Anda di halaman 1dari 3

Maraknya Kasus Perundungan di Lingkungan Sekolah, Mari Lakukan Pencegahan!

Apa itu perundungan atau bullying?


Dikutip dari buku “Seri Pendidikan Orang Tua: Ayo Bantu Anak Hindari Perundungan” yang
diterbitkan oleh Kemendikbud (2017), perundungan atau bullying merujuk pada perilaku tidak
menyenangkan yang dilakukan secara sengaja dan berulang sehingga menyebabkan orang atau
korban mengalami trauma dan tidak berdaya.
Dalam kasus perundungan di sekolah, pelaku umumnya bersifat agresif dalam melakukan
tindakan kekerasan secara berulang kepada siswa yang secara posisi lebih inferior atau tidak
diuntungkan secara sosial.

Aluede et al. dalam artikel A Review of the Extent, Nature, Characteristics and Effect of
Bullying Behavior in Schools mengatakan bahwa perilaku perundungan saat ini sudah menjadi
hal yang ‘biasa’ terjadi hampir di seluruh sekolah di dunia.

Pelaku perundungan umumnya merupakan siswa yang lebih senior atau yang merasa memiliki
kapital sosial-budaya lebih tinggi dari korbannya, dan dalam beberapa kasus perundungan di
lingkungan sekolah bisa juga dilakukan oleh guru maupun staf pegawai (Olweus, 1994).

Perundungan umumnya terbagi dalam beberapa bentuk, antara lain:


1. Perundungan fisik, yang meliputi tindakan mendorong, mengancam, dan memukul;
2. Perundungan verbal, seperti menghina fisik, body-shaming, menyindir, dan menyebarkan
gosip;
3. Perundungan sosial, seperti mengucilkan, memalak atau meminta secara paksa, dan
memfitnah;
4. Perundungan di dunia maya, seperti memperolok-olok di media sosial, membuat meme yang
merendahkan, hingga memberikan pesan teror.
Dampak buruk perundungan
Di banyak kasus perundungan memberikan dampak negatif jangka panjang bukan hanya
kepada korban, tapi juga kepada pelaku baik secara fisik maupun psikologis.
Bagi pihak korban, perundungan merupakan predikator signifikan yang menyebabkan depresi
(Farrington, 2011).
Mereka umumnya akan mengalami kecemasan dalam interaksi sosial, memiliki tingkat
kepercayaan diri rendah, merasa kesepian, hingga bertendensi untuk mengalami gangguan jiwa
serta melakukan self-harm, bahkan bunuh diri.
Secara tidak langsung hal ini akan meningkatkan risiko kesehatan fisik-mental, sosial, hingga
pendidikan yang buruk di usia anak-anak maupun remaja (Armitage, 2021).
Hal ini pernah dialami oleh selebriti Indonesia, Marshanda. Ia secara terbuka mengaku pernah
menjadi sasaran perundungan saat masih duduk di sekolah dasar oleh teman-teman sekelasnya.
Akibatnya dia menjadi pribadi yang pemalu dan minder soal bergaul (Kompas, 16/08/2021).
Di sisi lain, pelaku perundungan juga berpotensi mengalami masalah serius seperti perilaku yang
cenderung agresif dan hiperaktif serta memiliki kecenderungan untuk mengabaikan aktivitas
pendidikan hingga berisiko tinggi terpapar narkotika (Vanderbilt, & Augustyn, 2010).
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA),
pelaku perundungan juga berpotensi tidak memiliki empati terhadap sesama.
Jika tindakan merundung sudah dianggap sebagai hal yang ‘biasa’, maka bukan tidak mungkin
pada masa depan pelaku dapat berpotensi melakukan tindakan kriminal.
Bagaimana mencegah perundungan di lingkungan sekolah?

Dampak buruk perundungan baik bagi korban maupun pelaku tentu saja tidak bisa dianggap
remeh, karena ini menyangkut masa depan anak-anak.

Upaya pencegahan kasus perundungan, khususnya di lingkungan pendidikan dapat dilakukan


dengan cara:
1. Memberikan psikoedukasi dan pemahaman perundungan kepada siswa, guru, staf,
terutama dampak buruk dari perundungan.

Hal ini dapat disosialisasikan secara terus-menerus di kelas, saat upacara, hingga
menempelkan poster-poster edukasi tentang perundungan di area sekolah.

2. Mengedukasi orangtua murid tentang perundungan dan dampak negatifnya supaya


mereka dapat dengan cepat melapor kepada pihak yang berwajib jika menemukan kasus
perundungan.

Tidak hanya itu, orangtua juga bisa diproyeksikan untuk menjadi agen pencegahan
perundungan di luar lingkungan sekolah;

3. Membentuk satgas antiperundungan di lingkungan sekolah yang melibatkan guru, bahkan


siswa atau teman sebaya yang memiliki pengaruh untuk dibentuk sebagai agen
perubahan.

Hal ini bisa dilakukan dengan mengadakan Roots, program pencegahan perundungan
berbasis sekolah yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia dan pemerintah sejak
2017;

4. Merancang kebijakan dan aturan antiperundungan di sekolah untuk memberikan sanksi


tegas kepada siapa saja yang melakukan tindakan perundungan tanpa pandang bulu.

Tentunya, mencegah dan menghentikan aksi perundungan di lingkungan sekolah tidak


bisa dilakukan sepihak, melainkan perlu kerja sama antar berbagai pihak.
Hal tersebut akan berhasil apabila pemerintah, seluruh ekosistem sekolah, hingga
masyarakat berperan aktif dalam upaya pencegahan perundungan.

Anda mungkin juga menyukai