Disebuah desa pegunungan yang tepatnya di desa Bruno,Purworejo.Saya sejak kecil
menjadi anak yang periang Saya adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara Saya memiliki 1 kakak laki- laki,1 kakak perempuan dan 1 adek laki-laki.Hari demi hari kita lalui bersama dan tidak terasa saya sudah beranjak dewasa. Kakak-kakak pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaaan,sedangkan saya akan melanjutkan ke jenjang SMA. Keinginan yang kuat ingin masuk pesantren baru saya rasakan ketika sudah wisuda. Hingga harinya tiba saya berangkat ke Pesantren diantar oleh keluarga besar. Hari pertama ke dua hingga bertahun-tahun hidup di pesantren, saya sangat merasa nyaman dan betah karena mondok adalah kemauan saya sendiri tapi sebenernya walaupun tekad saya untuk mondok sangat tinggi tetap saja ada sedikit hawa pengin pulang ke rumah hehee. Nah yang sering saya lihat santri itu banyak hafalan, dituntut untuk bisa, jauh dari orang tua,makan seadanya, sering dihukum dan masih banyak peraturan-peraturan yang menghantui fikiran saya. Rasa itu seketika hilang ketika saya sudah menjadi santri, dan menjadi santri tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Mungkin di pondok pesantren saya tidak merasakan kasih sayang secara langsung dari orang tua, namun istimewanya di pondok pesantren kita begitu merasakan kasih sayang dan kebersamaan dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga sendiri. Kegiatan di pondok sangat padat, mulai dari jam 3 pagi bangun untuk salat malam, dilanjut salat berjamaah subuh, setalah itu bersiap-siap untuk ke sekolah, sepulang sekolah saya rapi-rapi untuk persiapan mengaji sore. Ya sebenernya hidup di pondok itu enak, cuma belajar, sekolah, ngaji, makan, tidur tapi banyak banget orang yang gak betah tinggal di pesantren termasuk saya yang punya tekad tinggi. Berbicara tentang kebersamaan, di pesantren kebersamaan antara santri sangat kuat. Saya ingat, jika waktu dijenguk tiba ketika ada orang tua santri yang datang untuk mengunjungi anaknya, pasti wali santri tersebut membawakan nasi untuk anaknya serta santri lainnya yang tinggal sekamar. Dari bungkusan itulah kebersamaan santri sangat terlihat, sebelum makan kami menyatukan bungkusan nasi itu menjadi satu sehingga bisa makan sama-sama, sampai berebut karena saking ramainya, tapi itu sudah menjadi hal biasa sehingga menjadikan sebuah kebersamaan semakin erat. Saya bangga hidup di pesantren karena saya dididik untuk menjadi insan yang islami. Dan saya bangga hidup di pesantren karena dari pesantren saya tahu bahwasanya ilmu dunia serta akhirat harus seimbang agar tak salah melangkah