Anda di halaman 1dari 4

My King Mafia 2

Genre : Angst, Kriminal

Cast : Im Nayeon, Yoo Jeongyeon

Support Casts : Chou Tzuyu, Son Chaeyoung, Park Jihyo

Soundtrack :

Yoo Jeongyeon Side

She is my Queen.

Pertama kali aku melihatnya musim semi beberapa tahun tahun yang lalu. Moncong
senjataku tepat tertuju pada kepalanya. Seharusnya timah panas itu sudah tertanam disana,
memutus segala urusannya di bumi. Tapi aku menahannya, gerakan jemari yang seharusnya
dengan yakin menarik pelatuk itu. Wajahnya tampak biasa saja, hanya senyumannya yang
terbias deretan cahaya pagi itu berhasil menghujam jantungku. Helai rambutnya tergoyang,
melambai seolah mengajak jantungku untuk semakin kencang terpacu.

Di dunia ini, itu pertama kalinya aku sedikit meragu. Harusnya hanya perlu beberapa detik
saja pekerjaan ini selesai tapi aku menahannya. Harusnya aku tak melihatnya, ia benar-benar
membangkitkan rasa egoisku untuk memilikinya.

“ Kau pulanglah.” Perinahku pada Tzuyu yang terus saja menatapku sedikit heran.

Aku menurunkan revolverkudan aku tidak peduli dengan tatapannya. Ada rasa aneh yang
sangat mengusik, tak peduli aku berusaha mengabaikannya aku semakin yakin aku
menginginkannya.

Namanya Im Nayeon, putri tunggal seorang pria yang pernah membunuh kedua orang tuaku.
Apakah aku tak boleh memilikinya? Bahkan jika kedua orang tuanya mencium kakiku untuk
memohon. Aku tetap menginginkannya. Sekedar hanya menyentuh kulitnya yang halus dan
putih itu, aku tetap menginginkannya.

“ Rasanya dunia ini mulai terbalik, bukankah dengan cara seperti ini kau merendahkan
ayahku?” Aku mengarahkan moncong pistol itu ke kepala Tuan Im. Melihatnya menangis
sambil memohon seperti sebuah kepuasan yang tak ada duanya.

“ Hanya dengan cara seperti ini aku bisa memiliki putrimu, terima kasih sudah menjaganya
dengan baik.”
Dua peluru keluar dari pistolku, diikuti percikan api dan suara bising sebelum benda keras itu
menghujam kedua orang yang beberapa menit lalu memohon padaku. Selesai. Cairan merah
kental itu keluar dari lubang peluru yang kubuat. Aroma sedikit amis yang mulai menyeruak
mengisi ruangan.

Tak perlu menunggu lama lagi, orang yang membuatku terperosok dalam dunia hitam
kriminal telah kutuntaskan urusannya. Ujung bibirku sedikit terangkat ketika dengan yakin
aku keluar dari rumah itu. Diikuti Tzuyu dan beberapa anak buahku, hanya tinggal satu yang
harus kulakukan. Memilikinya... ya, aku harus memilikinya.

Gadis itu meringkuk, tatapan terlukanya sama seperti yang aku miliki dulu. Nafas
kehilangannya nampak berbaur dengan udara kamar yang terisi aroma lavender itu. Selimut
yang membalut tubuhnya tak cukup mampu menyamarkan gerak pundaknya yang terisak.

“ Semuanya pasti baik-baik saja.” Ujarku duduk di pinggiran tempat tidur.

Ia bangkit, sekedar menghapus air matanya lalu menatapku. Aku tersenyum, sekedar
menampakan pesona yang mungkin dapat sedikit membiusnya.

“ Yoo Jeongyeon.” Entah mengapa aku ingin berusaha bersikap hangat padanya.
Menyodorkan tangan kananku ke arahnya. Ia tak beranjak, masih tetap menatapku dan
mengabaikan tanganku yang tersodor ke arahnya.

“ Baik. Mungkin kau masih butuh waktu untuk sendiri.” Sedikit tidak baik mungkin jika aku
terlalu memaksanya. Ah, bukan. Bila aku terlalu memaksakan diri mengenalnya. Aku
memilih beranjak, sedikit menghembuskan napas kecewa tak sanggup menarik perhatiannya.

“ Mereka pergi, mereka meninggalkanku sendiri.” Nayeon menahan tanganku yang akan
berannjak pergi. Ia menangis lagi, isakan yang tentu saja berhasil membuatku terluka.

“ Kau memiliki aku sekarang, kau tak sendiri.”

Sepertinya ia sangat menyukai rangkaian tato yang terukir di punggungku. Ia selalu


menjelajahkan jarinya disana. Menyentuhnya dari kepala hingga ekor naga, seolah tak pernah
bosan menganggumi rangkaian itu.

“ Ada apa?” Rasa khawatir di ujung jemari yang terjejak di punggungku itu cukup terbaca
olehku.

“ Aniyo. Apa kau akan pergi?” Nada egois miliknya terdengar lagi. Sejujurnya aku
menyukainya, menyukai rasa egoisnya terhadapku.
Aku menoleh, tersenyum simpul memandangnya. Menatap rambut panjangnya yang setengah
basah. Menikmati pipi putihnya yang selalu kusukai. Aku beranjak, mengusapkan jemari
dinginku ke pipinya. Menatap lapisan irisnya dengan intens, aku yakin aku memang sangat
mencintainya.

“ Kau percaya aku akan kembali, bukan?” Bisikku pelan.

Bibirnya itu memang selalu menggodaku untuk melumatnya. Sekedar mencoba meruntuhkan
kekhawatirannya ketika dunia kejam yang ku geluti memanggilku. Tak aka kusesali jalan
yang telah kupilih, meski kenyataannya yang seperti bom atom itu mungkin akan meledak
begitu saja.

Hal yang aku takutkan ia mengetahui segalanya. Siapa sebenarnya kekasihnya ini. Entah
kenapa rasa manusiawiku selalu tercipta untuknya, rasa yang seharusnya terkubur dan
menghilang.

“ Sir.” Suara Tzuyu lagi. Dia memang selalu mengganggu momentku bersama Nayeon tapi
itulah pekerjaannya.

Aku menatap lagi wanita yang sangat aku kagumi ini. Hal yang berharga yang seakan tak
ingin aku lepaskan.

“ Aku menunggumu.” Suaranya itu melantun sejurus dengan kecupan hangatnya yang
mendarap di pipiku.

Sudah aku katakan. Aku membawa bom waktu. Yang jika meledak akan menghancukan dan
Nayeon seketika. Bom yang tentu saja memporak-porandakan jalinan tali yang berusaha
kupilin. Aku tak menyalahkannya, aku hanya ingin menyalahkan kedua orang tuanya yang
menciptakan situasi seperti ini. Kenapa setelah beberapa tahun aku kembali menatapnya? Air
mata itu dan aku sangat membencinya. Aku hanya berusaha tak membuatnya menangis.

Hal yang suah aku putuskan, mungkin menjauhinya. Itu lebih baik, akan sangat buruk bila
seseorang yang telah membunuh kedua orang tuanya adalah pria yang hampir setiap malam
mengunjungi kamarnya. Benar-benar buruk, ini bahkan lebih buruk ketika aku dulu
menyadari siapa pembunuh kedua orang tuaku. Aku memang tak pantas menjelaskan apapun
padanya. Akan sangat memalukan jika aku masih mencoba mengharapannya.

Kedua polisi yang sejak dulu mengincarku akhirnya berhasil menangkapku. Tapi bukan itu
yang aku khawatirkan, aku bisa menyelesaikan ini dengan mudah. Hanya saja dakwaannya
tentang kematian Tuan Im itu cukup membuatku sedikit terpuruk. Yah.. di depan gadis yang
kucintai, aku di gelandang karena dakwaan atas pembunuhan kedua orang tuanya dan itu
benar.

.
.

“ Aku yang membunuh kedua orang tuamu.” Kata itu memang mampu terlontar ringan dari
mulutku. Kata yang benar-benar membuat bola mata itu semakin membuatku terluka. Tapi
bukankah itu lebih baik? Hal yang tentu saja dapat membuatnya semakin menyadari seberapa
buruknya aku.

“ Hanya itu?” Suaranya bergetar.

Lalu apa lagi yang sanggup aku katankan? Memohon ampunannya? Bukan untukku, tapi
terlebih untuknya. Seorang pria jahat yang terlihat seperti memanfaatkannya, seorang pria
jahat yang dengan kedua tangannya membunuh orang tuanya. Meski memang aku
mencintainya, hal itu akan sangat melukainya.

“ Ya, pergilah.” Memang hanya iti yang sanggup aku katakan. Mencoba mengakhirinya, agar
ia tidak semakin terluka.

Anda mungkin juga menyukai