Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat.
Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping
sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan
dewasa ini, memahami etika kesehatan merupakan bagian penting dari
kesejahteraan masyarakat. Memahami etika kesehatan merupakan tuntunan
yang dipandang semakin perlu, karena etika kesehatan membahas tentang tata
susila tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, khususnya yang
berkaitan dengan pasien. Sehingga diharapkan dengan memahami etika
kesehatan maka mutu pelayanan kesehatan akan semakin baik.
Mutu pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan
sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Namun, terdapat beberapa masalah dalam pelayanan kesehatan, salah satunya
adalah tingginya biaya obat. Biaya obat merupakan komponen terbesar dalam
pembiayaan kesehatan saat ini. Dari sudut keterjangkauan secara ekonomis,
harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat tidak
transparan yang salah satunya dipengaruhi oleh biaya promosi. Oleh karena
itu, dalam usaha melakukan promosi jenis obat maka perusahan farmasi harus
mempromosikan varian obat produksinya kepada tenaga kesehatan seperti
dokter atau perawat. Hal ini tentunya dapat mengindikasikan bahwa adanya
hubungan antara tenaga kesehatan seperti dokter atau perawat dengan
perusahaan farmasi yang bersifat simbiosis mutualisme.
Adanya dugaan pemberian komisi oleh perusahaan farmasi kepada
tenaga kesehatan (dokter/perawat) untuk menggunakan obat dan jumlah yang
sudah ditargetkan oleh perusahaan farmasi tersebut menjadi sebuah sorotan
mengenai korupsi yang terjadi pada profesi medis dan paramedis. Korupsi
merupakan suatu fenomena kejahatan yang menghambat pelaksanaan

pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benarbenar diprioritaskan. Salah satu bentuk korupsi menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 adalah gratifikasi.
Gratifikasi dapat meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon,
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pemberian
1
hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang memberikan
sesuatu (uang, benda, tiket perjalanan, dan lain-lain) kepada orang lain
merupakan hal yang diperbolehkan. Namun jika pemberian tersebut ditujukan
untuk dapat mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya dan
sebagai suatu usaha untuk memperoleh keuntungan merupakan sebagai suatu
tindakan yang tidak dibenarkan dan hal ini termasuk dalam pengertian
gratifikasi.
Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat
modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik
kualitas maupun kuantitasnya. Korupsi dalam bentuk gratifikasi dapat terjadi
pada pelayanan kesehatan masyarakat yang dapat merugikan masyarakat
sebagai pasien. Untuk itu, agar mutu pelayanan kesehatan tetap pada level
yang baik maka perbuatan gratifikasi harus ditindak sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan dan kode etik, serta disiplin profesi tenaga kesehatan.
B. Permasalahan
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas yaitu : Apakah
tindakan pemberian sesuatu dari perusahaan farmasi kepada tenaga kesehatan
(dokter/perawat) termasuk gratifikasi?.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gratifikasi
1. Pengertian
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima
di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik1.
Apabila dicermati penjelasan di atas, kalimat yang termasuk
definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat pemberian dalam arti luas,
sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari
penjelasan pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dapat dilihat bahwa
pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak
terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifkasi tersebut.
Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal 12B dapat
dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum,
melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal
12B saja1.
2. Kategori Gratifikasi
Penerimaan gratifikasi dapat dikategorikan menjadi dua kategori
yaitu :
a. Gratifikasi yang Dianggap Suap
Gratifikasi yang Dianggap Suap adalah Gratifikasi yang
diterima oleh Aparatur Kementerian Kesehatan yang berhubungan
dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas
penerima2.
Gratifikasi yang Dianggap Suap meliputi penerimaan namun
tidak terbatas pada2 :
1) Marketing fee atau imbalan yang bersifat transaksional yang
terkait dengan pemasaran suatu produk;
2) Cashback yang diterima instansi yang digunakan untuk
kepentingan pribadi;
3) Gratifikasi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa,
pelayanan publik, atau proses lainnya; dan

4) Sponsorship yang terkait dengan pemasaran atau penelitian suatu


produk.
b. Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap
Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap adalah Gratifikasi yang
diterima

oleh

Aparatur

Kementerian

Kesehatan

yang

tidak

berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban


dan tugas penerima2.
Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap yang terkait dengan
Kegiatan Kedinasan meliputi penerimaan dari3 :
1) Pihak lain berupa cinderamata dalam kegiatan resmi kedinasan
seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau
kegiatan lain sejenis;
2) Pihak lain berupa kompensasi yang diterima terkait kegiatan
kedinasan, seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan
pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada Standar Biaya yang
berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan
ganda, tidak terdapat Konflik Kepentingan, atau tidak melanggar
ketentuan yang berlaku di instansi penerima3.
3. Indikator Peraturan Gratifikasi
Gratifikasi saat ini diatur di dalam Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut ini adalah beberapa gambaran
yang dapat digunakan untuk lebih memahami mengapa gratifikasi perlu
diatur dalam suatu peraturan yaitu :
a. Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah
Perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia
diungkapkan

oleh

Verhezen

(2003),

Harkristuti

(2006)

dan

Lukmantoro (2007). Verhezen dalam studinya mengungkapkan adanya


perubahan mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat jawa
modern yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk mencapai
tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi.
Pemberian hadiah (Gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi
cenderung ke arah suap. Dalam konteks budaya Indonesia dimana

terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya


penekanan pada pentingnya hubungan yang sifatnya personal, budaya
pemberian hadiah menurut Verhazen lebih mudah mengarah pada
suap. Penulis lain, Harkristuti (2006) terkait pemberian hadiah
mengungkapkan adanya perkembangan pemberian hadiah yang tidak
ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda
kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah
memberikan jasa atau memberi kesenangan pada sang pemberi
hadiah3.
Demikian berkembangnya pemberian ini, yang kemudian
dikembangkan menjadi komisi sehingga para pejabat pemegang
otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan hak
mereka. Lukmantoro (2007) disisi lain membahas mengenai praktik
pengiriman parsel pada saat perayaan hari besar keagamaan atau di
luar itu yang dikirimkan dengan maksud untuk memuluskan suatu
proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik
gratifikasi3.
Catatan-catatan diatas paling tidak memberikan gambaran
mengenai adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang
diterima oleh pejabat publik. Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling
memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal
ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan
sebagainya. Namun jika praktik diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik
positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun
tata kelola pemerintahan yang baik. Pemberian yang diberikan kepada
pejabat publik cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang
dapat berpotensi mempengaruhi kinerja pejabat publik, menciptakan
ekonomi biaya tinggi dan dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan
layanan yang diberikan pada masyarakat3.
b. Konflik Kepentingan dalam Gratifikasi
Salah satu kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK (2009) mengungkapkan bahwa pemberian

hadiah atau gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara


adalah salah satu sumber penyebab timbulnya konflik kepentingan.
Konflik kepentingan yang tidak ditangani dengan baik dapat
berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi3.
Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang
Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan
berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga
memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang
dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang
seharusnya3.
Situasi yang menyebabkan seseorang penyelenggara Negara
menerima gratifikasi atau pemberian/penerimaan hadiah atas suatu
keputusan/jabatan merupakan salah satu kejadian yang sering dihadapi
oleh penyelenggara negara yang dapat menimbulkan konflik
kepentingan. Beberapa bentuk konflik kepentingan yang dapat timbul
dari pemberian gratifikasi ini antara lain adalah3 :
1) Penerimaan gratifikasi dapat membawa Kepentingan terseamar
(vested interest) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian
sehingga independensi penyelenggara negara dapat terganggu;
2) Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan
penilaian profesional penyelenggara negara;
3) Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk
mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi; dan lain-lain.
Penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara atau
pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau
menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar, semakin
lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan
mempengaruhi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang
bersangkutan. Banyak yang berpendapat bahwa pemberian tersebut
sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja, tetapi pemberian tersebut
patut diwaspadai sebagai pemberian yang berpotensi menimbulkan
konflik kepentingan karena terkait dengan jabatan yang dipangku oleh
penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari

pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu


untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa3.
4. Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi,
perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 20011.
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut: ...
Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu
perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara
atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi
atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut
diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya. Salah satu
kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda
terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam
bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan
yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan
korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah
oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai
gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai
Negeri,

bila

pemberian

itu

patut

diduga

berkaitan

dengan

jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara


Negara atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK
untuk dianalisis lebih lanjut3.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila Pasal 12B dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 telah melarang praktik gratifikasi atau pemberian hadiah
di Indonesia. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di

kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya


sebuah

rambu

tambahan

yaitu

larangan

bagi

Pegawai

Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat


dianggap suap.
B. Aspek Etik Gratifikasi
Beberapa prinsip etik kesehatan terhadap pasien yang bertentangan
dengan tindakan gratifikasi, yaitu :
1. Berbuat baik (Beneficience).
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik.
Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan,
penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh
diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi
konflik antara prinsip ini dengan otonomi5.
2. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cedera fisik
dan psikologis pada klien. Johnson (1989) menyatakan bahwa prinsip
untuk tidak melukai orang lain berbeda dan lebih keras daripada prinsip
untuk melakukan yang baik5.
3. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan
seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali5.
Tindakan pemberian sesuatu dari perusahaan farmasi kepada tenaga
kesehatan (dokter/perawat) telah diatur dalam kode etik farmasi dan kode etik
kedokteran yaitu sebagai berikut :
1. Kode Etik Farmasi
Berikut ini dijelaskan dalam kode etik farmasi tentang pemasaran
produk, yaitu6 :
a. Pasal 3
.4 Medical Representatif dilarang untuk memberi atau menawarkan
imbalan kepada anggota Profesi Kesehatan diluar dari yang
diuraikan dalam Pasal 6 di bawah.
b. Pasal 4

4.1.1 Setiap Transfer Nilai yang diberikan kepada Profesi Kesehatan


yang berstatus pegawai negeri dianggap sebagai gratifikasi.
Undang-Undang

Anti

Korupsi

dan

Peraturan

Menteri

Kesehatan No. 14/2014 mengatur kewajiban penerima


gratifikasi untuk melaporkan gratifikasi yang diterimanya.
4.1.2 Anggota IPMG menentukan sendiri proses untuk menegaskan
status kepegawaian Profesi Kesehatan, apakah mereka
berstatus pegawai negeri atau swasta (lihat Tanya-Jawab 3).
4.1.3 Dalam rangka menegakkan peraturan anti korupsi (melalui
transparasi pemberian gratifikasi untuk melindungi pihakpihak terkait, termasuk Anggota IPMG), dalam hal Profesi
Kesehatan adalah pegawai negeri, Anggota IPMG wajib
mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk
mengingatkan pegawai negeri dimaksud atas kewajiban
melaporkan gratifikasi tersebut. Langkah-langkah tersebut bisa
dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti kesepakatan tertulis,
undangan, presentasi, daftar hadir dan lain-lain. IPMG
memahami bahwa ada situasi khusus (misalnya jamuan bisnis
one-on-one) dimana peringatan di atas tidak dimungkinkan.
4.1.4 Kondisi utama sewaktu mengikat Profesi Kesehatan yang
berstatus pegawai negeri sebagai pembicara atau konsultan
(contohnya anggota dewan penasehat) atau menyediakan
fasilitas perjalanan, akomodasi dan/atau pendaftaran kepada
Profesi Kesehatan yang berstatus pengawai negeri untuk
menghadiri pertemuan:
(i) Anggota IPMG berinteraksi dengan Institusi dimana Profesi
Kesehatan tersebut bekerja, dalam hal pemberian sponsor
untuk

menghadiri

Acara

dan

keterlibatan

sebagai

pembicara, untuk Profesi Kesehatan yang berstatus pegawai


negeri, dan

10

(ii) Ada dokumen tertulis antara Anggota IPMG dan Institusi;


yang ditandatangani oleh Individu Yang Berwenang dari
kedua belah pihak, dan
(iii)

Rincian dukungan yang diberikan oleh Anggota


IPMG harus dinyatakan secara jelas dalam suatu dokumen
tertulis dengan Institusi.

Dalam konteks ini, Asosiasi Medis tidak dianggap sebagai


Institusi dimana Profesi Kesehatan tersebut bekerja. Semua kondisi
dan proses interaksi dengan Profesi Kesehatan yang selanjutnya
dijelaskan secara rinci dalam Kode Etik ini juga berlaku dalam
interaksi dengan Profesi Kesehatan yang berstatus pegawai negeri.
4.2.4 Anggota IPMG dilarang menawarkan segala induksi, apresiasi,
door prize, insentif, imbalan uang kepada Profesi Kesehatan
4.3.1.1 Sponsor yang diberikan kepada Profesi Kesehatan tidak boleh
dikaitkan

dengan

kewajiban

untuk

mempromosikan,

merekomendasikan atau menulis resep untuk produk farmasi

c. Pasal 6
Tidak diperbolehkan menawarkan hadiah/penghargaan, insentif,
donasi, keuangan, dan sejenisnya kepada Profesi Kesehatan dikaitkan
dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat/produk suatu
perusahaan
2. Kode Etik Kedokteran
Berikut ini dijelaskan dalam kode etik kedokteran tentang
kemandirian profesi pada ayat 3, yaitu7 :
a. Ayat 2
Setiap dokter dilarang melakukan
mengakibatkan

hilangnya

perbuatan

kebebasan dan

yang

dapat

kemandirian profesi

sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, antara lain :


a) Memberikan obat, alat/produk kesehatan, anjuran/nasehat atau
tindakan kedokteran, prototipe/cara/perangkat/sistem manajemen
klinis pelayanan langsung pasien dan/atau penerapan ilmu

11

pengetahuan, teknologi, keterampilan/kiat kedokteran yang belum


berdasarkan bukti ilmiah (evidence) dan/atau diakui di bidang
kedokteran yang mengakibatkan hilangnya integritas moral dan
keilmuannya
b) Membuat ikatan atau menerima imbalan berasal dari perusahaan
farmasi/ obat/ vaksin/ makanan/ suplemen/ alat kesehatan/ alat
kedokteran/ bahan/ produk atau jasa kesehatan/ terkait kesehatan
dan/atau berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan apapun dan dari
manapun dan/atau berasal dari pengusaha, perorangan atau badan
lain yang akan menghilangkan kepercayaan publik/masyarakat
terhadap dan menurunkan martabat profesi kedokteran
c) Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung dalam segala
bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan atau
mengiklankan

dirinya,

barang

dan/atau

jasa

sebagaimana

dimaksud Pasal 3, cakupan pasal butir 1 dan 2 di atas guna


kepentingan dan

keuntungan

pribadinya, sejawat/pihak lain

kelompoknya
b. Ayat 3
Dokter sebagai perseorangan praktisi wajib menolak pemberian segala
bentuk apapun bila dikaitkan atau patut diduga dikaitkan dengan
kapasitas

profesionalnya

dalam

meresepkan obat/ alat/ produk/

barang industri kesehatan tertentu dan anjuran penggunaan


kesehatan

jasa

tertentu, termasuk berniat mempengaruhi kehendak

pasien/keluarganya

untuk

membeli

atau

mengkonsumsi

obat/alat/produk/barang/jasa tertentu karena ia telah menerima atau


dijanjikan akan menerima komisi/keuntungan dari perusahaan
farmasi/alat/produk/jasa kesehatan tersebut.
c. Ayat 5
Dalam kehadirannya pada temu ilmiah, setiap dokter dilarang
mengikatkan diri untuk mempromosikan/meresepkan barang/produk
dan jasa tertentu, apapun bentuk bantuan sponsorshipnya.
d. Ayat 6
(6) Dokter dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk
keperluan

keikutsertaan

dalam

temu

ilmiah

mencakup

12

pendaftaran, akomodasi dan transportasi sewajarnya sesuai kode


etik masing-masing.
e. Ayat 7
(7) Dokter dilarang menyalahgunakan hubungan profesionalnya
dengan/terhadap pasien dan/atau keluarganya demi keuntungan
pribadi dan dilarang melibatkan diri dalam kolusi, kong kalikong,
berbagi imbalan/komisi/diskon, termasuk pola pemasaran beragam
jenjang (multi-level marketing) dan penarikan imbalan jasa secara
paket yang dibayarkan di muka.

f. Ayat 11
Pemberian sponsor kepada seorang dokter haruslah dibatasi pada
kewajaran dan dinyatakan jelas tujuan, jenis, waktu dan tempat
kegiatan

ilmiah tersebut serta kejelasan peruntukan pemberian

dimaksud dan secara berkala dilaporkan kepada pimpinan organisasi


profesi setempat untuk diteruskan ke pimpinan nasional Ikatan Dokter
Indonesia.
g. Ayat 15
Setiap dokter wajib mendukung program anti korupsi, kolusi, dan
nepotisme dari pemerintah, organisasi profesi atau pihak manapun
juga.
Walaupun hubungan antara dokter dengan industri farmasi atau alat
kesehatan dan pelbagai jasa ikutannya sudah dirasakan tak dapat
dipisahkan, namun hubungan yang menyimpangi kode etik kedua pihak
harus diakhiri, karena ibarat lereng yang licin (the slippery slope), dokter
tergelincir menjadi pedagang yang menganggap sah komisi, diskon dll,
padahal itu semua pasti memberatkan pasien/keluarganya yang tengah
menderita atau pihak ketiga yang menanggungnya. Dokter memiliki
kekuasaan besar untuk menentukan pilihan produk/barang/jasa tersebut,
sehingga sepantasnya etika kedokteranlah yang menjadi rem kekuasaan
ini. Pada diri dokter terlebih dahulu muncul tanggungjawab daripada

13

kebebasannya. Uraian tersebut menggambarkan bahwa pasal ini


merupakan salah satu cirri profesi luhur7.
C. Aspek Yuridis Gratifikasi
Adapun Undang-Undang dan Peraturan Menteri yang mengatur tentang
gratifikasi, yaitu1,2,4 :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
a. Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut :
(a) Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
(b) Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana

bagi

pegawai

negeri

atau

penyelenggara

negara

sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara


seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
b. Pasal 12C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada

Komisi

Pemberantasan

Tindak

Pidana

Korupsi.

Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima.

14

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu


paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima
laporan, wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam UndangUndang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
a. Pasal 16
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,
dengan tata cara sebagai berikut :
(a) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir
sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
(b) Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf (a) sekurangkurangnya memuat :
1) Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
2) Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3) Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4) Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5) nilai gratifikasi yang diterima
Penjelasan pasal 16 menyebutkan bahwa Ketentuan dalam Pasal
ini mengatur mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014
Tentang Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kementerian Kesehatan.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,
Dan Nepotisme.
a. Pasal 2
Penyelenggara Negara meliputi:

15

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;


Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
Menteri;
Gubernur;
Hakim;
Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; dan


7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

16

BAB III
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, menerima gratifikasi bukanlah sebuah tindak pidana,
karena definisi gratifikasi bersifat netral dan pemberiannya bersifat sukarela dan
dapat diberikan kepada siapa saja dan oleh siapa saja. Kriminalisasi terhadap
gratifikasi sendiri sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1971. Hal ini berkaitan
erat dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh penyelenggara negara
dan pegawai negeri yang dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu kebijakan.
Suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dapat berubah menjadi suatu yang
perbuatan pidana suap khususnya pada seseorang tersebut melakukan tindakan
menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun ketika
seseorang tersebut melakukan tindakan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya.
Sebagai salah satu contoh kasus dalam bidang kesehatan adalah kerjasama
antara tenaga medis dengan perusahaan farmasi mengarahkan dokter untuk untuk
membeli obat ataupun peralatan medis ke perusahaan farmasi dan ini tentu
mempengaruhi dokter dalam memberikan resep kepada pasien. Dan perusahaan
farmasi pun membalas jasa dokter dengan cara memberikan fee. Akibat adanya
biaya khusus untuk memberikan pelayanan para dokter, maka perusahaan farmasi
menghitungnya sebagai biaya promosi yang kemudian dibebankan kepada biaya
produksi yang semakin tinggi dan berakibat pada mahalnya harga obat-obatan.
Akhirnya, harga obat yang mahal pun semuanya dibebankan kepada pasien.
Jika ditinjau dari segi etika kesehatan, tenaga medis tersebut melanggar
prinsip etik benefience, non-malefecien, dan akuntabilitas. Seorang tenaga medis
harusnya dapat berbuat baik terhadap pasien, tidak melakukan tindakan yang
merugikan

pasien,

serta

menjaga

nama

baik

profesi

dengan

prinsip

akuntabilitasnya. Karena dengan tingginya harga obat maka dapat merugikan


pasien. Namun, jika ditinjau dari aspek yuridis maka tindakan tersebut sebenarnya
termasuk dalam kategori gratifikasi dianggap suap.

17

17

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14


Tahun 2014 Tentang Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kementerian
Kesehatan Gratifikasi yang Dianggap Suap adalah Gratifikasi yang diterima oleh
Aparatur Kementerian Kesehatan yang berhubungan dengan jabatan dan
berlawanan dengan kewajiban dan tugas penerima salah satunya meliputi
penerimaan namun tidak terbatas pada marketing fee atau imbalan yang bersifat
transaksional yang terkait dengan pemasaran suatu produk2.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12B ayat 1 dijelaskan bahwa Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :. Hal ini
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi terbatas pada
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sedangkan tidak dijelaskan bagaimana
pemberlakuan pasal tersebut pada pihak swasta, dalam hal ini tenaga kesehatan
(medis ataupun paramedis) di lingkup swasta.
Pegawai Negeri dan Pejabat Negara yang dimaksudkan dalam Pasal 12B
Undang-Undang

Republik

Indonesia

Nomor

20

Tahun

2001

Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan dalam pasal 2 Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yaitu Penyelenggara
Negara meliputi8 :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;


Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
Menteri;
Gubernur;
Hakim;
Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; dan


7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

18

Namun hal tersebut tidak mengindikasikan tenaga kesehatan yang bekerja


dilingkungan swasta dapat bebas melakukan praktik gratifikasi tersebut.
Bedasarkan surat edaran Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor : B-33/0113/01/2014 pada poin ke 4 dijelaskan tentang9 :
a. Tidak menyuruh atau menginstruksikan untuk menawarkan atau memberikan
suap, gratifikasi, pemerasan atau uang pelican dalam bentuk apapun kepada
lembaga pemerintah, perseorangan atau kelembagaan, perusahaan domestic
atau asing untuk mendapatkan berbagai bentuk manfaat bisnis sebagaimana
dilarang oleh perundang-undangan yang berlaku.
b. Tidak membiarkan adanya praktik suap, gratifikasi, pemerasan atau uang
pelicin pelican dalam bentuk apapun kepada lembaga pemerintah,
perseorangan atau kelembagaan, perusahaan domestic atau asing untuk
mendapatkan berbagai bentuk manfaat bisnis sebagaimana dilarang oleh
perundang-undangan yang berlaku.
c. Bertanggungjawab mencegah dan mengupayakan pencegahan korupsi di
lingkungannya dengan meningkatkan integritas, pengawasan, dan perbaikan
system sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Gratifikasi saat ini merupakan suatu hal yang telah berubah menjadi
kebiasaan negative. Setiap tenaga medis yang menerima fee dari perusahaan
farmasi meskipun tidak semua tenaga medis ataupun tenaga kesehatan melakukan
hal tersebut, seperti dijelaskan pada kasus diatas dapat dikategorikan melanggar
kode etik keprofesian masing-masing. Berikut ini dijelaskan dalam kode etik
farmasi dank ode etik kedokteran, yaitu6,7 :
1. Kode Etik Farmasi
a. Pasal 3
.4 Medical Representatif dilarang untuk memberi atau menawarkan
imbalan kepada anggota Profesi Kesehatan diluar dari yang
diuraikan dalam Pasal 6 di bawah.
b. Pasal 4
4.1.1 Setiap Transfer Nilai yang diberikan kepada Profesi Kesehatan
yang berstatus pegawai negeri dianggap sebagai gratifikasi.
Undang-Undang

Anti

Korupsi

dan

Peraturan

Menteri

19

Kesehatan No. 14/2014 mengatur kewajiban penerima


gratifikasi untuk melaporkan gratifikasi yang diterimanya.
4.1.2 Anggota IPMG menentukan sendiri proses untuk menegaskan
status kepegawaian Profesi Kesehatan, apakah mereka
berstatus pegawai negeri atau swasta (lihat Tanya-Jawab 3).
4.1.3 Dalam rangka menegakkan peraturan anti korupsi (melalui
transparasi pemberian gratifikasi untuk melindungi pihakpihak terkait, termasuk Anggota IPMG), dalam hal Profesi
Kesehatan adalah pegawai negeri, Anggota IPMG wajib
mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk
mengingatkan pegawai negeri dimaksud atas kewajiban
melaporkan gratifikasi tersebut. Langkah-langkah tersebut bisa
dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti kesepakatan tertulis,
undangan, presentasi, daftar hadir dan lain-lain. IPMG
memahami bahwa ada situasi khusus (misalnya jamuan bisnis
one-on-one) dimana peringatan di atas tidak dimungkinkan.
4.1.4 Kondisi utama sewaktu mengikat Profesi Kesehatan yang
berstatus pegawai negeri sebagai pembicara atau konsultan
(contohnya anggota dewan penasehat) atau menyediakan
fasilitas perjalanan, akomodasi dan/atau pendaftaran kepada
Profesi Kesehatan yang berstatus pengawai negeri untuk
menghadiri pertemuan:
(i) Anggota IPMG berinteraksi dengan Institusi dimana Profesi
Kesehatan tersebut bekerja, dalam hal pemberian sponsor
untuk

menghadiri

Acara

dan

keterlibatan

sebagai

pembicara, untuk Profesi Kesehatan yang berstatus pegawai


negeri, dan
(ii) Ada dokumen tertulis antara Anggota IPMG dan Institusi;
yang ditandatangani oleh Individu Yang Berwenang dari
kedua belah pihak, dan

20

(iii)

Rincian dukungan yang diberikan oleh Anggota


IPMG harus dinyatakan secara jelas dalam suatu dokumen
tertulis dengan Institusi.

Dalam konteks ini, Asosiasi Medis tidak dianggap sebagai


Institusi dimana Profesi Kesehatan tersebut bekerja. Semua kondisi
dan proses interaksi dengan Profesi Kesehatan yang selanjutnya
dijelaskan secara rinci dalam Kode Etik ini juga berlaku dalam
interaksi dengan Profesi Kesehatan yang berstatus pegawai negeri.
4.2.4 Anggota IPMG dilarang menawarkan segala induksi, apresiasi,
door prize, insentif, imbalan uang kepada Profesi Kesehatan
4.3.1.1 Sponsor yang diberikan kepada Profesi Kesehatan tidak boleh
dikaitkan

dengan

kewajiban

untuk

mempromosikan,

merekomendasikan atau menulis resep untuk produk farmasi


c. Pasal 6
Tidak diperbolehkan menawarkan hadiah/penghargaan, insentif,
donasi, keuangan, dan sejenisnya kepada Profesi Kesehatan dikaitkan
dengan penulisan resep atau anjuran penggunaan obat/produk suatu
perusahaan
2. Kode Etik Kedokteran
a. Ayat 2
Setiap dokter dilarang
mengakibatkan

hilangnya

melakukan

perbuatan

kebebasan dan

yang

dapat

kemandirian profesi

sebagaimana dimaksud pada Pasal 3, antara lain :


(a) Memberikan obat, alat/produk kesehatan, anjuran/nasehat atau
tindakan kedokteran, prototipe/cara/perangkat/sistem manajemen
klinis pelayanan langsung pasien dan/atau penerapan ilmu
pengetahuan, teknologi, keterampilan/kiat kedokteran yang belum
berdasarkan bukti ilmiah (evidence) dan/atau diakui di bidang
kedokteran yang mengakibatkan hilangnya integritas moral dan
keilmuannya
(b) Membuat ikatan atau menerima imbalan berasal dari perusahaan
farmasi/ obat/ vaksin/ makanan/ suplemen/ alat kesehatan/ alat
kedokteran/ bahan/ produk atau jasa kesehatan/ terkait kesehatan

21

dan/atau berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan apapun dan dari


manapun dan/atau berasal dari pengusaha, perorangan atau badan
lain yang akan menghilangkan kepercayaan publik/masyarakat
terhadap dan menurunkan martabat profesi kedokteran
(c) Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung dalam segala
bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mempromosikan atau
mengiklankan

dirinya,

barang

dan/atau

jasa

sebagaimana

dimaksud Pasal 3, cakupan pasal butir 1 dan 2 di atas guna


kepentingan dan

keuntungan

pribadinya, sejawat/pihak lain

kelompoknya
a. Ayat 3
Dokter sebagai perseorangan praktisi wajib menolak pemberian segala
bentuk apapun bila dikaitkan atau patut diduga dikaitkan dengan
kapasitas

profesionalnya

dalam

meresepkan obat/ alat/ produk/

barang industri kesehatan tertentu dan anjuran penggunaan


kesehatan

jasa

tertentu, termasuk berniat mempengaruhi kehendak

pasien/keluarganya

untuk

membeli

atau

mengkonsumsi

obat/alat/produk/barang/jasa tertentu karena ia telah menerima atau


dijanjikan akan menerima komisi/keuntungan dari perusahaan
farmasi/alat/produk/jasa kesehatan tersebut.
b. Ayat 5
Dalam kehadirannya pada temu ilmiah, setiap dokter dilarang
mengikatkan diri untuk mempromosikan/meresepkan barang/produk
dan jasa tertentu, apapun bentuk bantuan sponsorshipnya.
c. Ayat 6
6) Dokter dapat menerima bantuan dari pihak sponsor untuk
keperluan

keikutsertaan

dalam

pendaftaran, akomodasi dan

temu

transportasi

ilmiah

mencakup

sewajarnya

sesuai

kode etik masing-masing.


a. Ayat 7
7) Dokter dilarang menyalahgunakan hubungan profesionalnya
dengan/terhadap pasien dan/atau keluarganya demi keuntungan
pribadi dan dilarang melibatkan diri dalam kolusi, kong kalikong,

22

berbagi

imbalan/komisi/diskon,

termasuk

pola

pemasaran

beragam jenjang (multi-level marketing) dan penarikan imbalan


jasa secara paket yang dibayarkan di muka.
a. Ayat 11
Pemberian sponsor kepada seorang dokter haruslah dibatasi pada
kewajaran dan dinyatakan jelas tujuan, jenis, waktu dan tempat
kegiatan

ilmiah tersebut serta kejelasan peruntukan pemberian

dimaksud dan secara berkala dilaporkan kepada pimpinan organisasi


profesi setempat untuk diteruskan ke pimpinan nasional Ikatan Dokter
Indonesia.
b. Ayat 15
Setiap dokter wajib mendukung program anti korupsi, kolusi, dan
nepotisme dari pemerintah, organisasi profesi atau pihak manapun
juga.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merujuk pada aspek etik dan hukum tindakan gratifikasi pada tenaga
kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa jika seorang tenaga medis
melakukan tindakan memberi ataupun menerima imbalan yang diamana
bertentangan dengan

tugas/kewajiban

24

(melanggar

kode

etik),

serta

23

berhubungan dengan jabatannya maka dapat digolongkan kedalam tindakan


gratifikasi yang mengarah pada tindakan pidana korupsi.
B. Saran
Gratifikasi yang terjadi pada tenaga kesehatan dapat dicegah dengan
jalan meningkatkan supremasi hukum, memberikan hukuman kepada pemberi
dan penerima gratifikasi yang tergolong tindak pidana korupsi, serta
meningkatkan kesadaran atas dasar menolong orang banyak sesuai dengan
prinsip kemanusian sebagai tenaga kesehatan yang merupakan salah satu ujung
tombak dalam mewujudkan Indonesia yang sehat.

DAFTAR PUSATAKA
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014
Tentang Pengendalian Gratifikasi Di Lingkungan Kementerian Kesehatan
3. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2014. Buku Saku Memahami Gratifikasi
Edisi Kedua. Jakarta : KPK.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Hasyim, Musruroh dan Prasetyo, Joko, Etika Keperawatan, Penerbitan
Bangkit, Yogyakarta, 2012.
6. Kode Etik IPMG Tentang Praktek Pemasaran Produk Farmasi Revisi Juni 2015
7. Kode Etik Kedokteran 2012

24

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang


Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,
Dan Nepotisme.
9. Surat Edaran Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor : B-33/0113/01/2014

Anda mungkin juga menyukai