Anda di halaman 1dari 17

PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI

PADA MASA PEMERINTAHAN


PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID

Oleh Kelompok 2 :
1. Muh. Hasyim Labobar
2. Muflih Athillah
3. Misbayanti
4. Muh. Ikram
5. Nur Alifah Putri Nabila
6. Muh. Fadhil Ramadhan
7. Miftahul Akil

Kelas : XII MIPA 7

SMA NEGERI 3 MAROS


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Perkembangan Politik dan Ekonomi
pada Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini dapat diselesaikan
dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku
umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata pelajaran Sejarah
Indonesia. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini. Dan kami juga menyadari
pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu
dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini sehingga kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah
Perkembangan Politik dan Ekonomi pada Masa Pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Maros, Senin 23 Januari 2023


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................ 2

C. Tujuan.................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pembentukan Kabinet Persatuan Nasional........................... 4

B. Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan...................... 5

C. Reformasi di Bidang Militer................................................. 6

D. Kejatuhan Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid..... 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................... 11

B. Saran..................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur
terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat pada tanggal 20
Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden tidak terlepas dari
keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J.
Habibie. Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros
Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni
Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui
pemungutan suara dalam rapat paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno
Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden setelah mengungguli Hamzah
Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara pula. Ia
dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.
Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam
melanjutkan cita-cita reformasi diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan
Nasional. Kabinet ini adalah kabinet koalisi dari partai-partai politik yang
sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden yakni PKB,
Golkar, PPP, PAN, PK, dan PDI-P. Di awal pemerintahannya, Presiden
Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur
pemerintahan. Selain itu, pemerintah berpandangan bahwa aktivitas yang
dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat ditangani oleh masyarakat
sendiri. Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan
merupakan salah satu upaya untuk melanjutkan reformasi di bidang sosial dan
politik mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan
Orde Baru dalam mengendalikan media massa terutama media massa yang
mengkritisi kebijakan pemerintah.
Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan
pembentukan Departemen Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No.
355/M tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999. Sedangkan penjelasan mengenai

1
2

tugas dan fungsi termasuk susunan organisasi dan tata kerja departemen ini
tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999 tanggal 10 November
1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000
tanggal 23 November 2000. Pembentukan departemen ini memiliki nilai
strategis mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor
kelautan Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru
belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sebelumnya. Selain
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan, berbagai kegiatan ekonomi
yang terkait langsung dengan laut meliputi pariwisata, pengangkutan laut,
pabrik dan perawatan kapal dan pengembangan budi daya laut melalui
pemanfaatan bioteknologi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas di dalam makalah tentang Perkembangan Politik dan Ekonomi pada
Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembentukan kabinet persatuan nasional pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid?
2. Bagaimana reformasi bidang hukum dan pemerintahan pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid?
3. Bagaimana reformasi di bidang militer pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid?
4. Bagaimana kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Perkembangan
Politik dan Ekonomi pada Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pembentukan kabinet persatuan nasional pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
3

2. Untuk mengetahui reformasi bidang hukum dan pemerintahan pada masa


pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
3. Untuk mengetahui reformasi di bidang militer pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid.
4. Untuk mengetahui kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Kabinet Persatuan Nasional


Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet
koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar,
PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam
kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi
pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen
Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi
kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup. Pada November
1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika
Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania. Setelah itu, pada bulan Desember, ia
mengunjungi Republik Rakyat Tiongkok.
Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri
Koordinator Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz
mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan November. Muncul dugaan
bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa
anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika
Serikat. Beberapa menduga bahwa pengunduran diri Hamzah Haz diakibatkan
karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur dengan Israel.
Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun
referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti
referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang
lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di
Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi
Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid
berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong
penggunaan nama Papua.

4
5

B. Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan


Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melakukan
amandemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000. Amandemen
tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota.
Amandemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum
berikutnya yakni pemilik hak suara dapat memilih langsung wakil-wakil
mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut.
Selain amandemen tersebut, upaya reformasi di bidang hukum dan
pemerintahan juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur TNI dan Polri. Institusi ini kerap
dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan
terutama dalam melakukan tindakan represif terhadap gerakan demokrasi.
Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi
masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri dalam menjaga
kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing,
sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan
ketertiban.
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN
yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN
tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa
yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Namun
dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto belum dapat
dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung
menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan dilarang
bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan
sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.
Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah pemulihan
hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang
beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai
pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa
6

pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi


campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia
justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik
pendukungnya terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel. Sikap
Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam
masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak kelompok
minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya berbagai aksi penolakan
terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya.
Dalam kasus komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan
gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap. MPRS No. XXV
tahun 1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan
penyebaran Marxisme dan Leninisme. Gagasan tersebut mendapat tantangan
dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh
organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat
Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa
rencana dan gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.
Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid
dengan organisasi massa dan partai politik Islam yang notabene justru menjadi
pendukungnya saat ia terpilih menjadi presiden adalah gagasannya untuk
membuka hubungan dagang dengan Israel. Gagasannya tersebut mendapat
tantangan keras mengingat Israel adalah negara yang menjajah dan telah
banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap
warga Palestina yang mayoritas beragama Islam. Membuka hubungan dagang
dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara
yang menyerukan agar penjajahan di atas dunia dihapuskan.

C. Reformasi di Bidang Militer


Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai
meminta Jenderal Wiranto mengundurkan diri dari jabatan Menteri
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai
halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan
7

pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto. Ketika Gus Dur kembali
ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur
agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah
pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat
Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri
Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah
bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah
memberikan bukti yang kuat. Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur
dengan Golkar dan PDI-P.
Dalam usaha mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang
sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu, yaitu Agus Wirahadikusumah,
yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada bulan Maret. Pada Juli
2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma Putra, yayasan
yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota TNI
mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti
tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat. Petinggi TNI merespons dengan mengancam untuk pensiun,
sehingga Gus Dur kembali harus menurut pada tekanan.
Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar
Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke
Maluku untuk membantu orang Muslim dalam konflik dengan orang Kristen.
Wahid meminta TNI menghentikan aksi Laskar Jihad, tetapi mereka tetap
berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai oleh senjata TNI.

D. Kejatuhan Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid


Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas
dari akumulasi berbagai gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan
mendapat tantangan keras dari berbagai organisasi massa dan partai politik
Islam yang semula mendukungnya kecuali NU dan PKB. Keduanya
merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga akhir masa
pemerintahannya. Selain gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan
Tap. MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan pembukaan
8

hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid


dengan DPR dan bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet
pemerintahannya terbilang tidak harmonis. Penyebab ketidakharmonisan
tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan mengangkat
menteri tanpa memberikan keterangan yang dapat diterima oleh DPR.
Pemberhentian Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman
Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan
bahkan menyebabkan DPR mengajukan hak interpelasinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan
jajaran pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya dugaan
bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana
Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana
bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya
membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melakukan penyelidikan
keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam kasus tersebut.
Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui dan menerima hasil kerja
Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan memorandum yang dikeluarkan
DPR berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan
bahwa presiden telah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945
Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. Presiden Abdurrahman
Wahid tidak menerima isi memorandum tersebut karena dianggap tidak
memenuhi landasan konstitusional. DPR sendiri kembali mengeluarkan
memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada
tanggal 30 April 2000. Rapat tersebut memberikan laporan pandangan akhir
fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.
Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring dengan
ancaman presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk
menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan
keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula
akan terjadi pergantian anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan Polri untuk
mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap
9

menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah. Situasi ini juga


meningkatkan ketegangan para pendukung presiden dan pendukung sikap
DPR di tingkat akar rumput. Ribuan pendukung presiden terutama yang
tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi menentang diadakannya
Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari
kursi kepresidenan. Aksi ini berujung pada pengrusakan dan pembakaran
berbagai fasilitas umum dan gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah
partai politik dan organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk
mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paipurna DPR, Kejaksaan
Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus skandal keuangan
Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunai yang diduga
melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti. Hasil akhir
pemeriksaan ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada
pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001. Ketegangan antara pendukung presiden
dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan
niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri
menganggap bahwa landasan hukum memorandum kedua belum jelas. DPR
akhirnya menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR
mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa
yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Di sisi lain Presiden
Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatan
presiden dan sebaliknya menganggap bahwa sidang istimewa tersebut
melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan ilegal.
Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya
mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut
selanjutnya disebut Dekrit Presiden. Secara umum dekrit tersebut berisi
tentang pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan
menyelamatkan gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru
10

sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah


Agung.
Namun isi dekrit tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI
dan Polri yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah
penyelamatan tidak melaksanakan tugasnya. Seperti yang dijelaskan oleh
Panglima TNI Widodo AS, sejak Januari 2001, baik TNI maupun Polri
konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Sikap TNI dan
Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar
Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum fraksi-fraksi atas
pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan
pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR
No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid
dan Rancangan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil
Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut.
Presiden dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan
menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa
MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI. Dengan demikian MPR
memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan mengangkat
Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik
Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sidang Umum MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih
tinggi. Sekutu Wahid seperti Megawati, Akbar dan Amien masih
mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal dan pencopotan menteri.
Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota
MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan
menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan
mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR
berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan
Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan
kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati
menunjukkan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman
kabinet. Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan.
Tidak terdapat anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku
karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa
Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh
Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama,
bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan
bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia.
[49] Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember
2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota
lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elite politik yang kecewa
dengan Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukkan
kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa mendukung Gus Dur
sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi
dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik
mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu

11
12

pemilihan umum legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 anggota
DPR menandatangani petisi yang meminta pemakzulan Gus Dur.

B. Saran
Memahami perkembangan politik dan ekonomi pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dapat memberikan pelajaran
penting bagi perubahan sistem demokrasi dan upaya memperbaiki kehidupan
berbangsa dan bernegara di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Barton, Greg. 2002. Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian


President. Singapore: UNSW Press.

Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of


Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS..

Gonggong, Anhar dan Musya Asy’arie (ed). 2005. Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.

Anda mungkin juga menyukai