Anda di halaman 1dari 17

NOTHING EVER LASTS FOREVER

Matahari mulai memancarkan sinarnya di sebuah


pulau yang dulunya sangat subur dan indah. Pulau itu disebut
Pulau Cardia. Pulau tertutup yang ditinggali oleh bangsa
Arcadian. Terlihat pohon – pohon kering bersimbah darah dan
pasir – pasir berlarian tertiup angin serta teriakan burung
mulai terdengar. Menandakan semua telah memulai
kehidupannya.

Hari ini mereka akan merayakan pesta kedatangan


sekelompok bangsa yang tak tertaklukkan. Orang – orang
menyebut mereka sebagai bangsa “Agatha”. Pesta itu
dirayakan di ujung utara Pulau Arcadia. Hanya tempat itulah
yang paling subur di Pulau Arcadia. Tujuan mereka di sini
ingin mengambil seorang bayi yang mempunyai darah
setengah bangsa Arcadian.

“Kami mencari bayi berdarah bangsa Arcadian yang


harus dilahirkan hari ini, bermata hijau berkilauan, dan
mempunyai kekuatan abadi yang akan muncul jika ia berusia
15 tahun,” ucap pemimpin bangsa itu.

Tak main – main mereka akan menjanjikan imbalan


dengan kekayaan yang abadi serta sebuah kepopuleran.
“Tenang, imbalan yang kami berikan berlaku untuk
semua orang,” kata Sang Pemimpin, “hanya saja, syarat itu
yang harus kalian penuhi.” Pemimpin itu menjelaskan
sedemikian rupa.

Semua orang kala itu terkejut dan informasi itu


menjadi kabar kilat. Seluruh stasiun berita melansir tentang
kedatangan bangsa Agatha. Dimana – mana semua orang
membicarakan kabar itu. Bahkan, para penyuka konspirasi
membuat sebuah siaran hanya untuk membahas bangsa
Agatha. Namun, hanya satu yang menarik bagi publik. Siaran
itu bernama “Agatha’s Secret” dan disiarkan oleh seorang
pemuda misterius dengan nama samaran The Narrator

Ia berpendapat, “Jika ada seseorang yang mendapat


imbalan kekayaan pasti akan ada kutukannya sebut saja
kebodohan permainan global,” perkiraannya itu tak pernah
salah.

Hingga, saat matahari masih menunggu waktu


tenggelamnya. Ada seorang ayah bernama Taylor Gress yang
tulus dan selalu taat kepada Tuhan – Nya. Setiap harinya ia
tak lupa memohon untuk keajaiban datang padanya.

Bahkan Taylor berjanji kepada Tuhan-Nya, “Jika


memang aku salah, aku bersiap meninggalkan semuanya demi
ketenangan mereka,” Pikirannya dan hatinya tak henti - henti
jernih.

Sore ini, ia tersender di bangku rumah sakit saat


menunggu istrinya yang sedang bersalin. Istrinya bernama
Lauren Gress. Pasangan itu sudah menikah selama 1 tahun,
hidup mereka dipenuhi dengan kesenangan. Tetapi, ia tak
sengaja tahu bahwa Lauren memiliki penyakit keras yang bisa
mencabut jiwanya.

Pasien – pasien berlalu larang, tangisan serak


keluarga lain tak henti – henti di dengarkan oleh Taylor.
Keadaan itu membuatnya semakin takut. Ia menunggu 3 jam
lamanya dengan perasaan was – was. Disisa – sisa 1 jam
terakhir, sunyi tempat itu membuatnya bersedih, ia tak bisa
tenang. Hatinya berbicara terus menerus.

“Bagaimana keadaan Lauren, aku takut karena ia


memiliki penyakit keras. Semoga keajaiban datang padanya,”
ucap dalam hati seorang Taylor.

Suara sepatu terdengar dari jauh, tiba - tiba seseorang


duduk di samping Taylor. Ia menyalakan satu siaran bernama
“Agatha’s Secret”. Dari pembukaannya hingga sampai
penutup terdengar jelas di telinga Taylor. Satu kalimat
menarik hati Taylor dari siaran tersebut.
“Harta kalian tak akan pernah habis jika menyerahkan
bayi keturunan mu itu,” tusukan kata dari The Narrator.

Pikirannya terisi akan kalimat itu, ia sangat penasaran


dan mencari tahu siapa yang dimaksud dari siaran itu.

“Apa yang dimaksud dari siaran tadi, imbalan


kekayaan abadi? Pertama kalinya kumendengar itu,” kalimat
itu keluar seperti bisikan – bisikan.

Ia sekarang mengetahui akar – akar dari penasarannya


itu. Ketertarikan itu membuat sisi lain dari dirinya sudah
muncul. Ia sangat ingin hidup kaya, enak, dipuja-puja.
Bahkan ia ingin menjadi pemimpin dunia dan orang paling
terkenal. Jika ia terkenal mungkin ia akan dihormati dan
hidupnya tak akan sesusah sekarang katanya.

Pikirannya terpacu pada satu kalimat, “Kapan lagi aku


mendapat harta begitu banyak, puas banget hidupku,”
keegoisannya menyelimuti diri Taylor.

Dokter yang bertugas membuka pintu dan keluar dari


ruangan itu serta memanggil Taylor.

“Taylor, persalinannya sudah selesai, syukurlah


bayimu terlahir normal,” ucap Sang Dokter.
“Baik, terima kasih dok,” secercah kata ringan yang
keluar dari mulut Taylor.

Masuklah Taylor ke ruangan persalinan, ia langsung


menanyai keadaan putrinya, ia sangat senang dengan
kelahiran putrinya sebab matanya hijau berkilauan bahkan ciri
– ciri fisiknya mirip seperti bangsa Arcadian. Lantas Taylor
memberi tahu istrinya tentang kecocokan putrinya dengan
bangsa Arcadian. Taylor menceritakan semua yang ia tahu
kepada istrinya, bahkan kalimat yang ia ucapkan melebihi
sebuah peluru, semua perasaannya tercampur menjadi satu.

Terucaplah satu kalimat dari Taylor, “Seharusnya kita


memberi bayi ini kepada bangsa Agatha? Hidup kita pasti
lebih enak.”

Namun, istrinya bertanya – tanya karena pernyataan


Taylor barusan.

“Apa yang Taylor bicarakan, bahkan setelah putriku


terlahir sempat – sempatnya ia bergurau seperti ini,”
pikirannya melongo melihat perkataan Taylor.

Kali ini Taylor benar – benar memohon kepada


istrinya untuk memberi bayinya ke bangsa Agatha. Kalimat –
kalimat permohonan serta belas kasihan terlontar darinya. Ia
bahkan sempat merendahkan dirinya di hadapan Lauren.
Semua itu ia lakukan agar keinginannya terwujud.

“Ayolah Lauren, sekali ini saja turuti kemauan ku!”


seruan itu terucap dari mulut Sang Suami.

Untungnya perjuangan Taylor tak sia – sia. Walaupun


istrinya sempat menolak atas ajakannya. Tapi, kata – kata
Taylor dalam susunannya yang indah itu bisa membuat
istrinya luluh.

Langit yang petang dan sejuk membuat mereka


berpikir mungkin sekarang waktu yang tepat untuk pergi ke
Pulau Arcadia. Mereka menyiapkan barang bawaan mereka
dan bergegas menuju Pulau Arcadia. Benar seperti yang
dikatakan, Pulau Arcadia sangat sunyi dan kering. Jarang
terlihat tumbuhan hijau di sana bahkan hewan – hewan darat
hanya sedikit spesiesnya.

Sampailah mereka di ujung utara dari Pulau Arcadia.


Ujung utara itu sebagai tempat istirahat para bangsa Agatha di
Bumi. Tempat itu sangat gelap dan sunyi. Tetapi,
pemandangan dari jauh itu membuat mereka takjub. Bintang –
bintang terlihat cerah di sana dan langit bagaikan lukisan dari
pelukis katarak. Kaki mereka mulai merasakan tajam nya
rumput di sana, nyanyian angin merdu, serta debur ombak
yang keras membuat mereka semakin takut.

“Sabar dulu, bentar lagi kita akan sampai,” ucap


Taylor.

Sekian lama berjalan akhirnya mereka sampai di


tujuannya. Mereka berteriak sekeras mungkin untuk
memanggil bangsa Agatha. Satu per satu lampu menyala dan
keluar sesosok makhluk bertubuh besar dan menjulang tinggi.
Makhluk itu adalah bangsa Agatha. Sang Pemimpin lah yang
memilih untuk menyambut mereka.

“Apa kabar manusia – manusia rendahan?” sapaan


dari pemimpin bangsa itu.

Panas nya tubuh Taylor serta bulu kuduk nya berdiri


membuat ia semakin membara, ia sebenarnya tak sudi dengan
kalimat sapaan pemimpin tadi. Tapi ia mencoba menenangkan
dirinya. Ia berdiri diam di rerumputan itu, mengepal
tangannya untuk menahan emosinya. Ia tak berani membalas
sepatah kata dari pemimpin itu.

“Apa yang ingin kalian lakukan di sini?” tanya Sang


Pemimpin.
“Kami.. ingin memberi bayi kami kepada kalian,
bangsa Agatha,” Ucapan itu terbata – bata dari mulut Lauren.
Ia sangat tak ikhlas memberikan bayinya pada bangsa itu.

“Baguslah, ternyata ada yang tertarik dengan


persetujuanku,” sambil tertawa – tawa Sang Pemimpin
meneriakkan kalimat itu. Ia menertawakan kemarukkan
mereka. Sebenarnya ia sudah malas menanggapi betapa
banyaknya manusia datang ke tempat mereka hanya untuk
menyerahkan bayinya. Tetapi, kali ini ia penasaran dengan
bayi itu.

Masuklah mereka ke tempat bangsa itu tinggal


sementara. Mereka langsung di bawa ke tempat khusus yang
tertutup di sana. Ruangannya benar – benar putih dan detail.
Lantas, Sang Pemimpin itu memanggil Si Tangan Kanannya
itu. Pertama, mereka ditanya tentang identitas bayi itu.

Tiba – tiba Si Pemimpin bertanya perihal identitas


nya, “Yang paling ingin ku ketahui, siapa namanya?”

“Kami belum sempat memberinya nama,” Kalimat


yang terucap dari mulut Taylor.
Bahkan urat malu pun sudah terputus, lihatlah tidak
sempatkah mereka untuk memberi nama putrinya hanya untuk
sebuah kekayaan. Terlihatlah keegoisan mereka. Buru –
burulah mereka memberi nama putrinya itu.

“Namanya Renoir Gress, bawalah dia bersamamu ke


Agatha,” kata Lauren dengan sedikit hisakan tangis darinya.

Tangan kanan Sang Pemimpin mengecek kecocokan


Renoir dengan bangsa Arcadian. Taylor berharap – harap jika
perkiraannya tak salah. Memang benar bayinya keturunan
bangsa Arcadian.

“Benar, Renoir keturunan bangsa Arcadian. Kami


akan membawanya besok ke Agatha dan memberikan kalian
imbalan,” Kata Si Pemimpin.

Malam itu mereka menginap di mobil van yang


dibawa mereka. Sebenarnya mereka tak bisa tidur nyenyak
karena masih terpikirkan nasib putrinya itu di masa depan.

Besoknya terlihat kapal besar terbang dan


meninggalkan bumi. Semua orang melihat kejadian itu dan
mengira pasti itu bangsa Agatha. Mereka menyimpulkan pasti
bayi itu sudah ditemukan. Tersebarlah berita itu ke seluruh
dunia dan para pemimpin negara berkunjung ke pulau
Arcadian. Mereka tak menemukan apa – apa di sana. Tetapi,
ada satu dompet yang tertinggal di tempat itu. Dompet itu
berisi identitas seseorang bernama “Taylor Gress”. Mereka
pun mengetahui siapa yang mendapatkan kekayaan dari
bangsa Agatha.

Taylor dan Istrinya segera pulang ke negaranya. Mereka


memohon bantuan ke saudara Lauren. Mereka setuju, tetapi
karena mereka tahu bahwa Taylor sedang mendapat kekayaan
abadi maka saudaranya ingin meminta separuh kekayaannya
Taylor.

“Cepat, aku tak mau mati sekarang, tolonglah kami sedang


dikejar, nanti akan aku kasih kekayaan itu padamu setelah aku
mati,” ucap Taylor ia berkata demikian karena sangat panik
dengan kejaran para pembunuh.

Semua orang sedang mengejar Taylor dan istrinya. Mereka


dikejar karena pastinya akan menghancurkan tatanan dunia.
Karena sejatinya mereka hanya orang biasa dan semua orang
tak akan sudi jika mereka menjadi orang berkuasa dan bisa
mengatur dunia sepuas mereka. Mereka tahu bahwa Taylor
hanya orang bodoh yang maruk. Nyatanya ia berani
menyerahkan bayinya kepada bangsa Agatha. Sekarang kita
tahu bahwa tujuan Taylor untuk menjadi pemimpin sudah
lenyap begitu saja. Kenyataan hidupnya sekarang berubah
180°. Awalnya ia ingin menikmati kekayaannya itu tetapi
karena orang – orang melihatnya sebagai orang egois maka
tak ada lagi yang percaya dengannya.

Dua puluh tahun kemudian, terlihat dunia Agatha yang indah


dan subur. Di sana ada sebuah kota. Kota itu diselimuti oleh
bunga – bunga yang bebas bermekaran kapan saja. Kota itu
disebut Saranjana. Cahaya matahari menyinari kota itu
membuat sebuah mata hijau berkilauan di atas gedung pusat
kota. Terdapat seorang anak yang dihormati dengan parasnya
yang cantik, rambutnya yang pirang. Namanya Renoir Gress.
Sayangnya, satu matanya buta. Matanya yang buta itu diambil
untuk sumber energi bagi dunia Agatha. Mata itu membuat
dunia Agatha menjadi subur dan subur. Kekuatan itu berlaku
selamanya sampai anak itu meninggal.

“Kehidupanku hanya disambut oleh orang – orang ini, tak


bisakah aku mengetahui jati diriku?” gumam Renoir.

Semakin lama ia di Agatha, semakin penasaran ia dengan


dirinya. Mengapa ia berbeda dengan yang lain. Dia
mempunyai mata hijau sedangkan yang lain hitam. Perbedaan
ciri itu membuatnya heran. Jadi, ia mulai mencari tahu
siapakah dirinya dan asal dirinya. Ia bertanya kepada
pengawalnya, awalnya ia tak mau memberitahu kepada
Renoir. Tapi, sepertinya Renoir ingin mengetahui kebenaran
atas dirinya. Jadi pengawalnya yang memberitahu semuanya
kepadanya.

“Kamu tahu tidak siapa orang tuamu?” pertanyaan aneh dari


Sang Pengawal.

“Apa arti orang tua itu?” baliklah Renoir bertanya kepada


pengawalnya.

Pengawalnya heran dengan polosnya seorang anak 20 tahun


itu. Orang tua itu yang melahirkan mu. Taylor berpikir jika ia
hanya diciptakan oleh bangsa ini namun bukan dilahirkan.
Terkejutnya Taylor, ternyata dia memiliki orang tua. Dan kata
terakhir yang terucap oleh pengawalnya itu membuatnya
menangis.

“Kau bukan berasal dari Agatha,” ujar pengawal.

Hidungnya tersumbat, matanya berkaca – kaca saat


mengetahui ternyata ia memiliki keluarga di sana. Ia
menyalahkan atas dirinya karena meninggalkan keluarganya.
Namun, pengawalnya menjelaskan jika bukan salahnya
berada di Agatha. Tetapi, ayahmu lah yang memberimu
kepada bangsa kami. Akhirnya, Renoir mengetahui semua
kebenaran – kebenaran itu. Bukan amarah yang ia dapatkan
tetapi kesedihan karena ia telah meninggalkan orang tuanya di
sana. Saat ini keinginannya hanya ingin bertemu kedua orang
tuanya. Renoir benar – benar memohon kepada Sang
Pengawal untuk bertemu orang tuanya. Renoir mengancam
kepada pengawalnya jika tidak menurutinya maka akan
mendapat tuduhan jahat.

“Dengan senang hati, Renoir,” Gumam Si Pengawal setia itu.

Benar – benar keseriusannya untuk bertemu orang tuanya itu


ada di dalam dirinya. Renoir berangkat menuju Pulau Arcadia
di bagian timur. Mereka tahu dimana tempat orang tuanya
karena mereka sudah melacak di mana orang tuanya tinggal
sekarang.

Di perjalanan Renoir banyak mendengarkan musik. Ia


mengingat lagi kenangan terakhir dengan orang tuanya.
Renoir mengingat salah satu lagu favorit ayahnya itu, ia tak
sengaja mendengarnya kala itu. Satu kenangan itu yang
membuatnya menangis terus, ia sangat merindukan keadaan
orang tuanya. Walaupun, orang tuanya itu sudah
membuangnya tapi ia tak mempermasalahkan hal itu.
Semakin dekat mereka di bagian timur Pulau Arcadian. Waktu
terus berjalan, mentari mulai menenggelamkan dirinya. Awan
– awan di sana terlihat memerah. Hanya ladang bunga dan
rumput hijau mengarah ke samudera. Berhentilah mereka di
sebuah rumah kecil dari kayu yang sangat rapuh. Turunlah
Renoir dan segera mengetuk pintu. Terbukalah pintu oleh
seorang laki – laki muda berumur 15 tahun bernama Curt
Smith. Ia menyambut Renoir dengan lembut. Curt tau jika
Renoir anak dari ayah angkatnya itu. Curt langsung
menceritakan semua kejadian yang terjadi 10 tahun itu.

Awalnya saat Ibunya Renoir yang terbunuh dari pengejaran


polisi hanya untuk melindungi Taylor. Ia benar – benar
frustrasi karena kejadian yang menimpanya. Taylor berpikir
bahwa ini kutukan dari bangsa Agatha tapi ia menyadari
bahwa semua ini kesalahan atas keegoisannya. Taylor
memutuskan untuk mengelilingi dunia mencari tempat yang
aman sebagai tempat tinggalnya namun semuanya gagal.
Akhirnya, Taylor memutuskan tinggal di Pulau Arcadian dan
menunggu pulang putri tersayang nya itu alias Renoir.
Penghabisan masa tuanya itu penuh dengan penyesalan.
Taylor setiap hari memohon kepada Tuhan – Nya agar
putrinya bisa kembali menemuinya. Di sana Taylor tinggal
sendiri selama 2 tahun, ia sangat kesepian. Di satu waktu
Taylor bertemu dengan anak kecil berusia 7 tahun dengan
kehidupannya yang sebatang kara. Belas kasihannya muncul
melihat anak itu dan megangkatnya sebagai anak angkatnya. 8
tahun itu Curt gunakan untuk membalas budi kepada perilaku
Taylor yang baik padanya. Curt sangat setia dan rela merawat
Taylor di akhir hidupnya.

Renoir ingin berbicara secara langsung dengan Ayahnya tapi


ia sudah terlalu tua untuk itu. Ayahnya tak bisa berbicara
bahkan berdiri pun susah. Renoir ingin berbincang tentang
kehidupannya di Agatha bersama ayahnya. Ia ingin
berinteraksi selayaknya anak yang lain. Renoir ingin
merasakan kehangatan seorang ayah. Tetapi, kata – kata
ayahnya tak akan pernah terdengar lagi. Renoir menyentuh
rambut ayahnya yang putih dan tipis ia bergelimang air mata,
ia mengucapkan kata – kata yang selama ini pendam,
kesedihannya berluap – luap. Benar – benar hari tersedih
untuknya.

“Peluklah aku di akhir hidupmu, Taylor,” Kata yang muncul


dari mulut Renoir.
Renoir melihat mata ayahnya yang mengeluarkan air mata dan
memaksa untuk bicara sepatah kata, “Janjiku sudah
terpenuhi,” sebuah kata yang terbata – bata keluar dari mulut
ayahnya.

Tangan Taylor mengangkat dan memeluk Taylor. Untuk


selamanya, akhirnya ia meninggalkan Renoir. Pelukan hangat
yang terakhir kalinya akan Renoir rasakan sudah hilang begitu
saja.

Renoir mengajak Curt keluar dari rumah itu. Indahnya


keadaan Pulau Arcadian membuatnya menangis. Semua cerita
kehidupan ayahnya sudah terdengar olehnya. Ia mengetahui
jika janji yang ayahnya amalkan kepada Tuhan – Nya benar –
benar terwujud sekarang. Renoir berharap ayahnya tenang di
sana.

Anda mungkin juga menyukai