MENGATASI STUNTING
Stunting menjadi salah satu problem kesehatan yang masih
menggejala di Indonesia. Masalah stunting bahkan menjadi
perhatian khusus Kementerian Kesehatan lewat sejumlah
kampanyenya.
Hal ini karena stunting bisa mengakibatkan anak gagal tumbuh
karena kekurangan nutrisi kronis, terutama pada 1.000 hari
pertama kehidupan. Lalu apa sebenarnya stunting itu? Bagaimana
cara mencegahnya? Simak penjelasan lengkapnya di artikel
berikut.
PERSOALAN stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita, sehingga memiliki
tubuh terlalu pendek dibandingkan anak seusianya, masih menjadi tantangan besar yang
dihadapi bangsa ini. Temuan Global Nutrition Report pada 2018 menunjukkan,
prevalensi stunting Indonesia dari 132 negara berada di peringkat ke-108. Sedangkan di
kawasan Asia Tenggara prevalensi stunting Indonesia tertinggi kedua setelah Kamboja.
Secara umum kekurangan gizi pada anak dibagi menjadi stunting (tinggi badan/TB
kurang menurut usia), wasting (berat badan/BB kurang menurut tinggi badan), dan gizi
buruk (BB kurang menurut usia). Menurut United Nations Children’s Fund (Unicef), satu
dari tiga anak mengalami stunting di dunia. Berdasar data World Health Organization
(WHO), rerata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005–2017 adalah 36,4
persen (Kemenkes, 2018).
Periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) merupakan masa awal kehidupan saat
masih berada dalam kandungan hingga dua tahun pertama. Masa ini disebut juga dengan
periode emas. Periode 1.000 HPK sangat penting karena sangat berpengaruh terhadap
kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh
pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis dalam masa 1.000 HPK.
Keadaan stunting ini ditunjukkan dengan nilai z-score TB menurut usia (indeks TB/U) <
-2 SD berdasar standar WHO.
Stunting disebabkan faktor multidimensi dan tidak hanya disebabkan faktor gizi buruk
yang dialami ibu hamil maupun anak balita. Merujuk Unicef, masalah stunting terutama
disebabkan pengaruh dari pola asuh yang kurang baik, cakupan dan kualitas pelayanan
kesehatan (baik ante natal care/ANC maupun post natal care/PNC), kualitas lingkungan
atau sanitasi yang tidak sehat, dan kerawanan pangan di rumah tangga.
Stunting menimbulkan dampak yang sangat besar pada pertumbuhan dan perkembangan
anak. Konsekuensi stunting dapat bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Termasuk
peningkatan morbiditas dan mortalitas, perkembangan anak yang buruk dan
memengaruhi kemampuan belajar, peningkatan risiko infeksi dan penyakit degeneratif di
masa dewasa, serta berkurangnya produktivitas. Hal tersebut tentu sangat
mengkhawatirkan, mengingat sumber daya paling berharga bagi suatu negara adalah
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
Masa depan bangsa kita berada di tangan 79,55 juta anak Indonesia (BPS, 2019). Maka,
dapat kita bayangkan bagaimana kondisi masa depan Indonesia tatkala 30 tahun lagi
merekalah yang memegang kendali negara kita. Jadi, harus disadari betul pentingnya
pemenuhan hak anak kita saat ini demi kualitas SDM di masa depan.
Salah satu program pemerintah Indonesia dengan investasi gizi di Indonesia diperkuat
dengan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi dengan fokus pada 1.000 HPK. Kegiatan tersebut mengedepankan upaya
bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan
kepedulian pemangku kepentingan. Kegiatan itu dilakukan secara terencana dan
terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat.
Ibu memegang peran penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama
dalam hal asupan gizi keluarga. Mulai penyiapan makanan, pemilihan bahan makanan,
sampai menu makanan. Pengetahuan ibu yang kurang terkait gizi berkonsekuensi
terhadap penyediaan makanan untuk anaknya tanpa tahu kandungan gizi pada makanan
tersebut.
Selain itu, pengukuran antropometri (BB dan TB) secara rutin di posyandu melalui kader
kesehatan atau di puskesmas juga belum sepenuhnya dipahami oleh ibu dari bayi dan
balita. Pengukuran BB dan TB yang rutin setiap bulan dapat digunakan sebagai deteksi
dini stunting pada anak. Meskipun program pemerintah terkait
pencegahan stunting sudah cukup banyak, prevalensi stunting selama lebih dari lima
tahun di Indonesia masih stagnan dan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Mengurai Masalah
Sulitnya deteksi stunting terkait dengan kurangnya perhatian orang tua. Sebab, mereka
tidak melihat perbedaan pada TB balita stunting dibandingkan anak normal. Orang tua
balita stunting menganggap kondisi fisik anaknya yang pendek merupakan hal yang
wajar dan tidak memiliki efek buruk ke depannya. Hal tersebut diperparah oleh adanya
praktik pengasuhan yang kurang baik, masih terbatasnya layanan kesehatan, masih
kurangnya akses keluarga terhadap makanan bergizi, serta kurangnya akses pada air
bersih dan sanitasi. Oleh karena itu, seluruh pihak harus mengoptimalkan perbaikan gizi
demi memastikan pemenuhan gizi seimbang bagi anak.
Kegiatan posyandu juga sempat terhenti akibat kebijakan dan imbauan untuk membatasi
dan mengurangi aktivitas di luar rumah selama pandemi. Hal itu yang menyebabkan
kejadian anak stunting masih sulit dideteksi di masyarakat.
Rekomendasi
Sekarang ini stunting merupakan masalah global dan merupakan isu dunia yang harus
diatasi secara multisektor. Sehingga perlu program untuk menanggulangi penyebab tidak
langsung kurang gizi. Seperti lingkungan yang buruk, kurangnya akses terhadap layanan
kesehatan berkualitas, pola asuh yang tidak memadai, serta permasalahan ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga.
Solusi yang ditawarkan dalam upaya meningkatkan status kesehatan dan gizi pada balita
adalah perlu edukasi terkait gizi kepada orang tua. Terutama kepada ibu hamil, ibu
menyusui, serta ibu bayi dan balita tentang 1.000 HPK. Diharapkan, upaya itu dilakukan
terus-menerus dan berkesinambungan serta menjadi topik utama kampanye instansi
kesehatan. Terutama terkait pemenuhan kebutuhan gizi ibu dan balita dan gizi seimbang.