Anda di halaman 1dari 14

FUNGSI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM: PENCEGAHAN (‫(وقائ‬

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tematik

Dosen pengampu:

Dr. Fauzun Jamal M.A

Disusun oleh:

Annisa Azzahra : 11230520000040


Fahira Pambajeng Damayanti : 11230520000041

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


TAHUN 2023 M/ 1445 H

BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Sejak Allah menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, Allah telah memberikan
kepadanya ajaran yang menjadi petunjuk kehidupan yang benar, yang menjamin umat
manusia dapat menciptakan kemaslahatan hidup bagi manusia sendin dan makhluk
makhluk lainnya. Ajaran yang berisi petunjuk kehidupan yang benar itu kemudian pada
saat penurunannya yang terakhir kepada Rasullah Muhammad SAW, Allah memberikan
nama Islam. Karena itu Allah melarang manusia meragukan kebenaran yang telah Allah
berikan kepada semua umat manusia.
Kebenaran mampu mencegah timbulnya kerusakan di muka bumi ini yang
mengakibatkan timbulnya penderitaan dan kesengsaraan. Petunjuk kebenaran merupakan
wujud dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya, sekalipun makhluk-makhluk-Nya
itu mendurhaka-Nya Karena Allah Maha Penyayang yang menyebabkan tidak dicabutnya
rahmat Allah dan manusia yang durhaka dalam kehidupan.
Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak perbuatan masyarakat yang masih
tidak sesuai dengan ajaran agama Islam maupun agama yang lainnya. Masih banyaknya
tindak kejahatan disekitar kita, hal tersebutlah yang melatarbelakangi kami untuk menulis
makalah ini. Sebagai seorang penyuluh yang akan melakukan pencegahan-pencegahan
yang membantu masyarakat untuk menjadi lebih baik lagi

b. Rumusan Masalah
1. Apa tafsir ayat dari QS. At-Tahrim ayat 6?
2. Apa tafsir ayat dari QS. Al-Baqarah ayat 195?
3. Apa tafsir ayat dari QS. Yusuf ayat 64?
4. Apa tafsir tematik tentang fungsi bimbingan dan penyuluhan islam yang berkaitan
dengan pencegahan?
BAB II
PEMBAHASAN

1. QS. At-Tahrim ayat 6


a. Lafadz dan Terjemahan ayat
‫َيَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ُقوا َأنُفَس ُك ْم َو َأْهِليُك ْم َناًرا َو ُقوُدَها الَّناُس َو اْلِحَج اَر ُة َع َلْيَها َم َلَك ٌة ِغ اَل ٌظ ِش َداٌد اَل‬
‫َيْع ُصوَن َهللا َم ا َأَم َر ُهْم َو َيْفَع ُلوَن َم ا ُيْؤ َم ُروَن‬

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa
yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.

b. Tafsir Perkata

Dan bahan
Tidak ‫اَّل‬
bakarnya
‫َو ُقوُد َه ا‬ Wahai ‫َي َأُّيَه ا‬

Mereka Orang-orang
mendurhakai ‫َيْع ُصوَن‬ Manusia ‫ٱلَّناُس‬ yang ‫ٱَّلِذ يَن‬

Dan batu- ‫َء ا ُنو۟ا‬


Allah ‫ٱَهَّلل‬ ‫َو ٱْلِح َج اَر ُة‬ Beriman ‫َم‬
batu

Apa ‫َم ٓا‬ Atasnya ‫َع َلْيَها‬ Peliharalah ‫ُقٓو ۟ا‬

Diperintahkan-
Nya kepada ‫َأَم َر ُهْم‬ Malaikat ‫َم َٰٓلِئَك ٌة‬ Diri kalian
‫َأنُفَس ُك ْم‬
sendiri
mereka
Dan mereka ‫ِغ اَل ٌظ‬ Dan
mengerjakan ‫َو َيْفَع ُلوَن‬ Yang kasar
keluargamu ‫َو َأْهِليُك ْم‬

Mereka
diperintahkan ‫ُيْؤ َم ُروَن‬ Yang keras ‫ِش َداٌد‬ api/neraka ‫َناًرا‬
c. Asbabun nuzul

Asbabun nuzul surat At-Tahrim ini adalah Rasulullah mengharamkan


dirinya untuk menyentuh Mariyah al-Qibthiyyah (seorang sahaya Rasulullah
SAW) Dalam gurat At-Tahrim ini asbabun nuzulnya Yang lebih dikuatkan adalah
Nabi Muhammad SAW. mengharamkan atas dirinya madu. pada ayat 5 surat At-
Tahrim, turun berkenaan dengan Rasulullah Yang sedang diboikot oleh istri-
istrinya karena cemburu, maka Umar berkata kepada mereka: 'Mudah-mudahan
Rabb-nya akan menceraikan kamu, dan menggantikan kamu dengan istri-istri
yang lebih baik daripada kamu". Setelah adanya peringatan atas istri-istri
Rasulullah tersebut, maka Allah menurunkan ayat 6 yang menjelaskan supaya
Rasulullah menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka.

d. Menurut Tafsir Ibnu Katsir


Mengenai firman Allah SWT ‫“ ُقوا َأنُفَس ُك ْم َو َأْهِليُك ْم َناًرا‬Peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka”, Mujahid mengatakan: “Bertakwalah kepada Allah
dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertakwa kepada Allah”.
Sedangkan, Qatadah mengemukakan “ Yakni, hendaklah engkau menyuruh
mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya.
Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan
perintahkan mereka untuk menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat
maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka”
Jadi, tanggung jawab pertama-tama adalah sebagai suatu kewajiban dari
Allah, kewajiban yang harus dilaksanakan. Maksudnya, bahwa kewajiban untuk
memelihara keluarga adalah datang dari Allah dan suatu kewajiban dan keharusan
yang harus dilaksanakan oleh orang tua agar dapat menyelamatkan keluarganya
dari siksa api neraka.
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh adh-Dhahhak dan Muqatil bin
Hayyan, di mana mereka mengatakan “Setiap muslim berkewajiban mengajari
keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-
hal yang diwajibkan Allah ta’ ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya”.
“Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu“ (‫)َو ُقوُدَها الَّناُس َو اْلِحَج اَر ُة‬
Kata ( ( ‫َو ُقوُد‬berarti bahan bakar berupa tubuh manusia yang dilemparkan ke
dalam Neraka dan ( ‫ (َو اْلِحَج اَر ُة‬batu,” ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan kata itu adalah bahan bakar neraka berupa patung-patung berhala-berhala
yang dijadikan sesembahan. Hal ini didasarkan pada firman-Nya Q.S, Al-
Anbiyaa’: 98 yang artinya” Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah
selain Allah adalah umpan Jahannam”.
Dan Firman Allah selanjutnya, ‫“ ))َع َلْيَها َم َلَك ٌة ِغ اَل ٌظ ِش َداٌد‬Penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar dan keras”. Maksudnya, karakter mereka sangat kasar, dari
hatinya telah dihilangkan rasa kasihan terhadap orang-orang kafir kepada Allah. (
‫“ )ِش َداٌد‬Yang keras,” maksudnya, susunan tubuh mereka sangat keras, tebal, dan
penampilannya menakutkan.

Firman-Nya lebih lanjut ( ‫“)اَل َيْع ُصوَن َهللا َم ا َأَم َر ُهْم َو َيْفَع ُلوَن َم ا ُيْؤ َم ُروَن‬Yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. Maksudnya, apa pun yang
diperintahkan oleh Allah kepada mereka, mereka segera melaksanakannya, tidak
menangguhkan meski hanya sekejap mata, dan mereka mampu mengerjakannya,
tidak ada kelemahan apapun pada diri mereka untuk melaksanakan perintah
tersebut. Mereka itulah malaikat Zabaniyah.

2. QS. Al Baqarah ayat 195


a. Lafadz dan Terjemahan Ayat

‫َو َاْنِفُقْو ا في َس ِبْيِل ِهّٰللا َو اَل ُتْلُقْو ا ِبَاْيِد ْيُك ْم ِاَلى الَّتْهُلَك ِۛة َو َاْح ِس ُنْو ۛا ِاَّن َهّٰللا ُيِح ُّب اْلُم ْح ِس ِنْيَن‬
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh,
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

b. Tafsir Perkata

Kamu Dan
Sesungguhnya ‫ِإَّن‬ ‫ُتْلُقو۟ا‬ ‫َو َأنِفُقو۟ا‬
menjatuhkan belanjakanlah
Dengan
Allah ‫ٱَهَّلل‬ tangan/dirimu
‫ِبَأْيِد يُك ْم‬ Di/pada ‫ِفى‬

Mencintai ‫ُيِح ُّب‬ Kepada/kedalam ‫ِإَلى‬ Jalan ‫َس ِبيِل‬


Orang-orang
yang berbuat ‫ٱْلُم ْح ِسِنيَن‬ Kebinasaan ‫ٱلَّتْهُلَك ِۛة‬ Allah ‫ٱِهَّلل‬
baik
Dan berbuat ‫َأ ُن ۛ۟ا‬ Dan
‫َو اَل‬
baiklah ‫َو ْح ِس ٓو‬ janganlah

c. Asbabun Nuzul
Al-Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah r.a., dia berkata, “Ayat ini turun
pada masalah sedekah.” Abu Dawud, at-Tirmidzi (dia mengshahihkanya), Ibnu
Hibban, al-Hakim, dan lainnya meriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari r.a., dia
berkata, “Ayat ini turun kepada kami, orang-orang Anshar, ketika Allah membuat
kami berjaya dan para penolongnya berjumlah banyak. Ketika itu, secara diam-
diam sebagian dari kami ada yang berkata kepada sebagian yang lainnya,
‘Sesungguhnya, sudah banyak harta kita yang hilang. Kini, Allah telah membuat
Islam berjaya. Bagaimana jika kita merawat harta agar kita dapat mengembalikan
jumlah yang telah hilang itu?”
Allah pun menurunkan ayat yang membantah apa yang kami katakan
sebelumnya, yaitu firman-Nya (pada surah al-Baqarah ayat 195), ‘Infakkanlah
(hartamu) di jalan Allah dan janganlah engkau menjatuhkan (diri sendiri) dalam
kebinasaan dengan tangan sendiri....’ Jadi, yang dimaksud dengan kebinasaan
adalah menjaga dan merawat harta dengan meninggalkan perang melawan musuh
Islam.”
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Abu Jabirah
bin adh-Dhahhak, dia berkata, “Dahulu, orang-orang Anshar menginfakkan harta
mereka dengan jumlah yang banyak. Kemudian, pada suatu ketika, paceklik
menimpa mereka sehingga mereka pun tidak berinfak lagi. Oleh karena itu, Allah
menurunkan firman-Nya (pada surah al-Baqarah ayat 195), ‘Janganlah engkau
menjatuhkan (diri sendiri) dalam kebinasaan....’
Ath-Thabrani juga meriwayatkan dengan sanad shahih, dari An-Nu’man
bin Basyir r.a., dia berkata, “Dahulu, ada orang yang melakukan sebuah perbuatan
dosa. Kemudian, karena dia putus asa, dia berkata, ‘Allah tidak akan
mengampuniku.’ Oleh karena itu, Allah menurunkan firman-Nya (pada surah Al-
Baqarah ayat 195), ‘... Janganlah engkau menjatuhkan (diri sendiri) dalam
kebinasaan dengan tangan sendiri...’ Riwayat ini mempunyai penguat dari hadits
yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari al-Barra r.a
d. Menurut Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an
Sebagaimana jihad itu membutuhkan manusia (pelaku) maka ia juga
memerlukan harta. Seorang mujahid muslim hendaklah membekali dirinya dengan
segala persiapan perang, kendaraan perang dan bekal perang. Tidak ada tingkatan-
tingkatan mana yang harus disiapkan komandan dan mana yang disiapkan prajurit.
Semuanya dilakukan dengan sukarela, baik jiwa maupun harta. Demikianlah yang
diciptakan akidah yang menjadi acuan semua aturan. Pada waktu itu ia tidak perlu
infak untuk melindungi dirinya dari ahlinya atau dari musuh-musuhnya. Tetapi,
prajurit ataupun komandan harus maju dengan sukarela dengan menginfakkan apa
saja yang diperlukan.
Banyak kaum fakir dari kalangan muslimin yang menginginkan berjihad
dan melindungi manhaj Allah dan panji-panji akidah. Namun, mereka tidak men-
dapatkan sesuatu untuk membekali diri mereka, tidak mendapatkan perlengkapan
untuk perang, dan tidak mempunyai kendaraan untuk berperang. Mereka datang
kepada Nabi saw. Dan memohon kepada beliau agar diajak serta ke medan perang
yang jauh tempatnya dan tidak dapat mereka tempuh dengan jalan kaki. Maka,
ketika Nabi saw., tidak juga mendapatkan sesuatu untuk membawanya ke medan
perang, “Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena
kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.
“(At-Taubah:92)
Oleh karena itu, banyaklah pengarahan Al-Qur’an dan Nabi untuk berinfak
di jalan Allah, infak untuk membekali pasukan perang. Seruan kepada jihad selalu
disertai seruan kepada infak dalam banyak tempat di sini, keengganan untuk
berinfak dianggap sebagai membinasakan diri sendiri yang notabene orang
muslim dilarang melakukannya,
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah:
195)
Tidak mau berinfak di jalan Allah berarti membinasakan diri sendiri dengan
kebakhilan dan membinasakan umat karena dapat melemahkan umat.
Khususnya, berkenaan dengan peraturan yang di dasarkan pada
kesukarelaan, sebagaimana yang dilakukan Islam dari tingkatan jihad dan infak
ini, kemudian mereka dinaikkan lagi ke tingkatan ihsan, ‫َو َاْح ِس ُنْو ۛا ِاَّن َهّٰللا ُيِح ُّب‬

‫اْلُم ْح ِسِنْيَن‬ “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik (ihsan).” (Al- Baqarah: 195)

Tingkatan “Ihsan “merupakan tingkatan yang tertinggi di dalam Islam.


Dan, “Ihsan“ itu ialah sebagai mana yang disabdakan Rasulullah saw., Ketika jiwa
telah mencapai tingkat ini maka ia akan melaksanakan segala kekuatan dan
menjauhi segala kemaksiatan. Dan dia selalu merasa diawasi oleh Allah dalam
urusan yang kecil maupun besar, dalam bersembunyi maupun terang-terangan.
Inilah kalimat terakhir dalam mengakhiri ayat-ayat perang dan infak, yaitu
diserahkannya jiwa manusia dalam urusan jihad ini kepada ihsan, martabat iman
yang tertinggi.
3. QS. Yusuf ayat 64
a. Lafadz dan Terjemahan Ayat

‫َقاَل َهْل ٰا َم ُنُك ْم َع َلْيِه ِااَّل َك َم ٓا َاِم ْنُتُك ْم َع ٰٓلى َاِخ ْيِه ِم ْن َقْبُۗل َفاُهّٰلل َخْيٌر ٰح ِفًظا َّو ُهَو َاْر َحُم الّٰر ِحِم ْيَن‬

Dia (Yakub) berkata, “Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin)


kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada
kamu dahulu?” Maka Allah adalah penjaga yang terbaik dan Dia Maha Penyayang
di antara para penyayang.

b. Tafsir Perkata

Aku
Sebaik-
‫َخْيٌر‬ mempercayai ‫َاِم ْنُتُك ْم‬ (Yaqub) berkata ‫َقاَل‬
baik
kamu

Penjaga ‫ٰح ِفًظا‬ Atas ‫َع ٰٓلى‬ Apakah ‫َهْل‬

Aku mempercayai
Dan ‫َّو‬ Saudaranya ‫َاِخ ْيِه‬ ‫ٰا َم ُنُك ْم‬
kamu

Dia ‫ُهَو‬ Dari ‫ِم ْن‬ Atasnya ‫َع َلْيِه‬

Maha
‫َاْر َح ُم‬ Sebelum/dahulu ‫َقْبُۗل‬ Kecuali ‫ِااَّل‬
Penyayang
Para Sebagaimana/
‫الّٰر ِحِم ْيَن‬ Maka Allah ‫َفاُهّٰلل‬ ‫َك َم ٓا‬
penyayang seperti
c. Menurut Tafsir Al-Wajiz

Ya’kub berkata kepada anak- anaknya: “Bagaimana bisa aku


mempercayakan Benyamin kepada kalian, kecuali seperti aku mempercayakan
saudaranya, Yusuf kepada kalian sebelumnya tatkala kalian pergi ke padang pasir
dan tidak kembali bersamanya?” Ini adalah kekhawatiran Ya’kub terhadap tipuan
mereka untuk kedua kalinya. Dan Allah itu sebaik-baik penjaga baginya. Aku
berpegang teguh dan berserah diri kepada-Nya. Allah SWT adalah Zat paling
pengasih terhadapku. Dia mengasihi masa tuaku dan keterikatanku terhadap
anakku. Aku berharap agar Dia mengembalikan anakku, sehingga semuanya
berkumpul sempurna.

d. Menurut Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir


‫َقاَل َهْل َء اَم ُنُك ْم َع َلْيِه ِإاَّل َك َم ا ُأِم نُتُك ْم َع َلى‬Berkata Yaqub) ‫" َأِخ يِه ِم ن َقْبُل‬Bagaimana aku
akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah
mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?”) Nabi Ya’kub
khawatir mereka akan mengkhianatinya seperti ketika mereka berkhianat dalam
menjaga nabi Yusuf. Maka ) ‫ َفاُهلل َخْيٌر َح ِفَظا َو ُهَو َأْر َح ُم الَّر ِحِم يَن‬Allah adalah sebaik-baik
Penjaga dan Dia adalah Maha Penyanyang diantara para penyanyang) Maka nabi
Ya’kub bertawakkal kepada Allah agar Dia menjauhkan marabahaya darinya dan
dari keluargannya.

4. Tafsir Tematik tentang Fungsi Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang Berkaitan dengan
Pencegahan
Tujuan atau fungsi Bimbingan Penyuluhan Islam dibagi menjadi dua, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
a. Tujuan umum membantu penyuluh agar ia memiliki pengetahuan tentang posisi
dirinya dan memiliki keberanian mengambil keputusan untuk melakukan suatu
perbuatan yang dianggap baik, benar, dan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia
dan di akhirat.
b. Tujuan khusus Bimbingan Penyuluhan Islam adalah untuk membantu penyuluh agar
tidak menghadapi masalah, atau menyelesaikan masalah yang saat ini dihadapi,
memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang baik atau yang telah baik
agar tetap baik sehingga tidak akan menjadi sumber masalah baginya dan orang lain.
Setelah mempelajari tentang tujuan bimbingan penyuluhan Islam, maka berikut ini
merupakan fungsi bimbingan penyuluhan Islam sebagai berikut:
a. Fungsi prefentif: Yakni membantu individu menjaga atau mencegah masalah bagi
dirinya.
b. Fungsi Kuratif dan koreaktif yakni membantu individu memecahkan masalah yang
sedang dihadapi atau dialaminya.
c. Fungsi preservative yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang
semula tidak baik (mengandung masalah) , menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan
itu bertahan lama.
d. Fungsi development atau pengembangan, yakni membantu individu memelihara dan
mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi
lebih baik sehingga tidak memungkinkan menjadi sebab munculnya masalah baginya.

Ada pula yang menyatakan fungsi bimbingan penyuluhan islam sebagai


berikut:

a) Fungsi informatif dan edukatif.


Dalam hal ini penyuluh agama memposisikan sebagai da’i yang berkewajiban
mendakwahkan Islam, menyampaikan penerangan agama dan mendidik masyarakat
dengan sebaik-baiknya sesuai ajaran agama.
b) Fungsi konsultatif.
Penyuluh agama menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik secara pribadi, keluarga, maupun
sebagai anggota masyarakat umum.
c) Fungsi Advokatif.
Penyuluh agama islam memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan
kegiatan pembelaan terhadap umat atau masyarakat dari berbagai ancaman, gangguan,
hambatan, tantangan yang merugikan akidah, mengganggu ibadah, dan merusak
akhlak.
BAB III
PENUTUP

Dalam Al Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang pentingnya


melakukan kebaikan kepada sesama, saling memberitahu, saling peduli, saling
menasehati dan saling tolong menolong. Sesama umat muslim alangkah baiknya kita
mencegah kemungkaran, baik mencegah diri sendiri ataupun orang lain. Sebagai
mana disebutkan hadist yang artinya Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, ia
berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, 'Barangsiapa dari kalian melihat
kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya.
Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya
iman."[HR. Muslim, no. 49].

Sebagai seorang Penyuluh hal tersebut akan menjadi makanan sehari-hari,


dimana kita harus membantu klien menjaga agar situasi dan kondisi yang semula
tidak baik (mengandung masalah) , menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu
bertahan lama dan mencegah timbulnya masalah-masalah yang baru di dalam diri
klien atau masyarakat tersebut. Pentingnya menanamkan sikap peduli kesesama.
Sebaik-baiknya perlindungan hanya kepada Allah karena Allah lah yang mengatur
alam semesta ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al Farisi, M. Zaka dan H.A.A. Dahlan (2009) Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Edisi Kedua, Bandung: CV. Penerbit Dipenegoro,
2009.
Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir Ibni
Katsir (Terjamah), Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008.
As-Suyuti, Jalaluddin (2022) Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Depok:
Gema Insani
Nasrudin, Juhana (2017) Kaidah Ilmu Tafsir Al-Qur’an Praktis, Yogyakarta: Deepublish.
Syafitri, Aisyah (2017) Peranan Bimbingan Penyuluhan Islam, Kesehatan Mental Anak
Yatim, Tanggerang: UIN Syarif Hidayatullah, diakses
Pada:http://studylibid.com/doc/561316/bab-ii-peranan-bimbingan-dan-
penyuluhan-Islam.

Anda mungkin juga menyukai