Oleh Kelompok 2 :
Haryanti (180203121)
BAB 1.
PENDAHULUAN
a. .LATAR BELAKANG.
Kesehatan merupakan hal yang penting bagi manusia. Karena tanpa kesehatan
yang baik manusia akan sulit untuuk melakukan aktifitasnya setiap hari. Sekarang ini
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat sehingga di
iringi juga dengan meningkatnya kesadaran terhadap haknya dalam pelayanan
kesehatan dan tindakan legal, maka isu legal etik muncul ketika perawatan menjadi
sesuatu hal yang bisa di tawar. Kemudian pada akhirnya menyebabkan seorang
pemberi kesehatan berada dalam pengawasan yang semakin ketat (potter
&perry,2005). Oleh karena itu perawat harus memberikan pelayanan kesehatan yang
maksimal, efektif, efisien, dan juga aman. Jika hal ini di abaikan, maka tidak menutup
kemungkinan masyarakat akanmengambil langkah hokum untuk menghadapinya.
b. TUJUAN
Menurut Morton & fontaine (2009) terdapat tiga area hokum yang
mempengaruhi praktik perawat keperawatan kritis, yaitu hokum administrasi, hokum
sipil, dan hukum pidana.
1. Hukum administrasi
Hukum administrasi adalah konsekuensi hokum dan regulasi Negara bagian
dan federal yang terkait dengan praktik perawat. Di Negara bagian terdapat
suatu badan legislasi yang berfungsi untuk mengukuhkan akta praktek
perawat.dalam tiap akta tersebut, praktik keperawatan di definisikan dan
kekuasaanya di delegasikan kepada lembaga Negara bagian yang di sebut
dengan state board of nursing. Lembaga ini berfungsi menyusun regulasi yang
mengatur mengenai bagaimana penafsiran dan implementasi dari akta praktek
perawat seharusnya.
2. Hukum sipil
Hukum sipil merupakan area kedua hokum yang mempengaruhi praktik
keperawatan. Salah satu area khusus hukum sipil, hukum kerugian
membentuk landasan dari sebagian besar kasus sipil yang melibatkan perawat
3. Hukum pidana
Area ketiga hokum yang relevan dengan praktik keperawatan adalah hokum
pidana. Berbeda dengan hokum sipil, dimana individu yang seteru menurut
individu yang lain, hokum pidana terdiri atas kasus tuntutan hokum yang di
ajukan oleh Negara bagian, pemerintah federal atau setempat terhadap
seorang perawat. Dalam hal ini yang termasuk kasus pidana adalah
penyerangan dan pemukulan, pembunuhan akibat kelalian, dan pembunuhan
murni.
Menurut hendrik (2011) pemberian hak atau ganti rugi merupakan upaya untuk
memberikan perlindungan bagi setiap orang atau suatu akibat yang timbul, baik fisik
maupun non fisik kalau terjadi kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Selain
tuntutan ganti kerugian dalam perkara perdata di mungkinkan pula di ajukan tuntutan
dalam perkara pidana apabila di duga tenaga kesehatan melakukan malpraktik.
a. Hukum pidana
- Menipu pasien (pasal 378 KUHP)
- Melakukan kealpaan sehingga menyebabkan kematian/luka (pasal
359,360,361 kuhp)
- Pelanggaran kesopanan (pasal 299,348,349,350 KUHP)
- Pengguguran (pasal 299,348,349,350 KUHP)
- Rahasia jabatan bocor (PASAL 322 KUHP)
- Sengaja membiarkan penderita tak tertolong (pasal 340 KUHP)
- Tidak memberi pertolongan kepada orang yang berada dalam bahaya maut
(pasal 531 KUHP)
b. hukum perdata
-Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUH perdata)
-Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUH perdata)
-Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (1366 KUH
perdata)
- Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab (pasal 1367 (3) KUH
perdata)
c. Hukum administrative
- Praktik tanpa izin
1. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau tidak
melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi kondisi
tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang di rasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi
pelayanan.
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya menurunkan “ proximate cause”
Kewajiban (duty)
Menurut Morton & Fontaine (2009), kewajiban adalah hubungan legal antara dua
pihak atau lebih. Kewajiban ini dapat timbul dari berbagai macam situasi. Pada ranah
keperawatan sendiri, kewajiban timbul akibat adanya hubungan kontrak antara pasien
dan fasilitas perawatan kesehatan. Dimana pasien sepakat untuk membayar layanan
perawatan kesehatan, sedangkan perawat wajib memberikan perawatan pada pasien
sebagaimana mestinya.
Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap bagian
dari proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian , diagnose, intervensi,
implementasi dan evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan
melakukan kelalaian.
Contoh kasus;
Seorang pasien yang di rawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan
chest tube pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan
monitoring pasien dari pukul 23.00 sampai pikul 03.00, ketika di lakukan
pengecekan kembali pada pukul 03.00 didapatkan keadaan pasien memburuk,
pasien mengalaami penurunan kesadaran, oksimetrik buruk, dan tanda-tanda
vital dalam keadaan jelek. Kemudian pasien mengalami henti nafas dan henti
jantung, dan kemudian segera di lakukan resusitasi pada pasien, namun
ternyata pasien tidak tertolong.
b. Planning failure
c. Implementation failure.
Contoh kasus ;
Penyebab (cause )
Cidera (damage)
Cedera adalah luka atau sesuatu yang membahayakan yang di dapatkan pasien kritis
saat menjalani perawatan dan biasanya cedera yang di dapatkan ini dihitung sebagai
kerugian material. Pasien harus membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh
perawat tidak sesuai dengan standart keperawatan sehingga menimbulkan luka atau
bahaya pada pasien. Oleh karena itu pasien berhak menerima kompensasi yang sesuai
Standart praktik keperawatan akut dan kritis menurut ANA (2004) yaitu ;
a. Pengkajian
b. Diagnose
c. Identifikasi hasil
d. Perencanaan
e. Implementasi
f. Evaluasi
MALPRAKTEK
a. Malpraktik dalam arti sempit yaitu tindakan yang dilakukannya secara sadar,
dengan tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau
bertindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah diketahuinya
itu melanggar undang-undang.
Secara garis besar, tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medic dapat
didakwakan pasal-pasal tertentu dalam KUH pidana yang relevan dengan
unsurtindak pidana yang di lakukannya, dengan demikian tindakan malprakyik tenaga
kesehatan dapat di kenakan selain sanksi administrative seperti pencabutan izin dan
sanksi perdata, dapat pula di kenakan sanksi pidana. Namun ketika perawat di gugat
untuk suatu kelalaian dikarenakan dianggap “mencederai” pasien pada saat
melaksanakan tugasnya, penggugat/pasien tidak bisa serta merta meminta ganti rugi
terkait injury tersebut, kecuali jika perawat memang mengakui bahwa ia melakukan
malpraktik yang menyebabkan pasien cidera.
Jika penggugat tidak dapat membuktikan setiap elemen, maka ini akan menjadi
hal yang sulit bagi penggugat untuk membuktikan kebenaran kasusnya.
WRONGFULL DEATH
Menurut urden (2010), wrongfull death maerpakan kematian pasien yang disebabkan
oleh kelalaian dari petugas kesehatan profesiaonal ataupun dari organisasi rumah
sakit tersebut.
Contoh kasus ;
Seorang pasien datang ke rumah sakit dengan diagnose copd stadium akhir,
hipoksemia,dan retensi karbondioksida dan memakai oksigen dengan nasal kanul.
Keadaan umum pasien sudah sangat buruk. Perawat datang dan langsung melepas
oksigen pasien dan memindahkan pasien tersebut keruang sebelah yang jaraknya
tidak terlalu jauh dari ruangan yang sekarang. Keluarga meminta agar oksigen tetap
di pasang, tetapi perawat mengatakan bahwa ruangannya sudah dekat. Setelah pasien
di pindahkan ke tempat tidur di ruangan yang baru,pasien didapati berhenti bernafas.
LIABILITAS PENGGANTI
Menurut Morton & Fontaine (2009), pada beberapa kasus seseorang atau
lembaga dapat dianggap bertangungjawab terhadap tuduhan orang lain atau lembaga
lain. Hal ini di sebut sebagai liabilitas pengganti.
Type liabilitas ;
1. Respondeat superior.
Doktrin ini merupakan teori legal utama yang menyatakan bahwa rumah sakit
bertanggungjawab terhadap kelalaiannya. Hal ini berdasarkan filosofi di
karenakan rumah sakit biasanya mendapatkan keuntungan dari pasien yang
mencari perawatan, apabila terjadi kelalaian rumah sakit harus membayar
beberapa kerugian yang ditimbulkan oleh pegawai tersebut.
2. Liabilitas perusahaan
3. Kelalaian pengawasan
4. Doktin nahkoda
Pada suatu waktu dokter dianggap sebagai nahkoda. Jadi perawat cenderung
mengikuti instruksi dari dokter. Namun konsep ini telah diganti dengan
konseplegal yang disebut aturan liability personal, yaitu dilandasi dengan
pendidikan, pengalaman, dan pelatihan diharapkan perawat dapat mengambil
keputusan yang baik. Jadi ketika mereka tidak yakin dengan kebenaran
instrikdi dokter, perawat dapat melakukan klarifikasi pada dokter tersebut.
Menurut urden (2010), hak untuk menyetujui dan informed consent didalamnya
mencakup penolakan treatment. Pada banyak kasus keputusan seseorang yang
dianggap kompeten untuk menolak perawatan, sekalipun perawatan ini di tujukan
untuk penyelamatan jiwa, namun hal ini tetap dihargai. Hak untuk menolak
perawatan tidak diterima pada beberapa situasi, mencakup di dalamnya ;
Pada saat pasien menolak suaru perawatan, masalah etik, legal, dan praktik
menjadi meningkat. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki kebijakan
spesifik terkait permasalahan tersebut.
Orang dewasa memiliki hak untuk menolak perawatan, meskipun tujuan dari
perawatan tersebut untuk mempertahankan kehidupan. Namun hal ini akan menjadi
masalah jika pasien tersebut kehilangan kompetensi/kemampuan untuk mengambil
keputusan yang bisa disebabkan karena semakin memburuknya kondisi pasien.
Namun dewasa ini rekomendasi perhentian terapi dapat diberikan oleh petugas
kesehatan pada kasus-kasus tertentu, yang menjadi permasalahnnya adalah ketika
keluarga tidak menyetujui dan ingin tetap melanjutkan terapi. Pemberi perawatan
kesehatan juga tidak mempunyai jalan legal untuk melawan keluarga yang menolak
mencabut bantuan hidup kecuali sebelumnya pasien sudah meninggalkan petunjuk
tertulis pada saat pasien masih kompeten (Morton & Fortaine, 2009)
2. Penggunaan kardiopulmonal
Menurut Morton & FONTAINE (2009), angka keberhasilan rjp pada pasien rawat
inap sangat bervariasi dan di pengaruhi oleh lingkungan pasien dan factor resusitatif.
Akan tetapi RJP tidak selalu tepat untuk dilakukan ke semua pasien,karena sifatnya
yang invasive dan dapat bermakna sebagai suatu pelanggaran hak individu untuk
meninggal secara bermartabat. Oleh karena itu rjp tidak bisa di indikasikan pada
pasien –pasien yang irreversible, penyakit yang terminal, dan saat pasien tidak
mendapat manfaat apapun dari tindakan ini.
Setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas mengenai DNR . menurut
urden (2011), aturan mengenai DNR tersebut harus diatur dalam suatu kebijakan
tertulis yang mencakup hal-hal dibwah ini :
- Perintah DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari dokter yang
lain.
KEMATIAN OTAK
Menurut Morton & fortaine (2012), paien yang mengalami kematian otak secara
legal telah meninggal, dan tidak ada kewajiban legal untuk memberikan terapi pada
pasien tersebut. Tidak di perlukan persetujuan hokum untuk mengehntikan bantuan
hidup pada seseorang yang mengalami kematian otak. Selanjutnya meskipun lebih
diharapkan mendapatkan ijin keluarga untuk menghentikan terapi pada pasien yang
mengalami kematian otak, namun tidak ada keharusan.
DONASI ORGAN
Menurut dewi (2008), hokum memandang transplantasi adalah suatu usaha yang
baik dan mulia didalam upaya menyehatkan dan menyejahterakan manusia, walaupun
jika dilihat dari tindakannya adalah tindakan melawan hokum berupa penganiayaan.
Ketentuan UU ini juga diperkuat oleh PP No 18 tahun 1981 tentang bedah mayat
klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat jaringan tubuh manusia. Di dalam
PP tersebut dijelaskan bahwa untuk melakukan transplantasi organ sebelumnya harus
ada informed consent, kemungkinan yang bisa terjadi, selain itu donasi organ
dilakukan tidak dengan tujuan komersil serta tidak boleh menerima atau mengirim
organ tubuh dari dan keluar negri
BAB 111
KESIMPULAN
Sekarang ini kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya dalam pelayanan
kesehatan dan tindakan legal semakin meningkat. Hal ini berarti pengawasan
terhadap perawat selaku pemberi pelayanan kesehatan akan semakin meningkat.
Banyak isu-isu yang terkait dengan aspek legal, khusunya dalam keperawatan
kritis dan gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan
kelelahan perawat maupun isu yang terkait bantuan hidup pada pasien.
Oleh karena itu penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu menjalankan
peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan strandart keperawatan
dan lebij memahami ataupun meningkatkan pengetahuannya terkait isu yang
berkaitan dengan aspek legal, khususnya pada ranah keperawatan kritis maupun
keperawatan gawat darurat. Sehungga perawat kritis dapat menghindari timbulnya
permasalahan hukum yang memang rentan sekali di dunia kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Hyde, Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding
Legal Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing Science University of
Pretoria diakses melalui http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007
123802/unrestricted/dissertation.pdf pada tanggal 16 Mei 2013.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat
anatomis, dan transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia
Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, proses, dan praktik
Ed.4. Jakarta : EGC
Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis :
Mosby