Anda di halaman 1dari 7

BIODATA Ali bin Abi Thalib

‘Alī bin Abī Thālib (bahasa Arab: ‫علي بن أﺑﻲ طالب‬, bahasa Persia: ‫( )علی پسر ابو طالب‬lahir sekitar 13
Rajab 23 SH/599 M – meninggal 21 Ramadan 40 H/661 M) adalah khalifah keempat yang berkuasa .
Dia termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Muhammad. Secara
silsilah, Ali adalah sepupu dari Muhammad. Pernikahan Ali dengan Fatimah az-Zahra juga
menjadikannya sebagai menantu Muhammad.
Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, ia telah terlibat dalam berbagai peran besar sejak masa
kenabian, meski usianya terbilang muda bila dibandingkan sahabat utama Muhammad yang lain. Ia
mengikuti semua perang, kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris
dan pembawa pesan Muhammad, ia juga ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada Perang Khaibar.
Sepeninggal Muhammad, ia diangkat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam setelah Abu
Bakar, Umar, dan Utsman. Dalam sudut pandang Sunni, Ali bersama tiga pendahulunya digolongkan
sebagai Khulafaur Rasyidin.[7]
Di sisi lain, kelompok Syiah memandang bahwa ia yang harusnya mewarisi kepemimpinan umat
Islam begitu mangkatnya Muhammad atas tafsiran mereka dalam peristiwa Ghadir Khum, membuat
kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya dipandang tidak sah.
Masa kekuasaannya merupakan salah satu periode tersulit dalam sejarah Islam karena saat itulah
terjadi perang saudara pertama dalam tubuh umat Muslim yang berawal dari terbunuhnya Utsman bin
'Affan, khalifah ketiga.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status Ali dan hak kepemimpinannya atas umat
Islam, Sunni dan Syiah sepakat mengenai pribadinya yang saleh dan adil.

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]


Kelahiran & Kehidupan Keluarga[sunting | sunting sumber]
Kelahiran[sunting | sunting sumber]
Ali dilahirkan di Makkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, ia
dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi
atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa ia dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali
terhadap Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25
tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari
Muhammad ‫ﷺ‬. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai
penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Makkah.
Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan]
Ayahnya memanggil
dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim,
sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Muhammad karena dia tidak punya anak
laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Muhammad bersama
istri dia Khadijah untuk mengasuhnya dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk
membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Muhammad sejak dia kecil hingga dewasa,
sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Masa Remaja[sunting | sunting sumber]
Ketika Muhammad menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah
lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri
Muhammad sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh rujukan]
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Muhammad karena sebagai
anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Muhammad hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi
menantu Muhammad. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-
pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka
menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan
Muhammad khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun
kemasyarakatan semua yang diterima Muhammad harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya,
sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-
masing.
Didikan langsung dari Muhammad kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik
aspek zahir (eksterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi
seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Makkah sampai Hijrah ke Madinah[sunting | sunting sumber]
Ali bersedia tidur di kamar Muhammad untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan
menggagalkan hijrah Muhammad. Dia tidur menampakkan kesan Muhammad yang tidur sehingga
masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam
perjalanan oleh yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan Ali di Madinah[sunting | sunting sumber]
Pernikahan[sunting | sunting sumber]
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri
Muhammad. ia tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis
dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti
Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu
Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[8]
Julukan[sunting | sunting sumber]
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata ia sedang tidur. Bagian atas pakaiannya
tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan
membersihkan punggungnya sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang
berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh
Ali.
Pertempuran yang diikuti pada masa Muhammad[sunting | sunting sumber]
Perang Badar[sunting | sunting sumber]
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini
Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Muhammad.
Banyaknya Quraisy Makkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepakat
dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq[sunting | sunting sumber]
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin
Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah
menjadi dua bagian.
Perang Khaibar[sunting | sunting sumber]
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan
Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan
Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar.
Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Muhammad mengatakan:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,
serta Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dia. Allah akan membukakan dan memenangkan
pertempuran ini melalui tangannya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan anugerah kehormatan
tersebut.Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu
menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang terkenal
jagoan dan pemberani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah
menjadi dua bagian.
Peperangan Lain[sunting | sunting sumber]
Hampir semua peperangan yang terjadi ia ikuti kecuali perang Tabuk karena ia
mewakili Muhammad untuk memimpin kota Madinah.
Setelah kematian Muhammad[sunting | sunting sumber]
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan
pendapat mulai tampak ketika Muhammad meninggal dnia. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat
(berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah setelah kematian
Muhammad. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih berada
dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Burut riwayat dari Al-Ya'qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa
sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-
Wada'), malam hari Muhammad bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang
dikenal dengan nama Ghadir Khum. Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Ia keluar dari
kemahnya kemudi a berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Imam Ali bin Abi
Thalib Dalam khutbahnya itu antara lain dia berkata: "Barang siapa menanggap aku ini
pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui
kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya".
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Muhammad, Ahlul Bait,
dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib
terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Muhammad. Ada yang meriwayatkan setelah
Muhammad dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali
membai'at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah
meninggalnya Muhammad demi mencegah perpecahan dalam ummat.
Ada yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena
umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan
bahwa kekhalifahan dan kenabian sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.

Kekhalifahan[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Masa pemerintahan Ali
Pemilihan[sunting | sunting sumber]
Baiat kepada Ali menjadi khalifah, setelah pembunuhan Utsman (diambil dari sebuah naskah
Utsmaniyah akhir abad ke-16/awal abad ke-17)
Setelah Utsman terbunuh oleh para pemberontak Mesir pada tahun 656, [9] kandidat potensial
untuk mengisi jabatan khalifah adalah Ali dan Thalhah. Bani Umayyah melarikan diri dari
Madinah, kota dikuasai oleh pemberontak dan kaum Anshar. Talhah mendapatkan dukungan dari
penduduk Mesir; sementara penduduk Basra dan Kufah—yang mendukung pendapat Ali untuk
menghindari kekerasan—serta sebagian besar kaum Anshar mendukung Ali. [10] Beberapa penulis
juga menuliskan bahwa (sebagian besar) kaum Muhajirin mendukung Ali. [11][12][13][14] Para kepala
suku utama juga mendukung Ali pada saat itu. [15] Kelompok-kelompok tersebut menawarkan Ali
menjadi khalifah,[12][11][16] tetapi ia menolaknya, mengatakan bahwa ia lebih suka menjadi
seorang wazir (menteri).[17]
Penolakan Ali atas jabatan khalifah, dipandang oleh Reza Aslan, mungkin akibat keadaan
masyarakat yang sudah terpolarisasi akibat kejadian pembunuhan Utsman. [18] Beberapa laporan
awal menggarisbawahi bahwa Ali kemudian setuju menjadi khalifah setelah jelas baginya
mendapatkan dukungan terbanyak.[16] Ali dilaporkan pula meminta diadakannya baiat di Masjid
Nabawi.[19][17][20] Malik al-Asytar diperkirakan menjadi orang pertama yang berbaiat kepada
Ali. Thalhah dan Zubair, sahabat Muhammad yang berambisi kepada jabatan tinggi, [21][22] juga
berbaiat kepada Ali meskipun kemudian mengingkarinya. [23][21][14] Beberapa sumber awal
mengatakan bahwa mereka berbaiat di bawah paksaan, meskipun sejarawan kontemporer
cenderung menolak dan menganggap klaim ini dibuat-buat. [16][24][25] Ali sendiri tampak tidak
memaksa siapa pun, sementara tokoh seperti Sa'ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar,[26] Sa'id
bin al-Ash, Al-Walid bin Uqbah, dan Marwan memang lebih mungkin menolak berbaiat,
beberapa disebabkan oleh dendam pribadi terhadap Ali. [19] Secara keseluruhan, Madelung
memiliki gagasan bahwa terdapat lebih sedikit bukti adanya pemaksaan daripada masa Abu
Bakar, meskipun banyak yang kemudian mengingkarinya, mengklaim bahwa mereka telah
dipaksa untuk berbaiat.[27] Pada saat yang bersamaan, mungkin saja massa mayoritas yang
mendukung Ali di Madinah membuat suasana menjadi mengintimidasi orang-orang yang
menentang Ali.[28]
Kebijakan administratif[sunting | sunting sumber]
Keadilan[sunting | sunting sumber]
Masa pemerintahan Ali dicirikan oleh peradilannya yang ketat. [29][30][11] Dalam pidato
pengukuhannya, Ali menegur umat Islam karena menyimpang dari jalan lurus sepeninggal
Muhammad,[31] dan mulai menerapkan kebijakan radikal.[32] Hal ini dimaksudkan untuk
memulihkan visinya mengenai pemerintahan kenabian.[33][34] Ali segera memberhentikan hampir
semua gubernur yang pernah mengabdi kepada Utsman,[35] mengatakan bahwa orang-orang
seperti mereka tidak boleh diangkat dalam jabatan apa pun. [36] Ia menggantikan mereka dengan
orang-orang yang ia anggap saleh,[37][38] sebagian besar berasal dari kaum Anshar dan Bani
Hasyim.[37] Ali juga mendistribusikan dana perbendaharaan secara merata di kalangan umat Islam,
mengikuti praktik Muhammad,[39] dan dikatakan tidak menoleransi perilaku korupsi. [40]
[41]
Beberapa dari mereka yang terkena dampak kebijakan ini segera memberontak melawan Ali
dengan dalih balas dendam untuk Utsman. [42] Di antara mereka adalah Muawiyah, gubernur
petahana Suriah.[43] Beberapa orang mengkritik Ali karena kenaifan berpolitik dan sikap kakunya
yang berlebihan;[44][45] sementara yang lain mengatakan bahwa Ali memerintah dengan kebenaran,
bukan fleksibilitas politik.[42][34] Para pendukungnya mengidentifikasi bahwa keputusan serupa
diambil oleh Muhammad,[46][47] dan menegaskan bahwa Islam tidak pernah mengizinkan untuk
berkompromi demi alasan keadilan, dengan mengutip Quran Surah 68: 9, [47] "Mereka
menginginkan agar engkau bersikap lunak. Maka, mereka bersikap lunak (pula)." [48][49]
[50]
Beberapa pihak berpendapat bahwa keputusan Ali sebenarnya dapat dibenarkan pada tingkat
praktis.[17][51][11] Misalnya, pemecatan gubernur yang tidak populer mungkin merupakan satu-
satunya pilihan yang tersedia bagi Ali karena ketidakadilan adalah keluhan utama para
pemberontak.[17]

Pembunuhan dan pemakaman[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Pembunuhan Ali
Ali dibunuh pada tanggal 19 Ramadan 40 H, atau 28 Januari 661 M, saat salat Subuh di Masjid
Agung Kufah. Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia
terluka oleh pedang yang telah dilapisi racun. Ali meninggal sekitar dua hari kemudian. Dia
berusia 62 atau 63 tahun pada saat kematiannya. Menurut beberapa catatan, Ali telah lama
mengetahui nasibnya baik melalui firasat atau melalui Muhammad, yang mungkin mengatakan
kepadanya bahwa janggutnya akan ternoda darah di kepalanya. [52] Sebelum meninggal, Ali
meminta agar Ibn Muljam akan diberi pengampunan jika ia selamat atau
diberlakukan qisas dengan perlakuan yang sama.[53] Hasan, putra tertua Ali, kemudian melakukan
qisas tersebut sepeninggal ayahnya.[52]
Khawatir jenazahnya akan digali dan diperlakukan buruk oleh musuh-musuhnya, Ali kemudian
dikuburkan secara diam-diam. Makamnya ditemukan pada masa kekhalifahan Abbasiyah Harun
ar-Rasyid (m. 786–809) yang di sekitarnya berkembang kota Najaf, dekat Kufah. Tempat yang
diyakini menjadi makamnya ini, menjadi tempat ziarah utama bagi umat Syiah.[44] Bangunan
makam yang sekarang dibangun oleh penguasa Safawiyah Syah Safi (m. 1629–1642),[54] yang di
dekatnya terdapat kuburan besar bagi kaum Syiah yang ingin dimakamkan di samping imam
mereka.[44] Najaf juga merupakan rumah bagi beberapa perguruan tinggi agama dan ulama Syiah
terkemuka.[44]

Karakter[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Masa pemerintahan Ali
Ali dianggap oleh para pengikutnya sebagai teladan dalam perbuatan kebaikan yang esensial,
khususnya dalam hal keadilan.[55] Namun, catatan sejarah tentangnya sering kali memihak. Hal ini
mungkin karena konflik-konflik awal Muslim yang melibatkan Ali telah diabadikan selama
berabad-abad dalam tulisan-tulisan yang sektarian. [56] Misalnya, secara pribadi, Ali digambarkan
dalam beberapa sumber Sunni sebagai sosok yang botak, bertubuh kekar, berkaki pendek,
berbahu lebar, badannya berbulu, berjanggut putih panjang, dan mengalami radang mata.
[44]
Sementara itu, catatan Syiah tentang penampilan Ali sangat berbeda dan mungkin lebih cocok
dengan reputasinya sebagai seorang pejuang ulung. [57] Ia juga kerap tampil positif dalam karya
seni Syiah dan Sufi.[55] Dalam beberapa sumber Sunni, Ali juga ditampilkan sebagai orang yang
kasar, keras, dan tidak ramah; [44] sedangkan sumber-sumber Syiah menggambarkan Ali sebagai
orang yang murah hati, lemah lembut, dan ceria, [58][55] sampai-sampai propaganda pada perang
Suriah tampaknya menuduhnya bersikap sembrono.[40] Sumber-sumber Syiah dan Sufi juga penuh
dengan kisah-kisah tentang tindakan kebaikannya, terutama kepada orang miskin. [59] Kualitas-
kualitas penting dalam diri seorang panglima, yang dijelaskan dalam sebuah surat tentang Ali,
mungkin merupakan potret dirinya yang paling baik: tidak mudah marah, senang memaafkan,
baik hati terhadap yang lemah, dan keras terhadap yang kuat. [60] Sahabat Ali, Sa'sa'a ibn Suhan,
diriwayatkan menggambarkannya sebagai berikut.
Dia [Ali] ada di antara kita sebagai salah satu dari kita, dengan watak yang lembut, kerendahan
hati yang kuat, memimpin dengan pendekatan halus, meskipun kami kagum padanya dengan rasa
kagum yang dimiliki seorang tahanan yang terikat terhadap orang yang memegang pedang di atas
kepalanya.[55][60]

Nama dan gelar[sunting | sunting sumber]

Kaligrafi Utsmaniyah abad ke-18 bergaya mirror


writing menuliskan frasa 'Ali Waliyullah' di kedua arahnya.
Ali dikenal dengan banyak nama dan gelar dalam kebudayaan Islam, beberapa di antaranya hanya
dapat ditemukan pada sumber-sumber Syiah. Gelar-gelarnya yakni Abu al-Hasan (terj. har. 'bapak
Hasan'),[61] al-Murtada (terj. har. 'yang diridai oleh-Nya [Allah]'), [61] Asadullah (terj. har. 'singa
Allah'),[62] dan Haydar (terj. har. 'singa', nama yang awalnya dipilihkan oleh ibunya kepadanya).
[61]
Khusus di kalangan Syiah, ia juga digelari antara lain Amirul Mukminin (terj. har. 'pemimpin
orang-orang yang beriman'), Imam al-Muttaqin (terj. har. 'pemimpin orang-orang yang
bertakwa'), serta Waliyullah.[61] Imamiyyah menganggap gelar Amirul Mukminin hanya diberikan
kepada Ali.[63] Ia juga dikenal sebagai Abu Turab (terj. har. 'bapak berdebu'), yang diperkirakan
berawal dari ejekan oleh musuh-musuhnya, [44] atau juga merujuk pada saat ketika Muhammad
mendekati Ali, mengusap debu dari pundaknya sambil memanggilnya, "Abū Turāb."[61]

Keluarga[sunting | sunting sumber]


Orangtua dan moyang[sunting | sunting sumber]
Ayah — 'Imran (sekitar 539 – sekitar 619). Lebih dikenal dengan nama Abu Thalib.
Pemimpin Bani Hasyim. Salah satu pelindung utama Muhammad di Makkah. Terdapat perbedaan
pendapat, utamanya antara kalangan Sunni dan Syi'ah, mengenai status keislamannya. Menurut
Sunni, Abu Thalib tidak masuk Islam sampai akhir hayatnya, sementara Syi'ah memandang
bahwa Abu Thalib adalah seorang Muslim.

 Kakek — Syaibah bin Hasyim. Lebih dikenal dengan 'Abdul Muttalib.


 Nenek — Fatimah binti Amr dari Bani Makhzum
Ibu — Fatimah binti Asad.

 Kakek — Asad bin Hasyim


 Nenek — Fatimah binti Qais
Pasangan dan keturunan[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Keturunan Ali bin Abi Thalib
'Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra.[8][64]

 Fatimah (615–632). Putri bungsu Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid.


o Hasan (624–670). Menjadi khalifah selama enam atau tujuh bulan pada
tahun 661.
o Husain (625–680). Menikah dengan Syahrbanu, putri Yazdegerd
III, Kaisar Sasaniyah terakhir. Terbunuh dalam Pertempuran Karbala.
o Zainab (626–681). Menikah dengan sepupunya, 'Abdullah bin Ja'far bin
Abu Thalib.
o Zainab As-Sughra (Zainab Kecil), juga dikenal dengan Ummu
Kultsum. Menikah dengan Umar bin Khattab. Mahar untuk
pernikahannya sebesar 40.000 dirham[65] dan mereka hidup sebagai
suami istri pada tahun 638.[66] Tercatat Ummu Kultsum pernah
memberikan hadiah parfum kepada Permaisuri Martina, istri Kaisar
Romawi Timur Heraklius. Sebagai balasan, Martina menghadiahi
kalung kepada Ummu Kulstum. Namun 'Umar yang percaya bahwa
istrinya tak seharusnya ikut campur dalam urusan kenegaraan akhirnya
menyerahkan kalung tersebut ke dalam perbendaharaan negara.
[67]
Dalam sudut pandang Syi'ah, pernikahan antara Ummu Kulstum dan
'Umar adalah kisah rekaan.[68]
o Muhsin. Terlahir mati.
 Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah. Saat masyarakat Yamamah menolak
membayar zakat sepeninggal Muhammad, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka.
Khaulah dan beberapa wanita lain ditawan sebagai budak dan dibawa ke Madinah.
Saat sukunya mengetahui nasib Asma, mereka mendatangi 'Ali bin Abi Thalib untuk
membebaskannya dari perbudakan dan melindungi martabat keluarganya. 'Ali
kemudian membeli Asma dan membebaskannya, kemudian menikahinya.
o Muhammad bin al-Hanafiyah (637–700)
 Umamah binti Abi al-Ash bin ar-Rabi'. Ibunya adalah Zainab, putri tertua
Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Abu al-Ash bin ar-
Rabi' dari Bani Abdu Syams.
o Muhammad al-Ausath
 Fatimah binti Hizam. Juga dikenal dengan Ummul-Banin. Berasal dari Bani Kilab.
o Al-'Abbas
o Utsman
o 'Abdullah
o Ja'far
 Laila binti Mas'ud
o Ubaidillah
o Abu Bakar
 Asma' binti Umais. Secara keseluruhan, Asma menikah sebanyak tiga kali dan 'Ali
adalah suami terakhirnya. Suami pertama Asma adalah saudara 'Ali sendiri, Ja'far bin
Abi Thalib. Suami keduanya adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
o Yahya
o Aun
 Ash-Shahba' binti Rabi'ah
o 'Umar
o Ruqayyah. Dikatakan mengungsi ke anak benua India dan
mendakwahkan Islam di sana setelah Pertempuran Karbala.
 Ummu Sa'id binti Urwah
o Ummul Hasan
o Ramlah Kubra
 Mahabba binti Imru'ul Qais
o seorang putri, meninggal ketika masih kecil
 Ummu walad
o Muhammad al-Ashghar
Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang
masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad
bin al-Hanafiyah (anak Khaulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Ash-Shahba'). [8]
Keturunan Ali melalui putranya Hassan dikenal dengan Syarif, dan dari jalur Hussein dikenal
dengan Sayyid. Sebagai keturunan langsung Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan
Syi'ah. Keturunan Ali secara kesuluruhan dari para istrinya dikenal sebutan
dengan Alawiyin atau Alawiyah.

Anda mungkin juga menyukai