Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

EVIDENCE BASED PRACTICE PADA KEPERAWATAN BENCANA

Disusun untuk memenuhi tugas mata Kuliah Manajemen Bencana


Dosen Pengampu: Kusniawati, S.Kep, Ners, M.Kep

DISUSUN OLEH
Kelompok 3:
Irwan Setiawan (P27905118011)
Jenni Astri Desista Br Tambunan (P27905118012)
Julfianas bekti wahyuni (P27905118013)
Khairunnisa bakhitah (P27905118014)
Komarudin (P27905118015)

POLTEKKES KEMENKES BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas
Manajemen Bencana yang diampu oleh Ibu Kusniawati, S.Kep, Ners, M.Kep.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Tangerang, 18 September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Tujuan..................................................................................................... 1
BAB II (PEMBAHASAN)
A. Definisi Evidance Based Practice (EBP)................................................ 2
B. Hierarki Evidance Based Practice (EBP)............................................... 2
C. Bencana................................................................................................... 3
D. Penanggulangan Bencana....................................................................... 3
E. Organisasi Penanggulangan Bencana..................................................... 5
F. Alur Penanggulangan Bencana............................................................... 6
G. Evidance Based Practice......................................................................... 6
BAB III (PENUTUP)
3.1 Kesimpulan.............................................................................................10
3.2 Saran.......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane
menegaskan perlunya mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan
bukti-bukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu berbagai istilah
digunakan terkait dengan evidence base, diantaranya evidence base
medicine (EBM), evidence base nursing (EBN), dan evidence base
practice (EBP). Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya untuk
mengambil keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan
valid. Oleh karena itu EBP merupakan jalan untuk mentransformasikan
hasil penelitian ke dalam praktek sehingga perawat dapat meningkatkan
“quality of care” terhadap pasien.
Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang
dapat digunakan dalam praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan
evidence atau fakta.. Penggunaan evidence base dalam praktek akan
menjadi dasar scientific dalam pengambilan keputusan klinis sehingga
intervensi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan.
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang
sangat luas dan terletak pada posisi silang antara dua benua besar dan dua
samudera besar, Indonesia juga berada di atas lempeng benua yang masih
aktif serta Indonesia adalah negara yang masih dijejeri oleh barisan
gunung api yang masih aktif, sehingga Indonesia sering sekali disapa
dengan negara yang sangat akrab dengan bencana. Kondisi geografis
Negara Indonesia itulah yang merupakan faktor penyebab kerentanan
Indoensia terhadap bencana.
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui cara penanggulangan
bencana dan evidence based practice (EBP) pada penggulangan bencana

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Evidance Based Practice (EBP)


Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP)
adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan
menggunakan bukti (berbasis bukti) yang  berhubungan dengan
keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun pengambilan
keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008).
Menurut Institute of Medicine dalam Glasner (2010) Evidence
Based adalah integrase hasil penelitian berdasarkan bukti ilmiah
dengan keahlian klinis dan nilai nilai pasien.
B. Hierarki Evidance Based Practice (EBP)
Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hieraraki dari tingkat
kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tingi.
Dibawah ini mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi :
- Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temuai sehari-hari
- Studi kasus
- Studi lapangan atau laporan deskriptif
- Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara
acak (random)
- Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu kelompok
pembanding, dan menggunakan sampel secara acak
- Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa yaitu
pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat kepercayaan
yang tinggi.

2
C. Bencana
UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Sementara
Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana
dalam formulasi “The serious disruption of the functioning of society,
causing widespread human, material or environmental losses, which
exceed the ability of the affected communities to cope using their own
resources” (Abarquez & Murshed, 2004).
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek
dasar, yaitu:
a. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan
merusak (hazard).
b. Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan,
penghidupan, dan fungsi dari masyarakat.
c. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui
kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya
mereka.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya
peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan
kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi
masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi
sendiri peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi
masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang mengancam
maka tidak akan terjadi bencana.
D. Penanggulangan Bencana
Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana
mulai muncul pada dekade 1900-1999 yang dicanangkan sebagai

3
Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Beberapa
konferensi tingkat dunia diinisiasi oleh United Nations International
Strategy or Disaster Risk Reduction (UN-ISDR) yang merupakan
salah satu badan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang ditugaskan
untuk mengawal Dekade Pengurangan RisikoBencana Internasional.
Menutut Carter dalam Hadi Purnomo tahun 2010, mendefinisikan
pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan
(aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis
bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait
dengan preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan,
respon darurat dan pemulihan. Sehingga menurutnya, tujuan dari
Manajemen Bencana tersebut diantaranya, yaitu mengurangi atau
menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa yang
dialami oleh perorangan, masyarakat negara, mengurangi penderitaan
korban bencana, mempercepat pemulihan, dan memberikan
perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang kehilangan
tempat ketika kehidupannya terancana.
Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana terdapat Ketentuan Umum yang
mendefinisikan penyelenggaraan Penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan
yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahaan bencana,
tanggap darurat dan rehabilitasi. Undang-Undang No. 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana dalam Pasal 1 ayat (6) menyebutkan
bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,
dan rehabilitasi. Dalam Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa asas-asas
penanggulangan bencana, yaitu kemanusiaan, keadilan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keseimbangan,
keselarasan, dan keserasian, ketertiban dan kepastian hukum,

4
kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Pada pasal 5, dinyatakan bahwa pelaksanaan penanggulangan bencana
ini membutuhkan Rencana Penanggulangan Bencana yang disusun
pada situasi tidak terjadi bencana. Diamanatkan kembali pada pasal 6
bahwa setiap Provinsi wajib menyusun Rencana Penanggulangan
Bencana. Sebagaimana UU No. 24 tahun 2007, Peraturan Kepala
Badan Penanggulangan Bencana Nomor 04 tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana juga
menyebutkan bahwa penanggulangan bencana terdiri dari beberapa
fase, yaitu fase pencegahan dan mitigasi, fase kesiapsiagaan, fase
tanggap darurat dan fase pemulihan.
E. Organisasi Penanggulangan Bencana
Berikut ini merupakan organisasi penanggulangan bencana:
1. Tingkat Nasional  Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana
2. Tingkat Propinsi Satuan Koordinasi Penanggulangan Bencana
3. Tingkat Kabupaten  Satuan Laksana Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana memerlukan manajemen pada tahapannya, yaitu:
1. Tahap Persiapan (Preparedness)
a. Pengembangan SPGDT
b. Pengembangan SDM
c. Pengembangan Sub sistem Komunikasi
d. Pengembangan Sub sistem Transportasi
e. Latihan Gabungan
f. Kerjasama lintas sektor
2.   Tahap Akut (Acute response)
a.   Rescue – triage
b. Acute medical response
c. Emergency relief

5
d. Emergency rehabilitation
F. Alur Penanggulangan Bencana
Berikut ini merupakan alur pelayanan medis di lapangan pada
penanggulangan bencana:
Dalam hal ini rumah sakit harus sanggup memberi pelayanan
secara cepat, tepat, cermat, nyaman, dan terjangkau untuk mencegah
kematian dan kecacatan. Berikut ini label triage dan keterangan
tindakan yang harus dilakukan:
1. Merah Segera Ditanggulangi terlebih dahulu
a. Mengancam Jiwa
b. Cacat 
2. KuningBoleh Ditangguhkan
a. Keadaan tidak mengancam Jiwa
b. Segera ditangani bila yangmengancam Jiwa sudah teratasi
3. Hijau Boleh ditunda & Rawat Jalan
Tidak Membahayakan Jiwa
4. Hitam Boleh Diabaikan & Ditinggalkan
a. Diurus paling akhir
b. Sudah tidak ada tanda-tanda vital
c. Usaha-usaha pertolongan amat sangat kecil
keberhasilannya
G. Evidance Based Practice
penggunaan istilah perspektif yang digunakan dalam tulisan ini
adalah suatu cara bagaimana dan mengapa individu memberikan
penilaian terhadap bencana begitu juga potensi kerusakan yang
ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan upaya pemenuhan hak keadilan
sosial kepada masyarakat untuk mengetahui informasi kebencanaan
secara akurat dan mendetail. Pemenuhan hak tersebut menjadi penting
utamanya dalam mengkonstruksikan bencana tersebut karena isu
penanggulangan bencana sendiri tidak terlepas dari tiga premis utama

6
yakni kekuasaan (power), keadilan (justice), dan legitimasi kekuasaan
(legitimacy).
Salah satu faktor riil yang bisa menjelaskan premis tersebut adalah
tragedy of the commons(tragedi kebersamaan). Tragedi ini merujuk
pada suatu peristiwa dimana lingkungan alam menjadi rusak karena
ulah kerakusan manusia.
Faktor riil lainnya adalah menguatnya market way (cara pasar)
dalam mengelola alam yang menjadi dominan ketimbang state way
(cara negara) dan common pool resources (cara masyarakat) yang
lebih memandang alam sebagai sumber kemakmuran. Sebenarnya dari
ketiga cara tersebut, mekanisme masyarakat berbasis common pool
resources sebenarnya merupakan bentuk kesadaran menghargai relasi
seimbang antara alam dan manusia yang tujuannya jelas menghindari
adanya dampak destruktif yang dihadirkan alam kepada manusia
apabila manusia tidak menghargai alam sepantasnya.
Makna bencana sebagai kejadian (events) diartikan sebagai kejadian
luar biasa (extraordinary events) yang memiliki pengaruh terhadap
instabilitas manusia. Bencana sendiri dapat dikategorikan menjadi 3
macam yakni fisik (physical), waktu (temporal), dan sosial (social).
Dalam konteks ini, penanggulangan bencana perlu melihat pola dasar
pemantik terjadinya sebuah bencana. Penanggulangan bencana juga
perlu melihat waktu periode berlangsungnya bencana tersebut supaya
upaya cepat melakukan evakuasi menjadi lebih efisien dan efektif.
Terdapat dua paradigma penting dalam membahas mengenai
pentingnya masyarakat sebagai community dalam penanggulangan
risiko bencana. Yang pertama, adalah model crunch. Model ini
mengasumsikan bahwa bencana (disaster) sendiri merupakan hasil
dari proses bertemunya hazard yang kemudian berkembang menjadi
faktor pemicu bencana seperti gempabumi, gunung meletus, dan lain
sebagainya dengan vulnerability yang di dalamnya terdapat sebuah
kondisi yang tidak nyaman (unsafe condition) dimana terdapat

7
eskalasi kerentanan dan kerawanan yang dialami penduduk baik
sebelum terjadinya bencana maupun sesudahnya. Namun dalam hal
ini, kondisi kerentanan dalam unsafe condition tersebut tidak
meletakkan manusia benar-benar tidak dapat berbuat banyak atas
bencana dan terpaku hanya menunggu bantuan dari negara saja.
Model kedua yakni release model, model ini berkebalikan dengan
model crunch yang memposisikan manusia harus beradaptasi dengan
bencana sehingga dapat mereduksi bahaya kerentanan terhadap
bencana. Model ini lebih mengedepankan pada pola aktif masyarakat
dalam pencegahan bencana seperti halnya ajakan tidak membuang
sampah sembarangan sehingga mengakibatkan banjir, larangan
menebang pohon karena rawan terjadinya tanah longsor, maupun
gerakan reboisasi penghijauan kota desa.
Oleh karena itulah, derajat kerentanan (vulberability) yang
meletakkan manusia dalam kondisi yang bersifat unsafe condition
dalam model crunch. Sebisa mungkin dalam model release ini, terjadi
konversi dari unsafe menjadi safe.
Dalam pemahaman perspektif cultural theory yang menjadi tema
utama dalam makalah ini, terdapat dua hal utama yakni pengetahuan
tradisional dan pengetahuan modern. Pengetahuan modern lebih
mengarah kepada pembentukan formulasi risiko/risk (R) merupakan
bentuk dari gabungan eskalasi/exposure (E) dan besaran
bencana/magnitude (M) sehingga membentuk format (R=EM)
(Tansey, 1999 : 78). Adapun mekanisme penanggulangan risiko
bencana yang ditawarkan dalam pendekatan ini mengarah pada
penggunaan infrastruktur fisik seperti halnya pembangunan sistem
peringatan dini tentang bahaya bencana yang dianggap lebih rasional
dan ilmiah bagi masyarakat untuk menghadapi bencana. Sedangkan,
pengetahuan tradisional menolak unsur rasionalitas yang terdapat pada
pengetahuan modern dimana konsentrasi pendekatan ini lebih
mengarah analisa psikometris seperti halnya kecemasan, ketakutan,

8
maupun gejala gangguan psikologis lainnya selama masa tanggap
darurat. Aplikasi cultural theory di sini sebenarnya merupakan jalan
tengah dari dua pengetahuan besar tersebut yakni perspektif
menganalisis mengapa risiko menjadi isu yang terpolitisasi. Maka
dalam pemahaman cultural theory sebagai paradigma alternatif dalam
penanggulangan risiko bencana tidaklah terlalu penting
memperdebatkan pihak yang rasional dan pihak yang tradisional
sebagai cara yang tepat dalam mereduksi dampak bencana.

9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP)
adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan menggunakan
bukti (berbasis bukti) yang  berhubungan dengan keahlian klinis dan nilai-
nilai pasien untuk menuntun pengambilan keputusan dalam proses
perawatan.
pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan
(aplikatif) yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana
untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures) terkait dengan
preventif (pencegahan), mitigasi (pengurangan), persiapan, respon darurat
dan pemulihan. Sehingga menurutnya, tujuan dari Manajemen Bencana
tersebut diantaranya, yaitu mengurangi atau menghindari kerugian secara
fisik, ekonomi maupun jiwa yang dialami oleh perorangan, masyarakat
negara, mengurangi penderitaan korban bencana, mempercepat pemulihan,
dan memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancana.

B. SARAN
Setelah kami membahas tentang evidence based practice dalam
keperawatan bencana, ada baiknya kita sebagai pembaca untuk lebih
banyak lagi mecari referensi tentang penanggulangan bencana agar
meningkat nya pelayanan dan keahlian dalam manajemen bencana.

10
DAFTAR PUSTAKA

Purnomo, Hadi dan Ronny Sugiantoro. 2010. Manajemen Bencana. Yogyakarta:


Media Pressindo

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulagan Bencana
Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 115 Tahun 2008 tentang
Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat 2008-2012

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia


Nomor 4 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana.

Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2010


tentang Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana.
Raharjo,Wasisto.(2013).Analisis Penanggulangan Bencana Berbasis Perspektif
Cultural Theory.Jurnal Penanggulangan Bencana Vol. 4, No. 1

11

Anda mungkin juga menyukai