Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio. Dalam bahasa Inggris
adalah corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis disebut corruption dan dalam
bahasa Belanda disebut dengan coruptie. Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata
korupsi dalam bahasa Indonesia (Andi, 2007)

Korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan


uang sogok dan sebagainya). Korupsi berakibat sangat berbahaya bagi kehidupan
manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi, dan individu. Bahaya
korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi adalah seperti kanker dalam darah,
sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia
menginginkan dapat hidup terus. (K. A. Abbas, 1975)

Masalah korupsi mempunyai banyak segi. Korupsi dapat dipandang dari segi
kriminologi, kebudayaan, politik, ekonomi,pertahanan,filsafat dan sebagainya. Masalah
gratifikasi (diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang nomor
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), merupakan bagian dari
usaha politik kriminil. Pemberian sanksi pidana terhadap perbuatan yang tidak
dikehendaki oleh pembentuk undang-undang dimaksud untuk mencegah dilakukannya
perbuatan

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah


pembuktian bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak
berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang, berubah sesuai dengan perubahan
dan tuntutan zaman.
Menurut Pius Abdillah dan Anwar Syarifudin dalam kamus Bahasa Indonesia
korupsi adalah perbuatan buruk seperti menggelapkan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya. Jadi secara etimologis, kata korupsi berarti kemerosotan dari keadaan yang
semula baik, sehat, benar, menjadi penyelewengan, busuk

Menurut Pasal 1 butir 3 Undang-undang No. 26 ta hun 1999 tentang


penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pengertian korupsi adalah sebagai berikut : "Korupsi adalah

1. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan


2. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
3. Unsur melawan hukum

Tindak pidana merupakan perilaku atau tindakan yang melanggar hukum


terutama hukum pidana, sedangkan korupsi merupakan perbuatan busuk, buruk, bejat,
tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral dll. Jadi bisa disimpulkan tindak pidana korupsi
adalah perbuatan yang melanggar hukum pidana yang berhubungan dengan perbuatan
busuk, tidak jujur, dapat disuap.

Sedangkan menurut UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang


pemberantasan tindak pidana korupsi, terdapatberdasarkan keyakinannya, keyakinan
yang dapa t didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim
dijatuhkan dengan suatu motivasi

Korupsi di zaman sekarang ini sudah memasuki segala sektor, tanpa terkecuali di
bidang kesehatan, yaitu di bidang kedokteran. Profesi dokter merupakan profesi yang
terhormat, karena profesi tersebut sesungguhnya bernilai kemanusiaan apabila memang
dijalankan sebagaimana mestinya dan menjadi berlawanan apabila tidak dilakukan
sebagaimana mestinya yang tidak sesuai dengan kode etik.

Profesi dokter sebagai profesi terhormat yang dalam menjalankan profesinya


terikat dengan kode etik, harusnya bisa menjalankan profesinya dengan baik dan jujur.
Sebab persoalan gratifikasi ataupun korupsi dilingkungan kedokteran tidak hanya terbatas
pada kode etik saja, melainkan juga persoalan hukum. Berbicara persoalan hukum dalam
hal ini, berarti yang dimaksud adalah lapangan hukum pidana, yaitu hukum pidana
khusus. Khusus karena persoalan ini diatur tersendiri diluar KUHP (Kitab Undang-
undang Hukum Pidana). Disisi lain tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi sudah
dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Sektor kesehatan merupakan urusan publik yang tidak lepas dari praktek korupsi.
Korupsi pada sektor kesehatan melibatkan aparat dan pejabat tingkat rendah hingga
tingkat tinggi. Pada tingkat rendah menyentuh pada kepala dinas kesehatan (Dinkes) pada
tingkat kabupaten/kota dan provinsi, sedangkan pada tingkat tinggi melibatkan pejabat
pada kantor kementerian kesehatan dan lembaga lainnya pada tingkat nasional seperti
BPOM maupun anggota DPR yang membidangi kesehatan.

Terjadinya kasus-kasus korupsi pada sektor kesehatan yang melibatkan pejabat


pada kementerian kesehatan dan dinas kesehatan lokal menunjukkan rendahnya
transparansi dan akuntabilitas serta kepatuhan pada hukum. Besarnya diskresi atau
kewenangan pejabat dan rendahnya etika pejabat sektor kesehatan menyebabkan
menguatnya dan meningkatnya kesempatan melakukan praktek korupsi disektor
kesehatan.

Dalam dunia medis sebenarnya banyak sekali hal yang dapat dikategorikan
sebagai korupsi, mulai dari hal kecil sampai ke hal - hal yang besar. Salah satunya adalah
korupsi dalam penggunaan dana alat – alat kesehatan yang seringkali disalahgunakan
oleh pihak pihak tertentu dalam dunia kesehatan.

Pemberantasan korupsi marak dilakukan di berbagai institusi. Sejak


diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) awal 2014 lalu, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai aktif melakukan kajian untuk menilai potensi
korupsi dibidang kesehatan. Korupsi merupakan bagian dari Fraud. Dalam sektor
kesehatan, istilah Fraud lebih umum digunakan untuk menggambarkan bentuk
kecurangan yang tidak hanya berupa korupsi tetapi juga mencakup penyalahgunaan aset
dan pemalsuan pernyataan. Fraud dalam sektor kesehatan dapat dilakukan oleh semua
pihak yang terlibat dalam program JKN mulai dari peserta BPJS Kesehatan, penyedia
layanan kesehatan, BPJS Kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan. Uniknya
masing-masing aktor ini dapat bekerjasama dalam aksi Fraud atau saling mencurangi satu
sama lain.

Fraud menyebabkan kerugian finansial negara. Di seluruh Indonesia, data yang


dilansir KPK menunjukkan bahwa hingga Juni 2015 terdeteksi potensi Fraud dari
175.774 klaim Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp.
440 M. Ini baru dari kelompok klinisi, belum dari aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan,
pasien, dan suplier alat kesehatan dan obat. Nilai ini mungkin saja belum total mengingat
sistem pengawasan dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana (KPK, 2015).

Besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan, mendorong pemerintah menerbitkan


Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai
dasar hukum pengembangan sistem anti Fraud layanan kesehatan di Indonesia. Sejak
diluncurkan April 2015 lalu, peraturan ini belum optimal dijalankan. Dampaknya, Fraud
layanan kesehatan berpotensi semakin banyak terjadi namun tidak diiringi dengan sistem
pengendalian yang mumpuni.

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sebuah organisasi


profesional yang bergerak dibidang pemeriksaan atas kecurangan dan mempunyai tujuan
untuk memberantas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan telah
memiliki cabang di Indonesia, mengklasifikasikan Fraud (kecurangan) dalam beberapa
klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi mengenai hal-
hal yang ditimbulkan oleh kecurangan sebagai berikut:

Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation). Asset


misappropriation meliputi penyalahgunaan/ pencurian aset atau harta perusahaan atau
pihak lain. Ini merupakan bentuk Fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya
yang tangible atau dapat diukur/ dihitung (defined value).

Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement). Fraudulent


statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan
atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan
melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan
keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan
istilah window dressing.

Korupsi (Corruption). Jenis Fraud ini yang paling sulit dideteksi karena
menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini
merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan
hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor
integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena
para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisma). Termasuk
didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest),
penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan
secara ekonomi (economic extortion).

Secara umum, Fraud adalah sebuah tindakan kriminal menggunakan metode-


metode yang tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari orang lain (Merriam-Webster
Online Dicionary). Secara khusus, Fraud dalam jaminan kesehatan didefinisikan sebagai
sebuah tindakan untuk mencurangi atau mendapat manfaat program layanan kesehatan
dengan cara yang tidak sepantasnya (HIPAA, 1996)

Contoh Kasus Korupsi Dalam Sektor Kesehatan

Kasus dokter Ayu yang divonis hukuman 10 bulan penjara oleh MA sepertinya
mampu membangunkan kesadaran masyarakat betapa buruknya pelayanan kesehatan di
Indonesia. Selain pelayanan yang buruk, kasus korupsi yang menjerat para dokter dan
orang-orang yang terlibat dalam bidang kesehatan juga menyebabkan citra dokter
semakin terpuruk.

Tulisan ini akan mencoba membuka kembali lembaran-demi lembaran prasasti


tentang jenis-jenis tindak pidana korupsi (TIPIKOR) yang kerap dilakukan oleh para
dokter dan orang-orang yang berkecimpung dibidang kesehatan baik yang dilakukan
secara sengaja maupun yang dilakukan karena ketidaktahuannya. Fakta bahwa dokter
juga melakukan korupsi perlu diangkat ke publik karena kejahatan korupsi di Indonesia
sudah membuat hati masyarakat Indonesia gundah gulana. Kegundahan yang disebabkan
hampir setiap hari berita tentang tertangkapnya koruptor tidak pernah berhenti. Survei
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) beberapa tahun lalu yang menempatkan
Indonesia dalam kelompok Negara terkorup juga membuat hati semakin miris dan
meringis.

Dan diantara kasus-kasus korupsi yang pernah ditangani oleh aparat penegak
hukum baik KPK, kejaksaan dan kepolisian beberapa diantaranya menyeret dokter baik
sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana. Catatan KPK menunjukkan, di tahun
2005 saja, ada 93 kasus yang menyeret orang-orang yang bekerja dibidang kesehatan dan
11 dokter diantaranya telah dijatuhi hukuman.

Kongkalingkong dokter dengan produsen obat

Sudah bukan rahasia lagi jika dokter mempunyai hubungan spesial dengan
perusahaan farmasi. Dokter sering dijadikan ujung tombak pemasaran obat-obatan dari
perusahaan farmasi tertentu. Kerjasama spesial dokter-perusahaan farmasi mengarahkan
dokter untuk untuk membeli obat ataupun peralatan medis ke perusahaan farmasi dan ini
tentu mempengaruhi dokter dalam memberikan resep kepada pasien. Dan perusahaan
farmasi pun membalas jasa dokter dengan cara memberikan fee baik berupa discount
khusus maupun fasilitas lain seperti jalan-jalan ke luar negeri, biaya dan akomodasi
seminar. Akibat adanya biaya khusus untuk memberikan pelayanan para dokter, maka
perusahaan farmasi menghitungnya sebagai biaya promosi yang kemudian dibebankan
kepada biaya produksi yang semakin tinggi dan berakibat pada mahalnya harga obat-
obatan. Akhirnya, harga obat yang mahal pun semuanya dibebankan kepada pasien.
Menurut Direktur Gratifikasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono,
pemberian fee baik berupa discount khusus maupun fasilitas lain seperti jalan-jalan ke
luar negeri, biaya dan akomodasi seminar merupakan bentuk gratifikasi dan dapat
dikategorikan tindakan korupsi.

Pasalnya, gratifikasi perusahaan farmasi kepada dokter baik secara langsung


maupun tidak langsung akan mempengaruhi dokter untuk memberikan resep atau alat
kesehatan ke perusahaan tertentu yang telah menjalin kerjasama dengan dokter. Seperti
diketahui, regulasi tentang gratifikasi tercantum jelas dalam UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Berdasar undang-undang tersebut, sumbangan bisa saja masuk kategori gratifikasi. Setiap
gratifikasi kepada PNS atau penyelenggara negara dianggap korupsi, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Menurut Pasal 12B UU No. 20/2001 bagi penerima gratifikasi dihukum pidana seumur
hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (Rp1
Milyar). Kecuali, apabila penerima gratifikasi melaporkannya ke KPK dalam waktu 30
hari setelah diterimanya gratifikasi.

Mark up dana pengadaan alat kesehatan

Selain gratifikasi, tindak pidana korupsi yang paling banyak menjerat dokter dan
tenaga kesehatan adalah mark up dan manipulasi dana pengadaan alat kesehatan untuk
Puskesmas dan RSUD. Contoh dari kasus ini adalah hukuman terhadap mantan Menteri
Kesehatan di era Presiden Megawati, Achmad Suyudi yang dijatuhi hukuman penjara 2
tahun 3 bulan dan denda 100 juta rupiah. Proyek pengadaan alat kesehatan untuk 32
RSUD di wilayah Indonesia timur tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga 104
milyar rupiah. Selain Achmad Suyudi, mantan Menteri Kesehatan KIB-1 era Presiden
SBY, Siti Fadilah Supari juga terjerat kasus pengadaan alkes dalam rangka wabah flu
burung tahun 2006-2007. Mantan Menteri Kesehatan almarhumah Endang Rahayu
Sedyaningsih juga sempat diisukan terlibat dalam dugaan korupsi Pengadaan Alat Bantu
Belajar Mengajar (ABBM) Pendidikan dokter/dokter Spesialis di Rumah Sakit (RS)
Pendidikan dan RS Rujukan Tahun 2010 pada Kementerian Kesehatan. Proyek ABBM
ini diduga melibatkan mafia anggaran di DPR yang dikendalikan dan diatur oleh M.
Nazaruddin.

Penanganan Korupsi di Sektor Kesehatan

Secara prinsip dikenal ungkapan Pencegahan lebih baik dibanding dengan


Pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan pencegahan korupsi di sektor kesehatan melalui
berbagai cara, antara lain:
1. Pembangunan karakter tenaga kesehatan, pimpinan pemerintahan dan politik, serta
konsultan, yang dimulai sejak masa kecil;

2. Rekrutmen pimpinan lembaga kesehatan dan rumah sakit dan serta SDMnya harus
dilakukan secara baik ,dan transparan;

3. Pendampingan kegiatan yang potensi korupsi sejak awal perencanaan, terutama pada
proyek-proyek di sektor kesehatan yang rentan menjadi proyek yang dapat dirancang
untuk dikorupsi;

4.Cermat dalam melakukan kegiatan, termasuk administrasi perkantoran;

5. Dokter, tenaga kesehatan, manajer RS harus memahami peraturan dan perundangan


mengenai korupsi melalui pendidikan dan pelatihan.

Dampak korupsi di bidang kesehatan akan meningkatkan biaya barang dan jasa di
bidang kesehatan, yang ada akhirnya ke semuanya harus ditanggung oleh konsumer atau
rakyat. Kondisi ini akan dapat menciptakan peluang-peluang KKN yang dapat
berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
Hal tersebut akan menimbulkan dampak di bidang kesehatan, seperti :Tingginya biaya
kesehatan, Tingginya angka kematian ibu hamil, ibu menyusui dan bayi, Tingkat
kesehatan masih buruk, Banyaknya kasus gizi buruk, Kinerja petugas kesehatan yang
tidak sesuai standar.

Oleh karena itu penting sekali pemberantasan korupsi dilakukan dalam mengatasi
penyalahgunaan dana alat - alat kesehatan yang sering kali dilakukan oleh oknum oknum
di dunia kesehatan terutama di lingkungan Rumah Sakit agar kasus kasus korupsi seperti
ini tidak terjadi lagi. Demi menciptakan pelayanan kesehatan yang optimal bersih dari
korupsi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor kronologi kasus penyebab yang mempengaruhi tindak korupsi?
2. Apakah kondisi yang mendukung munculnya korupsi?
3. Apakah dampak-dampak yang ditimbulkan dari korupsi?
4. Bagaimana rumusan dan tindak pidana serta pasalnya?

Anda mungkin juga menyukai