Anda di halaman 1dari 36

Nilai :

LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNIK PENANGANAN HASIL PERTANIAN
(Penetapan Modulus Kehalusan (Fineness Modulus) Tepung)

Oleh :
Nama : Ati Syakira Khifni
NPM : 240110200102
Hari, Tanggal Praktikum : Senin, 10 Oktober 2022
Waktu/Shift : 07.30 – 09.30 WIB/B1
Asisten Praktikum : 1. Andri Permana
2. Afifah Tri Novita
3. Farellya Asyifa
4. Khalish Gefalro
5. M. Nashir Effendy

LABORATORIUM PASCA PANEN DAN TEKNOLOGI PROSES


DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADARAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertanian merupakan salah satu sektor kunci perekonomian dan sektor
terbesar yang menunjang penghidupan masyarakat Indonesia. Permasalahan yang
banyak terjadi di lapangan salah satunya adalah masalah penyimpanan hasil
pertanian. Di dalam ruang lingkup kehidupan pertanian, pada umumnya bahan
hasil pertanian yang dihasilkan merupakan bahan yang berbentuk zat padat,
dimana cara penanganan benda pada umumnya sulit untuk diaplikasikan karena
benda yang cukup keras, dan memiliki ukuran yang agak besar-besar bersamaan
dengan bentuk yang tidak beraturan, sehingga sering kali bahan dari hasil
pertanian tersebut selalu saja menjadi bahan yang paling memakan tempat yang
cukup luas dan membuat penyimpanannya sulit jika dalam jumlah bahan yang
banyak.
Salah satu solusi untuk meningkatkan penaganan pasacapanen pertanian
dalam hal penyimpanan adakah dengan melakukan pengecilan ukuran.
Penggunaan mesin pengecilan ukuran akan lebih mudah dilakukan dan lebih
murah secara ekonomis jika dilakukan secara manual. Operasi pengecilan ukuran
merupakan salah satu perlakuan pendahuluan yang dapat mempermudah proses-
proses penanganan pascapanen yang lebih lanjut. Salah satu metode yang
digunakan untuk penentuan kinerja atau performansi mesin pengecil ukuran pada
penggilingan biji-bijian adalah penetuan fineness modulus (modulus kehalusan).
Fineness modulus sangat penting dipelajari agar kita dapat mengetahui
keseragaman suatu bahan yang nantinya dapat mempengaruhi hasil olahan.
Misalnya tepung yang merupakan salah satu olahan dari beras. Proses
mendapatkan nilai fineness modulus dapat dilakukan dengan menggunakan
metode pengayakan dan alat ayakan tyler. Pengayakan biasanya, merupakan
proses yang banyak digunakan pada bahan baku berupa tepung. Proses yang
dilakukan dalam pengayakan, dapat membuat butiran-butiran tepung tersebut
terpisah dari sejumlah kontaminasi dan ukuran yang belum sempurna.
1.2 Tujuan Praktikum
Penanganan pascapanen Bahan Hasil Pertanian (BHP) harus dilakukan
dengan baik dan benar agar BHP dapat sampai kepada tangan konsumen dengan
kualitas yang baik pula. Salah satu BHP yang banyak disoroti di Indonesia adalah
beras. Beras merupakan komoditas vital bagi Indonesia, hal ini dapat dilihat dari
ketergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia akan komoditas ini sebagai
makanan pokok. Tidak heran jika tiap waktu beras selalu menjadi sorotan
baik
dari segi kualitas ataupun kuantitasnya.
Penanganan pascapanen Bahan Hasil Pertanian (BHP) harus dilakukan
dengan baik dan benar agar BHP dapat sampai kepada tangan konsumen dengan
kualitas yang baik pula. Salah satu BHP yang banyak disoroti di Indonesia adalah
beras. Beras merupakan komoditas vital bagi Indonesia, hal ini dapat dilihat dari
ketergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia akan komoditas ini sebagai
makanan pokok. Tidak heran jika tiap waktu beras selalu menjadi sorotan
baik
dari segi kualitas ataupun kuantitasnya.
Penanganan pascapanen Bahan Hasil Pertanian (BHP) harus dilakukan
dengan
kualitasbaik
yangdan
baikbenar
pula.agar BHP
Salah satudapat
BHP sampai kepada
yang banyak tangandikonsumen
disoroti Indonesiadengan
adalah
beras. Beras merupakan komoditas vital bagi Indonesia, hal ini dapat dilihat dari
ketergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia akan komoditas ini sebagai
makanan pokok. Tidak heran jika tiap waktu beras selalu menjadi sorotan
baik
dari segi kualitas ataupun kuantitasnya.
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengukur dan mengamati
pengecilan ukuran dengan mengkaji performansi mesin dan rendemen hasil
pengecilan ukuran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fineness Modulus


Modulus kehalusan merupakan suatu indeks yang dipakai untuk ukuran
kehalusan atau kekasaran butir-butir agregat. Modulus kehalusan butir
didefinisikan sebagai jumlah persen kumulatif sisa saringan diatas ayakan dibagi
100. Ayakan- ayakan yang digunakan dalam satu set ini adalah ayakan berukuran
3/8 inci, 4 mesh, 8 mesh, 14 mesh, 28 mesh, 48 mesh, dan 100 mesh. Derajat
kehalusan (fineness modulus) dan indeks keseragaman menunjukkan keseragaman
hasil giling atau penyebaran fraksi halus dan kasar dalam hasil giling. Derajat
kehalusan adalah jumlah berat fraksi yang tertahan pada setiap saringan dibagi
100.
Nilai dari modulus kehalusan didapatkan dari hasil pengujian analisa
saringan di laboratorium. Makin besar modulus kehalusan agregat menunjukkan
bahwa semakin besar pula ukuran butir-butir agregatnya sehingga jumlah bahan
pengikat yang diperlukan akan semakin sedikit. Modulus kehalusan butir
digunakan untuk menentukan pembagian butir (gradasi) agregat halus dan agregat
kasar dengan menggunakan analisa saringan. Analisa saringan agregat ialah
penentuan berat butiran agregat yang lolos dari satu set saringan (Besouw, 2019).

(Gambar 1. Tabel Perhitungan Modulus Kehalusan


(Sumber : Widyasanti, A & Nurjanah, S. 2016)

2.2 Karakteristik Ukuran


Performansi dari mesin pengecil ukuran ditinjau dari kapasitas, daya yang
diperlukan per satuan bahan yang dikecilkan, ukuran dan bentuk bahan sebelum
dan sesudah dikecilkan.Secara teoritis, untuk memudahkan perhitungan, maka
bahan hasil pertanian dianggap memiliki bentuk geometris tertentu, diantaranya
bentuk kubus, bulat, atau bentuk geometris lainnya. Tujuan lain mempelajari sifat
fisik bahan adalah memudahkan dalam proses pengecilan ukuran. Metode yang
paling mudah digunakan dalam pembagian ukuran partikel adalah metoda ayakan.
Ayakan yang digunakan adalah ayakan Tyler dan diadopsikan oleh U.S.Bureau of
Standards.
Ukuran ayakan dikenal dengan istilah mesh yaitu jumlah lubang ayakan
dalam satu inchi persegi. Teknik pengayakan telah distandarkan. Metode dan
waktu pengayakan perlu diperhatikan. Mesin pegayak yang digunakan bernama
Ro-Tap, mesin ini merupakan mesin penggetar yang memiliki gerakan stabil dan
waktu pengayakan dapat diatur. Standar prosedurnya adalah menggunakan sampel
sebanyak 250 g yang telah dikeringkan pada suhu 100°C sampai berat konstan
dan diayak dengan Ro-Tap selama 5 menit. Partikel setelah mengalami pengecilan
ukuran, menurut (Suhadi, 2005) partikel yang dihasilkan dapat dibagi kedalam
tiga tingkatan ukuran, yaitu:
1. Partikel Ukuran Kasar, partikel bahan hasil pengecilan ukuran dapat diukur
dengan mudah dan mudah dilihat dengan mata telanjang. Tingkatan ukuran
partikel ini lebih dari 1/8 inchi. Contoh: potongan buah kaleng.
2. Partikel Ukuran Saringan/Ayakan, partikel bahan hasil pengecilan ukuran
berukuran 0,125 sampai 0,0029 inci dapat dikatakan sebagai bahan pangan
ini berukuran saringan/ayakan. Contoh: gula pasir.
3. Partikel Ukuran Mikroskopis, partikel dikatakan berukuran mikroskopis jika
partikel tersebut berukuran lebih kecil dari 0,0029 inci. Misal debu, tepung,
dan lain-lain (Suhadi, 2005).

2.3 Ayakan Tyler

Menurut (Lachman, 1989), teknik pengayakan yang dilakukan tentunya


memiliki tujuan dalam pembuatan suatu sediaan farmasi. Untuk mendapatkan
ukuran partikel yang diinginkan maka terdapat beberapa standar ayakan yang biasanya digunaka

adalah Standar Amerika, Standar Tyler dan Standar menurut United States
Pharmacopeia (USP). Mengayak adalah metode yang paling umum digunakan untuk mengukur distrib
digunakan untuk memperpanjang batas bawah sampai 10 mikron.

Sebuah ayakan terdiri dari suatu panci dengan dasar kawat kasar dengan
lubang – lubang segi empat. Di Amerika Serikat digunakan dua standar ayakan. Pada skala standar Ty
mempunyai 200 lubang pada setiap 1 inci, yaitu 200 mesh. Skala Standar Amerika
yangdianjurkanolehBiroStandarNasionalumumnyamenggunakan perbandingan, tetapi didasarkan pa

2.4 Tepung
Pati merupakan komponen utama yang membentuk tekstur pada produk
makanan semi-solid. Jenis pati yang berbeda akan memiliki sifat yang berbeda
dalam pengolahan. Sifat thickening (mengentalkan) dan gelling (pembentuk gel)
dari pati merupakan sifat yang penting dan dapat memberikan karakteristik
sensori produk yang lebih baik. Sifat-sifat ini memiliki efek teknologi dan fungsi
yang penting dalam proses, baik di tingkat industri maupun persiapan makanan di
dapur. Tepung dan pati yang umum digunakan berasal dari beras, ketan, terigu
dan singkong.
Berbagai macam tepung atau pati memberikan sifat yang berbeda pada
bahan makanan. Tepung beras membentuk tekstur yang lembut, tetapi tidak
lengket saat dimasak. Pati beras memberikan tampilan opaque atau tidak bening
setelah proses pemasakan. Tepung beras ketan adalah tepung yang terbuat dari
kultivar beras yang mengandung sejumlah besar amilopektin. Pada kue-kue
tradisional Indonesia, tepung ketan digunakan untuk menghasilkan produk-produk
yang kenyal dan agak lengket. Tepung ketan memiliki viskositas yang lebih tinggi
dan memiliki granula pati yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan tepung
beras. Pati gandum memiliki viskositas suhu panas yang rendah dan menghasilkan
gel berwarna opaque dan mudah putus. Tepung tapioka merupakan tepung yang
berasal dari umbi yang banyak digunakan di Indonesia. Tepung ini diproduksi dari
umbi tanaman singkong, mengandung 90 persen pati berbasis berat kering
(Imanningsih, 2012).

2.5 Pengayakan
Pengayakan atau Screening merupakan pemisahan berbagai campuran
partikel padatan yang mempunyai berbagai ukuran bahan dengan menggunakan
ayakan. Proses pengayakan juga digunakan sebagai alat pembersih, pemisah
kontaminan yang ukurannya berbeda dengan bahan baku. Pengayakan
memudahkan kita untuk mendapatkan pasir dengan ukuran yang seragam. Dengan
demikian pengayakan dapat didefinisikan sebagai suatu metoda pemisahan
berbagai campuran partikel padat sehingga didapat ukuran partikel yang seragam
serta terbebas dari kontaminan yang memiliki ukuran yang berbeda dengan
menggunakan alat pengayakan.
Pengayakan dengan berbagai rancangan telah banyak digunakan dan
dikembangkan secara luas pada proses pemisahan butiran – butiran berdasarkan
ukuran. pengayakan yaitu pemisahan bahan berdasarkan ukuran mesin kawat
ayakan, bahan yang mempunyai ukuran lebih kecil dari diameter mesin akan lolos
dan bahan yang mempunyai ukuran lebih besar akan tertahan pada permukaan
kawat ayakan. Bahan-bahan yang lolos melewati lubang ayakan mempunyai
ukuran yang seragam dan bahan yang tertahan dikembalikan untuk dilakukan
penggilingan ulang (Sudjaswadi, 2002).

2.6 Mekanisme Pengayakan


Hasil penghancuran bahan-bahan untuk dianalisis dapat dilakukan dengan
ayakan standar yang disusun secara seri dalam satu tumbukan, pada bagian bawah
dari tumbukan susunan ayakan ditempatkan pan sebagai penampung produk akhir.
Penyusunan ayakan dimulai dari ayakan yang mempunyai ukuran mesh
kawatlebih besar sampai ke ukuran mesh yang lebih kecil. Penyaringan dengan
lubang tetap tipe ini merupakan lapisan yang bersifat permanen dengan badan
pengayakan yang terdiri dari lubang-lubang dengan bentuk dan ukuran yang tetap.
Berbagai jenis bahan yang digunakan untuk pengayak seperti ini tergantung pada
aplikasinya misalnya lembaran logam berlobang, susunan kawat-kawat
membentuk lubang-lubang dengan berbagaiukuran kain, dan tenunan sutra.
Pergerakan bahan pangan diatas pengayak dapat dihasilkan oleh pergerakan
berputar atau gerakan dari rangka yang menyangga badan pengayak (Witdarko,
2015).

2.7 Jenis-jenis Pengayakan


2.7.1 Screener
Screener berfungsi untuk menyingkirkan partikel-partikel pellet atau
butiran dari ukuran yang terlalu kecil atau terlalu besar dari standar. Bahan pellet
setelah proses cooling (pendinginan), lalu crumbling (pemecahan menjadi butiran)
dantransfer akan menghasilkan ukuran yang tidak sesuai standar (bentuk tepung
dankasar). Screener berfungsi sebagai pengayak yang di dalamnya mempunyai 2
lapis screen (saringan) yang disusun berlapis dimana screen bawah berukuran
kecil danscreen atas berukuran besar. Ukuran partikel yang dikehendaki adalah
yang tidak lolos dari screen bawah dan lolos dari screen atas karena bahan pellet
masuk pertama kali ke dalam screener melalui screen atas. Ukuran bahan yang
terlalu besar yaitu yang tidak bisa lolos ke screen bawah akan dikirim kembali
kecrumbler untuk pemecahan ulang.
Terdapat dua jenis tipe gerakan screener yaitu roto shaker dimana alat
bergoyang dari satu titik, jenis lainnya vibrator dimana alat bergetar di 4 sisi.
Ukuran screen ditentukan sebagai satuan mesh, misalnya mesh 5 berarti dalam
satu luasan inchi terdapat 5 lubang ke samping dan 5 lubang ke bawah (total 25
lubang per inch). Screener terbaik diletakkan di lantai teratas dari konstruksi
feedmill dan hasil pilahannya langsung menuju kebin produk. Screener model
lama biasa ditempatkan di basement dan hasil pilahannya masih harus ditransfer
ke lantai atas sebelum masuk ke bin produk. Cara terakhir ini lebih membuka
peluang untuk bahan kembali pecah dan meningkatkan kadar tepung (Kusnanto,
2017).

2.7.2 Pengayak Berbadan Datar (Flat Bad Screen)


Pengayak jenis ini bentuknya sangat sederhana, banyak ditemukan diareal-
areal pertanian, saat proses sortasi awal dari kentang, wortel dan lobak. Alat
pengayak datar ganda digunakan secara luas dalam proses sortasi
berdasarkanukuran dari bahan baku (seperti biji-bijian dan kacang-kacangan) juga
digunakandalam proses pengolahan dan produk akhir seperti tepung jagung. Alat
pengayak datar secara umum terdiri dari satu atau lebih lembaran pengayak
yangdipasangbersama-sama dalam sebuah kotak yang tertutup rapat,
pergeralannyadapat menggunakan berbagai alat. Alat tersebut terbuat dari bola-
bola runcing dari karet yang keras, yang diletakkan antara lembaran-lembaran
pengayak. Memiliki fungsi untuk meminimumkan kerusakan akibat pergesekan
antaralubang-lubang pengayak dengan partikel bahan yang halus (Kusnanto,
2017).

2.7.3 Pengayak Drum


Pengayak drum dan alat yang digunakan pada proses sortasi
berdasarkanukuran bentuk untuk kacang polong, jagung, kacang kedelai dan
kacang lainnyayang sejenis. Bahan pangan tersebut akan menahan gerakan jatuh
berguling yangdihasilkan oleh rotasi drum. Alat sortis drum biasanya diperlukan
untuk memisahkan bahan pangan ke dalam dua atau lebih aliran, karena itu
dibutuhkandua atau lebih tingkatan pengayak (Kusnanto, 2017).

2.7.4 Sieving Vertical


Sieving vertical atau mesin sieving adalah perangkat yang sangat
diperlukan beberapa tahun yang lalu dan juga pada hari-hari sekarang di hari
keluar dalam proses industri dan perdagangan. Sebuah analisis akurat sebelumnya
yang dilakukan terhadap bahan baku tertentu, aditif dan persediaan melalui mesin
pengayak, relatif diperlukan dan merupakan premis penting untuk mencapai hasil
yang benar dan untuk menghasilkan produk yang sempurna. Mesin sieving
memberikan presisi dan fungsi yang tinggi selama analisis produk dengan cara
sieving.
Mesin pengayak sieving diaplikasikan untuk jeni-jenis bahan yang
berukuran partikel cukup kecil. Mesin sieving menganalisa berbagai material dan
bahan dengan portofolio yang meliputi pasir, tanah dan bahan bangunan serta
makanan seperti tepung dan produk kimia. mesin sieving, bahan atau material
dapat dipisahkan melalui wire mesh, karena partikel yang lebih kecil dipisahkan
oleh lebar mesh yang berbeda dari partikel yang lebih besar (Kusnanto, 2017).
BAB III
METODOLOGI PENGAMATAN DAN PENGUKURAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Praktikum
Peralatan yang digunakan pada praktikum ini adalah:
1. Ayakan Tyler, untuk memperoleh bahan yang paling halus;

2. Stopwatch, untuk mengatur waktu saat pengayakan;


3. Timbangan, untuk menimbang bahan; dan
4. Wadah plastic, untuk menyimpan bahan.
3.1.2 Bahan Praktikum
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah:
1. Tepung terigu

2. Tepung beras

3. Tepung tapioka

4. Tepung Tiwul hasil praktikum

3.2 Prosedur Praktikum


Prosedur yang dilakukan pada praktikum ini adalah:
1. Bahan disiapkan sebanyak 200 gram untuk masing-masing jenis tepung;
2. Mesin dinyalakan dan bahan dimasukkan;

3. Produk yang dihasilkan diletakkan pada ayakan teratas, ayakan ditutup dan
pan diletakkan pada bagian bawah, ayakan digoyangkan selama 10 menit,
lalu dilakukan 2 kali ulangan;
4. Produk yang dihasilkan ditimbang dalam setiap ayakan; dan
5. Fineness modulus ditentukan dengan persamaan :

FM =

6. Diameter rata-rata (D) dihitung dengan cara :

D =0,0041 (2) =¿ FM

7. Geometric Mean Diameter (Dgw) dihitung dengan cara:


Σ (W ×logd )
Dgw=log
− massabahantertinggal1 kumulatif
1 (mesh100) )
8. Geometric Standar Deviation (Sgw) dihitung dengan cara:

(
Sgw= log
−1
| Σ W 1 ( log d1−logDgw )

) 1

ΣW1 |
9. Buat plot grafik:
a. % bahan tertinggal kumulatif vs. log ukuran ayakan.
b. % bahan lewat vs. ukuran ayakan.
c. Gradient % bahan lewat vs. ukuran ayakan.

BAB IV
HASIL PERCOBAAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Data Hasil Pengayakan Tepung Tapioka

Mesh Diameter Bahan TertinggalTertingga Faktor Hasil Bahan Lewat


Lubang l
d1 W1 Kumulatif Pengali (g)
Log d1 x 100%
(mm) (gr) (%) gr %
0.002
20 0.841 -0.075 0.001 0.00050 0.00050 5 200.122 99.9995
5
0.002
40 0.420 -0.377 0.001 0.00050 0.0010 4 200.121 99.9990
0.000
50 0.297 -0.527 0.001 0.00050 0.0015 3 1 200.120 99.9985
5
70 0.210 -0.678 0.07 0.03498 0.0365 2 0.070 200.050 99.9635
0
100 0.149 -0.827 0.24 0.11993 0.1564 1 0.119 199.810 99.8436
Pan 199.81 99.8436 100 0 9
0 0
Total 200.123 100 0
0.196

Tabel 2. Data Hasil Pengayakan Tepung Terigu

Diameter Bahan
Tertinggal Bahan Lewat
Mesh d1 Lubang Tertinggal Faktor Hasil
W1 x Kumulatif Pengali (g)
Log d1 gr %
(mm) (gr) 100% (%)
20 0.841 -0.075 0.06 0.028 0.028 5 0.1500 211.407 99.972
40 0.420 -0.377 0.01 0.005 0.033 4 0.0200 211.397 99.967
50 0.297 -0.527 0.09 0.043 0.076 3 0.270 211.307 99.924
70 0.210 -0.678 0.13 0.061 0.137 2 0.260 211.177 99.863
100 0.149 -0.827 42.84 21.418 21.555 1 21.4180 168.341 79.606
Pan 168.341 79.606 100 0 0 0 0
Total 211.467 100 21.853

Tabel 3. Data Hasil Pengayakan Tepung Beras

Diameter LubangBahan Tertinggal Tertinggal Bahan Lewat


Kumulatif Faktor Hasil
Mesh d1 W1 x
Log d1 (%) Pengali (g) gr %
(mm) (gr) 100%
20 0.841 -0.075 0.001 0.0005 0.0005 5 0.0025 202.703 99.9995
40 0.420 -0.377 0.001 0.0005 0.0010 4 0.0020 202.702 99.9990
50 0.297 -0.527 0.001 0.0005 0.0015 3 0.0015 202.701 99.9985
70 0.210 -0.678 0.001 0.0005 0.0020 2 0.0010 202.700 99.9980
100 0.149 -0.827 0.76 0.3749 0.3769 1 0.3749 201.940 99.6231
Pan 201.94 99.623 100 0 0 0 0
Total 202.704 100 0.382

Tabel 4. Data Hasil Pegayakan Tepung Tiwul

Diameter LubangBahan Tertinggal Tertinggal Bahan Lewat


Kumulatif Faktor Hasil
Mesh d1 W1 Pengali (g)
Log d1 x 100% gr %
(mm) (gr) (%)
20 0.841 -0.075 0.58 0.29 0.29 5 1.4500 199.95 99.71
40 0.420 -0.377 0.94 0.47 0.76 4 1.8800 199.01 99.24
50 0.297 -0.527 2.56 1.28 2.03 3 3.8400 196.45 97.97
70 0.210 -0.678 3.73 1.86 3.89 2 3.7300 192.72 96.11
100 0.149 -0.827 6.65 3.32 7.21 1 3.3250 186.07 92.79
Pan 186.07 92.79 100 0 0 0 0
Total 200.53 100 14.225

4.2 Perhitungan
4.2.1 Perhitungan Tepung Tapioka
1. Pengayakan Tepung
W1
a. BT Mesh 20 = x 100%
mawal
0,001 gr
= x 100%=¿0,0005%
200 gr

b. BT Mesh 40 = W1
x 100%
mawal
0,001 gr
= x 100%=¿0,0005%
200 gr
W1
c. BT Mesh 60 = x 100%
mawal
0,001 gr
= x 100%=¿0,0005%
200 gr
W1
d. BT Mesh 70 = x 100%
mawal
0,070 gr
= 200 gr x 100%=¿0,03498%
W1
e. BT Mesh 100 = x 100%
mawal
0,240
gr x 100%=¿0,11993%
=
100 gr
2. Fineness Modulus

FM =
0,196
=
100
FM = 0,00196

3. Diameter rata-rata
D = 0,0041(2)FM

D = 0,0041 (2)0,00196

D = 0,00411 inch = 0,1041 mm

4. Geometric Mean Diameter (Dgw)


Σ (W ×logd )
Dgw=log
− massabahantertinggal1 kumulatif
1 (mesh100) )
−0,24686
=log
−1
( 0,313 )
= 0,163

5. Geometric Mean Deviation (Sgw)

Sgw lo

|
1 Σ 1 ( log 1−

Σ
logDgw
1/
)
|
= log−1
(0,151 ) =1,002
| |
200,12

4.2.2 Perhitungan Tepung Terigu


1. Pengayakan Tepung
W1
a. BT Mesh 20 = x 100%
mawal
0,06
= x 100%=¿0,03%
200
W1
b. BT Mesh 40 = x 100%
mawal
0,01
= x 100%=¿ 0,005%
200
W1
c. BT Mesh 60 = x 100%
mawal
0,09
= x 100%=¿0,045%
200
W1
d. BT Mesh 70 =
x 100%
mawal
0,13
= x 100%=¿0,065%
200
W1
e. BT Mesh 100 = x 100%
mawal
42,84
= x 100% =¿ 21,418%
200

2. Fineness Modulus

FM =
21,853
= 100= 0,21853

3. Diameter rata-rata
D = 0,0041(2)FM

= 0,0041 (2)0,21853

D = 0,00477 inci = 0,1210 mm


4. Geometric Mean Diameter (Dgw)

−1 Σ (W 1×logd1 )
Dgw=log

( (
massa bahantertinggal kumulatif

) (mesh 100)

= log
−1 −35,56124
43,126 = 0,150
)
|
5. Geometric Mean Deviation (Sgw)
1/ 2

Sgw=log
−1
(
Σ W 1 ( log d1−logDgw )
ΣW1
) |
−1
| 0,581
¿ log 211,46 = 1,006 |
4.2.3 Perhitungan Tepung Beras
1. Pengayakan Tepung
W1
a. BT Mesh 20 = x 100%
mawal
0,001
= x 100%=¿0,0005%
200

b. BT Mesh 40 = W1
x 100%
mawal
0,001
= x 100%=¿0,0005%
200
W1
c. BT Mesh 60 = x 100%
mawal
0,001
= x 100%=¿0,0005%
200
W1
d. BT Mesh 70 = x 100%
mawal
0,001
= 200 x 100%=¿0,0005%
W1
e. BT Mesh 100 = x 100%
mawal
0,760
= x 100% =¿ 0,38%
200
2. Fineness Modulus

FM =
0,397
FM =
100
FM = 0,00397

3. Diameter rata-rata
D = 0,0041(2)FM

= 0,0041 (2)0,00397

D = 0,004111 inci = 0,1043 mm

4. Geometric Mean Diameter (Dgw)


Σ (W ×logd )
Dgw=log
− massabahantertinggal1 kumulatif
1 (mesh100) )
−0,63004
= log
−1
( 0,764 )
= 0,150

5. Geometric Mean Deviation (Sgw)


0,078
| |
−1
Sgw=log = 1,001
202,70

4.2.4 Perhitungan Tepung Tiwul


1. Pengayakan Tepung
W1
a. BT Mesh 20 = x 100%
mawal
0,58
= x 100% =¿ 0,29%
200
W1
b. BT Mesh 40 = x 100%
mawal
0,94
= 200 x 100% = 0,47%
W1
c. BT Mesh 60 = x 100%
mawal
2,56
= x 100% = 1,28%
200
W1
d. BT Mesh 70 = x 100%
mawal
3,73
= x 100% = 1,8650%
200
W1
e. BT Mesh 100 = x 100%
mawal
6,65
= x 100% = 3,3250%
200
2. Fineness Modulus

FM =
14,223
=
100
FM = 0,1423

3. Diameter rata-rata
D = 0,0041(2)FM
= 0,0041 (2)0,1423

D = 0,00452 inci = 0,1148 mm

4. Geometric Mean Diameter (Dgw)

(
Σ (W 1 ×logd1 )
)
−1
Dgw=log
massabahantertinggal kumulatif (mesh100)

= ¿ log
−1
( −9,77394
14,460 )= 0,211

5. Geometric Mean Deviation (Sgw)

Sgw lo
− |
1 Σ 1 ( log
ΣW1
1− logDgw
1/
) |
1,738
| |
−1
= ¿ log = 1,020
200,53

4.3 Grafik

4.3.1 Grafik Tepung Tapioka


4.3.1.1 Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan
Hubungan % Bahan kumulatif tertinggal dengan
log ukuran ayakan
0
00.050.10.150.2
-0.1

n -0.2 Hubungan % Bahan kumulatif


a
ka -0.3 tertinggal dengan log ukuran ayakan
y
a n -0.4 Linear (Hubungan % Bahan kumulatif tertinggal dengan l
a
r
u -0.5
kug
-0.6
o
L
-0.7
-0.8
-0.9

% Bahan kumulatif

4.3.1.2 Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran


ayakan
0.9
0.8
0.7
0.6
n 0.5 Hubungan % bahan lewat
a
k 0.4 dengan ukuran ayakan
a
y 0.3 Linear (Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan)
a
n 0.2
a 0.1
r
u 0
ku
99.8

99.85 99.9 99.95100 100.05

% gradien

4.3.1.3 Hubungan gradien % bahan lewat dengan ukuran ayakan


Hubungan gradiem % dengan ukuran ayakan
0.9
0.8
0.7
0.6

% Hubungan gradiem %
NEI 0.5
D
dengan ukuran ayakan
ARG
0.4 Linear (Hubungan gradiem % dengan ukuran ayakan)
0.3
0.2
0.1

0
00.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14
UKURAN AYAKAN

4.3.2 Grafik Tepung Terigu


4.3.2.1 Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan

Hubungan % bahan kumulatif tertingal dengan


log ukuran ayakan
0
-0.1 0 5 10 15 20 25
-0.2
n -0.3 Hubungan % bahan kumu-
a
k -0.4 latif tertingal dengan log ukuran ayakan
a
y -0.5
a Linear (Hubungan % bahan kumulatif tertingal dengan log ukuran
n -0.6
a -0.7
r
u -0.8
kug
-0.9
o
L

% bahan kumulatif tertinggal


4.3.2.2 Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran


ayakan
1
n
a 0.8
k
a
ya 0.6
n 0.4
a
r 0.2
u
k 0
U
0 5 10 15 20 25

% bahan lewat

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayaka


Linear (Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayaka)

4.3.2.3 Hubungan gradien % bahan lewat dengan ukuran ayakan

Hubungan gradien % bahan lewat dengan


ukuran ayakan
0.9
0.8
n 0.7
a 0.6
k
a
y 0.5
a
n
0.4
a 0.3
r
u 0.2
kU
0.1
0
99.699.6599.799.7599.899.8599.999.95100100.05
gradien % bahan lewat

Hubungan gradien % bahan lewat dengan ukuran ayakan


Linear (Hubungan gradien % bahan lewat dengan ukuran ayakan)
4.3.3 Grafik Tepung Beras
4.3.3.1 Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan

Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan


log ukuran ayakan
00 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4
n -0.1
a -0.2
k
a -0.3
y
a -0.4
n
a -0.5
r
u -0.6
kug
-0.7
o -0.8
L -0.9

% Bahan kumulatif tertinggal

Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan


Linear (Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan)

4.3.3.2 Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran


ayakan
0.9
0.8
n 0.7
a
k 0.6
a
y 0.5
a
n 0.4
a 0.3
r
u 0.2
ku
0.1
0
99.699.6599.799.7599.899.8599.999.95100100.05
% Bahan lewatl

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan


Linear (Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan)
4.3.3.3 Hubungan gradien % bahan lewat dengan ukuran ayakan

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran


ayakan
t 0.9
a 0.8
w
e
ln 0.76
a
h 0.5
ab 0.4
% 0.3
ne 0.2
i
d
0.1
a
r
g0
99.699.6599.799.7599.899.8599.999.95100100.05
% Bahan lewatl

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan


Linear (Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan)

4.3.4 Grafik Tepung Tiwul


4.3.4.1 Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan

Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan


log ukuran ayakan
0
-0.10 1 2 3 4 5 6 7 8
n
a -0.2
k
a -0.3
y
a -0.4
n -0.5
a
r
u -0.6
k u g-0.7
lo
-0.8
-0.9

% bahan kumulatif tetrtinggal

Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan


Linear (Hubungan % bahan kumulatif tertinggal dengan log ukuran ayakan)
4.3.4.2 Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan


0.9
0.8
0.7
n
a
ka 0.6
y 0.5
a
n 0.4
a
r 0.3
u
ku 0.2
0.1
0
92
93 94 95 96 97 98 99 100 101

% bahan lewat

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan


Linear (Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan)

4.3.4.3 Hubungan gradien % bahan lewat dengan ukuran ayakan

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan


0.9
0.8

n 0.7
a 0.6
k
a 0.5
y
a 0.4
n
a 0.3
r
u 0.2
ku
0.1
0
92
93 94 95 96 97 98 99 100 101

% gradien bahan lewat

Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan


Linear (Hubungan % bahan lewat dengan ukuran ayakan)
BAB V
PEMBAHASAN

Bahan hasil pertanian yang telah dilakukan proses pengecilan ukuran


terutama dalam bentuk butiran kecil halus perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut
yaitu dengan cara melakukan proses pengecilan ukuran dan penghalusan bahan
agar bahan pangan menjadi lebih halus dan mudah digunakan. Praktikum kali ini
adalah melakukan proses pengolahan bahan hasil pertanian yaitu pengayakan dan
melakukan kegiatan mengukur ketetapan nilai modulus kehalusan dari bahan
pangan yaitu tepung, agar dapat diketahui kehalusan nilai tepung melalui
pengeamatan dan perhitungan nilai modulus kehalusan. Pengayakan tersebut
bertujuan untuk memisahkan bahan hasil pertanian yang bentuk umumnya
berbentuk bubuk besar dengan bubuk kecil sesuai permintaan. Fineness modulus
atau modulus kehalusan merupakan banyaknya fraksi bahan yang tertinggal dalam
setiap ayakan. Semakin tinggi nilai modulus kehalusan suatu bahan, maka ukuran
bahan tersebut semakin besar dan bahan tersebut semakin kasar. Tingkat
kehalusan suatu bahan dapat diketahui dengan menggunakan ayakan tyler.
Pengukuran derajat kehalusan ini sangat penting untuk dilakukan, karena
derajat kehalusan adalah salah satu indikator penting dalam proses pengecilan
bahan hasil pertanian, dimana dengan mengetahui nilai derajat kehalusan suatu
bahan, maka bahan tersebut akan lebih mudah untuk dilakukan pengolahan di
tahap berikutnya.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah 3 jenis tepung, yaitu
tepung terigu, tepung beras, dan tepung tapioka. Alat yang digunakan adalah
ayakan tyler. Ayakan tyler yang digunakan pada praktikum ini memiliki 5
saringan mesh dan 1 pan di akhir. Besar mesh setiap saringan adalah 30, 40, 50,
70, dan 100 dimana tiap mesh memiliki ukuran diameter yang berbeda. Dengan
rincian diameter 0,595 mm untuk mesh 30, 0,420 mm untuk mesh 40, 0,297 mm
untuk mesh 50, 0,210 mm untuk mesh 70, dan 0,149 mm untuk mesh 100. Jika
dilihat dari ukuran diameternya maka dapat diketahui semakin besar nilai mesh,
maka ukuran diameter akan semakin kecil dan jumlah dari lubang pada mesh akan
semakin banyak.
Selain mencari nilai bahan yang tertinggal pada tiap mesh, praktikan juga
diminta untuk mencari nilai FM (Fineness Modulus), Dgw (Geometry Mean
Diameter), dan Sgw (Geometric Mean Deviation). Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan didapatkan hasil yang berbeda-beda dari setiap jenis tepung.

Perhitungan dimulai dari tepung tapioka, nilai tepung tapioka didapat nilai FM
yaitu sebesar 0,00196, Dgw 0,163, dan Sgw 1,002.
Bahan tertinggal terukur sejumlah 0,24 gram pada saringan dengan mesh
100. Bahan yang terkumpul kembali di atas pan hanya 199,81 gram. Bahan lewat
pada saringan dengan mesh 100 adalah 199,810 gram. Presentasi bahan tertinggal
kumultatif adalah sebesar 0,1564 % pada saringan dengan mesh 100.
Selanjutnya untuk tepung terigu, pada tepung terigu nilai FM nya adalah
0.021853, 0.150 untuk nilai Dgw, dan 1,006 untuk nilai dari Sgw. Sedangkan
untuk tepung beras didapatkan bahwa nilai dari FM adalah sebesar 0,00397,

kemudian Dgw bernilai 0.1043, dan Sgw bernilai 1,001. Dari data-data yang
sudah didapatkan.jika dibandingkan dengan kedua bahan lainnya tepung tapioka
merupakan tepung yang memiliki derajat kehalusan paling tinggi karena jika
dbandingkan nilai FM dari tapioka adalah yang terkecil bila dibandingkan dengan
kedua tepung lainnya.
Nilai FM berbanding lurus dengan nilai Sgw dan Dgw, karena semakin
besar nilai Sgw dan Dgw maka nilai kehalusan suatu bahan lebih besar dan nilai
modulus kehalusan semakin besar. Nilai rata-rata diameter berbanding lurus
dengan nilai FM, karena semakin besar nilai FM nilai diameter rata-rata yang
didapat lebih besar, dan nilai kehalusan akan lebih besar. Nilai kehalusan dan
indeks kehalusan yang semakin besar artinya memiliki nilai modulus kehalusan
yang baik, dan bahan tersebut memiliki nilai yang baik yaitu seperti tepung beras
dan tepung terigu memiliki nilai modulus kehalusan yang lebih baik dibandingkan
dengan tepung tapioka.
Berdasarkan hasil grafik yang didapat nilai grafik untuk tepung beras yaitu
untuk grafik hubungan % bahan lewat dan gradien % dengan ukuran ayakan tidak
memiliki perubahan grafik. Selain itu nilai regresinya dapat terbaca.
Penggunaan mesin pada proses pengecilan ukuran sangat efisien. Untuk
mendapatkan nilai Fineness Modulus (FM) dapat dilakukan dengan membagi
massa bahan tertinggal kumulatif (mesh 100) dibagi 100, sehingga
didapatkan Fineness Modulus (FM) rata-rata. Pada hasil menunjukan tepung
tapioka merupakan tepung yang paling halus dari tepung yang diujikan. Semakin
besar nilai Modulus Kehalusan (Fineness Modulus) maka semakin besar pula nilai

ukuran rata-rata butiran (kasar). Sehingga nilai Fineness Modulus berbanding


lurus dengan nilai ukuran rata-rata butiran.
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa dambil di praktikum kali ini adalah:


1. Semakin tinggi nilai modulus kehalusan suatu bahan, maka ukuran bahan
tersebut semakin besar dan bahan tersebut semakin kasar;
2. Semakin besar nilai mesh, maka ukuran diameter akan semakin kecil dan
jumlah dari lubang pada mesh akan semakin banyak.;
3. Nilai FM dari tapioka adalah yang terkecil bila dibandingkan dengan
kedua tepung lainnya.; dan
4. Nilai FM berbanding lurus dengan nilai Sgw dan Dgw.

6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada praktikum kali ini adalah diberi waktu
yang sama untuk pengayakan dan jika ada kelompok yang melakukan kesalahan
dan harus diulang kembali sebaiknya dilakukan diakhir agar kelompok lain atau
kelompok berikutnya tidak menunggu teralu lama.
DAFTAR PUSTAKA

Besouw G. V., Mecky R. E., Manoppo, Steve Ch. N., dan Palenewen. 2019.
PENGARUH MODULUS KEHALUSAN AGREGAT TERHADAP

PENENTUAN KADAR ASPAL PADA CAMPURAN JENIS AC-WC. Jurnal


Sipil Statik. 7(4): 481-490.
Henderson, S.M. and R.L. Perry. 1982. Agricultural Process Engineering.
Inc.Westport: The AVI Publishing Company.
Smith, H.P. 1955. Farm Machinery and Equipment Inc. Fourth Edition, New
York: Mc Graw-Hill Book Co.
Suharto. 1991. Manajemen Perawatan Mesin. Rineka Cipta. Jakarta.
Brennan, J.G., J.R. Butlers, N.D. Cowell, dan A.E.V. Lilly. 1974. Food
Engineering Operations. Essex: Applied Science Publisher.

Henderson, 1961. Introduction to Food Engineering. Academic Press. 1988. Inc.,


San Diego, California.
Kusnanto, Aril. 2017. PERANCANGAN MESIN PENGAYAK PASIR DENGAN
KAPASITAS 4 M3 /JAM. Eprints.umm.ac.id
Sudjaswadi, R. 2002. Hand Out Kimia Fisika. Fakultas Farmasi UGM.
Yogyakarta.
Suhadi, Ujang. 2005. Karakteristik Bahan Hasil Pertanian. Materi Kuliah Teknik
Penanganan Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Padjadjaran.
Witdarko, Yus. 2015. PEMODELAN PADA PROSES PENGERINGAN

MEKANIS TEPUNG KASAVA DENGAN MENGGUNAKAN PNEUMATIC


DRYER: HUBUNGAN FINENESS MODULUS DENGAN VARIABEL
PROSES PENGERINGAN. Jurnal.ugm.ac.id
Widyasanti, A & Nurjanah, S. Penuntun Praktikum MK. Teknik Pasca Panen.
2016.
FTIP. Universitas Padjajaran.
Imanningsih, Nelis. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-
Tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Penel Gizi Makan, 35(1): 13-
22

Lachman. 1989. Teori dan Praktek Farmasi. Universitas Indonesia: Jakarta.


Purwantana, B, Nursigit B, dan Puji W. 2008. Kajian Kinerja Mesin Ekstraksi
Tipe Ulir Pada Proses Pembuatan Pati Aren (Arenga pinnata Merr.)
LAMPIRAN

Dokumentasi Praktikum

Gambar 2. Tepung Beras.


(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)

Gambar 3. Menimbang Massa Tepung.


(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)
Gambar 4. Saringan

(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)

Gambar 5. Melakukan Pengayakan Tepung


(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)
Gambar 6. Meletakkan Tepung Untuk Di Ayak
(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)

Gambar 7. Mengatur Waktu Lama Pengayakkan


(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)
Gambar 8. Ayakan Tyler
(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)

Gambar 8. Menimbang Massa Tepung Setelah Di Ayak


(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)
Gambar 9. Sampel Tepung Yang Sudah Di Ayak
(Sumber :Dokumentasi Pribadi, 2022)

Anda mungkin juga menyukai