Anda di halaman 1dari 8

Korupsi Pada Sektor Kesehatan

Bidang kesehatan di Indonesia


tidak luput dari bahaya laten
korupsi. Hal tersebut telah
terbukti dari banyaknya kasus
korupsi yang terjadi khususnya
pada sektor kesehatan.

Hasil pemantauan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) dari tahun 2006 hingga
2008, terdapat sedikitnya 54 kasus korupsi terkait bidang kesehatan Indonesia yang sedang
diusut oleh Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian.Dari seluruh
jumlah kasus tersebut, sekitar 90% diantaranya menyebabkan kerugian negara hingga
mencapai nominal Rp. 128 miliar.

Modus korupsi antara lain dengan melakukan penggelembungan dana yang merugikan
negara hingga Rp 102, 9 miliar, manipulasi data obat Rp 9 miliar, penggelapan data Rp 6,4
miliar, penyelewengan dana Rp 6,2 miliar, obat fiktif Rp 1,9 miliar, alat kesehatan fiktif Rp
699 juta, penyalahgunaan wewenang Rp 399 juta, penyuapan Rp 294 juta.Korupsi yang
merembet ke berbagai sektor ini semakin melemahkan legitimasi pemerintah serta
mencemarkan pemerintah yang di lain sisi memerlukan dukungan legitimasi dari masyarakat.

Ketika sektor kesehatan terkorupsi, efek lanjutan yang terjadi pada performa pelayanan
kesehatan ialah inefisiensi dan pemborosan yang menyebabkan biaya kesehatan semakin
meningkat. Dimana seperti biasanya, rakyat yang menjadi korbannya.Efek domino yang
ditimbulkan dari pucuk persoalan korupsi di sektor kesehatan Indonesia diantaranya mulai dari
dari sulitnya akses layanan kesehatan, buruknya layanan kesehatan, hingga kasus malpraktik.
Upaya pemberantasan korupsi masih
menemui masalah dalam mengakses beberapa
area yang masih rawan korupsi di sektor
kesehatan yang belum terjamah. Kasus yang
selama ini mengemuka dan sedang dalam
proses penindakan kebanyakan hanya kasus
korupsi di level menengah kebawah, pada
khususnya di daerah.

Namun justru regulator di level atas


atau tingkat nasional belum tersentuh sama
sekali. Padahal, jika ditinjau lebih lanjut
dalam aspek struktural, potensi korupsinya
sangatlah besar. Justru korupsi yang
menyangkut para pejabat tingkat atas dapat
menimbulkan distorsi serius dalam cara
pemerintah dan masyarakat berusaha.

Besar potensi korupsi disebabkan karena adanya ketidakpastian informasi di seputar


permintaan layanan kesehatan. Ketidakpastian informasi seputar permintaan layanan kesehatan
meliputi data pasien, waktu pengobatan pasien, serta metode pengobatan yang tepat.

Disamping faktor banyaknya aktor yang terlibat yang didukung hubungan antar aktor
yang kompleks, faktor berikutnya yang mampu memicu terjadinya perilaku kriminal korupsi
ialah kesempatan. Dalam hal ini kesempatan terbuka karena terdapatnya dana dalam nominal
besar pada sektor kesehatan.

Khusus anggaran sektor kesehatan, terdapat kenaikan yang cukup signifikan pada tiap
tahunnya. Pada tahun 2005 jumlahnya Rp. 11,7 triliun, kemudian pada tahun 2006 jumlahnya
naik menjadi Rp. 16,3 triliun, kemudian pada tahun 2007 jumlahnya menjadi Rp. 22,1 triliun.

Tak ayal apabila para penindak hukum kejahatan korupsi memprioritaskan melakukan
penindakan kasus pada segmen pemerintah daerah, karena bila ditinjau dari porsi
pembagiannya, pemerintah pusat mengambil 13% dari total anggaran dimana didalamnya
sudah termasuk anggaran program askeskin. Sedangkan 87% ada pada pemerintah daerah.
Potensi Pelaku Korup

Dalam peninjauan berbagai kasus,


pelaku yang berpotensi melakukan korupsi
dalam bidang kesehatan adalah pihak
regulator pusat.

Secara struktural para pihak regulator


pusat di negara kita meliputi, Departemen
Kesehatan, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pengawas
Obat dan Makanan serta Badan Pengawas
lainnya.

Sementara untuk didaerah meliputi


Dinas Kesehatan per regional Provinsi atau
Kabupaten maupun Kota, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah per regional Provinsi atau Kabupaten maupun Kota. Tidak ketinggalan juga
para organisasi asuransi sosial, perusahaan asuransi milik pemerintah dan swasta, penyedia
layanan kesehatan meliputi RSUD, RSJD, RSUP, RS Swasta dan Puskesmas, pemasok obat
dan alat kesehatan milik pemerintah dan swasta serta kontraktor, juga
pasien/masyarakat.Tersebut berdasarkan data penelitian kasus 2006-2008, kasus korupsi yang
dilakukan oleh penyedia layanan ada 34 kasus, regulator lokal 27 kasus, kontraktor 9 kasus,
supplier 3 kasus. Namun untuk level menengah ke atas belum ada yang terungkap.

Di lain sisi, para pejabat regulator yang korup mendistorsi pilihan sektor publik demi
meningkatkan rente yang lebih besar bagi kepentingan sendiri dan untuk menghasilkan
kebijakan publik yang tidak efisien dan tidak adil. Faktor inilah yang menyebabkan juga
pemicu efek lanjutan dari korupsi di sektor kesehatan.

Penindakan Koruptor

Di suatu kesempatan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr. dr. Siti Fadilah
Supari, Sp.JP(K) mengemukakan, untuk menghindari korupsi di Departemen Kesehatan sejak
2007-2008 tealah melakukan pengawasan melekat. BPK diminta memeriksa semua tender-
tender di Depkes setiap tahunnya.
Lebih lanjut Menkes menjelaskan
situasi yang memprihatinkan di daerah.
Pasalnya Kepala Dinas Kesehatan berada
otoritasi Gubernur, Bupati / Walikota.
Persoalan timbul ketika Kepala Dinas
Kesehatan mendapat dana dekonsentrasi
untuk pembelian alat dari pusat, dimana
dalam kasus ini besar sekali posisi Dinas
Kesehatan terjepit oleh kepentingan Pemda.
Persoalan semakin pelik jika Dinas Kesehatan
bertindak independen diluar kehendak
Pemda, potensi korupsi dan kolusi sangatlah
besar. Sistem yang demikianlah yang rawan
korupsi, jelas Menkes.

Posisi Kepala Dinas Kesehatan yang menjadi tidak berdaya, padahal yang bermasalah adalah
Pemda, terutama saat momen pilkada, terkait pencarian dana pilkada. Tapi tidak semua kepala
daerah seperti itu. Sekarang a da 34 Kepala Dinas Kesehatan yang sekarang diperiksa
kejaksaan. Kasihan mereka. Sistem seperti ini tidak adil. Jadi kalau seperti ini, kita belum siap
desentralisasi kesehatan, kata Menkes.

Secara struktural dan kultural, memberantas korupsi dengan metode mensosialisasikan


nilai baru bahwasanya korupsi merupakan sebuah tindakan yang beresiko tinggi dan bernilai
rendah.Secara struktural memberantas korupsi berarti memberantas KKN dengan
memberdayakan komisi pemeriksaan kekayaan pejabat lengkap dengan pemeriksaan latar
belakang kehidupannya, implementasi Undang Undang Anti Korupsi yang konsisten, membuat
iklan layanan masyarakat di media massa.

Indonesia perlu berkontempelasi dan mempelajari bahwa korupsi merugikan orang


banyak yang telah bekerja keras dan berlaku jujur. Rakyat Indonesia perlu mengkonstruksi pola
kehidupan yang didasari oleh norma etika, norma hukum perlu disusun yang aspiratif dan
partisipatif, dengan demikian diharapkan law performance negara ini semakin solid dan
terwujud dengan indahnya.
Tidak ketinggalan, dengan kemauan mengkoreksi kesalahan diri berarti kita berpeluang
untuk mengatasi krisis apapun. Karena justru pada saat krisis-lah yang menjadikan peluang
terbesar di masa sulit.[] (DA)

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI DALAM BIDANG


KESEHATAN.

1. Pelayanan obat-obatan (vaksin, vitamin, alat kontrasepsi) kepada masyarakat yang


seharusnya cuma-cuma dilakukan dengan memungut jasa pelayanan sejumlah kurang-
lebih sama dengan harga jual obat-obatan tersebut, tetapi hasil pungutan tidak disetor ke
kas negara.

Upaya-upaya preventif :
a. Dilakukan sosialisasi secara luas kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai adanya
pelayanan obat-obatan secara cuma-cuma, lengkap dengan informasi mengenai di mana
dapat diperoleh dan persyaratannya.
b. Pengadaan obat-obatan yang dibiayaidari anggaran negara harus jelas aturan
penggunaannya. Jika atas penggunaan obat-obatan tersebut dipungut biaya, maka
penerimaan biaya tersebut harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
anggaran yang berlaku.
c. Jika obat-obatan diberikan secara cuma-cuma,maka perlu ada pencantuman label
Cuma-cuma,tidak diperjual belikan pada kemasan obat-obatan tersebut.
d. Pemungutan biaya pelayanan kesehatan harus jelas rinciannya.
e. Dilakukan administrasi persediaan yang tertib terhadap pemasukan dan pengeluaran
obat-obatan yang telah disediakan pemerintah.

Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan pengamatan atas distribusi obat-obatan cuma-cuma, apakah telah sesuai
dengan rencana pengadaannya dan diberi label Cuma-cuma, tidak diperjual-belikan
b. Melakukan penelitian apakah obat-obatan cuma-cuma tersebut diterima oleh instansi
pelayanan kesehatan yang memang membutuhkan sesuai dengan program pelayanan
kesehatan yang sudah direncanakan ;
c. Meneliti apakah adanya obat-obatan cuma-cuma tersebut telah disosialisasikan kepada
masyarakat secara memadai ;
d. Meneliti mutasi obat-obatan cuma-cuma, apakah sejalan dengan realisasi program
pelayanan kesehatan yang telah direncanakan sebelumnya ;
e. Pengamatan langsung pelayanan vaksinasi, pemasangan alat kontrasepsi dan pelayanan
kesehatan lainnya di pusat-pusat kesehatan, klinik dan di rumah sakit serta pengamatan
langsung di apotik atau di tempat-tempat penjualan lainnya yang memberikan
pelayanan kesehatan dengan obat-obatan secara cuma-cuma, apakah obat-obatan
benar-benar telah diberikan secara cuma-cuma;
f. Melakukan pengamatan secara uji petik ke praktek Bidan/Dokter yang memberikan
pelayanan kesehatan/KB mengenai jenis obat/alat kontrasepsi yang digunakan, serta
meneliti dari mana memperoleh obat/alat kontrasepsi tersebut ;
g. Melakukan pengamatan di pasaran, untuk memastikan bahwa obat-obatan cuma-cuma
tersebut tidak diperjual-belikan. Jika ternyata diperjual-belikan perlu diusut asal-
usulnya.

2. Oknum dokter-dokter di RSU lebih mengutamakan pelayanan kesehatan di luar RSU,


yang lebih memberikan keuntungan finansial secara pribadi.

Upaya-upaya preventif :
a. Dibuat aturan yang tegas mengenai kewajiban dan disiplin para dokter RSUdalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di RSU beserta sanksi
pelanggarannya.
b. Dibuat evaluasi mengenai kualitas pelayanan RSU akibat tidak disiplinnya para dokter,
dan hasilnya diinformasikan kepada pimpinan RSU dan para dokter terkait.
c. Setiap pelanggaran yang dilakukan dokter, diinformasikan kepada lembaga yang
mengawasi pelaksanaan kode etik dokter.
d. Diberikan penghargaan kepada para dokter yang disiplin dan kinerjanya baik.
e. Dibekukan sementara izin praktek dokter yang lalai terhadap tugas dan kewajibannya
di RSU.

Upaya-upaya detektif :
a. Melakukan penelitian terhadap daftarabsensi dokter dihubungkan dengan kegiatan
pelayanan kesehatan yang diberikan,visite dokter kepada pasien rawat inap dan
kegiatan dokter lainnya di RSU.
b. Atas pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter, diteliti apakah penyebabnya dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Dilakukan penelitian apakah ketidakdisiplinan dokter dilakukan dengan sengaja untuk
meraih tujuan-tujuan pribadi.
d. Menggali informasi dari pasien yang dikirim/dirujuk ke RSU dari tempat praktek
dokter.
3. Pelayanan pengobatan Puskesmas tidak memuaskan karena adanya pungutan yang tidak
sesuai ketentuan, rendahnya kehadiran tenaga medis di Puskesmas, kurangnya kunjungan
ke rumah penduduk yang membutuhkan, ketidaksesuaian program Puskesmas dengan
kebutuhan masyarakat, dan penyalahgunaan sarana Puskesmas.

Upaya-upaya preventif :
a. Sosialisasikan mengenai obat dan pelayanan yang atasnya tidak dipungut pembayaran
kepada masyarakat.
b. Menciptakan sistem insentif dan hukuman di mana pembayaran tunjangan tenaga medis
dikaitkan dengan kehadiran.
c. Pemerintah setempat, mewakili masyarakat membuat laporan teratur kepada
Dinas/Kantor Kesehatan mengenai aktivitas Puskesmas, termasuk mengenai kehadiran
dan kunjungan tenaga medis ke masyarakat.
d. Sosialisasi bahwa kunjungan dokter dan tenaga medis lainnya kepada masyarakat
adalah bagian dari fungsi pelayanan Puskesmas, dengan melibatkan tokoh-tokoh
masyarakat setempat.
e. Menciptakan fungsi kendali masyarakat (social control) mengenai sarana Puskesmas
yang ada, yakni adanya pengetahuan masyarakat mengenai sarana Puskesmas.

Upaya-upaya detektif :
a. Dilakukan inspeksi secara mendadak kepada Puskesmas untuk mengetahui mutu
pelayanan yang diberikan.
b. Meneliti adanya pembayaran kepada Puskesmas yang tidak sesuai dengan ketentuan
dengan melakukan konfirmasi langsung kepada para pasien.
c. Mengecek daftar hadir yang dilaporkan Puskesmas dengan kehadiran tenaga medis di
Puskesmas.
d. Meneliti dan menganalisis laporan Puskesmas kepada unit pemerintah daerah terkait
berkenaan dengan kunjungan dokter dan tenaga medis kepada penduduk setempat,
apakah telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika perlu lakukan konfirmasi
kepada pihak yang dikunjungi.
e. Membandingkan program pelayanan Puskesmas yang disetujui/dianggarkan dengan
mutasi obat-obatan, sarana yang digunakan dan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat.
f. Meneliti tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai