Anda di halaman 1dari 3

2.

Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Abdurrahman Wahid yang lebih


dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat
pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden tidak terlepas dari

keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat
dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid
mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden
yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam Rapat Paripurna ke-13 MPR.

Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita


reformasi diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Kabinet ini adalah
kabinet koalisi dari partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid
menjadi presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P. Di awal pemerintahannya,
Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur pemerintahan.

Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan pembentukan


Departemen Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No. 355/M Tahun 1999 tanggal 26
Oktober 1999. Sedangkan penjelasan mengenai tugas dan fungsi termasuk susunan
organisasi dan tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No.

a) Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan Pada masa pemerintahan Abdurrahman


Wahid, MPR melakukan amendemen terhadap UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000.
Amendemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Amendemen
ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak
suara dapat memilih langsung wakilwakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut.

Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa
pemerintahan Orde Baru. Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah
pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang
beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 mengenai pemulihan
hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden
Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat
beragama namun di sisi lain
ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya
terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel.

Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi


massa dan partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya saat ia terpilih
menjadi presiden adalah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel.
Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel adalah negara yang
menjajah dan telah banyak melakukan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam.
Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi
berbagai gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari
berbagai organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU
dan PKB.
Pemberhentian Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf
Kalla sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahkan menyebabkan DPR
mengajukan hak interpelasinya.

Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran


pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya dugaan
bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana
Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana bantuan
Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS. DPR akhirnya membentuk Panitia
Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus tersebut.

Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui dan menerima hasil kerja


Pansus. Keputusan tersebut diikuti dengan memorandum yang dikeluarkan DPR
berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan
bahwa Presiden telah melanggar haluan negara. Presiden Abdurrahman Wahid tidak
menerima isi memorandum tersebut karena dianggap tidak memenuhi landasan
konstitusional. DPR
sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna
DPR yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000. Rapat tersebut
memberikan laporan pandangan akhir fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden
terhadap memorandum pertama.

Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring dengan


ancaman presiden terhadap DPR. Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk menggelar
Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan
keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi
pergantian anggota DPR, dan memerintahkan TNI dan
Polri untuk mengambil tindakan hukum terhadap sejumlah orang tertentu
yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah. Ribuan pendukung
presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melakukan aksi menentang
diadakannya
Sidang Istimewa MPR yang dapat menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari kursi
kepresidenan. Aksi ini berujung pada perusakan dan pembakaran
berbagai fasilitas umum dan gedung.

Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paripurna DPR, Kejaksaan Agung


mengumumkan bahwa hasil penyelidikan kasus skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog
dan sumbangan Sultan Brunei yang diduga melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak
terbukti.

Ketegangan antara pendukung presiden dan pendukung diselenggarakannya


Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan
Sidang Istimewa MPR. Presiden sendiri menganggap bahwa landasan hukum memorandum
kedua belum jelas. DPR akhirnya menyelenggarakan
rapat paripurna untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang
dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais. Akan tetapi, Abdurrahman Wahid tetap tegas untuk
tidak turun dari jabatan yang ia duduki.

Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan


Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001. Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekret
Presiden. Secara umum Dekret tersebut berisi tentang pembekuan MPR dan DPR RI,
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu
tahun dan menyelamatkan
gerakan reformasi dari hambatan unsur-unsur Orde Baru sekaligus
membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Namun isi
Dekret tersebut tidak dapat dijalankan terutama karena TNI dan Polri yang diperintahkan
untuk mengamankan langkah-langkah penyelamatan tidak melaksanakan tugasnya.

Sikap TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar
Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum
fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan
dengan pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No.
II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban
Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan Ketetapan MPR No. III/
MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai
Presiden Republik Indonesia. Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan
tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak
untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan
Maklumat Presiden RI. Dengan
demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan
mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik
Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.

Anda mungkin juga menyukai