Anda di halaman 1dari 17

ISU END OF LIFE KEPERAWATAN KRITID DARI LEGAL ETIK

UNTUK MEMENUHI TUGAS

MATA KULIAH KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pengampu : Topan heri wibowo,S,Kep,Ns.MAN

Oleh Kelompok 2 :

Faizal mutaqin (180203118)

Gali raka siwi (180203119)

Hanif adnan rizani (180203120)

Haryanti (180203121)

Hayyud dinal haqi (180203122)

Isnaeni khasanah (180203124)

Lutfiani barkah priyati (180203125)

Muhamad galang pratama (180203126)

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN S1 (2019)


ISSUE END OF LIFE DI KEPERAWATAN KRITIS DARI SISI LEGAL ETIK

BAB 1.
PENDAHULUAN

a. .LATAR BELAKANG.

Kesehatan merupakan hal yang penting bagi manusia. Karena tanpa kesehatan
yang baik manusia akan sulit untuuk melakukan aktifitasnya setiap hari. Sekarang ini
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat sehingga di
iringi juga dengan meningkatnya kesadaran terhadap haknya dalam pelayanan
kesehatan dan tindakan legal, maka isu legal etik muncul ketika perawatan menjadi
sesuatu hal yang bisa di tawar. Kemudian pada akhirnya menyebabkan seorang
pemberi kesehatan berada dalam pengawasan yang semakin ketat (potter
&perry,2005). Oleh karena itu perawat harus memberikan pelayanan kesehatan yang
maksimal, efektif, efisien, dan juga aman. Jika hal ini di abaikan, maka tidak menutup
kemungkinan masyarakat akanmengambil langkah hokum untuk menghadapinya.

Menurut Morton 7 fontaine (2009), kepekaan dan kesadaran hokum masyarakat


yang telah semakin meningkat saat ini di banding sebelumnya menjadikan isu legal
yang melibatkan perawatan kritis merupakan masalah yang semakin banyak muncul.
Seorang pasien memiliki hak legal dalam menerima pelayanan kesehatan yang aman
dan kompeten. Hak legal adalah segala hak seseorang yang di akui secara hokum,
pada saat ini jumlah tuntutan malpraktik yang menyebut dan melibatkan perawat
semakin banyak terjadi.

b. TUJUAN

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas konsep dasar


keperawatan kritis mengenai isu berkaitan dengan aspek legal dalam keperawatan
kritis.
BAB 11
ISI MATERI

a. TINJAUAN TERHADAP AREA UTAMA HUKUM

Menurut Morton & fontaine (2009) terdapat tiga area hokum yang
mempengaruhi praktik perawat keperawatan kritis, yaitu hokum administrasi, hokum
sipil, dan hukum pidana.

1. Hukum administrasi
Hukum administrasi adalah konsekuensi hokum dan regulasi Negara bagian
dan federal yang terkait dengan praktik perawat. Di Negara bagian terdapat
suatu badan legislasi yang berfungsi untuk mengukuhkan akta praktek
perawat.dalam tiap akta tersebut, praktik keperawatan di definisikan dan
kekuasaanya di delegasikan kepada lembaga Negara bagian yang di sebut
dengan state board of nursing. Lembaga ini berfungsi menyusun regulasi yang
mengatur mengenai bagaimana penafsiran dan implementasi dari akta praktek
perawat seharusnya.
2. Hukum sipil
Hukum sipil merupakan area kedua hokum yang mempengaruhi praktik
keperawatan. Salah satu area khusus hukum sipil, hukum kerugian
membentuk landasan dari sebagian besar kasus sipil yang melibatkan perawat
3. Hukum pidana
Area ketiga hokum yang relevan dengan praktik keperawatan adalah hokum
pidana. Berbeda dengan hokum sipil, dimana individu yang seteru menurut
individu yang lain, hokum pidana terdiri atas kasus tuntutan hokum yang di
ajukan oleh Negara bagian, pemerintah federal atau setempat terhadap
seorang perawat. Dalam hal ini yang termasuk kasus pidana adalah
penyerangan dan pemukulan, pembunuhan akibat kelalian, dan pembunuhan
murni.

Di Indonesia pengaturan sanksi pidana secara umum di atur dalam bebarapa


pasal pada KUH pidana dan pengaturan secara khusus dapat di jumpai pada pasal
190-200 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Oleh sebab itu undang-undan
kesehatan memungkinkan diajukannya tuntutan kepada tenaga kesehatan yang
melakukan kesalahan atau kelalaian ketika menjalankan tugas pelayanan kesehatan.
Tuntutan itu dapat berupa gugatan untuk membayar ganti rugi kepada korban atau
keluarganya.
Adapun dasar peraturan yang terdapat dalam undang-undan tentang kesehatan
yaitu pasal 58 ayat (1) yang berbunyi “ setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang di terimanya”.

Menurut hendrik (2011) pemberian hak atau ganti rugi merupakan upaya untuk
memberikan perlindungan bagi setiap orang atau suatu akibat yang timbul, baik fisik
maupun non fisik kalau terjadi kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Selain
tuntutan ganti kerugian dalam perkara perdata di mungkinkan pula di ajukan tuntutan
dalam perkara pidana apabila di duga tenaga kesehatan melakukan malpraktik.

Berikut contoh praktik medis pada masing-masing bidang hokum di Indonesia ;

a. Hukum pidana
- Menipu pasien (pasal 378 KUHP)
- Melakukan kealpaan sehingga menyebabkan kematian/luka (pasal
359,360,361 kuhp)
- Pelanggaran kesopanan (pasal 299,348,349,350 KUHP)
- Pengguguran (pasal 299,348,349,350 KUHP)
- Rahasia jabatan bocor (PASAL 322 KUHP)
- Sengaja membiarkan penderita tak tertolong (pasal 340 KUHP)
- Tidak memberi pertolongan kepada orang yang berada dalam bahaya maut
(pasal 531 KUHP)

b. hukum perdata
-Melakukan wanprestasi (pasal 1239 KUH perdata)
-Melakukan perbuatan melanggar hukum (pasal 1365 KUH perdata)
-Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (1366 KUH
perdata)
- Melalaikan pekerjaan sebagai penanggungjawab (pasal 1367 (3) KUH
perdata)
c. Hukum administrative
- Praktik tanpa izin

b. KELALAIAN KEPERAWATAN DALAM KEPERAWATAN KRITIS


Kasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatan dalam praktek keperawatan, kasus
seperti ini berkembang dengan pesat seiring perkembangan ilmu maupun kemajuan
teknologi dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya dalam ranah praktek
keperawatan kritis.

Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan bahwa suatu


perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat unsur
yaitu ;

1. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau tidak
melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi kondisi
tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang di rasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi
pelayanan.
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya menurunkan “ proximate cause”

Kewajiban (duty)

Menurut Morton & Fontaine (2009), kewajiban adalah hubungan legal antara dua
pihak atau lebih. Kewajiban ini dapat timbul dari berbagai macam situasi. Pada ranah
keperawatan sendiri, kewajiban timbul akibat adanya hubungan kontrak antara pasien
dan fasilitas perawatan kesehatan. Dimana pasien sepakat untuk membayar layanan
perawatan kesehatan, sedangkan perawat wajib memberikan perawatan pada pasien
sebagaimana mestinya.

Seorang perawat perawatan kritis bertanggungjawab secara legal dalam merawat


pasien dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal memberikan perawatan
sebagaimana mestinya sesuai dengan kondisi pasien, perawat tersebut dianggap
melaukan pelanggaran pada kewajibannya.

Menurut Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap bagian
dari proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian , diagnose, intervensi,
implementasi dan evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan
melakukan kelalaian.

Contoh kasus kelalaian yang dilakukan oleh seorang perawat kritis ;


a. Assessment failure

Yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam mengkaji


maupun menganalisa data maupun informasi mengenai pasien seperti tand-
tanda vital, pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan utama pasien

Contoh kasus;

Seorang pasien yang di rawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan
chest tube pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan
monitoring pasien dari pukul 23.00 sampai pikul 03.00, ketika di lakukan
pengecekan kembali pada pukul 03.00 didapatkan keadaan pasien memburuk,
pasien mengalaami penurunan kesadaran, oksimetrik buruk, dan tanda-tanda
vital dalam keadaan jelek. Kemudian pasien mengalami henti nafas dan henti
jantung, dan kemudian segera di lakukan resusitasi pada pasien, namun
ternyata pasien tidak tertolong.

b. Planning failure

Yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam menentukan


perencanaan keperawatan yang berkaitan juga kegagalan dalam menentukan
diagnose yang tepat.

c. Implementation failure.

Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan pihak


lain yang terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan tindakan yang
tepat terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan pendokumentasian
terhadap hasil pengkajian, intervensi, maupun respon pasien terhadap
intervensi yang di berikan, serta kegagalan untuk menjaga privasi pasien.

Contoh kasus ;

Seorang wanita mengalami kejang di rumahnya, kemudian oleh suaminya


segera dibawa ke rumah sakit. Sesampainya di igd pasien di berikan
penanganan pertama yaitu memberikan obat antu kejang dan memastikan
jalan nafas bersih, kemudian perawat meninggalkan pasien tanpa memasang
side rail. Tiba-tiba pasien mengalami kejang berulang, suaminya berusaha
untuk menolong dengan memeganginyta, namum pasien tetap terjatuh dari
tempat tidur ysng mengakibatkan fraktur pada tulang bagian wajahnya.
d. Evaluation failure

Evaluation failure mencakup kegagalan dalam melaksanakan fungsi dan peran


perawat sebagai advokat. Saat pasien masuk dan dirawat hingga pasien
pulang. Perawat memiliki peran sebagai seorang advokat. Perawat
bertanggungjawab untuk mengevaulasi perawatan yang di berikan kepada
pasien.

Pelanggaran kewajiban (breach of duty)

Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk bertindak secara konsisten sesuai


standart perawatan (urden, 2010).

Penyebab (cause )

Menurut Morton & fortaine (2012). Hokum malpraktek juga mencantumkan


keharusan adanya hubungan kausal antara perilaku perawat, perawatan kritis dan
cedera yang terjadi pada pasien . cedera yang di derita pasien tersebut semestinya
harus dapat di cegah.

Cidera (damage)

Cedera adalah luka atau sesuatu yang membahayakan yang di dapatkan pasien kritis
saat menjalani perawatan dan biasanya cedera yang di dapatkan ini dihitung sebagai
kerugian material. Pasien harus membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh
perawat tidak sesuai dengan standart keperawatan sehingga menimbulkan luka atau
bahaya pada pasien. Oleh karena itu pasien berhak menerima kompensasi yang sesuai

STANDART PRAKTEK KEPERAWATAN AKUT DAN KRITIS

Standart praktik keperawatan akut dan kritis menurut ANA (2004) yaitu ;

a. Pengkajian

b. Diagnose

c. Identifikasi hasil

d. Perencanaan
e. Implementasi

f. Evaluasi

MALPRAKTEK

Menurut Guwandi (2004) malpraktik mempunyai arti lebih luas di bandingkan


dengan kelalaian, karena dalam malpraktek selain tindakan yang termasuk dalam
kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kesenjangan dan
melanggar undang-undang. Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja merupakan
bentuk malpraktik murni yang termasuk dalam criminal malpractice.

Guwandi (2004) juga mengemukakan perbedaan antara malpraktik dam kelalaian


dapat dilihat dari motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut yaitu ;

a. Malpraktik dalam arti sempit yaitu tindakan yang dilakukannya secara sadar,
dengan tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau
bertindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah diketahuinya
itu melanggar undang-undang.

b. Kelalaian ; petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari


tindakannya. Akibat yang terjadi adalah diluar dari kehendak petindak dan
tidak ada motif dari petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.

Secara garis besar, tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medic dapat
didakwakan pasal-pasal tertentu dalam KUH pidana yang relevan dengan
unsurtindak pidana yang di lakukannya, dengan demikian tindakan malprakyik tenaga
kesehatan dapat di kenakan selain sanksi administrative seperti pencabutan izin dan
sanksi perdata, dapat pula di kenakan sanksi pidana. Namun ketika perawat di gugat
untuk suatu kelalaian dikarenakan dianggap “mencederai” pasien pada saat
melaksanakan tugasnya, penggugat/pasien tidak bisa serta merta meminta ganti rugi
terkait injury tersebut, kecuali jika perawat memang mengakui bahwa ia melakukan
malpraktik yang menyebabkan pasien cidera.

Menurut Ashley (2003), elemen-elemen dari kelalaian harus di buktikan oleh


penggugat/pasien. Dengan kata lain penggugat memiliki kewajiban untuk
membuktikan bahwa pernyataannya adalah benar.

Elemen yang harus di buktikan oleh penggugat/pasien yaitu :


1. Penggugat harus menunjukan bahwa perawat memiliki kewajiban terhadap
penggugat.

2. Jika penggugat mampu menunjukan kewajiban dari perawat tersebut,


penggugat harus mampu menggambarkan standart perawatan.

3. Jika penggugat mampu menggambarkan standart perawatan, penggugat harus


mampu menunjukan bahwa terjadi pelanggaran dari standart perawatan
tersebut

4. Meskipun pelanggaran mampu ditunjukan penggugat harus mampu


membuktikan bahwa pelanggaran ini menyebabkan cidera terhadap penggugat

5. Ketika penggugat membuktikan bahwa pelanggaran menyebabkan sedera,


penggugat harus mampu membuktikan bahwa timbul berbagai macam
kerugian dikarenakan pelanggaran dari kewajiban tersebut.

Jika penggugat tidak dapat membuktikan setiap elemen, maka ini akan menjadi
hal yang sulit bagi penggugat untuk membuktikan kebenaran kasusnya.

INFORMED CONSENT (PERSETUJUAN TINDAKAN)

Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis terhadap suatu


hal yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent dinyatakan valid jika
memenuhi tiga element yaitu ; pasien harus kompeten atau sadar untuk menyetujui,
pasien yang haryus diberikan informasi yang adekuat sehingga mampu mengambil
keputusan, dan pasien pada saat pengambilan keputusan harus bebas dari ancaman
atau paksaan (khan, Haneef, 2010)

Menurut kepmenkes nomor 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan


kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran
fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami penyakit mental
sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.

WRONGFULL DEATH

Menurut urden (2010), wrongfull death maerpakan kematian pasien yang disebabkan
oleh kelalaian dari petugas kesehatan profesiaonal ataupun dari organisasi rumah
sakit tersebut.
Contoh kasus ;

Seorang pasien datang ke rumah sakit dengan diagnose copd stadium akhir,
hipoksemia,dan retensi karbondioksida dan memakai oksigen dengan nasal kanul.
Keadaan umum pasien sudah sangat buruk. Perawat datang dan langsung melepas
oksigen pasien dan memindahkan pasien tersebut keruang sebelah yang jaraknya
tidak terlalu jauh dari ruangan yang sekarang. Keluarga meminta agar oksigen tetap
di pasang, tetapi perawat mengatakan bahwa ruangannya sudah dekat. Setelah pasien
di pindahkan ke tempat tidur di ruangan yang baru,pasien didapati berhenti bernafas.

Dari kasus tersebut menunjukan kelalaian perawat karena melakukan


pemindahan pasien tanpa memasang kanul oksigen dimana perawat tersebut
mengabaikan keadaan umum pasien dalam halyang sangat mendasar dari kebutuhan
dasar manusia yaitu oksigenasi. Oleh karena itu untuk menghuindari liabilitas
wrongfull death, penting sekali bagi perawat untuk memperhatikan keadaan akut dan
kritis dari pasien, mengenali tanda dan gejala dari komplikasi ataupun sesuatu yang
membahayakan pasien, dan kewenangan untuk melindungi pasien (urdin,2010)

LIABILITAS PENGGANTI

Menurut Morton & Fontaine (2009), pada beberapa kasus seseorang atau
lembaga dapat dianggap bertangungjawab terhadap tuduhan orang lain atau lembaga
lain. Hal ini di sebut sebagai liabilitas pengganti.

Type liabilitas ;

1. Respondeat superior.

Doktrin ini merupakan teori legal utama yang menyatakan bahwa rumah sakit
bertanggungjawab terhadap kelalaiannya. Hal ini berdasarkan filosofi di
karenakan rumah sakit biasanya mendapatkan keuntungan dari pasien yang
mencari perawatan, apabila terjadi kelalaian rumah sakit harus membayar
beberapa kerugian yang ditimbulkan oleh pegawai tersebut.

2. Liabilitas perusahaan

Liabilitas perusahaan berlaku pada saat rumah skait dianggap


bertanggungjawab terhadap tindakan yang tidak semestinya. Contohnya
apabila ditemukan sebuah unit sangat tidak memadai keadaan staffnya
sehingga menimbulkan pasien cedera, rumah sakit dianggap
bertanggungjawab. Liabilitas perusahaan dapat juga terjadi pada situasi yang
mengambang, seorang perawat yang bekerja di tatanan perawatan kritis harus
memiliki kompetensi untuk melakukan penilaian segera bertindak pada
keputusan tersebut, apabila ada seorang perawat yang tidak mempunyai
pengetahuan dan pengalaman di ruang perawatan kritis dengan baik, maka
akan di lakukan rotasi.

3. Kelalaian pengawasan

Kelalaian pengawasan dikalain saat seorang penyelia gagal mengawasi


bawahannya. Contohnya jika ada seorang perawat yang baru dirotasi ke ruang
perawatan kritis oleh kepala ruangan di perintah untyuk melakukan tindakan
keperawatan dan pada akhirnya menimbulkan cedera pada psien. Maka yang
bertabggungjawab disini adalah kepala ruangan tersebut karena kelalaian
pengawasan.

4. Doktin nahkoda

Pada suatu waktu dokter dianggap sebagai nahkoda. Jadi perawat cenderung
mengikuti instruksi dari dokter. Namun konsep ini telah diganti dengan
konseplegal yang disebut aturan liability personal, yaitu dilandasi dengan
pendidikan, pengalaman, dan pelatihan diharapkan perawat dapat mengambil
keputusan yang baik. Jadi ketika mereka tidak yakin dengan kebenaran
instrikdi dokter, perawat dapat melakukan klarifikasi pada dokter tersebut.

C. ISU YANG MELIBATKAN TINDAKAN BANTUAN HIDUP

HAK UNTUK MENOLAK PERAWATAN MEDIS

Menurut urden (2010), hak untuk menyetujui dan informed consent didalamnya
mencakup penolakan treatment. Pada banyak kasus keputusan seseorang yang
dianggap kompeten untuk menolak perawatan, sekalipun perawatan ini di tujukan
untuk penyelamatan jiwa, namun hal ini tetap dihargai. Hak untuk menolak
perawatan tidak diterima pada beberapa situasi, mencakup di dalamnya ;

1. Perawatan berhubungan dengan penyakit menular yang dapat mengancam


kesehatan public

2. Penolakan untuk melanggar standart etik


3. Treatment harus diberikan, untuk mencegah pasien bunuh diri dan
mempertahankan kehidupan.

Pada saat pasien menolak suaru perawatan, masalah etik, legal, dan praktik
menjadi meningkat. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki kebijakan
spesifik terkait permasalahan tersebut.

PENAHANAN ATAU PENGAKHIRAN TERAPI (WITHHOLDING AND


WITHDRAWING TREATMENT)

Orang dewasa memiliki hak untuk menolak perawatan, meskipun tujuan dari
perawatan tersebut untuk mempertahankan kehidupan. Namun hal ini akan menjadi
masalah jika pasien tersebut kehilangan kompetensi/kemampuan untuk mengambil
keputusan yang bisa disebabkan karena semakin memburuknya kondisi pasien.
Namun dewasa ini rekomendasi perhentian terapi dapat diberikan oleh petugas
kesehatan pada kasus-kasus tertentu, yang menjadi permasalahnnya adalah ketika
keluarga tidak menyetujui dan ingin tetap melanjutkan terapi. Pemberi perawatan
kesehatan juga tidak mempunyai jalan legal untuk melawan keluarga yang menolak
mencabut bantuan hidup kecuali sebelumnya pasien sudah meninggalkan petunjuk
tertulis pada saat pasien masih kompeten (Morton & Fortaine, 2009)

ADVANCE DIRECTIVES ; LIVING WILL AND POWER OF ATTORNEY

Menurut (Richard, 2011), advance directive merupakan instruksi spesifik yang


dipersiapkan pada penyakit serius yang sudah lanjut. Dimaksudkan untuk menuntun
pelayanan kesehatan berdasarkan keinginan pasien jika suatu saat pasien tidak
kompeten/mampu lagi untuk menyatakan pilihan atau mengambil keputusan tersebut
seperti ;

1. Penggunaan cairan intravena dan pemberian nutrisi secara parental

2. Penggunaan kardiopulmonal

3. Penggunaan untuk upaya penyelamatan hidup ketika kemampuan pasien


mengalami gangguan, missal ; kerusakan otak,demensia, ataupun stroke

4. Prosedur spesifik, contoh ; transfuse darah


Advance directives diantaranya meliputi living will dan power of attorney.
Menurut Morton (2012) loving will merupakan bentuk arahan tertulis dari seorang
pasien yang kompeten pada keluarga dan anggota tim perawatan kesehatan mengenai
keinginan pasien apabila pasien tidak dapat lagi menyatakan keinginannya.
Sedangkan power of attorney merupakan dokumen legal dimana pasien menunjuk
orang yang diberi tanggungjawab dan diberi kekuatan untuk membuat keputusan
mengenai pelayanan kesehatan jika pasien sudah tidak dapat lagi membuat keputusan
dan tidak dapat berkomunikasi lagi. Perawat kritis harus mampu menjelaskan sebaik-
baiknya kepada pasien dan keluarga terkait living will maupun power of attorney dan
dalam hal ini perawat dapat berperan sebagai advokat pasien.

INSTRUKSI JANGAN MERESUSITASI ( DNR)

Menurut Morton & FONTAINE (2009), angka keberhasilan rjp pada pasien rawat
inap sangat bervariasi dan di pengaruhi oleh lingkungan pasien dan factor resusitatif.
Akan tetapi RJP tidak selalu tepat untuk dilakukan ke semua pasien,karena sifatnya
yang invasive dan dapat bermakna sebagai suatu pelanggaran hak individu untuk
meninggal secara bermartabat. Oleh karena itu rjp tidak bisa di indikasikan pada
pasien –pasien yang irreversible, penyakit yang terminal, dan saat pasien tidak
mendapat manfaat apapun dari tindakan ini.

Setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas mengenai DNR . menurut
urden (2011), aturan mengenai DNR tersebut harus diatur dalam suatu kebijakan
tertulis yang mencakup hal-hal dibwah ini :

- Perintah DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang


bertanggungjawab

- Perintah DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari dokter yang
lain.

- Kebijakan DNR harus di tinjau ulang secara berkala

- Pada pasien yang tidak emiliki kemampuan, dapat diwakilkan oleh


keluarganya.

KEMATIAN OTAK
Menurut Morton & fortaine (2012), paien yang mengalami kematian otak secara
legal telah meninggal, dan tidak ada kewajiban legal untuk memberikan terapi pada
pasien tersebut. Tidak di perlukan persetujuan hokum untuk mengehntikan bantuan
hidup pada seseorang yang mengalami kematian otak. Selanjutnya meskipun lebih
diharapkan mendapatkan ijin keluarga untuk menghentikan terapi pada pasien yang
mengalami kematian otak, namun tidak ada keharusan.

Di Indonesia sendiri kematian otak diatur dalam UU kesehatan no 36 tahun2009


yang berbunyi “ seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi
dan system pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian
batang otak telah dibuktikan.

DONASI ORGAN

Menurut dewi (2008), hokum memandang transplantasi adalah suatu usaha yang
baik dan mulia didalam upaya menyehatkan dan menyejahterakan manusia, walaupun
jika dilihat dari tindakannya adalah tindakan melawan hokum berupa penganiayaan.

Donasi organ diindonesia di atur dalam UU kesehatan no 36 tahun 2009. Dalam


UU ini dijelaskan bahwa tubuh yang telah mengalami mati batang otak dapat
dilakukan tindakan pemanfaatan organ untuk kepentingan transplantasi organ.
Tindakan transplantasi organ dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang
untuk dikomersilkan.

Ketentuan UU ini juga diperkuat oleh PP No 18 tahun 1981 tentang bedah mayat
klinis, bedah mayat anatomis, dan transplantasi alat jaringan tubuh manusia. Di dalam
PP tersebut dijelaskan bahwa untuk melakukan transplantasi organ sebelumnya harus
ada informed consent, kemungkinan yang bisa terjadi, selain itu donasi organ
dilakukan tidak dengan tujuan komersil serta tidak boleh menerima atau mengirim
organ tubuh dari dan keluar negri

BAB 111

KESIMPULAN
Sekarang ini kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya dalam pelayanan
kesehatan dan tindakan legal semakin meningkat. Hal ini berarti pengawasan
terhadap perawat selaku pemberi pelayanan kesehatan akan semakin meningkat.

Banyak isu-isu yang terkait dengan aspek legal, khusunya dalam keperawatan
kritis dan gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan
kelelahan perawat maupun isu yang terkait bantuan hidup pada pasien.

Oleh karena itu penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu menjalankan
peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan strandart keperawatan
dan lebij memahami ataupun meningkatkan pengetahuannya terkait isu yang
berkaitan dengan aspek legal, khususnya pada ranah keperawatan kritis maupun
keperawatan gawat darurat. Sehungga perawat kritis dapat menghindari timbulnya
permasalahan hukum yang memang rentan sekali di dunia kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ake, J (2003). Malpraktek dalam Keperawatan. Jakarta : EGC


Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty,
progressive, and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73

Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia

Hendrik. (2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC

Hyde, Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding
Legal Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing Science University of
Pretoria diakses melalui http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007
123802/unrestricted/dissertation.pdf pada tanggal 16 Mei 2013.

Iwanowski, Piotr S. (2007). Informed Consent Procedure For Clinical Trials in


Emergency Settings : The Polish Perspective. Science English Ethics Vol 13
pp : 333-336

Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran

Khan,M.Kaleem, Hanif, Shaukat A. (2010). Self Autonomy and Informed Consent In


Clinical Setup. Indian Journal of Medical Science Vol 64 No. 8

Morton, Fontaine. (2009). Critical Care Nursing : A Holistic Approach.


LippincotWilliams & Wilkins.

Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat
anatomis, dan transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia

Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, proses, dan praktik
Ed.4. Jakarta : EGC

Richard. (2011). Advances Directives (Living wills). Diakses dari


http://www.patient.co.uk/doctor/advances-directives-living-wills pada tanggal
15 Mei 2013.

Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Urden et al. (2010). Critical Care Nursing : Diagnosis and Management. St.Louis :
Mosby

Anda mungkin juga menyukai