Anda di halaman 1dari 6

Nama : Naisyah Zahra Maulidiyah

Kelas : XII MIPA 1


Kenangan Terindah Bersama Kakek
Pagi itu, sinar matahari bersinar terang di langit biru yang cerah menembus gubuk yang
beratapkan daun rumbai dan berdiding papan. Aku masih kanak-kanak saat itu nama ku adalah
Pratama dan lekaki yang sudah berkulit keriput itu bernama kakek Muslim. Kakek Muslim
memiliki 6 orang anak tetapi sudah menikah dan istirinya sudag meninggal. Kisah ini adalah
salah satu kenangan indah bersama kakek. Kakek adalah petani yang selalu bekerja keras di
sawahnya, dan aku selalu ingin menemani dan belajar darinya. Setiap pagi, kakekku akan
membangunkanku dengan senyum hangatnya.
“ Selamat pagi cucu kakek” tanya kakek
“Selamat pagi kakek” (sambil beranjak dari tempat tidurku)
“Kamu mau ikut kakek ke sawah atau bermain di gubuk?”
“Aku mau ikut kesawah kek”
Aku akan bersiap-siap dengan cepat, mengenakan pakaian yang nyaman dan bersiap untuk
mengikuti kakek pergi ke sawah. Kakek selalu membawa sekantong nasi bungkus yang diisi
dengan makanan enak untuk kami berdua.
Kami berdua berjalan ke sawah dengan langkah gembira. Aku selalu merasa senang
mendengarkan kakek bercerita tentang cerita-cerita ketika kakek masih kecil dan kerasnya arti
kehidupan. Kakek selalu memberi tahu aku tentang pentingnya menjaga alam dan menghormati
bumi yang memberikan kita makanan. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba
mengingat setiap kata yang keluar dari bibirnya. Saat sampai di sawah, kakek mengambil
cangkul dan aku mengambil sekop mini milikku. Aku berusaha membantu kakek sebaik
mungkin, meskipun tugas-tugas ini sering kali terlalu berat untukku. Kakek selalu memberiku
semangat, mengatakan bahwa aku adalah asisten terbaik yang pernah dia miliki. Saat tiba waktu
istirahat, kakek dan aku akan duduk di bawah pohon rindang di pinggir sawah. Aku membuka
nasi bungkus dan kami berdua akan makan bersama. Makanan terasa lebih lezat di bawah sinar
matahari dengan angin sepoi-sepoi dan pemandangan alam yang indah di sekitar kami.
Sore hari adalah waktu yang paling aku nantikan. Kami akan berjalan pulang ke gubuk
yang terbuat dari atap daun. Kakek akan membawa sekantong penuh sayuran dan buah-buahan
segar, yang akan diberikan ke tetangga-tetangga dekat gubuk kami bermalam. Setelah aku selesai
memberikan sayur dan buah ketetangga gubuk kakek, aku langsung ikut kakek memancing ikan
dipinggir sungai dekat gubuk kami.
“Kakek apakah aku boleh memancing juga? tanya Pratama”
“Boleh cucu kakek” (kakek memberikan kail pancing yang berada ditangannya)
Beberapa menit kemudian kail pancing kakek dimakan ikan. “Kakek kail pancing kakek
dimakan ikan” (Pratama menunjuk ke arah kail pancing kakek).
“Iya cu” (Kakek menarik kail pancingnya)
“Ikan apa itu kek? Tanya pratama”
“Ini ikan mujair” jawab kakek
Akhirnya kami mandi disungai dan memutuskan untuk pulang ke gubuk karena waktu maghrib
sudah hamper tiba.
Keesokan harinya, kakek pergi kesawah terlebih dahulu. Ketika sedang berjalan-jalan,
kakek mendapati sebuah sarang burung puyuh di rerumputan. Kakek dengan hati-hati mengambil
telur-telur burung puyuh yang ada di sarang tersebut. Dia tahu bahwa telur-telur ini akan menjadi
hidangan yang lezat untuk cucunya Pratama. Kakek Muslim kembali ke gubuk dengan telur-telur
burung puyuh itu dan segera mulai menyiapkannya. Dia mengambil panci berukuran kecil,
mengisi dengan air, dan menyalakan kayu bakar. Kemudian, dia meletakkan telur-telur burung
puyuh dengan lembut ke dalam air mendidih. Setelah telur-telur itu direbus dengan sempurna,
kakek Muslim mengangkatnya dari panci dan meletakkannya di atas meja. Dia kemudian
mengupas telur-telur tersebut dengan hati-hati dan meletakkannya di atas piring cantik. Pratama
yang telah mencium aroma harum dari atas gubuk, datang berlari ke arah kakeknya dengan
senyum ceria di wajahnya.
"Kakek, itu apa?" tanya Pratama dengan antusias.
Kakek Muslim tersenyum lebar dan menjawab, "Ini adalah telur burung puyuh, sayang. Aku
menemukannya di rerumputan tadi pagi, dan aku ingin memberikannya padamu sebagai hadiah."
Pratama sangat senang. Dia duduk, dan kakek Muslim memberikan piring dengan telur
burung puyuh yang lezat tersebut. Mereka berdua bersantap bersama-sama, sambil berbicara dan
tertawa. Kakek Muslim melihat kebahagiaan di wajah cucunya, dan itu membuat hatinya hangat.
Pratama mengagumi kakeknya. Setelah kami selesai melaksanakan sholat dzuhur. Kakek dan aku
pergi kembali ke sawah. Dia selalu ingin tahu tentang segala sesuatu yang terjadi di sawah dan
bagaimana kakeknya bisa menghasilkan hasil panen yang lezat. Hari itu, mereka berdua berdiri
di bawah sinar matahari yang hangat, menyaksikan pertumbuhan padi yang mulai menguning.
Pratama dengan rasa ingin tahu bertanya,
"Kakek, mengapa kita harus menunggu padi kuning sebelum panen? Mengapa tidak bisa
kita panen saat padi masih hijau?"
Kakek Muslim tersenyum pada cucunya, "Itu adalah pertanyaan yang bagus, Pratama. Padi
kuning menunjukkan bahwa biji-bijinya sudah matang dan siap untuk dimakan. Kalau kita
panen saat padi masih hijau, hasil panen tidak akan sebanyak ini dan rasanya tidak akan
selezat ini."
Pratama mengangguk mengerti, lalu ia melanjutkan, "Kakek, apa yang kamu lakukan
setiap hari di sini? Apa rahasiamu?"
Kakek Muslim menjawab, "Rahasia terbesar saya adalah memberikan perhatian dan cinta
kepada tanaman ini. Saya juga memastikan bahwa tanaman ini mendapatkan air yang
cukup dan sinar matahari yang cukup. Kita harus menjaga tanaman dengan baik agar
mereka bisa tumbuh dengan kuat."
Pratama memperhatikan sekelilingnya dan bertanya lagi, "Kakek, mengapa kita harus
berhati-hati dengan tanaman ini? Kenapa kita tidak bisa tinggalkan saja mereka?"
Kakek Muslim tersenyum lembut, "Pratama, ini seperti perasaan sayang kita pada sesama.
Kita merawat tanaman ini seperti saudara kita sendiri. Dengan memberi perhatian dan
merawat mereka, kita akan mendapatkan hasil yang baik dan mereka akan memberikan
makanan untuk banyak orang."
Pratama merenung sejenak, lalu berkata, "Aku mengerti, Kakek. Saya akan belajar
merawat tanaman ini dengan baik."
Kakek mengelus kepala cucunya dengan bangga, "Itu anak baik. Kita harus selalu menjaga
alam dan memberikan yang terbaik untuk bumi ini."
Mereka berdua melanjutkan pekerjaan mereka di sawah dengan hati penuh semangat,
sambil berbagi pengalaman dan cerita-cerita tentang hidup dan keindahan alam. Seiring matahari
terbenam di balik gunung, kakek dan cucunya berjalan pulang, dengan keyakinan bahwa alam
adalah teman dan guru terbaik mereka.
Bulan berganti bulan, musim panen padi telah usai. Musim kemarau telah tiba sungai
yang berada didekat gubuk mulai mengecil, para petani bingung menghadapi musim kemarau
panjang ini. Kakek tidak patah semangat dalam bertani, akhirnya kakek menanam padi dan
kacang hijau yang cocok dimusim kemarau ini. Kakek mengumpulkan semua anak, manantu dan
tetangga sekitar untuk begotong royong menanam jagung dan kacang hijau. Saat matahari tengah
tinggi di langit, aku dan cucu kakek yang lainnya memutuskan untuk mencari kesejukan di tepi
sungai. Air sungai itu tenang dan jernih. Kami tidak bisa menahan diri untuk tidak bermain-main
di air dan memutuskan untuk mandi. Ketika itu kami masih kecil semua, dikarenakan airnya
dangkal akibat musim kemarau kami memberanikan mandi sendiri tanpa ditemani orang tua.
Namun, ketika Pratama mencoba menyeberangi sungai dengan hati-hati, ia tiba-tiba
terpeleset di batu licin dan terseret arus sungai yang cukup deras. Ketika itu ada ibu-ibu tetangga
kakek yang memetik sayur dipinggir sungai langsung melihat ia bernama ibu Siti. Dia terkejut
dan langsung berteriak memanggil nama saya, tetapi sudah terlambat. Pratama hanyut oleh arus
sungai yang kuat. Ibu Siti merasa panik dan bersedih. Ia berteriak minta pertolongan dari petani-
petani lain yang bekerja di sawah dekatnya.
“ Tolooong, Tolongggg, Tolong…. Ada anak hanyut” (Ibu Siti berteriak)
Para petani yang berada ditengah-tengah ladang langsung berlarian kearah ibu Siti dan tepi
sungai. “Siapa yang hanyut ibu Siti?” kata anak menantu kakek
“Pra..Pratama yang hanyut” Jawab Ibu Siti
Tanpa pikir panjang kakek yang langsung terjun dari bibir sungai dan mencari keberadaan
Pratama yang terakhir .
Mereka segera membantu mencari Pratama, tetapi arus sungai yang deras membuat
pencarian menjadi sulit. Beberapa jam kemudian, mereka akhirnya berhasil menemukan Pratama
yang terdampar di tepi sungai jauh lebih ke bawah. Ia dalam keadaan basah kuyup dan
ketakutan, tetapi selamat. Kakek Muslim berlari mendekati cucunya dengan air mata
kebahagiaan di matanya.
"Saya sangat khawatir, Nak," kata Kakek Muslim dengan nada penuh kasih sayang.
"Tidak ada yang lebih berharga bagiku daripada keselamatanmu."
Pratama merasa sangat bersalah atas insiden ini dan meminta maaf kepada kakeknya.
Kakek memeluk cucunya dengan erat dan berkata, "Yang terpenting, kamu baik-baik saja.
Kehidupan adalah anugerah yang sangat berharga. Kita harus selalu berhati-hati dan bersyukur
atas apa yang kita miliki."Mereka kembali pulang ke gubuk, dan kakek merasa lega bahwa
cucunya selamat dari bahaya. Semenjak kejadian itu kakek hanya memutuskan sampai waktu
panen tiba, setelah itu kakek tidak pernah bersawah dan berladang lagi. Kakek memutuskan
kembali kepedesaan tempat kakek tinggal selama ini.
Tahun berganti tahun, suasana pagi yang cerah di desa kecil itu, terdengar riuh rendah
suara burung bernyanyi dan bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Di sebuah rumah batu
merah yang terletak di tengah desa. Kakek Muslim tinggal bersama cucunya, Pratama yang
merupakan seorang laki-laki yang sekarang berusia 16 tahun yang ceria dan bersemangat.
Mereka memiliki hubungan yang sangat erat, dan Pratama sering menghabiskan waktu bersama
kakeknya setelah pulang sekolah. Namun, pada suatu pagi yang cerah itu, semuanya berubah.
Pratama yang biasanya bersiap-siap untuk berangkat sekolah dengan gembira, merasa cemas
ketika melihat Kakek Muslim duduk di kursi ruang keluarga dengan wajah pucat dan berkeringat
dingin.
"Kakek, apa yang terjadi?" tanya Pratama khawatir.
Kakek Muslim tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, Sayang. Hanya sedikit sakit perut. Aku
akan baik-baik saja."
Namun, Pratama bisa melihat bahwa kakeknya tidak baik-baik saja. Ia segera
menghubungi bidan desa, dan bidan desa datang dengan cepat untuk memeriksa Kakek Muslim.
Setelah pemeriksaan singkat, bidan desa memberitahu Pratama bahwa Kakek Muslim
membutuhkan perawatan di rumah sakit kota dan mereka harus segera berangkat. Pratama sangat
khawatir, tetapi ia tidak membiarkan ketakutannya merusak semangatnya untuk merawat
kakeknya. Mereka segera berangkat ke rumah sakit kota dengan mobil bidan desa.
Di rumah sakit, Kakek Muslim menjalani serangkaian tes dan pemeriksaan yang
mendalam. Dokter akhirnya memberitahu mereka bahwa Kakek Muslim menderita penyakit
serius yang memerlukan perawatan intensif. Kakek Muslim harus tinggal di rumah sakit untuk
sementara waktu. Pratama sangat bersedih mendengar berita tersebut, tetapi ia tahu bahwa
kakeknya membutuhkan perawatan yang terbaik. Ia berjanji kepada Kakek Muslim bahwa ia
akan menjaganya dan berkunjung setiap hari. Selama Pratama pergi sekolah, anak dari kakek
bergantian menjaga kakek. Hari-hari berikutnya menjadi rutinitas bagi Pratama. Setelah pulang
sekolah, ia akan segera pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi Kakek Muslim. Mereka akan
berbicara, bermain catur, atau hanya duduk bersama sambil mengenang kenangan indah mereka.
Ketika Pratama tidak di rumah sakit, ia mulai mencari tahu lebih banyak tentang penyakit yang
diderita Kakek Muslim. Ia membaca banyak buku dan mencari informasi di internet. Ia ingin
tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membantu kakeknya pulih lebih cepat.Salah satu hal yang
Pratama pelajari adalah pentingnya semangat dan dukungan keluarga dalam proses
penyembuhan. Ia juga memahami bahwa menjaga pikiran positif dapat membantu tubuh dalam
melawan penyakit. Setiap hari, Pratama akan membawa buku atau benda yang dapat menghibur
Kakek Muslim. Mereka akan duduk bersama dan membaca buku-buku favorit kakeknya atau
mengenang perjalanan mereka ke hutan atau kesawah ketika aku masih kecil. Suatu hari, ketika
Pratama membaca sebuah cerita pendek, Kakek Muslim tersenyum. "Pratama, apakah kamu
ingat cerita tentang kita yang tinggal digubuk ketika masih bersawah saat kamu masih kecil?"
Pratama tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Kakek. Aku selalu mengingatnya."
Hari berganti menjadi minggu, dan minggu berganti menjadi bulan. Kakek Muslim tetap
di rumah sakit, tetapi semangatnya tidak pernah luntur. Ia terus berbicara dengan Pratama
tentang berbagai pengalaman hidupnya, dan Pratama mulai merasa bahwa ia sedang
mengumpulkan harta karun dalam bentuk cerita-cerita dan nasihat dari kakeknya. Waktu terus
berlalu, dan suatu hari dokter memberitahu mereka bahwa Kakek Muslim telah menunjukkan
tanda-tanda pemulihan. Ia masih perlu menjalani perawatan, tetapi itu adalah kabar yang sangat
baik. Pratama merasa bahagia dan bersyukur atas pemulihan kakeknya. Mereka berdua tahu
bahwa perjalanan menuju kesembuhan belum selesai, tetapi mereka siap menghadapinya
bersama-sama. Ketika Kakek Muslim akhirnya dinyatakan sembuh dan dapat pulang, Pratama
merasa begitu bersyukur. Mereka kembali ke rumah mereka di desa kecil itu.
Namun, meskipun kakek telah sembuh dari penyakitnya, ada satu perubahan yang terlihat
jelas pada dirinya. Kakek mulai mengalami tanda-tanda pikun. Ia sering lupa nama-nama
anggota keluarga dan kadang-kadang bingung tentang waktu dan tempat. Keluarga merasa sedih
melihat kakek mereka yang pernah begitu tajam dan cerdas kini harus menghadapi tantangan
pikun. Meskipun demikian, keluarga tetap bersyukur bahwa kakek masih bisa pulang dan berada
di antara mereka. Mereka tahu bahwa hidup adalah anugerah, dan meskipun kakek mengalami
pikun, mereka akan tetap mencintainya dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.Setiap hari,
cucu-cucu kakek datang ke rumah untuk menghabiskan waktu bersamanya. Mereka
mendengarkan cerita-cerita kakek tentang masa lalunya, tertawa bersama saat kakek
mengingatkan mereka pada kejadian-kejadian lucu, dan membantu kakek menjalani aktivitas
sehari-hari.
Pratama yang tinggal bersama kakek sering duduk di samping kakek dan mendengarkan
cerita-cerita lamanya. Meskipun kakek sering kali mengulang cerita yang sama, Sara tetap
tersenyum dan mendengarkannya dengan penuh perhatian. Baginya, kakek adalah sumber
inspirasi yang mengajarkan tentang kekuatan dalam menghadapi cobaan dan arti keluarga yang
sejati. Kakek mungkin mengalami pikun, tetapi kasih sayang keluarganya tidak pernah pudar.
Mereka tetap setia merawatnya dan mengisi hari-harinya dengan cinta dan kebahagiaan. Bagi
mereka, kakek adalah harta berharga yang harus dijaga dengan penuh perhatian dan pengabdian.
Bulan berganti bulan, hari itu adalah hari yang penuh kepedihan bagi keluarga kami.
Kakek, sosok yang telah menjadi penopang keluarga selama bertahun-tahun, semakin melemah
dan kembali sakit lagi. Dia sudah tidak mau makan lagi dan hanya meneguk air kopi dan
minuman buavita rasa jambu. Kakek selalu dikenal sebagai orang yang kuat dan bijak. Dia
adalah seorang petani yang gigih dan selalu menjaga kebunnya dengan penuh dedikasi. Namun,
beberapa bulan terakhir, kesehatannya menurun dengan cepat. Dokter mengatakan bahwa
penyakit yang dia derita lumayan parah dan dapat disembukan. Ketika mendengar jawaban
dokter kami harus menerima kenyataan itu. Kami berkumpul di sekitar ranjang kakek di kamar
rumah sakit. Meskipun tubuhnya sudah sangat lemah, matanya masih penuh semangat dan tajam.
Wajahnya tersenyum tipis saat melihat kami semua berkumpul di sana. Pratama yang tidak
hentinya menangis lalu mengambil wudhu untuk solat dan mendo’akan agar kakeknya sembuh
kembali. Satu minggu terlewati, kakek mulai membaik dan ingin pulang ke rumah.
"Apa yang bisa saya lakukan untukmu, Kakek?" tanya Pratama, dengan suara yang penuh
kekhawatiran.
“Kakek ingin pulang kerumah, jika waktunya tiba kakek ingin berkumpul di rumah”
(kakek bersikeras ingin pulang kerumah)
“Kakek, dirawat disini saja kek. Biar kakek cepat sehat kembali” jawab Pratama
“Tidak, aku ingin pulang kerumah”.
Akhirnya berdasarkan kesepakatan keluarga dan saran dari dokter kakek boleh dibawa
pulang. Kakek akhirnya dibawa pulang ke rumah. Dua minggu berlalu kakek sudah bisa
beraktivitas meskipun belum sepenuhnya pulih. Kakek hanya bisa berdiam dirumah dan
kebiasaan kakek duduk di depan teras melihat motor dan mobil yang berlalu lalang di depan
rumahnya. Seketika Pratama pulang sekolah, Pratama menemani kakek sambil bercerita dan
ditemani sepiring goreng pisang dan kopi.
“Kakek waktu masih kecil, kakek bertemu tidak dengan masa penjajahan?” (karena kakek
lahir di tahun 1945) tanya Pratama
“Kakek ketika masa kecil hidup pada zaman gerumbulan (orang belanda), ketika nenek
puyang kamu masih hidup nenek sering menyembunyikan kakek di lobang tanah ketika
gerumbulan lewat” kata Kakek Muslim
“Kenapa seperti itu kek?”
“Kata nenek puyang dulu jika kakek tidak bersembunyi, kakek akan terluka”
Waktu berlalu, jam menunjukkan pukul 17.30 WIB kami bergegas untuk mandi dan
menunggu waktu maghrib. Beberapa hari kemudian, kakek ingin menginap dirumah anaknya.
Akhirnya Pratama mengantarkan kakek, karena kakek pikun takut kakek tersesat. Kakek
menginap 5 hari 4 malam dirumah anaknya, kakek sangat disayang oleh anak dan cucunya.
Kakek kembali pulang kerumahnya dengan hati yang senang dan bahagia.
Hari berganti hari, 2 hari sebelum kepergian kakek. Kakek jatuh sakit lagi, semua
makanan kesukaan kakek sudah dibelikan tetapi kakek tidak memakannya. Kakek berpesan
jangan bawa kakek ke rumah sakit. Akhirnya Pratama memberitahu kepada orang tua, anak dan
cucu kakek bahwa kakek jatuh sakit lagi. Keluarga berkumpul melihat kakek tidak mau makan
apapun selain kopi, akhirnya Pratma memanggil bidan untuk kakek diperiksa dan dipasangkan
infus. Sayang sekali bidan kesulitan mencari urat nadi sehingga bidan tidak bisa memasangkan
infus di tangan kakek. Pratama menangis melihat keadaan kakek yang semakin lemah.
“Kakek apakah kakek mau makan?” tanya Pratama
Kakek menggelengkan kepala perlahan, dan suaranya pelan saat dia menjawab, "Saya
hanya ingin air kopi."
Ibu segera pergi ke dapur untuk membuat secangkir air kopi hangat untuknya. Sementara
itu, kami duduk di sekitar kakek, mengobrol dengan lembut tentang kenangan bersama. Kami
mengingat masa-masa bahagia di kebun, saat kakek mengajari kami bagaimana merawat
tanaman dan menjalani hidup dengan penuh semangat. Ketika ibu kembali dengan secangkir air
kopi, kakek mengambilnya dengan hati-hati. Dia memegang cangkir tersebut dengan kedua
tangan gemetarnya, seolah-olah itu adalah harta yang sangat berharga. Kakek meneguk air kopi
tersebut dengan pelan, dan kami bisa melihat senyum kecil di bibirnya. Air kopi yang hangat
membawa kehangatan pada hari itu yang penuh dengan emosi.
Ketika cangkir kosong, kakek menatap kami dengan mata yang penuh kasih sayang. Dia
berkata, "Terima kasih, semua. Air kopi ini sangat enak, dan kalian semua adalah hadiah terindah
dalam hidup saya."
Hari itu adalah hari yang mendung. Angin sepoi-sepoi bertiup pelan, mengusap lembut
pepohonan di halaman rumah tua itu. Di dalam rumah, suasana juga terasa hening. Cucu yang
duduk di kursi kayu tua itu merenung, memandangi kakek yang terbaring lemah di tempat tidur.
Kakeknya, seorang pria tua berusia tujuh puluh delapan tahun, sedang berjuang melawan
penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya. Kakek telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
hidup cucunya, Pratama, sejak dia masih kecil. Ia mengingat bagaimana kakek selalu
membacakan cerita-cerita sebelum tidur, mengajarkannya tentang kehidupan, dan memberinya
nasihat bijak. Kakek adalah sosok yang penuh kasih sayang, bijaksana, dan selalu tersenyum.
Namun, sekarang senyum itu telah hilang dari wajah kakek. Penyakitnya telah merampasnya.
"Kakek," Pratama akhirnya berbicara dengan suara pelan, takut mengganggu tidur kakek.
Kakek membuka mata lelahnya dan menatap cucunya dengan lembut. "Ya, Nak?"
Kakek menelan ludahnya sejenak sebelum melanjutkan, "Aku ingin minta maaf, Kakek."
Kakek tersenyum tipis. "Minta maaf? Tentang apa, Nak?"
Pratama menggigit bibirnya, merasa berat untuk mengungkapkan kata-kata yang telah lama
terpendam. "Aku menyesal, Kakek. Aku menyesal karena tidak bisa merawatmu dengan
baik di hari-hari terakhirmu."
Kakek mengangguk perlahan, mengerti isi hati cucunya. "Nak, tak perlu menyesal. Kakek
bangga dan bahagia memiliki cucu sepertimu nak."
Air mata mulai mengalir dari mata Pratama, kakek semakin lemah. Pratama
menghabiskan setiap saat bersamanya. Mereka bercerita tentang kenangan-kenangan indah yang
pernah mereka bagikan. Kakek menceritakan kisah-kisah masa mudanya, sementara Pratama
membagikan pengalaman-pengalamannya dalam perjalanan hidupnya. Ketika kakek tertidur,
Pratama berwudhu dan melaksanakan solat. Do’a yang paling Pratama minta kepada sang
Pencipta yaitu kesembuhan atas kakeknya dan berikan umur yang panjang untuk kakek. Suatu
malam, ketika hujan turun dengan lebat, kakek menggenggam tangan Pratama dengan lemah.
Pratama tidur disamping kakek, dia tidak ingin tidur berjauhan dengan kakek.
Keesokan harinya, kakek semakin melemah dan kakek meminta Pratama untuk memandikannya.
“Cu, kakek hendak mandi. Tolong angkat kakek kekamar mandi.
“ Tidak usah mandi kek, nanti biar Pratama mengelap badan kakek saja dengan air hangat”
“Tidak nak, kakek ingin mandi” (Kakek bersikeras ingin mandi)
Akhirnya Pratama mengangkat kakek ke kamar mandi dan memandikan kakek. Setelah
selesai mandi, Pratama memasangkan pakaian dan sarung ke badan kakek. Dikarenakan Pratama
basah semua, Pratama langsung melanjutkan mandi dan solat karena waktu dzuhur telah tiba.
Sembari Pratama solat, kakek ditemani oleh anak-anaknya sambil bercerita dan menyampaikan
pesan yang tersirat.
“Aku tidak kuat lagi, tolong saat aku pergi kalian saling akur dan saling sayang. Karena
kedua orang tua kalian tidak ada lagi, tidak ada lagi yang membina dan menegur kalian”
“iya pak” (jawab anak-anaknya sambil menangis”
Anak dan cucu yang lain menangis sejadi-jadinya, karena isyarat kakek berasa kakek
akan meninggalkan kami. Kami tahu bahwa kakek ingin berbicara lebih banyak, berbagi lebih
banyak cerita dan pelajaran tentang hidup. Namun, kekuatannya semakin memudar, dan kami
bisa melihat bahwa dia semakin lelah. Kakek akhirnya tertidur dengan tenang, di antara kami
yang mencintainya. Dia pergi dalam tidurnya, dengan senyuman kebahagiaan di wajahnya. Itu
adalah perpisahan yang damai. Kakek meninggalkan dunia ini pada hari itu, namun kenangan
akan hari terakhirnya bersama kami akan selalu terpatri dalam hati kami.

Anda mungkin juga menyukai