Anda di halaman 1dari 26

Program Intervensi Dan Olweus dalam Mengatasi Fenomena Bullying:

Analisis Kritis

Indriani Amaliah1

Email : indrianiamaliah02@gmail.com
Pendahuluan
Fenomena bullying telah terjadi di berbagai lapisan masyarakat2. Pada tahun
2018, Programme for International Students Assesment (PISA) menempatkan
Indonesia sebagai peringkat ke-5 dari 78 negara dengan angka kasus bullying
tertinggi 3 . Penelitian ini berdasarkan riset yang menunjukkan sebanyak 41,1 %
murid sekolah mengaku pernah mengalami bullying. Disamping itu, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 4.124 aduan kasus
perlindungan anak sepanjang periode Januari-November 20224. Sehingga bullying
sendiri telah menjadi keresahan masyarakat khusunya di Indonesia. Jauh sebelum
itu, pada tahun 1983 media massa mengabarkan tiga remaja di Nowergia bunuh diri
setelah diduga mengalami bullying oleh temannya sendiri. Kejadian tersebut
mendorong kementrian pendidikan Nowergia untuk membuat kampanye nasional
untuk melawan tindak bullying, melalui pengembangan program intervensi Dan

1
Peserta Program Kaderisasi Ulama’ XVII
2
Pada 2 maret 2023, dilaporkan bahwa murid SD di Banyuwangi bunuh diri karena sering
dibully karena statusnya sebagai anak yatim
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230302144237-20-919906/siswa-sd-banyuwangi-
bunuh-diri-diduga-sering-diolok-karena-anak-yatim). Selanjutnya, siswa SMA di Banjarmasin
Tikam teman sekelas karena kerap dibully. (https://news.detik.com/berita/d-6856650/5-fakta-
siswa-sma-di-banjarmasin-tikam-teman-karena-kerap-di-bully). Dalam lingkup dunia pekerjaan,
seorang dokter junior memberikan kesaksian terkait tindak bullying yang selama ini dilakukan
seniornya. (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6697610/curhat-ke-menkes-dokter-
tak-tahan-dibully-hingga-resign-jadi-residen). Diluar Indonesia, kasus bunuh diri yang dialami oleh
artis korea, penyebabnya dari cyberbullying yang mereka alami.
(https://www.harianterbit.com/selebritas/2744298045/4-artis-korea-meninggal-bunuh-diri-
akibat-komentar-jahat-netizen). Dari beberapa kejadian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
bullying pada nyatanya tidak hanya terjadi pada lingkungan Pendidikan saja namun juga terjadi
pada seluruh lapisan asyarakat
3
Lihat: https://www.unicef.org/indonesia/media/5606/file/Bullying
4
Lihat: Web DataIndonesia.id (https://dataindonesia.id/varia/detail/kpai-catat-4124-
kasus-perlindungan-anak-hingga-november-2022)
Olweus5. Olweus membuat program intervensi yang saat ini dikenal dengan Olweus
Porevention Program (OBPP). Tujuan utama dari program ini adalah untuk
mengurangi masalah bullying yang ada di kalangan siswa sekolah, mencegah
berkembangnya masalah intimidasi baru, dan mengingatkan hubungan teman
sebaya di sekolah6. OBPP sendiri telah dijalankan oleh kementerian pendidikan
Nowergia dan Amerika Serikat. Tindakan yang dijalankan oleh program ini
melibatkan tiga tingkatan 7 . Pertama, tindakan tingkat sekolah. Kedua, tindakan
tingkat kelas. Ketiga, tindakan tingkat individu. Berdasarkan hal tersebut, program
ini dinilai komperhernsif karena dapat melibatkan seluruh aspek dalam lingkungan
sekolah sebagai upaya dalam pencegahan terjadinya bullying8.
Akan tetapi, program intervensi Olweus tidak luput dari berbagai kritikan.
Kritikan-kritikan tersebut timbul karena program ini dinilai belum dapat mencegah
dan menyelesaikan bullying secara tuntas. Peran program ini dikatakan sebatas
melabeli siswa sebagai pelaku atau korban saja. Selanjutnya, langkah dalam
penyelesaian bullying dilakukan melalui pemantauan secara umum dan kepatuhan
siswa pada peraturan anti bullying, sehingga permasalahan hanya difokuskan
dengan menonjolkan insiden bullying9. Artinya, program ini tidak menyelesaikan
akar masalah penyebab terjadinya bullying, yang salah satunya adalah masalah
individualitas (pemaknaan diri). Olweus menjadikan ketidakseimbangan kekuatan

5
Dan Olweus seorang professor riset psikologi yang berafiliasi dengan Researcher Center
for Health Promotion (HEMIL) University of Bergen’s di Nowergia. Ia menerima penghargaan APA
pada 2011 untuk kotribusinya bagi kemajuan psikologi internasional. Olweus adalah pelopor
penelitian tentang masalah bullying dan ahli terkemuka dalam bidang ini. Penelitiannya terkait
bullying tidak hanya merujuk kepada siswa, namun juga kepada guru yang melakukan bullying
kepada muridnya. Banyak karya yang telah diterbitkannya. Buku pertamanya terbit Pada tahun
1973, di Skandivania dengan judul, Aggression in the Schools: Bullies and Whipping Boys.
Selanjutnya buku yang berujudul Bullying at School: What We Know and What We Can Do telah
diterjemahkan ke dalam lima belas Bahasa. Olweus juga pernah menjadi peneliti di Center for
Advanced Study in the Behavioral Sciences (CASES) di Stanford, California. (Lihat: https://www.ae-
info.org/ae/Member/Olweus_Dan/CV)
6
Susan P. Limber, “Development, Evaluation, and Future Directions of the Olweus
Bullying Prevention Program,” Journal of School Violence 10, no. 1 (January 20, 2011): 71
7
Dan Olweus, Bullying at School: What We Know and What We Can Do (Oxford:
Blackwell Publisher, 1993), 81.
8
Olweus, 63.
9
Ezra Temko, “Missing Structure: A Critical Content Analysis of the Olweus Bullying
Prevention Program,” Children & Society 33, no. 1 (January 2019): 2,
https://doi.org/10.1111/chso.12280.
(strength) sebagai kriteria utama dalam terjadinya perilaku bullying10. Dalam hal
ini, pelaku melakukan penyalahgunaan kekuatan dan kekuasaan (strength) yang
dimiliki untuk melakukan bullying, sehingga strength itu menjadi akar masalah
yang perlu diatasi. kajian ini bertujuan untuk menganalisa program intervensi yang
telah dirumuskan Dan Olweus dengan cara kritis dalam prepsektif Islam dengan
menggunakan pendekatan sufistik atau tazkiyah al-nafs.
Program Intervensi Dan Olweus dalam Mengatasi Bullying
Pada akhir tahun 1982, surat kabar melaporkan tiga anak laki-laki berusia 10
hingga 14 tahun di Nowergia melakukan bunuh diri, hal tersebut kemungkinan
besar dipicu oleh bullying yang dilakukan oleh teman sebayanya 11. Peristiwa ini
kemudian menimbulkan keresahan dan ketegangan yang dirasakan oleh masyarakat.
Hal ini mendorong kementerian pendidikan Nowergia untuk membuat kampanye
nasional sebagai bentuk penolakan terhadap tindak bullying, melalui
pengembangan program intervensi Dan Olweus. Mulanya, program ini
dipresentasikan kepada guru di beberapa sekolah Swedia. Para guru diperkenankan
untuk mengungkapkan pandangan mereka terkait program intervensi yang
diusulkan dalam mengatasi bullying (melalui kuisioner), kemudian melaporkan
apakah mereka bermaksud menjalankan program intervensi ini di sekolah mereka.
Hasil yang didapatkan sebanyak 85 % guru yang mengikuti sosialisasi tersebut,
memberikan nilai “baik” dan “sangat baik” kepada usulan program intervensi
tersebut. sebanyak dua per tiga guru berencana untuk menerapkan setidaknya
beberapa lagkah dalam program intersvensi di kelas mereka, lebih lanjut, 25 % guru
bersedia untuk menjalankan utuh program tersebut12. Program intervensi Olweus
sendiri dilaksanakan pada sekolah-sekolah berdasarkan pada urgensi yang ada pada
pelaku bullying. pelaku bullying di masa depan memiliki kecenderungan memiliki
keterlibatan dalam perilaku negatif yang lebih serius. Seperti penyalahgunaan
narkoba, minuman keras, tindak kekerasan, dan lain sebagainya. Hal tersebut
diprediksi melalui pola perilaku antisosial dan pelanggaran aturan yang ada pada

10
Naomi C. Z. Andrews et al., “Bullying and the Abuse of Power,” International Journal of
Bullying Prevention, April 19, 2023, 13, https://doi.org/10.1007/s42380-023-00170-0.
11
Olweus, Bullying at School: What We Know and What We Can Do, 2.
12
Olweus, 63.
pelaku bullying sehingga perlu adanya penanganan dan pencegahan sejak awal.
Dalam pelaksanaan program ini melibatkan tiga komponen tingkatan dalam
tindakan13:
A. Tindakan Tingkat Sekolah (School Level)
Dalam tindakan tingkat sekolah program intervensi Olweus melibatkan
seluruh kalangan dalam lingkungan sekolah, untuk dapat menciptakan lingkungan
yang menutup akses untuk terjadinya bullying. Terdapat beberapa langkah yang
dilakukan dalam tindakan level sekolah.
a. Mengadakan sosialisasi pada sekolah. Sosialisasi ini bertujuan untuk
memberikan rencana jangka panjang untuk memilih langkah apa saja
yang dipilih untuk menjalankan program intervensi dengan
menyesuaikan keadaan sekolah. Sebelum sosialisasi dilakukan, lembar
kuisioner diberikan kepada seluruh murid sekolah untuk mengetahui
sejauh mana pengetahuan mereka terkait bullying, juga bagaimana
respon mereka terkait bullying itu sendiri. Hal yang disampaikan dalam
sosialisasi sekolah tergantung pada bagaimana hasil dari kuisioner yang
telah diisi oleh murid di sekolah. Jadi, sosialisasi sekolah ditujukan
untuk mengetahui bagaimana program intervensi akan dijalankan pada
sekolah tersebut.

b. Pengawasan pada luar ruangan kelas. Pengawasan juga penting pada


tempat yang menjadi titik rawan terjadinya tindak bullying, tidak hanya
pada dalam ruangan kelas namun juga luar ruangan kelas seperti kantin,
toilet, dan juga tempat-tempat rawan bullying lainnya. Disamping itu,
waktu yang rawan terjadinya bullying adalah diluar jam pembelajaran
berlangsung. Jumlah kasus bullying justru sedikit saat terdapat
“kepadatan guru” pada jam istirahat. Hal ini menutup akses untuk siswa
melakukan bullying, sehingga dapat diketahui bahwa para staff dan guru

13
Olweus, 69–107.
di sekolah memiliki andil yang besar dalam pencegahan terjadinya
bullying.

c. Menyediakan kontak darurat. Dalam beberapa keadaan, korban yang


mengalami bullying memiliki kecemasan yang membuatnya tidak
memiliki keberanian dalam melaporkan kejadian bullying yang ia alami.
Maka, tujuan dari penyediaan kontak darurat ini untuk menghubungkan
korban kepada konselor, psikolog dalam sekolah, dan juga guru yang
memiliki andil dalam program pencegahan bullying tersebut. Tugas
utama dari penyediaan kontak darurat ini adalah memberikan dukungan
untuk korban, agar korban tidak merasa sendiri saat menghadapi tindak
bullying yang menimpanya. Tidak hanya sampai pada memberikan
dukungan, orang yang bertugas sebagai narahubung dalam kontak
darurat tersebut perlu menindak lanjuti kasus bullying yang telah
dialporkan.

d. Mengadakan rapat umum antara orang tua dan guru. Kerja sama yang
kuat antara pihak yang berwenang dalam lingkungan sekolah dan
lingkungan rumah memberikan efisiensi dalam pelaksaan program
intervensi untuk pencegahan terjadinya bullying. Maka, ketika pihak
sekolah memutuskan untuk meningkatkan upaya dalam pencegahan
terjadinya bullying, hal tersebut juga perlu diketahui oleh orangtua agar
dapat ikut berparsitipasi. Kerja sama tersebut dilakukan agar kedua sisi
baik dari lingkungan sekolah, maupun lingkungan rumah dapat
bersama-sama meningkatkan perhatian pada kasus bullying yang kerap
terjadi.

e. Pembentukan kelompok pengembangan sosial dari guru. Kelompok


pengembangan sosial terdiri dari 5-10 guru. Mereka secara rutin
bertemu untuk satu hingga dua pekan sekali untuk berdiskusi, bertukar
informasi terkait berbagai permasalahan yang ada dalam runag lingkup.
Pada awal ini, pembahasan yang difokuskan adalah masalah bullying
yang kerap terjadi. Hal yang dapat didiskusikan adalah permasalahan
bullying secara umum, melalui diskusi berdasarkan buku dan sumber-
sumber lain. Selain itu, diskusi yang juga diperlukan adalah
permasalahan yang dialami korban yang telah mengalami bullying
berdasarkan angket dan hasil observasi. Hal yang juga menjadi hal
penting dalam pembahasan dalam kelompok ini adalah langkah yang
akan dilakukan dalam upaya pencegahan terjadinya bullying di
kedepannya.
B. Tindakan Tingkat Kelas (Class Level)
Tindakan dalam program intervensi Dan Olweus selanjutnya adalah Tingkat
kelas. Tujuan utama dalam tindakan tingkatan kelas agar siswa dapat secara
langsung turut andil dalam pencegahan terjadinya bullying. Tindakan dalam
tingkatan ini berupa penerapan aturan-aturan kepada para siswa bahwa tidak ada
toleransi atas tindak bullying dalam bentuk apapun. Terdapat tiga point utama
dalam isi aturan-aturan tersebut: (1) Whe shall not bully other students, (2) Whe
shall try to helps other students who are bullied, (3) We shall make a point to
include students who become easly left out14 Artinya, para siswa harus benar-benar
menolak tindak bullying, membantu korban yang mengalami bullying, dan harus
merangkul teman yang tertinggal, yang memberikan peluang mereka untuk di bully.
Aturan-aturan tersebut dibuat untuk dapat mencegah terjadinya bullying yang
dilakukan baik secara langsung maupun tidak. Dalam menjalankan aturan yang
ditetapkan dalam tindakan tingkat kelas, terdaapt tiga kompenen yang dapat
diberikan.

a. Memberikan penjelasan yang jelas terkait aturan yang akan dijalankan. Hal
tersebut perlu dilakukan agar siswa dapat menjalankan aturann tersebut
dengan baik dan benar. Mengadakan diskusi bersama para siswa terkait

14
Olweus, 82.
aturan-aturan tersebut agar mereka dapat paham dan memiliki rasa tanggung
jawab untuk dapat mematuhi aturan tersebut.

b. Memberikan pujian kepada siswa yang dapat menjalankan aturan tersebut


dengan baik. Pujian dan perilaku ramah guru akan sangat mepengaruhi
perkembangan perilaku siswa. Siswa akan mudah dalam menerima kritikan
atas perilaku yang tidak baik, sehingga mencoba perlahan berubah, hal
tersebut dilakukan ketika mereka merasa dihargai dan diterima dengan baik,
salah satunya dalah dengan menggunakan pujian tersebut.

c. Memberikan sanksi kepada siswa yang tidak menjalankan aturan tersebut.


Salah satu sasaran dalam adanya sanksi tersebut adalah siswa yang memiliki
sifat agresif agar mereka dapat merubah perilakunya. Memberikan sanksi
ini penting agar siswa merasakan konsekuensi dari perilaku negative yang
telah dilakukan. Disamping itu, dengan memberikan sanksi tersebut, siswa
yang memiliki sifat agresif tersebut dapat belajar agar tunduk pada sistem
aturan.

d. Bermain peran. Dalam langkah tersebut, guru memberikan kesempatan


kepada para murid dalam kelas untuk bermain peran. Peran yang diberikan
kepada murid adalah sebagai pelaku bullying, korban bullying, dan
pengamat. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada para
murid ketika suatu saat dihadapi dengan keadaan-keadaan tersebut dan hal
apa sekiranya yang dapat mereka lakukan.
C. Tindakan Tingkat Individu (Individual Level)
Tindakan yang menjadi komponen terakhir dalam program intervensi
Olweus adalah tindakan tingkat individu. langkah pertama yang dilakukan dalam
tindakan tingkat individu adalah berbicara dengan pelaku bullying. Tujuan utama
dari tindakan ini adalah agar pelaku berhenti melakukan tindakannya. Pesan yang
harus sampai dan dipahami oleh pelaku adalah “sekolah tidak menerima tindak
bullying”. selain berbicara dengan pelaku, berbicara dengan korban juga perlu
dilakukan. Pada dasarnya, tidak jarang korban bullying merasa cemas dan takut
ketika ingin melaporkan bullying yang telah dia alami, seringkali hal ini juga dapak
dari ancaman yang diterimanya dari pelaku bullying. Sehingga banyak dari korban
memilih untuk bungkam dan menghadapi sendiri perlakuan bullying yang
diterimanya. Maka tujuan utama dari perbincangan dengan kroban bullying adalah
membentuk kepercayaan korban dan memberikan perlindungan dan bantuan
apapun yang diperlukan.
Langkah selanjutnya, melakukan pembicaraan dengan orangtua korban dan
orangtua pelaku bullying, tujuan utama dari langkah tersebut tentunya untuk
menjalin kerja sama dengan orangtua dalam mengatasi bullying dalam interaksi
sosial anak. Kepada orantua pelaku bullying, hal yang perlu disampaikan adalah
ketika orangtua melihat indikasi perilaku bullying pada anak, maka perlu adanya
tindakan dalam mengatasi hal tersebut. salah satunya adalah dengan mengarahkan
anak untuk melakukan hal positif sebagai upaya mengatasi sikap agresif yang
mendorongnya melakukan tindak bullying. Contohnya, dengan mendorongnya
aktif dalam kegiatan fisik seperti olahraga, sehingga hal tersebut sebagai penyalur
sifat agresif tersebut dengan tidak menuju kepada hal negatif. Kepada orantua
korban bullying, hal yang perlu disampaikan adalah ketika orangtua mengetahui
bahwa anak mereka telah menjadi korban, penting adanya dukungan dan semangat
kepada anak. Disamping itu, penjagaan yang lebih ketat menjadi hal penting untuk
memberikan perlindungan kepada anak yang telah menjadi korban bullying.
Langkah terakhir dalam tindakan tingkat individu adalah pemindahan
sekolah, baik kepada pelaku maupun korban bullying. Ketika serangkaian langkah
dalam tindakan di berbagai tingkatan telah dijalankan, namun tidak berpengaruh
kepada korban dan juga pelaku, maka pergantia sekolah dapat menjadi solusi yang
ditawarkan dalam program intervensi Olweus. Berbagai langkah dalam program
intervensi tersebut dinilai telah komperhensif karna telah menyentuh segala aspek
dalam upaya pencegahan terjadinya bullying. Namun diluar hal tersebut, terdapat
beberapa evaluasi dan juga kritik yang ditujukan pada program intervensi Olwues.
Kritik atas Program Intervensi Olweus dalam Mengatasi Bullying
Sejauh ini, program intervensi Dan Olweus dikenal dengan istilah Olweus
Prevention Program (OBPP). Program intervensi ini telah dinilai komperhensif
karena melibatkan seluruh aspek sebagai upaya dalam pencegahan kasus bullying
khususnya pada tingkat sekolah. Namun, di luar hal tersebut program intervensi ini
tidak lepas dari berbagai kritikan. Program intervensi Olweus dinilai tidak
menyelesaikan masalah individualitas yang menjadi jawaban atas mengapa
bullying sendiri bisa terjadi15. Salah persatunya adalah sikap agresi yang ada pada
pelaku bullying. disamping itu, aturan yang ditetapkan dalam program intervensi
Olweus dinilai tidak memberikan kesadaran pada siswa tentang urgensi dalam
penolakan adanya tindak bullying. Sehingga hasil yang didapatkan hanya
kepatuhan siswa pada aturan yang diberikan, bukan pada tahap kesadaran.
Di sisi lain, bullying dalam segi statifikasi sosial tidak menjadi perhatian
dalam penyelesaian yang ditawarkan dalam program intevensi Olwues 16. Padahal
adanya statifikasi sosial menjadi peran penting dalam terjadinya bullying. Terakhir,
dalam evaluasi yang dilakukan dalam mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan
program intervensi Olwues17, menyatakan bahwa kebebasan yang diberikan oleh
orangtua kepada anak memberikan dampak dari tidak maksimalnya program
intervensi Olweus dijalankan, sehingga polah asuh yang tepat berperan penting
dalam pencegahan timbulnya perilaku bullying pada anak. Dari beberapa hal yang
menjadi kritik yang ditujukan kepada program intervensi Olweus, kajian ini
terfokus pada masalah individualitas yang tidak teratasi dalam program tersebut,
dalam kajian ini analisis kritis disandarkan pada prespektf Islam dengan
menggunakan pendekatan sufistik yaitu tazkiyatun nafs.

15
Temko, “Missing Structure,” 2.
16
Temko, 3.
17
Limber, “Development, Evaluation, and Future Directions of the Olweus Bullying
Prevention Program,” 62.
Menjawab Problem strength dalam Fenomena bullying Dengan Prespektif
Islam
Dan Olweus, memberikan tiga kriteria dalam terjadinya bullying18. pertama,
pengulangan. Tindakan pengulangan menjadi aspek yang penting dalam bullying.
Pengulangan dalam melakukan bullying menumbulkan tingkat berbahaya yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejadian yang tidak serupa. Istilah ini
digunakan oleh Olweus untuk mengantarkan dampak buruk yang nantinya
disebabkan oleh bullying. Kedua, tindakan yang disengaja. Dalam hal ini Olweus
menggunakan istilah intensionalitas yang dimaksudkan sebagai tindakan yang
mengandung dorongan, motivasi, dan kesadaran dalam memilih hal yang akan
dilakukan. Intensionalitas disini menjadi aspek penting karena menggambarkan
tindakan bullying dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki tujuan. Tujuan
yang paling menonjol dalam bullying sendiri adalah keinginan untuk mendominasi
dan kekuasaan. Ketiga, Ketidakseimbangan kekuatan. hal ini menjadi kriteria
utama dari Olweus, Definisi ini menjadi aspek utama sebagai pembeda dari
tindakan agresi lainnya. Olweus menggunakan istilah strength sebagai penjelasan
dari kekuatan, baik dari segi fisik, ketajaman mental, jumlah kelompok, pengaruh,
maupun popularitas19.
Bullying dalam kalangan laki-laki lebih mengarah kepada kekuatan dari segi
fisik lebih berperan penting. Sedangkan bullying yang dilakukan pada Perempuan,
lebih cenderung kepada kekuatan dalam segi popularitas, pelaku yang memailiki
kekuatan yang lebih dalam segi popularitas akan menargetkan korbannya kepada
orang yang lebih lemah dibandingkan dengannya 20. Bagi Olwues, pelaku cenderung
memiliki strength yang lebih kuat dibandingkan dengan korban, sehingga korban
kesulitan untuk bisa membela diri. Jika strength setara antara pelaku dengan korban,
sehingga disebut sebagai tindakan agresi umum seperti perkelahian bukan
bullying21. Maka dalam hal ini, pelaku melakukan penyalahgunaan kekuatan dan

18
Naomi C. Z. Andrews et al., “Bullying and the Abuse of Power,” International Journal of
Bullying Prevention, April 19, 2023, 13,
19
Olweus, Bullying at School: What We Know and What We Can Do.
20
Olweus, 18.
21
Andrews et al., “Bullying and the Abuse of Power.”
kekuasaan (strength) yang dimiliki dengan melakukan bullying, sehingga menjadi
sebuah problem yang perlu diatasi.
Dari pemaparan beberapa kriteria dalam bullying yang telah disampaikan
Olweus, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan kekuatan dan kekuasaan yang
menjadi kriteria utama, merupakan akar dari terjadinya bullying. Menurut hemat
penulis, program intervensi Olweus dalam menyelesaikan fenomena bullying telah
cukup baik, hanya saja tidak menyinggung akar tersebut, untuk melengkapinya,
penulis mencoba menyelesaikan akar bullying tersebut dengan menggunakan
pendekatan sufistik (tasawuf) atau tazkiyah al-nafs. Dalam hal ini, pendekatan
sufistik atau tasawuf yang penulis maksud adalah pendekatan teoritis dan praktik
yang menitik beratkan kepada unsur utama manusia yaitu nafs atau jiwa. Adapun
kajian terkait jiwa tersebut, penulis menitik beratkan pada pemaknaan diri dan
pemaknaan jiwa manusia.
a. Pemaknaan Diri
Pada dasarnya sipritualitas adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari
individu manusia. Mengamati tantangan umat dalam kehidupan modern saat ini,
sangat rumit dan tentunya berdampak negatif bagi individu itu sendiri maupun
orang lain. Kosongnya pengetahuan spiritual dan semakin menjauhnya masyarakat
modern dari kesadarannya sebagai makhluk manusia menjadi penyebab utama dari
hal-hal tersebut22. Dalam menjalani kehidupan, manusia sejatinya membutuhkan
hal yang bersifat biologis, hal itu berupa kebutuhan dalam segi materi. Namun,
disamping itu, manusia juga membutuhkan hal-hal yang bersifat rohani untuk
memenuhi kebutuhan rohaninya, yang pada akhirnya dapat menjadi terapi dari
kekosongan akibat tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan biologis dan
rohani. Hal inilah yang disebut dengan spiritualitas, yang dalam agama Islam
mencakup pemahaman bagaimana kedudukan seorang hamba kepada Tuhannya.
Imam al-Ghazali telah merumuskan bagaimana konsep kebahagiaan dapat
diraih melalui pengetahuan tentang diri. Sejatinya, ketika seseorang dapat
mengetahui kedudukan dirinya dengan baik, maka akan mengantarkannya pada

22
Nur Cholis, “Konsep Tasawuf Sebagai Psikoterapi Bagi Problematika Masyarakat
Modern,” n.d., 45.
pengetahuannya tentang Tuhan23. Disamping itu, Pengetahuan tentang diri sendiri
adalah aspek yang penting dalam kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup,
sehingga terhindarkan dari penyakit yang menyerang pada mental atau kejiwaan.
Dalam memahami konsep diri dalam Islam, diperlukan pemahaman dalam
beberapa hal. Pertama, konsep manusia. Manusia merupakan makhluk yang
diciptakan sebagai makhluk paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk
ciptaan lainnya. Dalam tujuan penciptaannya, manusia diciptakan dengan tujuan
untuk beribadah kepada Allah SWT. Jika kembali direnungkan, dalam menjalani
kehidupan pada dasarnya manusia tidaklah bebas. Lahirnya manusia itu sendiri,
bukan menjadi kehendak yang dimilikinya. Bahkan, dari orangtua, alam,
lingkungan, tidaklah dapat menentukan bagaimana manusia itu dapat lahir, begitu
juga dengan wujud dari rupa yang dimilikinya 24.
Disamping itu, dapat disaksikaan di beberapa orang yang memiliki
ketakutan kepada mati. Padahal telah jelas bahwasanya segala yang bernyawa pasti
akan mati ketika waktunya telah tiba. Kembali lagi hal ini menunjukan bahwa
kematian bukanlah kehendak dari manusia. Untuk urusan rezeki, manusia tidak
memiliki kuasa atas menentukan. Dalam beberapa keadaan, ada manusia yang
mencari rezeki dari siang hingga malam, namun tidak mendapatkan rezeki yang dia
butuhkan. Di sisi lain, ada manusia yang tidak mengerahkan usaha maksimal,
namun mendapat rezeki yang banyak. Hal tersebut kembali menunjukan bagaimana
keterbatasan manusia dalam menjalani kehidupan ini. Sehingga, segala yang
dimiliki manusia tak lepas dari adanya karunia Tuhan, sifatnya hanya sementara
yang bisa hilang dalam waktu yang tidak dapat ditentukan.
Kedua, konsep Tuhan. Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang mutlak dan
absolut. Pemahaman akan konsep Tuhan menjadi hal yang mengantarkan pada
pemahaman akan konsep-konsep lainnya. Tuhan dimaknai sebagai Rabb yang
berarti zat pencipta, memelihara, merawat, menjaga dan mematikan. Manusia

23
al-Ghazali, Kimiya’us Sa’adah, (Qohirah: Dar Al-Mutqom, 2010) p. 23-24.
24
M. Kholid Musli, et al, Worldview Islam: Pembahasan Tentang Konsep-Konsep Penting
Dalam Islam (Ponorogo: Direktorat Islamisasi Ilmu, 2019), 219.
merupakan salah satu ciptaan dan hambaNya, oleh karenanya manusia itu sendiri
wajib untuk tunduk atas segala perintah dan laranganNya 25.
WujudNya sama seperti “ruh” yang berupa metafisik. Tuhan memiliki
segala sifat kesempurnaan. Hal ini ditunujukan dari bagaimana asma’ Nya yang
sempurna mencakup segala hal. Maka, makna Tuhan dalam prespektif ini tidak
memiliki kekurangan, kecacatan, dan keburukan, Ia maha sempurna. Tidak beranak
dan tidak pula di peranakan26. Ia berdiri sendiri tanpa dibatasi dengan hal apapun27.
Tuhan bersifat Esa atau Tunggal. Apapun yang terjadi di dunia ini hakikatnya tidak
terlepas dari kehendakNya. Apa yang terjadi di alam semesta ini adalah prorses
alami, seperti terjadinya petir, angin, kilat, serta menumbuhkan tanaman. Namun
segala sesuatu itu yang menentukan dan menghendakinya adalah Tuhan.
Ketiga, konsep agama. Pada dasarnya agama adalah hal yang sangat penting
bagi manusia. pemaknaan didalamnya mengantarkan manusia kepada dua hal 28 ,
yaitu adanya pengakuan bahwa manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan akan
fenomena diri dan alam semesta dan adanya pengakuan bahwa terdapat sumber
kekuatan dari segala hal yang ada. Agama membawa unsur-unsur penting seperti
unsur keimanan dan keyakiana, unsur aturan-aturan berupa bentuk penghambaan,
serta hukum-hukum yang terkait dengan etika manusia dan lainnya. Hadirnya
agama menuntun manusia untuk dapat memahami bagaimana asal-usul mereka,
tempat manusia dan seluruh alam semesta kembali, serta bagaimana seharusnya
manusia menjalani kehidupan. Satu hal yang menjadi pokok utama dari hadirnya
agama adalah menghubungkan manusia dengan penciptanya yaitu Tuhan 29 .
Kemudian, segala perkataan dan perbuatan manusia dalam prespektif sufistik akan
dihisab dan dipertanggung jawabkan di akhirat.
Dari pemaparan terkait tiga konsep tersebut yang merupakan cakupan dari
bagaimana pemaknaan diri, telah menunjukan bagaimana keterikatan diri manusia

25
Q.s Az Zariyat, 51: 56
26
Q.s Al Ikhlas, 112: 3
27
Muslih et al., Worldview Islam: Pembahasan Tentang Konsep-Konsep Penting Dalam
Islam, 47.
28
Muslih et al., 63.
29
Muslih et al., 78.
kepada Tuhannya dan keterbatasan diri manusia dalam menjalani kehidupannya.
Dalam kasus bullying, manusia itu sendiri perlu merenungkan bagaimana
kekuasaan dan kekuatan itu merupakan karunia yang diberikan oleh Tuhan
kepadanya. Sehingga dalam menggunakannya pun tidak menimbulkan sebuah
tindak keburukan yang salah satunya adalah bullying. Maka, hal utama yang perlu
dipahami adalah, dari segi metafisik, manusia memiliki kedudukan yang sama
dengan sesama manusia dalam sifat kehambaannya. Hingga kemudian dalam hal
ini ditemukan bagaimana pendekatan sufistik dituju untuk dapat mengakui dan
menjunjung tinggi nilai-nilai universal manusia30.
b. Pemaknaan Jiwa:
Jiwa merupakan hal penting dari unsur yang ada pada diri manusia. Dalam
Bahasa arab, istilah jiwa yang biasa disebut sebagai nafs, bermakna diri. Dalam
Bahasa inggris disebut sebagai soul atau spirit 31. Jiwa juga dimaknai sebagai nafs,
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Jiwa memiliki eksistensi
sendiri, sehingga ia tidak inheren dan berbentuk jasad 32. Dapat dipahami bahwa,
jiwa disini sebagai aspek yang ada pada diri manusia, dan sifatnya berupa metafisik
yang tidak berupa jasad.
Manusia terdiri dari tiga unsur penting yang ada didalamnya. Unsur ini terdiri
dari jasad, ruh, dan nafs. Jika salah satunya tidak ada, maka menjadikan manusia
seperti benda mati. Jasad atau jism adalah unsur paling tidak sempurna dari unsur
lainnya. Ia terwujud dari unsur materi yang komposisinya bisa rusak kapan saja. Ia
tunduk pada kekuatan-kekuatan yang ada di luar dirinya 33 . Ruh merupakan hal
dasar yang disiapkan oleh Allah SWT sebagai pedoman manusia untuk dapat

30
Nurul Hikmah Sofyan, “Bullying di Pesantren: Interaksi Tasawuf dan Teori
Pengembangan Fitrah dalam Pendidikan Islam,” Journal of Islamic Studies and Humanities 4, no.
1 (June 3, 2019): 89, https://doi.org/10.21580/jish.41.3842.
31
Muntasir, “Filsafat Islam: Konsep Jiwa dalam Al-Qur’an dan Filsuf Muslim,” Jurnal At-
Tarbiyah, 2015, 143.
32
Syah Reza, “Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina,” KALIMAH 12, no. 2 (September 15,
2014): 169, https://doi.org/10.21111/klm.v12i2.239.
33
Muslih et al., Worldview Islam: Pembahasan Tentang Konsep-Konsep Penting Dalam
Islam, 207.
berbuat kebaikan sehingga lebih dekat kepadaNya34. Dalam hal ini ruh memiliki
dua peran utama35. Pertama, sebagai pengarah kebaikan. Pesan kebaikan dari ruh
yang diidahkan oleh jiwa akan membuatnya melakukan perbuatan kebaikan.
Sebaliknya, ketika pesan-pesan kebaikan yang disampaikan ruh sering diabaikan,
maka potensi untuk melakukan perbuatan buruk akan semakin besar. Kedua,
pemberi peringatan. Peringatan ini muncul ketika seseorang merencanakan atau
melaksanakan perilaku buruk. Seperti contoh, ketika seseorang akan atau telah
melakukan perbuatan buruk, maka jauh didalam dirinya akan ada sinyal atau
bisikan yang mengatakan bahwa perbuatan itu salah, hal ini diikuti dengan tanda
seperti jantung yang berdebar lebih kencang, nafas tidak beraturan, dan suasana hati
yang gusar. Ketika sinyal itu ia idahkan maka akan membuatnya sadar dan berusaha
untuk memberbaiki kesahalannya. Namun, ketika sinyal itu ia abaikan, pembenaran
akan perilakunya terus terjadi sehingga perilaku tersebut dilakukan berulang-ulang.
Maka, kemudian ruh disebut dapat menunjukan dan mengantarkan manusia kepada
esnsi satu, yaitu seorang hamba Tuhan36.
Selanjutnya adalah nafs. Nafs memiliki fungsi menghimpun kekuatan, sikap
marah dan nafsu syahwat yang ada pada manusia. Pemaknaan dalam hal ini
biasanya disampaikan oleh para ahli tasawuf. Sebab, makna nafs ini merujuk
kepada sifat-sifat yang tercela dari manusia. Ibnu sina memahami nafs sebagai
substansi rohani yang berdiri sendiri 37 . Disamping itu, nafs yang juga disebut
sebagai al-jawhar yaitu substansi yang membuat manusia berbeda kualitasnya
dengan makhluk ciptaanNya yang lain, menyebabkan manusia mampu untuk
menggagas, berfikir dan juga merenung. Kemudian, dengan gagasan dan pikiran
tersebut, manusia pada akhirnya dapat mengambil keputusan, sehingga ia dapat

34
Santoso Santoso et al., “HARMONISASI AL-RUH, AL-NAFS, DAN AL-HAWA DALAM
PSIKLOGI ISLAM,” JURNAL ISLAMIKA 3, no. 1 (May 13, 2020): 72,
https://doi.org/10.37859/jsi.v3i1.1899.
35
Santoso et al., 175.
36
Syekha Anintya Inayatusufi, “Problem Self Concept (Konsep Diri) dalam Psikologi Modern,”
n.d., 17.
37
Reza, “Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina,” 266.
menangkap sinyal dan rambu-rambu untuk kemudian memilih jalan mana yang
harus ditempuh38.
Nafs memiliki beberapa potensi di dalamnya, hal yang ada didalam dirinya
bergantung kepada dimana letak ia lebih mendominasikan sehingga menjadi esensi
pada dirinya. Pertama nafs ammarah, merupakan nafs yang condong kepada hal-
hal yang bersifat fisik. Seperti sombong, ambisius, iri hati, dan marah. Nafs dalam
hal ini menjatuhkan manusia pada unsur hewani. Dalam hal ini diri tidak disertai
dengan kontrol sehingga menjadikan ruh tidak memiliki peran kondusif. Kondisi
ini menumbuhkan hasrat seseorang untuk melakukan penyimpangan yang menjadi
persoalan masyarakat. Jiwa yang dikuasai oleh nafs lawwamah akan memiliki
kecenderungan kepada kenikmatan materi, juga materi dan biologis. Kedua, nafs
lawwamah, mereupakan derajat yang memberikan kesadaran pada manusia akan
kesalahan dan kebodohannya karena telah mengikuti hawa nafsu. Sebabnya, nafs
lawwamah disebut sebagai nafs yang menampung rasa penyesalan dalam diri
manusia. Kondisi ini kemudian membuat manusia mengalami guncangan dan
kegelisahan yang kuat. Ia mulai mengidentifikasi keburukan perilaku yang
merupakan dorongan dari hawa nafsu. Kemudian, perasaan berdosa pula muncul
karena telah mengabaikan pesan atau sinyal dari ruh. Ketiga, nafs muthmainnah
yang mengantarkan jiwa pada kedamaian. Tingkatan ini adalah prestasi puncak
yang dimiiki oleh jiwa ketika dapat mengelola aspek-aspek yang mencakup dirinya.
Dalam hal ini nafs menjadikan ruh sebagai hal yang dominan. Sehingga
memberikan tenaga atau energy yang dimiliki untuk memperkuat keinginan jiwa
melakukan perbuatan baik. Nafs muthaminnah lah kemudian menjadikan diri
manusia tenang, yang telah selaras dengan norma-norma kehendak ruh.
Problem strength yang menjadi akar dari terjadinya bullying, berasal dari
dorongan nafs ammarah sehingga mendorong manusia melakukan keburukan. Sifat
kesombongan merasa memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih dari orang lain,
mendorong seseorang melakukan keburukan berupa bullying, yaitu dengan
menyakiti dan mengejek orang lain yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan

38
M Zaim Mahudi, “Konsep Nafs Prespektif Ibnu Katsir Dalam Kitab Tafsir Al-Qur’an Al -
Azhim,” 2015, 15.
yang sama dengannya. Maka dalam hal ini, hal yang perlu dipahamkan kepada
pelaku bullying adalah bagaimana menciptakan nafs muthmainnah itu dengan
mendudukan nafs ammarah yang ada pada dirinya. Sehingga terhindar dari sikap
keburukan yang salah satunya adalah bullying.
Pada dasarnya tidak ada keburukan yang berupa lahiriyah, segala keburukan itu
timbul akibat adanya dorongan dari nafs ammarah 39 . Sehingga, keburukan itu
bukanlah hal mutlak, namun sesuatu yang dapat dirubah. Untuk dapat merubah hal
tersebut, jalan yang ditempu bukanlah dengan menghilangkan nafsu yang ada,
namun yang perlu dikehendaki adalah dengan mengendalikan nafsu dimiliki 40. Juga
hal yang perlu dihindari adalah berlebih-lebihan dalam memenuhi nafsu-nafsu
tersebut.
Salah satu resolusi moral yang dapat ditempuh dalam permasalahan ini adalah
jalan Tazkiyah al-Nafs. Tazkiyah secara bahasa dimaknai sebagai suci, pensucian,
atau pembersihan 41 . Dalam segi istilah, tazkiyah al-nafs dipahami sebagai
pembersihan atau penyucian jiwa dalam diri manusia dari berbagai sifat yang tidak
sesuai dengan fitrahnya. Hal ini ditempuh agar dapat pengantarkan manusia kepada
kesempurnaan diri. Ketika jiwa telah suci dari sifat kotor, maka ia akan mampu
mengenal dan menemukan esensi dari jati dirinya sendiri. Sehingga dapat terbebas
dari keterikatannya pada nafsu, agar mudah untuk mengisinya dengan sifat terpuji 42.
Maka, tazakiyah al-nafs merupakan suatu hal yang penting.
Dalam pelaksanaan tazkiyah al-nafs, terdapat tiga metodologi yang dapat
dilakukan. Pertama, takhalli. Metode pertama ini merupakan jalan yang ditempuh
dengan cara pengosongan jiwa dari segala sifat keburukan 43 . Pembersihan dan
pembebasan diri dari berbagai kotoran hati dan dosa disini ditempuh dengan

39
al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin 4, Terj. Ibnu Ibrahim Ba’adillah (Jakarta Selatan: Republika,
2020), 197.
40
al-Ghazali, 199.
41
Hayu A’la Aslami, “Konsep Tazkiyatun Nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam
Al-Ghazali” (other, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, 2016), 32, http://e-
repository.perpus.uinsalatiga.ac.id/1391/.
42
Hakam Rahmatulloh, “Konsep Tazkiyatun Nafs Imam Al Ghazali dalam Upaya
Mengatasi Krisis Moral di Era Revolusi Indsutri 4.0” (Jember, Universitas Islam Negeri Kiai Haji
Achmad Siddiq, 2022), 45.
43
Aslami, “Konsep Tazkiyatun Nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali,”
36.
bertaubat dan juga istighfar 44. Bertaubat dalam hal ini dimulai dengan mengetahui
bahwa dosa yang dimiliki akan memberi dampak yang besar bagi setiap individu,
keberadannya menjadi sebuah pembatas besar antara hamba dengan Tuhannya.
Pengetahuan tersebut pada akhirnya akan mengantarkan manusia pada rasa takut
akan dosa-dosa yang telah diperbuatnya, sehingga jalan yang perlu ditempuh
selanjutnya adalah taubat. Dapat dipahami bahwa taubat disini merupakan jalan
kembali dari perbuatan dosa dan maksiat kepada hal fitrah yaitu perbuatan terpuji,
melalui pengakuan dan penyesalan kepada Tuhan. Taubat bukan hanya menjadi
sebuah tangga yang harus ditempuh seseorang untuk dapat kembali kepada
Tuhannya namun juga hal yang dapat menjadi terapi. Hal ini terbukti dari manusia
yang awalnya mengalami stress, cemas dan putus asa akibat begitu banyaknya
masalah yang telah dihadapi, menjadi bisa lebih bisa menerima dirinya, yaitu
dengan cara bertaubat.
Kedua, Tahalli. Langkah ini merupakan pembersihan jiwa dengan cara
membiasakan sifat, sikap dan perbuatan yang baik atau terpuji45 . Langkah yang
ditempuh dalam tingkatan ini adalah dengan membina diri agar memiliki akhlak
yang terpuji sehingga dapat konsisten dengan jalan yang ditempuh sebelumnya
yaitu takhalli. Tahalli juga dapat diartikan sebagai membekali, membiasakan, dan
menghiasi diri dengan segala hal positif dengan berupa sabar, jujur, amanah,
tawadhu’, dan lain sebagainnya46. Hal ini dilakukan terus menerus hingga dapat
menjadi kebiasaan, agar dapat tertanam dalam diri sehingga tak terbiasa lagi untuk
melakukan sifat atau akhlak tercela.
Ketiga, Tajalli. Dalam hal ini, berada pada kondisi tersingkapnya hijab yang
membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga nyata dan terang Cahaya dan

44
Siti Mutholingah and Basri Zain, “Metode Penyucian Jiwa (Tazkiyah al-Nafs) dan
Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam,” journal TA’LIMUNA 10, no. 1 (April 22, 2021): 74,
https://doi.org/10.32478/talimuna.v10i1.662.
45
Muhammad Amin, “Tasawuf dan Resolusi Moral: Studi Terhadap Implikasi Ajaran
Tasawuf dalam Mengatasi Degradasi Moral,” Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran,
dan Fenomena Agama 20, no. 1 (June 30, 2019): 65, https://doi.org/10.19109/jia.v20i1.3599.
46
Mutholingah and Zain, “METODE PENYUCIAN JIWA (TAZKIYAH AL-NAFS) DAN
IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM,” 74.
kebesaran Tuhan dalam jiwanya 47. Hal ini memberikan penghayatan keagamaan
yang akan menimbulkan cinta dan rindu seorang hamba kepada Tuhannya sehingga
dapat mencapainnya. Ketika takhalli dan tahalli telah dilakukan dengan sungguh-
sungguh maka diharapkan bahwa jiwa terbebas dari nafsu amarah dan
menghantarkannya jauh dari sifat atau perbuatan keji 48 . Ketika manusia sampai
pada tahap ini, maka seluruh amal perbuatannya semata-mata hanya cinta kepada
Tuhan. Ketiga tahapan dalam tazkiyah al-nafs ini dapat ditempuh oleh manusia
sebagai usahanya dalam mengatasi amal perbuatan buruk yang dilakukannya. Hal
ini mengatarkannya kepada amal perbuatan baik sehingga juga akan menghadirkan
ketenangan dalam jiwanya.
Dalam Prespektif Islam sendiri tindakan bullying yang dilatarbelakangi oleh
adanya penyalahgunaan kekuatan dan kekuasaan (strength) disebabkan oleh
lunturnya nilai-nilai agama dan pergaulan, terutama pada anak remaja. Akhlak
mereka telah tercampur dengan sifat individualitas dan hedonis, sehingga tak lagi
dapat menghargai adanya perbedaan, toleransi dan saling menghormati.
Keruntuhan dalam akhlak tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun juga
berdampak kepada oranglain 49. Ketika akhlak seseorang tidak baik, maka perilaku
yang dihasilkan tentu dapat berupa keburukan, salah satunya adalah bullying.
Sehingga sangat penting adanya pembinaan akhlak yang memumpuni untuk dapat
benar-benar mengentaskan perilaku bullying.
Dalam kasus bullying seorang yang terbiasa dengan perilaku buruk berupa
mengolok-ngolok, menyakiti, dan menyudutkan orang lain pada dasarnya
memberikan kerugian kepada dirinya sendiri. Perilaku bullyin dilatarbelakangi oleh
banyak hal, salah satunya adalah gejolak emosi yang dimiliki pada masa rawan
yaitu remaja. Hal ini mempengaruhi perilaku buruk atau negatif. Salah satu hal yang
juga melatarbelakangi adanya perilaku ini adalah wujud tidak mampunya seorang

47
Aslami, “Konsep Tazkiyatun Nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali,”
36.
48
Mutholingah and Zain, “Metode Penyucian Jiwa (Tazkiyah al-Nafs) dan Implikasinya
Bagi Pendidikan Agama Islam,” 75.
49
Elok Nur Azizah, “Pendidikan Anti Bullying dalam Kitab al-Akhlaq Li Al-Banin”
(Semarang, Universitas Islam Negeri Walisongo, 2020), 42.
individu dalam mengendalikan unsur diri dan mempotensikannya ke arah perilaku
positif50. Hal ini dalam segi psikologis membutuhkan aspek keagamaan untuk dapat
memberikan ketenangan dalam jiwanya sehingga memberikan kontrol dalam
dirinya. Metode tazkiah al-nafs disini dapat berpengaruh kepada penguatan
karakter pada anak sehingga menjauhkannya pada perilaku buruk, yang salah
satunya adalah bullying 51.
Konsep yang ada di dalam tazkiyah al-nafs dapat diterapkan dalam sekolah
sebagai upaya pengentasan bullying. Tiga metode yang ada didalamnya perlu
dilakukan untuk dapat menghilangkan sifat buruk berupa bullying. Salah satu
langkah awal yang dapat ditempuh melalui pemberian pendidikan agama Islam
kepada seluruh siswa. Pemberian bimbingan nilai agama sangatlah penting kepada
siswa, peran ini sangat genting mengingat tanpa adanya bimbingan rohani yaitu
bimbingan siswa untuk menerapkan nilai-nilai agama, siswa akan sulit untuk dapat
mengenali mana hal buruk dan mana hal baik. Dan juga benar atau salahnya
perilaku mereka. Sehingga kemampuan siswa terutama pada masa remaja ini
bergantung kepada bantuan guru52. Adapun tujuan dari pendidikan agama Islam
sendiri tidak hanya sampai kepada transfer ilmu pengetahuan saja, namun juga
untuk membentuk karakter dan pribadi siswa yang memancarkan cahaya iman yang
berujung pada amal dan akhlak yang mulia 53.
Kesimpulan
Program intervensi yang telah dirumuskan oleh Dan Olweus dalam
menyelesaikan bullying telah baik untuk kemudian dapat dipraktikkan. Program ini
telah dirancang sedemikian rupa untuk dapat melibatkan seluruh lingkungan baik
di sekolah maupun di rumah, untuk dapat bersama-sama mencegah terjadinya
fenomena bullying khusunya pada kalangan anak-anak. Pengentasan bullying sejak

50
Sofyan, “Bullying di desantren,” 99.
51
Suhermanto Ja’Far, “Pengaruh Penguatan Karakter Islam Terhadap Sikap Tentang
Bullying” 10, no. 1 (2021): 69.
52
Agistia Sari and Eneng Muslihah, “Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Bimbingan
Konseling dalam Menangani Kasus Bulling (Studi di SMK Negeri 4 Kota Serang Provinsi Banten)” 7,
no. 1 (2020): 97.
53
Fitria Salma Nurrohmah, “Penanggulangan Bullying dalam Prespektif Pendidikan Islam
(Telaah Buku Pendidikan Tanpa Kekerasan Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep)” (Surakarta,
Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2017), 44.
masa anak-anak sangat genting untuk dapat dilakukan karna, anak yang melakukan
bullying memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam kasus criminal pada masa
depan. Hal ini dapat disimpulkan dari bagaimana perilaku antisosial, sifat ingin
menyakiti orang lain, tidak menghargai dan tidak memiliki toleransi terhadap
kekurangan orang lain yang dimilikinya. Sehingga seluruh aspek yang ada di
lingkungannya penting untuk turut andil dalam pencegahan perilaku bullying
tersebut.
Problem strength yang menjadi akar dari terjadinya bullying dapat diselesiakan
melalui prespektif Islam. Bullying yang terjadi dilatarbelakangi oleh adanya
problem strength ini salah satunya disebabkan oleh lunturnya nilai agama pada
kehidupan anak. Akhlak mereka telah tercampur dengan sifat individualitas dan
hedonis, sehingga tak lagi dapat menghargai adanya perbedaan, toleransi dan saling
menghormati. Sehingga perlu adanya penanaman kembali nilai agama dan
pembinaan diri. Hal ini dapat dimulai melalui pendekatan sufistik dengan
mengenalkan pemaknaan diri dan pemaknaan jiwa. Pemaknaan terkait dua hal
tersebut menjadi tawaran dan solusi dalam program intervensi agar dapat
menyelesaikan fenomena bullying hingga pada akarnya, yaitu problem strength.
Program Intervensi Dan Olweus dalam Mengatasi
Bullying: Analisis Kritis

Program Intervensi Dan


Olweus dalam
Mengatasi Bulying

Tindakan Tingkat Tindakan Tingkat Tindakan Tingkat


Sekolah Kelas Individu

Kritik atas Program


Intervensi Dan
Olweus dalam
Mengatasi Bullying

Tidak Menjawab Tidak Mengatasi Tidak Memberikan Memiliki Kendala


Bullying dalam Kesadaran dalam Pelaksanaan
Akar dari Bullying
Statifikasi Sosial Bahaya Bullying Program karna
bentuk Kesalahan
Polah Asuh Orangtua
Pada Siswa
Problem Strength
Pada Pelaku
Bullying

Menjawab Problem
Strength dalam
Prespektif Islam
(Pendekatan
Sufistik)
Menjawab Problem
Strength dalam Prespektif
Islam (Pendekatan Sufistik)

Pemaknaan Pemaknaan
Diri Jiwa

Konsep Konsep Konsep Jasad Ruh Nafs


Manusia Tuhan Agama

Tazkiyah
Al-Nafs

Takhalli Tahalli Tajalli


Daftar Pustaka
al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin 4. Terj. Ibnu Ibrahim Ba’adillah. Jakarta Selatan:
Republika, 2020.
———. Proses Kebahagiaan (Mengkaji Kimiy’us Sa’adah. Terj. K.H. A. Mustofa
Bisri. PT. QAF Media Kreatif, 202AD.
Amin, Muhammad. “Tasawuf dan Resolusi Moral: Studi Terhadap Implikasi
Ajaran Tasawuf dalam Mengatasi Degradasi Moral.” Jurnal Ilmu Agama:
Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama 20, no. 1 (June 30,
2019):
Andrews, Naomi C. Z., Antonius H. N. Cillessen, Wendy Craig, Andrew V. Dane,
and Anthony A. Volk. “Bullying and the Abuse of Power.” International
Journal of Bullying Prevention, April 19, 2023.
Aslami, Hayu A’la. “Konsep Tazkiyatun Nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya
Imam Al-Ghazali.” Other, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, 2016.
Azizah, Elok Nur. “Pendidikan Anti Bullying dalam Kitab al-Akhlaq Li Al-Banin.”
Universitas Islam Negeri Walisongo, 2020.
Cholis, Nur. “Konsep Tasawuf Sebagai Psikoterapi Bagi Problematika Masyarakat
Modern,” n.d.
Inayatusufi, Syekha Anintya. “Problem Self Concept (Konsep Diri) dalam
Psikologi Modern,” n.d.
Ja’Far, Suhermanto. “Pengaruh Penguatan Karakter Islam Terhadap Sikap Tentang
Bullying” 10, no. 1 (2021).
Limber, Susan P. “Development, Evaluation, and Future Directions of the Olweus
Bullying Prevention Program.” Journal of School Violence 10, no. 1
(January 20, 2011)
Mahudi, M Zaim. “Konsep Nafs Prespektif Ibnu Katsir Dalam Kitab Tafsir Al-
Qur’an Al - Azhim,” 2015, 145.
Muntasir. “Filsafat Islam: Konsep Jiwa dalam Al-Qur’an dan Filsuf Muslim.”
Jurnal At-Tarbiyah, 2015, 159.
Muslih, M. Kholid, Anton Ismunanto, Nofriyanto, Muhammad Zein, M. Shohibul
Mujtaba, Imroatul Istiqomah, Abdul Wahid, M. Faqih Nidzom, and Abdul
Hamid Saragih. Worldview Islam: Pembahasan Tentang Konsep-Konsep
Penting Dalam Islam. Ponorogo: Direktorat Islamisasi Ilmu, 2019.
Mutholingah, Siti, and Basri Zain. “Metode Penyucian Jiwa (Tazkiyah al-Nafs) dan
Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Islam.” journal TA’LIMUNA 10, no.
1 (April 22, 2021)
Nurrohmah, Fitria Salma. “Penanggulangan Bullying dalam Prespektif Pendidikan
Islam (Telaah Buku Pendidikan Tanpa Kekerasan Tipologi Kondisi, Kasus,
dan Konsep).” Institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2017.
Olweus, Dan. Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Oxford:
Blackwell Publisher, 1993.
Rahmatulloh, Hakam. “Konsep Tazkiyatun Nafs Imam Al Ghazali dalam Upaya
Mengatasi Krisis Moral di Era Revolusi Indsutri 4.0.” Universitas Islam
Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq, 2022.
Reza, Syah. “Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina.” KALIMAH 12, no. 2 (September
15, 2014)
Santoso, Santoso, Ajeng Safitri, Puti Febrina Niko, Dwita Razkia, and Nur
Fitriyana. “HARMONISASI AL-RUH, AL-NAFS, DAN AL-HAWA
DALAM PSIKLOGI ISLAM.” JURNAL ISLAMIKA 3, no. 1 (May 13, 2020)
Sari, Agistia, and Eneng Muslihah. “Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan
Bimbingan Konseling dalam Menangani Kasus Bulling (Studi di SMK
Negeri 4 Kota Serang Provinsi Banten)” 7, no. 1 (2020).
Sofyan, Nurul Hikmah. “Bullying di Pesantren: Interaksi Tasawuf dan Teori
Pengembangan Fitrah dalam Pendidikan Islam.” Journal of Islamic Studies
and Humanities 4, no. 1 (June 3, 2019)
Temko, Ezra. “Missing Structure: A Critical Content Analysis of the Olweus
Bullying Prevention Program.” Children & Society 33, no. 1 (January 2019)

Anda mungkin juga menyukai