Pola-pola yang sering dipakai para koruptor dalam melakukan tindak pidana korupsi, antara
lain pemalsuan, penyuapan, penggelapan, komisi, pemerasan, sistem pilih kasih,
penyalahgunaan wewenang, bisnis orang dalam, nepotisme, sumbangan ilegal dan
pemalsuan.
Pola Korupsi
Pola korupsi umum yang berlaku diIndonesia menurut KPK :
(1) pola korupsi berkaitan dengan perizinan
(2) pola korupsi berkaitan dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
(3) pola korupsi berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah
(4) pola korupsi berkaitan dengan promosi, mutasi dan suap jabatan
(5) pola korupsi berkaitan dengan dana desa
https://www.kpk.go.id/id/berita/publik-bicara/782-pola-korupsi-pemerintah-daerah-dan-
pimpinan-transformasional
Terjadinya korupsi pada suatu lembaga atau instansi pasti memiliki pola – pola
tertentu dalam pelaksanaannya. Menurut (Fadjar 2002), pola terjadinya korupsi dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: pertama, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
seseorang yang memiliki kewenangan tertentu dengan pihak lain dengan cara sogok
menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi, atau volume dan penggelambungan dana.
Hal ini dikenal dengan Mercenery abuse of power. Biasanya penyalahgunaan wewenang
seperti ini dilakukan oleh pejabat dengan level kedudukan yang tidak terlalu tinggi dan
bersifat non politis. Kedua Discretinery Abuse of Power, pejabat yang memiliki
kewenangan istimewa seperti walikota/bupati menyalahgunakan wewenangnya dengan cara
mengeluarkan kebijakan atau peraturan tertentu yang bias menjadikan pihak tersebut dapat
bekerjasama dengan pihak tertentu. Ketiga Ideological Abuse of Power, biasanya pada
pejabat untuk tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga
terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu demi mencapai jabatan strategis pada
birokrasi atau lembaga eksekutif dan pada waktu yang akan datang mereka mendapatkan
kompensasi atas tindakan tersebut.
Menurut (Baswir 1993) terdapat tujuh pola korupsi yang sering dilakukan oleh
pelaku tindak korupsi baik pada kalangan swasta maupun pemerintah. Pola tersebut
meliputi: pola konvensional, pola upeti, pola komisi, pola perusahaan rekanan, pola
menjegal order, pola penyalahgunaan wewenang,dan pola kuitansi fiktif.
Batennie, Faisal. 2012. Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Dalam
(http://stkip-ktb.ac.id/content/pendidikan-anti-korupsi-untuk-perguruantinggi)..
A. Penyuapan (Bribery)
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang temasuk penyuapan :
1. Kasus Penyuapan Akil Mochtar
KPK menangkap Akil Mochtar terkait dengan dugaan menerima suap
dalam penanganan gugatan pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Ia dan 5 orang lainnya resmi
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Salah satunya dari kelima orang
tersebut adalah Chairun Nisa, anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar,
bupati Gunung Mas Hambit Bintih, seorang pengusaha bernamaTubagus
Chaeri Wardana yang juga adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah sekaligus suami dari Wali KotaTangerang Selatan Airin Rachmi
Diany. Di ruang kerja Akil di gedung Mahkamah Konstitusi, penyidik KPK
menemukan narkoba dan obat kuat pada saat dilakukannya
penggeledahan. Barang bukti tersebut langsung diserahkan ke pihak kepolisian
dan ditangani pihak BNN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono resmi
memberhentikan Akil Mochtar dari posisi Ketua Mahkamah Konstitusi setelah
menggelar pertemuan dengan beberapa pimpinan lembaga tinggi negara.
B. Penggelapan (Embezzlement)
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang temasuk penggelapan :
Kasus Penggelapan Uang Pajak oleh Gayus Halomoan Tambunan
Gayus Halomoan Tambunan bekerja di kantor pusat pajak dengan
menjabat bagian Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang
sangat strategis, sehingga ia dituduh bermain sebagai makelar kasus (markus).
Kasus pun berlanjut karena di duga banyak pejabat tinggi Polri yang terlibat
dalam kasus Gayus. Gayus dijadikan tersangka oleh Polri pada November
2009 terkait kepemilikan uang yang mencurigakan di rekeningnya mencapai
Rp 25 miliar. Gayus terindikasi melakukan pidana korupsi, pencucian uang,
dan penggelapan senilai Rp 395 juta. Namun di persidangan, jaksa hanya
menjerat pasal penggelapan saja, dengan alasan uang yang diduga hasil
korupsi telah dikembalikan. Sisa uang Rp 24,6 miliar, atas perintah jaksa,
blokirnya dibuka. Hakim pun memutuskan Gayus divonis 6 bulan penjara dan
masa percobaan setahun
C. Komisi (Commission)
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang temasuk komisi :
Kasus Pemberian Komisi
Pemberian jasa kolportir TVRI ini terjadi pada Juli 2007 sampai
November 2008. Menurut dokumen yang diperoleh Tempo, penerimaan dana
kas pegawai lewat jasa petugas pemasaran sebesar Rp 61 miliar. Dari jumlah
tersebut, dilakukan pengeluaran dana dari kas TVRI sebagai komisi jasa
kolportir sebesar Rp 6 miliar. Penerimaan ini berasal dari penjualan program,
iklan, kerja sama dengan lembaga pemerintah, dan penyewaan aset TVRI. Dari
Rp 6 miliar itu, Rp 4 miliar di antaranya diberikan kepada pegawai TVRI
(berstatus pegawai negeri sipil) yang ditunjuk oleh direksi sebagai petugas
pemasaran. Adapun Rp 2,1 miliar-nya dimasukkan kas pegawai yang dikelola
tersendiri. Kebijakan pemberian uang jasa kolportir ini didasarkan pada surat
keputusan yang diterbitkan Direktur Utama TVRI kala itu.
D. Pemerasan (Extortion)
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang temasuk pemerasan :
Kasus Pemerasan Ratu Atut Chosiyah
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ditetapkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan
terkait pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten, Rabu (12/2/2014).
Namun, Atut enggan berkomentar sedikit pun.
J. Pemalsuan (Fraud)
Berikut ini merupakan contoh dari pola umum korupsi yang temasuk
Kasus Pemalsuan Ijazah dan Nilai
Dwi Hartono alias Ferry, mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula) angkatan 2004 adalah salah seorang tersangka
yang terjerat kasus pemalsuan ijazah dan nilai. Diakui Ferry aksinya sudah ia
lakukan sejak 2006 melalui sebuah lembaga bimbingan belajar yang dikenai
biaya sebesar Rp. 50 juta hingga Rp. 1 Milyar. Ia juga mengaku telah melakukan
pemalsuan ini bersama sejumlah rekannya. Berdasarkan data pihak kepolisian,
bimbingan belajar ini bisa memasukkan calon mahasiswa dengan ijazah palsu
dan joki saat ujian masuk untuk berbagai jurusan di sejumlah universitas ternama
di Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.