keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie. Berkat
dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid
mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden
yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam Rapat Paripurna ke-13 MPR.
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa
pemerintahan Orde Baru. Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid adalah
pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang
beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 mengenai pemulihan
hak-hak sipil penganut agama Konghucu. Pada masa pemerintahannya, Presiden
Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat
beragama namun di sisi lain
ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya
terutama dalam kasus komunisme dan masalah Israel.
Sikap TNI dan Polri tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar
Sidang Istimewa dengan agenda pemandangan umum
fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan
dengan pemungutan suara untuk menerima atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No.
II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban
Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan Ketetapan MPR No. III/
MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai
Presiden Republik Indonesia. Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan
tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan negara karena tidak hadir dan menolak
untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan
Maklumat Presiden RI. Dengan
demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan
mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik
Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.