K.H. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden pada tanggal 20 Oktober 1999. Pemilihannya berjalan dengan demokratis dan transparan. Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Bulan Bintang, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999. Pidato pertamanya setelah terpilih sebagai presiden memuat tugas-tugas yang akan dijalankannya, yaitu sebagai berikut : 1. Peningkatan pendapatan rakyat. 2. Menegakkan keadilan mendatangkan kemakmuran. 3. Mempertahankan keutuhan bangsa dan negara. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid didampingi Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Mereka bekerja sama membentuk kabinet yang disebut dengan Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet diumumkan pada tanggal 28 Oktober 1999. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid melakukan pembagian kekuasaan dengan wakil presiden. Tugas yang menjadi kewenangan wakil presiden, antara lain sebagai berikut : 1. Menyusun program dan agenda kerja kabinet. 2. Menentukan fokus dan prioritas kebijakan pemerintah. 3. Memimpin sedang kabinet. 4. Menandatangani keputusan tentang pengangkatan dan pemberhentian pejabat setingkat eselon satu. Berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden : 2.3.1 Pemulihan Hak-hak Sipil Penganut Konghucu K. H. Abdurrahman Wahid atau kerap dipanggil Gus Dur adalah seorang intelektual, budayawan, dan tokoh masyarakat yang dikenal sangat mengedepankan pliralisme. Akan tetapi, gagasan-gagasanya yang terkadang kontroversial kerap menjadi perdebatan masyarakat. K. H. Abdurrahman Wahid menyadari bahwa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang identitas kultural yang beragam termasuk agama. Pada Era Orde Baru, kehidupan beragamadi Indonesia diatur melalui surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/B.A.012/4683/95 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, dan Budha, sedangkan Konghucu tidak diakui sebagai agama dan tidak boleh diajarakan di sekolah-sekolah. Untuk mengatasi hal itu, Abdurrahman Wahid menerbitkan keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut Konghucu. Etnis cina yang selama bertahun-tahun diperlakukan sebagai kelompok minoritas, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahiddapat merasakan kelegan yang berarti. Presiden Abdurrahman Wahid berupaya membebaskan kehidupan umat beragama dari campur tangan negara. Ia mengajak semua komponen bangsa untuk saling menghargai satu dengan yang lain. Wawasan kebangsaan yang berlandaskan relativisme ternyata masih berbenturan dengan sebagai kelompok masyarakat yang berpaham etnosentrisme, lebih-lebih dalam kaitanya dengan isu agama. Tantangan keras pertama terjadi pada awal pemerintahanya karena ia berkeinginan membuka hubungan perdagangan dengan Israel. Keinginan tersebut mendapat tentangan keras dari kekuatan-kekuatan Islam dan membawa persoalan ini sebagai kasus agama. 2.3.2 Perhatian Presiden pada Kebebasan Pers Abdurrahman Wahid juga meneruskan kebijakan Presiden B. J. Habibi di bidang pers, kendati beberapa peristiwa justru menunjukkan kebalikan sikapnya yang selama ini dianggap sebagai seorang demokrat. Pada masa pemerintahanya terjadi pengrusakan dan penyegelan terhadap kantor harian Jawa Pos di Surabaya yang dilakukan oleh masa pendukungnya karena dianggap memuat pemberitaan tentang berbagai kasus negatif di jaringan kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid. Walaupun demikian, kejadian tersebut justru didukung oleh Abdurrahman Wahid yang menganggao bahwa harian Jawa Pos telah menempuk mekanisme yang salah. Ia juga seringkali menyalahkan dunia pers yang dianggap salah mengutip berbagai pernyataan-pernyataan yang kontroversial. 2.3.3 Kasus KKN Suharto Dibuka Kembali Kasus KKN yang dituduhkan terhadap mantan Presiden Suharto, pada masa Abdurrahman Wahid dibuka kembali pada tanggal 6 Desember 1999. Gus Dur mengusulkan agar Suharto sebaiknya menyerahkan hartanya kepada negara, selain juga diproses hukum. Jaksa Agung Marzuki Darusman bertekad menyelesaiakn kasus mantan Presiden RI ini di pengadilan. Namun Gus Dur tampaknya lebih cenderung menghindari proses peradilan dan lebih mengutamakan penyelesaian secara politis, asal Suharto mau mengembalikan sebagian kekayaanya kepada masyarakat. Di kemudian hari, proses peralihan Suharto pun dimulai. Akan tetapi, pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan dengan alasan kondisi kesehatan Suharto terganggu. Kejaksaan agung akhirnya hanya mengenakan tahanan kota dan larangan bepergian ke luar negeri kepada mantan Presiden Orde Baru tersebut. Setelah status tahanan kota berubah menjadi tahanan rumah, pada tanggal 3 Agustus 2000 Suharto dinyatakan sebagai terdakwa kasus korupsi yang berkaitan dengan yayasan-yayasan yang pernah dipimpinya. 2.3.4 Perjalanan Luar Negeri Presiden Pada bulan Januari 2000, K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan perjalanan keluar negeri yaitu ke Swiss untuk menghadiri forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Pada bulan February, Abdurrahman Wahid melakukan perjalanan luar negeri lainya dengan mengunjungi Ingris, Prancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Abdurrahman Wahid juga mengunjungi Timor Leste. Pada bulan April, Abdurrahman Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77, sebelum kembali melewati kota Meksiko dan Hong Kong. Pada bulan Juni, Abdurrahman Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Prancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir sebagai tambahan paru dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya. Ketika Abdurrahman Wahid berkelanan ke negara-negara Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Abdurrahman Wahid melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Tiomor-Timur oleh Wiranto. Abdurrahman Wahid kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Abdurrahman Wahiduntuk tidak menggantikanya. Pada bulan April 2000, Abdurrahman Wahid memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Abdurrahman Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasusu korupsi, meskipun Abdurrahman Wahid tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Hal ini memperburuk hubungan Abdurrahman Wahid dengan Golkar dan PDI-P. 2.3.5 Negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Pada bulan Maret 2000, pemerintahan Abdurrahman Wahid mulai melakukan negosiasi dengan gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepakatan dengan GAM. 2.3.6 Pencabutan Pelarangan Marxisme dan Leninisme Abdurrahman Wahid juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninnisme dicabut. 2.3.7 Membuka Hubungan dengan Israel Selain itu, Presiden Abdurrahman Wahid juga membuka hubungan dengan Israel, yang meyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini dianggkat dalam pidato Ribbhi Awud, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain muncul adalah keanggotaan Abdurrahman Wahid pada Yayasan Shimon Peres. Baik Abdurrahman Wahid dan menteri luar negerinya Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina untu Indonesia, diganti. 2.3.8 Reformasi Militer Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial politik, Abdurrahman Wahid menentukan sekutu, yaitu Agus Wirahardikusuma, yang diangkat menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada bulan Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melkibatkan Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Abdurrahman Wahid mengikuti tekanan tersebut, tapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun sehingga Abdurrahman Wahid kembali harus menurut pada tekanan.
2.3.9 Amandemen Kedua UUD 1945
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR kemabali melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen yang dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2000 tersebut berkaiatan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, dan kota dengan memperhatikan kekhususan, keistimewaan, dan keragaman daerah. Sementara itu, institusi ABRI yang selama rezim Orde Baru diindikasikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan melakukan tindakan represif terhadap berbagai gerakan dan upaya demokrasi, dirombak dengan memisahkan Polri dan ABRI sehingga terbentuk dua institusi, yakni TNI dan Polri. Penegasan pemisahan ini sekaligus merupakan upaya untuk mengambil fungsi-fungsi tiap-tiap institusi tersebut, yakni TNI sebagai alat pertahanan negara dan Polri sebagai alat keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakkan hukum. Bila pada masa Orde Baru ABRI menempati posisi sentral, pada masa reformasi ABRI harus rela memberi jalan bagi instansi fungsional terkait untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya. [3] Akhir Pemerintahan Gus K.H Abdurahman Wahid Ketika hubungan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dan Poros Tengah tidak harmonis, DPR mengeluarkan Memorandum I dan II untuk menjatuhkannya dari kursi kepresidenan. Sebagai reaksi baliknya, presiden mengeluarkan maklumat pada tanggal 28 Mei 2001 dan menjawab. Memorandum II dengan jawaban yang dibacakan oleh Menko Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 29 Mei 2001, yang antara lain isinya membekukan lembaga MPR dan DPR. Puncaknya K.H Abdurrahman Wahid mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekrit Presiden[4]. Secara umum dekrit tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur- unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung Akhir jabatan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid terjadi ketika berlangsung Rapat Paripurna MPR pada tanggal 21 Juli 2001. Rapat tersebut dianggap sebagai Sidang istimewa MPR. Keputusan yang diambil sidang istimewa tersebut sebagai berikut : 1. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid diberhentikan secara resmi sebagai presiden berdasarkan Ketetapan MPR No. II Tahun 2001. 2. MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. III tahun 2001 untuk menetapkan dan melantik Wakil Presiden Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri sebagai presiden kelima Republik Indonesia.