Anda di halaman 1dari 10

Era reformasi atau era pasca-Soeharto di Indonesia dimulai pada tahun 1998, tepatnya

saat Kejatuhan Soeharto Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan
digantikan oleh wakil presiden saat itu, B.J. Habibie. Periode ini didirikan oleh lingkungan sosial
politik yang lebih terbuka.
Isu-isu selama periode ini di antaranya dorongan untuk menerapkan demokrasi dan
pemerintahan sipil yang lebih kuat, elemen militer yang mencoba untuk mempertahankan
pengaruhnya, Islamisme yang tumbuh dalam politik dan masyarakat umum, serta
tuntutan otonomi daerah yang lebih besar. Proses reformasi menghasilkan tingkat kebebasan
berbicara yang lebih tinggi, berbeda dengan penyensoran yang meluas saat Orde Baru.
Akibatnya, debat politik menjadi lebih terbuka di media massa dan ekspresi seni makin
meningkat. Peristiwa-peristiwa yang telah membentuk Indonesia dalam periode ini di antaranya
serangkaian peristiwa terorisme (termasuk bom Bali 2002) serta gempa bumi dan tsunami
Samudra Hindia 2004.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Krisis finansial Asia

Penjarahan dan pembakaran di Jakarta, 14 Mei 1998.


Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya
ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai gerakan
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
menyebabkan empat mahasiswa tertembak mati dan kemudian memicu Kerusuhan Mei
1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir di seluruh Indonesia. Di bawah
tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk
mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998.[1]

Kepresidenan Habibie (1998–1999)[sunting | sunting sumber]


Lihat pula: B. J. Habibie § Masa kepresidenan

Pengambilan sumpah kepresidenan Habibie pada 21 Mei 1998


Setelah pengunduran diri Soeharto, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai presiden dan
melakukan berbagai reformasi politik. Pada Februari 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan
Undang-Undang Partai Politik[2] yang mencabut pembatasan jumlah partai politik (parpol).
Sebelumnya, pada masa Soeharto, hanya tiga parpol yang diperbolehkan. Parpol juga tidak
diwajibkan berideologi Pancasila. Hal ini mengakibatkan partai politik bermunculan dan 48 di
antaranya akan bersaing dalam pemilihan legislatif 1999.
Pada Mei 1999, pemerintahan Habibie mengesahkan Undang-Undang Otonomi Daerah[3] yang
merupakan langkah pertama dalam desentralisasi pemerintahan Indonesia dan memungkinkan
provinsi-provinsi untuk lebih berperan dalam mengatur daerahnya. Pers lebih dibebaskan pada
pemerintahan Habibie, meskipun Kementerian Penerangan tetap dipertahankan. Tahanan
politik seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan Xanana Gusmão juga
dibebaskan atas perintah Habibie.
Pada era Habibie juga dilangsungkan pemilihan umum legislatif 1999, yang merupakan
pemilihan bebas pertama sejak pemilu legislatif 1955. Pemilu ini diawasi oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang independen, bukan komisi pemilihan yang diisi menteri-menteri pemerintah
seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Habibie juga menyerukan referendum untuk menentukan masa depan Timor Timur. Tindakan ini
mengejutkan banyak orang dan membuat marah beberapa orang. Pada tanggal 30 Agustus,
penduduk Timor Timur memilih untuk merdeka. Lepasnya provinsi ini merugikan popularitas dan
aliansi politik Habibie.

Kepresidenan Abdurrahman Wahid (1999–2001)


[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Abdurrahman Wahid § Masa kepresidenan

Prosesi Pelantikan Presiden Abdurrahman Wahid tahun 1999.


Pada 1999, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Indonesia. Kabinet pertama, yang
diberi nama Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang mewakili beberapa partai
politik: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN),
dan Partai Keadilan (PK). Perwakilan nonpartisan dan militer (TNI) juga ditempatkan dalam
kabinet. Salah satu reformasi administrasi negara yang dilakukan Gus Dur adalah penghapusan
Kementerian Penerangan, senjata utama Orde Baru untuk mengendalikan media, dan
pembubaran Kementerian Kesejahteraan, yang telah menjadi korup pada masa Orde Baru.[4]

Otonomi dan toleransi[sunting | sunting sumber]


Gus Dur bermaksud memberikan referendum kepada Provinsi Aceh—yang saat itu
memberontak—untuk menentukan model otonomi mereka alih-alih opsi untuk memerdekakan
diri seperti di Timor Timur.[5] Gus Dur juga ingin mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Aceh
dengan menurunkan lebih sedikit personel militer di sana. Pada bulan Maret 1999, pemerintahan
Gus Dur mulai membuka negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada bulan Mei,
pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM yang berlaku hingga awal 2001,
saat kedua belah pihak melanggar perjanjian tersebut.[6]
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura, ibu kota Provinsi Papua (saat itu
disebut "Irian Jaya"). Gus Dur berhasil meyakinkan para pemimpin Papua Barat bahwa dirinya
merupakan pemicu perubahan dan bahkan mendorong penggunaan nama Papua.[7]
Pada Maret 2000, Gus Dur menyarankan agar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) 1966 tentang pelarangan Marxisme–Leninisme dicabut.[8] Pada bulan
September, Gus Dur mengumumkan darurat militer di Maluku. Pada bulan yang sama,
penduduk Papua Barat mengibarkan bendera Bintang Kejora. Gus Dur menanggapi dengan
mengizinkan pengibaran tersebut asalkan bendera Bintang Kejora ditempatkan lebih rendah
dari bendera Indonesia.[9] Tanggapan ini dikritik keras oleh Megawati dan Akbar Tanjung. Pada
24 Desember 2000, serangkaian pengeboman dilakukan terhadap gereja-gereja di Jakarta dan
delapan kota di seluruh Indonesia.

Hubungan dengan militer[sunting | sunting sumber]


Ketika naik ke kursi kepresidenan, salah satu tujuan Gus Dur adalah mereformasi TNI dan
menghilangkan peran sosiopolitik mereka yang dominan. Dalam usaha ini, Wahid bersekutu
dengan Agus Wirahadikusumah, yang ia jadikan Panglima Kostrad pada bulan Maret 2000.
Pada bulan Juli, Agus mulai mengungkap skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan yang
berafiliasi dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI mulai menekan Gus Dur untuk
mencopot Agus. Gus Dur mengalah pada tekanan ini tetapi kemudian berencana untuk
mengangkat Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang ditanggapi oleh para pemimpin TNI
dengan mengancam akan pensiun dan Gus Dur sekali lagi mengalah pada tekanan tersebut.[10]
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika di bulan yang sama terungkap bahwa
milisi Laskar Jihad telah tiba di Maluku dan dipersenjatai dengan senjata militer, meskipun Gus
Dur telah memerintahkan TNI untuk memblokir masuknya mereka ke wilayah tersebut. Milisi
telah merencanakan sejak awal tahun untuk pergi ke Maluku dalam rangka melibatkan diri
dalam konflik sekretarian di sana.[11]
Pada tahun 2000, Gus Dur terlibat dalam dua skandal yang mencoreng masa kepresidenannya.
Pada Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan hilangnya dana sebesar US$4 juta. Uang
tersebut digelapkan oleh tukang pijat Gus Dur sendiri, yang menyatakan bahwa Gus Dur
mengirimnya ke Bulog untuk mengambil uang tersebut.[12] Meski uangnya telah dikembalikan,
musuh-musuh politik Gus Dur mengambil kesempatan ini dengan menuduhnya terlibat dalam
skandal yang disebut sebagai Bulog gate ini. Di saat yang sama, Gus Dur juga dituduh
menyimpan sumbangan US$2 juta dari Sultan Brunei yang diberikan sebagai bantuan
untuk Aceh. Skandal ini dikenal sebagai Brunei gate.

Pemakzulan[sunting | sunting sumber]


Pada akhir 2000, banyak elit politik yang kecewa dengan Gus Dur; yang paling menonjol
adalah Amien Rais yang menyayangkan telah mendukung Gus Dur sebagai presiden pada
tahun sebelumnya. Amien berusaha menggalang oposisi dengan mendorong Megawati dan
Akbar Tanjung untuk menunjukkan kekuatan politik mereka. Megawati secara mengejutkan
membela Gus Dur sementara Akbar memilih untuk menunggu pemilu legislatif 2004. Pada akhir
November, 151 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menandatangani petisi yang
menuntut pemakzulan Gus Dur.[13]
Pada bulan Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur
opsional.[14] Ia menindaklanjutinya pada bulan Februari dengan mencabut larangan tentang
perayaan Imlek secara terbuka. Pada bulan Februari, Gus Dur mengunjungi negara-negara di
Afrika Utara serta Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.[15] Gus Dur melakukan kunjungan
luar negeri terakhirnya pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.
Dalam pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur berkomentar
tentang kemungkinan Indonesia menjadi anarki dan menyatakan bahwa ia terpaksa
membubarkan DPR jika hal itu terjadi.[16] Meskipun isi pertemuan ini tidak untuk konsumsi publik,
tetapi cukup banyak kehebohan yang timbul. Pada 1 Februari, DPR mengajukan memorandum
terhadap Gus Dur dalam Sidang Istimewa MPR, yang melegalkan pemakzulan dan pencopotan
presiden. Dari hasil pemungutan suara, sangat banyak anggota DPR yang mendukung
memorandum, sementara anggota PKB hanya bisa keluar dari ruang rapat sebagai bentuk
protes. Memorandum tersebut menimbulkan protes luas di kalangan anggota Nahdlatul
Ulama (NU). Di Jawa Timur, anggota NU menyerang kantor Golkar. Di Jakarta, pihak oposisi
mulai menuduh bahwa Gus Dur telah mendorong demonstrasi. Gus Dur menyangkalnya dan
bertemu dengan para pengunjuk rasa di kota Pasuruan dan mendorong mereka untuk berhenti
berdemonstrasi.[17] Meski demikian, pengunjuk rasa NU terus menunjukkan dukungan mereka
kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap membela dan mati
untuk presiden.
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba untuk melawan oposisi yang dimulai dari anggota
kabinetnya sendiri. Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dicopot karena secara publik
menuntut pengunduran diri presiden, sementara Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail juga
dicopot karena dicurigai menyalurkan dana departemennya kepada oposisi Gus Dur. Menyikapi
hal itu, Megawati mulai menjauhkan diri dan tidak hadir dalam pelantikan menteri pengganti.
Pada 30 April, DPR mengeluarkan memorandum kedua dan esok harinya menyerukan Sidang
Istimewa MPR digelar pada 1 Agustus.
Pada bulan Juli, Gus Dur memerintahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan untuk mengumumkan keadaan darurat. SBY menolak dan
Gus Dur mencopotnya dari jabatannya. Pada 20 Juli, Amien Rais mengumumkan Sidang
Istimewa MPR akan dimajukan menjadi 23 Juli. TNI, yang memiliki hubungan buruk dengan Gus
Dur selama masa jabatannya sebagai presiden, menempatkan 40.000 pasukan di Jakarta dan
menempatkan tank yang mengarah ke Istana Presiden untuk unjuk kekuatan.[18] Untuk mencegah
Sidang Istimewa MPR berlangsung, Gus Dur kemudian mengeluarkan maklumat pembubaran
MPR pada tanggal 23 Juli meski tidak memiliki kewenangan untuk itu. Bertentangan dengan
keputusan Gus Dur, MPR melanjutkan Sidang Istimewa dan kemudian dengan suara bulat
memilih untuk memakzulkan Gus Dur dan menangkat Megawati sebagai presiden. Gus Dur
terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tinggal selama beberapa hari di Istana
Kepresidenan tetapi kemudian meninggalkan istana pada 25 Juli untuk segera terbang
ke Amerika Serikat untuk merawat kesehatannya.

Kepresidenan Megawati (2001–2004)[sunting | sunting sumber]


Lihat pula: Megawati Soekarnoputri § Masa kepresidenan

Pelantikan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2001.


Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, putri pendiri Indonesia sekaligus presiden
pertama Sukarno, proses reformasi demokrasi yang dimulai pada periode Habibie dan Gus Dur
terus berlanjut, meskipun berjalan lambat dan tidak menentu. Megawati mengumumkan
susunan Kabinet Gotong Royong pada 10 Agustus 2001 untuk membantunya mengatur negara.
Selama kabinet ini bertugas, Megawati tidak pernah melakukan perombakan kabinet dan hanya
mengangkat beberapa pelaksana tugas karena beberapa menteri mengundurkan diri
sehubungan dengan pencalonan mereka pada Pilpres 2004.
Munculnya ikon oposisi terhadap rezim Suharto ke kursi kepresidenan pada awalnya disambut
secara luas, tetapi segera terlihat bahwa kepresidenannya ditandai dengan ketidaktegasan,
kurangnya arah ideologis yang jelas, dan "dikenal pasif dalam urusan kebijakan penting".[19][20]
[21]
Sisi baik dari lambatnya kemajuan reformasi dan menghindari konfrontasi adalah bahwa
Megawati menstabilkan proses demokratisasi secara keseluruhan dan hubungan antara
legislatif, eksekutif, dan militer.[19]
Meskipun pada tahun 2004 ekonomi telah stabil dan cukup pulih dari krisis 1997, angka
pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi. Konstitusi Indonesia kemudian diamendemen agar
presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan Megawati mencalonkan diri untuk masa jabatan
kedua. Ia secara konsisten tertinggal dalam berbagai jajak pendapat. Sebagian penyebabnya
adalah pemilih Muslim yang cenderung memilih kandidat laki-laki dan kinerja Megawati
dipandang biasa-biasa saja selama menjabat sebagai presiden. Meski tampil lebih baik dari
perkiraan pada putaran pertama pemilu presiden 2004, tetapi di putaran kedua ia dikalahkan
oleh Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan pada masa pemerintahan Megawati.
Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014)
[sunting | sunting sumber]
Lihat pula: Susilo Bambang Yudhoyono § Masa kepresidenan

Pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004.


Pemilu Presiden Indonesia 2004 merupakan pemilu pertama yang memilih pasangan presiden
dan wakil presiden secara langsung. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf
Kalla memenangi pemilu setelah melewati dua putaran pemilihan. Pada 21 Oktober 2004, SBY
mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu.
Dua bulan setelah SBY menjabat, gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia
2004 melanda Aceh dan negara-negara lain di sepanjang garis pantai Samudra Hindia. Tiga
bulan kemudian, gempa susulan memicu tsunami di Pulau Nias. Pada tahun 2006, Gunung
Merapi meletus dan disusul gempa bumi di Yogyakarta.
Indonesia juga mengalami wabah flu burung dan semburan lumpur Sidoarjo. Pada tahun
2007, banjir besar melanda Jakarta. SBY mengizinkan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso membuka
pintu air Manggarai dengan risiko membanjiri Istana Kepresidenan.[22]
Pada 1 Oktober 2005, bom bunuh diri terjadi di pulau Bali. Kelompok Islam militan Jemaah
Islamiyah diduga berada di balik serangan tersebut, meskipun penyelidikan polisi masih
dilakukan. Kelompok tersebut juga bertanggung jawab atas bom Bali 2002. SBY mengutuk
serangan itu serta berjanji untuk "memburu para pelakunya dan membawa mereka ke
pengadilan".[23]
Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%[24] yang kemudian menurun menjadi
5,5% pada tahun 2006.[25] Inflasi mencapai 17,11% pada tahun 2005, tetapi menurun menjadi
6,6% pada tahun 2006.[26]
SBY juga mengalokasikan lebih banyak dana untuk mengurangi kemiskinan. Pada tahun 2004,
18 triliun rupiah dalam APBN dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan, yang meningkat
menjadi 23 triliun pada tahun 2005 dan 51 triliun pada tahun 2006.[27] Pada bulan Maret dan
Oktober 2005, SBY membuat keputusan untuk memotong subsidi bahan bakar yang
menyebabkan kenaikan harga bahan bakar.[28] Masyarakat miskin diberi kompensasi dengan
Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi pemotongan subsidi kemudian menurunkan popularitas
SBY. Pada Mei 2008, kenaikan harga minyak turut mendorong keputusan SBY untuk sekali lagi
memotong subsidi BBM, yang menjadi penyebab protes masyarakat pada Mei dan Juni 2008.
Pada pemilu presiden 2009, SBY terpilih untuk masa jabatan kedua bersama Boediono, mantan
Gubernur Bank Indonesia. Mereka mengalahkan dua kandidat: Megawati Soekarnoputri–
Prabowo Subianto dan wakil presiden saat itu, Jusuf Kalla–Wiranto. Pasangan SBY–Boediono
memenangkan pemilu dengan lebih dari 60% suara nasional pada putaran pertama. Mereka lalu
mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Bersatu II pada 21 Oktober 2009.
Pada Oktober 2010, Gunung Merapi meletus, menewaskan 353 orang.[29] Sementara itu, gempa
bumi dan tsunami juga melanda Kepulauan Mentawai.[30]

Kepresidenan Joko Widodo (2014–2024)[sunting | sunting


sumber]
Lihat pula: Kepresidenan Joko Widodo
Pelantikan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014.
Pada pemilu presiden 2014, Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Jusuf Kalla (yang kembali
dicalonkan sebagai wakil presiden) mengalahkan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Jokowi
adalah presiden pertama tanpa latar belakang politik atau militer yang tinggi.[31] Dalam kampanye
pemilu 2014, Jokowi berjanji akan meningkatkan pertumbuhan PDB hingga 7% dan mengakhiri
kebijakan bagi-bagi kursi (memberikan jabatan pemerintahan pada koalisi politiknya), meski janji
tersebut belum terpenuhi. Pada masa pemerintahannya, rupiah mencapai rekor terendah dalam
20 tahun terakhir.[32][33]
Pernyataan kontroversial yang diucapkan oleh mantan wakil gubernur Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan Muslim saat pemilihan
Gubernur DKI Jakarta 2017. Sejumlah protes dilancarkan sebagai tanggapan atas ucapan Ahok
oleh berbagai kelompok Islam pada November dan Desember 2016 di Jakarta.[34][35]
[36]
Belakangan, pemerintahan Jokowi melarang organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.
Ada kekhawatiran akan menurunnya kebebasan berekspresi selama periode ini, terbukti dengan
penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan banyak orang karena aktivitas media sosial
mereka yang diartikan sebagai "penghinaan" kepada presiden.[37]
Beberapa bencana seperti gempa bumi (di Palu, Lombok, dan Banten) dan kabut asap akibat
deforestasi di Kalimantan dan Sumatra terjadi selama periode pemerintahan Jokowi.
Pengeboman terkait ISIS juga terjadi di Jakarta dan Surabaya.
Pada Maret 2018, Badan Pusat Statistik melaporkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar
9,82 persen, turun dari Maret 2017 yang sebesar 10,64 persen. Ini adalah pertama kali tingkat
kemiskinan di Indonesia turun hingga di bawah dua digit. Sebelumnya, angka kemiskinan selalu
di atas 10 persen, bahkan mencapai 23,4 persen pada 1999 pascakrisis 1997–1998.[38]
Pada 17 April 2019, Indonesia mengadakan pemilihan umum serentak. Untuk pertama kalinya,
pemilihan dilakukan terhadap presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, dan
DPRD secara bersamaan.[39] Pemilu ini digambarkan sebagai "salah satu pemungutan suara satu
hari paling rumit dalam sejarah global".[40] Jokowi dan calon wakil presiden Ma'ruf
Amin mengalahkan Prabowo dan pasangannya, Sandiaga Uno.[41] Pemilu ini diikuti oleh protes
dan kerusuhan di bulan Mei yang mengakibatkan setidaknya delapan pengunjuk rasa tewas.
[42]
Pada 16 Agustus 2019, empat puluh tiga pelajar Papua di Surabaya, Jawa Timur ditangkap
oleh polisi setelah adanya laporan bahwa bendera Indonesia dirusak di luar gedung tempat
mereka tinggal,[43] yang menyebabkan protes di Papua dan bagian lain Indonesia.[44] Serangkaian
demonstrasi massa yang dipimpin oleh mahasiswa terjadi di kota-kota besar Indonesia pada
September 2019 untuk memprotes undang-undang baru yang mengurangi kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) serta beberapa RUU lainnya.[45] Protes tersebut kemudian
berkembang menjadi gerakan mahasiswa terbesar di Indonesia sejak demonstrasi tahun 1998
yang menjatuhkan rezim Suharto.[46]
Penyakit koronavirus 2019 (COVID-19), yang sedang berlangsung di seluruh dunia, pertama kali
dikonfirmasi menyebar ke Indonesia pada 2 Maret 2020.[47] Hingga 5 November 2020, virus ini
telah mengakibatkan lebih dari 14.000 kematian di Indonesia.[48] Pada akhir 2020, pandemi
menyebabkan perekonomian jatuh ke dalam resesi untuk pertama kalinya dalam 22 tahun.
[49]
Pada Oktober 2020, sejumlah protes meluas di seluruh Indonesia setelah DPR
mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial.[50]
Beberapa tujuan reformasi, seperti: Penanganan krisis ekonomi secepat mungkin, terutama untuk mencapai
stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global dan memulihkan kegiatan usaha nasional. Untuk
menciptakan stabilitas nasional dan menjamin kedaulatan rakyat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, diperlukan perluasan dan peningkatan tertib partisipasi politik
warga negara. Menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, Hak Asasi Manusia
(HAM) menuju terciptanya ketertiban umum dan perbaikan sikap mental. Penetapan kerangka dan agenda
reformasi pembangunan bidang agama dan sosial/budaya diperlukan untuk mewujudkan masyarakat
madani. Menata kembali seluruh tatanan pemerintahan, termasuk undang-undang dan konstitusi yang
menyimpang dari tujuan dan cita-cita perjuangan masyarakat Indonesia. Menghapus dan menghilangkan
cara-cara hidup dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang tidak sesuai dengan tuntutan reformasi. Baca
juga: Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Reformasi Penyebab reformasi Berikut beberapa
penyebab timbulnya reformasi: Memburuknya penghidupan ekonomi seluruh warga negara akibat krisis
multidimensi yang berlangsung lama dan berkepanjangan. Dalam bidang ketatanegaraan, termasuk
perundang-undangan dan hukum , terdapat pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaraan
kehidupan. Penyelenggara negara telah menggunakan kewenangannya secara otoriter di luar etika
kenegaraan melaui tindakan yang sangat merugikan dan menekan kehidupan rakyat keseluruhan. Perlu
dilakukan langkah-langkah penyelamatan di segala bidang kehidupan, terutama yang berkaitan dengan
kebutuhan dasar sebagian besar penduduk. Reformasi harus menggunakan landasan kerohanian berupa
falsafah dasar negara Pancasila.

Meysha Banyu Putra Jaga Raditya


XII IPA 4
ERA REFORMASI

Anda mungkin juga menyukai