Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Asam sitrat merupakan salah satu asam organik yang mempunya banyak manfaat
mulai dari bidang makanan, minuman maupun farmasi. Asam sitrat banyak tersebar dan
berasal dari dalam tumbuhan maupun hewan serta dapat disintesis dengan cara kimiawi
maupun biokonversi. Salah satu metode sintesis yang banyak dikembangkan sekarang
adalah biokonversi dengan fermentasi. Dalam fermentasi terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi proses fermentasi yaitu seperti suhu, pH, aerasi, nutrisi, sumber karbon, dll.

2.1 Pembuatan Asam Sitrat

Asam sitrat (2-hydroxpropane-1, asam 2,3-trikarboksilat, C6H8O7) memiliki wujud


padatan putih atau transparan dengan berat molekul 192,13 g/mol. Asam sitrat merupakan
asam organik yang banyak terdapat di alam serta penyebarannya cukup luas, baik dalam
tumbuhan maupun hewan. Pada buah jeruk misalnya terdapat kandungan asam sitrat
sekitar 6-8%. Selain itu asam sitrat juga dapat ditemukan pada buah pir, arbei, nanas dan
cerri, sedangkan pada hewan biasanya terdapat di dalam darah, air seni dan berbagai cairan
tubuh lainnya. Asam sitrat memiliki titik leleh sebesar 153 ºC dan akan terdekomposisi
pada suhu yang lebih tinggi. Selain itu asam sitrat dapat larut pada air dingin maupun
panas (NSF,2011). Berikut adalah struktur kimia dari asam sitrat :

Gambar 2.1 Struktur kimia asam sitrat


Sumber : Max, dkk.2010

Produksi asam sitrat di seluruh dunia banyak dimanfaatkan dalam bidang industri
makanan dan minuman (karena rasa asam yang baik), obat-obatan, kosmetik dsb karena
tingkat kelarutan yang tinggi dalam air. Selain itu asam sitrat juga telah dikenal luas
sebagai senyawa yang masuk dalam kategori “GRAS” (generally recognized as safe), dan

3
4

diakui oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (Vandenberghe


dkk, 1999). Pada tabel 2.1 menunjukkan aplikasi asam sitrat. Asam sitrat pertama kali
dikomersialkan dan diproduksi pada tahun 1826 di Inggris yang berasal (diimpor) dari
lemon Italia (mengandung asam sitrat 7-9%). Hingga pada tahun 1919 di Belgia, produksi
asam sitrat untuk pertama kalinya menggunakan proses fermentasi dengan bantuan
Aspergillus niger (Max dkk, 2010
Tabel 2.1 Aplikasi Asam Sitrat

Industri Aplikasi

Minuman Memberikan rasa asam alami, meningkatkan efektivitas


pengawet antimikroba dan mengatur pH agar memiliki
rasa asam yang seragam.
Jelly, selai Menjaga pH atau buffer, meminimalkan inversi sukrosa,
permen, dll memberikan warna gelap pada permen dan bertindak
sebagai acidulant.
Makanan beku Menurunkan pH untuk menonaktifkan enzim oksidatif dan
melindungi asam askorbat dengan menonaktifkan
kandungan logam.
Produk Olahan Sebagai pengemulsi dalam es krim dan keju olahan; agen
Susu pengasaman dalam produk keju dan sebagai antioksidan.
Seperti efervesen pada serbuk dan tablet yang
Lemak dan dikombinasikan dengan bikarbonat. Melarutkan bahan
minyak Obat- aktif lebih cepat dan sebagai antikoagulan.
obatan Mengatur pH, antioksidan sebagai chelator ion logam, dan
senyawa penyangga. Menghilangkan logam oksida dari
Kosmetik, permukaan logam besi dan non-ferrous. Electroplating,
Pembersih melapisi tembaga, pembersih logam, penyamakan kulit,
logam, Deterjen senyawa pencuci botol, bahan baku semen, tekstil, reagen
fotografi, beton, plester, refraktori

Sumber: Vandenberghe dkk, 1999


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa asam sitrat pertama kali diproduksi
dari buah lemon yang diekstraksi. Selain itu asam sitrat juga dapat disintesis seacara kimia
5

seperti yang dikemukakan oleh Grimaux dimana 1,3-kloro, 2-propanol (C3H7ClO)


dioksidasi menjadi 1,3-dikloropropanon. Selanjutnya hasil oksidasi akan diadisi
menggunakan HCN dan diikuti hidrolisis nitril menggunakan KOH. Dalam reaksi ini
terbentuk sebuah gugus asam hidroksil (-COOH). Lalu senyawa ini direaksikan dengan
KCN sehingga diperoleh sebuah sianida, kemudian dihidrolisa lagi menggunakan KOH
untuk berubah menjadi asam sitrat (asam 2-hidroksi 1,2,3-propanatrikarboksilat)
(Lawrence, 1897). Berikut adalah reaksi sintesis kimiawi asam sitrat

Gambar 2.2 Reaksi Oksidasi Pembentukan Asam Sitrat

Semenjak ditemukannya proses fermentasi dalam memproduksi asam sitrat, produksi


asam sitrat semakin berkembang pesat. Dimulai dari benua Eropa, diikuti Amerika, Asia
dan Afrika secara berturut-turut merupakan penghasil asam sitrat terbesar di dunia pada
tahun 1990.
Asam sitrat dapat diproduksi dari limbah buah, gula mentah, atau gula jagung dengan
cara fermentasi menggunakan jamur Aspergillus niger, dengan reaksi total yaitu

C12H22O11 + H2O + 3O2 2C6H8O7 + 4H2O


Sukrosa

C6H12O6 + 3/2O2 C6H8O7 + 2H2O


Dextrose Asam Sitrat

Substrat yang digunakan dihidrolisis dengan asam untuk memecah stuktur gula
menjadi sederhana seperti glukosa. Hasil dari hidrolisa dipisahkan dari padatan-padatan
pengotor dengan rotary vacuum filter dan disterilisasi dengan pemanas pasteurisasi untuk
menghilangkan mikroorganisme-mikroorganisme pengganggu dalam proses fermentasi.
6

Substrat yang telah disterilisasi ditambahkan inokulum Aspergillus niger ke dalam


fermentor dengan pengaturan pH dan penambahan nutrisi. Fermentasi dilakukan selama 2-
3 hari.
Hasil broth dari fermentasi yang mengandung berbagai asam-asam organik dilakukan
proses pemurnian dengan metode lime-sulfuric acid. Broth yang dihasilkan ditambahkan
dengan kalsium seperti Ca(OH)2 atau CaCl2, selanjutnya hasil penambahan kalsium dibilas
dan difiltrasi untuk mendapatkan kalsium sitrat. Kalsium sitrat yang dihasilkan,
ditambahkan asam sulfat untuk mendekomposisi asam sitrat yang dihasilkan. Kalsium
sulfat yang dihasilkan difiltrasi hingga menjadi limbah by-product. Untuk memisahkan
asam sulfat sisa dari reaksi menggunakan teknologi modern seperti rotary vacuum filter
dengan double-triple-effect evaporators. Hasil dari evaporator dimasukkan kristaliser dan
disetrifugasi. Kristal yang dihasilkan dikeringkan dan diklasifikasi berdasarkan ukuran
produksi dan dipacking (Austin, 1984)

2.2 Fermentasi

Fermentasi adalah reaksi yang menggunakan biokatalis untuk mengubah bahan baku
menjadi produk. Biokatalis yang digunakan adalah bakteri, yeast atau jamur (fungi) (Surest
dkk, 2013). Terdapat beberapa metode fermentasi dalam memproduksi asam sitrat yaitu
Submerged Fermentation (SmF) dan Solid State Fermentation (SSF). Submerged
Fermentation (SmF) merupakan salah satu metode fermentasi dengan menggunakan
substrat cair. Penambahan maupun penggantian nutrisi dalam media Submerged
Fermentation (SmF) berjalan kontinyu. Teknik fermentasi ini paling cocok untuk
mikroorganisme seperti bakteri yang membutuhkan kadar air yang tinggi (Indriani dkk,
2015).
Sedangkan solid state fermentation (SSF) merupakan metode fermentasi yang
digunakan untuk mikroorganisme yang tumbuh dengan kondisi moisture atau kelembapan
rendah biasanya sekitar 65-75% (Berovic dan Matic, 2007). Berdasarkan jenis mikro-
organisme yang terlibat, proses SSF dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama
yaitu menggunakan strain tunggal atau murni dan strain campuran. Dalam proses SSF
industri, umumnya strain murni lebih sering digunakan untuk mengoptimalkan produk
yang ingin didapat. Contohnya adalah dalam proses produksi enzim, asam organik (asam
sitrat), metabolit sekunder bioaktif, dll (Pandey, 2008) . Fungi merupakan mikroorganisme
atau strain yang sering digunakan dalam metode SSF. Tidak seperti mikroorganisme lain,
7

fungi tumbuh di alam pada substrat padat seperti kayu, biji, batang, akar dan bagian kering
dari hewan seperti kulit, tulang dan feses yang memiliki kelembaban rendah
Oleh karena itu, metode SSF menggunakan strain murni seperti Aspergillus niger
(fungi) banyak digunakan dalam proses produksi asam sitrat. Substrat yang digunakan
umumnya terdiri dari produk sampingan nabati atau berasal dari limbah pertanian seperti
beet pulp, dedak gandum, bagase tebu, sekam padi dan limbah kulit nanas. Substrat yang
digunakan dalam SSF biasanya merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, dan
mengandung komponen penting seperti C dan N. Komponen tersebut digunakan sebagai
sumber nutrisi untuk menghasilkan metabolit yang diinginkan (Indriani dkk, 2015).
Dibandingkan dengan Submerged (SmF), Solid State Fermentation (SSF) lebih hemat
biaya, konsumsi air yang lebih rendah, biaya pengolahan air limbah berkurang, konsumsi
energi yang lebih rendah, tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, recovery
produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Residu pertanian dan agro-industri
merupakan salah satu sumber kaya akan energi yang dapat digunakan sebagai substrat
dalam sistem fermentasi padat selain harganya yang murah. Fakta menunjukkan bahwa
residu ini merupakan salah satu sumber karbon terbaik yang ada dialam. Dalam SSF
substrat padat tidak hanya menyediakan nutrient bagi kultur tetapi juga sebagai tempat
penyimpanan air untuk sel mikroba (Indriani dkk, 2015).
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi sintesis mikroba dalam sistem
SSF tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Faktor biologis, adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan biologi, proses
metabolisme dan reproduksi mikroorganisme. Faktor ini menentukan perilaku
spesies yang khusus.
2. Faktor fisika-kimia, adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi secara
fisika dan kimia yang terjadi dalam sistem. Faktor ini mempengaruhi mekanisme
dalam sistem, dimana hal tersebut berkaitan dengan fenomena transfer momentum,
energi, massa serta implikasinya terhadap semua aspek termodinamika (Pandey
dkk, 2008).
Selain itu terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh pada proses sintesis
mikroba dalam sistem SSF yaitu (Waites, 2001) :
a. Temperatur dan Waktu Fermentasi
Temperatur sangat berpengaruh pada proses biologis yang erat hubungannya
dengan denaturasi protein, penghambatan proses metabolit, inhibis enzim,
kematian sel dan lain sebagainya. Mikroorganisme dapat diklasifikasi berdasarkan
8

rentang suhu dalam pertumbuhannya yaitu ekstrim termofilik (optimum diatas


100 oC,); termofilik (optimum pada 50oC, maksimum 80-95oC); mesofilik
(optimum pada 20-45 oC; minimum 15-20oC); dan psikrofilik ( dibawah 15oC).
A.niger mampu hidup antara suhu 4-47oC. Namun, suhu optimum untuk produksi
asam sitrat terjadi pada rentang suhu 25-30oC. Sementara itu, waktu fermentasi
optimum ditentukan selama 3-5 hari karena perpanjangan/elongasi waktu
fermentasi diketahui tidak memberikan peningkatan yield maupun produktivitas
asam sitrat (Khosravi & Alaleh, 2008).
b. pH
Sama halnya seperti temperatur, setiap mikroorganisme juga memiliki rentang
pH yang optimum untuk tumbuh. Salah satu permasalahan yang terjadi pada
proses SSF yaitu kontrol pH. Hal ini disebabkan kurang memadainya peralatan
dan elektroda untuk menentukan pH pada material padat dan eksistensi gradien
pH yang berhubungan dengan sifat heterogen pada proses SSF. Pemeberian
buffer menjadai salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Perlu
dilakukan pemilihan buffer yang tepat sehingga tidak menggangu aktivitas
biologis. Secara umum, rentang pH pertumbuhan fungi antara 4-6; acidophile
pH 1-5,5; mikroorganisme neutrofil berkisar 5 dan 9 sedangkan untuk
alkalophiles dengan rentang pH optimum 8,5-11,5. Menurut Max dkk (2010)
bahwa pH yang ditetapkan sekitar 5 pada awal dari trophophase, turun menjadi 3
di dalam 48 jam pertama pada kondisi trophophase sebagai hasil dari
metabolisme nitrogen, dan kemudian disimpan pada nilai ini selama idiophase
untuk menghambat pembentukan asam oksalat dan glukonat.
c. Moisture
Moisture atau tingkat kandungan air merupakan salah satu faktor yang penting
dalam pertumbuhan mikroorganisme. Pada dasarnya mikroorganisme selalu
memerlukan air baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Kelembaban yang
lebih rendah cenderung mengurangi difusi nutrisi, pertumbuhan mikroba,
stabilitas enzim, dan pembengkakan substrat). Tingkat kelembaban yang lebih
tinggi menyebabkan partikel aglomerasi dan pembatasan transfer gas. Tingkat
kelembaban di SSF bervariasi antara 30% dan 85%. Untuk jamur filamen,
kelembaban dari matriks padat bisa sebesar 20-70%. Tingkat kelembaban harus
dioptimalkan dengan hati- hati sesuai dengan sifat substrat yang digunakan untuk
menghasilkan asam sitrat lebih baik (Tesfaye, 2016). Namun, secara umum
9

mikroorganisme dapat tumbuh dengan kondisi kandungan air atau moisture


sebesar 70%-80%, untuk yeast pada kisaran 60%-75%, dan pada fungi rentangnya
jauh lebih besar yaitu 85% (Pandey dkk, 2008)
d. Sumber karbon dan rasio C/N
Jumlah dan komposisi karbon dan nitrogen menjadi salah satu faktor penting
dalam proses pertumbuhan mikroorganisme. Dalam fermentasi, karbon
merupakan penyusun utama pada polisakarida (sumber energi) yang akan sangat
cepat diasimilasi oleh mikroorganisme untuk menghasilkan yield yang diinginkan
(Max dkk, 2010). Sementara nitrogen merupakan faktor dalam menentukan
pertumbuhan mikroorganisme, dimana rasio antara karbon dan nitrogen (C/N)
menentukan kesetimbangan medium fermentasi dan akan memengaruhi terjadinya
induksi/tertundanya sporulasi pada fungi. Akumulasi asam sitrat dipengaruhi oleh
sifat dasar sumber karbon. Karbohidrat yang mudah dimetabolisis berdampak
positif bagi produksi asam sitrat. Sumber gula yang baik diantaranya sukrosa dan
glukosa (Tesfaye, 2016). Menurut Max dkk 2010 bahwa konsentrasi gula awal
yang optimum adalah sebesar 14-22%. Jika konsentrasi gula kurang dari nilai
optimum maka ukuran miselium akan tereduksi sehingga akan mempengaruhi
proses produksi asam sitrat karena ukuran juga ikut mempengaruhi.
e. Aerasi dan Agitasi
Beberapa mikroorganisme memerlukan oksigen (O2) untuk proses pertumbuhan
atau disebut sebagai proses aerobik, meskipun ada beberapa yang tidak
memerlukan oksigen (anaerobik). Secara umum aerasi dilakukan dengan
menyuplai udara yang mengandung 21% oksigen. Sementara itu agitasi juga
diperlukan untuk menghasilkan kondisi yang homogen pada sistem serta
terjadinya transfer panas dan massa. Namun, agitasi juga dapat menimbulkan
masalah baru yang berkaitan dengan kerusakan sel mikroba, khususnya pada
miselium fungi. Oleh karena itu, pengaruh agitasi secara khusus masih perlu
dianalisis lebih lanjut. Selain itu oksigen juga berperan penting dalam mengurangi
kadar CO2 dalam fermentor, dimana dalam beberapa kasus kadar CO2 yang tinggi
dapat menghambat proses fermentasi (Chisty, 1999). Bioproduksi asam sitrat
secara alami bersifat aerobik. Pada kondisi laju aerasi yang tinggi
mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan parsial karbon dioksida dalam
sistem. Karbon dioksida dibutuhkan sebagai substrat untuk piruvat karboksilase
yang dikonversi menjadi oksaloasetat (Max dkk, 2010). Oksaloasetat dibutuhkan
10

dalam reaksi kondensasi agar yield molar sitrat diatas 66% (Tesfaye, 2016).
Disamping itu, laju aerasi yang terlalu tinggi bisa mengakibatkan shear stress bagi
fungi dan channeling pada susunan bed.
f. Nutrisi
Nutrisi diklasifikasi menjadi tiga bagian berdasarkan jumlah yang diperlukan
dalam pertumbuhan mikroorganisme, yaitu (Waites, 2001) :
 Makronutrisi
Makronutrisi merupakan nutrisi yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
tumbuh dalam jumlah banyak (biasanya 10-20 gr/L ) seperti karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen (Waites, 2001). Salah satunya adalah nitrogen. Beberapa
sumber nitrogen adalah urea, amonium nitrat dan sulfat, dan pepton.
Konsentrasi nitrogen yang tinggi mengakibatkan penurunan produksi asam
sitrat. Hal ini mungkin disebabkan oleh pembentukan miselium yang luas pada
permukaan pelet, sehingga akan menyumbat pori-pori dan menurunkan tingkat
produksi asam sitrat (Mostafa dan Saad, 2012). Selain itu berdasarkan
penilitian Madox dan Brook (1995) dalam Mostafa dan Saad (2012)
menemukan bahwa konsentrasi nitrogen yang tinggi menyebabkan
pembentukan asam oksalat, sehingga mengurangi hasil produksi asam sitrat
Oleh karena itu konsentrasi nitrogen yang tepat diperlukan untuk menghasilkan
asam sitrat yang maksimal.
 Minor Element
Minor element merupakan nutrisi yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
tumbuh dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan makronutrisi (biasanya
20-30 mg/L). Fosfor merupakan salah satu senyawa yang termasuk dalam
minor element, selain ion kalsium, besi, natrium dan magnesium (Waites,
2001). Menurut Mourya dan Jauhri (2000); Zhang and Roehr (2002) dalam
Mostafa dan Saad (2012) bahwa konsetrasi fosfat pada tingkat rendah
berdampak positif pada produksi asam. Disisi lain, kandungan fosfat yang
berlebih mengarahkan pada terjadinya fiksasi karbon dioksida, kemudian
meningkatkan pembentukan asam gula tertentu dan menstimulasi
pertumbuhan. Selain sebagai salah satu faktor dalam pertumbuhan
mkroorganisme, fosfor juga berfungsi untuk mempertahankan nilai pH yang
diinginkan. Oleh karena itu, jumlah yang sesuai atau optimum harus digunakan
secara berurutan untuk menjaga pH substrat dalam kisaran yang diinginkan.
11

 Trace element
Trace element meliputi kobalt, tembaga, mangan, molybdenum, nikel,
selenium dan zink.Senyawa tersebut biasanya diperlukan dalam jumlah yang
lebih sedikit dibadingkan makronutrisi dan minor element (0,1-1 mg/L)
(Waites, 2001).

g. Senyawa aditif
Metanol
Metanol berfungsi menetralisasi efek negatif logam dalam produksi asam sitrat,
mengubah morfologi miselium menjadi komposisi fosfolipid dan meningkatkan
permeabilitas sel sehingga proses ekskresi asam sitrat semakin mudah (Max dkk,
2010)

2.3 Sumber Karbon

Dalam proses fermentasi, karbon menjadi salah satu faktor penting dalam proses
pertumbuhan mikroorganisme. Karbon merupakan penyusun utama pada polisakarida
(sumber energi) yang akan sangat cepat diasimilasi oleh mikroorganisme untuk
menghasilkan yield yang diinginkan (Max dkk, 2010). Beberapa residu pertanian atau
agro-industri seperti kulit apel, ampas tebu, kulit lemon, kulit jeruk dan kulit pisang
mengandung selulosa, pati, lignin, xilan dan pectin dimana penyusun utama dari senyawa
tersebut merupakan karbon (Kumar dan Suneetha, 2014).
Kulit pisang merupakan salah satu limbah agro-industri yang masih belum banyak
dimanfaatkan. Tanaman Pisang (Musaceaea sp) merupakan tanaman penghasil buah yang
banyak terdapat di Indonesia. Buahnya banyak disukai untuk dikonsumsi secara langsung
sebagai buah atau diolah menjadi produk konsumsi lain seperti pisang goreng, kue dari
pisang, sale pisang, kripik pisang, selai pisang dan lain sebagainya (Tritanti dan Ika, 2015).
Berdasarkan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral – Kementrian
Pertanian pada tahun 2014 bahwa di Indonesia pertumbuhan atau perkembangan produksi
dari perkebunan pisang selama 5 tahun terakhir semakin meningkat. Jika tahun 1980
produksi pisang Indonesia sebesar 1,98 juta ton,maka pada tahun 2013 telah mencapai 6,28
juta ton. Peningkatan produksi pisang pada kurun waktu tersebut rata-rata mencapai 3,94%
per tahun, dimana laju pertumbuhan produksi pisang di Jawa sedikit lebih tinggi
dibandingkan di luar Jawa. Menurut Basse (dalam Tritanti dan Ika, 2015) sekitar 1/3 jumlah
12

kulit pisang dari buah pisang yang belum dikupas, sehingga dapat di estimasikan berapa
total kulit pisang yang dihasilkan setiap tahunnya.
Menurut Nathoa dkk (2014) dan Orozco dkk (2014) kulit pisang mempunyai
kandungan selulosa sebesar 11,45%, lignin 9,82%, dan hemiselulosa sebesar 25,52% serta
glukosa 2,4%. Lignoselulosa merupakan bahan yang tersusun atas komponen lignin,
selulosa dan hemiselulosa, serta ekstraktif sebagai senyawa-senyawa pokok penyusunnya
dimana selulosa dan hemiselulosa dapat digunakan sebagai sumber glukosa yang dapat
difermentasi (Novia,dkk. 2014). Berdasarkan komposisi tersebut, kulit pisang cocok
digunakan untuk substrat metode SSF pada pembuatan asam sitrat, namun menurut Max
dkk (2010) jumlah gula atau glukosa awal yang optimum dalam pembuatan asam sitrat
adalah sebesar 14-22%, sehingga diperlukan penambahan gula atau glukosa pada media
substrat kulit pisang.
Di dalam kompleks lignoselulosa, selulosa mempertahankan struktur kristal berserat
dan menjadi inti dari kompleks. Hemiselulosa terletak diantara bagian mikro dan
makrofibril selulosa. Sementara lignin berada pada struktural matriks di mana selulosa dan
hemiselulosa tersimpan. Ketiganya membentuk suatu ikatan kimia yang kompleks yang
menjadi bahan dasar dinding sel tumbuhan (Hermiati, dkk. 2010). Berikut penjelasan dari
setiap struktur tersebut :
a. Selulosa
Selulosa merupakan senyawa homopolisakarida terdiri atas D-glucopyranose
yang dihubungkan oleh ikatan ß -1,4 glukosida dalam rantai lurus. Struktur selulosa
yang linear menyebabkan senyawa ini tidak mudah larut dan bersifat kristalin (Laine,
2005). Menurut Mc Donald at al 1986 dalam Novika (2013) bahwa selulosa memiliki
2 bentuk yaitu amorf dan kristal. Bagian amorf akan hancur ketika dihidrolisis,
sedangkan kristal hanya sebagian yang larut atau hancur.
Selulosa sangat erat berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin. Isolasi selulosa
membutuhkan perlakuan kimia yang intensif. Unit selulosa yang saling berikatan dan
selanjutnya pengulangan unit dari rantai selulosa akan membentuk unit selobiosa
(Gambar 2.3). Rantai selulosa memiliki gugus fungsional yaitu gugus hidroksil (-OH).
Gugus –OH ini dapat berinteraksi terhadap gugus –O, -N dan –S membentuk ikatan
hidrogen. Ikatan –H juga terjadi antara gugus –OH selulosa dengan air. Ikatan
hidrogen yang kuat disepanjang rantai membuat struktur rantai selulosa (Gambar 2.4)
menjadi stabil (Sitorus, 2011).
13

CH2OH CH2OH
O O
H
H H
O
OH H OH H
H

H OH H OH

Gambar 2.3 Struktur kimia selobiosa

Sumber : http://www.chem-istry.org/materi_kimia/kimia.../struktur

OH OH OH OH
3 1 4 O 1 4 O
6 3 6
O O
OH β 5 OH β 5
5 OH β 5 OH β
O O
6 O 3 1 6 O 3 1
4 4
OH OH OH OH

4-β-d-Glo-ρ-1 4-β-d-Glo-ρ-1 4-β-d-Glo-ρ-1 4-β-d-Glo-ρ-1

Gambar 2.4 Struktur kimia selulosa

Sumber : Laine, 2005


Selulosa memiliki rumus kimia yaitu (C6H10O5)n. yang terdiri atas karbon (44.44
%), hidrogen (6.17 %), dan oksigen (49.39 %). Derajat polimerisasi (DP) selulosa
bervariasi antara 10000-15000 unit glukosa bergantung pada asal bahannya (Chen,
2014). Selulosa memiliki sifat yang relatif higroskopik dengan solubilitas air
didalamnya 8-14% pada kondisi ambien (20°C, 60% kelembaban relatif). Selulosa
akan larut pada suhu tinggi karena tersedianya energi yang tinggi untuk memutuskan
ikatan hidrogen yang ada pada rantai selulosa. Selain itu penggunaan larutan asam
pekat dan alkali juga dapat melarutkan selulosa yang tidak larut dalam air karena
adanya ikatan hidrogen pada rantai selulosa. Meskipun selulosa tidak meleleh terhadap
kenaikan suhu, namun akan terdekomposisi pada suhu 300-375°C.
14

b. Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan senyawa polisakarida yang larut dalam senyawa asam
dan alkali. Terdapat beberapa gula yang menyusun rangka hemiselulosa seperti xylan,
mannan, galactan, dan glucan, dimana xylan dan mannan adalah gugus utama dari
hemiselulosa (Laine, 2005). Hemiselulosa kurang tahan terhadap reaksi kimia
dibanding selulosa. Menurut Church (1976) dalam Novika (2013) bahwa hemiselulosa
dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh mikrobarumen. Bakteri hemiselulolitik tidak
dapat mendegradasi selulosa, sebaliknya bakteri selulolitik dapat mendegradasi
hemiselulosa. Gambar 2.5 merupakan struktur kimia hemiselulosa :

OH OH
4 O 3 1 4 O 3 1
O 6 6
5 RO OR β O 5 RO β O
OR
OH β O 5 RO β O 5
3 1 6 O 3 1 6 O
OH 4 4
O OH
OH
3 1 R = CH3CO atau H
OH α
5
6 O
4
OH
OH
Gambar 2.5 Struktur Kimia Hemiselulosa

Sumber : Laine, 2005


Berbeda dari selulosa yang merupakan homopoli- sakarida dengan monomer
glukosa dan derajat polimerisasi yang tinggi (10.000 – 15.000 unit), rantai utama
hemiselulosa (derajat polimerisasi hemiselulosa yaitu 150-200 unit monomer) dapat
terdiri atas satu jenis monomer seperti xilan, atau terdiri atas dua jenis atau lebih
monomer (heteropolimer), seperti gluco-mannan. Rantai molekul hemiselulosa juga
lebih pendek daripada selulosa (Hermiati dkk, 2010).
Menurut Achmad (1980) dalam Sitorus (2011) degradasi hemiselulosa dalam
asam lebih tinggi dibandingkan dengan delignifikasi, dan hidrolisis dalam suasana
basa tidak semudah dalam suasana asam. Kandungan hemiselulosa yang tinggi sangat
mempengaruhi ikatan antar serat, karena fungsinya sebagai perekat dalam setiap serat
tunggal. Hemiselulosa akan menjadi lunak ketika proses pemasakan sehingga pada
saat itu serat yang telah terpisah akan lebih mudah menjadi berserabut.
15

c. Lignin
Lignin merupakan polimer yang terdiri atas unit-unit fenil propana yang rumit
secara nonlinear dan terkait secara acak; tiga monomer utama adalah alcohol
coumaryl, coniferyl alcohol, dan sinapyl alcohol. Lignin merupakan polimer
termoplastik, dimana pada suhu tinggi sekitar 127-129°C lignin akan melunak yang
memungkinkan reaksi depolimerisasi semakin cepat. Suhu yang diperlukan dalam
pelunakan lignin bervariasi tergantung berapa nilai berat molekulnya (Chen, 2014).
Lignin tidak larut dalam air yang memberikan sifat ketahanan dan pengembangan
sel, karena mempengaruhi transportasi air, nutrisi dan metabolit dalam sel tanaman.
Lignin bertindak sebagai pengikat antar sel membentuk komposit yang memiliki
ketahanan yang luar biasa terhadap impact, kompresi dan pembengkokan. Berikut
adalah gambar struktur dasar lignin :
OCH3 OCH3

CH CH = CH OH CH CH = CH OH CH CH = CH OH

OCH3
OH OH OH
conifergl alcohol Coumargl alcohol sinapyl alcohol

Gambar 2.6 Struktur dasar Lignin

Sumber : Chen, 2014

2.4 Mikroorganisme

Produksi asam sitrat telah banyak dilakukan menggunakan metode fermentasi yang
dibantu oleh berbagai jenis mikroorganisme seperti jamur, bakteri dan yeast. Namun,
banyak dari mikroorganisme tersebut yang kurang cocok dalam meghasilkan asam sitrat
secara komersial. Hanya beberapa mikroorganisme seperti Saccharomycopsis sp dan
Aspergillus niger yang paling cocok digunakan dalam memproduksi asam sitrat secara
komersial. Dalam dunia industri, Aspergillus niger paling banyak digunakan dalam
memproduksi asam sitrat karena memiliki keuntungan yaitu mudah dikontrol, mampu
memfermentasi berbagai jenis bahan baku dan menghasilkan yield yang tinggi
(Vandenberghe dkk, 1999).
Aspergillus niger merupakan fungi berfilamen, memiliki hifa dan banyak ditemukan di
alam atau lingkungan sekitar seperti ditanah, sisa tumbuhan dan di udara. Maka dari itu A.
niger sering dimanfaatkan diberbagai jenis industri. A. niger termasuk dari kelas
16

Deuteromycetes atau fungi tidak sempurna karena tidak memiliki reproduksi seksual.
A.niger bereproduksi secara aseksual dengan cara pembentukan kepala konidia pada ujung
konidiospora yang berasal dari sel kaki (foot cells) hifa. Biasanya, bentuk konidia bulat,
kasar, warnanya hitam kecoklatan, dan diproduksi dalam jumlah banyak (Machida dan
Katsuya, 2010).
A. niger banyak ditemukan di lingkungan sekitar dalam jumlah yang banyak. A. niger
biasanya hidup di tempat lembab dan tumbuh secara aerobik pada pH dan rentang suhu
tertentu (Beer, 2008). A. niger dapat tumbuh pada rentang suhu antara 4-47 °C dengan
suhu optimal berkisar 25-30°C. A. niger dapat tumbuh pada nilai pH yang cukup ekstrim
berkisar antara 1-9,8 (Abbas dkk, 2016). Di bidang industri A.niger banyak digunakan
karena diketahui dapat menghasilkan berbagai jenis asam melalui proses fermentasi seperti
asam glukonat, asam oksalat, dan asam sitrat.
Selain itu terdapat beberapa jenis enzim yang dapat dihasilkan seperti pektinase, α-
amilase, asparaginase, selulase, proteinase, lipase, katalase, glukosa oksidase, dan fitase
(Villena dan Marcel, 2007; Akhter dkk, 2011; Bansal dkk, 2011). Menurut Singhania et al
(2010) dan Krogh et al (2009) dalam Sumarlin dkk (2013), selulase merupakan kelompok
enzim yang terdiri dari endoglukanase, selobiohid-rolase (eksoglukanase) dan β-
glukosidase, dimana enzim tersebut bekerja secara sinergis untuk mendegradasi selulosa.
Mekanisme pemecahan selulosa oleh selulase terdiri dari tiga enzim, yaitu (1) Enzim
endo-β-1,4- glukanase mempengaruhi secara serentak ikatan β- 1,4 di dalam makromolekul
dan menghasilkan potongan-potongan besar berbentuk rantai dengan ujung-ujung bebas,
(2) Enzim ekso-β-1,4-glukanase memotong mulai dari ujung-ujung rantai, disakarida
selobiosa, (3) Enzim β-glukosidase meng-hidrolisis selobiosa dengan membentuk glukosa
(Sumarlin dkk, 2013).
Salah satu parameter penting yang perlu diperhatikan dalam penggunaan A.niger pada
proses fermentasi adalah kurva pertumbuhannya. Kurva pertumbuhan tersebut akan
menentukan fase dan waktu optimum dari pertumbuhan A.niger dalam proses fermentasi.
Fase pertumbuhan mikroba dapat diklasifikasikan berdasarkan pertumbuhan dan metabolit
yang dihasilkannya yaitu, fase trophophase dan idiophase. Trophophase merupakan fase
mikroba tumbuh secara aktif yang memproduksi metabolit primer seperti vitamin, asam
organik dan pelarut seperti alkohol dan aseton. Sedangkan idiophase merupakan fase
mikroba diam (stasioner) yang memproduksi metabolit sekunder yang tidak diperlukan
untuk pertumbuhan mikroba, misalnya alkaloid dan antibiotik (Waites, 2001). Gambar 2.7
menunjukkan kurva pertumbuhan mikroorganisme pada fermentasi batch :
17

Gambar 2.7 Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme pada Proses Fermentasi Batch

Sumber : Waites, 2001


Selama proses fermentasi batch populasi mikroorganisme melewati beberapa fase
pertumbuhan yaitu fase lag, akselerasi, eksponensial dekselerasi, stasioner dan kematian.
Pada fase lag secara visual tidak terjadi pertumbuhan dan populasi mikroba relatif konstan.
Namun pada fase tersebut terjadi aktivitas metabolis oleh mikroba untuk beradaptasi
terhadap lingkuangan baru. Saat sel diinokulasikan pada media baru, sel akan kekurangan
enzim, vitamin atau kofaktor, sehingga mikroba harus terlebih dahulu memanfaatkan
nutrisi yang tersedia. Komposisi kimia dari media dapat mempengaruhi lama fase lag.
Sumber karbon pada medium yang baru akan mempengaruhui lama fase lag, sehingga sel
perlu mensintesis enzim untuk mengkatabolisme susbtrat baru (Waites, 2001).
Pada fase akselerasi sel beradaptasi pada lingkungan yang baru. Frekuensi pembelahan
sel terus meningkat hingga laju pertumbuhan maksimum. Pada kondisi ini, pertumbuhan
secara eksponensial dimulai dan jumlah sel/biomassa bertambah dengan laju yang konstan.
Laju pertumbuhan spesfik mikroorganisme akan melambat hingga semua substrat yang
tersedia habis untuk metabolime sel. Tidak ada lagi pertumbuhan sel, pada tahap ini sel
memasuki fase stasioner.
Pada keadaan ini laju pertumbuhan menurun hingga nol dan tidak terjadi perubahan
yang signifikan pada jumlah sel/biomassa. Namun, mikroorganisme tetap melakukan
18

aktivitas metabolik dan dalam beberapa kasus memproduksi metabolit sekunder. Durasi
dari fase stasioner bervariasi berdasarkan mikroorganisme yang digunakan dan kondisi
lingkungan. Ketika sel tidak dapat bertahan dengan cara membentuk spora, maka sel akan
memasuki fase kematian eksponensial dengan laju yang konstan (Waites, 2001).
Asam sitrat dihasilkan pada tahap trophophase dan idiophase. Selama fase
trophophase, terjadi respirasi dengan melepaskan CO2 dimana glukosa digunakan untuk
memproduksi biomassa. Pada tahap idiophase aktivitas sitrat sintase meningkat 10 kali
lipat, sedangkan jumlah aconitase dan isocitrate dehydrogenase sedikit berkurang
dibandingkan dengan tahap trophophase. Hal tersebut berdampak pada peningkatan
produksi asam sitrat dan mengurangi kemungkinan terbentuknya produk samping berupa
isositrat dan 2-oksoglutarat Selain itu terjadi kehilangan glukosa akibat respirasi yang
sedikit dan hampir seluruhnya substrat dikonversi menjadi asam organik. Pada tahap
idiophase semua enzim yang dihasilkan A.niger dikeluarkan, kecuali dehidrogenase
ketoglutarat (Max dkk, 2010).

2.5 Metabolisme Asam Sitrat

Proses metabolisme asam sitrat menggunakan Aspergillus niger terdiri atas beberapa
tahap seperti proses penyerapan glukosa atau sukrosa kedalam sitoplasma, glikolisis,
dekarboksilasi oksidatif hingga memasuki siklus Krebs atau siklus asam sitrat. Berikut
adalah gambar Biosintesis asam sitrat menggunakan Aspergillus niger.
19

(A)
Sucrose Glukosa + Fructose
(B)

Fructose -1,6-biphosphate
(C)
CO2
Acetate Pyruvate

(D)
Acetyl-CoA
CoA -SH

Citric acid Oxaloacetate


(E)
(J) 2H
H 2O (F)
Malate
Aconitate H 2O
TCA
cycle Fumarate
H 2O
(I)
2H
Isocitrate Succinate
(G) (H)
CO2
Oxalosuccinate α-Ketoglutarate

CO2
Gambar 2.8 Biosintesis Asam sitrat dari glukosa menggunakan Aspergillus niger.
(a) invertase; (b) hexokinase; (c) phosphofructokinase; (d) pyruvate carboxylase; (e)
citrate synthase; (f) aconitase; (g) isocitrate dehydrogenase; (h) α-ketoglutarate
dehydrogenase; (i) succinie dehydrogenase; (j) malate dehydrogenase

Gambar 2.8 menunjukkan skema metabolisme asam sitrat dimana Aspergillus niger
menghasilkan enzim invertase dan hexokinase (HXK), dimana enzim tersebut
mengkonversi sukrosa menjadi fruktosa-6-fosfat. Enzim utama yang bertanggung jawab
terhadap biosintesis asam sitrat adalah phosphofructokinase (PFK), pyruvate carboxylase,
citrate synthase (CS), aconitase (ACH) dan isocitrate dehydrogenase (ICDH). PFK
merupakan enzim yang berperan dalam mengubah glukosa atau fruktosa menjadi piruvat.
Penghambatan PFK oleh sitrat terjadi akibat akumulasi ion ammonium (NH4+). Semakin
20

tinggi ion NH4+ dalam sel dapat menghambat kinerja PFK ( Pometto dkk, 2008). Hal ini
juga disampaikan oleh Show dkk (2015) dimana ion amonium akan berkombinasi dengan
glukosa membentuk glukosamine didalam sel. Ketika glukosamine lepas kedalam medium,
akan menghambat enzim fosfofruktokinase (PFK) yang berfungsi megkonversi glukosa
menjadi piruvat.
Asam piruvat selanjutnya akan dikonversi menjadi oksaloasetat dengan bantuan enzim
pyruvate carboxylase. Pada proses ini diperlukan CO2 dan ATP untuk menghasilkan
oksaloasetat. Berikut adalah persamaan reaksinya :

Piruvat + CO2 + H2O + ATP  Oksaloasetat + ADP + Pi

Selain itu piruvat juga akan mengalami proses dekarboksilasi oksidatif dan berikatan
dengan koenzim-A membentuk asetil-KoA kemudian masuk kedalam siklus krebs. Secara
umum asam sitrat diperoleh dari proses kondensasi asetil-koenzim A dengan asam
oksaloasetat, dimana koenzim-A dilepas dan keluar dari siklus Krebs untuk menunggu
piruvat lainnya. Berikut adalah persamaan reaksinya (Show dkk, 2015):

Asetil-koA + oksaloasetat  sitrat3- + H+ + CoA-SH


Selanjutnya asam sitrat akan mengalami beberapa proses seperti terbentuknya isomer
sitrat baru berupa asam isositrat hingga dalam proses ini asam oksaloasetat akan kembali
terbentuk (Siklus Krebs). Dalam proses ini beberapa molekul seperti NAD+, CO2, FAD
dan ADP juga ikut terlibat hingga menghasilkan molekul baru.

2.6 Preatreatment Substrat

Preatreatment merupakan salah satu proses yang penting untuk meningkatkan proses
hidrolisis dan akhir dalam suatu produksi. Proses preatreatment dipilih berdasarkan
karakteristik bahan atau substrat yang digunakan (Achinas dan Gerrit, 2016). Tujuan utama
dari proses preatreatment yaitu mengurangi atau menghancurkan lignin dan hemiselulosa,
mengurangi kristalitas selulosa dan meningkatkan porositas material lignoselulosa. Adanya
lignin didalam lignoselulosa cenderung membentuk penghalang yang mencegah
dekonstruksi sel tanaman oleh fungi dan bakteri (Kumar dkk, 2009).
21

Terdapat beberapa syarat yang perlu diikuti dalam proses pretreatment sebagai
berikut :

1. Memperbaiki pembentukan gula atau kemampuan untuk kemudian membentuk gula


dengan hidrolisis
2. Menghindari degradasi atau hilangnya karbohidrat
3. Hindari pembentukan produk sampingan yang bersifat hambat proses hidrolisis dan
fermentasi selanjutnya.
4. Hemat biaya.

Gambar 2.9 Proses Degradasi lignoselulosa pada biomassa

Sumber : Ramirez, 2010


2.5.1 Macam-macam Metode Pretreatment
Menurut Kumar dkk (2009), pretreatment dapat dibagi menjadi beberapa kategori
yaitu :
a. Pretreatment fisik bertujuan mengurangi ukuran biomassa atau bahan baku
menjadi bagian - bagian kecil merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk
meningkatkan aksesibilitas enzim ke bahan lignoselulosa. Proses ini dilakukan
dengan berbagai cara seperti grinding,chipping, dan milling.
b. Pretreatment fisiokimia merupakan pretreatment gabungan secara fisika dan
kimia yang dapat mempengaruhi sifat kimia dan fisika suatu biomassa. Teknologi
yang sering atau umum digunakan pada proses ini yaitu steam explosion
(pretreatment uap), liquid hot water (LHW) pretreatment, ammonia fiber/freeze
explosion (AFEX), dan pretreatment dengan pelarut organik.
c. Pretreatment kimia mempunyai tujuan untuk meningkatkan biodegradasi selulosa
dengan menghilangkan lignin dan hemiselulosa. Selain itu bertujuan untuk
22

menurunkan tingkat polimerisasi dan krisatalinitas komponen selulosa menggunakan


larutan asam atau basa.
d. Pretreatment biologi merupakan proses pretreatment menggunakan
mikroorganisme seperti Phanerochaete chrysosporium, Ceriporia lacerata, Cyathus
stercolerus, Ceriporiopsis subvermispora, Pycnoporus cinnarbarinus, dan Pleurotus
ostreaus diketahui mempunyai efisiensi delignifikasi yang tinggi. Mikroorganisme
tersebut dapat mengubah komposisi kimia dan struktur biomassa lignoselulosa.
2.5.2 Pretreatment Kalsium Hidroksida (Ca(OH)2)
Pretreatment yang dipilih dalam proses ini yaitu pretreatment kimia menggunakan
Ca(OH)2 sebagai reagen basa. Selain harganya lebih murah dari senyawa alkali lain,
tingkat racunnya terhadap lingkungan rendah, dan mudah di-recovery dari hidrolisat
menggunakan karbondioksida menjadi kalsium karbonat untuk diregenerasi lagi menjadi
kalsium hidroksida (Grimaldi, 2015).
Pretreatment menggunakan alkali diketahui lebih sangat selektif dalam
mendegradasi lignin.dari lignoselulosa yang akan digunakan dalam proses fermentasi tanpa
mengurangi karbohidrat secara signifikan. Hal tersebut dikarenakan bahwa Ca(OH)2 akan
bereaksi dengan karbon dioksida (CO2) hasil dari degradasi karbohidrat, membentuk
lapisan pelindung berupa kalsium karbonat untuk mencegah degradasi. Dari penelitian
Rebelo dkk juga diketahui pretreatment kalsium hidroksida meningkatkan yield total gula
tereduksi (total reducing sugars) pada ampas tebu dibanding pretreatment alkali dengan
hidrogen peroksida (Ramirez, 2010).
Selama pretreatment kalsium hidroksida (alkali), struktur lignin mengalami
modifikasi karena gugus hidroksil memotong polimer lignin yang menghasilkan kelarutan
parsial. Bersamaan dengan itu, alkali akan mendegradasi hemiselulosa dan selulosa. Pada
kondisi ini alkali akan terkonsumsi untuk digunakan dalam reaksi pemutusan ikatan pada
liginin dan karbohidrat (Ramirez, 2010).

2.7 Penelitian Terdahulu

Peneliti(Tahun) Judul Metode Hasil


Mostafa dan Saad Optimalisasi Metode :  Pada konsentarsi
(2012) peningkatan Submerged NH4NO3 0,1%
produksi asam Fermentation produksi asam sitrat
sitrat Variabel tetap : mencapai 67,1 g/L
23

Peneliti(Tahun) Judul Metode Hasil


menggunakan  Suhu : 30 ℃  Pada konsentrasi
sel immobilisasi  Waktu KH2PO4 0,1%
Aspergilus fermentasi : produksi asam sitrat
niger dari sirup 6 hari mencapai 80,6 g/L
kurma Variabel  Pada konsentrasi
kontrol: MgSO4.7H2O
Konsentrasi produksi asam sitrat
NH4NO3, mencapai 94,7 g/L
KH2PO4,
MgSO4.7H2O
Kareem dan Pemanfaatan Metode :  Penambahan 0,5%
Rahman (2013) Kulit Pisang Solid-State KH2PO4
untuk Fermentation menghasilkan asam
Memproduksi Variabel tetap : sitrat sebanyak 30,81
Asam Sitrat  Massa gram/kg massa
dengan substrat : 30 kering,
Aspergillus gram  Penambahan 0,5%
niger  Kadar air (NH4)3PO4
:60% menghasilkan asam
 Suhu : 30 ℃ sitrat 43,32 gram/kg
 Waktu massa kering,
fermentasi :  Penambahan 0,5%
5 hari pepton menghasilkan
Variabel bebas : asam sitrat sebanyak
 Penambahan 50,12 gram/kg massa
NH4NO3 kering,
,KH2PO4 ,  Pada konsentrasi
Pepton metanol (%v/w) 1%
Konsentrasi menghasilkan asam
Metanol sitrat mencapai
64,2gram/kg massa
Karthikeyan dan Produksi Asam Metode :  Kadar air optimal
Nallusamy (2010) Sitrat dengan Solid State yang didapatkan
Fermentasi Koji Fermentation sebesar 78% dengan
menggunakan Variabel hasil 170 gram/kg
24

Peneliti(Tahun) Judul Metode Hasil


Kulit Pisang kontrol : massa kering
sebagai Substrat  Kadar air  Suhu inkubasi
dari 50-90% optimal sebesar 28 ℃
 Suhu dengan hasil sekitar
inkubasi 26 170 gram/kg massa
℃, 28 ℃, 30 kering
℃, 32 ℃,  pH awal optimal
dan 34 ℃ sebesar 3
 pH awal  Jumlah optimal
substrat 2-7 adalah 108/ml
 Jumlah  Waktu inkubasi
inokulum maksimal adalah 72
4 6 8
10 , 10 , 10 hari dengan hasil
10 12
, 10 , 10 asam sitrat mencapai
/ml 180 gram/kg massa
Waktu inkubasi kering
dari 1-5 hari

Anda mungkin juga menyukai