BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat.
Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping
sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan
dewasa ini, memahami etika kesehatan merupakan bagian penting dari
kesejahteraan masyarakat. Memahami etika kesehatan merupakan tuntunan
yang dipandang semakin perlu, karena etika kesehatan membahas tentang tata
susila tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, khususnya yang
berkaitan dengan pasien. Sehingga diharapkan dengan memahami etika
kesehatan maka mutu pelayanan kesehatan akan semakin baik.
Mutu pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan
sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Namun, terdapat beberapa masalah dalam pelayanan kesehatan, salah satunya
adalah tingginya biaya obat. Biaya obat merupakan komponen terbesar dalam
pembiayaan kesehatan saat ini. Dari sudut keterjangkauan secara ekonomis,
harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak
transparan yang salah satunya dipengaruhi oleh biaya promosi. Oleh karena
itu, dalam usaha melakukan promosi jenis obat maka perusahan farmasi harus
mempromosikan varian obat produksinya kepada tenaga kesehatan seperti
dokter atau perawat. Hal ini tentunya dapat mengindikasikan bahwa adanya
hubungan antara tenaga kesehatan seperti dokter atau perawat dengan
perusahaan farmasi yang bersifat simbiosis mutualisme.
Adanya dugaan pemberian komisi oleh perusahaan farmasi kepada
tenaga kesehatan (dokter/perawat) untuk menggunakan obat dan jumlah yang
sudah ditargetkan oleh perusahaan farmasi tersebut menjadi sebuah sorotan
mengenai korupsi yang terjadi pada profesi medis dan paramedis. Korupsi
merupakan suatu fenomena kejahatan yang menghambat pelaksanaan
pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benarbenar diprioritaskan. Salah satu bentuk korupsi menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 adalah gratifikasi.
Gratifikasi dapat meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon,
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian
1
hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan
sesuatu (uang, benda, tiket perjalanan, dan lain-lain) kepada orang lain
merupakan hal yang diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut ditujukan
untuk dapat mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya dan
sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan merupakan sebagai suatu
tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian
gratifikasi.
Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat
modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik
kualitas maupun kuantitasnya. Korupsi dalam bentuk gratifikasi dapat terjadi
pada pelayanan kesehatan masyarakat yang dapat merugikan masyarakat
sebagai pasien. Untuk itu, agar mutu pelayanan kesehatan tetap pada level
yang baik maka perbuatan gratifikasi harus ditindak sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan dan kode etik, serta disiplin profesi tenaga kesehatan.
B. Permasalahan
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas yaitu : Apakah
tindakan pemberian sesuatu dari perusahaan farmasi kepada tenaga kesehatan
(dokter/perawat) termasuk gratifikasi?.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gratifikasi
1. Pengertian
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima
di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik1.
Apabila dicermati penjelasan di atas, kalimat yang termasuk
definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat pemberian dalam arti luas,
sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari
penjelasan pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dapat dilihat bahwa
pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak
terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifkasi tersebut.
Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat
dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum,
melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal
12B saja1.
2. Kategori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori
yaitu :
a. Gratifikasi yang Dianggap Suap
Gratifikasi yang Dianggap Suap adalah Gratifikasi yang
diterima oleh Aparatur Kementerian Kesehatan yang berhubungan
dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas
penerima2.
Gratifikasi yang Dianggap Suap meliputi penerimaan namun
tidak terbatas pada2 :
1) Marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional yang
terkait dengan pemasaran suatu produk;
2) Cashback yang diterima instansi yang digunakan untuk
kepentingan pribadi;
3) Gratifikasi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa,
pelayanan publik, atau proses lainnya; dan
oleh
Aparatur
Kementerian
Kesehatan
yang
tidak
oleh
Verhezen
(2003),
Harkristuti
(2006)
dan
bila
pemberian
itu
patut
diduga
berkaitan
dengan
rambu
tambahan
yaitu
larangan
bagi
Pegawai
Anti
Korupsi
dan
Peraturan
Menteri
menghadiri
Acara
dan
keterlibatan
sebagai
10
dengan
kewajiban
untuk
mempromosikan,
c. Pasal 6
Tidak diperbolehkan menawarkan hadiah/penghargaan, insentif,
donasi, keuangan, dan sejenisnya kepada Profesi Kesehatan dikaitkan
dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat/produk suatu
perusahaan
2. Kode Etik Kedokteran
Berikut ini dijelaskan dalam kode etik kedokteran tentang
kemandirian profesi pada ayat 3, yaitu7 :
a. Ayat 2
Setiap dokter dilarang melakukan
mengakibatkan
hilangnya
perbuatan
kebebasan dan
yang
dapat
kemandirian profesi
11
dirinya,
barang
dan/atau
jasa
sebagaimana
keuntungan
kelompoknya
b. Ayat 3
Dokter sebagai perseorangan praktisi wajib menolak pemberian segala
bentuk apapun bila dikaitkan atau patut diduga dikaitkan dengan
kapasitas
profesionalnya
dalam
jasa
pasien/keluarganya
untuk
membeli
atau
mengkonsumsi
keikutsertaan
dalam
temu
ilmiah
mencakup
12
f. Ayat 11
Pemberian sponsor kepada seorang dokter haruslah dibatasi pada
kewajaran dan dinyatakan jelas tujuan, jenis, waktu dan tempat
kegiatan
13
bagi
pegawai
negeri
atau
penyelenggara
negara
Komisi
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi.
14
15
1.
2.
3.
4.
5.
6.
16
BAB III
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, menerima gratifikasi bukanlah sebuah tindak pidana,
karena definisi gratifikasi bersifat netral dan pemberiannya bersifat sukarela dan
dapat diberikan kepada siapa saja dan oleh siapa saja. Kriminalisasi terhadap
gratifikasi sendiri sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1971. Hal ini berkaitan
erat dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh penyelenggara negara
dan pegawai negeri yang dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan.
Suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dapat berubah menjadi suatu yang
perbuatan pidana suap khususnya pada seseorang tersebut melakukan tindakan
menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun ketika
seseorang tersebut melakukan tindakan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya.
Sebagai salah satu contoh kasus dalam bidang kesehatan adalah kerjasama
antara tenaga medis dengan perusahaan farmasi mengarahkan dokter untuk untuk
membeli obat ataupun peralatan medis ke perusahaan farmasi dan ini tentu
mempengaruhi dokter dalam memberikan resep kepada pasien. Dan perusahaan
farmasi pun membalas jasa dokter dengan cara memberikan fee. Akibat adanya
biaya khusus untuk memberikan pelayanan para dokter, maka perusahaan farmasi
menghitungnya sebagai biaya promosi yang kemudian dibebankan kepada biaya
produksi yang semakin tinggi dan berakibat pada mahalnya harga obat-obatan.
Akhirnya, harga obat yang mahal pun semuanya dibebankan kepada pasien.
Jika ditinjau dari segi etika kesehatan, tenaga medis tersebut melanggar
prinsip etik benefience, non-malefecien, dan akuntabilitas. Seorang tenaga medis
harusnya dapat berbuat baik terhadap pasien, tidak melakukan tindakan yang
merugikan
pasien,
serta
menjaga
nama
baik
profesi
dengan
prinsip
17
17
Republik
Indonesia
Nomor
20
Tahun
2001
Tentang
18
Anti
Korupsi
dan
Peraturan
Menteri
19
menghadiri
Acara
dan
keterlibatan
sebagai
20
(iii)
dengan
kewajiban
untuk
mempromosikan,
hilangnya
melakukan
perbuatan
kebebasan dan
yang
dapat
kemandirian profesi
21
dirinya,
barang
dan/atau
jasa
sebagaimana
keuntungan
kelompoknya
a. Ayat 3
Dokter sebagai perseorangan praktisi wajib menolak pemberian segala
bentuk apapun bila dikaitkan atau patut diduga dikaitkan dengan
kapasitas
profesionalnya
dalam
jasa
pasien/keluarganya
untuk
membeli
atau
mengkonsumsi
keikutsertaan
dalam
temu
transportasi
ilmiah
mencakup
sewajarnya
sesuai
22
berbagi
imbalan/komisi/diskon,
termasuk
pola
pemasaran
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merujuk pada aspek etik dan hukum tindakan gratifikasi pada tenaga
kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa jika seorang tenaga medis
melakukan tindakan memberi ataupun menerima imbalan yang diamana
bertentangan dengan
tugas/kewajiban
24
(melanggar
kode
etik),
serta
23
DAFTAR PUSATAKA
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014
Tentang Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kementerian Kesehatan
3. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2014. Buku Saku Memahami Gratifikasi
Edisi Kedua. Jakarta : KPK.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Hasyim, Musruroh dan Prasetyo, Joko, Etika Keperawatan, Penerbitan
Bangkit, Yogyakarta, 2012.
6. Kode Etik IPMG Tentang Praktek Pemasaran Produk Farmasi Revisi Juni 2015
7. Kode Etik Kedokteran 2012
24