A. Latar Belakang
Kanker adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-
sel jaringan tubuh yang tidak normal. Sel-sel kanker akan berkembang degan
cepat, tidak terkendali, dan akan terus membelah diri. Sel-sel tersebut
menyusup ke jaringan sekitarnya dan terus menyebar melaui jaringan ikat,
darah, serta menyerang organ-organ penting dan saraf tulang belakang
(Maharani, 2009, hlm.11). Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab
kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian
disebabkan oleh kanker (Kementerian Kesehatan RI, 2015, hlm.1).
Prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di Indonesia
tahun 2013 sebesar 1,4% atau diperkirakan sekitar 347.792 orang.
Berdasarkan estimasi jumlah penderita kanker Provinsi Jawa Tengah dan
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan estimasi penderita kanker
terbanyak, yaitu sekitar 68.638 dan 61.230 orang (Kementrian Kesehatan
RI,2015,hlm.3). Kanker nasofaring sendiri merupakan kanker yang berasal
dari sel epitel nasofaring yang berada di rongga belakang hidung dan di
belakang langit-langit rongga mulut. Letak kanker yang berdekatan dengan
area kepala membuat penyebaran virus epstain barr mudah terjadi, virus ini
dapat menyebar pada bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Kurang
lebih 5 dari 100.000 penduduk Indonesia adalah pengidap kanker nasofaring.
Kanker nasofaring masuk dalam kelompok lima besar tumor ganas yang
sering dijumpai di Indonesia, bersama-sama dengan kanker payudara, leher
rahim, paru dan kulit. Kanker nasofaring merupakan kanker yang paling
banyak diderita masyarakat untuk jenis kanker Telinga Hidung Tenggorokan
(THT) Kepala Leher (KL) (Tritia, 2009).
Penyakit kanker sering diikuti dengan berbagai keluhan, salah satunya
adalah nyeri. Menurut Junaidi (2007, hlm.87) nyeri pada kanker merupakan
gejala yang sering ditemukan, biasanya bersifat kronis atau menahun. Nyeri
2
kanker mempunyai arti tersendiri khususnya bagi penderita dan keluarganya,
dimana nyeri membuat lelah dan menuntut energi dari individu yang
mengalaminya serta mengganggu hubungan dan kemampuan individu untuk
mempertahankan perawatan dirinya (Potter & Perry, 2006, hlm.1504).
Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dilakukan melalui dua cara
yaitu terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi
mancakup pendekatan secara fisik dan perilaku kognitif. Tujuan pendekatan
secara fisik, agar nyeri berkurang, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah
respon fisiologis, serta mengurangi ketakutan yang berhubungan dengan
imobilitas terkait nyeri. Perilaku kognitif memiliki tujuan untuk mengubah
persepsi dan perilaku pasien terhadap nyeri, serta mengajarkan pasien untuk
mengontrol nyeri lebih baik seperti menggunakan distraksi dengan tepat,
berdoa, mendengarkan musik, pemberian relaksasi nafas dalam serta
pemberian relaksasi imajinasi terbimbing (Perry & Potter, 2010, hlm.245).
Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi
pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat
menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien
mencapai kondisi kesehatan dan kesejahtraan yang lebih tinggi (Benson
&Prasetyo, 2012). Kelebihan latihan tehnik relaksasi dari pada latihan yang
lain adalah latihan relaksasi lebih mudah dilakukan bahkan dalam kondisi
apapun serta tidak memiliki efek samping apapun. Disamping itu kelebihan
dari tehnik relaksasi lebih mudah dilaksanakan oleh pasien, dapat menekan
biaya pengobatan, dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya stres.
Sedangkan kita tahu pemberian obat-obatan kimia dalam jangka waktu lama
dapatmenimbulkan efek samping yang dapat membahayakan pemakainya
seperti gangguan pada ginjal (Majid, 2018). Relaksasi Benson cukup efektif
untuk memunculkan keadaan tenang dan rileks, dimana gelombang otak mulai
melambat yang akhirnya akan membuat seseorang dapat beristirahat dengan
tenang. Hal ini terjadi ketika individu mulai merebahkan diri dan mengikuti
instruksi relaksasi, yaitu pada tahap pengendoran otot dari bagian kepala
hingga bagian kaki. Selanjutnya dalam keadaan rileks mulai untuk
3
memejamkan mata, saat itu frekuensi gelombang otak yang muncul mulai
melambat dan menjadi lebih teratur. Pada tahap ini individu mulai merasakan
rileks dan mengikuti secara pasif keadaan tersebut sehingga menekan perasaan
tegang yang ada didalam tubuh (Prasetyo, 2012).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengangkat penelitian
kasus dengan judul “Evidence Based Practice Pengaruh Relaksasi Benson
Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Ca Nasofaring di Ruang
Rajawali 1B RSUP Dr Kariadi Semarang”
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Laporan ini bertujuan untuk mengetahui efek terapi relaksasi
benson untuk mengatasi penurunan skala nyeri di Ruang Rajawali 1B
RSUP Dr Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui skala nyeri pasien sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi
b. Menganalisis pengaruh relaksasi benson untuk mengatasi intensitas
nyeri pasien dengan ca nasofaring
C. Manfaat
Hasil laporan ini diharapkan dapatvmemberikan manfaat bagi pihak-pihak
berikut ini:
1. Bagi Perawat / Rumah Sakit
Apabila penelitian ini berpengaruh dan masalah klien nyeri pasien dapat
teratasi, diharapkan relaksasi benson dapat diterapkan sebagai intervensi
pendamping medis.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bacaan sumber
literatur yang berguna untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
3. Sifat-sifat Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi
tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri memiliki beberapa
sifat, antara lain (Tamsuri, 2012):
a. Subjektif, sangat individual.
b. Tidak menyenangkan.
c. Merupakan suatu kekuatan yang mendominasi.
d. Melelahkan dan menuntut energi seseorang.
e. Dapat mengganggu hubungan personal
f. Tidak dapat diukur secara objektif, seperti dengan menggunakan
sinar-X ataupemeriksaan darah
4. Penyebab Nyeri
Nyeri dapat disebabkan oleh 3 stimulus, yaitu mekanik, termal dan
kimia.Stimulus nyeri tersebut akan merangsang respons nyeri. Bila nyeri
karena adanyajaringan yang rusak maka respon akan merangsang jaringan
yang rusak untukmelepaskan zat kimia yaitu bradikinin, histamin,
substansi P dan prostaglandin.
5. Fisiologis Nyeri
Nyeri merupakan campuran fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang
paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk
menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, resepsi, persepsi, dan
reaksi.
a. Resepsi
Semua kerusakan selular yang disebabkan oleh stimulus termal,
mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan
substansi yang menghasilkan nyeri. Pemaparan terhadap panas atau
dingin, tekanan, friksi, dan zat-zat kimia menyebabkan pelepasan
substansi, seperti histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung
dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespons terhadap
stimulus yang membahayakan) untuk memulai transmisi neural, yang
dikaitkan dengan nyeri.Tidak semua jaringan terdiri dari reseptor yang
6
mentransmisikan tanda nyeri. Otak dan alveoli paru merupakan contoh
jaringan yang tidak mentransmisikan nyeri. Apabila kombinasi dengan
respons nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas stimulus
minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf)
terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk
dan ukuran tubuh, maka distribusi reseptor nyeri di setiap bagian tubuh
bervariasi. Hal inimenjelaskan subjektivitas anatomis terhadap nyeri.
Bagian tubuh tertentu pada individu yang berbeda lebih atau kurang
sensitif terhadap nyeri. Selain itu, individu memiliki kapasitas
produksi substansi penghasil nyeri yang berbeda-beda yang
dikendalikan oleh agen individu. Semakin banyak atau parah sel yang
rusak, maka semakin besar aktivasi neuron nyeri. Impuls saraf, yang
dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar di sepanjang serabut saraf
perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengonduksi stimulus
nyeri serabut A-delta yang bermielinasi dan cepat dan serabut C yang
tidak bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A-
delta mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas yang
melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut
tersebut menghantarkan komponen suatu cedera akut dengan segera
(Potter & Perry, 2009). Misalnya, setelah menginjak sebuah paku,
seorang individu mula-mula akan merasakan suatu nyeri yang
terlokalisasi dan tajam yang merupakan hasil transmisi serabut A-
delta. Dalam beberapa detik, nyeri menjadi lebih dan menyebar sampai
seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut C. Serabut C tetap
terpapar pada bahan-bahan kimia, yang dilepaskan ketika sel
mengalami kerusakan. Ketika serabut C dan serabut A-delta
mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer, maka akan
melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan atau membuat peka
akan respons nyeri. Misalnya, kalium dan prostaglandin dilepaskan
ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi stimulus nyeri
berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen sampai transmisi tersebut
7
berakhir di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Di dalam kornu
dorsalis, neurotransmitter, seperti substansi P dilepaskan, sehingga
menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer (sensori) ke
saraf traktus spinotalamus (Potter & Perry, 2009).
Hal ini memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh
ke dalam system saraf pusat. Stimulus nyeri berjalan melalui serabut
saraf di traktus spinotalamus yang menyeberangi sisi yang berlawanan
dengan medulla spinalis. Impuls nyeri kemudian berjalan ke arah
medulla spinalis. Setelah impuls nyeri naik ke medulla spinalis, maka
informasi ditransmisikan dengan cepat ke pusat yang lebih tinggi di
otak, termasuk pembentukan retikular, sistem limbik, talamus, dan
korteks sensori dan korteks asosiasi. Seiring dengan transmisi stimulus
nyeri, tubuh mampu menyesuaikan diri atau memvariasikan resepsi
nyeri. Terdapat serabut-serabut saraf di traktus spinotalamus yang
berakhir di otak tengah, menstimulasi daerah tersebut untuk mengirim
stimulus kembali ke medulla spinalis. Serabut ini disebut sistem nyeri
desenden, yang bekerja dengan melepaskan neuroregulator yang
menghambat transmisi stimulus nyeri. Respons refleks protektif juga
terjadi dengan resepsi nyeri. Serabut delta-A mengirim impuls sensori
ke medulla spinalis, tempat sinaps dengan neuron motorik.
Impuls motorik menyebar melalui sebuah lengkung refleks
bersama serabut saraf eferen (motorik) kembali ke suatu otot perifer
dekat lokasi stimulasi. Kontraksi otot menyebabkan individu menarik
diri dari sumber nyeri sebagai usaha untuk melindungi diri. Misalnya,
apabila tangan seseorang dengan tidak sengaja menyentuh sebuah besi
panas, maka akan merasakan sensasi terbakar, tetapi tangannya juga
segera melakukan refleks dengan menarik tangannya dari permukaan
besi tersebut. Apabila serabut-serabut superfisial di kulit distimulasi,
maka individu akan menjauh dari sumber nyeri. Apabila jaringan
internal, seperti membran mukosa atau otot terstimulasi, maka otot
akan memendek dan menegang. Neuroregulator atau substansi yang
8
mempengaruhi transmisi stimulus saraf memegang peranan yang
penting dalam suatu pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan di
lokasi nosiseptor, di terminal saraf di dalam kornu dorsalis pada
medulla spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
neurotransmitter, seperti substansi P mengirim impuls listrik melewati
celah sinaps di antara dua serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah
serabut eksitator atau inhibitor. Neuromodulator memodifikasi
aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi
stimulus nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui
sebuah sinaps. Neuromodulator diyakini tidak bekerja secara langsung,
yakni dengan meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmitter
tertentu. Endorfin merupakan salah satu contoh neuromodulator
b. Teori Gate Control
Teori gate control dari Potter &Perry (2009) mengusulkan
bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme
pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelantinosa substansia di dalam
kornu dorsalis pada medulla spinalis, talamus, dan sistem limbic,
dengan memahami hal-hal yang dapat mempengaruhi pertahanan ini,
maka perawat dapat memperoleh konsep kerangka kerja yang
bermanfaat untuk penanganan nyeri. Teori ini mengatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan
tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri. Suatu
keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut control
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C
melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui
mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron
beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal
dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
9
Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat
menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan
akan menstimulasi mekanoreseptor.Apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut A-delta dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan
jika impuls nyeri dihantar ke otak, terdapat pusat korteks yang lebih
tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden
melepaskan opiate endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu
pembuluh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan
substansi P. Teknik distraksi, konseling, dan pemberian placebo
merupakan upaya untuk melepaskan endorfin.
c. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri.
Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke talamus dan
otak tengah. Dari talamus, serabut mentransmisikan pesan nyeri ke
berbagai area otak, termasuk korteks sensoridan korteks asosiasi (di
kedua lobus parietalis), lobus frontalis, dan sistem limbik. Ada sel-sel
di dalam sistem limbik yang diyakini mengontrol emosi, khususnya
untuk ansietas. Dengan demikian, sistem limbik berperan aktif dalam
memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf
berakhir di dalam pusat otak yang lebih tinggi, maka individu akan
mempersepsikan sensasi nyeri. Pada saat individu menjadi sadar akan
nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Persepsi menyadarkan
individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat
bereaksi (Potter & Perry, 2009)
d. Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan
perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri.
10
e. Respons Fisiologis
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan
perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Pada saat impuls
nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan talamus,
sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons
stres.
f. Respons Perilaku
Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu
siklus, yang apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk
menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan individu
secara bermakna. Potter & Perry (2009) mengatakan bahwa nyeri
dapat memiliki sifat yang mendominasi, yang mengganggu
kemampuan individu berhubungan dengan orang lain dan merawat diri
sendiri.
6. Jenis Nyeri
Ada tiga klasifikasi nyeri:
a. Nyeri Perifer.
Nyeri ini ada tiga macam, yaitu:
1) Nyeri superfisial, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat rangsangan
pada kulit dan mukosa.
2) Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari
reseptor nyeri dirongga abdomen, kranium dan toraks.
3) Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh
dari penyebabnyeri.
b. Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak
dan talamus.
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain, nyeri
ini timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri (Potter & Perry, 2009).
11
7. Bentuk Nyeri (Smeltzer & Bare, 2008)
a. Nyeri Akut
Nyeri ini biasanya berlangsung tidak lebih dari enam bulan.
Awitan gejalanya mendadak, dan biasanya penyebab serta lokasi nyeri
sudahdiketahui. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot
dan kecemasan yang keduanya meningkatkan persepsi nyeri.
b. Nyeri Kronis
Nyeri ini berlangsung lebih dari enam bulan. Sumber nyerinya bisa
diketahui bisa tidak
8. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan individu. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang
dialaminya dan karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan
membuat tingkatannya. Salah satu cara pengukuran nyeri adalah dengan
menggunakan skala intensitas nyeri numerik (Smeltzer& Bare, 2008):
12
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan teknik relaksasi dan distraksi).
10 : Nyeri berat tidak terkontrol (Pasien tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul).
9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri (Potter & Perry, 2009).
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respons nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (tidak pantas
kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
c. Kebudayaan
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri.
d. Makna Nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang
terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
e. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
13
f. Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif
dan menurunkankemampuan koping.
10. Penatalaksanaan Nyeri (Smeltzer & Bare, 2008)
a. Tindakan Farmakologis
a. Agens Anestetik Lokal
Anestesi lokal bekerja dengan memblok konduksi saraf saat
diberikan langsung ke serabut saraf. Anestesi lokal dapat
memberikan langsung ke tempat yang cedera (misalnya, anestesi
topikal dalam bentuk semprot untuk luka bakar akibat sinar
matahari) atau cedera langsung ke serabut saraf melalui suntikan
atau saat pembedahan
b. Opioid
Opioid (narkotik) dapat diberikan melalui beragam rute,
termasuk oral, intravena, subkutan, intraspinal, rektal, dan rute
transdermal. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam
menentukan rute, dosis, dan frekuensi medikasi termasuk
karakteristik nyeri pasien, status pasien keseluruhan, respons
pasien terhadap analgesik, dan laporan pasien tentang nyeri.
c. Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID)
Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) diduga dapat
menurunkan nyeri dengan menghambat produksi prostaglandin
dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi, yang
menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitif terhadap
stimulus menyakitkan sebelumnya. Aspirin adalah obat
antiinflamasi nonsteroid yang paling umum. Namun, karena aspirin
menyebabkan efek samping yang berat dan sering, aspirin jarang
digunakan untuk mengatasi nyeri akut atau nyeri kronis. Ibuprofen
sekarang digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan sampai
sedang, karena ibuprofen efektif dan mempunyai tingkat insiden
efek merugikan yang rendah.
14
b. Tindakan Nonfarmakologis
Tindakan nonfarmakologis menurut Smeltzer & Bare (2008)
meliputi stimulasi dan massase kutaneus, terapi es dan panas, stimulasi
saraf elektris transkutan, teknik relaksasi nafas dalam, dan distraksi
imajinasi terbimbing.
15
yang dapat dilakukan dapat bersifat respiratori yaitu dengan mengatur
aktivitas bernafas atau bersifat otot. Pelatihan relaksasi pernafasan
dilakukan dengan mengatur mekanisme pernafasan yaitu pada irama dan
intensitas yang lebih lambat dan dalam. Keteraturan dalam bernafas
khususnya dengan irama yang tepat akan menyebabkan sikap mental dan
badan yang rileks. Sedangkan pelatihan otot akan menyebabkan otot maik
lenutr dan dapat menekan situasi yang mergangkan luapan emosi tanpa
membuatnya kaku(Wiramihardja,2016).
Fokus dari relaksasi itu pada pengendoran otot namun pada frase
tertentu yang diucapkann berulang kali dengan ritme yang teratur disertai
sikap pasrah kepada objek transedensi yaitu Tuhan. Frase yang digunakan
dapat berupa nama-nama tuhan atau kata yang memiliki makna
menenangkan (Purwanto,2016). Dasar pikiran relaksasi ini adalah
merupakan mengaktifkan dari saraf parasimpatis yang menstimulus
turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh system saraf simpatis dan
menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan oleh saraf simpatis.
Relaksasi ini dapat menyebabkan penurunan aktivitas sistem saraf simpatis
yang akhirnya dapat sedikit melebarkan arteri dan melancarkan peredaran
darah yang kemudian dapat meningkatkan transport oksigen keseluruhan
jaringan terutama, perifer. Masing-masing saraf parasimpatis saling
berpengaruh, maka dengan bertambahnya salah satu aktivitas sistem yang
satu akan menghambat atau menekan fungsi yang lain. Selama sistem-
sistem berfungsi normal dalam keseimbangan, bertambahnya aktivitas
sistem yang satu akan menghambat atau menekan efek sistem yang lain
(Purwanto,2016).
Relaksasi ini dilakukan dengan melakukan inspirasi panjang yang
nantinya akan menstimulasi secara perlahan-lahan regang paru karena
inflamasi paru. Keadaan ini menyebabkan rangsangan atau sinyal
dikirimkan ke medula yang memberikan informasi tentang peningkatan
aliran darah. Informasi ini akan diteruskan ke batangotak tepatnya saraf
parasimpatis mengalami peningkatan aktivitas dan saraf simpatis
16
mengalami penurunan aktivitas pada reseptor, sehingga respon akan
meningkatkantekanan darah dan inflamasi paru ini akan menurunkan
frekuensi dengan jantung dan terjadi vasolidilatasi pada sejumlah
pembuluh darah (Rice,2015).
Aksis HPA (Hypothalamus Pituitary Adenal) merupakan pengatur
system endokrin, metabolisme serta gangguan perilaku. HPA tersiri dari 3
komponen yaitu CRH (Corlicotropy Realising Hormone), ACTH,
selanjutnya ACTH menstimulasi adrenal untuk menghasilkan kortisol
untuk mengatur keseimbangan sekresi CRH dan ACTH. Hiperaktivitas
dari HPH merupakan akibat redusi baik jumlah maupun fungsi dari
reseptit kortisol. HPA dan serotonergic berkaitan erat dimana sistem
limbik mengatur bangun dan terjaga tidur,rasa lapar,dan dalam emosi
ataupengaturan moos (Purba, 2016).
Orang mengalami ketegangan yang bekerja adalah sistem saraf
simpatis,sedangkan pada waktu rileks yang bekerja adalah sistem saraf
parasimpatis. Dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang
sehingga timbul perasaan rileks dan penghilangan. Perasaan rileks akan
diteruskan ke hipotalamus untuk menghantarkan CRH dan CRH
mengaktifkan kadar ACTH dan kortisol menyebabkan stres
danketegangan menurun yang akhirnya dapat menurunkan tingkat depresi
(Rice,2015). Relaksasi Benson ini ada dua hal yang dilakukan untuk
menimbulkan respon relaksasi dengan pengucapan kata atau frase yang
berulang dan sikap pasif. Pikiran lain atau gangguan keributan dapat sja
terjasi, terapi benson menganjurkan untuk tidak melawan gangguan
tersebut namun hanya melanjutkan mengulang-ulang frase fokus.
Relaksasi diperlukan pengendoran fisik secara sengaja yang dalam
relaksasi Benson akan digabungkan dengan sikap pasrah (Purwanto,
2016).
Pengendoran merupakan aktivitas fisik, sedangkan sikap pasrah
merupakan aktivitas psikis yang memperkuat kualitas pengendoran. Sikap
pasrah ini lebih dari sikap pasif dalam relaksasi seperti dikemukakan oleh
17
Benson perbedaan yang utama terletak pada sikap transedensi pada saat
pasrah sikap ini merupakan respon relaksasi yang tidak hanya terjasi pada
tatanan fisik saja tetapi juga psikis yang lebih mendalam. Sikap pasrah ini
merupakan sikap menyerahkan atau menggantungkan diri secara totalitas
sehingga ketegangan yang ditimbulkan oleh permasalahan hidup dapat
ditolelir dengan sikap ini menyebabkan pergulangan kata atau frase secara
ritmis dapat menimbulkan tubuh rileks. Pegulangan tersebut harus disertai
sikap pasif dalam konsep religius dapat diidentifikasi dengan sikap pasrah
kepada Tuhan (Smelzer, 2008).
3. Prosedur Relaksasi Benson
Langkah-langkah relaksasi Benson menurut Datak (2008) adalah
sebagai berikut :
1) Usahakan situasi dan lingkungan tenang dan nyaman
2) Anjurkan klien memilih tempat yang tenang
3) Anjurkan klien mengambilkan posisi tidur terlentang atau duduk yang
palingnyaman.
4) Anjurkan klien untuk mengendurkan otot serileks mungkin, mulai dari
kaki,betis,perut dan lanjutkan kesemua otot tubuh. Lemaskan kepala,
leher, dan pundak dengan memutar kepala dan mengangkat pundak
perlahan-lahan. Tangan dan lengan diulurkan kemudian dikendurkan
dan dibiarkan terkulai disamping tubuh dan usahakan agar tetap rileks.
5) Mulai bernafas dengan lambat dan wajar dan ucapkan dalam hati frase
atau kata sesuai dengan keyakinan anda. Sebagai contoh anda dapat
menggunakan frase “ YaAllah”. Pada saat mengambil nafas dengan
mengucapkan “Allah” dalam hati. Sambil terus melakukan langkah
nomor 6 ini, lemaskan seluruh tubuh disertai dengan sikap pasrah
kepada Allah skiap ini menggambarkan sikap pasif yang diperlukan
dalam relaksasi, dari sikap pasif akan muncul efek relaksasi yaitu
ketenangan. Kata atau kalimat yang akan diucapkan dapat diubah atau
sesuaikan dengan keyakinan klien.
18
6) Terapkan selama 15 menit klien diperbolehkan untuk membuka mata
untuk melihat waktu tetapi jangan menggunakan alarm. Bila sudah
selesai tetap berbaring dengan tenang beberapa menit mula mula
terpejam dan sesudah itu mata dibuka.Contoh kata atau frase yang
memiliki makna sesuai dengan keyakinan :
a. Islam : “Allah Subhanallahu wa ta’ala” atau nama-namaNya dalam
AsmaulHusna, kalimat-kalimat untuk berdzikir seperti
“Alhamdulillah Subhanallah,Allahu Akbar atau Ya Allah”
b. Katolik : “Tuhan Yesus Kristur, Kasihanilah aku : bapa kami yang
ada disurga,Salam Maria yeng penuh Rahmat : dan aku percaya
pada Roh Kudus ”
c. Protenstan : Tuhan datanglah ya, Roh Kudus : Tuhan adalah
gembalaku dan Damai sejahtera Allah yang melampaui aku ”
d. Hindu : “ Kebahagiaan ada didalam hati : Engkau ada dimana-
mana dan Engkau adalah tanpa bentuk ”
e. Budha : “ Aku pasrahkan diri sepenuhnya : dan Hidup adalah
sebuah perjalanan
19
BAB III
METODE PENULISAN
20
f. Diseminasi Hasil
Pelaksanaan EBP ini terbukti dapat menurunkan intensitas nyeri pasien
kanker, sehingga hasil dari laporan dapat digunakan sebagai salah satu teknik
nonfarmakologi keperawatan dalam menurunkan skala nyeri pada pasien
kanker.
B. Target dan Luaran
Target dari penelitian ini adalah pasien yang mengalami nyeri pada pasien
kanker di Ruang Rajawali 1B RSUP Dr Kariadi Semarang. Luaran dari deskripsi
kasus ini yaitu untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi benson terhadap
penurunan skala nyeri pada pasien kanker yang dilakukan berdasarkan evidance
based practice.
C. Prosedur Pelaksanaan
1. Tahap Awal
Memilih pasien untuk dijadikan responden berdasarkan kriteria inklusi
yaitu; pasien kanker yang mengalami nyeri di Ruang Rajawali 1B RSUP Dr
Kariadi Semarang.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pra Intervensi
1) Memberikan informed consent pada responden
2) Melakukan kontrak waktu
3) Mengkaji Skala Nyeri Pasien menggunakan Numeric Rating Scale.
4) Memberikan kesempatan bertanya
b. Tahap Intervensi
1) Usahakan situasi dan lingkungan tenang dan nyaman
2) Anjurkan klien memilih tempat yang tenang
3) Anjurkan klien mengambilkan posisi tidur terlentang atau duduk yang
palingnyaman.
4) Anjurkan klien untuk mengendurkan otot serileks mungkin, mulai dari
kaki,betis,perut dan lanjutkan kesemua otot tubuh. Lemaskan kepala,
leher, dan pundak dengan memutar kepala dan mengangkat pundak
21
perlahan-lahan. Tangan dan lengan diulurkan kemudian dikendurkan
dan dibiarkan terkulai disamping tubuh dan usahakan agar tetap rileks.
5) Mulai bernafas dengan lambat dan wajar dan ucapkan dalam hati frase
atau kata sesuai dengan keyakinan anda. Sebagai contoh anda dapat
menggunakan frase “ YaAllah”. Pada saat mengambil nafas dengan
mengucapkan “Allah” dalam hati. Sambil terus melakukan langkah
nomor 6 ini, lemaskan seluruh tubuh disertai dengan sikap pasrah
kepada Allah skiap ini menggambarkan sikap pasif yang diperlukan
dalam relaksasi, dari sikap pasif akan muncul efek relaksasi yaitu
ketenangan. Kata atau kalimat yang akan diucapkan dapat diubah atau
sesuaikan dengan keyakinan klien.
6) Terapkan selama 15 menit klien diperbolehkan untuk membuka mata
untuk melihat waktu tetapi jangan menggunakan alarm. Bila sudah
selesai tetap berbaring dengan tenang beberapa menit mula mula
terpejam dan sesudah itu mata dibuka.Contoh kata atau frase yang
memiliki makna sesuai dengan keyakinan yaiatu sebagaimana klien
beragama Islam : “Allah Subhanallahu wa ta’ala” atau nama-namaNya
dalam AsmaulHusna, kalimat-kalimat untuk berdzikir seperti
“Alhamdulillah Subhanallah,Allahu Akbar atau Ya Allah”
c. Setelah Intervensi
1) Mengkaji dan mengevaluasi ulang skala nyeri klien
2) Terminasi
3) Observasi perubahan perilaku klien
22
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. PENGKAJIAN
Tanggal Pengkajian : Senin, 04 November 2019
Pukul : 14.00 WIB
Ruang/RS : Rajawali 1B/ RSUP Dr. Kariadi Semarang
1. BIODATA
1. Biodata Pasien
Nama pasien : Tn.K
Umur : 63 tahun
Alamat : Batang
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 29 Oktober 2019
Diagnosa Medis : Ca Nasofaring stadium IV
Nomor Register : C750020
2. Biodata Penanggung Jawab
Nama : Ny.S
Umur : 60 tahun
Alamat : Batang
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Hubungan dengan klien : Istri
2. KELUHAN UTAMA
Pasien mengatakan nyeri pada kepala. sulit mendengar, tidak bisa menelan,
sulit melihat pada mata sebelah kiri, dan terdapat benjolan pada wajah
sebelah kanan serta leher.
23
3. RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada bulan April 2019, klien sering mengalami perdarahan pada hidung
(epitaksis), pusing pada kepala, serta muntah setiap kali makan. Sehingga
klien dibawa ke RSUD Batang ,klien terdiagnosa ca nasofaring dan
dilakukan kemoterapi di RSUD Batang, selama 7 hari klien dirawat di
RSUD Batang. Sebulan yang lalu, klien mengalami kembali perdarahan
pada hidung secara terus menerus dan nyeri hebat pada kepala disertai
mata sebelah kiri klien tidak dapat melihat dan mengeluarkan cairan,
telinga sulit untuk mendengar, bicara dan cara menelan klien susah.
Sehingga dari RSUD Batang, pasien langsung dirujuk dan dibawa ke IGD
RSUP Dr. Kariadi Semarang dam ditempatkan di ruang Rajawali 1B untuk
dilakukan perawatan lebih lanjut.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada bulan April 2019, pasien mengeluh sering pusing pada bagian kepala
dan sering mengalami perdarahan pada hidung. Pasien memeriksakan di
RSUD Batang dan terdiagnosa ca nasofaring dan sudah menjalankan
kemoterapi satu kali. Kemudian pasien di Rujuk di RSUP Dr. Kariadi
Semarang karena keadaan pasien semakin memburuk.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien mengatakan bahwa tidak ada keluarga yang mengalami penyakit
yang serupa dengan Tn.K dan tidak ada riwayat dari keluarga Tn.K yang
menderita penyakit kronis seperti TBC, DM dan penyakit jantung.
4. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 04 November 2019
1. Keadaan Umum : Baik, pasien mampu diajak berkomunikasi
a. Status Gizi :
TB : 164 cm
BB : 47 kg
b. Tanda – tanda vital :
TD : 130/80 mmHg
24
N : 84 x/m
RR : 20 x/m
S : 36 oC
2. Pemeriksaan setiap sistem tubuh
a. Sistem saraf
1) Kesadaran : Komposmentis
GCS 15 (E : 4, V : 5, M : 6)
2) Tidak terlihat tremor dan kejang pada klien
b. Sistem Kardiovaskuler
TD : 130/80 mmHg, N : 84 x/menit, konjungtiva anemis, tidak sianosis,
tidak ada pembengkakan jantung, CRT < 2 detik.
c. Sistem Penginderaan
1) Sistem Penglihatan
Bentuk mata simetris, sclera tidak ikterik, konjungtiva anemis
Mata kiri klien tampak mengeluarkan cairan
2) Sistem Pendengaran
Klien tidak dapat mendengar dengan baik, sehingga klien terkadang
tidak sesuai jawaban atas pertanyaan dari perawat.
3) Pengecapan dan penciuman
Fungsi pengecapan dan penciuman masih baik.
4) Perabaan
Turgor kulit baik
d. Sistem Pernapasan
1) Inspeksi : hidung simetris, tidak terdapat pernapasan cuping hidung,
tidak terdapat pengeluaran sekret pada hidung, dada simetris, tidak
terlihat sesak napas, tidak terdapat penggunaan otot bantu
pernapasan.
2) Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan pada hidung, tidak terdapat
nyeri tekan pada dinding dada
3) Perkusi : sonor pada permukaan paru
4) Auskultasi : Bunyi napas vesikuler
25
e. Sistem Endokrin : terdapat pembesaran kelenjar tiroid di bagian leher
dan wajah sebelah kanan klien.
f. Sistem Pencernaan
1) Mulut dan Kerongkongan : Bibir simetris, warna merah kehitaman,
lidah tampak putih dapat digerakan ke segala arah, klien tidak dapat
menelan.
2) Abdomen : abdomen datar , bising usus 26x/menit, perkusi dari
abdomen timpani/redup , tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen.
g. Sistem Muskuloskeletal
1) Ekstremitas atas
Rom : mampu flexi, ekstensi, abduksi, adduksi, akral dingin
2) Ekstremitas bawah
Rom : mampu flexi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi, akral dingin
3) Kekuatan otot
5 5
5 5
h. Sistem Perkemihan
Ginjal tidak teraba membesar,tidak ada nyeri tekan dan tidak ada nyeri
saat perkusi.
i. Sistem Integumen
Turgor kulit normal elastis, pertumbuhan bulu merata, tidak ditemukan
eodema.
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal : 30 Oktober 2019
Hb : 10,1 g/dL (L)
HT : 30 % (L)
Trombosit :389 x103/mL
Leukosit : 15,6 x 103/mL (H)
26
Pemeriksaan Radiologi
Tanggal 01 Oktober 2019
Kesan :
Massa pada lobus temporal kiri, sinus sphenoid kanan kiri, sinus etmoid kanan
dan intraconal kiri cenderung merupakan infiltrasi dari ca nasopharing
Pemeriksaan Rontgen CT Nasopharynx
Tanggal 01 Oktober 2019
Kesan :
Massa yang mengisi nasofaring, parafaring, retrofaring, laringofaring, kavu
nasi kanan kiri, sinus maksilaris kanan, sinus etmoid kanan, sfenoid kanan kiri
dan infiltrasi ke lobus temporal kiri disertai destruksi dinding medial sinus
maksilaris kanan, dinding sinus sphenoid kanan kiri, dan celullae cell etmoid
kanan dan multiple limfadenopathy colli bilateral sesuai tumor nasofaring
T3M2N1
Sinusitis maksilaris kiri
6. PROGRAM TERAPI
Terapi Tgl. 27 Oktober 2019
RL 500 cc / 20 tpm IV
Ketorolac 30 mg / 8 jam IV
Omeprazole 40 mg / 12 jam IV
B. DAFTAR MASALAH
Masalah
No Tgl/Jam Data Fokus
Keperawatan
1. 04/11/2019 DS : Nyeri akut b.d agen
14.00 WIB -Klien mengatakan nyeri cidera biologis
pada kepala
Pengkajian P,Q,R,S,T :
P : saat terlentang maupun
27
bergerak
Q : seperti mencengkeram
R : di kepala sebelah kiri
S : skala 4
T : kurang lebih 15-20
menit
DO :
- pasien tampak meringis
kesakitan
-Hasil pemeriksaan TTV :
TD : 130/80 mmHg
N : 84 x/m
RR : 20 x/m
S : 36 oC
- Hasil rontgen :
Massa pada lobus temporal
kiri, sinus sphenoid kanan
kiri, sinus etmoid kanan dan
intraconal kiri cenderung
merupakan infiltrasi dari ca
nasopharing
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis
28
D. RENCANA KEPERAWATAN
29
E. CATATAN KEPERAWATAN
Tgl/Jam Kode Dx Kep Implementasi Evaluasi (Respon) TTD
Senin 1 1. Melakukan pengkajian nyeri pada S :
04/11/19 klien (P,Q,R,S,T) Klien mengatakan nyeri pada kepala
16.30 WIB 2. Mengobservasi perubahan tanda Pengkajian P,Q,R,S,T :
vital. P : saat terlentang maupun bergerak
3. Menggali pengetahuan klien Q : seperti mencengkeram
tentang nyeri R : di kepala sebelah kiri
4. Melibatkan keluarga dalam S : skala 4
pengajaran manajemen nyeri T : kurang lebih 15-20 menit
5. Mengajarkan teknin non O : Pasien tampak meringis kesakitan
farmokologi terapi relaksasi
benson untuk menurunkan S : -
intensitas nyeri klien O : Hasil pemeriksaan TTV :
TD : 120/70 mmHg
N : 84 x/m
RR : 20 x/m
S : 36 oC
30
S : Klien mengatakan belum mengerti cara
mengatasi nyeri
O:-
31
Selasa 1 1. Mengajarkan teknik non S : Klien dan keluarga mengatakan mampu
05/11/19 farmokologi terapi relaksasi melakukan teknik distraksi relaksasi benson
16.00 WIB benson untuk menurunkan dengan sendiri
intensitas nyeri klien O : Klien memperagakan teknik relaksasi
benson seusai solat ashar dengan keadaan
tenang
32
Rabu 1 1. Mengajarkan teknik non S : Klien dan keluarga mengatakan mampu
07/11/19 farmokologi terapi relaksasi melakukan teknik distraksi relaksasi benson
16.10 WIB benson untuk menurunkan dengan sendiri
intensitas nyeri klien O : Klien memperagakan teknik relaksasi
benson seusai solat ashar dengan keadaan
tenang
33
F. EVALUASI
Tgl/Jam Kode Dx Kep Catatan Perkembangan TTD
Rabu 1 S : Klien mengatakan sudah merasa rileks dan nyaman setelah diajarkan teknik
06/11/2019 relaksasi benson dan nyeri skala klien berkurang dari 4 menjadi 2
18.00 WIB O:
- TTV
TD : 120/70 mmHg
N : 84 x/m
RR : 20 x/m
S : 36 oC
- Pasien tampak rileks
- Pasien mendapatkan terapi ketorolac 30 mg/8 jam
A : masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Pemberian injeksi ketorolac 30 mg/8 jam
- Memantau pasien mengatasi nyeri dengan relaksasi benson
34
BAB V
PEMBAHASAN
A. Hasil
Adapun keluhan utama saat pengkajian pada tanggal 04 November
2019 adalah Klien mengatakan nyeri pada kepala . Dilakukan pengkajian
P,Q,R,S,T : P : saat terlentang maupun bergerak, Q : seperti mencengkeram ,
R : di kepala sebelah kiri, S : skala 4, T : kurang lebih 15-20 menit. Sehingga
dari data tersebut ditetapkan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera biologis sebagai prioritas masalah keperawatan pertama
yang menjadi keluhan utama Tn.K. Nyeri yang timbul pada pasien didukung
dengan pemeriksaan radiologi yaitu terdapat massa pada lobus temporal kiri,
sinus sphenoid kanan kiri, sinus etmoid kanan dan intraconal kiri cenderung
merupakan infiltrasi dari ca nasopharing
Setelah dilakukan intervensi relaksasi terapi relaksasi benson selama
15 menit dalam 3 kali intervensi, didapatkan hasil bahwa Tn.K mengatakan
nyeri berkurang P : saat terlentang maupun bergerak, Q : seperti
mencengkeram , R : di kepala sebelah kiri, S : skala 4, T : kurang lebih 10
menit. Sehingga terjadi penurunan skala nyeri dari 4 menjadi 2.
B. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh intervensi terapi
relaksasi benson terhadap penurunan skala nyeri pada pasien ca nasofaring di
ruang Rajawali 1B RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ristiyanto (2017), Hasil
penelitian menunjukkan terjadi penurunan skala nyeri pada kelompok slow
deep breathing sebesar 0,068, sedangkan penurunan skala nyeri pada
kelompok Benson 0,026. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan p value 0,801
(p>0,05), tidak ada perbedaan efektifitas antara relaksasi slow deep breathing
dan relaksasi Benson terhadap penurunan skala nyeri kanker. Hasil penelitian
ini merekomendasikan relaksasi slow deep breathing dan relaksasi Benson
dapat dijadikan tindakan mandiri keperawatan non farmakologi untuk
menurunkan skala nyeri kanker. Penelitian lain menyebutkan bahwa teknik
35
relaksasi benson dapat menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi (p =
0,003)(Manurung, Manurung, & Siagian, 2019).
Intervensi yang dilakukan pada Tn.K ini adalah terapi relaksasi
benson. Relaksasi Benson merupakan teknik relaksasi yang digabungkan dengan
keyakinan yang dianut oleh pasien, dan akan menghambat aktivitas saraf simpatis
yang dapat menurunkan konsumsi oksigen oleh tubuh dan selanjutnya otot-otot
tubuh menjadi relaks sehingga menimbulkan perasaan tenang dan nyaman (Benson
& Proctor 2000, dalam Mardiani, 2014). Teknik relaksasi Benson merupakan
pengembangan metode respons relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan pasien
yang dapat mengurangi stress dan kecemasan. Relaksasi Benson berfokus pada kata
atau kalimat tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme yang teratur disertai
sikap pasrah dengan tuhan sesuai dengan keyakinan masing-masing (Sukmono,
2011, hlm.99). Kelebihan dari tehnik relaksasi Benson adalah untuk menghilangkan
nyeri, insomnia, dan kecemasan (Kushariyadi, 2011, hlm.46-48). Hal ini sejalan
dengan penelitian Datak (2008) ,menunjukkan bahwa kombinasi relaksasi Benson
dan terapi analgesik lebih efektif untuk menurunkan rasa nyeri pasca bedah
dibandingkan hanya diberikan terapi analgesik (p value= 0,019 α<0,05).
36
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang sudah dipaparkan oleh
penulis mengenai diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
biologis dengan pemberian intervensi terapi relaksasi benson pada pasien ca
nasofaring. Setelah dilakukan tindakan selama 15 menit dalam 3 kali
intervensi didapatkan hasil bahwa mengatakan nyeri berkurang dengan
berkurang P : saat terlentang maupun bergerak, Q : seperti mencengkeram , R
: di kepala sebelah kiri, S : skala 4, T : kurang lebih 10 menit. Sehingga
terjadi penurunan skala nyeri dari 4 menjadi 2. Sehingga relaksasi benson ini
dapat dijadikan sebagai terapi non farmakologis dalam menurunkan intensitas
nyeri pada pasien dengan ca nasofaring.
B. Saran
1. Bagi Klien
Diharapkan setelah dilakukan penerapan intervensi terapi
relaksasi benson dapat menurunkan skala nyeri pada pasien dengan ca
nasofaring dan meningkatkan kenyamanan pada pasien selama
mendapat perawatan di ruang Rajawali 1B.
2. Bagi Pelayanan Kesehatan
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberi informasi dan
masukan mengenai inovasi intervensi terapi relaksasi benson yang
dapat dilakukan oleh perawat dalam mengatasi nyeri.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Refleksi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat untuk institusi
pendidikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan
intervensi keperawatan komplementer atau penatalaksanaan non
farmakologi pada pasien yang mengalami nyeri.
37
DAFTAR PUSTAKA
38