Anda di halaman 1dari 19

PANDUAN PELAYANAN RESIKO

TINGGI DI KLINIK RIDHO HUSADA

No Dokumen :
Tanggal Terbit :

Pimpinan Klinik Ridho Husada

dr. Imelda Carolia, M.Kes., Sp. KKLP.

KLINIK PRATAMA RIDHO HUSADA


TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas


limpahan rahmat dan petunjuk-Nya jualah akhirnya penyusunan Panduan Pelayanan Pasien
Resiko Tinggi berhasil diselesaikan.

Klinik juga menyediakan berbagai variasi pelayanan, sebagian termasuk yang berisiko
tinggi karena memerlukan peralatan yang kompleks, yang diperlukan untuk pengobatan
penyakit. Penanganan pasien yang berisiko, mengingat kompleksitas penanganannya, mulai
dari skrining, asesmen dan penatalaksanaannya. Panduan Pelayanan Pasien resiko tinggi
merupakan alat yang sangat penting bagi staf untuk memahami pasien tersebut dan
pelayanannya dan memberi respon yang cermat, kompeten dan dengan cara yang seragam.
Pimpinan bertanggung jawab untuk: 1) mengidentifikasi pasien dan pelayanan yang dianggap
berisiko tinggi di klinik; 2) menggunakan proses kerjasama (kolaborasi) untuk
mengembangkan kebijakan dan prosedur yang sesuai; dan 3) melaksanakan pelatihan staf
dalam mengimplementasikan kebijakan dan prosedur.

Akhir kata, Panduan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu peran serta dan
masukan dari seluruh pihak yang terkait sangat diharapkan.

Gedong Tataan, Agustus 2023

TIM PENYUSUN

2
DAFTAR ISI

Daftar Isi
BAB I Pendahuluan

Definisi
Tujuan

BAB II Ruang Lingkup


A. Kegiatan Pelayanan Pasien

B. Kewenangan Pelaksana

C. Waktu Pelaksanaan
BAB III Tata Laksana
A. Pelaksanaan Kasus gawat darurat
B. Pelayanan nyeri akut

C. Pelayanan pasien resiko bunuh diri

D. Pelayanan Pasien Yang Rentan, Lanjut Usia Dengan Ketergantungan Bantuan

E. Tata Laksanan Pelayanan Pasien Menular


F. Tata Laksana Pengaturan Ruang Perawatan Pasien Tb
G. Penanganan Limbah Pasien Dengan Penyakit Menular
H. Tata Laksana Perlindungan Terhadap Pasien Anak-Anak
I. Tata Laksana Perlindungan Terhadap Penderita Cacat
J. Tata Laksana Penggunaan Peralatan Makan Pasien Dengan Penyakit Menular
K. Tata Laksana Perlindungan Terhadap Pasien Yang Berisiko Disakiti (Risiko
Penyiksaan, Tersangka Tindak Pidana, Korban Kekerasan, Napi, Dsb)

L. Tata Laksana Pelayanan Pasien Dengan Resiko Kekerasan Tata Laksana Pemeriksaan
Identifikasi Pengunjung
M. Tata Laksana Terjadinya Kekerasan Fisik Terhadap Pasien
N. Tata Laksana Pelaporan Tindak Kekerasan Fisik

Bab Iv Dokumentasi

A. Pencatatan seluruh kegiatan yang dilaksanakan pada rekam medis


Rekam medis pemberian asesmen

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Pelayanan pasien resiko tinggi adalah proses pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien oleh petugas kesehatan kepada pasien yang tergolong pasien beresiko

B. Tujuan
Memberikan pelayanan kepada pasien resiko tinggi msesuai dengan kebutuhan
pasien

4
BAB II

MATERI PELATIHAN RUANG LINGKUP

A. Kegiatan Pelayanan Pasien RESIKO TINGGI


1. Pelayanan Gawat Darurat
2. Pelayanan resusitasi dan bantuan hidup dasar
3. Pelayanan Pasien dengan Penyakit Menular
4. Pelayanan pasien lanjut usia, anak dengan ketergantungan dan dengan
kekerasan fisik

B. Kewenangan Pelaksanaan
1. Dokter
2. Perawat/Bidan
3. Apoteker
4. Analis
5. Ahli gizi

C. Waktu Pelaksanaan

1. Asemen ulang dilakukan

5
BAB III
TATA LAKSANA

A. JENIS PELAYANAN YANG BERESIKO

1 PELAYANAN KASUS GAWAT DARURAT (TRIAGE)


Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan
terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) hila tidak dilakukan
pertolongan secepatnya. Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua,
yaitu: pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat
darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei pnmer untuk mengidentifikasi
masalah-masalah yang mengancam hidup pasien barulah selanjutnya dilakukan survey
sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi:
A (Airway) memeriksa jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai
control servikal. B (Breathing) memeriksa pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan
agar oksigenasi adekuat. C (Circulation) memeriksa system sirkulasi disertai control
perdarahan. D (Disability) memeriksa status neurologis. E (Exposure) enviromental
control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia. Pengkajian primer bertujuan
mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer
dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan
secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada
Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan
penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah system
pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien
dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat
sehingga memerlukan pertolongan segera.
Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak
permanen, lebih dari 10 menit akan menyebakan kematian. Oleh karena itu pengkajian
primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.
Tatalaksana pelayanan gawat darurat:

1) Pasien / keluarga pasien mendaftar ke bagian informasi dan pendaftaran


2) Dokter jaga IGD melakukan pemeriksaan pada pasien secara lengkap dan
menentukan prioritas penanganan.
3) Prioritas pertama (I, tertinggi, emergency ) yaitu mengancam jiwa / mengancam
fungsi vital, pasien ditempatkan diruang resusitasi
4) Prioritas kedua (II, medium, urgent ) yaitu potensial mengancam jiwa /
fungsi vital, bila tidak segera ditangani dalam waktu singkat. Penanganan dan6
pemindahan bersifat terakhir. Pasien ditempatkan di ruang tindakan bedah
/non bedah
5) Prioritas ketiga (III, rendah, non emergency) yaitu memerlukan pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir.
Tata Laksana Pelayanan Resusitasi

1) Lakukan pijat jantung dengan frekuensi pijatan 100 kali per menit, dengan kedalaman
pijatan kurang lebih 5 cm

1) Pijatan dilakukan pada bagian bawah tulang dada/sternum, dengan kedua telapak tangan
ditautkan, dan lengan atas dan bawah dalam keadaan satu garis lurus. Kekuatan pijatan
pada bahu.

2) Buka jalan napas dengan cara angkat dagu dan tengadahkan kepala (head tilt & chin
lift)

3) Berian napas buatan dua kali, dengan rasio pijatan dengan napas buatan 30:2

4) Ventilasi dengan menggunakan alat bantu bag & mask, harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:

5) Periksa apakah muncul denyut nadi, bila belum muncul denyut nadi ulangi proses di atas
dengan selang waktu dua menit.

2. PELAYANAN NYERI (AKUT ATAU KRONIS)

a. Pelayanan Nyeri

Pelayanan nyeri adalah pelayanan penanggulangan nyeri (rasa tidak


nyaman yang berlangsung dalam periode tertentu) baik akut maupun kronis.
Pada nyeri akut, rasa nyeri timbul secara tiba-tiba yang terjadi akibat
pembedahan, trauma, persalinan dan umumnya dapat diobati. Pada nyeri kronis,
nyeri berlangsung menetap dalam waktu tertentu dan seringkali tidak responsif
terhadap pengobatan.
b. Sasaran

Kelompok pasien di bawah ini merupakan pasien dengan kebutuhan


khusus yang perlu mendapat perhatian:
1) Anak-anak
2) Pasien obstetrik
3) Pasien lanjut usia
4) Pasien dengan gangguan kognitif atau sensorik
5) Pasien yang sebelumnya sudah ada nyeri atau nyeri kronis
6) Pasien yang mempunyai risiko menderita nyeri kronis

3. PELAYANAN PASIEN RESIKO BUNUH DIRI


Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk mengakhiri
kehidupannya. Berdasarkan besamya kemungkinan pasien melakukan bunuh diri, kita
mengenal tiga macam perilaku bunuh diri, yaitu:
a. Isyarat Bunuh Diri
Ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan
mengatakan: "To long jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh!" atau "Segala sesuatu
akan lebih baik tanpa saya". Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk
mengakhiri hidupnya namun tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien
umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalahlsedihlmarahlputus asaltidak
berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
b. Ancaman Bunuh diri
Umumnya diucapkan oleh pasien, berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk
8
mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif
pasien telah I memikirkan rencana bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh
diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien belum pemah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat
harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.
c. Percobaan Bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri
kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri,
minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.
4. PELAYANAN PASIEN YANG RENTAN, LANJUT USIA DENGAN
KETERGANTUNGAN BANTUAN.
Pada usia lanjut gejala klinik gangguan jiwa seringkali berbeda dengan penderita usia
lebih muda. Perubahan yang terjadi pada lanjut usia sejalan dengan periode penuaan
menunjukkan adanya kelainan patologi yang multiple merupakan suatu tantangan dalam
menilai gejala klinik, pemberian pengobatan dan rehabilitasi. Menua sehat seringkali
digunakan sebagai sinonim dari bebas dari ketidakmampuan pada lanjut usia. Jadi menua
sehat harus diikuti dengan lanjut usia yang aktif, senantiasa berperan serta pada aktifitas.
social, budaya, spiritual, ekonomi dan peristiwa di masyarakat.
Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan,
diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis ataupun psikiatrik pada lanjut usia. Saat
ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik analog dengan psikiatrik
anak (Brcoklehurts Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia
memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manifestasi klinis,
pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis dewasa muda dan lanjut
usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982).
Faktor penyulit pada lanjut usia juga perlu dipertimbangkan. antara lain sering adanya
penyakit dan kecatatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (Polifarmasi) dan
peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi, 1984). Oleh
karena itu pasien lansia dan cacat merupakan salah satu pasien yang beresiko tinggi yang
perlu mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu pasien lansia dan cacat merupakan salah
satu pasien yang beresiko tinggi yang perlu mendapat perhatiam khusus.

Tata Laksana Skrining Kebutuhan Pelayanan Pasien Lanjut Usia

1) Skrining terhadap pasien lanjut usia yang memerlukan pelayanan khusus dilakukan
oleh seluruh unit yang berinteraksi dengan pasien sesuai dengan kompetensi masing-
masing.
2) Skrining pasien lanjut usia dilakukan oleh dokter, perawat, dan profesional lainnya
sesuai dengan kompetensi masing-masing untuk menemukan status fisiologis pasien
lanjut usia yang berisiko dan berbeda dengan pasien dewasa lainnya, untuk dilakukan
pelayanan khusus.
a. Kondisi berisiko tersebut antara lain:

a) kemampuan berjalan

b) perubahan tekstur kulit

c) inkontinentia urine

d) penggunaan gigi palsu

b. Kondisi berisiko tersebut perlu segera diketahui oleh tenaga profesional 9di
klinik, untuk selanjutnya dikolaborasikan untuk menentukan asesmen dan
pelayanan yang sesuai untuk pasien lanjut usia tersebut.

Tata Laksana Asesmen Kebutuhan Pelayanan Pasien Lanjut Usia


1) Apabila tenaga profesional dalam proses skrining menemukan adanya faktor
berisiko pada pasien lanjut usia, wajib segera melakukan asesmen sesuai dengan
kompetensi masing-masing untuk melakukan asesmen.
2) Asesmen pasien lanjut usia yang berisiko dalam berjalan, dilaksanakan
berdasarkan Panduan Asesmen Risiko Jatuh.
3) Faktor risiko terjadinya inkontinensia urin dilakukan asesmen apakah pasien lanjut
usia tersebut perlu menggunakan kateter, dengan melakukan asesmen seksama
adanya kontra indikasi pemasangan kateter.
4) Temuan adanya perubahan tekstur kulit perlu dilakukan asesmen sebelum dilakukan
tindakan invasif pemberian injeksi maupun pengambilan sampel darah, sehingga
dapat dicegah kemungkinan terjadinya ekstravasasi dan atau terjadinya infeksi aliran
darah perifer.
5) Pasien lanjut usia yang dirawat inap dalam waktu lama akan berpotensi terjadi
decubitus. Oleh karena itu perlu dilakukan asesmen untuk mengetahui apakah
pasien perlu dilakukan asuhan keperawatan khusus, atau kebutuhan penggunaan
kasur air untuk mencegah terjadinya decubitus tersebut.

Tata Laksana Pelayanan Pasien Lanjut Usia

1. Masing-masing tenaga professional kesehatan diharapkan dapat mengumpulkan


informasi mengenai kondisi fisiologis pasien usia lanjut terkait dengan kondisi
penyakit yang dialami.
2. Berdasarkan informasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis untuk menentukan
rencana pelayanan kesehatan khusus terkait dengan proses penuaan yang ada.
3. Rencana pelayanan khusus ini perlu dibuat dan disusun sebagai pelengkap rencana
pelayanan terkait dengan penyakit yang dialami sebagaimana pasien dewasa pada
umumnya.
4. Apabila berdasarkan asesmen khusus yang dilakukan terhadap pasien usia lanjut
oleh masing-masing tenaga professional kesehatan diperlukan pelayanan khusus,
maka perlu koordinasi dengan dokter untuk persetujuan diberikannya rencana
pelayanan khusus tersebut.
5. Semua pelayanan khusus terhadap pasien usia lanjut harus dicatat di dalam rekam
medis pasien, dan apabila diperlukan dapat ditulis sedemikian rupa untuk
mendapatkan perhatian.
6. Pasien usia lanjut yang sedemikian terbatas kemampuan melaksanakan aktivitas
rutin individual, perlu didampingi oleh keluarga selama 24 jam.
7. Pelayanan pasien usia lanjut melibatkan keluarga dalam pengambilan keputusan
dan persetujuan terhadap rencana pelayanan dan tindakan medis maupun
pengobatan yang akan diberikan.
10
Tata Laksana Pemberian Obat Dan Monitoring

1. Pemberian antibiotika pada pasien lanjut usia perlu mempertimbangkan factor


penurunan kekebalan tubuh pasien serta penurunan kemampuan organ tubuh untuk
memetabolisir obat antibiotika.
2. Farmasis perlu mengkoordinasikan kepada dokter apabila diketahui jenis dan dosis
antibiotika yang diberikan kurang sesuai atau merupakan kontraindikasi untuk
diberikan kepada pasien lanjut usia.
3. Pasien usia lanjut perlu mendapatkan bantuan dalam mendapatkan pemberian obat
per oral, dan perlu dicatat dalam rekam medis, mengingat penurunan daya ingat
pasien usia lanjut.

Tata Laksana Pemberian Asupan Nutrisi Pasien Lanjut Usia

1. Kebutuhan nutrisi pasien usia lanjut selain berdasarkan kondisi penyakitnya, perlu
disesuaikan dengan fungsi pencernaan yang sangat mungkin mengalami
penurunan, terlebih apabila didapatkan adanya kondisi/gangguan fungsi saluran
pencernaan.
2. Jenis dan menu nutrisi yang diberikan kepada pasien usia lanjut perlu disesuaikan
dengan kemampuannya mencernakan makanan yang diperlukan. Misalnya pasien
dengan gigi palsu, sebaiknya diberikan makanan lunak atau bubur, mengingat
dokter mungkin merekomendasikan untuk menanggalkan gigi palsu tersebut
selama pelayanan di klinik.
3. Sedapat mungkin pemberian makanan pasien usia lanjut dilakukan oleh perawat,
atau setidaknya oleh keluarga yang telah mendapatkan informasi cara pemberian
makanan tersebut oleh ahli gizi.
Tata Laksana Pecegahan Risiko Jatuh Pasien Lanjut Usia

1. Keterbatasan mobilitas pasien usia lanjut perlu diidentifikasi sedini mungkin sejak
pasien berinteraksi dengan staf klinik.
2. Sesuai dengan Panduan Pelayanan Pasien Risiko Jatuh, staf klinik sesuai dengan
kompetensi masing-masing harus memberikan bantuan mobilitas, baik secara
manual maupun dengan alat bantu jalan lainnya.

5. TATA LAKSANAN PELAYANAN PASIEN MENULAR

Syarat – syarat Ruang Isolasi


a. Pencahayaan
Menurut KepMenKes 1204/Menkes/SK/X/2004, intensitas cahaya untuk
ruang isolasi adalah 0,1 ± 0,5 lux dengan warna cahaya biru. Selain itu
ruang isolasi
harus mendapat paparan sinar matahari yang cukup.
b. Pengaturan sirkulasi udara
Pengaturan sirkulasi udara ruang isolasi pada dasarnya menggunakan
prinsip tekanan yaitu tekanan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Berdasarkan tekanannya ruang isolasi dibedakan atas :
11
Ruang Isolasi Bertekanan Negatif
Pada ruang isolasi bertekanan negatif udara di dalam ruang isolasi lebih
rendahdibandingkan udara luar. Hal ini mengakibatkan tidak akan ada udara yang
keluar dari ruangan isolasi sehingga udara luar tidak terkontaminasi oleh udara dari
ruang isolasi. Ruang isolasi bertekanan negatif ini digunakan untuk penyakit-
penyakit menular khususnya yang menular melalui udara sehingga kuman-kuman
penyakit tidak akan mengkontaminasi udara luar,Untuk metode pembuangan udara
atau sirkulasi udara digunakan sistem sterilisasi dengan HEPA.

6. TATA LAKSANA PENGATURAN RUANG PERAWATAN PASIEN TB


Ruang pemeriksaan dan perawatan pasien TB paru harus mempunyai ventilasi
alami maupun ventilasi mekanik; serta memiliki jendela yang memungkinkan
sinar matahari dapat masuk.
1) Ventilasi alami

a. Pintu dan jendela harus selalu terbuka


b. Dapat menggunakan kipas angina untuk aliran udara
c. Petugas kesehatan harus duduk dekat dengan sumber udara bersih

2) Ventilasi mekanik
a. Ventilasi exhaust local
a) Menghentikan penyebaran udara yang terkontaminasi ke lingkungan

b) yang lebih luas


c) Meliputi hood eksternal, booth dan tenda
d) Sebaiknya dipergunakan pada ruang tindakan yang menimbulkan
rangsangan batuk.

12

b. Airborne Infection Isolation (AII) Room


a) Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui droplet nuclei
b) Mempunyai tekanan negative dimana udara bersih dialirkan dari koridor ke dalam
ruangan
c) Sebelum dikeluarkan dari ruangan, udara dalam ruangan dialirkan terlebih dahulu
melalui filter (HEPA)

7. PENANGANAN LIMBAH PASIEN DENGAN PENYAKIT MENULAR


Pada prinsipnya pengelolaan limbah pada ruang isolasi sama dengan pengelolaan
limbah medis infeksius yang umumnya terdiri dari penimbunan, penampungan,
pengangkutan, pengolahan dan pembuangan.

1. Penimbunan (Pemisahan dan Pengurangan)


Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupakan proses yang
kontinyu yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan : kelancaran penanganan
dan penampungan sampah, pengurangan volume dengan perlakuan pemisahan
limbah B3 dan non B3 serta menghindari penggunaan bahan kimia B3,
pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis sampah untuk
efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
2. Penampungan

Penampungan sampah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah bocor
atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak
overload. Penampungan dalam pengelolaan sampah medis dilakukan perlakuan
standarisasi kantong dan kontainer seperti dengan menggunakan kantong yang
bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam Permenkes RI no.
986/Men.Kes/Per/1992 dimana kantong berwarna kuning dengan lambang
biohazard untuk sampah infeksius, kantong berwarna merah dengan simbol
citotoksik untuk limbah citotoksik, kantong berwarna ungu dengan simbol
radioaktif untuk limbah radioaktif dan kantong berwarna hitam dengan tulisan
domestik´.
3. Pengangkutan
Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan intenal dan eksternal.
Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan
atau ke incinerator (pengolahan on-site ). Dalam pengangkutan internal biasanya
digunakan kereta dorong sebagai yang sudah diberi label, dandibersihkan secara
berkala serta petugas pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja
khusus. Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ketempat
pembuangan di luar (off-site). Pengangkutan eksternal memerlukan prosedur
pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat.
13

8. TATA LAKSANA PENGGUNAAN PERALATAN MAKAN PASIEN


DENGAN PENYAKIT MENULAR
1. Pada prinsipnya semua peralatan makanan dan minuman pasien dengan
penyakit menular dapat digabungkan dengan peralatan makanan dan
minuman pasien lainnya.
2. Peralatan makanan dan minuman (gelas, piring, sendok, dll.) pasien dengan
Hep B yang telah digunakan direndam dalam disinfektan klorin 0,5% selama
30 menit, kemudian dicuci dengan deterjen dan air mengalir. Petugas wajib
menggunakan sarung tangan.
3. Pasien dengan penyakit infeksi enteric atau rongga mulut dan tuberculosis
dapat menggunakan alat makan sekali pakai. Setelah digunakan, peralatan
makanan dan minuman tersebut harus dibuang dan diperlakukan sebagai
bahan terkotaminasi.

9. TATA LAKSANA PERLINDUNGAN TERHADAP PASIEN ANAK-ANAK


1. Ruang rawat inap anak-anak, yang terletak di ruang bangsal, harus ada perawat
yang menjaga dan mengawasi seisi ruangan yang ada atau adanya salah satu
anggota keluarga pasien yang menjaga pasien secara bergantian.
2. Pengamanan tempat tidur pasien dari risiko kelalaian petugas selama masa
asuhan keperawatan.
3. Pemberian asuhan keperawatan dan pengkajian yang mendalam dapat
mengurangi risiko adanya kelalaian atau kesalahan selama proses pelayanan
diberikan.

10. TATA LAKSANA PERLINDUNGAN TERHADAP PENDERITA CACAT

1. Petugas menskrining penderita dengan indikasi khusus (cacat) dengan


menempatkan ruang tempat tidur tersendiri atau didekatkan dengan pos jaga,
untuk penderita rawat jalan, petugas dapat menempatkan penderita yang
mudah di monitor oleh petugas/staf yang ada.

2. Perawat menginformasikan kepada keluarga untuk dapat membantu


mengawasi dan melakukan pengawasan selama proses pengobatan (rawat
jalan/rawat inap)
3. Memastikan fasilitas pendukung keamanan bagi pasien rawat inap yang
terletak diruang rawat inap berupa memasang pengaman ditempat tidur dan
penggunaan bel yang mudah dijangkau oleh pasien dan keluarganya
serta pemasangan pegangan tangan di kamar mandi pasien
4. Meminta persetujuan keluarga bila sewaktu-waktu dibutuhkan untuk
dilakukannya reinstrain pada pasien selama proses pengobatan.

11. TATA LAKSANA PERLINDUNGAN TERHADAP PASIEN YANG14


BERISIKO DISAKITI (RISIKO PENYIKSAAN, TERSANGKA TINDAK
PIDANA, KORBAN KEKERASAN, NAPI, DSB)
a. Pasien ditempatkan di ruangan khusus untuk kasus-kasus khusus dan dijaga

oleh tenaga keamanan klinik.


b. Pengunjung, keluarga dan orang yang melakukan kontak dengan pasien agar
dilakukan pencatatan identifikasi, agar memudahkan petugas bila sewaktu-
waktu bila terjadi tindakan yang tidak diinginkan.
c. Memasang bel/alarm disetiap ruangan/tempat-tempat tertentu untuk

memudahkan pasien bila dilakukan kekerasan oleh orang lain.


d. Petugas berkoordinasi dengan satuan pengamanan klinik untuk tetap melakukan
pemantauan kondisi dan perilaku pasien, bila diperlukan bekerjasama dengan
pihak yang berwajib.

12. TATA LAKSANA PELAYANAN PASIEN DENGAN RESIKO KEKERASAN

Tata laksana Perlindungan Tindak Kekerasan secara Umum

1. Petugas medis dimasing-masing unit pelayanan mengidentifikasi pasien yang


berisiko terkenanya tindak kekerasan / yang memerlukan perlindungan.
Petugas medis menempatkan pasien / tempat tidur pasien sesuai dengan
kategori setiap kasus yang diderita pasien
2. Petugasmedis menginformasikan/meminta keluarga pasien untu dapat

membantu menjaga pasien Selama proses pengobatan di Klinik


3. Dilakukannya sistem jam berkunjung pasien, dengan batasan-batasan tertentu
untuk dapat memonitor kondisi pasien, baik memonitor dari sisi
kesehatan maupun risiko kekerasan.
4. Disediakan kartu jaga/penunggu pasien selama proses rawat inap untuk

keluarga pasien yang mendampingi pasien jaga malam.


5. Dilakukan monitor dengan media CCTV pada lokasi terpencil/terisolasi,
pemantauan individu yang dicurigai akan melakukan tindakan kekerasan,
identifikasi pengunjung dan pengawasan keamanan.
6. Disusun mekanisme/sistem pengawasan yang terpadu antara perawat/petugas
dengan satuan pengamanan klinik untuk mengantisipasi kondisi terjadinya
kekerasan fisik, dsb.

13. TATA LAKSANA PEMERIKSAAN IDENTIFIKASI PENGUNJUNG.


1. Klinik menempatkan petugas keamanan di tempat-tempat atau area pintu
masuk dan keluar klinik pada saat waktu kunjungan pasien atau pada saat
dilakukannya pelayanan kesehatan di klinik.
2. Petugas berhak melakukan pemeriksaaan kepada setiap orang yang dicurigai
pada saat berkunjung ke klinik dengan cara dan tata susila sesuai prosedur
dengan tetap menghargai orang tersebut. 15
3. Klinik menetapkan waktu berkunjung pasien rawat inap dan diterapkan sesuai
dengan ketentuan yang ada.
4. Pengunjung yang tinggal ditempat/ruangan dimana pasien rawat inap, harus
melaporkan kepada perawat ruangan yang ada.
5. Fokus dan perhatian utama yang dilakukan petugas keamanan pada saat
identifikasi, bila pengunjung rawat inap yang berada diruang bayi, anak-
anak dan manula / orang yang tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri.
6. Identifikasi pengunjung yang tinggal dilakukan lebih lanjut oleh petugas
keamanan yang berdinas saat itu dengan cara menitipkan Tanda
pengenal pengunjung dan petugas akan memberikan ID Card Pengunjung
pasien.
7. Pengunjung yang menjenguk pasien diluar ketentuan jam berkunjung yang
ditetapkan, wajib meletakkan kartu tanda pengenal kepada petugas keamanan
klinik dan dapat diambil pada saat waktu berkunjung selesai.
8. Petugas keamanan terus melakukan kontrol terhadap setiap pengunjung yang
berada didalam klinik dan mewaspadai bila terjadi kemungkinan adanya
tindak kekerasan yang timbul.

14. TATA LAKSANA TERJADINYA KEKERASAN FISIK TERHADAP PASIEN


1. Setiap petugas yang bekerja di Klinik selalu waspada terhadap orang- orang
yang dicurigai atau akan melakukan tindakan kekerasan fisik pada pasien
yang sedang menjalani pelayanan kesehatan.
2. Petugas yang terdekat pada saat terjadinya kekerasan fisik terhadap pasien
segera tanggap dan cepat merespon sebelum tindakan yang lebih fatal
terjadi pada pasien, khususnya bayi, anak-anak, manula dan orang tua
yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri.
3. Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, diruang rawat inap
disediakan bel (alarm) yang dapat dijangkau oleh pasien bila membutuhkan
pertolongan petugas, untuk pasien yang tidak mampu menjangkau atau
mempergunakan bel, agar dapat dijaga oleh keluarga atau orang yang
dapat dipercaya oleh pasien.
4. Pertolongan pertama saat terjadinya kekerasan fisik dapat dilakukan oleh
petugas yang terdekat oleh pasien, dan untuk selanjutnya dapat
menghubungi petugas keamanan untuk menjaga kejadian yang lebih buruk
lagi.
5. Kejadian kekerasan fisik terhadap pasien, baik yang dilakukan oleh
pengunjung, pasien lain ataupun petugas akan dilakukan proses lebih lanjut
(investigasi) dan bila diperlukan dapat menghubungi Kepolisian setempat
untuk membantu penyelesaiannya dari sisi hukum yang berlaku.
6. Petugas ruangan dan petugas keamanan membuat laporan kejadian kekerasan
16
fisik sebagai bukti adanya tindakan, kronologi kejadian dan dilaporkan kepada
pimpinan Klinik dan bila diperlukan diberikan kepada pihak Kepolisian yang
terkait.

15. TATA LAKSANA PELAPORAN TINDAK KEKERASAN FISIK


1. Apabila terjadi suatu tindak kekerasan fisik di klinik, seluruh yang
mengetahui/menemukan insiden segera melaporkan ke kepala bagian tempat
terjadinya tindak kekerasan untuk ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk
mengurangi dampak/ akibat yang tidak diharapkan.
2. Lakukan pengamanan internal yang dilakukan oleh staf medis yang

terdekat/terkait yang melihat langung tindak kekerasan fisik kepada pasien.


3. Segera menghubungi petugas keamanan klinik untuk penanganan lebih lanjut
sebagai antisipasi risiko tindakan yang berlebih terhadap pasien.
4. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi
Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift paling lambat 2x24
jam, jangan menunda laporan.
5. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada Atasan Langsung

pelapor : Kepala Bagian/unit


6. Atasan langsung akan memeriksa laporan apakah kekerasan fisik yang terjadi
dapat diselesaikan pada tingkat kepala bagian/unit atau memerlukan keputusan
yang lebih tinggi.
7. Pada kasus insiden tindak kekerasan yang tidak selesai di tingkat bagian/unit
setelah menerima laporan segera membentuk Tim Investigasi yang terdiri dari
Personel keamanan klinik dan pihak yang berwajib.
8. Setelah selesai melakukan investigasi, lakukan sistem pelaporan hasil
investigasi kepada pimpinan Klinik secara berkala.

17
BAB IV DOKUMENTASI

PENCATATAN SELURUH KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN PADA REKAM MEDIS

1. Dicatat oleh pemberi pelayanan kesehatan (PPK) yang berkompeten


2. Dicatat pada lokasi yang seragam

18
BAB V PENUTUP

Panduan Pelayanan Pasien yang beresiko ini disusun agar dapat dipakai sebagian
pegangan dan acuan oleh setiap staf medis dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kepada
pasien , serta sebagai dasar paduan bagi Seluruh staf medis dibawah ruang lingkupnya dalam
melaksanakan kegiatannya.
Panduan Pelayanan Pasien yang beresiko berlaku sejak tanggal ditetapkan

Gedong Tataan, Agustus 2023


PIMPINAN KLINIK PRATAMA RIDHO
HUSADA

dr. Imelda Carolia, M.Kes., Sp. KKLP

19

Anda mungkin juga menyukai