Anda di halaman 1dari 6

Mencari Siapa yang Salah

Pepatah lama jurnalistik mengatakan “Man bites dog” atau Manusia menggigit anjing, yang kurang
lebih berarti, kejadian manusia menggigit anjinglah yang bisa disebut berita (atau mungkin saat ini
dikenal sebagai konten) sedangkan anjing menggigit manusia adalah informasi biasa.

Seperti terjadi pada pementasan Spartan Phoenix dari Teater Anala yang naskahnya ditulis oleh sang
sutradara Muhamad Habib Koesnady. Tentu dengan kerumitan yang lebih dari sekadar gigit menggigit
Manusia kepada Anjing.

Tanpa pengetahuan apapun mengenai teater Anala dan Spartan Phoenix, saya datang, juga sengaja
masuk di detik-detik akhir sebelum pertunjukkan dimulai. Ketika sampai dan dihadapkan pada ruang
persidangan di atas panggung, hanya satu yang terlintas dalam benak saya. Siapakah yang akan
disalahkan dalam persidangan ini?

Pertunjukan dibuka, lampu hijau perlahan menyinari ruang persidangan dengan segala perangkatnya.
Beberapa penonton masih mencoba mencari tempat duduk di antara tangga-tangga ruang gelap
Gedung Kesenian Miss Tjitjih. Hening kemudian tercipta kala seorang Panitera masuk dan membuka
persidangan kasus dugaan pembunuhan.

Tanpa menunggu lama setelah sidang dibuka, para “wakil Tuhan” datang menduduki singgasananya,
sedang 1 kursi pesakitan di tengah belum diisi. Percakapan singkat terjadi, dengan Hakim yang
sedikit kesulitan saat menyebut nama korban, Spartan Phoenix.

Sebagaimana umumnya persidangan kasus dugaan pembunuhan, di meja hijau seorang manusia
diduga merupakan pembunuh dari korban yang merupakan seekor anjing peliharaan. Yang
membunuh adalah manusia, dan korbannya Anjing. Tapi tetap, yang berdebat manusia.

Pada bagian ini, sidang sukses menarik minat dan keseriusan para penontonnya.

Pemanggilan tersangka pun terjadi segera. Seorang polisi beserta asisten di belakangnya kemudian
datang mencari rumah tersangka. Berjalan sambil mengarahkan mata ke beberapa penjuru, hingga
dihadapkan pada sebuah daun pintu – sungguhan, yang diduga polisi merupakan rumah tersangka.
Penggambaran rumah yang kelewat ada adanya, seperti dimaksudkan untuk menggambarkan kelas
bawah ekonomi tersangka.

Dikeluarkannya lah surat panggilan dari kantong, kemudian polisi meminta sang asisten menyamakan
alamat tersembunyi pada pintu dengan surat tersebut. Sedang dibalik pintu, ada Pak Haji yang kuat
memegang pintu dengan Melodi (Anak tersangka) mengekor di belakangnya, gusar terus bertanya
kenapa kepada Pak Haji.

Setelah resmi dipastikan merupakan rumah yang dicari, penggerebekan langsung dieksekusi dengan
ketukan dan teriakan mencari. Yang diketuk justru berlari – sungguhan, ke sana kemari beserta
kedua orang yang makin gusar membawanya ketakutan. Semakin diketuk, semakin kejar-kejaranlah
mereka, makin begitu, makin kencang juga tawa penonton. Semua lupa awalnya mereka sedang di
ruang persidangan kasus pembunuhan.

Percakapan mereka yang tadinya kejar-kejaran ini pun berakhir dengan digeledahnya rumah tersebut
oleh asisten polisi. Gesturnya yang cukup sering diasumsikan sebagai gestur jenaka, jelas kembali
mengundang tawa penonton. Terlebih-lebih dengan kegagalannya menemukan terduga tersangka.

Setidaknya karena hal itu juga Pak Haji dan Melodi bisa bernapas lega sekaligus beristirahat setelah
kejar-kejaran. Dan ya, seperti dikehendaki penulis naskah, si Tersangka dengan enteng datang dan
tentu sebagai yang daritadi dicari, ia langsung dibawa aparat lengkap dengan helm dan jaket ojol
yang masih melekat di badannya.

Tawa penonton digantikan isak ketakutan Tersangka yang ditarik paksa aparat, beserta teriakan nan
menyayat Melodi yang tertahan dipelukan Pak Haji. Mereka tak berdaya dan tak tahu menahu sebab
penangkapan kilat orang terkasih mereka.

Ruang persidangan kembali dimunculkan, suasana tegang kembali merasuk hingga bangku
penonton. Dan hanya bertahan sebentar karena tawa kembali pecah. Sebabnya, Tersangka yang
disebut hakim bernama Gugiatno merupakan seorang – bertingkah, lugu yang gagap bicaranya.

“Saya Gugiatno, tinggal di rumah haji Beni, anak cantik, pintar, banyak teman,” ujar Gugiatno ramah,
betulan senang bertemu dan berkenalan dengan orang lain. Hakim yang bingung kemudian meminta
kembali diulang apa yang sempat diucapkan Gugiatno.

Dengan semangat Gugiatno kembali mengucapkannya, dengan lebih cepat, dan semakin lebih tidak
terdengar jelas. Tawa meluas dari bangku penonton. Seiring itu beberapa penonton di sekitar saya
pun mempertanyakan apa yang Gugiatno katakan. Betulan semua bingung sambil ketawa.

Selain gagap, Gugiatno juga sepertinya sulit mendengar dan menangkap maksud dari yang
ditanyakan Hakim maupun Jaksa, alhasil beberapa pertanyaan panjang kadang harus diulang dari
awal, dan bila kembali terpaksa diulang, barulah disingkat.

Jaksa dan Hakim sama-sama tidak memahami pentingnya menyingkat pertanyaan mereka agar
Gugiatno mengerti. Yang mereka tahu hanya perlambat ucapan dan perbesar diameter mulut saat
berbicara.

Entah sebuah kesengajaan penulis atau tidak, adegan ini sukses membuat saya mempertanyakan
apakah pemeran Gugiatno memang betul gagap atau tidak.

Saat sudah terlanjur tak terdengar dan bolak-balik diulang, Hakim kemudian meminta kuasa hukum
Gugiatno menerjemahkan apa yang dikatakan tersangka, meski hanya beberapa kali, dan berakhir
dengan tetap berkomunikasi ala kadarnya langsung dengan Gugianto.

Dalam adegan penjelasan latar belakang Gugiatno, diceritakan Gugiatno adalah orang tua tunggal
untuk anak gadis semata wayangnya yang pintar dan punya banyak teman. Ia bekerja sebagai kurir
makanan yang kadang kala mengantar jemput penumpang via aplikasi ojek online atau ojol. Selain itu
ia juga bekerja sebagai marbot, di Masjid dekat rumahnya.

“Ada Pak Haji Beni, dia baik,” ujar Gugiatno – begitu yang saya ingat, semangat ketika ditanya perihal
upah dari pekerjaan utamanya sebagai mitra ojol. Dengan upah jauh di bawah UMR Jakarta yang
didapatkan Gugiatno tentu sulit mencukupi kebutuhannya dan sang putri. Haji Beni lah yang
membantunya selalu, dengan begitu setidaknya Gugianto dan Melodi dapat terbantu bertahan hidup.

Meski sempat diminati banyak orang, nyatanya kian hari pekerjaan kehidupan mitra ojol semakin
kelabu. Terlebih bagi mereka yang menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Upah dan jam yang
tidak menentu, resiko yang kian besar, serta tekanan dari berbagai arah seakan membuat para mitra
ojol menjadi pihak yang selalu salah.

Ke-serba-salahan Gugiatno sebagai mitra ojol digambarkan melalui adegan saat dirinya ditanyai soal
kepemilikan pisau dalam bagasi motornya oleh Jaksa. Dengan tegas Jaksa mempertanyakan alasan
seorang kurir makanan membawa pisau, yang diduga adalah alat untuk membunuh Spartan Phoenix.

Dengan wajah panik dan suara yang lirih (tetap gagap) Gugiatno menyangkal hal tersebut dan
mengatakan alasannya membawa pisau hanyalah untuk memotong tali pengikat paket makanan dan
juga melindungi diri dari begal yang pernah menyerangnya.
Ketika desakan terus diajukan Jaksa, Gugiatno semakin semakin keras menyangkal tuduhan
tersebut. “Ada begal, malam-malam, takut, Motor diambil. Gak bisa kerja, gak bisa makan,” ujar
Gugiatno histeris dan penuh ketakutan.

Trauma Gugiatno kemudian dibawakan dalam adegan. Ruang Pengadilan berganti menjadi jalanan
malam yang sepi dan hanya berisi Gugiatno dengan 2 orang mitra ojol lainnya di –mirip, pangkalan.
Seusai sapa menyapa, ketiganya kemudian membicarakan soal modus begal yang menjerat mitra
ojol melalui pesanan palsu. Terlihat bagaimana ketiganya merasa ngeri dan gemetar dengan kejadian
tersebut, yang kembali mengundang tawa penonton.

Tidak banyak kata yang dapat ditangkap dari obrolan bisik-bisik mereka. Yang bisa saya tangkap saat
itu adalah ucapan mereka tentang taruhan nyawa demi mendapatkan bonus harian.

Perusahaan ojol memang diketahui lebih berpegang pada motto Penumpang adalah raja. Semakin
banyak penumpang puas, mitra ojol akan mendapatkan nilai kepuasan tinggi, bisa juga mendapatkan
uang tip. Bak raport mitra ojol, semakin tinggi nilai kepuasaan di mata pelanggan, semakin banyak
juga orderan yang masuk pada akun mereka. Semakin pastilah mereka akan mendapat bonus harian.

Sebaliknya, semakin banyak penumpang tidak puas, bukan hanya nilai kepuasan yang rendah,
mereka bisa saja berakhir diputus kerja, atau yang ekstremnya berakhir di pengadilan. Tidak ada lagi
yang namanya bonus harian.

Dan ya, seperti sudah diramal oleh kedua temannya, dan sebetulnya memang sudah alur yang
dituliskan penulis, Gugiatno pun kena begal, persis kejadiannya seperti yang sudah dibicarakan
sebelumnya. Semua barang berharganya diambil gerombolan begal, badannya pun ikut dipukuli.

Padahal, mulai dari motor sampai pulsa handphone adalah milik pribadi Gugiatno. Dan karena itu
jugalah tidak ada istilah penggantian dari perusahaan. Ibarat kata papan parkiran motor “barang milik
pribadi yang hilang, ya ditanggung pemilik”. Mitra ojol pun demikian. Semua ditanggung dan diurus
sendiri.

Isak tangis Gugiatno menarik penonton kembali ke ruang persidangan yang sempat mereka adegan
pembegalan. Trauma yang dialami Gugiatno mengenai begal yang membuat sang anak
membekalinya dengan pisau, yang hanya dianggap alasan di mata jaksa. Pertanyaan mengenai
kegunaan pisau tersebut terus ditanyakan hingga memunculkan perdebatan antar jaksa dan kuasa
hukum. Hakim mau tak mau harus menengahi keduanya.

Di saat Gugiatno terus menyangkal tuduhan penggunaan pisau untuk membunuh, sang pemilik
Spartan Phoenix berteriak dari bangku penonton dengan garang memotong ucapan gagap Gugiatno
dan menyakinkan hakim dan penonton bahwa Gugiatno sebagai pelakunya.

Sebetulnya selama pementasan, saya merasa diajak menebak-nebak siapa yang bersalah dalam
persidangan ini. Ditarik dari satu tokoh ke tokoh lain, dengan kerumitan, kelemahan, dan kekuatannya
masing-masing. Saya pun tak menyangka pemilik Anjing bernama rumit ini hadir sebagai tokoh yang
nyata, padahal saya sudah cepat memutuskan menyalahkannya yang menciptakan ruang manusia vs
(arwah) anjing di meja hijau.

Ialah Juniper Phoenix, pemilik Spartan Phoenix. Saat kejadian, Juniper mengaku dirinya tak berada di
rumah yang terletak di perumahan elit, Pluit, Jakarta Utara. Meski tak di rumah Juniper mengatakan
dirinya yakin kesayangannya tak akan melukai siapapun kecuali diganggu.

Di awal saya tetap menyalahkan Juniper, hingga kemudian pertanyaan demi pertanyaan dari kuasa
hukum Gugiatno yang cukup mengusik pribadi bahkan privasi Juniper kemudian membuka sisi lain
Juniper. Dia dan segala kerumitannya. Sisi kelamnya yang ditinggalkan pasangan (yang seharusnya)
sehidup semati, suami yang beralih pada lelaki lain. Semua dijelaskan secara verbal penuh emosi,
tanpa terkesan seperti menghafal dialog.

Sebagaimana Gudiatno memiliki trauma begal dan ketakutan pada anjing, Juniper juga memiliki
versinya sendiri. Trauma dan kesedihan yang berakhir dengan ketidak percayaan Juniper pada
manusia merupakan isu yang cukup dekat dengan generasi dewasa kini. Sebagai bagian dari
generasi milenial, saya cukup mengerti apa yang Juniper jelaskan.

Kuasa hukum Gugiatno kemudian menanyakan beberapa hal berkaitan dengan alasan dibalik tidak
diikatnya Spartan Phoenix yang diketahui setinggi 90 cm dengan berat 85 kg, dan lebih berat dari
badan Gugiatno. Juniper dengan pede menyebut dirinya menghargai hak-hak binatang dan tak akan
mau menyiksa Spartan dengan mengikat atau mengurung kesayangannya itu. Kuasa hukum
meyakini Juniper memiliki hubungan tidak seharusnya dengan Spartan.

Tak menerima dianggap aneh dan seperti dengan terpaksa, penuh emosi Juniper menjelaskan yang
ia alami. Penonton seperti diajak bersama bersedih dengan kesakitan dan rasa kesepian yang
dialami Juniper. Meski tak digambarkan dengan adegan kilas balik apapun, hubungan keduanya
diperlihatkan melalui gerak tubuh yang harmonis antara Juniper Phoenix dan Spartan Phoenix. yang
saya tangkap keduanya (terkhusus Juniper) sudah ada dalam tahap komunikasi yang intim.

Pilihan saya sedikit akan bergeser. Tapi tetap keberpihakan ada pada manusia. Bagaimanapun kasus
ini tentang Hewan melawan manusia, Saya masih membela Gudiatno, meski rasa kasihan pada
Juniper besar adanya. Ia kehilangan “separuh nyawanya”, seperti yang ia katakan.

Tak kenal lelah, kuasa hukum Gugiatno pun membantu Gugiatno menjelaskan bahwa tuduhan
pembunuhan Spartan Phoenix secara sengaja tidaklah benar. Melainkan merupakan upaya membela
diri dari serangan anjing besar yang sempat melukainya. Belum lagi dengan fakta bahwa Gugiatno
melihat anjing sebagai hewan yang haram dan perlu dihindari.

Sempat terpikir, kalau memang Gudiatno takut anjing, mengapa ia menerima orderan daring
makanan untuk anjing yang diserahkan langsung ke anjingnya? Tentu jawabannya ya hanya soal
uang.

Sebagai orang tua tunggal yang berusaha keras memenuhi kebutuhan hidup diri dan putrinya,
Gudiatno tentu tidak dapat memahami pola pikir Juniper yang rela membelikan makanan khusus
Spartan secara daring, dengan harga mahal. Yang Gudiatno tahu dan pedulikan hanya pesanan
makanan tersebut merupakan pekerjaan yang harus ia kerjakan demi mendapatkan uang. Apapun
resikonya.

Dalam persidangan kelas Gudiatno begitu terasa. Ia kesulitan untuk mendapatkan bantuan hukum,
sebut saja seperti membawa saksi atau ahli untuk membantunya di pengadilan. Bagaimanapun
membawa saksi atau ahli ke persidangan tentu memerlukan biaya besar, terlebih bila kasusnya cukup
“unik”. Uang untuk bertahan hidup saja susah, apalagi untuk dipersidangan. Bahkan saya menduga
kuasa hukum yang memberi Gudiatno merupakan kuasa hukum yang memberikan jasanya secara
gratis.

Sedangkan, keterbalikannya, sebagai bagian dari kelas atas, Juniper memahami betul bagaimana
hewan perlu mendapatkan perlindungan dan pembelaan, yang sama menurutnya di mata hukum.
Dengan mudah Ia pun menghadirkan saksi/ahli untuk mendukung gugatan yang ia ajukan.

Kehadiran ahli yang mengiyakan pertanyaan hakim mengenai perilaku tidak sengaja membunuh
hewan masuk dalam kategori penyiksaan hewan. Istilah tidak sengaja di sini menjadi janggal. Seperti
mendapat jawaban sudah tidur dari yang ditanyai apakah sudah tidur. Pernyataanlah yang kemudian
membuat saya merasa penulis punya keberpihakan kuat pada tokoh Gudiatno dan segala fakta yang
condong kondisi Gudiatno.
Menjelang akhir persidangan, muncul sebuah adegan penyerahan bukti video cctv yang diambil dari
dekat masjid tempat Gudiatno menjadi marbot. Dikatakan oleh Jaksa, dalam video CCTV tersebut
dikatakan terlihat jelas Gudiatno menyiksa anjing dekat masjid.

Meski tidak ditayangkan, saya seolah teringat kata kunci lain yang disampaikan di awal adegan
perkenalan Gudiatno, kalau dirinya melihat anjing sebagai hewan yang haram. Sebagai pemilik
anjing, saya kurang lebih mengerti bagaimana ketakutan yang dialami Gudiatno. Di daerah rumah
saya pun kerap kali orang takut dengan anjing saya dan kabur saat lewat depan rumah.

Hal itu juga yang membuat saya teringat bagaimana kejadian pembunuhan anjing karena dianggap
haram pernah beberapa kali keluarga saya alami. Bukti CCTV yang tidak diadegankan itupun sukses
membuat saya bimbang. Jangan-jangan betul adanya Gudiatno memang membunuh secara sengaja,
selain karena takut, juga karena melihat anjing sebagai hewan yang haram.

Tapi lagi-lagi hal itu dengan mudah terbantah, dalam adegan dijelaskan ukuran Spartan Phoenix yang
lebih berat daripada Gudiatno. Sehingga kemungkinan Spartan dapat melukai Gudiatno sangatlah
besar. Gigitan hewan tentu bukan hal yang bisa dianggap enteng. Lagi-lagi, keberpihakan penulis
pada Gudiatno benar terasa adanya.

Keberpihakan ini semakin terasa dengan banyaknya informasi yang sebetulnya lebih menguntungkan
Tersangka daripada penggugat. Saya duga mungkin penulis punya keinginan penonton ikut
berinteraksi, sekadar menyoraki hakim atas keputusannya yang dianggap tidak adil, sebagaimana
suara lantang Juniper yang muncul dari bangku penonton sidang saat menyanggah penyangkalan
Gudiatno.

Sayang, hal tersebut tidak terjadi. Ruang yang pada adegan-adegan awal seperti ruang persidangan,
semakin terasa seperti ruang teater yang menunjukkan pementasan teater bertema persidangan,
terlebih di akhir pertunjukkan. Hanya ada riuh tepuk tangan dan buru-buru menghambur ke atas
panggung mengucapkan selamat kepada keluarga besar Teater Anala.

Padahal persidangan sekaligus pertunjukan itu ditutup dengan vonis hukuman 5 tahun pada terdakwa
Gugiatno atas pembunuhan Spartan Phoenix. Semua lupa dengan adanya ironi kekalahan manusia
vs anjing.

Bentuk cukup realis yang disajikan di atas panggung membuat saya sempat menduga adegan demi
adegan akan memiliki riset yang cukup kuat mengenai hukum dan proses persidangan. Dan
kenyataannya, pementasan ini memiliki kecondongan mengambil alur persidangan yang umum
terlihat dalam pengadeganan sebuah sinetron kejar tayang. Terasa berdasar kuat pada stereotip dan
prasangka penulis pada penggunaan hukum di Indonesia.

Memang tidaklah bisa memuat semua detil persis tentang persidangan. Terlebih soal hukum sendiri
merupakan hal yang memang lebih dimengerti oleh para profesionalnya.

Bagian yang paling saya rasa janggal adalah dengan pengadeganan proses persidangan yang cepat
dan seolah selesai dalam 1 persidangan saja. Hal ini saya sadari dari pakaian tersangka dan pelapor
yang tidak berganti, kemudian ucapan hakim maupun ketukan palu sidang yang tidak memberikan
keterangan sidang ke berapa yang sedang berlangsung.

Saya pikir gaya teater Anala yang menjadikan lisan sebagai unsur utama dalam pementasan ini dapat
saya dimengerti, meski tidak saya sukai. Rasanya memang seperti menonton persidangan
sungguhan. Banyak dialog di dalamnya.

Sayangnya dalam pementasan ini saya tak banyak mendengar istilah hukum, seperti pasal yang
digunakan untuk menggugat. Penetapan vonis pada akhir pementasan pun terasa ganjil dan terkesan
memaksa terjadinya ironi.
Ada sebuah asas dalam hukum yang menyatakan semua manusia sama dan setara di mata hukum.
Adil barangkali bila manusia dihadapkan dengan manusia di dalam sebuah persidangan. Namun
kalau dihadapkan dengan anjing bagaimana? Siapa yang disalahkan? Apakah kemenangan anjing?
Apakah penggugat yang kesepian? Apakah hukum yang ambigu? Atau keputusan Hakim?

Entah, saya masih mencari sampai sekarang

Setelah jauh menulis kritik ini

Elisa F Hutajulu

Anda mungkin juga menyukai