Anda di halaman 1dari 7

KEBERAGAMAN DI MASYARAKAT

PEMAIN

Ibu- Ibu Gaul Banjar : Tita, Mawa, Zahroh, Eva, Dilla, Assa, Syafira, Rennie, Annisa,
Mutia, Raihan.

Ibu- Ibu Pendatang : Zahra, Hariyati, Huda, Nadya, Eka, Nida, Arini, Amel, Vira, Wiwi

Satpam : Azi & Saukani

Pak RT : Lana

Bapak- Bapak : Aini & Ahdi

Pendatang Baru : Nanda & Enpe

Narator : Fina

Di suatu komplek perumahan yang bernama komplek Damai, terdapat banyak kepala
keluarga mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu sampai dengan anak-anaknya. Di komplek tersebut
terdapat genk arisan ibu-ibu asli suku banjar tetapi tetap gaul dan kekinian. Mereka selalu saja
membicarakan kejelekkan para ibu ibu lain yang berasal dari suku lainnya. Seperti para ibu-ibu
pendatang dari pulau jawa. Mereka tidak pernah bertegur sapa dan selalu membuat gaduh.

(Di dalam rumah ibu Tita yang sedang arisan, para ibu-ibu sedang berbincang)

Dilla : Jadi lo buk ibuk, Unda ni nah baru aja nukar kalung emas 10gram. Bagus banar kalo?
(bepander sambil muha pina cakah)

Annisa : Eh, bagus nya lah. Dimana pian nukar? (spontan refleks menyahuti)

Rennie : Nukar di Toko Haji Amat kalo nich. Gelang emas unda jua nukar disana 8gram larang
tau lah mana bandanya bagus banar hen. (bepander muha pina handak cakah kada
handak kalah)
Dilla : Iya dasar bujur. Larang tau lah. Kalau ibu ibu nang di sana tuh mana kawa beli emas
larang kaya ampun kita nich. (muha cakah sambil memamerkan emasnya)

Syafira: Iyaaa hanyar terasai duit batu bara pang. Mun kita nih dasar asli urang sini nyata dah
kada tekajut menjapai duit banyak gajih laki begawi batu bara tuh. (muha cakah)

Tita : Iya, paling hanyar sekali ja naik pesawat. Itu gin pesawat yang terbang ke Kalimantan
sini wara

Assa : iya kalaunya bepasawat. Sekalinya naik kapal jar han (tertawa)

Tita : Bujur ae, kapal terbang jar urang tuha bahari tuh (tertawa koler)

(Di pekarangan rumah ibu vira, ibu ibu pendatang juga sedang berbincang bincang)

Vira : Di Kalimantan panas ya bu (sambil mengipaskan sebuah kipas kecil ke wajah)

Amel : Iya, panas sekali. Kipas angin dirumah sudah tidak berasa lagi rasanya.

Arini : Ya, disuruh beli yang baru lagi kayanya bu. (tertawa)

Ibu-ibu yang ada disana pun ikut tertawa bersama.

Nida : Eh buk, apa betul rumah di ujung sana udah ada yang ngisi. Ujar urangnya dari medan
pindah kasini karna suami nya dipindah urang begawi kesini. (muka rada kepoan)

Eka : Iya buk, saya dengar juga seperti itu. Semoga saja betah ya buk mereka disini. Apalagi
genk sebelah pasti tidak suka akan pendatang baru pasti dibuat ribut tuh pasti. (muka rada
cemas khawatir)

Huda : Pasti tuh buk.

Arini : Aduh, rasanya saya khawatir bu, tidak enak rasa. (muka rada cemas khawatir)

Eka : Doa kan saja bu. Agar nantinya tidak terjadi apa apa dengan tetangga baru kita. Dan
juga biar mereka betah. (menenangkan)

Amel : Betul itu bu. Semoga saja


(Keesokan hari nya, para ibu ibu gaul berkumpul kembali di rumah ibu Dilla)

Eva : uy acil acil samuaan, sudah mandangar habar kah. ujar ada yang sudah maisii rumah
nang intang pahujungan sana jar. Habarnya orang pandatang, iiiiii. (muka rada menyangit
tapi have fun)

Mutia : Hiih, ada ja sudah mendangar. Pina nya dari Medan jar. Awas ja pang mun handak pina
bejagau jagau di wadah kita sini, Unda labrak tu pang. (muka menyangit level up
ditambah cakah)

Assa : Wahinian haja nah kita melabrak, kaya apa garang urang nya asa panasaran unda nah
(muka tegas dan berapi api).

Eva : Hiih jui nah kita serumbungan.

(Sesampainya di depan rumah ibu Enpe yang pendatang baru di komplek Damai)

Enpe : Eh ibu ibu, ada apa nih bu jadi kerumah saya. Perkenalkan saya Enpe pendatang baru di
sini. Ini ada suami saya Fernanda juga. (nada tegas)

Syafira: Oohh ini yang pandatang hanyarnya. Ku kira sugih nangkaya buhan kita ni (sambil
tertawa) Han sakalinya biasa urangnya, dua laki bini ha pulang (muka cakah)

Raihan : Hiih lah, sugih kita masih. Bahasa nya jua kaitu banar kayak handak membawai buhan
kita behantaman, nyaring banar ha pulang bepander kadada santainya lalu. Sakit talinga
ku mandangar asa handak beobat telinga kena aku ke klinik nah. (muka kisah membari
muar)

Enpe : Maksud nya gimana ya bu. Saya tidak paham dengan apa yang ibu-ibu ucapkan . (nada
tegas dan agak sedikit bingung)

Zahroh: Halah pina musti kada paham. Dasar kekijilan ges ai inya nich. (muka jahat)

Tidak lama, datang lah ibu ibu pendatang kerumah ibu enpe, setelah mendengar suara
ribut.

Nadya : Kenapa ini bu. (muka sopan)


Zahroh : Heleh, buhan nyawa tuh sama ja kayak sidin yang nyaring banar bepander tuh pada
kekijilan jua (muka cakah)

Vira : Kenapa jadi kami bu. Kan ibu ibu gaul sekalian yang suka bikin gaduh disini. (muka
agak bingung tapi nada tegas)

Mawa : Maksudnya nyawa apa hah pina kada santai, handak ribut lawan buhan kita kah ?. Dasar
urang pendatang nih kisah peharatnya. Kaya inya ja lagi dah nang ampun tanah. (muka
cakah tensi tinggi)

Huda : Gaada ya bu. Kami datang kesini baik baik. Kami juga ga pernah ngelabrak labrak gini.
Beda sama ibu ibu gaul sekalian yang hobi nya memang melabrak orang yang gaada
salah. (muka marah tapi dengan nada yang sopan agak sinis sedikit)

Enpe : Sudah ibu ibu semua. Kenapa jadi ribut ribut dirumah saya yah ? saya sama suami saya
salah apa yah (nada tegas dan agak sedikit bingung)

Raihan : Halah km tuh pina musti ha jua. (menarik rambut enpe)

Fernanda : Sudah, sudah. Apa apaan ini. Saya laporkan polisi baru tau rasa. (nada tegas dan
muka bingung)

Keadaan semakin tak terkendali, para ibu-ibu semakin memanas.

Zahra : Aku bilangin pak RT aja, udah gakuat aku. (muka cemas)

Zahra : Pak RT. Pak RT. Tolong pak RT. Ibu ibu pada lagi berantem pak. (muka panik)

Lana : Loh, kok bisa bu. Ayoo kita kerumah ibu Enpe. (muka tegas berwibawa sedikit kaget)

Pak RT beserta satpam komplek dan juga para bapak bapak langsung menuju rumah ibu
Enpe dan bapak Fernanda.

Azi : Loh, loh, loh. Gimana ini pak RT. Kok bisa gini. (muka bingung)

Saukani : Lah iya zi. Jadi takut aku misahin emak emak berantem gini. (muka bingung)
Lana : Oalah Malah ngobrol toh. Ayo dipisahin dulu pak. Bapak bapak yang lain ayo
dipisahkan dulu (muka tegas berwibawa sedikit tegang)

Ahdi & Aini : Baik pak.

Setelah kondisi mulai kondusif, pak RT mulai mencari tau apa penyebabnya.

Lana : Jadi gimana cerita nya bu, kok bisa begini. (muka tegas berwibawa)

Annisa : Buhannya badahulu pak, meulah hual. (muka cakah)

Hariyati : Engga pak, mereka duluan yang labrak ibu Enpe sama pak Fernanda. Terus saya dan
teman teman datang buat ngeliat apa yang terjadi (muka sopan tapi rada tegang)

Lana : Loh bu hariyati cuman ngeliat aja ? (muka tegas tapi lucu)

Hariyati : Gak gitu pak hadehh, makanya kan tadi bu zahra yang laporin ke bapak (muka
cemberut dan bingung)

Lana : Oh iya betul juga wkwk (muka lucu)

Semua kecuali pak rt serentak bilang ; HADEHHH…

Saukani : Memang betul seperti itu bu Enpe? (muka tegas)

Enpe : Betul pak, tiba tiba saja ibu ibu ini datang lalu berbicara dengan bahasa yang tidak saya
mengerti. (nada tegas dan muka bingung)

Fernanda : Betul itu pak. Istri saya juga dijambak nya oleh mereka. (nada tegas dan muka
bingung)

Azi : Waduh, ngeri kali lah ibu ibu ini. (muka bingung)

Rennie : Nah dikeramputinya pian pak. Dasar buhan nya yang kekijilan pak RT ai. Hanyar
pendatang sudah betingkah. Nih si Enpe nih bepandir kasar lawan nyayaringnya kada
ketaguran, kada kah sunging mandangar guguran tahi telinga dapatnya. (muka cakah
menyenyarik)
Mawa : Hiih pak RT. Mana ibu ibu mulai Jawa nih pina kaunggahan banar. Kami nang lahir di
Kalimantan ni nah nang ampun tanah biasa haja. Kada usah handak beharat harat buhan
ikam nih. (muka cakah menyenyarik)

Lana : Astaghfirullah. Ibu ibu gaul yang saya hormati. Namanya kita ini adalah Indonesia yang
dari Sabang sampai Merauke. Yang mana memiliki kebudayaan yang beragam, wajar saja
jika memiliki bahasa yang berbeda beda dan suku yang beragam pula. (muka tegas
berwibawa)

Azi : Betul tuh bu ibu. Kalau ibu Enpe ini kan dari Medan. Wajar saja jika suara nya keras,
memang orang orang disana berbicara seperti itu. (muka tegas sopan rada lucu)

Lana : Benar. Kalau ada orang dari luar Kalimantan harusnya kita rangkul. Kita ajarkan budaya
kita yang ramah, murah senyum, dan suka menolong. Bukankah suku Banjar selalu dikata
orang seperti itu? (muka tegas berwibawa)

Saukani : Iya bu ibu. Jadi dengan adanya berbagai macam suku yang ada di komplek ini.
Harusnya bisa membuat kita semakin yakin bahwa keberagaman Indonesia memang
sebanyak itu. Beda suku beda bahasa, beda bahasa beda kebudayaan. Jadi kita tetap harus
Bersatu bukan malah bercerai berai. (muka tegas dan berwibawa)

Ahdi : Betul itu. Kita harus Bersatu jangan malah saling bersaing suku siapa yang terhebat.

Aini : Betul itu. Kita ini adalah INDONESIA. (muka semangat)

Lana : Jadi paham ya bu ibu. Lebih baik kita bermaaf maafan dari pada saling menyalahkan.
Ayo minta maaf satu sama lainnya buk. (muka tegas dan berwibawa)

Mereka semua bermaaf-maafan. Ibu ibu semua berpelukan tanda bahwa perselisihan
telah berakhir. Hanya ada kata kedamaian untuk para ibu-ibu dikomplek Damai tersebut.

Mutia : ulun minta maaf yang banyak ya bu. (muka memelas tapi rada ketawa)

Nadya : Iya bu, tidak apa apa. Kami juga ya bu. (muka sopan)

Nida : Minta maaf ya bu Enpe. (muka sopan)


Enpe : Iya bu, saya juga. Gimana kalau besok kita adakan acara makan makan. (muka sopan
looks medan)

Semuanya : Boleh bu boleh.

Setelah kejadian hari itu, kondisi komplek Damai sudah seperti namanya. Mereka hidup
rukun dan saling menghargai antar sesama. Tidak ada perselisihan di antara para ibu-ibu maupun
bapak-bapak. Karena mereka sudah tahu, bahwa negara Indonesia memiliki keragaman budaya
yang berbeda beda dari Sabang sampai dengan Merauke. Indonesia dengan segala
keberagamannya.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai