Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

Secara teori, krisis seringkali merupakan titik balik dalam kehidupan suatu
perusahaan/organisasi yang dapat memberikan kesempatan untuk menetapkan
reputasi bagi kompetensinya, untuk membentuk perusahaan/organisasi tersebut,
membentuknya serta menghadapi issue-issue penting. Namun bertindak pada saat
krisis memiliki resiko yang tinggi. Sebuah strategi dibutuhkan untuk memutuskan
kapan menentukan suatu situasi sebagai sebuah krisis, kapan harus mengambil
tindakan dan bekerja dengan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan krisis tersebut.
Namun ketika ketegangan meninggi, menetapkan suatu strategi menjadi tidak mudah.
Karena itulah perencanaan di awal akan memungkinkan untuk berkonsentrasi pada
masalah aktual ketika ia memuncak serta memberikan kerangka kerja bagi tindakan
yang diperlukan (Regester & Larkin, 2003:170).

Kasus ini berawal dari Prita Mulyasari yang mendatangi RS OMNI bertujuan
untuk berobat. Prita didiagnosis menderita demam berdarah, atau tifus. Setelah
dirawat selama empat hari disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan, gejala
awal yang dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan
pembengkakan pada leher. Selama masa perawatan dan pengobatan di rumah sakit
tersebut, Prita tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan baik. Pelayanan
diberikan secara cuma-cuma kepada pasien. Prita trauma dan tidak akan mau berobat
di RS Omni lagi.Prita lalu mengirimkan email secara pribadi kepada teman temannya
untuk mengekpresikan curahan hati mengenai pelayanan RS OMNI yang diberikan
kepada Prita. Dari email yang diberikan kepada teman teman Prita tersebut, pihak
rumah sakit malah beranggapan bahwa Prita telah mencemarkan nama baik RS
OMNI.
Dalam berbagai kasus hukum yang melibatkan pelanggan dan perusahaan,
biasanya pihak perusahaan cukup mendapat pemulihan nama baik dari hasil
keputusan pengadilan Artinya perusahaan tidak perlu menuntut agar pelanggan
membayar ganti rugi yang besar dan menyengsarakan tergugat. Ada win win solution
disini, ada efek jera bagi tergugat namun pelanggan pun tidak akan ketakutan untuk
kembali menggunakan jasa perusahaan. Faktanya nilai gugatan perdata yang diajukan
RS Omni sangat besar yang tidak mungkin mampu dibayar tergugat. Dalam hal ini
PR tidak mampu mengontrol nilai tuntutan yang masuk akal karena tidak
mempertimbangkan dampak negatif dari gugatan itu. Nilai gugatan yang besar
menunjukkan keserakahan perusahaan dalam menguras harta pelanggan,
implikasinya adalah pasien atau pelanggan lain akan kehilangan kepercayaan pada
nilai jual produk jasa perusahaan. Kemudian, kasus pencemaran nama baik adalah
delik aduan. Artinya ini bukan kasus .kriminal murni dimana tergugat bisa
dipenjarakan jika gugatan dicabut.

Unsur lain yang dilupakan dalam kasus ini adalah penentuan juru bicara perusahaan,
yang dalam berbagai konferensi pers diwakili oleh kuasa hukum. Ada beberapa
kutipan wawancara kuasa hukum yang menunjukkan arogansi perusahaan untuk tidak
menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan dan cenderung hiperbola dalam
menyalahkan tergugat. Bahasa hukum yang terkadang kaku dan keras, selayaknya
tidak dipakai. Karena kalau menilik awal mula perseteruan, sebenarnya pihak RS
Omni tidak perlu terlalu keras terhadap pasiennya, karena hidup sebuah perusahaan
sebenarnya berasal dari uang si pelanggan itu sendiri.

Penyimpangan dalam kasus Prita Mulyasari

1. Penyimpangan Terhadap Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945,


Pasal 19 Deklarasi Universal (PBB) Untuk Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tanggal
10 Desember 1928, Pasal 2 Undang-Undang Pers dan Pasal 23 ayat (2) Undang-
Undang HAM.
Prita dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan karena
dianggap telah mencermakan nama baik rumah sakit OMNI dan dokternya melalu
email yang berisi keluhan pelayanan rumah sakit tersebut yang Ia kirim secara pribadi
kepada teman temannya. Padahal di sisi lain ia hanya berusaha mengekspresikan
(membagi) pengalaman pahit hidupnya kepada para temannya. Jika ekspresi
berkumpul dan berpendapat Prita ini dianggap sebagai sebuah penghinaan, maka hal
ini jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan :

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan


tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. (Soetanto Soepiadhy ,
2004, hal.68).

Pelanggaran lain terkait kebebasan berpendapat adalah sebagaimana ditentukan Pasal


19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan :

Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan hak
ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa ada gangguan serta untuk
mencari, menerima dan berbagi informasi serta gagasan melalui apapun dan tanpa
mengindahkan perbatasan negara. (Soetanto Soepiadhy , 2004, hal.68)

Lebih lanjut, kebebasan memberikan informasi dan berita yang benar kepada publik,
dilindungi oleh Pasal 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang
menyebutkan :

Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan :

Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat


sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum dan keutuhan bangsa. (Indonesia Legal Center Publishing, 2006,
hal.10).

2. Penyimpangan Terhadap Ketentuan Pasal 28B UUD45, dan Undang-


Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Prita juga dijatuhkan hukuman sewenang-wenang oleh Kejaksaan Negeri


Tangerang dengan pencabutan hak 2 (dua) orang anak yang masih batita (bawah tiga
tahun) yang masih membutuhkan ASI dari Prita. Hal tersebut jelas merupakan sebuah
pelanggaran terhadap Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan :

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Soetanto Soepiadhy ,
2004, hal.69)

Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 Undang- Undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan :

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Syaifullah, 2008, hal. 46, atau baca,
Visimedia, 2007,
hal. 8).
3. Penyimpangan Terhadap Ketentuan Undang-Undang Konsumen dan Praktek
Kedokteran

Dalam kasus Prita, telah jelas bahwa hak-haknya sebagai konsumen dan
pasien dari rumah sakit OMNI International Hospital telah terenggut misalnya hak
untuk mendapat informasi yang benar atas hasil diagnosa dokter terhadap
pemeriksaan kondisi tubuhnya (sakitnya), oleh karena pihak OMNI tidak
memberikan respon positif saat Prita menanyakan perihal penyakit Prita yang
sebenarnya. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 huruf (c)
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan :

Hak konsumen antara lain adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. (Redaksi Sinar Grafika, 1999,
hal.2).

Prita yang mendapat berbagai infus dan berbagai suntikan tanpa penjelasan
dan izin dari Prita (pasien) atau keluarga Prita (keluarga pasien). Hal demikian jelas
merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5)
dan (6) Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang
menyatakan :

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasienharus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a.
Diagnosis dan tata cara tindakan medis, b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan, c.
Alternatif tindakan lain dan resikonya, d. Resiko dan kompilasi yang mungkin terjadi.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) diatur dengan
Peraturan Menteri. (IKAPI, 2004, hal.22-23).

Dakwaan jaksa penuntut umum tersebut, merupakan sebuah fakta adanya


penambahan pasal dari pasal yang dilaporkan dan pasal yang merupakan hasil
penyidikan di tingkat kepolisian. Penambahan pasal ini oleh sebagian orang dianggap
sebagai penyimpangan.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas antara lain adalah,
kebebasan berpendapat dalam UUD 1945 pasal 28 secara kontekstual memang
menjamin kebebasan berpendapat, akan tetapi kedudukannya tidak cukup kuat untuk
melindungi hak-hak ibu Prita ketika mengungkapkan komplain dan keluhan terhadap
pelayanan medis RS Omni Internasional di Tangerang. Di sisi lain, pasal tertentu
dalam UUD 1945 juga menjamin hak-hak individu di dalamnyastaf dokter di
rumah sakit bersangkutan. Hal ini karena pasal-pasal dalam UUD 1945 diinterpretasi
pada tiap individu yang berbeda menjadi saling bertentangan dan tidak relevan.

Anda mungkin juga menyukai