Anda di halaman 1dari 4

BAB 1: HAKIKAT AKHLAK DALAM ISLAM

1. Akhlak Secara Bahasa

Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari ‫خلق‬/khuluqun
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut

mengandung segi persesuaian dengan perkataan ‫خلق‬/khalqun berarti kejadian, yang juga erat

hubungannya dengan ‫خالق‬/khalik yang berarti pencipta, demikian pula ‫مخلوق‬/makhluqun yang

berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang
memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak
Tasawuf, 2008: 11) Sudah nyambung? Coba selanjutnya Saudara fahami beberapa definisi
akhlak menurut para ahli berikut:

a. Ibnu Miskawih ‫رویة‬ ‫الخلق حال للنفس داعیة لھا إلى أفعالھا من غیر فكر وال‬
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir dan
pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25) Kondisi jiwa
seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi jiwa yang sudah
terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakantindakan tersebut seakan
sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara sepontan ketika mendapatkan
stimulus tertentu.

b. Al-Ghazali

ُ ‫ص ِد ُر األْ َ ْف َعا َل ِب‬


ْ ‫س ُھولَ ٍة َو ُی‬
‫س ٍر‬ َ ٌ‫س َخة‬
ْ ُ ‫ع ْنھَا ت‬ ِ ‫الخلق عبارة عن َھ ْیئ َةٌ ِفي النَّ ْف ِس َر ا‬

‫غی ِْر حَا َج ٍة ِإلَى فِك ٍْر َو َر ِویَّ ٍة‬


َ ‫“ ِم ْن‬Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang
sudah mendarah daging yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi
gampang tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005;
890) Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging yang dapat
menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat spontan. Tindakan-
tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak. Apabila seuatu perbuatan
dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung ruginya bagi si pelaku perbuatan
tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.
2. Terbentuknya Akhlakul Karimah
a. Hikmah
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang
bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan
membimbing kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang
dapat membawa manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h.
40) Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah
satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan
utama diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw.
b. Syaja’ah

Sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-


Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa berani berkorban apa saja
untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan bahkan ia akan berani
berkorban tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga berani maju
mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang diyakininya benar.
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran Saudara
mengenai hubungan konsep Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih fahamnya
mari kita lanjutkan! Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi
banyak sifat turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:

a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk mengambil
atau menerima keputusan penting dalam berbagai masalah yang menyangkut
kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.

b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong


siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad. Bukan penekad
juga bukan penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka harus berani
maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.

c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia
berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh kerendahan
hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit manfaatnya. Ia
sangat menghormati ulama.

d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri


dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak
terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap santun dalam menghadapi
semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap yang buruk dalam menghadapi orang lain
atas gejolak jiwa suka dan tidak suka.

f. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan,


banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan.
Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang tidak
perlu, menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam seluruh
perkara kebaikan.

c. 'iffah

Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan diri dari
perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang yang 'afif adalah
orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik dalam menjalankan perintah-
perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya walaupun jiwanya (syahwatnya) sangat
menginginkan untuk melanggarnya. 'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah
Swt. Oleh sebab itulah sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki
kemampuan dan daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti
karena akan membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat
mulia. Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:

a. ‫الحیاء‬/haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh Allah
Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-Nya. Apabila jiwa manusia
semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya tidak ada lagi tindak kejahatan dimuka
bumi ini. Sehingga bumi akan aman, tentram dan damai. Karena malu akan menjadi benteng
terakhir bagi diri seseorang dalam melakukan kemaksiatan

b. ‫القناعة‬/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw., sekaligus
menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang berlebih-lebihan. Qanaah
muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela menerima keputusan Allah Swt. yang
berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin
akan mendapatkan hakekat dunia, menjadi orang yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar
dari sifat hasud dan terhindar dari problema kehidupan dunia.
c. ‫السخاء‬/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi memang
wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan dari yang diberi dalam
bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun sekedar ucapan terima kasih (QS.
Al-Insan/76:9). Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang
yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan tapi disebut
berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian, kedudukan, ucapan terima
kasih dan lainnya dengan hartanya.

d. ‫الورع‬/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir membahayakan


nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang syubhat, yakni sesutau yang hukumnya
belum jelas halal atau haram yang berlaku dalam semua aktifitas manusia, baik yang berupa
benda maupun perilaku. Dan lebih dari itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak
bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai