TINJAUAN PUSTAKA
Asam sitrat merupakan salah satu asam organik yang mempunya banyak manfaat
mulai dari bidang makanan, minuman maupun farmasi. Asam sitrat banyak tersebar dan
berasal dari dalam tumbuhan maupun hewan serta dapat disintesis dengan cara kimiawi
maupun biokonversi. Salah satu metode sintesis yang banyak dikembangkan sekarang
adalah biokonversi dengan fermentasi. Dalam fermentasi terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi proses fermentasi yaitu seperti suhu, pH, aerasi, nutrisi, sumber karbon, dll.
Produksi asam sitrat di seluruh dunia banyak dimanfaatkan dalam bidang industri
makanan dan minuman (karena rasa asam yang baik), obat-obatan, kosmetik dsb karena
tingkat kelarutan yang tinggi dalam air. Selain itu asam sitrat juga telah dikenal luas
sebagai senyawa yang masuk dalam kategori “GRAS” (generally recognized as safe), dan
3
4
Industri Aplikasi
Substrat yang digunakan dihidrolisis dengan asam untuk memecah stuktur gula
menjadi sederhana seperti glukosa. Hasil dari hidrolisa dipisahkan dari padatan-padatan
pengotor dengan rotary vacuum filter dan disterilisasi dengan pemanas pasteurisasi untuk
menghilangkan mikroorganisme-mikroorganisme pengganggu dalam proses fermentasi.
6
2.2 Fermentasi
Fermentasi adalah reaksi yang menggunakan biokatalis untuk mengubah bahan baku
menjadi produk. Biokatalis yang digunakan adalah bakteri, yeast atau jamur (fungi) (Surest
dkk, 2013). Terdapat beberapa metode fermentasi dalam memproduksi asam sitrat yaitu
Submerged Fermentation (SmF) dan Solid State Fermentation (SSF). Submerged
Fermentation (SmF) merupakan salah satu metode fermentasi dengan menggunakan
substrat cair. Penambahan maupun penggantian nutrisi dalam media Submerged
Fermentation (SmF) berjalan kontinyu. Teknik fermentasi ini paling cocok untuk
mikroorganisme seperti bakteri yang membutuhkan kadar air yang tinggi (Indriani dkk,
2015).
Sedangkan solid state fermentation (SSF) merupakan metode fermentasi yang
digunakan untuk mikroorganisme yang tumbuh dengan kondisi moisture atau kelembapan
rendah biasanya sekitar 65-75% (Berovic dan Matic, 2007). Berdasarkan jenis mikro-
organisme yang terlibat, proses SSF dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama
yaitu menggunakan strain tunggal atau murni dan strain campuran. Dalam proses SSF
industri, umumnya strain murni lebih sering digunakan untuk mengoptimalkan produk
yang ingin didapat. Contohnya adalah dalam proses produksi enzim, asam organik (asam
sitrat), metabolit sekunder bioaktif, dll (Pandey, 2008) . Fungi merupakan mikroorganisme
atau strain yang sering digunakan dalam metode SSF. Tidak seperti mikroorganisme lain,
7
fungi tumbuh di alam pada substrat padat seperti kayu, biji, batang, akar dan bagian kering
dari hewan seperti kulit, tulang dan feses yang memiliki kelembaban rendah
Oleh karena itu, metode SSF menggunakan strain murni seperti Aspergillus niger
(fungi) banyak digunakan dalam proses produksi asam sitrat. Substrat yang digunakan
umumnya terdiri dari produk sampingan nabati atau berasal dari limbah pertanian seperti
beet pulp, dedak gandum, bagase tebu, sekam padi dan limbah kulit nanas. Substrat yang
digunakan dalam SSF biasanya merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, dan
mengandung komponen penting seperti C dan N. Komponen tersebut digunakan sebagai
sumber nutrisi untuk menghasilkan metabolit yang diinginkan (Indriani dkk, 2015).
Dibandingkan dengan Submerged (SmF), Solid State Fermentation (SSF) lebih hemat
biaya, konsumsi air yang lebih rendah, biaya pengolahan air limbah berkurang, konsumsi
energi yang lebih rendah, tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, recovery
produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Residu pertanian dan agro-industri
merupakan salah satu sumber kaya akan energi yang dapat digunakan sebagai substrat
dalam sistem fermentasi padat selain harganya yang murah. Fakta menunjukkan bahwa
residu ini merupakan salah satu sumber karbon terbaik yang ada dialam. Dalam SSF
substrat padat tidak hanya menyediakan nutrient bagi kultur tetapi juga sebagai tempat
penyimpanan air untuk sel mikroba (Indriani dkk, 2015).
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis mikroba dalam sistem
SSF tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Faktor biologis, adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan biologi, proses
metabolisme dan reproduksi mikroorganisme. Faktor ini menentukan perilaku
spesies yang khusus.
2. Faktor fisika-kimia, adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi secara
fisika dan kimia yang terjadi dalam sistem. Faktor ini mempengaruhi mekanisme
dalam sistem, dimana hal tersebut berkaitan dengan fenomena transfer momentum,
energi, massa serta implikasinya terhadap semua aspek termodinamika (Pandey
dkk, 2008).
Selain itu terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh pada proses sintesis
mikroba dalam sistem SSF yaitu (Waites, 2001) :
a. Temperatur dan Waktu Fermentasi
Temperatur sangat berpengaruh pada proses biologis yang erat hubungannya
dengan denaturasi protein, penghambatan proses metabolit, inhibis enzim,
kematian sel dan lain sebagainya. Mikroorganisme dapat diklasifikasi berdasarkan
8
dalam reaksi kondensasi agar yield molar sitrat diatas 66% (Tesfaye, 2016).
Disamping itu, laju aerasi yang terlalu tinggi bisa mengakibatkan shear stress bagi
fungi dan channeling pada susunan bed.
f. Nutrisi
Nutrisi diklasifikasi menjadi tiga bagian berdasarkan jumlah yang diperlukan
dalam pertumbuhan mikroorganisme, yaitu (Waites, 2001) :
Makronutrisi
Makronutrisi merupakan nutrisi yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
tumbuh dalam jumlah banyak (biasanya 10-20 gr/L ) seperti karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen (Waites, 2001). Salah satunya adalah nitrogen. Beberapa
sumber nitrogen adalah urea, amonium nitrat dan sulfat, dan pepton.
Konsentrasi nitrogen yang tinggi mengakibatkan penurunan produksi asam
sitrat. Hal ini mungkin disebabkan oleh pembentukan miselium yang luas pada
permukaan pelet, sehingga akan menyumbat pori-pori dan menurunkan tingkat
produksi asam sitrat (Mostafa dan Saad, 2012). Selain itu berdasarkan
penilitian Madox dan Brook (1995) dalam Mostafa dan Saad (2012)
menemukan bahwa konsentrasi nitrogen yang tinggi menyebabkan
pembentukan asam oksalat, sehingga mengurangi hasil produksi asam sitrat
Oleh karena itu konsentrasi nitrogen yang tepat diperlukan untuk menghasilkan
asam sitrat yang maksimal.
Minor Element
Minor element merupakan nutrisi yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
tumbuh dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan makronutrisi (biasanya
20-30 mg/L). Fosfor merupakan salah satu senyawa yang termasuk dalam
minor element, selain ion kalsium, besi, natrium dan magnesium (Waites,
2001). Menurut Mourya dan Jauhri (2000); Zhang and Roehr (2002) dalam
Mostafa dan Saad (2012) bahwa konsetrasi fosfat pada tingkat rendah
berdampak positif pada produksi asam. Disisi lain, kandungan fosfat yang
berlebih mengarahkan pada terjadinya fiksasi karbon dioksida, kemudian
meningkatkan pembentukan asam gula tertentu dan menstimulasi
pertumbuhan. Selain sebagai salah satu faktor dalam pertumbuhan
mkroorganisme, fosfor juga berfungsi untuk mempertahankan nilai pH yang
diinginkan. Oleh karena itu, jumlah yang sesuai atau optimum harus digunakan
secara berurutan untuk menjaga pH substrat dalam kisaran yang diinginkan.
11
Trace element
Trace element meliputi kobalt, tembaga, mangan, molybdenum, nikel,
selenium dan zink.Senyawa tersebut biasanya diperlukan dalam jumlah yang
lebih sedikit dibadingkan makronutrisi dan minor element (0,1-1 mg/L)
(Waites, 2001).
g. Senyawa aditif
Metanol
Metanol berfungsi menetralisasi efek negatif logam dalam produksi asam sitrat,
mengubah morfologi miselium menjadi komposisi fosfolipid dan meningkatkan
permeabilitas sel sehingga proses ekskresi asam sitrat semakin mudah (Max dkk,
2010)
Dalam proses fermentasi, karbon menjadi salah satu faktor penting dalam proses
pertumbuhan mikroorganisme. Karbon merupakan penyusun utama pada polisakarida
(sumber energi) yang akan sangat cepat diasimilasi oleh mikroorganisme untuk
menghasilkan yield yang diinginkan (Max dkk, 2010). Beberapa residu pertanian atau
agro-industri seperti kulit apel, ampas tebu, kulit lemon, kulit jeruk dan kulit pisang
mengandung selulosa, pati, lignin, xilan dan pectin dimana penyusun utama dari senyawa
tersebut merupakan karbon (Kumar dan Suneetha, 2014).
Kulit pisang merupakan salah satu limbah agro-industri yang masih belum banyak
dimanfaatkan. Tanaman Pisang (Musaceaea sp) merupakan tanaman penghasil buah yang
banyak terdapat di Indonesia. Buahnya banyak disukai untuk dikonsumsi secara langsung
sebagai buah atau diolah menjadi produk konsumsi lain seperti pisang goreng, kue dari
pisang, sale pisang, kripik pisang, selai pisang dan lain sebagainya (Tritanti dan Ika, 2015).
Berdasarkan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral – Kementrian
Pertanian pada tahun 2014 bahwa di Indonesia pertumbuhan atau perkembangan produksi
dari perkebunan pisang selama 5 tahun terakhir semakin meningkat. Jika tahun 1980
produksi pisang Indonesia sebesar 1,98 juta ton,maka pada tahun 2013 telah mencapai 6,28
juta ton. Peningkatan produksi pisang pada kurun waktu tersebut rata-rata mencapai 3,94%
per tahun, dimana laju pertumbuhan produksi pisang di Jawa sedikit lebih tinggi
dibandingkan di luar Jawa. Menurut Basse (dalam Tritanti dan Ika, 2015) sekitar 1/3 jumlah
12
kulit pisang dari buah pisang yang belum dikupas, sehingga dapat di estimasikan berapa
total kulit pisang yang dihasilkan setiap tahunnya.
Menurut Nathoa dkk (2014) dan Orozco dkk (2014) kulit pisang mempunyai
kandungan selulosa sebesar 11,45%, lignin 9,82%, dan hemiselulosa sebesar 25,52% serta
glukosa 2,4%. Lignoselulosa merupakan bahan yang tersusun atas komponen lignin,
selulosa dan hemiselulosa, serta ekstraktif sebagai senyawa-senyawa pokok penyusunnya
dimana selulosa dan hemiselulosa dapat digunakan sebagai sumber glukosa yang dapat
difermentasi (Novia,dkk. 2014). Berdasarkan komposisi tersebut, kulit pisang cocok
digunakan untuk substrat metode SSF pada pembuatan asam sitrat, namun menurut Max
dkk (2010) jumlah gula atau glukosa awal yang optimum dalam pembuatan asam sitrat
adalah sebesar 14-22%, sehingga diperlukan penambahan gula atau glukosa pada media
substrat kulit pisang.
Di dalam kompleks lignoselulosa, selulosa mempertahankan struktur kristal berserat
dan menjadi inti dari kompleks. Hemiselulosa terletak diantara bagian mikro dan
makrofibril selulosa. Sementara lignin berada pada struktural matriks di mana selulosa dan
hemiselulosa tersimpan. Ketiganya membentuk suatu ikatan kimia yang kompleks yang
menjadi bahan dasar dinding sel tumbuhan (Hermiati, dkk. 2010). Berikut penjelasan dari
setiap struktur tersebut :
a. Selulosa
Selulosa merupakan senyawa homopolisakarida terdiri atas D-glucopyranose
yang dihubungkan oleh ikatan ß -1,4 glukosida dalam rantai lurus. Struktur selulosa
yang linear menyebabkan senyawa ini tidak mudah larut dan bersifat kristalin (Laine,
2005). Menurut Mc Donald at al 1986 dalam Novika (2013) bahwa selulosa memiliki
2 bentuk yaitu amorf dan kristal. Bagian amorf akan hancur ketika dihidrolisis,
sedangkan kristal hanya sebagian yang larut atau hancur.
Selulosa sangat erat berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin. Isolasi selulosa
membutuhkan perlakuan kimia yang intensif. Unit selulosa yang saling berikatan dan
selanjutnya pengulangan unit dari rantai selulosa akan membentuk unit selobiosa
(Gambar 2.3). Rantai selulosa memiliki gugus fungsional yaitu gugus hidroksil (-OH).
Gugus –OH ini dapat berinteraksi terhadap gugus –O, -N dan –S membentuk ikatan
hidrogen. Ikatan –H juga terjadi antara gugus –OH selulosa dengan air. Ikatan
hidrogen yang kuat disepanjang rantai membuat struktur rantai selulosa (Gambar 2.4)
menjadi stabil (Sitorus, 2011).
13
CH2OH CH2OH
O O
H
H H
O
OH H OH H
H
H OH H OH
Sumber : http://www.chem-istry.org/materi_kimia/kimia.../struktur
OH OH OH OH
3 1 4 O 1 4 O
6 3 6
O O
OH β 5 OH β 5
5 OH β 5 OH β
O O
6 O 3 1 6 O 3 1
4 4
OH OH OH OH
b. Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan senyawa polisakarida yang larut dalam senyawa asam
dan alkali. Terdapat beberapa gula yang menyusun rangka hemiselulosa seperti xylan,
mannan, galactan, dan glucan, dimana xylan dan mannan adalah gugus utama dari
hemiselulosa (Laine, 2005). Hemiselulosa kurang tahan terhadap reaksi kimia
dibanding selulosa. Menurut Church (1976) dalam Novika (2013) bahwa hemiselulosa
dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh mikrobarumen. Bakteri hemiselulolitik tidak
dapat mendegradasi selulosa, sebaliknya bakteri selulolitik dapat mendegradasi
hemiselulosa. Gambar 2.5 merupakan struktur kimia hemiselulosa :
OH OH
4 O 3 1 4 O 3 1
O 6 6
5 RO OR β O 5 RO β O
OR
OH β O 5 RO β O 5
3 1 6 O 3 1 6 O
OH 4 4
O OH
OH
3 1 R = CH3CO atau H
OH α
5
6 O
4
OH
OH
Gambar 2.5 Struktur Kimia Hemiselulosa
c. Lignin
Lignin merupakan polimer yang terdiri atas unit-unit fenil propana yang rumit
secara nonlinear dan terkait secara acak; tiga monomer utama adalah alcohol
coumaryl, coniferyl alcohol, dan sinapyl alcohol. Lignin merupakan polimer
termoplastik, dimana pada suhu tinggi sekitar 127-129°C lignin akan melunak yang
memungkinkan reaksi depolimerisasi semakin cepat. Suhu yang diperlukan dalam
pelunakan lignin bervariasi tergantung berapa nilai berat molekulnya (Chen, 2014).
Lignin tidak larut dalam air yang memberikan sifat ketahanan dan pengembangan
sel, karena mempengaruhi transportasi air, nutrisi dan metabolit dalam sel tanaman.
Lignin bertindak sebagai pengikat antar sel membentuk komposit yang memiliki
ketahanan yang luar biasa terhadap impact, kompresi dan pembengkokan. Berikut
adalah gambar struktur dasar lignin :
OCH3 OCH3
CH CH = CH OH CH CH = CH OH CH CH = CH OH
OCH3
OH OH OH
conifergl alcohol Coumargl alcohol sinapyl alcohol
2.4 Mikroorganisme
Produksi asam sitrat telah banyak dilakukan menggunakan metode fermentasi yang
dibantu oleh berbagai jenis mikroorganisme seperti jamur, bakteri dan yeast. Namun,
banyak dari mikroorganisme tersebut yang kurang cocok dalam meghasilkan asam sitrat
secara komersial. Hanya beberapa mikroorganisme seperti Saccharomycopsis sp dan
Aspergillus niger yang paling cocok digunakan dalam memproduksi asam sitrat secara
komersial. Dalam dunia industri, Aspergillus niger paling banyak digunakan dalam
memproduksi asam sitrat karena memiliki keuntungan yaitu mudah dikontrol, mampu
memfermentasi berbagai jenis bahan baku dan menghasilkan yield yang tinggi
(Vandenberghe dkk, 1999).
Aspergillus niger merupakan fungi berfilamen, memiliki hifa dan banyak ditemukan di
alam atau lingkungan sekitar seperti ditanah, sisa tumbuhan dan di udara. Maka dari itu A.
niger sering dimanfaatkan diberbagai jenis industri. A. niger termasuk dari kelas
16
Deuteromycetes atau fungi tidak sempurna karena tidak memiliki reproduksi seksual.
A.niger bereproduksi secara aseksual dengan cara pembentukan kepala konidia pada ujung
konidiospora yang berasal dari sel kaki (foot cells) hifa. Biasanya, bentuk konidia bulat,
kasar, warnanya hitam kecoklatan, dan diproduksi dalam jumlah banyak (Machida dan
Katsuya, 2010).
A. niger banyak ditemukan di lingkungan sekitar dalam jumlah yang banyak. A. niger
biasanya hidup di tempat lembab dan tumbuh secara aerobik pada pH dan rentang suhu
tertentu (Beer, 2008). A. niger dapat tumbuh pada rentang suhu antara 4-47 °C dengan
suhu optimal berkisar 25-30°C. A. niger dapat tumbuh pada nilai pH yang cukup ekstrim
berkisar antara 1-9,8 (Abbas dkk, 2016). Di bidang industri A.niger banyak digunakan
karena diketahui dapat menghasilkan berbagai jenis asam melalui proses fermentasi seperti
asam glukonat, asam oksalat, dan asam sitrat.
Selain itu terdapat beberapa jenis enzim yang dapat dihasilkan seperti pektinase, α-
amilase, asparaginase, selulase, proteinase, lipase, katalase, glukosa oksidase, dan fitase
(Villena dan Marcel, 2007; Akhter dkk, 2011; Bansal dkk, 2011). Menurut Singhania et al
(2010) dan Krogh et al (2009) dalam Sumarlin dkk (2013), selulase merupakan kelompok
enzim yang terdiri dari endoglukanase, selobiohid-rolase (eksoglukanase) dan β-
glukosidase, dimana enzim tersebut bekerja secara sinergis untuk mendegradasi selulosa.
Mekanisme pemecahan selulosa oleh selulase terdiri dari tiga enzim, yaitu (1) Enzim
endo-β-1,4- glukanase mempengaruhi secara serentak ikatan β- 1,4 di dalam makromolekul
dan menghasilkan potongan-potongan besar berbentuk rantai dengan ujung-ujung bebas,
(2) Enzim ekso-β-1,4-glukanase memotong mulai dari ujung-ujung rantai, disakarida
selobiosa, (3) Enzim β-glukosidase meng-hidrolisis selobiosa dengan membentuk glukosa
(Sumarlin dkk, 2013).
Salah satu parameter penting yang perlu diperhatikan dalam penggunaan A.niger pada
proses fermentasi adalah kurva pertumbuhannya. Kurva pertumbuhan tersebut akan
menentukan fase dan waktu optimum dari pertumbuhan A.niger dalam proses fermentasi.
Fase pertumbuhan mikroba dapat diklasifikasikan berdasarkan pertumbuhan dan metabolit
yang dihasilkannya yaitu, fase trophophase dan idiophase. Trophophase merupakan fase
mikroba tumbuh secara aktif yang memproduksi metabolit primer seperti vitamin, asam
organik dan pelarut seperti alkohol dan aseton. Sedangkan idiophase merupakan fase
mikroba diam (stasioner) yang memproduksi metabolit sekunder yang tidak diperlukan
untuk pertumbuhan mikroba, misalnya alkaloid dan antibiotik (Waites, 2001). Gambar 2.7
menunjukkan kurva pertumbuhan mikroorganisme pada fermentasi batch :
17
aktivitas metabolik dan dalam beberapa kasus memproduksi metabolit sekunder. Durasi
dari fase stasioner bervariasi berdasarkan mikroorganisme yang digunakan dan kondisi
lingkungan. Ketika sel tidak dapat bertahan dengan cara membentuk spora, maka sel akan
memasuki fase kematian eksponensial dengan laju yang konstan (Waites, 2001).
Asam sitrat dihasilkan pada tahap trophophase dan idiophase. Selama fase
trophophase, terjadi respirasi dengan melepaskan CO2 dimana glukosa digunakan untuk
memproduksi biomassa. Pada tahap idiophase aktivitas sitrat sintase meningkat 10 kali
lipat, sedangkan jumlah aconitase dan isocitrate dehydrogenase sedikit berkurang
dibandingkan dengan tahap trophophase. Hal tersebut berdampak pada peningkatan
produksi asam sitrat dan mengurangi kemungkinan terbentuknya produk samping berupa
isositrat dan 2-oksoglutarat Selain itu terjadi kehilangan glukosa akibat respirasi yang
sedikit dan hampir seluruhnya substrat dikonversi menjadi asam organik. Pada tahap
idiophase semua enzim yang dihasilkan A.niger dikeluarkan, kecuali dehidrogenase
ketoglutarat (Max dkk, 2010).
Proses metabolisme asam sitrat menggunakan Aspergillus niger terdiri atas beberapa
tahap seperti proses penyerapan glukosa atau sukrosa kedalam sitoplasma, glikolisis,
dekarboksilasi oksidatif hingga memasuki siklus Krebs atau siklus asam sitrat. Berikut
adalah gambar Biosintesis asam sitrat menggunakan Aspergillus niger.
19
(A)
Sucrose Glukosa + Fructose
(B)
Fructose -1,6-biphosphate
(C)
CO2
Acetate Pyruvate
(D)
Acetyl-CoA
CoA -SH
CO2
Gambar 2.8 Biosintesis Asam sitrat dari glukosa menggunakan Aspergillus niger.
(a) invertase; (b) hexokinase; (c) phosphofructokinase; (d) pyruvate carboxylase; (e)
citrate synthase; (f) aconitase; (g) isocitrate dehydrogenase; (h) α-ketoglutarate
dehydrogenase; (i) succinie dehydrogenase; (j) malate dehydrogenase
Gambar 2.8 menunjukkan skema metabolisme asam sitrat dimana Aspergillus niger
menghasilkan enzim invertase dan hexokinase (HXK), dimana enzim tersebut
mengkonversi sukrosa menjadi fruktosa-6-fosfat. Enzim utama yang bertanggung jawab
terhadap biosintesis asam sitrat adalah phosphofructokinase (PFK), pyruvate carboxylase,
citrate synthase (CS), aconitase (ACH) dan isocitrate dehydrogenase (ICDH). PFK
merupakan enzim yang berperan dalam mengubah glukosa atau fruktosa menjadi piruvat.
Penghambatan PFK oleh sitrat terjadi akibat akumulasi ion ammonium (NH4+). Semakin
20
tinggi ion NH4+ dalam sel dapat menghambat kinerja PFK ( Pometto dkk, 2008). Hal ini
juga disampaikan oleh Show dkk (2015) dimana ion amonium akan berkombinasi dengan
glukosa membentuk glukosamine didalam sel. Ketika glukosamine lepas kedalam medium,
akan menghambat enzim fosfofruktokinase (PFK) yang berfungsi megkonversi glukosa
menjadi piruvat.
Asam piruvat selanjutnya akan dikonversi menjadi oksaloasetat dengan bantuan enzim
pyruvate carboxylase. Pada proses ini diperlukan CO2 dan ATP untuk menghasilkan
oksaloasetat. Berikut adalah persamaan reaksinya :
Selain itu piruvat juga akan mengalami proses dekarboksilasi oksidatif dan berikatan
dengan koenzim-A membentuk asetil-KoA kemudian masuk kedalam siklus krebs. Secara
umum asam sitrat diperoleh dari proses kondensasi asetil-koenzim A dengan asam
oksaloasetat, dimana koenzim-A dilepas dan keluar dari siklus Krebs untuk menunggu
piruvat lainnya. Berikut adalah persamaan reaksinya (Show dkk, 2015):
Preatreatment merupakan salah satu proses yang penting untuk meningkatkan proses
hidrolisis dan akhir dalam suatu produksi. Proses preatreatment dipilih berdasarkan
karakteristik bahan atau substrat yang digunakan (Achinas dan Gerrit, 2016). Tujuan utama
dari proses preatreatment yaitu mengurangi atau menghancurkan lignin dan hemiselulosa,
mengurangi kristalitas selulosa dan meningkatkan porositas material lignoselulosa. Adanya
lignin didalam lignoselulosa cenderung membentuk penghalang yang mencegah
dekonstruksi sel tanaman oleh fungi dan bakteri (Kumar dkk, 2009).
21
Terdapat beberapa syarat yang perlu diikuti dalam proses pretreatment sebagai
berikut :