Anda di halaman 1dari 3

Tikus Sawah

Oleh: Abu
Suasana embun pagi telah usai sejak tadi. Dinginnya pagi berangsur berkurang seiring sinar
matahari mulai terpancar jauh dari ufuk timur. Dilihat dari langit yang bersih dari awan, hari
ini akan cerah dan terik. Suara-suara burung pun sudah mulai menghiasi sawah yang luas ini.
Sebentar lagi, suara mesin-mesin pun akan ramai terdengar. Mesin panen padi, mesin bajak
sawah, dan mesin sepeda motor.
Para petani berangsur mulai berdatangan dengan berjalan kaki, atau berkendaraan, lengkap
dengan alat dan bekal mereka masing-masing. Seorang ibu membawa bekal di dalam tas
karungnya dengan menenteng jerigen berisi air minum, ditemani seorang bapak yang
membawa parang terikat di pinggang, atau seorang ibu yang datang dengan membawa anak-
anaknya kesawah. Sekelompok anak-anak pun berdatangan ke persawahan ini, untuk
mengambil buah kuini yang berjatuhan tadi malam. Anak-anak itu sengaja datang pagi-pagi,
agar tidak berjumpa dengan pemilik pohon kuini itu. Berbeda lagi dengan pemuda yang
datang malam hari. Sebagian pemuda datang menjaga yang dimilikinya di sawah ini.
Sebagian lagi datang untuk mengklaim yang tidak dijaga pemiliknya. Pohon kelapa menjadi
milik mereka ketika tidak ada yang menjaganya. Pohon kuini, mangga, jambu, ikan yang ada
di kolam, dan pohon pinang menjadi milik mereka. Kepemilikan itu berubah ketika mereka
mencuri buah dari pohon-pohon yang tidak dijaga pemiliknya.
Tuan saya pun pagi ini sudah datang, berberes-berers dan menyebar jerami di lahan sawah
untuk dibakar. “Bagaimana hasil panen semalam? Apakah sesuai dengan harapan yang
ditunjukkan oleh bulir padi yang merunduk?” Tanya ibu Duma kepada tuan saya.
“Jauh dari harapan, bu. Padinya banyak menipu, tampilannya saja yang terlihat bagus. Tapi,
kalau hasil panennya kurang memuaskan.” Jawab tuan saya dengan sedikit merasa kecewa.
“Padahal, padi bapak adalah yang terbaik menurut petani disini. Pupuk cukup, perawatan
rutin, hama tidak banyak, dan airnya cukup.” Puji bu Duma.
“Ya, begitulah bu. Mungkin untuk balik modal saja belum, bu. Pupuk mahal, dan biaya
perawarannya juga mahal.” Sampai tuan saya.
“Kami saja khawatir ini, pak. Pupuknya tak tercukupi karena mahal itu, pak. Pengairannya
pun kurang. Sawah yang di hulu kami tidak mau berbagi air, pak. Tikus pun banyak, pak.”
Keluh bu Duma yang sawahnya masih jauh dari tuan saya. “Saya duluan, pak.” Pamit bu
Duma sambil melanjutkan perjalanannya.
Banyak petani yang saling bertikai karena pengairan sawah. Petani di hulu tidak mau berbagi
air ke petani yang ada di hilir, akhirnya ada sawah petani yang kurang air. Semenjak sawah
banyak yang dialihkan jadi kebun sawit, semakin lama, semakin sedikit air yang mengalir
untuk air persawahan. Para petani banyak yang mengubah sawah menjadi kebun sawit
dengan alasan lebih mudah, ringan, dan hemat mengurus kebun sawit dari pada sawah.
Belum lagi hama padi, tikus, burung, atau padi yang terpaksa harus baring karena ditiup
angin kencang. Pestisida yang disiram pak tani atau bu tani untuk mengusir hama kadang
tidak mempan, karena hama semacam ulat itu juga ada di dalam batang padi. Hama yang di
dalam batang padi itu menyebabkan padi cepat menguning, padahal belum waktunya.
“Bagaimana hasil panen kemarin, bang?” Tanya pak Burhan kepada tuan saya.
Para petani begitu banyak bertanya, mungkin karena sawah tuan saya tepat berada di pinggir
jalan. Sehingga siapapun yang lewat, senang saja menegur tuan saya, juga sawah tuan saya
dalam putaran ini yang paling terurus. Sehingga banyak orang yang bertanya hasil panen tuan
saya.
“Meleset dari harapan, Han.” Jawab tuan saya singkat.
“Kenapa begitu, bang? Tapi, dengar-dengar sebelah abang dapat hasil banyak putaran ini. “
Tanya pak Burhan, merasa heran dengan jawaban tuan saya.
“Tikusnya banyak sekali, Han. Jadi, sebenarnya di muara air sana, banyak yang mati padinya
karena dimakan tikus-tikus bajingan itu. Tapi, kalian tak nampak, yang nampak yang di
pinggir jalan ini, dan yang dipinggir jalan ini memang terlihat bagus.” Jelas tuan saya.
“Begitu, ya, bang. Saya sudah menganggap untuk putaran panen kali ini, abang lah yang
paling banyak hasil panennya.” Sampai pak Burhan.
“Ternyata tidak, Han. Malah, rugi kayaknya untuk putaran ini.” Sampai tuan saya. “Sawah
seberang irigasi kapan mulai panen?” Tanya tuan saya.
“Hari ini sudah ada yang mulai panen itu, bang. Besok mungkin sudah ada mesin robot panen
padi, bang.” Jawab pak Burhan. “Saya duluan, ya, bang.” Sambung pak Burhan sekalian
pamit.
“Baik, Han.” Jawab tuan saya singkat.
Tuan saya sangat heran dengan sawahnya putaran ini. Memang, semua perawatan sudah
dilakukan sangat maksimal. Sehingga padi sangat aman dari hama, namun tidak selamat dari
serangan tikus dari bawah. Istilah tuan saya ketika merungut dihatinya “diselamatkan di atas,
kena serang dari bawah.” Usaha untuk melawan tikus ini pun sudah sangat maksimal. Tuan
saya sudah membuat pagar plastik keliling sawahnya. Bahkan, tuan saya sangat sering
memasang racun tikus sore hari. Seolah-olah tikus itu mati satu tumbuh satu, saking tak mau
habisnya. Tikus lah yang menyerang padi tuan saya. Bahkan tikus yang dari luar sawah tuan
saya tetap bisa masuk, walaupun sudah dipagar keliling dengan plastik. Aku pernah
melihatnya dimalam hari, tikus itu datang berkelompok, ketika mereka tidak bisa lewat atas,
maka mereka lewat bawah.
Namun, tuan saya sangat heran dengan sawah yang di sebelahnya. Sangat sedikit sekali tikus
masuk kesawah itu. Padahal sawah kami tetangga, hanya dibatasi pematang sawah.
“Kenapa padi anda tidak diserang tikus, padahal sawah kita berdekatan ini. Aku sudah pagar
keliling, tetap saja tikus masuk, sedangkan anda tidak dipagar, dan juga tidak memasang
racun. Kenapa bisa tak ada tikusnya?” Tanya tuan saya sangat ingin tau bulan lalu.
“Tak ada itu, biasa-biasa saja. Bersawah yang sewajarnya. Sawah saya pun ada tikusnya.
Memang, tak sebanyak tikus di sawah, abang.” Jawab ibu di sebelah sawah kami. “Mungkin,
tikus yang rakus-rakusnya masuk ke sawah, abang.” Canda ibu sebelah kami bulan lalu.
Memang betul, dua hari lalu hasil panen ibu sebelah kami lebih banyak. Saat menyebar
jerami itu, tuan saya merungut-rungut dalam hati sekaligus bertanya-tanya.”Kenapa tikua tak
masuk dalam sawah sebelah kami? “
Menjelang sang harinya, tua saya mulai menggulung plastik panjang yang menjadi pagar
sawah ini. Ketika tuan saya menggulung plastik di sebelah sawah tetangga kami, tuan saya
melihat kayu kecil yang menjepit plastik. Tuan saya mengambil plastik itu, dan
membukanya. Dugaan tuan saya pun benar. Sawah sebelah kami menggunakan jimat. Di
dalam plastik itu berisi kertas yang bertuliskan jimat. Saat tertegun itu, tuan saya menatap ke
pematang sawah sebelah tetangga kami, dan masih ada lagi kayu kecil yang didirikan dan
menjepit plastik berisi kertas. Tulisannya sama, dan itu kertas fotokopian.
Temuan itu membuat tuan saya sangat jengkel, seraya mengumpat dengan bibir komat-kamit.
“Pake jimat tak apa-apa, tapi lihat tetangga kita, jadi imbasnya. Kalau mau pakai jimat, ya
minimal dipikirkan tentangga yang tidak pakai jimat.” Begitulah umpat kesal tuan saya.
Saya tidak bisa berbuat banyak. Saya hanya bisa berdiri terus menerus, seandainya saya jatuh
pun, saya tidak bisa mendirikan diri saya sendiri. Tugas saya disini hanya menakut-nakuti
burung yang mau hinggap di sawah tuan saya. Ya, saya adalah orang-orangan sawah.
Nama Penulis : Abu Bokar Siddik Hasibuan
Afiliasi : FLP Cabang Padang Lawas
Nomor Ponsel : 082277436793
Nomor Rekening : 1097 01 023041097 01 023043 53 50 60 6
a/n Abu Bokar Siddik Hasibuan

Anda mungkin juga menyukai