Anda di halaman 1dari 10

Manhaj Salaf : Liberalisme, Pluralisme, dan Inklusivisme Dahulu Hingga Sekarang

Penulis Literasi : Azizah P.

LIBERALISME, PLURALISME DAN INKLUSIVISME, DAHULU DAN SEKARANG

Oleh

Ustadz Abu Ihsan al-Maidani

Dahulu, kaum sufi juga memiliki keyakinan wihdatul-adyân (penyatuan agama), sebagai ekses dari
keyakinan wihdatul-wujud yang mereka anut. Mereka mengatakan, bahwasanya Allah menampakkan
diri dalam wujud segala sesuatu. Dan termasuk “sesuatu” adalah berhala dan semua yang disembah,
baik berupa pepohonan, bebatuan, hewan, manusia, bintang dan malaikat. Pada hakikatnya yang
disembah itu adalah Allah. Itulah makna kalimat lâ ilâha illallah menurut kaum sufi.

Seperti dikatakan oleh ‘Abdul-Karim al-Jîli:

Lâ ilâha illa ana, maksudnya, segala sesuatu yang disembah tidak lain adalah Aku. Akulah yang
menampakkan diri dalam wujud berhala-berhala, bintang-bintang dan benda-benda itu. Akulah yang
menjelma dalam wujud segala sesuatu yang disembah penganut ajaran agama manapun. Sesembahan-
sesembahan itu tidak lain adalah Aku. Oleh sebab itu berhala-berhala itu Aku sebut sebagai ilâh
(sesembahan).

Penyebutan kalimat ilâh bagi berhala-berhala tersebut adalah secara hakiki dan bukan majazi (kiasan).
Tidak seperti asumsi ahli zhahir (maksud mereka adalah ahli hadits) yang mengatakan bahwa maksud
Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan berhala-berhala itu dengan sebutan ilâh karena para
penyembahnya menyebut sesembahan mereka dengan sebutan tersebut. Bukan maksudnya berhala-
berhala itu benar-benar ilâh! Ini merupakan kekeliruan mereka (ahli zhahir) dan kedustaan terhadap
Allah. Sebab berhala-berhala itu, bahkan segala sesuatu di alam ini berasal dari Dzat Allah.

Jadi, penamaan tersebut adalah hakiki. Karena Allah adalah hakikat segala sesuatu. Bila Allah
menamakan sesuatu dengan sebutan ilâh, maka itu adalah penyebutan secara hakiki. Tidak
sebagaimana asumsi ahli taklid yang terhijab (yang dimaksud adalah ahli ilmu), mereka mengatakan
penamaan tersebut adalah penamaan secara majazi (kiasan). Berdasarkan asumsi mereka itu, berarti
bebatuan, bintang-bintang, seluruh benda-benda yang disembah bukan ilâh! Dan berarti firman Allah
yang berbunyi: “Tiada sesembahan selain Aku maka sembahlah Aku” adalah tidak benar!
Yang benar ialah, Allah menjelaskan kepada mereka (para penyembah berhala) bahwa berhala-berhala
mereka itu adalah jelmaan Allah. Artinya, status berhala-berhala tersebut sebagai ilaah adalah benar
adanya. Dan yang mereka sembah itu pada hakikatnya adalah Allah.

Allah berfirman “lâ ilâha illa ana” (tiada ilâh selain Aku). Yaitu tidak ada sesuatu apapun yang disebut
sebagai ilaah kecuali Aku. Tidak ada di alam raya ini yang menyembah selain Aku. Bagaimana mungkin
mereka menyembah selain-Ku, bukankah Aku telah menciptakan mereka supaya beribadah kepada-Ku
saja? Dan tidak akan terjadi kecuali apa yang menjadi tujuan-Ku menciptakan mereka.

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Setiap makhluk dimudahkan untuk
sesuatu yang telah digariskan atas mereka”. Yaitu untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku”. Allah juga
berfirman: “Dan tidaklah segala sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Ku”.

Dalam ayat di atas, Allah telah memperingatkan Nabi Musa Alaihissallam, bahwa para penyembah
berhala tersebut pada hakikatnya menyembah Allah. Namun mereka menyambah-Nya melalui wujud
berhala jelmaan Allah. Lalu memerintahkan Nabi Musa Alaihissallam agar menyembah Allah dari seluruh
wujud jelmaan Allah, Allah berkata: “Tiada ilâh (sesembahan) kecuali Aku”. Yaitu segala sesuatu itu
adalah Aku. Dan segala sesuatu yang Ku-sebut ilâh adalah Aku.[1]

Al-Aththar berkata: “Hanya ada satu wujud dalam pandangan seorang insan, baik dalam wujud Ka’bah
maupun dalam wujud gereja”.[2]

Asy-Sya’rani mengatakan: “Ketahuilah, seorang ahli tauhid selalu melaksanakan konsekuensi tauhidnya
dengan cara apa saja. Meskipun ia tidak beriman kepada Kitabullah dan Rasul, ia tetap masuk surga”.[3]

Adapun Ibnu Arabi sudah kita ketahui bersama keyakinannya dalam masalah ini. Banyak pernyataan-
pernyataan yang ia lontarkan dalam bukunya. Begitu pula, banyak bait-bait syair yang menunjukkan
bahwa ia menganut keyakinan wihdatul-adyân. Menurutnya, menyembah patung-patung berhala itu
tidak ubahnya menyembah Allah. Menurutnya, biara-biara itu sama seperti Ka’bah, gereja sama seperti
masjid, seiring dengan bertukar-tukarnya penjelmaan Allah. Dia-lah yang menampakkan diri dalam
wujud segala sesuatu.

Dalam syairnya ia berkata:


Hatiku meyakini bentuk segala sesuatu

Tidak ada beda antara padang rumput tempat rusa merumput

Dengan biara para ruhban (ahli ibadah)

Tidak ada beda antara rumah berhala dengan Ka’bah

Begitu juga antara lembaran Taurat dengan mushaf Al-Qur`ân

Aku senantiasa menjadikan cinta sebagai agama

Kemana saja kendaraanku menghadap[4]

Bagiku seluruh agama itu adalah agamaku dan imanku

Dalam kisah Bisyr, Hindun, dan saudaranya

Terdapat teladan yang baik bagi kita.

Begitu pula dalam kisah Qeis dan Laila,

Serta kisah Mayy dan Ghailan.[5]

Dalam syair lain ia berkata:

Kadangkala aku disebut penggembala kambing di padang rumput

Kadangkala pula aku disebut rahib dan ahli nujum

Kekasihku menjelma menjadi tiga

Yang sebelumnya hanyalah satu.

Sebagaimana mereka menyebut satu oknum

Dengan beberapa identitas.[6]

Lebih jauh lagi ia mengatakan: “Seorang ahli ma’rifat yang sempurna, adalah yang dapat melihat seluruh
sesembahan yang disembah menjelma dalam wujud Allah. Oleh sebab itu, orang-orang menamakannya
ilâh (sesembahan), disamping nama-nama khusus seperti batu, pohon, hewan, manusia, bintang dan
malaikat. Itulah identitas khususnya. Uluhiyah, adalah sebuah martabat yang tergambar di benak
penyembah berhala; seolah-olah itulah martabat sesembahannya. Namun pada hakikatnya yang terlihat
oleh penyembah berhala itu adalah Allah yang menjelma pada benda-benda khusus yang disembahnya
itu”.[7]
Jadi, menurut falsafah Ibnu Arabi, penyembahan anak sapi yang dilakukan Bani Israil tidak lain adalah
penyembahan Allah. Ia berkata: “Nabi Musa Alaihissallam lebih paham tentang hal ini daripada Harun
Alaihissalam. Beliau menyadari apa sebenarnya yang disembah oleh para penyembah anak sapi itu.
Beliau mengetahui secara pasti, Allah telah menetapkan bahwa tidak ada sesuatupun yang disembah
kecuali Allah. Dan ketetapan Allah tersebut pasti berlaku. Oleh karena itulah Nabi Musa Alaihissallam
menegur Nabi Harun Alaihisallam yang menyanggah mereka dan tidak bersikap toleran. Sebab seorang
‘arif (yang telah mencapai derajat ma’rifat), adalah yang dapat melihat Allah pada segala sesuatu.
Bahkan ia melihat Allah sebagai hakikat segala sesuatu”.[8]

Ibnu Arabi juga meyakini bahwa semua orang pasti masuk surga, tanpa pandang bulu apakah ia seorang
muslim ataukah kafir. Ia berkata: “Telah nyata bagimu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di arah
mana saja. Yang berkembang di tengah-tengah manusia hanyalah sebatas keyakinan-keyakinan belaka.
Semua pihak berada di atas kebenaran. Dan setiap yang benar berhak mendapat pahala. Dan setiap
yang mendapat pahala pasti bahagia. Dan setiap orang yang berbahagia berarti telah mendapat
keridhaan. Meskipun celaka selama beberapa waktu di Akhirat”.[9]

Ibnu Arabi juga berkata: “Adapun penghuni neraka, maka tempat kembali mereka adalah kenikmatan.
Namun mereka tetap berada di neraka, sebab neraka akan berubah menjadi dingin dan penuh
keselamatan setelah habis masa penyiksaan. Itulah kenikmatan penghuni neraka. Kenikmatan mereka
itu seperti kenikmatan Nabi Ibrahim Alaihissallam ketika dilemparkan ke dalam api. Beliau merasa takut
dan tersiksa melihat api tersebut, karena mengetahui apa yang diakibatkan oleh bakaran api itu. Beliau
juga mengetahui bahwa api itu dapat membakar hewan yang ada di sekitarnya dan benda apa saja yang
dikehendaki Allah. Setelah penghuni neraka merasakan siksaan, mereka akan mendapatkan kesejukan
dan kedamaian meskipun ia menyaksikan neraka. Neraka itu hanyalah neraka dalam pandangan
manusia. Dan pandangan manusia bisa jadi berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Itulah tajalli
ilahi”.[10]

Itulah pendahulu mereka! Betapa mirip dahulu dengan sekarang. Sekarang, mereka juga menyuarakan
seperti itu namun dengan nada yang sedikit berbeda tetapi dengan tujuan yang sama, yaitu menisbikan
agama! Semua bertolak dari satu pijakan, yaitu kebebasan berpikir dan mendewakan akal di atas syariat.

Jadi, liberalisme sebagai sebuah paham sesungguhnya sudah lama ada, seiring dengan proses
penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab atas perintah al-
Makmun. Sejak itu, seruan kepada wihdatul-adyân (penyatuan agama) dan penisbian nilai-nilai agama
sudah terdengar. Penganut paham pluralis ini mengambil patokan tahun 1798 sebagai tonggak
berdirinya paham Liberal.

Pada tahun 1798 Napoleon Bonaparte menancapkan kukunya di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah
sehingga Bernard Lewis menyebutnya sebagai “a watershed in history” dan “the first shock to Islamic
complacency, the first impulse to westernization and reform” (Lewis 1964:34). Para sejarawan
menyebutkan, kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga
bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan itu membuka mata mereka, betapa tentara
Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan
itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan
sulit ditaklukkan. Begitu pentingnya tahun 1798 ini hingga Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan
Lebanon, menjadikannya sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum muslimin. Seperti telah ia
jelaskan dalam bukunya, Arabic Thought in the Liberal Age, kedatangan Napoleon ke Mesir bukan
sekadar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslim. Hourani ini
menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan Islam di dunia modern.

Kata liberal di sini, ialah sebuah kondisi dan suasana dimana kaum muslim bebas mengartikulasikan
kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi
kebangkitan dan pencerahan. Itulah sebabnya ketika karya Hourani ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, kata yang digunakan untuk menerjemahkan “liberal age” adalah ‘ashr al-nahdah, yang berarti “era
kebangkitan”. Judul lengkap buku Hourani ini ialah al-Fikr al-Arabi fi asr al-Nahdah.

Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab dimulai antara tahun 1798 sampai tahun 1939. Selama
rentang itu, dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan
secara luas.

Para pembaharu generasi awal seperti at-Tahtawi, at-Tunisi, dan al-Kawâkibi memandang kondisi kaum
muslimin saat itu terbelakang, tidak semaju bangsa Eropa. Perhatian utama mereka adalah bagaimana
mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum
muslimin dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan al-Kawaakibi dalam bukunya
berjudul, Limâdza Ta-akhkhara al-Muslimun wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum (Mengapa kaum
muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?).

Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada
upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah
gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khairu ummatin ukhrijat linnas),
namun ia berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, tetapi juga
berada dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama, mengapa kaum Muslim terbelakang
dan mengapa bangsa Eropa maju?

Rifa’a at-Tahtawi (1801-1873), adalah salah satu tokoh pembaharu generasi awal yang mencoba
menjawab pertanyaan itu. Menurut at-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah).
Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16
didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. At-Tahtawi menganggap, kebebasan bukan
hanya kunci bagi kebahagiaan, tetapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan. Menurut at-Tahtawi,
sebab utama keterbelakangan kaum muslimin, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak
kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan
berpikir, yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama
rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad.

At-Tahtawi tak sendirian meyakini “kebebasan” sebagai kunci kemajuan suatu bangsa. Pada tahun 1878
Sa’dullah, seorang intelektual dan diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk
surat kepada teman-temannya, dia bercerita: “Di depan pintu utama, aku melihat patung kebebasan.
Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya. Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ‘Hai
para pengunjung! Jika anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini,
jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan. Lewat kebebasan manusia
mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada
pencapaian; tanpa pencapaian, tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada
kebahagiaan’.” (Lewis 1964:47).

Begitulah awal mula munculnya paham kebebasan yang kebablasan ini. Para pembaharu atau liberalis
muslim generasi awal melihat kebebasan benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya
kebahagiaan individu, tetapi juga kebahagiaan suatu bangsa.

Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik. Yaitu suatu keadaan saat individu bisa
memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud
dengan “penguasa” sebetulnya adalah kepala negara –raja maupun sultan- tetapi dalam pemahaman at-
Tahtawi dan kelompoknya, “penguasa” adalah otoritas dalam sebuah kelompok masyarakat yang
mampu memengaruhi. Dalam hal ini, tokoh atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di
masyarakat bisa dianggap sebagai “penguasa”.

Generasi kedua gerakan liberalisme Islam juga menganggap kebebasan sebagai kunci utama
memperbaiki keadaan kaum muslimin. Para tokoh generasi ini, seperti Muhammad Abduh yang
kemudian dilanjutkan oleh murid setianya, Qassim Amin, Ali Abdur-Raziq, dan seorang murid asal
Indonesia, Muhammad Tahir Djalaluddin, menganggap kebebasan sebagai modal penting merealisasikan
solusi lain. Qassim Amin misalnya, menganggap kebebasan sebagai prasyarat utama bagi terwujudnya
gagasan emansipasi perempuan. Amin adalah tokoh Islam pertama yang lantang menyuarakan
emansipasi perempuan di dunia Islam.

Ali Abdur-Raziq (1888-1966) adalah sahabat dan pendukung Qassim Amin. Sepenuhnya ia setuju dengan
gagasan emansipasi perempuan dan perlunya kaum muslimin memberi ruang “kebebasan” bagi
perempuan. Tetapi, sistem kekuasaan yang menaungi kaum muslimin tak bersahabat pada gagasan
progresifnya ini. Selama itu pula, gagasan ini tak bisa terwujud. Yang dia maksud dengan “sistem
kekuasaan tak bersahabat”, adalah sistem pemerintahan khilafah.

Ketika Abdur-Raziq berbicara tentang “khilafah”, rujukannya ialah sistem pemerintahan Kerajaan
‘Utsmaniyah. Seperti umumnya para reformis Muslim saat itu, Abdur-Raziq juga memandang
kekhalifahan ‘Utsmaniyah sebagai contoh buruk pemerintahan Islam. Pola hidup hedonistik para
khalifah dengan harem dan kemewahan yang mengelilinginya kerap dikontraskan dengan kemiskinan
dan kebodohan kaum muslimin ketika itu. Menurutnya, sistem khilafah bukan sistem yang ideal. Itu
sebabnya, Abdur-Raziq menolak sistem khilafah. Baginya, khilafah bukan sistem politik yang diwajibkan
Islam. Khilafah hanya satu dari banyak pilihan ciptaan manusia. Di era modern, ketika ada sistem politik
yang lebih baik, sudah seharusnya kaum muslimin menyerapnya. Menurutnya, mempertahankan sistem
khilafah tak hanya menghabiskan energi kaum muslimin, tetapi juga melestarikan kebodohan dan
keterbelakangan.

Muhammad Tahir Djalaluddin adalah murid Muhammad ‘Abduh yang menyebarkan gagasan
pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi
politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke Indonesia, tetapi transit di Singapura dan mulai
menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura, ia mendirikan majalah al-Imam. Nama ini
terinspirasi dari panggilan akrab Muhammad ‘Abduh. Di Mesir, mereka mendirikan kelompok diskusi
yang disebut madrasah al-Imam dan mendirikan partai politik yang disebut Hizb al-Imam.

Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah disebarkan di Indonesia dan
Malaysia. Tulisan al-Afghani dan ‘Abduh dalam al-‘Urwatul-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan
diterbitkan dalam majalah al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi wanita
mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam menjadi media Islam pertama yang menyebarkan gagasan
liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya,
‘Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di Mekkah. Majalah ini,
bersama al-Imam, menjadi corong kaum muda menyebarkan gagasan Islam Liberal.

Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring
dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi
baru yang lebih banyak berkesempatan belajar Islam di Barat (Eropa dan Amerika). Tokoh paling sentral
dalam gerakan baru ini adalah Nurcholish Madjid. Ia banyak melontarkan gagasan baru. Di antaranya
tentang sekularisasi, pluralisasi dan paham kenisbian (relativisme). Cak Nur inilah yang mengartikan “Lâ
ilâha illallah” dengan “tiada tuhan selain Tuhan”. Dia kemudian mendirikan Universitas Paramadina yang
menjadi “tempat berkumpulnya” orang-orang yang sepaham dengannya.

Cak Nur ini tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin
banyaknya liberalis-liberalis baru. Sebut saja Harun Nasution, ‘Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali
dan Ahmad Syafii Ma`arif, adalah di antara para eksponen pembaruan yang mewarnai kancah pemikiran
Islam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Semua intelektual ini menganggap diri sebagai penerus cita-cita
kebangkitan dalam semangat Muhammad ‘Abduh, Qassim Amin, Ali ‘Abdur-Raziq, dan Muhammad
Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan
disebarkan generasi lebih muda di Universitas Islam Negeri (UIN) maupun Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah.

Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini
melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan
Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian
Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam
Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi
jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha menjadi komunitas tempat para aktivis muslim berbagai
organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.[11]

Jadi, inti agenda Islam liberal ini ialah menanamkan bahwa urusan negara adalah murni urusan dunia,
dan sistem manapun yang dipakai tidak menjadi masalah, mengangkat isu toleransi antar agama,
menyuarakan emansipasi wanita dan kebebasan berpendapat secara mutlak.[12]

Itulah makar orang-orang kafir dan zindiq untuk menyesatkan kaum muslimin. Lalu apa kewajiban kaum
muslimin? Bagaimana cara menghadapi serangan yang ditujukan secara membabi buta terhadap Islam
dan kaum muslimin?

Tentu saja, tanggung jawab besar ada di pundak kaum muslimin, baik secara individu maupun
kelompok, rakyat maupun pemerintah dalam menghadapi arus pemikiran sesat yang memangsa setiap
individu umat ini, yang besar maupun kecil, lelaki maupun wanita! Hasbunallah wa ni’mal wakil! Boleh
kita katakan, kewajiban ini berlaku secara menyeluruh meskipun harus kita akui bahwa ada solusi dan
pemecahan syar’I secara khusus bagi setiap kondisi dan peristiwa, berikut perinciannya:

Menancapkan kembali dasar-dasar aqidah Islamiyah di hati kaum muslimin. Melalui kurikulum-
kurikulum pendidikan dan tarbiyah dalam skala umum, dan lebih memusatkan penanaman dasar-dasar
aqidah ini bagi generasi muda, khususnya anak-anak, di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun
non formal, negeri maupun swasta.

Membangkitkan fanatisme beragama yang positif di segala lapisan umat dan menumbuhkan kesadaran
membela kesucian dan kehormatan Islam.

Menutup seluruh saluran masuknya produk-produk dan arus pemikiran barat.


Memberikan penyuluhan kepada kaum muslimin tentang bahaya-bahaya paham-paham sesat ini agar
mereka tidak terjerat jaring-jaringnya.

Memperhatikan seluruh bidang yang menjadi kebutuhan primer kaum muslimin, di antaranya pelayanan
kesehatan dan pendidikan secara khusus.

Setiap muslim dimana saja berada, hendaklah berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan as-Sunnah
dengan pemahaman Salaf, tidak dengan pemahaman lainnya yang menyesatkan. Hendaklah memegang
teguh nilai-nilai Islam dalam diri mereka dan orang-orang yang berada di bawah penguasaannya sesuai
dengan kadar kemampuan masing-masing. Dan setiap keluarga muslim, hendaklah memiliki benteng
yang kokoh dalam menghadapi setiap usaha yang ingin merusak aqidah dan akhlak mereka.

Setiap pribadi maupun keluarga muslim, hendaklah tidak melakukan perjalanan ke negeri-negeri kafir
kecuali untuk kepentingan yang sangat darurat, seperti untuk berobat atau menuntut ilmu yang sangat
vital yang tidak dapat dipelajari di negeri-negeri Islam. Sebelumnya mereka dibekali dengan kesiapan
untuk menghadapi berbagai syubhat dan fitnah yang dibidikkan kepada kaum muslimin.

Menggugah kesadaran sosial di antara kaum muslimin dan semangat tolong menolong di antara mereka.
Orang-orang kaya hendaklah memperhatikan kaum fuqara’, mengulurkan kedermawanan dalam hal-hal
kebaikan dan program-program yang bermanfaat untuk mencukupi kebutuhan kaum muslimin.
Sehingga tangan-tangan kotor Nasrani tidak memanfaatkan kemiskinan dan kefakiran untuk
memurtadkan mereka.

Maraji`:

Al-Ibthâl, Syaikh Bakr Abu Zaid.

Bahaya Islam Liberal, Hartono Ahmad Jaiz.

Dirasâtun fît Tashawwuf, Ihsan Ilahi Zhahir.

Fiqih Lintas Agama, Nurcholish Majid dkk., Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation, Jakarta,
2004.

Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Zuly Qodir, Pustaka Pelajar, 2003.

Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Adian Husaini, insistnet.com., 2004.

Shahwatur-Rajulil Maridh, Jamaluddin al-Afghani fil-Mizan, diambil dari al-Ibthâl li Nazhariyatil-Khalath


baina Dinil-Islam wa Ghairihi minal-Adyan.

Harian Kompas.

Majalah Gatra, edisi 3 April 2004.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Footnote
[1] Al-Insan al-Kamil, ‘Abdul-Karim al-Jîli, I/99.

[2] Manthiquth-Thair, Fariduddin Aththar, Darul Andalus, Beirut, hlm. 389.

[3] Al-Yawaqit wal-Jawahir, asy-Sya’rani, II/58.

[4] Maksudnya, agama apapun yang kuanut.

[5] Dzakhairul-Akhlaq Syarh Turjumani Asywaq, Ibnu Arabi, hlm. 49 dan sesudahnya.

[6] Ibid., hlm. 52-53.

[7] Fushushul Hikam, Ibnu Arabi, hlm. 195.

[8] Ibid., hlm. 192.

[9] Ibid., hlm. 114.

[10] Ibid., hlm 169-170.

[11] Lihat tulisan Oleh Luthfi Asysyaukâni pendiri JIL, Peneliti Freedom Institute, dan Dosen Universitas
Paramadina, Jakarta.

[12] Lihat tulisan berjudul “Empat Agenda Islam Yang Membebaskan” tulisan Luthfi asy-Syaukâni

Penulis Literasi : Azizah P.

Anda mungkin juga menyukai