Anda di halaman 1dari 5

Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat berbeda pendapat.

Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah... Hahahahaha! aku tertawa sambil membaca. Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation! jelas Judi dengan nada nyaring. Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game. Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini. Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu? Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal. Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu. Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan ( Eh, itu... ). Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri... aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah. Ohh iya itu! Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu. Oke, Beni kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk. Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. ...Beni, ayo...satpam Judi membisiku sekali lagi. Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.

Ya Tuhan! kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini. Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbiritbirit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya. Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu. Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi. Hahahahaha... Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu. ( Hahahahaha... ) Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini. Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ).

Selingkuh? Hanya laki-laki tak bermoral yang selingkuh. Jangan samakan aku dengan mereka dong," Prakoso mendorong halus tubuh istrinya, membujuk mulutnya untuk tak lagi berkata-kata. "Tetapi dua di antara tiga. Ini penelitian paling mutakhir!" sambung Melati, terus bernyanyi. "Iya??paling tidak, akulah yang satu itu," ia mengerdipkan matanya nakal, sekali lagi dengan harapan, istrinya sudi menggembok mulutnya. "Laksono selingkuh. Wicaksono selingkuh. Bramantyo juga selingkuh. Sekarang tunjukkan padaku, mana letak perbedaan antaramu dan mereka, teman-temanmu itu," kian teliti Melati mengkritisi. Sial! Pikir Prakoso. Bukankah semua nama yang disebut Melati adalah para guruku? Adalah profesor ahlinya dalam hal perselingkuhan? Mereka adalah rujukan, referensiku paling lengkap dalam seluruh perjalanan dan lika-liku, strategi pertempuran di ranjang, strategi menyerang dan bertahan, strategi berbohong dan berlagak pilon. "Kau jangan mengada-ada, Mam? Jelas aku berbeda dengan mereka. Mereka berambut keriting dan rambutku lurus. Ini tandanya jiwaku juga lurus?.moralku juga lurus?..Apa kau belum pernah memperhatikan rambutku?" "Bahwa rambutmu lurus, itu urusan Tuhan. Tetapi jika moralmu tidak lurus, itu akan menjadi urusanku, urusan kita berdua. Paham!?" "Sesuatu yang mustahil! Aku tidak paham!" "Oya? Rupanya kau belum paham juga jika belum menelan gambar-gambar bugilmu ini? Telan ini! Ayo! Makan permainanmu! Nanti kau akan tahu, betapa lezatnya hamburger jahanam ini, Prakoso!" Melati membeberkan gambar-gambar aneh dari kertas-kertas licin di depan hidung Prakoso. Prakoso terkesiap. Persis maling yang tertangkap. Ia linglung dan bingung. Dari mana Melati memperoleh ini data? Bagaimana mungkin semua terekam dengan begitu gamblangnya? Villa dan merk celdamnya? Aduh! Ini bahaya! Tetapi bukan Prakoso kalau gampang menyerah. "Tidak, Mam? Ini hanya rekayasa. Kau tahu? Akhir-akhir ini banyak pihak yang berusaha menjatuhkan namaku. Aku ini produser kenamaan. Jika saja aku mau, aku bisa mengambil para bintang pendatang baru itu untuk begituan. Tetapi aku bukan termasuk laki-laki yang dua persen itu." "Masih juga menyangkal? Kau tahu bahwa hakim menjatuhkan hukuman atas dasar bukti-bukti?" "Tetapi sejak kapan kau menjadi hakim?" "Sejak kamu mulai jadi maling!" "Kamu suka bercanda deh, Mam," Prakoso mencoba melunakkan situasi dengan meraih Melati. Tetapi Melati bukan Melati kalau tidak Melati. Bertameng duri, ia mulai menyerang Prakoso dengan bukti dan kata-kata. Ia tahu bahwa kata memiliki kekuatan gandewa jika tepat mengarahkannya. Musuh di depan mata atau di ujung dunia, hanya kata yang mampu memanah dengan tepat ke arah jantungnya.

"Aku memang suka bercanda, sebab itu akan kugantung foto artistik ini di depan sinema." Prakoso ternganga. Ia berdiri menatap Melati dengan bimbang, antara percaya dan tak. Ia menatap tajam ke arah mata Melati, ternyata mata itu lebih tajam dari belati. Prakoso ngeri. Ingin tetap membela diri tapi kehabisan nyali. Laki-laki kehabisan nyali? Apakah nyali? Adalah saudara kembar beribu cakar srigala yang siap mencabik mukamu, mulut, dan mata lancangmu. "Kamu?" (Ketika persetubuhan amarah dan harga diri, antara malu dan terpojok tak lagi memiliki ranjang yang nyaman. Ketika nurani raib dimangsa digdaya. Saat topengmu hendak disibak olehnya). Meminjam mata setan Prakoso memandangi bola mata Melati. Dengan seringai harimau lapar, tanpa guntur tak ada halilintar, ia terkam Melati dengan kedua sayapnya, sayap Burung Nasar yang perkasa. Ia terkami tulang leher Melati dengan sepuluh cakarnya, cakar-cakar srigala. Dalam sekejap mata, tubuh Prakoso berubah sosoknya. Sang produser film yang intelek dan sok moralis ini, berubah bentuk menjadi raksasa gorila sang pemangsa. "Mampus kau, lancang! Mata-mata! Belajar jadi CIA di rumah sendiri? Hhh!" Melati limbung dan tumbang. Tetapi data-data menghilang. Ke mana itu foto? Prakoso terus mengigau. Di mana foto-foto melayang? Bukankah setiap helai dari rambutmu telah kurontokkan? Sepuluh jari yang kau miliki telah kupreteli? Duapuluh delapan gigimu telah kucongkeli dan kedua kakimu telah kuamputasi? Ke mana foto-foto berlari? Prakoso juga berlari. Terus berlari dalam kejaran polisi-polisi, yang berbondong-bondong mencarinya atas perintah Melati. Di mana Melati? Belum jugakah ia mati? Setelah terlindas ban mobilku sebanyak duapuluh satu kali? Setelah minum racun yang kutaburkan di gelas susunya sembilan kali? Ia tidak mati. Ia semakin segar dan hidup di antara kumpulan yang menentang. Ia menjadi hantu gentayangan. Ia menggerakkan barisan-barisan. Dua puluh orang. Tiga puluh orang. Kadang empat puluh. Kadang lima puluh. Tetapi jumlah terus membengkak menjadi empat ribu. Seperti peluru yang berseteru. Melati mengharu-biru. Ia terus maju dengan kelewang atau buku-buku. Dan buku-buku Melati besar dan tebal, sebesar kebohongan dan dosa-dosaku. Nyali Prakoso ngilu. "Jalanku buntu," keluh Prakoso. Di mana-mana buntu. Gang dan lorong buntu. Stasiun dan terminal buntu. Bandara dan pelabuhan buntu. Jalan raya, jalan kota, jalan desa, buntu. Bahkan pintu rumahku buntu. Lalu ke mana akan bertamu? (Jika rumahmu menghilang oleh dosa dan penghianatan, ke mana berpaling dari terik mentari dan gempuran hujan, kawan?) Seperti patung ia termangu. Patung batu. Tak berhala tak juga jadi obyek wisata. Lalu ia teringat selingkuhannya. Siapa tahu pintu rumahnya masih menganga. Dan Prakoso berlari mencari gerbang menganga. Ia tabrak pagar dan bendera. Ia sibak tabir dan lompati jendela. Ia jumpalitan di antara meja dan papan nama. Ia melihat di kejauhan sana, pintu gerbang masih menganga. Hyaaaat! Prakoso loncat dengan tongkat maksiat. Seperti kilat, ia melesat dengan gairah penuh

padat. Ia pun mendarat di hutan paling pekat, masuk ke dalam puri indah selingkuhannya, yang terkekeh mengerikan layaknya seekor drakula. "Kaukah di sana?" gaung tanya sebuah suara. "Tidak! Aku ingin pulang saja," jawab Prakoso menggigil, tanpa daya. ***

Anda mungkin juga menyukai