Anda di halaman 1dari 10

Nama : Nurhikmah

NIM : 222596SM

KELAS : S1 Manajemen (A)

TUGAS : Pendidikan Pancasila

Pengertian Korupsi

Kata korupsi dalam KBBI adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Istilah ini diambil dari Bahasa Belanda “corruptie” (Setiadi, 2018).

Bahaya yang timbul akibat korupsi bagi kehidupan manusia sangat besar, bahkan korupsi
disamakan dengan kanker dalam darah yang membuat si pemilik tubuh harus terus melakukan
pengobatan untuk tetap hidup. Ini berarti, Negara Indonesia harus terus melakukan
pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya untuk tetap bertahan hidup.

Kasus korupsi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena bisa berdampak
kepada banyak hal. Mulai dari perekonomian negara, kesejahteraan warga, pemenuhan HAM,
hingga akses terhadap kebutuhan dasar warga negara.

Berikut ini Beberapa contoh Kasus Korupsi di Indonesia :

A. Kasus Korupsi Mahkamah Konstitusi

Mantan Hakim MK Akil Mochtar

Jauh sebelum ini, Komisi Antirasuah juga telah menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi
Akil Mochtar dalam operasi tangkap tangan pada 2 Oktober 2013.
Akil kemudian dinyatakan terbukti bersalah menerima hadiah atau janji terkait
pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan tindak pidana pencucian
uang (TPPU).

Dalam persidangan di Tipikor Jakarta 30 Juni 2014, majelis hakim menjatuhkan vonis
seumur hidup padanya. Akil dinyatakan menerima sejumlah suap terkait penanganan
sengketa Pilkada, yaitu pada sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas senilai Rp 3
miliar, dari Kalimantan Tengah Rp 3 miliar, Pilkada Lebak, Banten Rp 1 miliar, Kota
Palembang senilai Rp 3 miliar dan pada Pilkada Empat Lawang sejumlah Rp 10 miliar dan
500.000 dollar Amerika.

Tak berhenti di situ, Akil juga dinyatakan menerima suap terkait sengketa Pilkada di
Kabupaten Buton senilai Rp 1 miliar, Kabupaten Pulau Morotai Rp 2,898 miliar,
Kabupaten Tapanuli Tengah Rp 1,8 miliar, dan menerima janji pemberian keberatan
hasil Pilkada Jawa Timur dengan nilai Rp 10 miliar.

Mantan Hakim MK Patrialis Akbar

Hakim MK Patrialis Akbar juga ditangkap KPK pada 25 Januari 2017. Kala itu Patrialis
diduga menerima suap terkait perkara uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun
2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Dugaan KPK dinyatakan terbukti oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Hakim
ketua perkara tersebut, Nawawi Pomolango yang kini menjabat sebagai salah satu
komisioner KPK, menbacakan vonis untuk Patrialis.

Ia dijatuhi pidana penjara 8 tahun, dan denda Rp 300 juta. Patrialis juga dijatuhi pidana
pengganti sesuai dengan jumlah uang suap yang diterimanya senilai 10.000 dollar
Amerika dan Rp 4.043.000.
B. Kasus Korupsi KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah disorot lantaran terungkap rentetan kasus
yang dilakukan para pegawainya sendiri.
Kasus-kasus tersebut mulai terbongkar dalam waktu berdekatan, di antaranya soal
menerima pungutan liar (pungli), melakukan kejahatan asusila kepada istri tahanan,
hingga menggelapkan uang dinas.
Kasus pungli itu diakui Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan.
Menurutnya, pelaku merupakan pejabat rumah tahanan lembaga antirasuah. Oleh
sebab itu, Dewas meminta pimpinan menindaklanjuti kasus tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Dewas KPK Albertina Ho juga membeberkan
hasil pungli tersebut. Menurut dia, jumlah uang hasil yang terjadi di rumah tahanan itu
mencapai Rp 4 miliar lebih.
Mengenai jumlahnya cukup fantastis dan ini sementara saja yang sudah kami peroleh di
dalam satu tahun periode Desember 2021-Maret 2022 itu Rp4 miliar.
Komisi Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu lantas angkat
suara. Dia mengatakan korban kasus pungli di rumah tahanan KPK mencapai puluhan
orang.
C. Kasus Korupsi Mahkamah Agung
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Hakim Agung kamar perdata pada
Mahkamah Agung (MA), Sudrajad Dimyati, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus
dugaan suap pengurusan perkara di MA.
Sudrajad menjadi Hakim Agung pertama yang terjerat kasus dugaan tindak pidana
korupsi oleh KPK. Ia ditetapkan tersangka bersama sembilan orang lainnya, termasuk
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA, pengacara, dan pihak swasta. Dalam
kasus itu penyidik menetapkan Sudrajad dan sejumlah pegawai MA sebagai tersangka
dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar di Jakarta, Bekasi, dan Semarang.
Penyidik menetapkan sebanyak 10 orang sebagai tersangka, SD (Sudrajad Dimyati)
hakim Agung pada Mahkamah Agung. Para pegawai MA yang turut jadi tersangka
adalah Panitera Pengganti Mahkamah Agung Elly Tri Pangestu, dua pegawai negeri sipil
(PNS) pada Kepaniteraan MA Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta dua PNS MA
Albasri dan Nurmanto Akmal. Sudrajad diduga menerima suap supaya membuat
putusan kasasi yang menetapkan Koperasi Simpan Pinjam Intidana pailit, Sudrajad
Dimyati menerima sekitar sejumlah Rp 800 juta.
D. Kasus Korupsi Jaksa
Kasus Jaksa Kejati DKI Yanuar Reza Muhammad dan Fristo Yan Presanto
Kasus jaksa Kasi Penyidikan pada Aspidsus Kejati DKI Jakarta Yanuar Reza Muhammad
dan jaksa Kasubsi Tipikor dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Fristo Yan Presanto,
Keduanya diduga terlibat dalam pemerasan seorang saksi perkara dugaan tipikor yang
sedang ditangani Pidsus DKI Jakarta.
Kejagung juga turut mengamankan seorang berinisial CH yang diduga sebagai perantara
penyerahan uang hasil pemerasan tersebut.
"Pada Senin (2/12/2019), sekitar pukul 14.50 WIB TIM PAM SDO, JAM Intel Kejaksaan
Agung mengamankan tiga orang terdiri dari satu orang swasta berinisial CH dan dua
oknum jaksa inisial YRM dan FYP. Mereka diduga telah melakukan pemerasan kepada
saksi berinisial MY, Burhanuddin menyebut YRM menjabat sebagai Kasi Penyidikan pada
Aspidsus sementara FYP menjabat sebagai Kasubsi Tipikor dan TPPU keduanya bertugas
di Aspidsus Kejati DKI Jakarta. Sementara korban pemerasan inisial MY kapasitasnya
adalah sebagai saksi yang dimintai keterangan dalam perkara dugaan tipikor yang
sedang ditangani Pidsus Kejati DKI Jakarta.
MY selaku pelapor mengaku telah menyerahkan uang sejumlah Rp 1 miliar kepada
oknum Jaksa YRM dan FR, melalui perantaraan CH. Pelapor menerangkan bahwa ia
kembali diminta sejumlah uang dan sertifikat oleh CH untuk diserahkan pada tanggal 2
Desember 2019.
E. Kasus Korupsi Kepolisian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan perwira Polri, AKBP Bambang Kayun
Bagus PS sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi dan suap dengan nilai total Rp 56
miliar. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, Bambang Kayun diduga menerima suap
terkait pemalsuan surat dalam perebutan hak waris perusahaan kapal, PT Aria Citra
Mulia (ACM).
Sebanyak Rp 6 miliar di antaranya diterima Bambang Kayun terkait kasus pemalsuan
surat dalam perebutan hak waris PT ACM. Sementara itu, Rp 50 miliar sisanya dari
sejumlah pihak lain. Adapun ACM bergerak di bidang kepemilikan, manajemen, dan
operator kapal di wilayah perairan Asia-Pasifik. Bambang Kayun diduga menerima suap
atau gratifikasi dari dua orang bernama Emylia Said dan Hermansyah. Kedua pemberi
suap itu juga telah ditetapkan tersangka.
F. Kasus Korupsi Dewan Perwakilan Rakyat
Setya Novanto
Setya Novanto divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dengan subsider tiga
bulan kurungan penjara karena terbukti mengintervensi proses penganggaran,
pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP yang mengakibatkan kerugian negara
senilai Rp 2,3 triliun. Tindakan korupsi Setya Novanto ini dilakukannya pada kurun waktu
2011 hingga 2012.
Taufik Kurniawan
Taufik divonis 6 tahun penjara karena terbukti bersalah melanggar Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi karena menerima
imbalan Rp 4.85 miliar atas pengurusan DAK.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan Taufik Kurniawan adalah Imbalan yang
diterimanya dari hasil pengurusan DAK untuk Kebumen yang bersumber dari perubahan
APBN 2016 senilai Rp 3.65 miliar dan pengurusan DAK untuk Purbalingga yang
bersumber dari perubahan APBN 2017 sebesar Rp 1.2 miliar. Taufik Kurniawan divonis
bersalah pada Senin, 15 Juli 2019 di Pengadilan Tipikor Semarang.

Berdasarkan beberapa contoh kasus korupsi terbesar di Indonesia di atas tentunya memiliki
faktor penyebab terjadinya korupsi tersebut, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Penyebab Internal


1) Sifat serakah/tamak/rakus manusia
Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa
cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang
menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau
jabatannya sudah tinggi. Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi
memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan
korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional, berjabatan tinggi, dan
hidup berkecukupan.
2) Gaya hidup konsumtif
Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong
internal korupsi. Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah
dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi
bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi
dengan pendapatan yang memadai.
3) Moral yang lemah
Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu
melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang
datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukannya.
2. Faktor Penyebab Eksternal
1) Aspek Sosial
Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi,
terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga
malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka.
Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung
korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang
dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat.
2) Aspek Politik
Keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi faktor
eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya
menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa memenangkan
kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-
anggota partai politiknya.
Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta,
menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan
untung-rugi, pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang
memilihnya, yang terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa
kembali dan berlipat ganda.
Balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga
mendorong pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan
imbal jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih
membayar upeti ke partai dalam jumlah besar, memaksa korupsi.
3) Aspek Hukum
Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-
undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di
perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum
yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan
korupsi terus terjadi.
Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas
aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk
menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku
korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi
tidak segan-segan menilap uang negara.
4) Aspek Ekonomi
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya
tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga
menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan.
Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan
berpendidikan tinggi. Banyak kita lihat pemimpin daerah atau anggota DPR yang
ditangkap karena korupsi. Mereka korupsi bukan karena kekurangan harta, tapi
karena sifat serakah dan moral yang buruk.
Di negara dengan sistem ekonomi monopolistik, kekuasaan negara dirangkai
sedemikian rupa agar menciptakan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi pegawai
pemerintah untuk meningkatkan kepentingan mereka dan sekutunya. Kebijakan
ekonomi dikembangkan dengan cara yang tidak partisipatif, tidak transparan dan
tidak akuntabel.
5) Aspek Organisasi
Faktor eksternal penyebab korupsi lainnya adalah organisasi tempat koruptor
berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka
peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin,
kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem
pengendalian manajemen.
Mengutip buku Pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa
mendapatkan keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan
bermain di antara celah-celah peraturan. Partai politik misalnya, menggunakan cara
ini untuk membiayai organisasi mereka. Pencalonan pejabat daerah juga menjadi
sarana bagi partai politik untuk mencari dana bagi kelancaran roda organisasi, pada
akhirnya terjadi money politics dan lingkaran korupsi kembali terjadi.

Berdasarkan Beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat negara, tentunya
pemerintah harus memiliki solusi dan strategi dalam mengatasi kasus Korupsi yang ada di
negara Indonesia ini. Pentingnya pemerintah juga memiliki langkah tegas dan solusi untuk
menyelesaikan kasus korupsi yang sering kali terjadi.

Berikut ini Beberapa solusi dan strategi untuk pencegahan kasus Korupsi di Indonesia,
diantaranya :

a. Strategi Preventif
Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk
meminimalisasi penyebab dan peluang seseorang melakukan tindak korupsi.
Upaya preventif dapat dilakukan dengan:
a) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
b) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya.
c) Membangun kode etik di sektor publik.
d) Membangun kode etik di sektor partai politik, organisasi profesi, dan asosiasi bisnis.
e) Meneliti lebih jauh sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.
f) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia atau SDM dan peningkatan
kesejahteraan pegawai negeri.
g) Mewajibkan pembuatan perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja
bagi instansi pemerintah.
h) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen.
i) Penyempurnaan manajemen barang kekayaan milik negara atau BKMN.
j) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
k) Kampanye untuk menciptakan nilai atau value secara nasional.
b. Strategi Detektif
Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus
korupsi dengan cepat, tepat, dan biaya murah. Sehingga dapat segera ditindaklanjuti.
Berikut upaya detektif pencegahan korupsi:
a) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat.
b) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu.
c) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik.
d) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di kancah
internasional.
e) Peningkatan kemampuan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah ata APFP
dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.
c. Strategi Represif
Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah
diidentifikasi dapat diproses dengan cepat, tepat, dan dengan biaya murah. Sehingga
para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. Upaya represif dalam mencegah tindak pidana korupsi adalah:
a) Penguatan kapasitas badan atau komisi anti korupsi.
b) Penyelidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar dengan efek
jera.
c) Penentuan jenis-jenis atau kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas.
d) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik.
e) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem
peradilan pidana secara terus menerus.
f) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak korupsi secara
terpadu.
g) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya.
h) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak
pidana korupsi dengan penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS, dan
penuntut umum.

Berdasarkan solusi pencegahan korupsi di atas Pemerintah juga perlu tegas dalam menghukum
oknum-oknum pejabat yang korupsi dengan hukum yang sangat berat seperti beberapa negara
maju yang menerpkan hukuman yang berat seperti hukuman mati.

Anda mungkin juga menyukai