini tidak berubah seumur hidup. Istilah mahkota gigi klinis adalah bagian mahkota
gigi yang terlihat di mulut dan akar gigi klinis adalah bagian gigi yang tidak terlihat karena
ditutup oleh gingiva.17
Secara klinis, tepi gingiva sehat seseorang yang berusia 25 tahun mengikuti
kelengkungan garis servikal dan mahkota gigi klinis sama dengan mahkota gigi anatomis.
Namun, tepi gingiva tidak selalu pada garis servikal yang dapat disebabkan oleh proses erupsi
sejak awal kehidupan atau resesi gingiva di kemudian hari. Sebagai contoh, erupsi gigi sebagian
pada usia 10 tahun, gingivanya melingkupi lebih banyak enamel mahkota gigi anatomis,
sehingga mahkota gigi klinis (yang terekspos di mulut) jauh lebih pendek dibandingkan dengan
mahkota gigi anatomis. Akar gigi klinis (tidak terlihat di dalam mulut) akan lebih panjang
daripada akar gigi anatomis (meliputi akar gigi anatomis ditambah dengan bagian mahkota gigi
anatomis yang tertutup gingiva).17
Sebaliknya, pada orang berusia 70 tahun, mungkin menunjukkan resesi gingiva, terutama
bila memiliki penyakit periodontal atau setelah terapi periodontal yang mengekspos akar gigi
anatomis lebih banyak. Hal ini menciptakan mahkota gigi klinis yang lebih panjang
dibandingkan dengan mahkota gigi anatomis sehingga mahkota gigi klinis di mulut meliputi
seluruh mahkota gigi anatomis ditambah dengan bagian akar gigi anatomis yang terekspos.
Dalam situasi ini, akar gigi klinis lebih pendek dibandingkan dengan akar gigi anatomis.17
Dari sudut pandang oklusal, anatomis mahkota memberikan dukungan permukaan oklusi
yang bermakna tetapi anatomi akar, menentukan dukungan sebenarnya pada gigi.17 Rasio akar-
mahkota gigi secara anatomis diukur berdasarkan panjang akar gigi (dari garis servikal ke ujung
akar gigi terpanjang) dan panjang mahkota gigi (dari garis servikal ke ujung kusp terpanjang atau
bagian tertinggi dari tepi insisal). Sebagai contoh, rerata panjang akar gigi insisivus sentral
maksila 13,0 mm, dan panjang mahkota gigi 11,2 mm, maka rasio akar-mahkota gigi adalah 13
dibagi 11,2 yaitu 1,16. Rasio ini mendekati angka satu, mengindikasikan bahwa akar gigi tidak
lebih panjang dibandingkan mahkota gigi. Rasio akar-mahkota gigi molar pertama maksila yang
normal adalah 1,72 dan pada molar pertama mandibula sebesar 1,83. 17
Rasio akar-mahkota tidak seimbang yang menyebabkan trauma oklusi
Di dalam bidang prostodontik, ditetapkan bahwa rasio akar-mahkota gigi untuk abutmen
mahkota dan jembatan idealnya adalah 2:1. Rasio 2:1 merupakan rasio optimum, dimana akar
gigi lebih panjang dua kali daripada mahkota gigi. 6 Shillingburg dkk. menyarankan untuk gigi
abutmen, rasio mahkota gigi dan akar gigi 1:1,5 adalah optimum dan minimum rasio adalah
1:1.6 Pada kondisi gingiva yang sehat, akar gigi seluruhnya tertanam di dalam tulang alveolar
4
yang diliputi oleh jaringan lunak. Akar gigi yang panjang dan diameter gigi yang luas akan
meningkatkan dukungan jaringan.17 Gigi dengan akar pendek, konvergen serta mahkota gigi
yang relatif besar memberikan prognosis buruk. Oleh karena, rasio akar-mahkota gigi yang
tidak seimbang dan permukaan akar gigi yang kurang, menyebabkan jaringan periodontal lebih
rentan terhadap cedera trauma oklusi.16
Höltta dkk. mengatakan penyebab terjadinya gigi permanen berakar pendek bisa
disebabkan oleh genetik berupa anomali akar gigi pendek, variabel eksogen termasuk radiasi
kepala dan leher dan/atau kemoterapi keganasan pada anak selama perkembangan gigi. Kondisi
ini juga telah terdeteksi pada kasus hiperparatiroidisme, sindrom Down dan sindrom Turner.
Dalam beberapa kasus etiologinya masih idiopatik. Akar gigi yang pendek dapat menyulitkan
rencana perawatan pada fase rekonstruksi, misalnya di dalam perawatan ortodontik dan
prostodontik, yaitu ketika mempertimbangkan penjangkaran atau memperkirakan kemampuan
gigi untuk mengatasi gaya mastikasi.5

Diskusi

Anatomi akar gigi menentukan dukungan terhadap gigi yang sesungguhnya. Area
perlekatan akar gigi bergantung pada panjang akar, jumlah akar dan diameter akar gigi mulai
dari cemento-enamel junction sampai ke apeks, serta ada atau tidak adanya konkavitas serta
kurvatura-kurvatura lain dari akar gigi. Gambaran anatomis akar gigi tersebut sangat menentukan
resistensi gigi terhadap gaya oklusal dan gaya-gaya lainnya, terutama ketika mereka diberikan
gaya dalam arah lateral atau bukal-lingual.17
Rasio akar-mahkota gigi dapat meningkat dari waktu ke waktu, terutama sebagai akibat
dari kehilangan dukungan tulang alveolar; bagian mahkota dari titik tumpu (arm effort) akan
meningkat, dan bagian akar (arm resistance) akan menurun. The center of rotation bergerak ke
apikal, dan gigi menjadi lebih rentan terhadap efek buruk dari gaya lateral.17 Secara anatomi,
dukungan tulang alveolar dapat dibagi dalam beberapa tingkat. Tingkat tulang alveolar untuk
setiap gigi, didefinisikan sebagai massa kritis dukungan tulang alveolar. Dukungan tulang
alveolar yang tersisa pada sepertiga tengah akar gigi adalah 40-50% dari total luas perlekatan
permukaan akar gigi sedangkan dukungan tulang alveolar pada sepertiga apikal, tidak memadai
untuk menstabilkan gigi. Untuk menentukan tingkat kritis dukungan tulang alveolar dapat
dilakukan dengan melakukan probing dan memetakan kedalaman poket periodontal, yang
kemudian dikorelasikan dengan bukti radiografis kehilangan tulang alveolar.18
Salah satu tanda klinis penyakit periodontal adalah peningkatan kedalaman probing yang
lebih dari 3 mm. Bila kedalaman probing lebih dari 5 mm, menandakan telah terjadi kerusakan
tulang dan ligamen periodontal. hal ini dikenal sebagai periodontitis. Pada periodontitis, akan
dijumpai destruksi gingiva, serat-serat ligamen periodontal, kehilangan tulang alveolar, dan
migrasi apikal epithelial junction pada akar gigi. Secara klinis kerusakan tersebut digambarkan
sebagai loss of attachment.
Penurunan area perlekatan jaringan periodontal meningkatkan kerentanan jaringan tersisa
untuk cedera.3, 19
Trauma oklusi dapat mengakibatkan perubahan destruktif di dalam tulang,
ligamen periodontal, dan akar gigi. Bila jaringan periodontal masih dapat mengakomodasi
tekanan oklusal, maka perubahan yang terjadi bersifat reversibel.20 Di dalam penelitian Linden
(1985), dituliskan bahwa menurut Herulf (1950), tinggi tulang optimal jika jarak ke cemento-
enamel junction adalah sekitar 1 mm, dan menurut Belting dkk. (1953) kerusakan tulang telah
terjadi jika jarak antara alveolar crest ke cemento-enamel junction melebihi 2 mm. Gambaran
khas kehilangan tulang periodontal adalah: (1) kehilangan tinggi puncak alveolar, menunjukkan
kehilangan tulang horisontal; (2) lokal, kerusakan tulang parsial, menunjukkan kehilangan tulang
vertikal atau angular.21
Linden (1985) juga menuliskan bahwa menurut Schei dkk. (1959) ia mengukur
ketinggian tulang dalam bentuk persentase dari tinggi tulang maksimal, sedangkan Lindhe dan
Nyman (1975) menghubungkan tingkat kehilangan tulang dengan panjang gigi. Setelah
diagnosis klinis pada poket yang terinflamasi, mereka menggunakan klasifikasi sebagai berikut:
Periodontitis levis: pengukuran kedalaman poket dan/atau dari gambaran radiografis yang
menunjukkan kehilangan tulang marjinal tidak lebih dari sepertiga tinggi tulang normal;
Periodontitis gravis: kehilangan tulang horisontal lebih dari sepertiga ketinggian tulang normal
dan Periodontitis complicata: dari gambaran radiografisnya menunjukkan kehilangan tulang
angular dan/atau keterlibatan furkasi serta mobilitas gigi. 21
Peningkatan mobilitas gigi tidak selalu menjadi indikasi trauma oklusi.14 trauma oklusi
primer dan sekunder digunakan untuk menjelaskan tanda-tanda klinis trauma oklusi berdasarkan
mobilitas klinis. Trauma oklusi primer didefinisikan sebagai ‘trauma disebabkan gaya oklusal
berlebihan pada gigi dengan struktur penyangga yang normal’. Mobilitas gigi pada kasus ini
dapat dipulihkan dengan cara mengembalikan beban oklusal menjadi normal.10 Gigi yang
kehilangan jaringan penyangga dapat mengalami trauma oklusi sekunder. Kekuatan oklusal
normal dapat menyebabkan trauma pada apparatus perlekatan gigi dengan dukungan yang tidak
memadai. Mobilitas klinis yang nyata tidak dapat diperbaiki karena berkurangnya dukungan
tulang pada gigi yang terlibat.10 Ini menunjukkan bahwa trauma oklusi mempercepat hilangnya
perlekatan lebih lanjut pada pasien dengan periodontitis aktif.14

Kesimpulan

Rasio akar-mahkota gigi yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan pada saat
melakukan pemeriksaan dan diagnosis pasien yang di duga mengalami trauma oklusi. Adanya
rasio akar-mahkoa yang tidak seimbang dan menyebabkan trauma oklusi akan memperberat
penyakit periodontal. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan anatomi gigi yang baik untuk
menentukan etiologi trauma oklusi

Daftar pustaka

1. Reddy S. Trauma from Occlusion. In: Essentials of Clinical Periodontology and


Periodontics. 2nd ed. New Delhi: Jaypee. 2008:87-93.
2. Kemal Y. Trauma Oklusi, Diagnosis dan Penanggulangannya. Bahan Kuliah. Jakarta:
Departemen Periodontologi FKG UI. 2011:1-32.
3. Carranza F, Camargo P. Periodontal response to external forces. In: Jovanovic SA, Haake
SK, Novak MJ, eds. Carranza’s Clinical periodontology. 9th ed. Philadelphia, USA:
W.B. Saunders. 2006.371-378.
4. Othman N, Taib H, Mokthar N. Root-crown ratios of permanent teeth in Malay patients
attending HUSM Dental Clinic. Arch Orofac Sci. 2011;6(1):21-26.
5. Hölttä P, Nyström M, Evälahti M, Alaluusua S. Root-crown ratios of permanent teeth in a
healthy Finnish population assessed from panoramic radiographs. Eur J Orthod.
2004;26(5):491-7.
6. Grossmann Y, Sadan A. The prosthodontic concept of crown-to-root ratio: a review of
the literature. J Prosthet Dent. 2005;93(Jun2):559-6.
7. Wolf HF, Hassel TM. Color Atlas of Dental Hygiene. Periodontology. New York:
Thieme. 2006:1-4, 22, 39-40, 95-98.
8. Polson AM, Heijl LC. Occlusion and Periodontal Disease. Dent Clin North Am. 1980;
24(4):783-795.
9. Parameter on occlusal traumatism in patients with chronic periodontitis. American
Academy of Periodontology. Periodontol. 2000;71(5 /Supplement):873-874.
10. Fetner AE. Periodontal-occlusal interrelationships: a perspective. Fla Dent. 1988;59(28-
33).
11. Bhola M, Cabanilla L, Kolhatkar S. Dental occlusion and periodontal disease: what is the
real relationship? J Calif Dent Assoc. 2008;36:924-930.
12. Pihlstrom BL, Anderson KA, Aeppli D, Schaffer EM. Association between signs of
trauma from occlusion and periodontitis (Abstract). J Periodontol. 1986;57:1-6.
13. Rupprecht CR “Dave.” Trauma from occlusion: a review. Nav Postgrad Dent Sch.
2004;26(1):26-28.
14. Davies SJ, Gray RJ, Linden GJ, James J. Occlusal considerations in periodontics. Br Dent
J. 2001;191(11):597-604.
15. Shaddox LM, Walker CB. Treating chronic periodontitis: current status, challenges, and
future directions. Clin Cosmet Investig Dent. 2010;2:79-91.
16. Goodman SF, Novak KF. Determination of Prognosis. In: Jovanovic SA, Haake SK,
Novak MJ, eds. Carranza’s Clinical Periodontology. 9th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders. 2002:475-486.
17. Woelfel JB, Scheid RC. Dental Anatomy. Its Relevance To Dentistry. 5th ed. (Zinner SR,
ed.). Baltimore, Maryland: Williams & Wilkins. 1997:87-97, 213-266.
18. Perlitsh MJ. A Systematic Approach to the Interpretation of Tooth Mobility and Its
Clinical Implications. Dent Clin North Am. 1980;24(2):177-193.
19. Boever J De, Boever A De. Occlusion and periodontal health. In: Occlusion and clinical
practice. An evidence based approach. Wright Publishing; 2004:83-90. Available at:
http://hdl.handle.net/1854/LU-284997. Accessed January 16, 2014.
20. Stahl SS. The role of occlusion in the etiology and therapy of periodontal disease. Angle
Orthod. 1970;40(4):347-52.
21. Linden LWJ VanDer. Periodontal Bone Lesions, An Experimental Study Of Interdental
Bone Changes. Netherlands: Van Den Berg & Verluijs BV, Dordrecht. 1985:22-35, 42-
45.

Anda mungkin juga menyukai