Anda di halaman 1dari 7

PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM

“ Menganalisis Kasus Prita Mulyasari ”

Dosen Pengampu : Dr. Muja’hidah S.H.,MH.

Tugas ini dibuat sebagai salah satu syarat memenuhi nilai ujian akhis semester
mata kuliah Penalaran Argumentasi Hukum C/BT 3. Pada perkuliahan semester
genap 2022/2023

Disusun Oleh :
MUHAMMAD NAUFAL
D101 21 221

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
A. Fakta-Fakta kasus Prita Mulyasari

- 7 Agustus 2008

Prita Mulyasari melakukan pemeriksaan kesehatan di RS Omni Internasional


Tangerang, Banten. Prita Mulyasari mengeluhkan panas tinggi serta pusing
kepala, Hasil pemeriksaan laboratorium: Thrombosit 27.000 (normal 200.000),
suhu badan 39 derajat. Malam itu langsung dirawat inap, diinfus dan diberi
suntikan dengan diagnosa positif demam berdarah. Namun kesehatan Prita
Mulyasari makin memburuk

- 8 Agustus

Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi 181.000. Mulai
mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri tetap diinfus. Tangan kiri mulai
membangkak, Prita minta dihentikan infus dan suntikan. Suhu badan naik lagi ke
39 derajat.

- 9 Agustus 2008

Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia terkena virus udara.
Infus dipindahkan ke tangan kanan dan suntikan obat tetap dilakukan. Malamnya
Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan diberi oksigen. Karena tangan
kanan juga bengkak, dia memaksa agar infus diberhentikan dan menolak disuntik
lagi.

- 10 Agustus 2008

Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan bagian
lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada leher kiri dan
mata kiri.

- 11 Agustus 2008

Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita


memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data medis
yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang berisi
thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit 181.000.
Pasalnya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia akhirnya dirawat
inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak diperkenankan karena hasilnya
memang tidak valid

- 12 Agustus 2008

Prita Mulyasari pindah ke RS lain di Bintaro, di RS yang baru prita di masukkan


kedalam ruang isolasi karena dia terserang virus yang menular

- 15 Agustus 2008

Prita Mulyasari bercerita melalui email pribadi kepada teman dekatnya ,Prita
Mulyasari bercerita terkait keluhan pelayanan RS Omni Internasional, serta dokter
yang memeriksanya yaitu dokter Dr.Hengky Gosal SpPD dan Dr.Grace Herza
Yarlen Nela. Kemudian Email tersebut tersebar dan beredar luas di dunia maya.

- Agustus 2008

Pihak RS Omni Internasional merasa keberatan atas pernyataan prita yang tertera
di email yang kemudia tersebar luas di dunia maya. Telah dilakukan upaya
mediasi antara Prita Mulyasari dan RS Omni Internasional tapi hasilnya buntu.

B. Claim

Dengan begitu RS Omni Internasional merasa Prita Mulyasari melakukan


pencemaran nama baik perusahaan, Sehingga terhitung RS Omni Internasional
melakukan 3 dakwaan :

- Dakwaan Kesatu

Terdakwa Prita Mulyasari pada tanggal 5 Agustus 2008 telah memenuhi unsur
pidana dalam Pasal 27 ayat (3) “etiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya
elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan
atau pencemaran nama baik” yaitu dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan mentransmisikan sehingga dapat membuat tersebar luasnya
informasi dan dokumen elektronik yang membuat tercemarnya nama baik
Dr.Hengky Gosal SpPD dan Dr.Grace Herza Yarlen Nela.

- Dakwaan Kedua

Bahwa terdakwa Prita Mulyasari pada tanggal 15 Agustus 2008 bertempat


dirumah sakit bintaro Tangerang yang masih termasuk kedalam wilayah hukum
Pengadilan Negeri Tangerang, dengan sengaja menyerang nama baik atau
kehormatan Dr.Hengky Gosal SpPD dan Dr.Grace Herza Yarlen Nela, dengan
menuduh hal yang maksudnya terang supaya hal tersebut diketahui umum dengan
tulisan dan gambaran yang disiarkan atau dipertujukan di muka umum. Perbuatan
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 310 ayat (2) KUHP
“ Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan atau
ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah di ancam pidana paling lama
satu tahun empat bulan dan denda paling banyak tiga ratus rupiah “

- Dakwaan Ketiga

Bahwa terdakwa Prita Mulyasari pada tanggal 15 Agustus 2008 bertempat


dirumah sakit bintaro Tangerang yang masih termasuk kedalam wilayah hukum
Pengadilan Negeri Tangerang, yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan membuktikan apa yang dituduh itu benar, tidak
membuktikannya, dan tuduhan bertentangan dengan apa yang diketahui.
Sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal pidana dalam pasal 311 ayat (1)
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
C. Struktur Norma

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945):

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya.

Kode Pidana:

Pemohon kasasi/terdahulu tergugat telah didakwa melakukan perbuatan dengan


sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik, melanggar Pasal 27
ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana
dirumuskan dalam dakwaan kesatu, dakwaan kedua, dan dakwaan ketiga;

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan:

Undang-undang ini mengatur tentang hak dan kewajiban pasien, termasuk hak
untuk mendapatkan informasi yang jujur dan benar mengenai pelayanan
kesehatan.

Putusan Mahkamah Agung:

Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin bahwa setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia;

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini (No. 300 K/Pdt/2010)

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini (No. 300 K/Pdt/2010) akan
menjadi sumber hukum utama yang menetapkan penafsiran dan aplikasi
hukum dalam kasus Prita Mulyasari
D. Alternatif
Penggunaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Dalam putusan ini,
dikemukakan bahwa jika masalah ini dikembalikan ke Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka beban pembuktian akan
ada pada pihak pelaku usaha. Salah satu alternatif penyelesaian adalah
menggantikan pendekatan pidana dengan pendekatan perdata berdasarkan
undang-undang perlindungan konsumen, di mana Prita Mulyasari dapat
mengajukan gugatan perdata terhadap rumah sakit.

Pertimbangan Etika: Majelis hakim juga menyebutkan bahwa pilihan mereka


untuk menyerahkan tafsiran "malpraktik" kepada tafsiran etis bukanlah
tafsiran undang-undang semata. Dalam hal ini, alternatif penyelesaian dapat
berfokus pada aspek etika dan norma profesional dalam pelayanan kesehatan.
Hal ini bisa melibatkan adanya teguran atau sanksi etis terhadap rumah sakit
terkait kelalaian atau kurangnya standar pelayanan.

Revisi Aturan: Alternatif penyelesaian lain adalah merevisi atau


mengklarifikasi undang-undang terkait, seperti undang-undang tentang
malpraktik, untuk memberikan ketentuan yang lebih jelas mengenai beban
pembuktian, tanggung jawab pelaku usaha, dan perlindungan hak konsumen
dalam konteks pelayanan kesehatan.

Penggunaan Prinsip Hukum yang Berlaku: Alternatif penyelesaian lainnya


adalah mengacu pada prinsip hukum yang berlaku, seperti prinsip keadilan,
kepentingan umum, dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam hal ini,
pilihan penyelesaian dapat didasarkan pada pertimbangan prinsip-prinsip
tersebut untuk mencapai hasil yang adil dan seimbang.
E. Putusan Akhir
Mahkamah Agung memutuskan perkara tingkat kasasi yang intinya
“memenangkan” pihak Prita Mulyasari (Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010
tanggal 29 September 2010). Putusan ini mengabulkan permohonan kasasi
dari pemohon kasasi, membatalkan putusan PT Banten yang memperbaiki
putusan PN Tangerang. Mahkamah Agung juga mengadili sendiri: (1) dalam
konpensi: (dalam eksepsi) menolak eksepsi tergugat; dan (dalam pokok
perkara) menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya; (2) dalam
rekonpensi: menolak gugatan rekonpensi untuk seluruhnya; menghukum para
termohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp500 ribu.

Jika mengacu pada skor “kosong-kosong” yang diibaratkan terjadi pada


putusan Mahkamah Agung No. 300 K/Pdt/2010 ini, maka putusan ini jelas
tidak berpihak pada penyelesaian kasus secara tuntas. Dalam bahasa hukum,
kondisi demikian jelas melanggar asas lites finiri oportet. Ketika para pihak
berpaling ke ruang pengadilan, maka para pencari keadilan itu berharap
memperoleh ekspektasi dari pilihan tersebut. Di sinilah hukum harus
berfungsi memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi mereka.
Nilai terpenting dari putusan ini lebih terletak pada penemuan hukum yang
memberi ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan keluhan mereka
melalui surat elektronik. Mahkamah Agung dalam putusan ini menyatakan
perbuatan demikian bukan termasuk perbutan melawan hukum. Namun,
sayangnya, secara keseluruhan putusan ini belum mampu menunjukkan
konstruksi penalaran yang runtut dan sistematis untuk dapat dikategorikan
sebagai sebuah landmark decision

Anda mungkin juga menyukai