Anda di halaman 1dari 46

BAB IV

ANALISIS GRATIFIKASI DARI PERUSAHAAN FARMASI KEPADA DOKTER

YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN PADA PASIEN

A. Analisis Pengaturan Hukum Gratifikasi Dari Perusahaan

Farmasi Kepada Dokter Dalam Memberikan Pelayanan Kesehatan

Perusahaan Farmasi memberikan “sesuatu” tersebut biasanya

dengan dalih bahwa target perusahaan tercapai berkat bantuan Dokter

berupa obat-obatan yang diresepkan kepada pasiennya. Dikhawatirkan

ada kecenderungan Dokter untuk meningkatkan kuantitas peresepan

dikarenakan sudah menerima “sesuatu” dari perusahaan farmasi, dengan

kata lain ada perasaan tidak enak apabila tidak membalas budi

perusahaan farmasi dan balas budi yang paling mungkin dilakukan adalah

dengan meningkatkan resep yang merupakan produk perusahaan farmasi

tersebut.

Seharusnya apabila terjadi tawaran dari perusahaan farmasi

maupun permintaan Dokter yang tidak sesuai dengan Permenkes Nomor

58 Tahun 2016, dapat diberikan sanksi sebagaimana tercantum dalam

Pasal 12 ayat (1). Sanksi yang diberikan berupa sanksi administratif dan

diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/wali kota. Adapun sanksi yang

diberikan berupa teguran lisan, tertulis dan pencabutan surat ijin praktik.

Sedangkan pelanggaran Disiplin Kedokteran yang sanksinya berupa

peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau

96
97

surat izin praktik dan kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di

institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana

tercantum dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran. 117

Sanksi terkait dengan gratifikasi yang berindikasi suap berupa

pidana penjara dan denda, baik bagi penerima maupun bagi pemberi.

Penerima gratifikasi suap mendapatkan sanksi pidana yang lebih berat

dibandingkan dengan pemberi gratifikasi suap, sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Dokter dalam menjalankan praktiknya harus sudah lulus

dari uji kompetensi dan mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang

dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), keanggotaan KKI

ditetapkan oleh Presiden atas usulan dari Menteri Kesehatan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor

29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.118

Hal Ini berarti bahwa ada campur tangan negara dalam

penyelenggaraan praktik kedokteran. Atas dasar tersebut, Dokter dapat

dikualifikasikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dokter juga dapat

dikualifikasikan sebagai seseorang yang memegang suatu jabatan dan

menjalankan tugas negara di bidang kesehatan. Profesi Dokter termasuk

ke dalam Jabatan Fungsional dengan fungsi dan tugas terkait pada


117
Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 69.
118
Ibid, Pasal 14 ayat (3)
98

pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan

tertentu. Pada Pasal 51 KUHP, dijelaskan bahwa barang siapa yang

melaksanakan perintah jabatan, tidak dipidana, contohnya bahwa Dokter

melaporkan adanya tersangka suatu penyakit tertentu kepada pihak yang

berwenang, yaitu Kepala Desa/ Lurah dan Unit Kesehatan setempat.

Dokter mendapat hak istimewa tidak dipidana karena sudah membuka

rahasia pasien yang menderita penyakit menular agar perluasan penyakit

dapat dicegah sedini mungkin. Jabatan Dokter dapat juga mengacu pada

Pasal 92 KUHP.119

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan farmasi

dalam kaitannya dengan tindak pidana gratifikasi yang melibatkan dokter

sebagai tenaga kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan

No.58 Tahun 2016 tentang Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan. Bentuk

kegiatan kerjasama yang dilarang tersebut antara dokter dengan

perusahaan farmasi menimbulkan kerugian pada pasien terkait hal

pemberian obat dapat juga dimasukkan pada kegiatan gratifikasi dimana

disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.14 Tahun 2014

Tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Menteri Kesehatan.

Gratifikasi dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.14 Tahun 2014

itu dibagi atas gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang tidak

dianggap suap. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.4 Tahun 2014

tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan

119
Andi Muliyono, Tindak Pidana Gratifikasi, (Makassar: Genta Publishing, 2017),
hlm.5
99

dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu gratifikasi yang dianggap suap dan

gratifikasi yang tidak dianggap suap. Gratifikasi yang dianggap suap

dijelaskan sebagai gratifikasi yang diterima oleh aparatur yang

berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan

tugas penerima . Sementara itu, sebaliknya gratifikasi yang tidak dianggap

suap dijelaskan sebagai gratifikasi yang diterima oleh aparatur yang tidak

berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban

dan tugas penerima.

Selain hal tersebut, adapun yang dapat dilakukan oleh pasien

apabila mengalami kerugian yang dilakukan dokter dapat mengajukan

tuntutan pidana dimana bahwa seharusnya tindakan kedokteran yang

dapat dibawah ke ranah hukum pidana dibatasi terhadap tindakan

kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atas akibat

yang diancamkan pidana atau tindakan kedokteran yang mengandung

kelalaian nyata/berat.

Korupsi dapat dipandang dari segi kriminologi, kebudayaan, politik,

ekonomi, pertahanan,filsafat dan sebagainya. Masalah gratifikasi (diatur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang nomor

20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi),

merupakan bagian dari usaha politik kriminil. Pemberian sanksi pidana

terhadap perbuatan yang tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-

undang dimaksud untuk mencegah dilakukannya perbuatan. Masalah

gratifikasi berkaitan erat dengan masalah korupsi karena jika dilihat asal
100

kata korupsi itu, yang berarti perbuatan kotor atau dalam naskah kuno

negara kertagama perbuatan korupsi diartikan sebagai perbuatan yang

merusak. Disamping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk

keadaan atau perbuatan yang busuk.

Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai

subjek hukum pidana dalam UU Tipikor mengalami perkembangan secara

bertahap. Pada umumnya secara garis besar dapat deibefakan dalam tiga

tahap.120

1. Tahap Pertama

Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang

dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga apabila

suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka

tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi

tersebut.

2. Tahap Kedua

Ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah perang

dunia pertama dalam perumusan undangundang bahwa suatu

tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha

(korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari

pengurus badan hukum tersebut.

3. Tahap Ketiga

120
Elwi Danil, Korupsi, Tidank Pidana, dan Pemberantasannya, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2014), hlm. 75.
101

Merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang

langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan setelah

Perang Dunia II. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk

menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut

hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-

delik ekonomi dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau

kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya,

sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana dijatuhkan

kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa

hanya dengan memidana pengurus tidak atau belum ada jaminan

bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan

memidana korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengaturan gratifikasi

sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi dalam hukum nasional,

pada bagian ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai apa sebenarnya

yang dimaksud dengan gratifikasi. Secara sederhana, gratifikasi dapat

diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni pemberian uang,

barang, rabat (discount), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,

fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan

beebagai fasilitas lainnya baik yang diterima di dalam negeri maupun di

luar negeri serta digunakan baik dengan sarana elektronik atau tanpa

sarana elektronik.121
121
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian terhadap
Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The Unite Nations Convention Againts
Corruption (UNCAC), (Bandung : Reflika Aditama, 2015), hlm. 187.
102

Gratifikasi (korupsi) banyak disangkutkan kepada ketidakjujuran

seseorang dalam bidang keuangan. Masalah tersebut erat sekali dengan

pejabat atau pegawai negeri baik sebagai penerima maupun penerima

gratifikasi. Penanggulangan masalah ini yang menyangkut orang-orang

yang mempunyai kekuasaan kenegaraan dalam tata hukum zaman Hindia

Belanda sudah ada, ialah didalam Wetboek Van Strafrecht disamping

adanya peraturan-peraturan dalam bidang administrasi/keuangan. 122

Dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, pemberantasan

korupsi merupakan salah satu prioritas demi mewujudkan masyarakat adil

dan makmur serta sejahtera. Dikatakan sebagai prioritas, karena korupsi

telah merasuki lini kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga pola

penangangannyapun memerlukan cara khusus. Selain itu, mengingat

korupsi merupakan kejahatan terorganisir yang dilakukan secara

sistematis, terkait dengan kekuasaan, serta terkait pula dengan nasib

orang banyak karena adanya keuangan negara yang dirugikan, maka

tepat untuk menggolongkan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana

khusus.123

Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan

transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di negara-

negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana

122
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 2007), hlm. 117.
123
Eddy O.S. Hiariej, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi, Demi Keadilan,
Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pustaka Kemang, 2016),
hlm. 132
103

nasional dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara

satu dengan yang lainnya, antara lain: 124

1. Asas legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana

nasional beberapa negara, yang menyatakan bahwa suatu

perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak

atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana nasional.

2. Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, yang

menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak

dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum

peraturan perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain

undang-undang tidak berlaku surut.

3. Asas culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang

hanya dapat dipidana apabila kesalahannya telah dapat dibuktikan

berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang

didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan

peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu.

4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent),

menegaskan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu

kejahatan atau tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai

kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan

peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti.

124
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, (Bandung : Yrama Widia,
2004), hlm. 38,
104

5. Asas ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah

diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan

mengikat dan pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas

suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya,

tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya

atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.

Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya

merupakan suatu open system. Open system merupakan suatu sistem

yang di dalam gerakan mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek

(resosialisasi), jangka menegah (pencegahan kejahatan) maupun jangka

panjang (kesejahteraan sosial) sangat dipengaruhi oleh lingkungan

masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, maka sistem

peradlian pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface

(interaksi, interkoneksi, interdependensi) dengan lingkungannya dalam

peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan

teknologi, serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu

sendiri (subsystem of criminal justice system).

Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice

system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan.125 Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan

agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian

kejahatan agar masih dalam batas toleransi masyarakat tidak berarti

125
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, (Jakarta : Bina Cipta, 1996), hlm. 15.
105

memberikan toleransi terhadap suatu tindak kejahatan tertentu atau

membiarkannya untuk terjadi. Toleransi tersebut sebagai suatu kesadaran

bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih ada manusia di dalam

masyarakat.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network)

peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,

baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum

pelaksnaan pidana.126 Namun demikian kelembagaan substansial ini harus

dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal

apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan

membawa kepada ketidakadilan.

Peradilan bagi tindak pidana korupsi merupakan pengadilan khusus

bagi pelaku tindak pidana korupsi yang berada dalam lingkup peradilan

umum karena sudah mempunyai ketentuan peraturan tersendiri. Hal ini

mengacu pada asas lex specialis derogate legi generali yang artinya

ketentuan peraturan undang-undang yang bersifat khusus

mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang 20 Tahun 2001 (selanjutnya disingkat UU PTPK), maka ragam

atau jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan cukup bervariasi. Upaya

Penal atau upaya penegakan hukum dengan penerapan hukum pidana

(criminal law application) dalam penanganan Tipikor dilakukan melalui

126
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 18
106

proses peradilan pidana Upaya Penal atau upaya penegakan hukum

dengan penerapan hukum pidana (criminal law application) dalam

penanganan TPK dilakukan melalui proses peradilan pidana dengan 3

(tiga) tahapan pertama, yaitu

1. Sebelum persidangan perkara pidana (pra-ajudikasi),

2. Tahapan pada saat persidangan perkara pidana (ajudikasi),

dan

3. Tahapan sesudah persidangan (purna-ajudikasi). 127

Maraknya praktik-praktik kerjasama ilegal antara perusahaan

farmasi dengan dokter saat ini, semakin membawa keresahan di

tengahtengah masyarakat. dikatakan ilegal, karena perbuatan tersebut

sangat merugikan orang banyak dan tidak berjalan sesuai aturan hukum

yang ada. Indikatornya adalah semakin tingginya harga obat dan

pelayanan kesehatan jika kita menggunakan jasa dokter. Praktik-praktik

tersebut biasanya dilakukan oleh dokter atas dasar kesepakatan bersama

dengan perusahaan farmasi. Dimana perusahaan farmasi menyediakan

target penjualan obat dari perusahaannya. Apabila dokter telah memenuhi

target penjualan obat tersebut, maka selanjutnya adalah bagian dokter

untuk menerima komisi dalam bentuk uang, tiket perjalanan, seminar dan

lain-lain pemberian yang bernilai ekonomis dari perusahaan farmasi

tersebut. Jadi, sebenarnya yang terjadi adalah usaha “kejar target” dan

bukannya pelayanan kesehatan.


127
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010). hlm.
42
107

Tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi bukanlah hanya

sekedar masalah hukum, tetapi telah menjadi persoalan ekonomi, budaya

dan politik.128 Aspek ekonomi dari korupsi antara lain pembayaran yang

mempersamakan penawaran dan permintaan, suap sebagai insentif

pembayaran untuk birokrat, suap untuk mengurangi biaya, kejahatan dan

korupsi yang teroganisir, pembayaran untuk memperoleh kontrak dan

konsesi besar kepada pejabat tinggi. Praktikpraktik korupsi dibidang

kedokteran sudah merupakan rahasia umum. Tingginya (tidak wajar)

harga obat-obatan saat ini, mengindikasikan adanya upaya kerjasama

ilegal antara dokter dan perusahaan farmasi juga perusahaan penyedia

alat-alat kesehatan. Hal ini juga bisa dimengerti bahwa sulit untuk

mengatakan bahwa antara dokter dan perusahaan farmasi tidak memiliki

hubungan. Bicara mengenai dokter pastilah identik dengan obat-obatan,

dan obat-obatan identik dengan perusahaan farmasi.

Profesi dokter sebagai profesi terhormat yang dalam menjalankan

profesinya terikat dengan kode etik, harusnya bisa menjalankan

profesinya dengan baik dan jujur. Sebab persoalan gratifikasi ataupun

korupsi dilingkungan kedokteran tidak hanya terbatas pada kode etik saja,

melainkan juga persoalan hukum. Berbicara persoalan hukum dalam hal

ini, berarti yang dimaksud adalah lapangan hukum pidana, yaitu hukum

pidana khusus. Khusus karena persoalan ini diatur tersendiri diluar KUHP

128
Mia Amiati Iskandar, Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi
Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003, (Jakarta : Referensi, 2013), hlm. 3
108

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Disisi lain tindak pidana korupsi

dalam bentuk gratifikasi sudah dipandang sebagai kejahatan luar biasa

Dengan demikian, ketentuan mengenai jurisdiksi dapat juga

ditafsirkan sebagai ketentuan-ketentuan justisiabel yang diutarakan dalam

uraian di atas adalah mengenai seseorang yang diperiksa dan diadili

karena suatu perkara pidana, pelaku tersebut disebut subjek dan

merupakan salah satu unsur dari tindak pidana. Menurut S.R. Sianturi

menyebutkan bahwa :

“Hubungan justisiabel dengan subjek ialah bahwa orang yang


bersangkutan adalah pelaku (subjek) dari suatu tindak pidana yang
sekaligus merupakan justisiabel (pencari keadilan) dari suatu
badan peradilan tertentu. Dalam hlm ini perlu diperhatikan bahwa
walaupun mungkin ada persamaan atau kemiripan dari suatu
tindakan yang dilakukan secara terpisah oleh seseorang justisiabel
badan-badan peradilan militer dengan seseorang justisiabel badan-
badan peradilan umum, kepada mereka tidak selalu dapat
diterapkan pasal tindak pidana yang sama, walaupun hakekat
pokok dari tindakan itu sama”.129
Berdasarkan pembahasan yang menjadi dasar pembentukan

undang-undang tindak pidana korupsi dan undang Pengadilan Tipikor

bahwa semua perkara tindak pidana korupsi adalah sama, diproses

melalui prosedur yang sama, diajukan oleh lembaga yang berbeda, dan

diadili oleh pengadilan yang sama, maka ada beberapa alternatif

pengaturan tindak pidana korupsi:

1. Semua tindak pidana yang termasuk kategori tindak pidana

korupsi adalah tindak pidana biasa (umum), tempat pengaturannya

dikembalikan ke dalam KUHP, tetapi penegakan hukumnya

129
S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di lIndonesia, (Jakarta : Alumni AHAEM
PETEHAEM, 1985), hlm. 28
109

menjadi perhatian yang khusus dan kebijakan penegakan

hukumnya diprioritaskan (kembali kepada kebijakan legislasi pada

tahap awal yaitu mengefektifkan pasal-pasal KUHP untuk

memberantas perkara tindak pidana korupsi).

2. Dari tindak pidana korupsi yang biasa tersebut dibuat kriteria

sebagai tindak pidana korupsi yang dikualifikasikan sebagai tindak

pidana korupsi yang ‘luar biasa’ sehingga perlu ketentuan tersendiri

sebagai hukum pidana khusus (extra ordinary criminal law) untuk

menangani kejahatan korupsi yang ‘luar biasa’. Sifat

eksepsionalitas penanganan tindak pidana korupsi hanya

ditoleransi kepada tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori

‘luar biasa’.

3. Semua aparat penegak hukum yang menangani perkara

tindak pidana korupsi diberi wewenang yang sama dan tunduk

kepada hukum prosedur/acara yang sama, kecuali terhadap

penanganan tindak pidana korupsi yang termasuk kategori ‘luar

biasa’.

4. Oleh sebab itu, kewenangan KPK sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perlu

diubah dengan menempatkan KPK diberi tugas untuk melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan hanya terhadap perkara

tindak pidana korupsi yang termasuk kategori ‘luar biasa’ dengan

menggunakan prosedur hukum acara pidana yang menyimpangi


110

dari hukum acara pidana yang umum sebagai bentuk pengecualian

(eksepsional). Eksepsionalitas prosedur penanganan perkara

tindak pidana korupsi yang termasuk ketegori yang ‘luar bisa’

tersebut hanya dimiliki oleh KPK (sebagai satu-satunya lembaga),

sedangkan polisi dan jaksa diberi wewenang untuk menangani

perkara tindak pidana korupsi yang termasuk kategori biasa/umum

dengan menggunakan prosedur hukum acara pidana umum. 130

Tidak bijaksana jika tetap mempertahankan bahwa semua tindak

pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa dan ditangani

dengan menggunakan prosedur yang luar biasa. Sesungguhnya dalam

menangani perkara tindak korupsi agar memiliki daya cegah yang efektif

adalah terletak pada “greget” aparat penegak hukum dalam penegakan

hukum terhadap tindak pidana korupsi, bukan terletak pada sifat

eksepsionalitas hukum pidana materiil atau hukum pidana formil.

Tahapan proses pengadilan tindak pidana korupsi yaitu tahap di

kepolisian, tahap pemeriksaan dikejaksaan dan tahap pemeriksaan di

persidangan. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana

Korupsi selain ditindak oleh lembaga kepolisian serta kejaksaan ada juga

lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai

kewenangan.Kewenangan ini sudah mengatur secara khusus dalam

Pasal 11 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

130
Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Cetakan Pertama,
(Yogyakarta : UII Press, 2011), hlm,. 92.
111

sehingga tidak perlu adanya kekhawatiran tumbah tindih kewenangan

KPK dengan instansi lainnya.

Sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara Indonesia

melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seperti

yang sudah dijelaskan, maka aturan mengenai pembuktian ini yang

merupakan bagian dari rangkaian beracara di dalam persidangan berlaku

untuk semua tindak pidana yang diatur di Indonesia, termasuk pelaku aktif

tindak pidana pencucian uang dan juga pelaku pasifnya. Pembuktian

terhadap pelaku pasif pencucian uang pada dasarnya sama dengan

pembuktian tidak pidana lainnya.

Pembuktian hukum terhadap pelaku pasif sampai saat ini terus

dilakukan secara intensif. Dalam perkembangannya penegakkan hukum

pelaku pasif ini tampaknya memang lebih sulit, karena para penegak

hukum dalam menjerat pelaku pasif memang masih mengalami kesulitan

untuk memenuhi unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Agar bisa dijerat dengan Pasal 5 ini, tetap harus dilihat pemenuhan unsur-

unsurnya. Tidak boleh terbentuk opini yang terlalu dini apakah seseorang

tersebut pelaku pasif pencucian atau bukan, tetap harus dilihat apakah dia

memenuhi unsur-unsur rumusan Pasal 3 atau tidak, karena yang disebut

sebagai pelaku adalah mereka yang memenuhi unsur-unsurnya.


112

Pembuktian merupakan titik sentral dan memegang peranan yang sangat

penting dalam pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan.

Hal ini dikarenakan pada pembuktian ditentukan bersalah atau

tidaknya seorang terdakwa. Apabila bukti yang disampaikan di pengadilan

tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan yang disyaratkan maka

terdakwa akan dibebaskan. Namun apabila bukti yang disampaikan

mencukupi maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu

proses pembuktian merupakan proses yang penting agar jangan sampai

orang yang bersalah dibebaskan karena bukti yang tidak cukup. Atau

bahkan orang yang tidak bersalah justru dinyatakan bersalah.

Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur

subjektif (mens rea) dan unsur objektif (actus reus). Mens rea yang harus

dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut

menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan

dengan unsur terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk

melakukan transaksi. Untuk membuktikan unsur mengetahui tentunya

sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan wingly.131

Selanjutnya, berkenaan pembuktian unsur patut menduga maka hal ini

persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang menjelaskan

adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja

setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended, yaitu

bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan. Untuk pembuktian ini


131
Juniver Girsang, Abuse Of Power Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat
Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : JG Publishing,
2012), hlm. 181.
113

pun sulit. Maka dari itu, apabila unsur sengaja dan mengetahui atau patut

menduga bahwa harta kekayaan berasal dari kejahatan, dengan

sendirinya unsur intended terbukti.132

Pembuktian terhadap pelaku tindak pidana korupsi bisa juga

dilakukan dengan cara sitem beban pembuktian terbalik. Pada asasnya,

beban “Pembuktian Terbalik” bermula dari sistem pembuktian yang

dikenal dari Negara yang menganut rumpun Anglo-Saxon terbatas pada

“certain cases” khususnya terhadap tindak pidana “gratification” atau

pemberian yang berkorelasi dengan “bribery” (suap), misalnya Malaysia

dan Singapura, yang mengatur gratifikasi dalam The Status of Prevention

of Corruption Act Malaysia and Singapore.133

Dikaitkan dengan Keprofesionalan tenaga kesehatan, seperti

dokter dan perusahaan farmasi memiliki kode etik mereka sendiri. Namun,

memiliki hubungan yang cukup dapat menciptakan tren yang dapat

menguntungkan kedua belah pihak. Masalah ini juga merupakan konflik

norma dari sudut pandang pasien, dimana pasien menderita kerugian

finansial akibat menerima resep obat dari dokter. Dalam Pasal 3 Kode Etik

Kedokteran Indonesia, dimana menurut pasal tersebut jenis perdagangan

yang mencari keuntungan setinggi-tingginya dalam segala situasi tidak

dapat digunakan karena tindakan tersebut bertentangan dengan etika

kedokteran.

132
Elwi Danil, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, (Jakarta :
Rajawali Pers, 2012), hlm. 193.
133
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoretis, Praktik
dan Masalahnya, (Bandung : Alumni, 2011), hlm. 254.
114

Penggunaan dokter sebagai sarana promosi obat dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2016 tentang

Pembinaan Tenaga Kesehatan dapat dilakukan dengan catatan untuk

kepentingan PPK (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) atau ECM

(pendidikan kedokteran berkelanjutan). Namun, di sisi lain, perusahaan

farmasi memiliki kolaborasi yang tidak sehat yang dapat membahayakan

pasien saat obat sedang diberikan.

Kerjasama antara perusahaan farmasi dengan dokter dalam

memberikan resep obat kepada pasien dapat merupakan tindak pidana

suap sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi serta Perusahaan farmasi dan dokter swasta yang

membantu meresepkan obat kepada pasien dapat dijerat dengan pasal 2

dan 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang tindak pidana suap.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang dikeluarkan oleh

Dewan Kode Etik Kedokteran pada tahun 2001, pasal 3 menyatakan

bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya tidak boleh

dipengaruhi oleh apa pun yang mempengaruhi kebebasan dan

kemandirian profesi.

Selain itu, penjelasan dalam Pasal 3 menyatakan bahwa

perbuatan-perbuatan berikut dianggap tidak etis:

1. Menerapkan pengetahuan dan keterampilan medis dalam

segala bentuknya, baik secara individu maupun bersama-sama.


115

2. Menerima imbalan di luar kewajaran sesuai dengan

pelayanan, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan/atau

kehendak pasien.

3. Meminjam atau menerima imbalan dari perusahaan

farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan atau badan lain yang

dapat mengganggu pekerjaan dokter.

4. Berpartisipasi, langsung atau tidak langsung, dalam

mempromosikan obatobatan, alat atau bahan lain untuk

keuntungan dokter pribadi

Delik gratifikasi di dalam Undang-undang tindak pidana korupsi

merupakan delik khusus, karena penanganannya yang harus didahulukan

dari perkara-perkara yang lain. Penanganan perkara korupsi dalam praktik

peradilan tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-

undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi harus didahulukan dari perkara lain bukan perkara korupsi.

Dinyatakan dalam Pasal 25 tersebut bahwa penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi

harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Pasal

12 huruf b berisi delik tentang menerima hadiah sebagai akibat melakukan

atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya (gratifikasi) yang

rumusan pasalnya sebagai berikut:

“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana


penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banysk Rp. 1.000.000.000,00
116

(satu miliar rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara


yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya.” 134

Unsur-unsur delik pasal diatas adalah pegawai negeri atau

penyelenggara negara, menerima hadiah, diketahui atau patut diduga;

dan hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena

telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya. Pemberian hadiah yang biasa

dilakukan dengan cara penyogokan tersebut bukan saja hanya

berlangsung antara para warga masyarakat dengan pihak pegawai yang

memegang posisi, tetapi juga antara pegawai negeri dengan pegawai

negeri seperti seorang bawahan yang ingin dipindahkan ditempat yang

enak atau ingin mendapat kenaikan pangkat. Perbuatan-perbuatan yang

demikian jelas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Dalam

beberapa kasus korupsi (gratifikasi) senantiasa tersangkut dokter,

pegawai negeri selaku penyelenggara pemerintahan, bahkan selaku

penanggungjawab keuangan negara, karena pegawai negeri selalu

menjadi subjek dari perbuatan korupsi. Pengertian pegawai negeri ialah

mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang

berwenang dan diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan

134
Lihat Pasal 12 UU Tipikor.
117

berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang digaji menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. 135

Objek perbuatan dalam Pasal 12 huruf b (pasal gratifikasi) hanya

dibatasi pada hadiah, maka hadiah tersebut baru akan diberikan oleh

pelaku jika pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau

malah pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya

sebagai akibat pemberian hadiah dari pelaku. Perbuatan berupa “telah

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya”, harus sudah terwujud sebelum

hadiah tersebut diberikan oleh pelaku dan diterima oleh pegawai negeri

atau penyelenggara negara.

Dengan demikian dapat terjadi bahwa seorang pegawai negeri

menurut Hukum Administrasi tidak termasuk dalam kategori pegawai

negeri, sedang menurut Hukum Pidana, seorang itu dapat dimasukkan

dalam ke dalam pegawai negeri dan karenannya dapat dilakukan

penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Sebagai akibat

perkembangan tindak pidana korupsi dan pengertian pegawai negeri itu,

maka orang yang secara langsung dan tidak langsung berhubungan

dengan pegawai negeri pun dapat saja dituntut karenanya. Jika merujuk

pada pendapat ahli hukum pidana diatas, yang menyatakan bahwa dokter

135
Djoko Prakoso dan Ati Suryati, Upetisme Ditinjau Dari Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Bina Aksara, 1986), hlm. 35.
118

dapat dikualifikasikan sebagai pegawai negeri, maka baik dokter swasta

atupun yang berstatus pegawai negeri bisa menjadi subjek delik

gratifikasi. Hal ini dikarenakan dokter yang terbukti bekerjasama dengan

perusahaan farmasi dalam menjual obat yang tidak sesuai dengan

mestinya, dapat terpengaruh dan akhirnya memberikan pelayanan yang

buruk kepada masyarakat atau bisa dikatakan telah merugikan

masyarakat.

Itu sebabnya bentuk Gratifikasi dibidang Kedokteran dalam

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun

2001 tetap mengarah pada Pasal 12 huruf b, karena Dokter

dikualifikasikan sebagai pegawai negeri baik dokter yang berstatus swasta

ataupun dokter yang berstatus pegawai negeri karena dianggap sebagai

subjek delik gratifikasi. Sampai saat ini belum ada Undang-Undang yang

mengatur secara khusus Delik Gratifikasi menurut bidangnya, masih

berpatokan pada Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Pasal 12 huruf b

yang mengatur Gratifikasi memidanakan secara umum apapun

pekerjaannya

B. Pertanggungjawaban Hukum Gratifikasi Yang Dilakukan Oleh

Perusahaan Farmasi Terhadap Dokter

Pelayanan kesehatan yang berindikasikan melanggar hukum itu

berupa kerjasama yang dilakukan oleh dokter dengan pedagang besar


119

farmasi. Tenaga kesehatan seperti dokter maupun perusahaan farmasi

memiliki kode etik tersendiri. Namun, hubungan yang terbilang biasa saja

dapat menimbulkan kecenderungan mengarah kepada hal yang dapat

menguntungkan kedua belah pihak. Ketika berobat ke dokter besar

keinginan pasien adalah untuk sembuh dan dalam situasi ini pasien tidak

tahu penyakit yang diderita yang berlaku juga tidak tahu pilihat obat yang

tepat untuk berobat, sehingga pasien melakukan pengobatan ke dokter

untuk berobat dan mendiagnosis yang dideritanya dan menerima

pemberian resep obat yang diberikan oleh dokter.

Hubungan dokter dengan pasien inilah menyerahkan sepenuhnya

pilihan obat untuk kesembuhan kepada dokter, yang kemudian

memberikan resep obat. Permasalahan ini juga menjadi isu adanya konflik

norma dari sisi perspektif pasien dimana pasien mengalami kerugian

secara finansial dalam menerima resep obat yang diberikan oleh dokter.

Hal ini berupa dokter memberikan resep dengan harga obat yang jauh

diatas standar daripada harga yang lebih terjangkau walaupun dari sisi

komposisi dan kandungan obat-obatannya itu sama pentingnya untuk

kesembuhan pasien. Kejadian ini tidak hanya di rumah sakit umum daerah

adapun rumah swasta yang melakukan kerjasama yang tidak sesuai

dengan kaidah aturan perundangan-undangan dan kewenangannya

antara perusahaan farmasi dengan dokter di Indonesia.

Pemanfaatan dokter sebagai media promosi obat dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2016 tentang


120

Sponsorship bagi Tenaga Kesehatan boleh melakukan dengan catatan

untuk kepentingan CPD (contunuing professional development) atau CME

(continuing medical education). Namun, disisi lain perusahaan farmasi

melakukan kerjasama yang tidak sehat yang akibatnya dapat merugikan

pasien dalam pemberian obat. Selanjutnya, dalam menegakkan disiplin

profesi kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia menerbitkan Peraturan

Nomor 4 Tahun 2011 tentang Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.

Pelanggaran disiplin yang terkait dengan sponsorship adalah pelanggaran

disiplin angka 23 sebagaimana tercantum dalam Pasal 3, yaitu larangan

menerima imbalan yang merupakan hasil dari merujuk, meminta

pemeriksaan ataupun meresepkan obat maupun alat kesehatan.

Perusahaan farmasi sebagai korporasi dapat dikenakan sanksi

pidana berupa pidana denda maupun pidana penjara. Pidana denda disini

dipertanggung jawabkan bagi perusahaan yang melanggar ketentuan dan

memberikan sponsorship pada kerjasama dengan dokter dalam hal

pemberian obat pada pasien dimana dokter sebagai media promosi obat

pada pasien dalam penulisan resep dokter tersebut. Seharusnya apabila

terjadi tawaran dari perusahaan farmasi maupun permintaan Dokter yang

tidak sesuai dengan Permenkes Nomor 58 Tahun 2016, dapat diberikan

sanksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (1). Sanksi yang

diberikan berupa sanksi administratif dan diberikan oleh Menteri,

gubernur, bupati/wali kota. Adapun sanksi yang diberikan berupa teguran

lisan, tertulis dan pencabutan surat ijin praktik. Sedangkan pelanggaran


121

Disiplin Kedokteran, sanksinya berupa peringatan tertulis; rekomendasi

pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan kewajiban

mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran

atau kedokteran gigi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 69.

Delik gratifikasi adalah delik yang berisi tentang menerima hadiah

sebagai akibat melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya. Menurut P.A.F Lamintang, di dalam beberapa rumusan delik,

undang-undang telah mensyaratkan secara tegas bahwa tindakan dari

pelakunya itu harus bersifat werderechtelijk. Apabila sesuatu tindakan itu

telah dilakukan dalam keadaankeadaan, di mana undang-undang sendiri

telah menentukan akibat hukumnya yakni bahwa pelakunya tidak dapat

dihukum, maka jelaslah bahwa sifat werderechtelijk dari tindakannya itu

telah ditiadakan oleh undang-undang dan dengan sendirinya orang juga

tidak dapat berbicara mengenai adanya suatu delik.136

Menurut Loebby Loqman, sifat melawan hukum dalam tindak

pidana korupsi baru termuat dalam UU No.3 Tahun 1971. Sifat melawan

hukum tersebut tertera didalam Pasal 1 ayat (1) sub a. Dalam ketentuan

tentang korupsi terdahulu, yakni UU No.24 Tahun 1960 tentang

Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, tidak

didapati kata melawan hukum.137 Dalam perkembangannya, sifat melawan

136
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2011), hlm. 186
137
Loebby Loqman, Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
(Jakarta, Sinar Grafika, 1995), hlm. 103
122

hukum materil dalam hukum pidana dibedakan atas fungsi negatif dan

fungsi positif. Loebby Luqman menggariskan arti negatif dari perbuatan

melawan hukum secara materiil dengan menyatakan ”Perbuatan melawan

hukum secara materil haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti

apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang

melawan hukum secara formal, sedangkan didalam masyarakat

perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materil tidak melawan hukum,

perbuatan tersebut seyogyanya tidak dijatuhi pidana.138

Sanksi terkait dengan gratifikasi yang berindikasi suap berupa

pidana penjara dan denda, baik bagi penerima maupun bagi pemberi.

Penerima gratifikasi suap mendapatkan sanksi pidana yang lebih berat

dibandingkan dengan pemberi gratifikasi suap, sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Pidana penjara dititikberatkan berdasarkan identifikasi pertanggung

jawaban pidana korporasi dapat diberikan pada perusahaan farmasi yang

dalam pengertian sempit hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi)

yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, namun dalam arti

luas tidak hanya pejabat senior, tetapi juga agen di bawahnya, sehingga

dapat dikatakan pertanggungjawaban pidana korporasi yang diberikan ke

perusahaan farmasi dalam hal kerjasama dengan dokter terkait pemberian

obat pada pasien dapat diberikan kepada direktur korporasi, pejabat

138
Ibid, hlm. 143
123

senior, ataupun agen yang ada dalam korporasi tersebut yang dapat

dijadikan otak utama dalam perbuatan pidana tersebut.

Kerjasama adokter dengan PBF dalam pemberian obat terhadap

pasien yang dapat dikualifikasikan perbuatan pidana berupa kerjasama

yang dilarang dalam ketentuan pada Pasal 4 dan 5 Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 58 Tahun 2016 tentang Sponsorship bagi Tenaga

Kesehatan. Pertanggungjawaban etik dokter mengacu Pasal 3 KODEKI

terkait dalam hal promosi obat, dimana dokter tersebut dapat dikenakan

sanksi etik berupa pemberian peringatan tertulis, dan rekomendasi

pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktek. Sedangkan,

pertanggung jawaban hukum dokter berupa sanksi administratif

berdasarkan PMK Nomor 58 Tahun 2016 tentang Sponsorship Bagi

Tenaga Kesehatan dimana berupa teguran lisan, teguran tertulis,

pencabutan izin dan juga sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang

Tipikor yaitu pidana denda dan pidana penjara. Selain itu, PBF dapat

diberikan pertanggungjawaban etik mengacu pada Kode Etik IPMG

September 2019 dimana PBF mendapatkan teguran secara lisan dan

tertulis, pencabutan izin dan juga sanksi denda. Sedangkan,

pertanggungjawaban hukum mengacu pada PMK Nomor

1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi yaitu

sanksi administrasi berupa peringatan, penghentian sementara,

pencabutan pengakuan, dan pencabutan izin dan sanksi pidana berupa


124

pidana denda dan pidana penjara berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

yang paling relevan digunakan adalah teori gabungan karena dalam teori

tersebut terdapat unsur pembalasan dan pencegahan yang bertujuan

untuk memberikan efek jera dan sekaligus sebagai upaya pencegahan

terhadap tindak pidana yang sama. Hal tersebut di atas sejalan dengan

teori ini juga sesuai dengan konsep pemidanaan melalui Double Track

System yaitu konsep pemidanaan melalui dua jalur yaitu sanksi pidana

dan sanksi tindakan. Sanksi pidana bertujuan memberikan pembalasan

dan efek jera kepada pelaku tindak pidana sedangkan sanksi tindakan

berfokus pada usaha memberikan bantuan pada pelaku agar bisa

berubah dan mencegah masyarakat lain melakukan kejahatan yang sama.

Bertanggung jawab kepada masyarakat artinya, kesediaan

memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan profesinya, tanpa

membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan Cuma-Cuma

serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi

masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif

mencari keuntungan, juga berarti berani menanggung resiko yang timbul

akibat pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi

menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin diri sendiri,

orang lain, dan berdosa kepada Tuhan.


125

Hal ini sejalan dengan pendapat Van Hamel sebagaimana dikutip

oleh Eddy O.S Hiariej yaitu Pertanggungjawaban adalah suatu keadaan

normal psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan,

yaitu : 139

1. Mampu untuk dapat mengerti makna serta akibat sungguh-

sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri;

2. Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu

bertentangan dengan ketertiban masyarakat;

3. Mampu untuk melakukan kehendak berbuat.

Apabila dikaitkan dengan teori pertangungjawaban pidana tersebut

maka perbuatan Terdakwa memberi sejumlah uang walaupun secara

nominal dalam jumlah yang kecil, perbuatan tersebut telah memenuhi

unsur penyuapan, sehinga secara substansi perbuatan Terdakwa tersebut

memenuhi unsur tindak pidana korupsi, sehingga harus

dipertanggungjawabkan dengan ketentuan yang diatur undang-undang

tindak pidana korupsi. Semangat undang-undang tindak pidana korupsi

antara lain adalah untuk mencegah agar setiap orang tidak berupaya

mempengaruhi pejabat atau pegawai negeri dengan pemberian atau

hadiah yang dapat mempengaruhi dalam menjalankan tuigas dan

tanggung jawabnya.

139
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Jogjakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2014), hlm. 121.
126

selain ditujukan kepada Terpidana, pemidanaan terhadap pelaku

tindak pidana korupsi juga diarahkan untuk pencegahan, sebagaimana

menurut Andi Hamzah:140

Peraturan pidana dalam Undang-undang tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi merupakan Preventif secara tidak langsung
yaitu agar orang-orang lain tidak atau takut melakukan perbuatan
korupsi, atau yang bersangkutan (terpidana) jera untuk mengulangi
perbuatan korupsinya di kemudian hari.

Pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, konsep

Double Track System adalah berupa penjatuhan pidana penjara dan

denda. Pidana penjara merupakan “sanksi pidana” dalam konsep Double

Track System, karena pidana penjara merupakan perampasan

kemerdekaan dan pembalasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh

pelaku korupsi yang bertujuan agar adanya efek jera terhadap pelaku

tersebut. Sedangkan denda merupakan “sanksi tindakan” dalam konsep

Double Track System karena denda merupakan perampasan keuntungan

yang didapat dari kejahatan korupsi yang bertujuan untuk upaya

pencegahan terhadap kejahatan yang sama dan sebagai upaya

pengembalian kerugian keuangan negara.

Dihadapkan pada tujuh kelompok korupsi, maka tindak pidana suap

termasuk satu kelompok tindak pidana korupsi, dimana tujuh kelompok

tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak


141
Pidana Korupsi menurut versi KPK, yaitu:

140
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm 10.
141
Martiman Prodjohamidjojo, Pemberantasan Korupsi Suatu Komentar, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1984), hlm.17.
127

1. Kerugian keuangan negara (Psl 2 dan Psl 3);

2. Suap-menyuap (Psl 5; Psl 11, Psl 12).

3. Penggelapan dalam jabatan (Psl 8, Psl 9, Psl 10 a,b,c).

4. Pemerasan (Pasal 12a, f, g);

5. Perbuatan curang (Psl 7 (1); (2).

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (Psl 12i);

7. Gratifikasi (Psl 12B, 12C).

Selain 7 (tujuh) bentuk tindak pidana korupsi tersebut, masih ada

tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu: 142

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang

tidak benar.

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening

tersangka.

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau

memberi keterangan palsu.

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan

keterangan atau memberi keterangan palsu; dan

6. Saksi yang membuka identitas pelapor.

Diluar tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian keuangan

negara, tindak pidana korupsi yang diangkat dari KUHP utamanya adalah

penyuapan dan penggelapan serta perbuatan curang. Khusus tindak


142
Anatomi Muliawan dan Carli Caniago, “Efektifitas Pembalikan Beban
Pembuktian Dalam Tindak Pidana Gratifikasi”, Lex Jurnalica, Bagian Hukum Komisi
Pemberantasan Korupsi, Volume 7 Nomor 2, April 2010, hlm. 163.
128

pidana suap, dipindahkan ke dalam undang-undang tindak pidana korupsi

dengan tujuan :

1. Agar para pelaku tindak pidana suap dapat dikenakan sanksi

pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif. Sistem

pemidanaan secara kumulasi pidana pokok tidak dikenal dalam

KUHP. Ditariknya tindak pidana suap ke dalam undang-undang

tindak pidana korupsi dan dikeluarkan dari KUHP, maka kepada

pelaku suap dapat dikenakan sanksi pidana pokok sekaligus, yaitu

pidana penjara dan pidana denda. Jadi dimasukkan tindak pidana

suap ke dalam undang-undang tindak pidana korupsi dimaksudkan

agar pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

suap hanya dikenakan sanksi pidana dalam aturan umum KUHP.

2. Dapat dikenakan bentuk pidana minimum khusus. tindak

pidana suap menurut KUHP hanya dapat dikenakan sanksi straf

minimum umum yaitu pidana penjara minimum satu hari

berdasarkan Pasal 12 ayat (2) KUHP. Dengan ditariknya beberapa

pasal tindak pidana suap ke dalam undang-undang tindak pidana

korupsi, maka dapat dikenakan straf minimum khusus, misalnya

dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 20 Tahun 2001, pidana penjara

paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

3. Subyek pelaku suap dapat diperluas mendasari pengertian

pegawai negeri atau penyelenggara negara. pegawai negeri sesuai


129

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pegawai negeri adalah

meliputi:

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang tentang Kepegawaian;

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan

negara atau daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu

korporasi yang menerimabantuan dari keuangan negara

atau daerah;

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari

korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari

negara atau masyarakat.

4. Tindak pidana suap dapat dihubungkan dengan Undang-

Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan ditariknya tindak

pidana suap ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,

maka jika uang suap kemudian ditempatkan, disimpan dll, sesuai

dengan delik Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Pasal 3, 4, 5 maka kepada pelaku suap dapat dikenakan tindak

pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal adalah tindak

pidana korupsi suap.


130

5. Prevensi (pencegahan) baik secara umum agar orang lain

tidak melakukan perbuatan menerima atau memberi suap, maupun

prevensi khusus agar terpidana tidak lagi melakukan perbuatan

tindak pidana suap. Tujuan pemidanaan pencegahan (prevensi) ini

lebih dirasakan jika suap dimasukkan ke dalam Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi.

6. Dapat dikenakan pidana tambahan membayar uang

pengganti.

Dalam perkara Terdakwa tersebut, Majelis Hakim seyogyanya

menerapkan ketentuan tindak pidana korupsi, dengan ancaman pidana

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 yaitu :143

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan


paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
Analisis hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di

Indonesia merujuk pada KUHAP sebagai “lege generali” dan berlaku

terhadap semua jenis perkara pidana dan semua tingkat pemeriksaan.

Pada praktik perundang-undangan pidana di Indonesia sejak tahun 1960

143
Indonesia, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pasal 11
131

sampai saat ini, ketentuan KUHAP sebagai “lege generali” telah di

simpangi oleh ketentuan khusus hukum acara untuk beberapa jenis

perkara pidana tertentu seperti korupsi, pencucian uang, perkara narkotika

serta tindak pidana terorisme yang dikatan sebagai Extra Ordinary Crime

(Kejahatan Luar Biasa).

Untuk dapat mengenakan pidana pada pelaku karena melakukan

tindak pidana, aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana

berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri

seseorang sehingga sah jika dijatuhi hukuman. Pertanggungjawaban

pidana yang menyangkut masalah pembuat dari tindak pidana, aturan

mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan regulasi mengenai

bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban. Jadi

perbuatan yang dilarang oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan

pada sipembuatnya, artinya hukuman yang objektif terhadap hukuman itu

kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Pertanggungjwaban pidana

tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar tidak dapat

dipertanggungjawaban.

Uang yang diterima dokter dari perusahaan farmasi dapat

dikategorikan sebagai gratifikasi jika memenuhi unsur diantaranya dokter

yang menerima yang dari perusahaan farmasi yang berstatus pegawai

negeri atau penyelenggara negara. Namun jika dilihat, rumusan Pasal 12

B Undang-Undang Korupsi memiliki rumusan yang hampir sama dengan

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Anti Korupsi tapi dengan penjatuhan


132

sanksi yang berbeda. Jika melanggar ketentuan Pasal 12B Undang-

Undang Anti Korupsi dikenakan pidana seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling

sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sementara rumusan Pasal 5 ayat

(2) Undang-Undang Anti Korupsi penjatuhan sanksinya adalah pidana

penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau pidana denda

paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta) dan paling banyak

Rp.200.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah.)

Pada dasarnya praktek suap berlangsung dengan adanya

kerjasama antara dua pihak, yaitu pihak yang mengambil atau menerima

dengan pihak yang memberikan. Mungkin dalam hal korupsi, bisa saja

terjadi tanpa ada pihak yang secara aktif menjadi pemberi, misalnya

dalam hal seseorang yang melakukan korupsi dengan mengambil dana

negara atau masyarakat yang ada di bawah kewenangan atau

pengelolaannya, ini yang disebut sebagai penggelapan dalam jabatan. 144

Jika yang bersangkutan mengambil uang itu untuk kepentingan

sendiri adalah tindakan korupsi yang sama saja dengan pencurian biasa,

hanya modus operandinya yang berbeda. Namun jika melakukan tindakan

korupsi dengan penyalahgunaan wewenang seseorang yang menerima

suap dari orang lain sehubungan dengan jabatannya, maka ada dua pihak

yang melakukan korupsi, yaitu pihak yang menerima suap dan pihak yang
144
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran:Studi tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1998), hlm. 82
133

memberikannya.145 Sebagaimana ketentuan pada Pasal 5 UU Tipikor yang

menyatakan bahwa

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)


tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau
b. Tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
c. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Dari Pasal terebut terdapat unsur-unsur yaitu:

1. Unsur Subyek: setiap orang;

2. Unsur Kesalahan: Tidak secara tegas dirumuskan bentuk

kesengajaan. Namun bentuk kesalahan dalam tindak pidana suap

ini adalah bentuk sengaja, yang ternyata dfalam perbuatannya,

yaitu memberi sesuatu.

3. Unsur Melawan Hukum: Tidak dirumuskan secara tegas,

namun menurut pandangan PMH Formal, perbuatan suap

merupakan perbuatan yang melanggar hukum, karena segala

perbuatan yang telah dilarang dalam undang-undang, jika dilakukan

145
J. Soedrajat Djiwandono, Bergulat dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi
Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. 34
134

maka perbuatan tersebut adalah melawan hukum/melawan

Undang-undang.

4. Tindaka yang dilarang: memberi sesuatu atau menjanjikan

sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan

dengan maksud supaya pegawai negeri sebagai penyelenggara

negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Unsur setiap

orang yang dipahami sebagai orang perorangan (Personlijkheid)

dan badan hukum (Rechtspersoon).

Berikutnya menyatakan babhwa pelaku/terdakwa memberikan

sesuatu kepada seseorang atau koorporasi berupa barang sesuatu yang

bermanfaat dengan tujuan untuk mempermudah proses pengurusan

sesuatu hal atau dengan kata lain pemberian atau janji dimaksud supaya

pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau

menggabaikan sesuatu dalam jabatannya bertentangan dengan

kewajibannya.

Sejalan dengan uraian di atas, dikaitkan dengan teori tujuan hukum

berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan

dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana. Dengan demikian kesalahan

ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tak

hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana. Seseorang

dinyatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut

masalah pertanggungjawaban pidana.


135

Dalam KUHP hanya dijelaskan mengenai ancaman pidana yaitu

terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Dalam hal Tindak Pidana Korupsi

dijelaskan aturannya secara lengkap di luar KUHP, misalnya dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Tindak pidana korupsi tidak hanya mengancam stabilitas

perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat

membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, maka isi dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan

landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas

penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan

hasil tindak pidana.

Untuk menentukan sistem pemidanaan yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, maka harus diketahui berat ringannya pidana, jika dilihat

ketentuan Pasal KUHP dikemukakan bahwa pidana penjara yang

diterapkan dalam KUHP memiliki batas maksimum dan minimum, dimana

batas minimum penjatuhan pidana penjara pada pelaku tindak pidana

yaitu pidana penjara paling singkat satu hari sedangkan batas maksimum
136

yaitu seumur hidup atau selama waktu tertentu. Dalam hal ini pidana

penjara selama waktu tertentu tidak boleh melebihi dari lima belas tahun

sesuai yang terdapat dalam Pasal 12 KUHP.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pemidanaan secara

sederhana dapat diartikan dengan penghukuman. Penghukuman yang

dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan alasan-alasan

pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang

dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht

van gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan

tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar

penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan

negara dalam realitasnya sebagai roh. Sesuai dengan apa yang dikatakan

oleh Barda Nawawi Arief bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu

menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal.

Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk

mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk menjawab dan

mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari

teori-teori  tentang pemidanaan yang ada. Patut diketahui, bahwa tidaklah

semua filsuf ataupun pakar hukum pidana sepakat  bahwa negaralah yang

mempunyai hak untuk melakukan pemidanaan (subjectief strafrecht). Hal

ini dapat terlihat jelas pada pendapat Hezewinkel-Suringa yang

mengingkari sama sekali hak mempidana ini dengan mengutarakan

keyakinan mereka bahwa si penjahat tidaklah boleh dilawan dan bahwa


137

musuh tidaklah boleh dibenci. 146 Pendapat ini dapat digolongkan sebagai

bentuk negativisme, dimana  para ahli yang sependapat dengan Suringa

tersebut menyatakan hak menjatuhkan pidana sepenuhnya menjadi hak

mutlak dari Tuhan.

Negativisme yang dimaksud di atas, penulis anggap sebagai

bentuk penegakan hukum secara utopis di masa sekarang ini,

dikarenakan penegakan hukum agama menganggap Negara adalah

perpanjangan tangan Tuhan di dunia. Sementara itu, dewasa ini

cenderung untuk mengkotomikan antara konsep-konsep sistem

pemerintahan dan penegakan hukum dengan ajaran-ajaran agama

tertentu. Bagi kalangan religius hal ini dianggap menuju arah paham

sekularisme (walaupun tidak secara absolut), namun hal ini semakin hari-

hari semakin banyak dipraktekkan pada banyak Negara pada sistem


147
ketatanegaraan yang berimplikasi pada bentuk hukum pidana positif.

Hal ini dapat terlihat jelas di Indonesia dengan tidak

diberlakukannya hukum agama secara mutlak dalam hukum nasional kita

(faktor kemajemukan sosial) dan juga pada Negara-negara lainya. Jadi,

dapatlah disimpulkan bahwa berpedoman pada mazhab yang menyatakan

hukum dan negara adalah identik, karena adalah tak lain daripada satu

susunan tingkah laku manusia dan satu ketertiban masyarakat. Terkait

undang-undang diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

146
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung :
Refika Aditama, 2008), hlm. 23.
147
Russel Butarbutar, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerinntah di Bidang Konstruksi, (Bekasi :
Gramata Publishing, 2015), hlm. 97
138

Semua undang-undang hukum pidana diluar KUHP menganut

sistem pertanggunggjawaban pidana berdasarkan asas kesalahan. Tidak

ada satupun undang-undang diluar KUHP yang menganut sistem

pertanggungjawaban pidana berdasarkan asas ketiadaan kesalahan. 148

Selain itu, kebanyakan undang-undang pidana diluar KUHP mengakui

korporasi sebagai subjek delik disamping manusia. Sesuai dengan

Undang-Undang No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, profesi

dokter baik dokter umum ataupun spesialis masuk dalam tenaga kerja

medis dalam Pasal 11 Undang-Undang tersebut, dijelaskan bahwa

seorang dokter harus melalui uji kompetensi untuk mendapatkan Surat

Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP) dan diangkat sumpah

dokternya.149

Pada Undang-Undang No.36 Tahun 2014, disebutkan beberapa

tanggung jawab dan hak pemerintah mengatur dan mendayagunakan

para tenaga kesehatan untuk kepentingan publik. Dokter adalah salah

satu pihak yang masuk dalam definisi pegawai negeri atau penyelenggara

Negara yang memiliki kewenangan dan kewajiban yang berkaitan dengan

jabatannya.150 Unsur perbuatan melawan hukum yang mengikat profesi

dokter dalam kasus ini telah jelas tersebut dengan pasal 12 b UU No.20

Tahun 2001 :

1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara : Dokter

148
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana ;
perkembangan dan Penerapan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 5
149
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 118
150
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 6
139

2. Menerima hadiah : pemberian hadiah

3. Diketahui atau patut diduga : pikiran dokter terhadap motif

pemberian

4. Akibat telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya : menulis resep tanpa SOP yang memadai dan

melanggar Standar Etika Kedokteran.

Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi menetapkan

selain manusia alamiah juga korporasi sebagai subjek delik. Hal ini wajar

karena pertanggungjawaban tindak pidana korupsi itu bisa saja

dibebankan kepada korporasi (dalam hal ini adalah perusahaan farmasi).

Terkait dengan sistem pertanggungjawaban pidana, undang-undang

tindak pidana korupsi menganut sistem pertanggungjawaban pidana

berdasarkan asas kesalahan. Hal ini tercermin dari rumusan delik baik

secara eksplisit menyebutkan unsur “dengan sengaja” maupun secara

implisit terkandung maksud bahwa delik itu dilakukan dengan

kesengajaan seperti “memberi atau menjanjikan sesuatu”, “menerima

pemberian atau janji”, dalam delik Gratifikasi.

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh dokter sebagai tenaga

kesehatan ini dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.58 Tahun 2016

tentang Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan ini masih berbentuk sanksi

administratif. Selain hal tersebut, adapun yang dapat dilakukan oleh

pasien apabila mengalami kerugian yang dilakukan dokter dapat

mengajukan tuntutan pidana dimana bahwa seharusnya tindakan


140

kedokteran yang dapat dibawah ke ranah hukum pidana dibatasi terhadap

tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atas

akibat yang diancamkan pidana atau tindakan kedokteran yang

mengandung kelalaian nyata/berat.

Dalam hal mengetahui sanksi pidana yang dapat diberikan pada

dokter yang melakukan kerjasama seperti dalam hal gratifikasi dokter

dengan perusahaan farmasi berdasarkan Pasal 66 ayat (3) Undang-

Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan

bahwa “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak

pidana kepada pihak yang berwenang atau menggugat kerugian perdata

ke pengadilan”. Bentuk kegiatan kerjasama yang dilarang tersebut antara

dokter dengan perusahaan farmasi menimbulkan kerugian pada pasien

terkait hal pemberian obat dapat juga dimasukkan pada kegiatan

gratifikasi dimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.14

Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Menteri

Kesehatan yang mengatur tentang larangan penerimaan atau gratifikasi.

Gratifikasi dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.14 Tahun 2014

itu dibagi atas gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang tidak

dianggap suap. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.4 Tahun 2014

tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan,

gratifikasi dikategorikan menjadi dua yakni gratifikasi yang dianggap suap

dan gratifikasi yang tidak dianggap suap. Gratifikasi yang dianggap suap
141

dijelaskan sebagai gratifikasi yang diterima oleh aparatur yang

berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan

tugas penerima . Sementara itu, sebaliknya gratifikasi yang tidak dianggap

suap dijelaskan sebagai gratifikasi yang diterima oleh aparatur yang tidak

berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban

dan tugas penerima.

Pertanggungjawaban hukum (pidana) orang perorangan (dokter)

dalam hukum pidana memang secara tegas diatur dalam setiap

perundang-undangan pidana di Indonesia baik didalam KUHP maupun

diluar KUHP. Karena orang-perorangan saja yang bisa melakukan suatu

delik (perbuatan pidana). Karena hukum pidana menetapkan unsur

“barang siapa” yang artinya merujuk pada suatu manusia tertentu. Dalam

perkembangannya, hukum pidana juga menetapkan korporasi sebagai

subjek delik. Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi

persoalan. Akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik

hidup dalam suatu kelompok (group), sebenarnya sudah dikenal

perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok dan kedudukan

individu sebagai anggota dari suatu kelompok dan kedudukan individu

sebagai anggota dari suatu kelompok masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai