Personal branding atau bisa diterjemahkan sebagai “merk pribadi” yang merupakan
sintesis dari semua harapan, gambaran, dan persepsi yan tercipta di benak orang lain ketika
melihat atau mendengar nama seseorang (Rampersad, 2008). Sebetulnya, setiap hari kita
membangun suatu brand dari diri kita melalui interaksi sosial. Brand ini diharapkan dapat
membawa manfaat (nilai) terhadap semua pihak, dengan memikat dan membangun
kepercayaan orang lain terhadap kita.
Personal branding sebetulnya merupakan konsep yang berakar dari presentasi diri
(self-presentantion) (Goffman, 1959). Sama halnya dengan pengertian personal branding
yang telah dibahas di atas, presentasi diri juga merupakan mekanisme yang memungkinkan
individu untuk menyebarkan informasi dalam rangka memengaruhi persepsi orang lain.
Terlebih pada era digital sekarang ini, hal tersebut digunakan untuk membangun impresi di
dunia virtual (Schau & Gilly, 2003). Salah satu hal yang dapat dimanfaatkan dari personal
branding adalah pada bidang karir. Johnson (2017) menyatakan bahwa sebagian besar human
resources di perusahaan mempertimbangkan untuk mengamati kandidat pekerja melalui
sosial media. Informasi mengenai kualifikasi pekerjaan, ketrampilan dan kemampuan
kandidat secara positif memengaruhi proses seleksi, yang bisa dilihat dari bagaimana foto-
foto yang ditampilkan, prestasi, keahlian, pergaulan, maupun gaya komentar yang biasa
dilakukan.
Bagaimana membentuk personal branding?
McNally dan Spak (2012) menjelaskan tiga hal yang harus diperhatikan dalam
membentuk personal branding, antara lain: kekhasan, relevansi, dan konsistensi. Kekhasan
menjadi cerminan ide atau karakter khas dari diri kita. Hal inilah yang membuat orang mudah
untuk mengenali dan menilai kita. Kekhasan dapat dibentuk pada berbagai karakter tampak,
seperti gaya berpakaian, gaya bicara, spesialisasi minat, dan sebagainya yang membentuk ciri
unik dan mudah dikenali. Relevansi, merupakan aspek yang memerhatikan keterhubungan
antara kompetensi yang dimiliki dan kebutuhan orang lain atau masyarakat. Personal
branding juga perlu memerhatikan sasaran dan tempat supaya kontribusi kita betu-betul dapat
bermanfaat. Aspek ketiga adalah konsistensi, yang dirancang terus-menerus sehingga orang
lain dapat mengenal betul profil kita, terutama apabila kita juga menghasilkan produk yang
dinikmati konsumen secara komersil.
Selain ketiga hal tersebut, Montoya (2002) merumuskan delapan acuan yang dapat
digunakan dalam membangun personal branding, meliputi:
Strategi utama yang harus dimiliki dalam membentuk personal branding adalah self-
awareness (kesadaran diri) (Johnson, 2011). Kesadaran diri inilah yang merepresentasikan
kapasitas yang menjadi objek perhatian seseorang, dengan aktif untuk mengidentifikasi,
memproses, dan memahami informasi tentang diri (Morin, 2011). Salah satu metode yang
dapat digunakan adalah analisis S.W.O.T. Analisis ini akan membantu individu untuk
mengidentifikasi kekuaran (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan
ancaman (threat). Pemetaan ini berguna untuk mengetahui sejauh mana potensi yang kita
miliki, termasuk keunikan dan kekhasan kita, serta aspek-aspek lain yang dibutuhkan dalam
personal branding. Metode tersebut adalah salah satu cara untuk mengenali diri. Kenapa hal
ini penting diperhatikan? Mengenali diri akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang
akan kita branding, sehingga keinginan untuk menginformasikan ke publik mengenai siapa
kita, tidak semata-mata mengikuti orang lain, sehingga personal branding kita bersifat
otentik.
Hal kedua yang harus diperhatikan adalah personal branding statement (Johnson,
2011), yang menunjukkan perbedaan diri kita dari orang-orang pada umumnya. Strategi ini
dapat dilakukan dengan memetakan apa yang kita lakukan (pekerjaan), bagaimana kita
melakukan itu, dan mengapa orang lain harus peduli atau mengapa harus memanfaatkan
potensi yang kita tawarkan. Hal ini biasanya dapat mempermudah untuk mengenali
kemampuan kunci dan kandidat potensial apabila dimanfaatkan untuk melamar pekerjaan.
Setelah mengetahui “konten” di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah media yang
akan digunakan. Hal ini berkaitan juga dengan sasaran audience yang akan kita tuju. Setiap
media sosial mempunyai karakteristik fasilitas dan karakteristik penggunanya masing-
masing. Penyebaran informasi sekarang juga dapat dilakukan secara terintegrasi, misalnya
melalui LinkedIn, twitter, instagram, facebook, dan lainnya. Pemilihan media sosial ini tentu
saja dilakukan berdasarkan kebutuhan kita. Dan selanjutnya, setelah mempersiapkan
informasi yang ingin kita tawarkan dan media yang akan digunakan, langkah selanjutnya
adalah menerapkan acuan-acuan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya.
Pincott (2019) menulis beberapa hal yang harus diperhatikan dalam personal
branding. Seseorang yang intens menggunakan media sosial cenderung menyiarkan hal-hal
baik tentang diri baik melalui Facebook, Twitter, LinkedIn, Instagram, Snapchat, dan
platform lainnya. Mempertahankan identitas di media sosial ternyata bisa berdampak buruk,
bahkan untuk orang-orang yang memang bukan influencer. Konsekuensi negative yang dapat
menyertai, seperti kecenderungan untuk menitikberatkan kebutuhan akan likes, followers, dan
penilaian orang lain tentang diri kita. Oleh karena itu, Pincott merumuskan beberapa
pertimbangan personal branding dengan media sosial.
Pertama, pahami bahwa kita bukan manusia online. Identitas yang kita tampilkan di
media sosial tentu tidak seluruhnya memproyeksikan diri kita yang sebenarnya. Perlu sekali
ruang untuk mengeksplorasi diri kita. Selain berfokus pada penggunaan media sosial, maka
alangkah baiknya lebih banyak untuk mengeksplorasi dunia nyata. Kedua, letakkan FOPO
pada tempatnya. FOPO adalah fear of people’s opinion atau ketakutan pada opini orang lain.
Hal ini dapat dicegah dengan berfokus pada tujuan yang lebih tinggi daripada validasi publik,
yang dapat dilakukan tidak hanya mempromosikan diri kita, namun juga membagikan kisah
yang dapat dijadikan pelajaran orang lain atau hal-hal yang bersifat edukatif. Pada akhirnya,
shaping of people’s opinion (SOPO) atau pembentukan opini masyarakat menjadi lebih kuat
daripada FOPO.
Ketiga, hentikan dorongan untuk membandingkan. Apabila di dunia nyata kita kadang
tidak sadar membandingkan diri dengan orang lain, maka di media sosial kita dapat
mengetahuinya karena setiap platform menyediakan metrik seperti penyuka, pengikut, tweet,
retweet, penayangan, pelanggan, berbagi (share), dan sebagainya secara real-time.
Konsekuensi dari metik ini adalah upaya kita untuk selalu membandingkan diri dengan
pengguna media sosial yang mempunyai pencapaian metrik lebih besar, dan hal ini
berdampak pada masalah psikologis. Selain perbandingan ke atas, perbandingan ke bawah
juga menimbulkan kecenderungan merasa lebih baik atau lebih unggul. Untuk mengatasi hal
ini, kita harus melatih awareness untuk tidak berpikir secara otomatis dan tidak membiarkan
alogaritma metric tersebut menentukan harga diri kita.
Pada akhirnya, apapun yang kita bagikan di media sosial tetap harus
mempertimbangkan motif psikologis yang mendasari dan tujuan untuk mempromosikan diri.
Buatlah “penjualan” atau promosi kita lebih menitikberatkan pada berbagi “sharing” tentunya
dengan memerhatikan konten-konten seperti apa yang kita bagikan dengan
mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Terakhir, lebih banyak memberi daripada
menerima. Dalam hal ini, pertimbangan yang bisa direnungkan adalah bukan hanya pada
bagaimana orang lain menyukai diri kita, namun juga bagaimana kita menyukai karya orang
lain.
Referensi
Pincott, Jena E. (2019). How to Brand Yourself the Right Way. Retrieved from
https://www.psychologytoday.com/us/articles/201910/how-brand-yourself-the-right-
way.
Rampersad, Hubert K. (2008). A New Blueprint for Powerful and Authentic Personal
Branding. Performance Improvement, 47 (6), 34-37.
Schau, H. J. & Gilly, M.C. (2003). We are what we post? Self-presentation in personal web
space. Journal of Consumer Research, 30(3) 385-404.