Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Puji Syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan tugas Pengantar Manajemen ini dengan
tepat waktu. Saya berterima kasih kepada Bapak Imamul Khaira, S.E.,M.M selaku
dosen pengampu mata kuliah Pengantar Manajemen yang sudah membimbing penulis
dalam menyelesaikan tugas ini. Terima kasih kepada semua yang sudah memberikan
saran, kritik dan juga yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis berharap tugas ini tidak hanya sebagai formalitas saja dalam memenuhi tugas
kuliah, tetapi juga dapat bermanfaat bagi semua para pembacanya, dan semoga dapat
menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca. Penulis juga mohon maaf jika
terdapat kesalahan pada penulisan dan tata bahasa dalam makalah ini.

Medan,06 November 2023

Kelompok 1
ISI

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

A. Peran motivasi dan kepemimpinan dalam organisasi dan manajemen


B. Pengertian Dasar mengenai Motivasi......................................................................................

A. Kesimpulan
B. Saran
I

Kepemimpinan merupakan unsur penting di dalam sebuah perusahaan


atau organisasi lain, sebab tanpa adanya kepemimpinan dari seorang pemimpin
maka suatu perusahaan tersebut akan mengalami kemunduran. Setiap
pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin atau
sering disebut dengan gaya kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin dalam
mempengaruhi perilaku orang lain sesuai dengan keinginannya itu dipengaruhi
oleh sifat pemimpin itu sendiri. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang baik
akan menciptakan motivasi yang tinggi di dalam diri setiap bawahan, sehingga
dengan motivasi tersebut akan timbul semangat kerja yang dapat meningkatkan
kinerja bawahan itu.
Kepemimpinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan motivasi,
karena keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada
kewibawaan dan kemampuan dalam menciptakan motivasi di dalam diri setiap
bawahan, kolega maupun atasan pemimpin itu sendiri.
Kurang adanya peranan kepemimpinan dalam menciptakan komunikasi
yang harmonis serta memberikan pembinaan pegawai, akan menyebabkan
tingkat kinerja pegawai rendah.
Makalah ini akan membahas mengenai pengertian motivasi,
pentingnya motivasi, cara membangun motivasi, pengertian kepemimpinan,
pentingnya kepemimpinan, strategi memimpin dan kaitan motivasi dengan
kepemimpinan.

Masalah
Apa Pengertian dari Manajemen Sumber Daya Manusia?
Apa Saja Fungsi dari Pengotganisasian dan Manajemen Sumber Daya Manusia?
Apa Saja Proses Manajemen Sumber Daya Manusia?
Apa Saja Pengelolaan Keragaman Dalam Pekerjaan?

C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian
motivasi, pentingnya motivasi dalam usaha serta cara-cara agar dapat
membangun motivasi tersebut. Selain itu, juga untuk mengetahui pengertian
kepemimpinan, arti penting dari kepemimpinan serta strategi-strategi dalam
memimpin agar mampu mencapai tujuan yang diharapkan.
I

Kembali ke faktor individu sebagai inu dari SDM yang dimiliki perusahaan, agar
keragaman individu dapat dikelola dengan baik, maka manajer perlu memahami
bahwa dalam fungsi pengarahan, kunci agar fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik
adalah rerletak pada motivasi yang dimiliki oleh setiap individu maupun kelompok dalam
organisasi, kepemimpinan yang ditunjukkan oleh manajer, serta pola komunikasi vang
dibangun oleh manajer dengan seluruh anggota organisasi atau tenaga kerja di
perusahaan. Motivasi menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami oleh para manajer
karena motivasi merupakan faktor pendorong mengapa individu atau sumber daya
manusia dalam organisasi berperilaku dan bersikap dengan pola tertentu, termasuk
jaga terkait dengan kinerja yang ditunjukkan oleh individu tersebut. Adapun
kepemimpinan terkait dengan cara bagaimana manajer atau mereka yang berada pada
hierarki yang lebih tinggi memperlakukan orang-orang atau tenaga kerja yang berada
pada hierarki yang lebih rendah. Karena kedua faktor ini begitu erat kaitannya dengan
fungsi pengarahan dari manajemen, maka bab ini akan mengkhususkan untuk mem
bahas kedua konsep tersebut. Pembahasan mengenai komunikasi akan dibahas pada bab
selanjutnya.

Motivasi
Menurut French dan Raven, sebagaimana dikutip Stoner, Freeman, dan Gilbert
1995), motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang untuk menunjukkan peri blu
tertentu. Motivation is the set of forces that cause people to behave in certam ways.
Perilaku yang diharapkan untuk ditunjukkan oleh tenaga kerja di perusahaan tentunya
perilaku yang akan menghasilkan kinerja terbaik bagi perusahaan, dan tentu a bukan
sebaliknya. Kinerja terbaik menurut Griffin (2000) ditentukan oleh 3 faktot, ratu
(1) motivasi (motivation), yaitu yang terkait dengan keinginan untuk melakukan
pekerjaan, (2) kemampuan (ability) yaitu kapabilitas dari tenaga kerja atau SDM entuk
melakukan pekerjaan, dan (3) lingkungan pekerjaan (the work environment) paitu
sumber daya dan situasi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Jika
perusahaan berhadapan dengan persoalan lingkungan kerja, barangkali tidaklah terlalu
sulit untuk melakukan langkah antisipatif dan korektif terhadap persoalan tersebut,
akan tetapi jika perusahaan berhadapan dengan persoalan motivasi dari tenaga
kerjanya, maka solusi atau langkah penyelesaiannya menjadi tidak mudah karena
motivasi terkait dengan sesuatu yang bersifat tidak dapat di ukur (intangibles) dan tidak
dapat di lihat secara kasat mata (invisible).
Terdapat beberapa pendekatan dalam memahami motivasi. Sebagaimana
dikemuka un oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995) paling tidak terdapat tiga
pendekatan ang telah dikenal dalam dunia manajemen, yaitu pendekatan tradisional
atau dikenal chigai traditional model of motivation theory, pendekatan relasi manusia
atau human emon model, dan pendekatan sumber daya manusia atau human resources
model.
PENDEKATAN TRADISIONAL. Pendekatan ini sering kali dikaitkan
dengan perspektif antifik dalam ilmu manajemen atau kelompok manajemen ilmiah,
yang salah satu ploh penggagasnya adalah Frederick Winslow Taylor (sebagaimana
telah diperkenalkan alam bab-bab awal dari buku ini). Pendekatan ini memandang
bahwa pada dasarnya anajer memiliki kinerja yang lebih baik dari pekerja, dan para
pekerja hanya akan menunjukkan kinerja yang baik sekiranya diming-imingi dengan
kompensasi berupa ang Human are motivated solely by money, demikian sebagaimana
dikutip oleh Stoner, freeman dan Gilbert (1995). Oleh karena itu, di antara sistem yang
dihasilkan dalam pendekatan tradisional inı di antaranya adalah mengenai sistem
pemberian insentif. Semakin banyak produk yang dihasilkan oleh pekerja, maka
pekerja tersebut dinyata- lan lebih produktif, dan oleh karena lebih produktif, maka
pekerja tersebut berhak tuk memperoleh upah yang lebih dibandingkan pekerja
lainnya. Beberapa penerapan an pendekatan ini hingga kini masih dipergunakan, di
antaranya adalah pemberian pratau upah berupa komisi atas prestasi yang diraih,
seperti dalam perusahaan asuransi dan sekuritas, perusahaan yang mempergunakan
salesman dan salesgirl untuk melaku- ian pemasaran secara personal, dan lain
sebagainya.
PENDEKATAN RELASI MANUSIA. Pendekatan ini sering kali dikaitkan
dengan Elton Mayo dan para pengikutnya. Mayo justru menemukan bahwa pekerjaan
sama yang terus-menerus dilakukan akan menyebabkan kebosanan dan justru akan
berimplikasi pada penurunan motivasi. Mayo menganggap bahwa kontak sosial atau
relasi antar- manusia justru akan membantu dan memelihara motivasi para pekerja.
Pada intinya, manajer semestinya berkewajiban untuk membantu para pekerja untuk
melakukan interaksi sosial di lingkungan pekerjaannya dan membuat mereka merasa
diperlukan dan penting bagi perusahaan, yang oleh karena itu mereka akan
menunjukkan kinerja terbaik bagi perusahaan. Beberapa penerapan dari pendekatan
ini telah banyak di fergunakan hingga hari ini, misalnya terdapatnya kotak saran,
seragam pekerja (untuk meminimalkan terdapatnya diskriminasi dan perbedaan
antarpekerja), surat kabar atau buletin pekerja, dan berbagai mekanisme yang
memungkinkan pekerja terlibat dalam berbagai hal di perusahaan.

atau
Penyederhanaan pandangan terhadap pekerja yang hanya didasarkan pada uang dan
interaksi sosial menurut pendekatan ini yang seringkali dikaitkan dengan kepada
douglass mcgregor para manajer perlu menyadari bahwa ada dasarnya manusia
dapat dikategorikan kepada dua jenis karakter yaitu tipe x dan tipe Y sumber daya
manusia yang bertipe X memiliki cenderung sebagai orang yang malas untuk bekerja
dan hanya akan bekerja jika dipaksa untuk bekerja sekalipun para pekerja memandang
bahwa bekerja itu penting namun umumnya pekerjaan dengan tipe ini akan cenderung
menghindari pekerjaan dan tanggung jawab bagi pekerja yang bertipe es Pekerjaan
adalah suatu yang tidak perlu terlalu penting dan oleh karenanya para pekerja yang
cenderung bersifat pasif adalah dalam setiap pekerjaan para manajer harus memaksa
dan menyuruh para pekerja dengan tipe-x ini agar mau bekerja perasaan ini dapat
berupa aturan yang ketat pemberian insentif dan berbagai cara lain yang dapat
memaksa para pekerja untuk mau bekerja Adapun karakteristik sumber daya manusia
yang kedua adalah bertipe y para pekerja yang bertipe y memiliki cenderung yang
bertolak belakang dengan mereka para pekerja yang bersifat peyek ini memandang
bahwa pada dasarnya bekerja tidak berbeda jauh dengan bermain atau beristirahat
sangat bergantung pada para pekerja dalam hal bagaimana menyikapi dan
menjalaninya Oleh karena itu para pekerja yang bersifatnya cenderung menyukai
pekerjaan dan bersifat aktif dalam setiap pekerjaan para pekerja dan ini akan sangat
berisi hati kreatif dan sangat menyukai berbagai tantangan dalam pekerjaan Para
manajer perlu menciptakan suasana atau iklim kerja yang memungkinkan partisipasi
dari individu untuk berkembang salah satunya adalah pendekatan partisipatif dalam
manajemen diantaranya adalah melalui pendekatan management by objectives(MBO).

Selain ketiga pendekatan tersebut di atas, terdapat perspektif lain yang mencoba
menjelaskan lebih lanjut mengenai teori motivasi, atau dikenal sebagai perspektif
kontemporer mengenai motivasi.

Terdapat tiga perspektif kontemporer dalam melihat bagaimana motivasi


menjadi kekuatan pendorong bagi individu untuk berperilaku. Ketiga perspektif
tersebut adalah perspektif kebutuhan (need perspectives), perspektif keseimbangan dan
keadilan(equity perspectives), perspektif pengharapan (expectancy perspectives),
perspektif penguatan (reinforcement perspectives) dan perspektif penyusunan tujuan
(goal setting theory)

Perspektif kebutuhan terkait dengan proses pertama bagaimana motivasi


menjadi perilaku yaitu, mengenai kebutuhan dan kesenjangan akan kebutuhan.
Terdapat beberapa teori terkenal yang mencoba menjelaskan motivasi perspektif
kebutuhan, yaitu:

Teori ini diperkenalkan oleh seorang psikolog Abraham Maslow. Maslow


menyatakan bahwa orang-orang atau individu teemotivasi untuk berperilaku dalam
pekerjaannya untuk. memenuhi kebutuhannya yang terdiri dari 5 tingkatan kebutuhan
yaitu:
Kebutuhan Fisik, kebutuhan paling dasar dari manusia yang akan memotivasi
mereka untuk bekerja adalah kebutuhan fisik. Kebutuhan ini dapat berupa kebutuhan
makanan, kebutuhan. biologis dan lainnya. Dalam sebuah perusahaan, kebutuhan ini
akan terpenuhi jika tenaga kerja atau individu mendapatkan upah minimum yang
mereka kehendaki dan lingkungan kerja yang nyaman.

Kebutuhan Keamanan, kebutuhan akan keamanan ini bukan sekedar untuk


merasa aman dari berbagai gangguan fisik maupun mental, akan tetapi juga perasaan
aman akan ketidakpastian dimasa datang. Oleh karena itu, diantara contoh akan
kebutuhan ini adalah rencana pascapensiun dari pekerjaan, tunjangan di hari tua dan
lain sebagainya.

Kebutuhan Sosial, merupakan kebutuhan untuk berinteraksi dan diterima di


lingkungan sosial. Perusahaan dapat memenuhi kebutuhan ini melalui penciptaan
kondisi yang memungkinkan para tenaga kerja untuk berinteraksi satu sama lain dalam
pekerjaannya secara fleksibel dan terbuka.

Kebutuhan akan penghargaan, perusahaan dapat memenuhi kebutuhan ini


dengan menerapkan. sistem pemberian penghargaan yang jelas bagi setiap tenaga
kerja, kemudian juga dengan menciptakan budaya organisasi yang menghargai setiap
upaya yang dilakukan oleh tenaga kerja.

Kebutuhan Aktualisasi Diri, kebutuhan ini dapat berupa adanya tuntutan untuk
pengembangan. karier yang jelas, pekerjaan yang menantang dan lain lain.

ERG merupakan singkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth. Teori ini
diperkenalkan oleh Clayton Alderfer. Ada 2 perbedaan dari teori ini dengan teori
Maslow yaitu:

Perbedaan Pertama adalah bahwa Alderfer hanya membagi tingkatan


kebutuhan manusia menjadi kebutuhan Existence, atau kebutuhan manusia untuk
bertahan hidup (seperti kebutuhan. fisik dan keamanan dari Maslow), kebutuhan
Relatedness, atau kebutuhan untuk melakukan berinteraksi dengan sesama, dan
kebutuhan Growth, atau kebutuhan untuk menyalurkan kreativitas dan bersikap
produktif. Dapat diartikan teori kebutuhan ERG dari Alderfer ini merupakan versi lain
dari tingkatan kebutuhannya Abraham Maslow.

Perbedaan Kedua adalah bahwa Alderfer cenderung berpandangan bahwa


kebutuhan seseorang sekalipun bersifat hierarkis, akan tetapi bersifat tidak tetap,
artinya jika kebutuhan seseorang telah mencapai suatu kebutuhan relatedness setelah
sebelumnya kebutuhan existencenya terpenuhi, maka ada saatnya seseorang tersebut
akan membutuhkan kembali kebutuhan existenxe tersebut. Berbeda dengan tingkatan
kebutuhan pada teori Maslow dimana Maslow cenderung berpandangan bahwa
sekiranya kebutuhan di tingkatan atas muncul maka kebutuhan yang secara hirarkis
ada dibawahnya tidak ada lagi karena telah terpenuhi.
John W Atkinson menyatakan bahwa terdapat tiga jenis kebutuhan manusia
yang mendorong seseorang untuk termotivasi dalam berperilaku dan melakukan
sesuatu.

Kebutuhan Untuk Berprestasi, Teori Tiga Kebutuhan ini pada giliran berikutnya
dikembangkan dan dipopulerkan oleh David McClelland melalui hasil riset empirisnya
yang dapat dilihat dalam bukunya The Achieving Society yang diterbitkan sekitar tahun
1961. McClelland menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kebutuhan untuk
berprestasi yang tinggi memiliki karakteristik sebagai orang yang menyukai pekerjaan
yang menantang, berisiko, serta menyukai adanya tanggapan atas pekerjaan yang
dilakukannya.

Kebutuhan Untuk Berfiliasi, McClelland memandang hahwa kebutuhan ini


merupakan kelanjutan dari apa yang telah dikerjakan. McClelland menjelaskan bahwa
sekalipun seseorang dapat melakukan komunikasi dan interaksi yang lebih cepat dan
hemat melalui kemajuan teknologi seperti telepon serta berbagai alat telekomunikasi
lainnya, kebutuhan akan berinteraksi sosial tetap menjadi sesuatu yang tak dapat
dihilangkan, artinya seseorang tetap memiliki kebutuhan akan interaksi social.

Kebutuhan Akan Kekuasaan, McClelland memandang bahwa kebutuhan ini


terkait dengan. tingkatan dari seseorang dalam melakukan kontrol atas situasi dan
lingkungan yang dihadapinya. Hal ini terkait dengan apa yang dinamakan sebagai
kesuksesan dan kegagalan bagi seseorang. Kekhawatiran akan kegagalan bagi seseorang
barangkali dapat menjadi dorongan motivasi untuk sukses, sebaliknya bagi yang lain,
kekhawatiran terhadap kesuksesan mungkin merupakan. dorongan motivasi baginya.

Teori motivasi terakhir berdasarkan perspektif kebutuhan yang akan


diperkenalkan dalam buku ini adalah teori dua faktor dari Frederick Herzberg. Teori ini
dibangun Herzberg berdasarkan penelitian empirisnya terhadap 200 orang insinyur
dan akuntan tahun 1950an. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa seseorang
cenderung akan termotivasi atau tidak didorong oleh dua jenis faktor yang terdapat
dalam lingkungan pekerjaan. Kedua faktor tersebut adalah:

Motivating Factors, Yang dimaksud dengan faktor pendorong kepada


kepuasan dalam pekerjaan adalah berbagai kebutuhan yang terdapat dalam seseorang
yang menuntut untuk terpenuhi sehingga jika terpenuhi akan mendorong tercapainya
kepuasan seseorang dalam pekerjaannya.Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah
kesempatan untuk berprestasi (achievement), adanya pengakuan dalam lingkungan
pekerjaan (recognition), adanya kesempatan untuk bertanggung jawab (responsibility),
serta adanya kesempatan untuk berkembang dan mengembangkan diri (advancement
and growth).
Hygiene Factors, Yang dimaksud dengan faktor pendorong kepada
ketidakpuasan dalam pekerjaan adalah kebutuhan yang terdapat dalam seseorang akan
kondisi dari lingkungan pekerjaannya, yang jika kebutuhan akan kondisi lingkungan
yang diinginkannya tidak terpenuhi. maka dirinya akan mengalami ketidakpuasan
dalam lingkungan pekerjaannya. Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah kebutuhan
akan kebijakan dan administrasi perusahaan yang jelas dan adil (company policy and
administration), adanya supervisi yang memadai (supervision). keserasian hubungan
dengan supervisi (relationship with supervision), kondisi pekerjaan yang kondusif
(working condision), gaji atau upah yang layak (salary), hubungan baik antar pekerja
(relationship with peers), adanya penghargaan terhadap kehidupan pribadi (personal
life), hubungan serasi dengan bawahan (relationship with subordinate), adanya
kejelasan status pekerjaan (job status), dan masa depan pekerjaan yang dijalani (job
safety). Jika keseluruhan kebutuhan akan lingkungan pekerjaan ini tidak terpenuhi
atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka seseorang akan cenderung tidak
termotivasi dalam melakukan pekerjaan dan akan menunjukkan kinerja yang buruk.

Perspektif keseimbangan dan keadilan atau Equity Perspektives mengenai


motivasi berangkat dari asumsi dasar bahwa termotivasi tidaknya seseorang dalam
organisasi atau lingkungan pekerjaan sangat bergantung kepada anggapan apakah
dirinya mendapatkan perlakuan yang adil ataukah tidak dalam hal dapat diukur
sebagai perbandingan antara kontribusi pekerjaan dari individu atau job input (seperti
keahlian, pengetahuan, kerja keras, dan lain-lain). dengan penghargaan yang diterima
oleh individu tersebut atau job reward (seperti upah, insentif, dan sebagainya).
Seseorang pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk membandingkan dirinya
dengan orang lain dalam berbagai hal, termasuk dalam hal pekerjaan.

Perspektif pengharapan atau expectancy perspectives dapat dikatakan


merupakan kelanjutan dari perspektif keseimbangan dan keadilan mengenai motivasi.
Perspektif ini memandang bahwa motivasi seseorang dalam berperilaku dan bekerja
sangat tergantung pada berbagai pilihan penghargaan yang akan diperolehnya
berdasarkan tingkatan perilaku dan pekerjaan yang akan dilakukannya. David Nadler
dan Edward Lawler mengemukakan beberapa asumsi yang terkait dengan perilaku
seseorang dalam organisasi yang dikaitkan dengan harapan seseorang dalam organisasi
tersebut. Keempat asumsi tersebut adalah:

Perilaku sangat ditentukan oleh kombinasi dari berbagai faktor individu dan
berbagai faktor lingkungan.

Perilaku individu dalam organisasi senantiasa ditentukan oleh kesadaran


dari keputusan setiap individu.
Individu memiliki keragaman kebutuhan, pengharapan, dan tujuan.

Masing masing individu cenderung akan berperilaku berdasarkan pilihan alternatif


perilaku yang terkait dengan harapan mereka.

Keempat asumsi tersebut menjadi dasar dari apa yang dinamakan sebagai model
pengharapan (expectancy model) mengenai motivasi. Sebagaimana dikemukakan oleh
Stoner, reeman, dan Gilbert (1995), terdapat 3 komponen utama dari model
pengharapan ini yaitu, pengharapan terhadap hasil yang diperoleh (outcome
performance expectancy), dorongan terhadap motivasi(valance),dan pengharapan akan
usaha yang perlu di lakukan (effort performance expectancy).

Prinsip dasar perspektif penguatan mengenai motivasi berangkat dari kerangka


pikir B.F Skinner, seorang psikolog yang menerangkan bahwa tidakan akan sangat
dipengaruhi oleh perlakuan yang diterima akibat prilaku yang dilakukan di masa lalu.

Kerangka pikir ini bermula dari adanya stimulan atau faktor pendorong bagi
seseorang untuk berbuat. Jika manajer berharap bahwa pegawai akan berprilaku dan
bertindak sesuai dengan harapan manajer, maka para manajer perlu
mempertimbangan mengenai apa yang telah diperlakukann atau diberikan para
manajer terhadap prilaku dan tindakan para pegawai di masa lalu.

Dari kenyataan ini, jika manajer berharap prilaku positif dan kinerja baik bisa
ditunjukan oleh para pegawai secara konsisten, maka manajer perlu memberikan
perlakuan dan mugkin juga imbalan yang positif terhadap prilaku positif dari para
pegawai secara konsisten pula.

Modifikasi Perilaku

Prinsip dasar dari perubahan atau modifikasi prilaku ini adalah bahwa para
manajer perlu memberi perlakuan yang adil dan tepat terhadap prilaku atau tindakan
yang telah dilakukan oleh pegawai agar prilaku dari pegawai di masa yang akan datang
sesuai dengan harapan para manajer.

Ada empat jenis perubahan atau modifikasi prilaku yang dapat dilakukan oleh para
manjer, yaitu:

Penguatan positif, modifikasi ini dilakukan dengan memberikan perlakuan positif


terhadap tindakan yang telah dilakukan oleh pegawai di masa lalu, contohnya
memberikan bonus.

Pembelajaran melalui penghindaran terhadap sesuatu, modifikasi ini dilakukan


melalui tindakan yang adil terhadap pelanggaran pegawai dimasa lalu
Pengecualian atau peniadaan, modifikasi ini dilakukan melalui peniadaan atau
pengecualian sesuatu yang pada masa lalu justru memberikan konstribusi negatif pada
organisasi atau pegawai.

Hukuman, hukuman ini adalah modifikasi prilaku melalui penguatan yang bersifat
negatif, atau dapat dikatakan perlakuan ini kebalikan dari penguatan positif.

Perspektif ini beranggapan bahwa prilaku individu didorong oleh motivasi


individu sesungguhnya dapat dijelaskan melalui keterlibatan individu dalam
penyusunan tujuan dari setiap apa yang akan dikerjakan atau dibebankan kepadanya.
Pada dasarnya, setiap individu memiliki tujuan dalam bekerja dan perlu mengetahui
tujuan dari setiap pekerjaan yang akan dikerjakannya. Sekiranya individu tidak
mengenal tujuan tersebut maka prilaku yang akan ditunjukkannya pun mendominasi
oleh ketidaktahuannnya.

Berdasarkan oerspektif ini, para manajer perlu senantiasa mengupayakan agar


pegawai dapat mengetahui tujuan dari organisasi hingga setiap pekerjaan yang
dilakukannya. Ada emlat fase yang harus dilakukan manajer sehubungan dengan
penyusunan tunuan dari setiap kegiatan yang dilakukan. Yang dikutip Stoner. Freeman,
dan Gilbert (1995), Christine Shalley mengemukakan 4 fase berikut:

Penentuan tujuan atau target yang akan dicapai

Penentuan apakah tujuan atau target tersebht realistis atau memungkinkan untuk
dicapai

Mempertimbangkan dan menentukan keaesuaian tujuan dan target tersebut dengan


target dan tujuan individu dalam organisasi

Jika tujuan organisasi telah selaras dengan tujuan individu, maka individu akan
termotivasi untuk mencapai tujuan tersebut dengan menunjukkan prilaku dan kinerj
yang diharapkan.

Hubungan antara motivasi dan kepemimpinan dapat diketahui. Fungsi


kepemimpinan pada dasamya adalah tindak lanjut dari pemahaman para
manajeFungsi kepemimpinan ankteristik motif dan perilaku para pegawai dalam
organisasi. Bagaimana semestinya para manajer mengarahkan dan memotivasi para
pegawai menjadi esensi pokok dari pemimpinan. Kepemimpinan sendiri merupakan
bagian dari fungsi pengarahan dalam ajemen. Sekiranya fungsi pengarahan dalam
manajemen ingin direalisasikan, maka Ipemimpinan menjadi salah satu kunci pokok
yang harus dipahami. Karena pentingnya ültor kepemimpinan ini, tidak heran jika
Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995) me- nempatkan faktor kepemimpinan atau fungsi
pengarahan (leading) sebagai salah satu dan fungsi manajemen setelah fungsi
perencanaan dan pengorganisasian.
Kepemimpinan dapat diartikan artikan sebagai proses memengaruhi dan
mengarahkan para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada
mereka. Skagaimana didefinisikan oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995),
kepemimpinan alalah the process of directing and influencing the task-related activities
of group members. Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan
memengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Lebih
jauh lagi, Griffin (2000) nembagi pengertian kepemimpinan menjadi 2 konsep, yaitu
sebagai proses, dan sebagai mbut. Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa
yang dilakukan oleh para pemimpin, yaitu proses di mana para pemimpin
menggunakan pengaruhnya untuk nemperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai,
bawahan, atau yang dipimpinnya, memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tersebut,
serta membantu menciptakan matu budaya produktif dalam organisasi. Adapun dari
sisi atribut, kepemimpinan aalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin. Oleh karena tu pemimpin dapat didefinisikan sebagai seseorang
yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi perilaku orang lain tanpa
menggunakan kekuatan, sehingga orang-orang ing dipimpinnya menerima dirinya
sebagai sosok yang layak memimpin mereka.

Kepemimpinan (Leadership) dan Manajemen (Management) pada dasarnya


merupakan dua konsep yang berbeda, namun kedua istilah tersebut sering digunakan
seolah-olah mereka memiliki arti yang sama. Untuk membahas lebih lanjut mengenai
perbedaan keduanya, mari kita cermati definisi mengenai Kepemimpinan dan
Manajemen.

Menurut Gareth Jones and Jennifer George (2003:440), yang dimaksud dengan
Kepemimpinan adalah proses dimana seorang individu mempunyai pengaruh terhadap
orang lain dan mengilhami, memberi semangat, memotivasi dan mengarahkan
kegiatan-kegiatan mereka guna membantu tercapai tujuan kelompok atau organisasai.
Sedangkan Definisi Manajemen menurut R.W. Griffin (1997:5-6) adalah serangkaian
kegiatan (termasuk perencanaan dan pembuatan keputusan, pengorganisasian,
pimpinan dan pengendalian) yang diarahkan pada sumber daya organisasi (tenaga
kerja, keuangan, fisik dan informasi) yang bertujuan untuk mencapai sasaran organisasi
dengan cara yang efisien dan efektif.

Dari kedua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa inti perbedaan
antara Kepemimpinan dan Manajemen adalah bagaimana mereka memotivasi orang
lain ataupun tim dalam mencapai sasarannya.

Seorang Pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinan ini menetapkan


Tujuan dan arah baru, kemudian memotivasi dan mempengaruhi anggota timnya untuk
mencapai Tujuan yang ditetapkan tersebut. Seorang Pemimpin juga harus meninjau
perkembangan timnya dan memastikan bahwa semua anggota Tim berada
di jalur yang diinginkannya hingga mencapai tujuan yang ditetapkan. Presiden
merupakan salah satu contoh yang baik dalam memerankan kepemimpinan.

Sedangkan seorang Manajer yang menjalankan fungsi Manajemen ini bertugas


untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengatur bagaimana
timnya mencapai tujuan yang ditetapkan. Mereka akan bertugas untuk mengatasi
setiap permasalahan yang timbul dalam tim dan memutuskan solusi terbaik untuknya.
Contohnya seperti seorang Manajer Sepakbola yang mengatur bagaimana timnya dapat
mencapai tujuan yaitu meraih kemenangan pada setiap permainan sepakbola. Seorang
Manajer Sepakbola bukanlah pemimpin karena mereka tidak menetapkan tujuan.
Yang menetapkan Tujuan adalah Pemilik atau Direksi Klub sepakbola yang
bersangkutan.

Kepemimpinan itu suatu kemampuan yang dapat dipelajari atau sudah sedia
ada? etanyaan ini mencoba membawa kita kepada sebuah uraian mengenai beberapa
endekatan mengenai kepemimpinan. Di antara pendekatan yang telah dikenal adalah
pendekatan personal (personal traits of leadership approach), pendekatan perilaku
(behavioral approach), serta pendekatan kontingensi (contingency approach).

Personal traits of leadership approach atau pendekatan personal mencoba


melihat pemimpin dari karakteristik figur atau ciri personal dari 16 seorang pemimpin.
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa seorang pemimpin yang efektif pasti memiliki
trait khusus seperti intelektual, kepribadian, karakteristik fisik, kemampuan supervisi, dan
trait kepribadian lain dari seorang pemimpin efektif Ivancevich dkk, 2007 : 196.

Ketika kita menyadari bahwa dari sisi personal atau karakteristik individu, pem
bedaan pemimpin dan bukan pemimpin agak sulit untuk dibedakan, maka pendekatan
yang bisa digunakan adalah pendekatan perilaku mengenai kepemimpinan. Pada
dasarnya pendekatan ini mencoba lebih memfokuskan kepada perilaku dan tindakan
apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin atau pemimpin yang efektif Pendekatan
penlaku mencoba menghindari pertanyaan, "Siapakah yang memiliki kelayakan
sebagai seorang pemimpin?", dan sejenisnya sebagaimana dikemukakan dalam
pendekatan personal mengenai kepemimpinan.

Pendekatan perilaku lebih memfokuskan kepada beberapa tindakan yang dilaku-


lan oleh pemimpin, seperti bagaimana mereka melakukan delegasi, bagaimana mereka
berkomunikasi dengan orang-orang, serta bagaimana mereka memotivasi para
pegawai, dan seterusnya. Perilaku, tidak seperti faktor personal, dapat dipelajari
sehingga mereka rang mendapatkan pendidikan atau pelatihan yang memadai
mengenai kepemimpinan akan mampu menjadi pemimpin yang efektif. Para teoritisi
yang melakukan pendekatan perilaku mengenai kepemimpinan pada dasarnya
memfokuskan pada dua aspek dari perilaku kepemimpinan, yaitu fungsi-fungsi
kepemimpinan (leadership functions) dan pya kepemimpinan (leadership styles).

Aspek ini terkait dengan fungsi-fungsi yang akan mendukung tercapainya tim ang
efektif sehingga manajemen dapat dijalankan secara efektif dalam mencapai quan.
Terdapat dua fungsi yang terkait dengan hal ini, yaitu fungsi yang terkait ngan tugas
atau pekerjaan (task-related functions), dan fungsi yang terkait dengan bungan sosial
atau pemeliharaan kelompok (group-maintenance functions). Fungsi yang kait dengan
tugas atau pekerjaan memfokuskan fungsi kepemimpinan dalam men alankan berbagai
pekerjaan atau tugas yang telah direncanakan dalam suatu organisasi. Dengan
demikian kepemimpinan yang efektif adalah ketika pemimpin mampu nemengaruhi
orang-orang untuk dapat melakukan tugas-tugas yang telah dipercayakan lepada
mereka. Adapun fungsi-fungsi yang terkait dengan hubungan sosial atau pemeliharaan
kelompok memfokuskan fungsi kepemimpinan dalam upaya untuk enantiasa
memelihara kesatuan di antara sesama pekerja, pengertian dengan dan esama mereka.
Dengan demikian pemimpin yang efektif adalah ketika pemimpin ersebut mampu
berkomunikasi dengan baik dengan tim kerja, mengajak mereka untuk senantiasa
memelihara kebersamaan dan saling pengertian sehingga tim kerja yang ada senantiasa
terpelihara dengan baik.

Sebagai konsekuensi dari adanya dua fungsi kepemimpinan tersebut di atas,


maka terdapat dua gaya kepemimpinan yang dapat diúdentifikasi. Kedua gaya
kepemimpinan tersebut adalah kepemimpinan yang berorientasi pada pekerjaan (task-
oriented or j style), dan kepemimpinan yang berorientasi kepada pegawai atau orang-
orang temployee-onented style). Sekalipun konsep dasarnya sama, Griffin (2000)
menamakan kedua gaya kepemimpinan ini dengan istilah job-centered leader behavior
dan employee centered leader behavior. Gaya kepemimpinan yang berorientasi
pekerjaan cenderung untuk memberikan fokus pada pekerjaan dan prosedur yang
harus dilakukan dalam pekerjaan, sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi
kepada orang-orang cenderung untuk memberikan perhatian pada pemeliharaan tim
dan memastikan bahwa seluruh orang-orang mendapatkan kepuasan dalam setiap
pekerjaannya.
Setiap pemimpin memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam gaya ke
pemimpinan ini. Ada yang cenderung pada penyelesaian pekerjaan, namun juga ada
yang lebih kepada membangun relasi sosial. Pemimpin dalam organisasi-organisasi
bisnis umumnya lebih memfokuskan pada fungsi yang terkait pada pekerjaan,
manakala pemimpin di organisasi-organisasi kemahasiswaan atau organisasi nonprofit
umumaya lebih memfokuskan pada fungsi yang terkait dengan relasi sosial.
Gaya kepemimpinan akan ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu dari segi latar
belakang, pengetahuan, ntlai, dan pengalaman dari pemimpin tersebut. Pemimpin yang
menilai bahwa kepentingan organisasi harus lebih didahulukan dari kepentingan
individu akan memiliki kecenderungan untuk memiliki gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada pekerjaan. Demikian pula sebaliknya, pemimpin yang dibesarkan
dalam lingkungan yang menghargai perbedaan dan relasi antarmanusia akan memiliki
kecenderungan untuk bergaya kepemimpinan yang berorientasi pada orang-orang
Namun, selain keempat faktor tersebut, karakteristik dari bawahan atau orang-orang
yang dipimpin juga perlu untuk dipertimbangkan sebelum memutuskan gaya ke
pemimpinan apa yang sebaiknya digunakan. Jika orang-orang yang dipimpin
cenderung untuk menyukai keterlibatan dalam berbagai hal, memiliki inisiatif tinggi,
barangkal gaya yang perlu dilakukan lebih cenderung memadukan kedua gaya
kepemimpinan yang ada melalui apa yang dinamakan sebagai manajemen partisipatif di
mana dalam pendekatan manajemen partisipatif ini faktor orientasi sosial diakomodasi
melalui keterlibatan Orang-orang dalam menyelesaikan pekerjaan.

Terdapat dua hasil penelitian yang menjelaskan secara empiris mengenai kedua ma
kepemimpinan di atas. Penelitian pertama dilakukan oleh Universitas Michigan in
penelitian kedua dilakukan oleh Universitas Ohio, kedua-duanya merupakan versitas
terkemuka di Amerika Serikat. Penelitian di Universitas Michigan dilaku- jun oleh
Rinses Likert pada akhir tahun 1940 dengan melakukan wawancara terhadap telompok
manajer (pemimpin) dan pegawai (bawahan). Hasil penelitiannya cukup senarik, di
mana sekalipun pemimpin atau manajer memiliki kecenderungan untuk pemiliki gaya
kepemimpinan di antara dua gaya kepemimpinan yang ada, namun Lert menyimpulkan
bahwa pendekatan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada orang-orang lebih
efektif daripada yang berorientasi kepada tugas atau pekerjaan. Hasil penelitian ini
dikonfirmasidengan hasil yang diperoleh pada penelitian kedua ang dilakukan oleh
Universitas Ohio. Para peneliti dari universitas ini pada mulanya rembagi para manajer
ke dalam kelompok manajer yang berorientasi pekerjaan yang aleh mereka dinamakan
sebagai (initiating structure group) dan kelompok manajer yang berorientasi pada
orang-orang (consideration group). Setiap pekerja juga dikelompokkan dalam dua
kelompok tersebut.

Apa yang dapat disimpulkan dari kedua pendekatan mengenai kepemimpinan


atas adalah bahwa gaya kepemimpinan sangat ditentukan oleh berbagai fakto antaranya
latar belakang personal, pendidikan personal, pengalaman, hingga lingkung an yang
dihadapinya. Kenyataan ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarn gaya
kepemimpinan bersifat situasional. Sebagai contoh, misalnya ketika kegu perusahaan
berjalan normal, maka pemimpin barangkali perlu mengembangkan kepemimpinan
yang bersifat demokratis yang menyeimbangkan antara orientasi kepad orang-orang
dan orientasi kepada pekerjaan. Manajer perlu meluangkan waktu mendengarkan
masukan dari bawahan dan memahami keinginan keinginan menda Akan tetapi ketika
organisasi sedang mengalami keadaan darurat, misalnya saja the tiba gedung
perusahaan terbakar. Pada saat itu manajer justru perlu mempertimbangk keseluruhan
perhatiannya pada pekerjaan darurat yang harus segera dilakuk katakanlah
memadamkan api. Dirinya harus dengan cepat mengambil keputusan de tidak
melakukan tukar pikiran dengan bawahan. Manajer pada situasi seperti mungkin harus
bertindak secara otoriter dengan memerintahkan seluruh pegawai unna melakukan
berbagai tindakan yang dapat memadamkan gedung perusahaan terbakar.
Demikian pula contoh-contoh lainnya yang mungkin kita dapat temake dalam
kehidupan sehari-hari.
Para peneliti kemudian mulai melakukan identifikasi situasi-situasi yang
mendorong suatu gaya kepemimpinan tertentu dilakukan. Pendekatan kepemimpinan
yang mempertimbangkan situasi yang dihadapi inilah yang dinamakan sebagai
pendekan kontingensi dalam kepemimpinan, di mana secara sederhana pendekatan
kontingen memandang bahwa gaya manajemen atau gaya kepemimpinan yang akan
memberikan kontribusi positif bagi organisasi sangat beragam dan sangat ditentukan
oleh keragaman situasi dan keadaan yang dihadapi oleh organisasi tersebut dari waktu
ke waktu Terdapat beberapa model mengenai pendekatan kontingensi ini, yaitu di
antaranya model kepemimpinan situasional dari Hersey-Blanchard, model LPC dari
Fiedlet, dan model jalan tujuan dari Evans-House. Berikut ini akan diuraikan satu per
satu mengenai model tersebut.

Paul Hersey dan Kenneth H Blanchard membuat suatu model yang dinamakan
sebagai model kepemimpinan situasional (situational leadership model). Model ini
menjelaskan bahwa para manajer perlu menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka
sebagai respons terhadap berbagai karakter dari orang-orang yang menjadi
bawahannya seperti harapan pekerja, pengalaman, keahlian, dan kesanggupan dalam
menerima tanggung jawab.
LPC
Model kepemimpinan kontingensi kedua adalah Model LPC yang diperkenalkan
oleh Fred Fiedler. Model ini menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan yang sebaiknya
digunakan beragam dan tergantung kepada kecenderungan situasi yang terjadi. LPC
singkatan dari Least Preferred Coworker, di mana pemimpin atau manajer perlu meng
identifikasi gaya kepemimpinan manakah yang paling cocok untuk diimplementasikan
yang disesuaikan dengan kondisi minimum pekerja yang dihadapinya. Menurut Fiedler
kunci pemahaman dari pendekatan situasional adalah tingkat kecenderungan manajer
terhadap penilaian situasi pekerja yang dihadapi olehnya. Artinya, manajer perlu
menilai apakah situasi yang dihadapinya memiliki kecenderungan yang mungkin
dideka dengan gaya kepemimpinannya ataukah tidak. Fiedler mengukur gaya
kepemimpinan manajer melalui angket yang dapat menggambarkan situasi minimum
yang sanggup dihadapi oleh manajer. Angket tersebut berisi 16 pertanyaan yang
mencoba menila situasi bawahan seperti apa yang dapat dihadapi olehnya.

Model ini diperkenalkan oleh Martin G. Evans dan Robert | House. Pendekatan Fars
dan House berangkat dari asumsi dasar mengenai teori pengharapan (expectancy a)
Berdasarkan asumsi ini, Evans dan House berpendapat bahwa sekalipun gaya
lepemimpinan perlu disesuaikan dengan situasi yang dihadapi, apakah kecenderungan
pekerja untuk berorientasi pada pekerjaan atau telasi sosial, akan tetapi faktor penting yang
perlu diperhatikan justru bahwa pemimpin harus mampu menyediakan dan
menjelaskan penghargaan apa yang akan diterima oleh para pekerja sekiranya mereka
mengikuti apa yang diperintahkan atau diarahkan oleh pemimpin
atau manajer Manajer harus menentukan tujuan (rewards yang diharapkan pekerja)
dan jalan- jalan (path) yang perlu dilakukan pekerja untuk meraih tujuan tersebut. Oleh
sebab eulah model Evans dan House dinamakan sebagai model jalan tujuan (Path Goul
Theory). Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dari model jalan tujuan ini, jaitu
perilaku pemimpin (leader behavior) dan faktor situasi (utational factors).
Dalam hal perilaku pemimpin, paling tidak ada empat tipe pemimpin berdasarkan
nodel jalan tujuan ini, yaitu:
Pemimpin direktif, yaitu pemimpin yang cenderung untuk menentukan langsung apa
yang harus dilakukan oleh bawahan dan apa yang diharapkan oleh pemimpin.
Pemimpin seperti ini langsung memberikan arah dan panduan, serta memberikan
jadwal kerja yang spesifik.
Pemimpin suportif, yaitu pemimpin yang cenderung bersahabat dan mudah diajak
berdialog oleh siapa pun, memberikan perhatian penuh pada kesejahtera an bawahan,
serta memperlakukan anggota secara setara.
Pemimpin partisipatif, yaitu pemimpin yang cenderung untuk memberikan
konsultasi kepada bawahan, mengakomodasi berbagai masukan, serta me libatkan
bawahan dalam pengambilan keputusan.
Pemimpin prestatif, yaitu pemimpin yang memiliki visi perubahan dan standar yang
tinggi akan produktivitas, memberikan dorongan kepada bawahan untuk berprestasi,
dan memotivasi kemampuan bawahan dalam melakukan berbagai pekerjaan.
Pada praktiknya, keempat tipe perilaku pemimpin ini bersifat situasional pula. Bagi
orang-orang baru, barangkali pendekatan direktif akan lebih sesuai untuk digunakan
karena orang-orang tersebut belum mengenal organisasi, rekan kerja, serta lingkungan
pekerjaannya. Setelah beberapa lama mereka mengenal organisasinya. barangkali
pendekatan lain perlu dilakukan, dari mulai suportif, partisipatif, hingga prestatif.

Model ini diperkenalkan pada tahun 1973 oleh Victor Vroom, Phillip Yetton, de
kemudian disempurnakan pada tahun 1988 oleh Vroom dan Arthur G. Jago. Model
VYJ ini memfokuskan hanya pada tingkat partisipasi bawahan dalam pengambilan
keputusan. Model ini memiliki dasar asumsi bahwa sebuah keputusan dikatakan efekt
jika keputusan tersebut memiliki dua ciri, yaitu berkualitas dan diterima. Sebuah
keputusan dikatakan berkualitas sekiranya keputusan memberikan implikasi posite
pada kinerja. Keputusan dikatakan diterima sekiranya keputusan tersebut diterima
oleh bawahan dan bawahan berkomitmen untuk menjalankannya. Untuk
memaksimum- kan tingkat efektivitas dari sebuah keputusan, Model VYJ
menganjurkan agar para manajer mengadopsi salah satu dari lima pilihan tipe
pengambilan keputusan, yaitu dua dari tipe otoriter (authocratic style), yaitu tipe Al dan All;
dua dari tipe konsultatif (consultative style), yaitu tipe Cl dan CII; dan satu dari tipe satu
kelompok (one-group style), yaitu tipe GII.
Faktor kepemimpinan tidak diragukan lagi tingkat kepentingannya dalam fungu
pengarahan dari keseluruhan fungsi-fungsi manajemen organisasi. Berbagai pendekata
klasik maupun kontemporer telah diuraikan di bagian sebelumnya dalam bab ini,
naman berbagai pendekatan lain telah juga banyak diperbincangkan secara praktik
maupun secara ilmiah. Bagian ini akan menguraikan beberapa pendekatan lain yang
secan kontemporer telah banyak diperbincangkan dan diaplikasikan tersebut, yaitu
pendekat an substitusi untuk kepemimpinan (substitutes for leaderslup), kepemimpinan
karismatik (charismatic leadership), dan kepemimpinan transformatif (transformative
leadership).

Yang dimaksud dengan pendekatan substitusi untuk kepemimpinan adalah sebu


konsep yang mengidentifikasi situasi di mana peran kepemimpinan bersifat netral das
cenderung tidak diperlukan serta bisa digantikan oleh karakteristik dan para bawahan
pekerjaan, dan organisasi. Contohnya, ketika seorang pasien datang ke rumah sak
untuk diperiksa, para juru rawat, atau dokter jaga tidak perlu menunggu perinta dari
kepala rumah sakit terlebih dahulu untuk memeriksa pasien tersebut karena situa yang
dihadapi mampu dihadapi oleh bawahan (juru rawat dan dokter jaga) tanpe harus
menunggu arahan dari pimpinan. Namun, ketika sakitnya sangat parah, katakan lah
misalnya keputusan untuk melakukan transplantasi organ tubuh, maka sang jura rawat dan
dokter jaga tersebut perlu menunggu persetujuan dan arahan dari kepala rumah sakit.
Paling tidak ada 3 hal yang perlu diidentifikasi sehubungan dengan perle tidaknya substitusi
terhadap peran pemimpin dalam organisasi, yaitu karakteristik bawahan, karakteristik
struktur tugas atau pekerjaan, dan karakteristik organisan
KARAKTERISTIK BAWAHAN. Karakteristik bawahan yang memungkinkan
mereka untuk tidak menunggu dulu arahan dari pimpinan adalah dilihat dari
kemampuannya untuk melakukan pekerjaan di lingkungan pekerjaannya tanpa
bantuan orang lain, tingkat independensi yang tinggi, serta memiliki tanggung jawab
terhadap pekerjaan yang diberikan.
KARAKTERISTIK STRUKTUR KERJA ATAU TUGAS. Jika struktur kerja
atau pekerjaan baik, di mana jenis-jenis pekerjaan telah jelas, deskripsinya jelas,
prosedurnya jelas hingga metode serta mekanismenya jelas dan lengkap, maka
bawahan tidak peris menunggu arahan dari pimpinan, sehingga kelengkapan dan
kejelasan struktur kerja tadi telah dapat menggantikan peran pemimpin dalam
organisasi, paling tidak untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat rutinitas.
KARAKTERISTIK ORGANISASI. Karakteristik organisasi yang memungkinkan
peran pemimpin bersifat netral adalah ketika berbagai mekanisme dan prosedur
organisasi relah lengkap dan jelas serta dapat dijalankan oleh setiap anggota organisasi.
Kemudian jaga sistem organisasinya pun bersifat kaku, sistem kompensasinya jelas,
prosedurnya relatif tetap, dan kurang fleksibel, atau juga bersifat rutin, maka organisasi
yang memiliki karakteristik seperti ini tidak perlu menunggu arahan dari pemimpin.
Para anggota kan dengan sendirinya menjalankan segala sesuatunya karena sistem dan
prosedurnya telah jelas.
Karasmatik
Karisma sendiri artinya suatu perilaku individu yang memberikan inspirasi, dukung- an,
dan penerimaan bagi bawahan. Adapun yang dimaksud dengan kepemimpinan
aromatik atau charismatic leadership adalah kepemimpinan yang mengasumsikan
bahwa Lansma merupakan karakteristik individu yang dimiliki oleh seorang pemimpin
yang dapat membedakannya dengan pemimpin yang lain, terutama dalam hal implikasi
terhadap inspirası, penerimaan, dan dukungan para bawahan. Robert House termasuk
orang yang pertama kali menyusun teori-teori ilmiah mengenai kepemimpinan
bansmatik ini pada tahun 1977. Menurut House, seorang pemimpin karismatik haruslah
memiliki kriteria sebagai seorang yang tinggi tingkat kepercayaan dirinya, kuat
keyakinan dan idealismenya, serta mampu memengaruhi orang lain. Selain itu, dirinya
baruslah mampu berkomunikasi secara persuasif dan memotivasi para bawahannya.
Griffin (2000) menjelaskan bahwa paling tidak, terdapat 3 elemen yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin karismatik, yaitu:
Mampu menyusun visi bagi masa depan, mampu menetapkan harapan yang tinggi,
serta mampu memberikan perilaku yang mendukung pencapaian harapan yang tinggi
tersebut.
Mampu untuk memberikan kekuatan kepada orang lain untuk menunjukkan kinerja
yang baik dan terdorong untuk berprestasi, percaya diri, dan terdorong untuk meraih
kesuksesan.
Mampu untuk membangun relasi dengan orang lain melalui dukungan, empati, dan
keyakinan akan kemampuan yang dimiliki orang lain.
Transformatif
Perspektif lain mengenai kepemimpinan sebenarnya banyak sekali, di antara yang
pernah dikemukakan adalah kepemimpinan karismatik, kepemimpinan
inspiratif,kepemimpinan simbolis, dan kepemimpinan transformatif.Kepemimpinan
transformatif adalah gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh manajer atau pemimpin di
mana kemampuannya bersifat tidak umum dan diterjemahkan melalui kemampuan
untuk merealisasikan misi, mendorong para anggota untuk melakukan pembelajaran,
serta mampu memberikan inspirasi kepada bawahan mengenai berbaga hal baru yang
perlu diketahui dan dikerjakan. Salah satu tokoh yang memperkenalkan kepemimpinan
transformatif ini adalah pakar kepemimpinan yang bernama Jack Welch Welch
berhasil mengubah pola kepenmumpinan yang kaku, tidak fleksibel dan lambar GE di
perusahaan raksasa General Electric (GE) menjadi perusahaan yang fleksibel, an
sipatif, dan mampu meraih predikat sebagai salah satu perusahaan yang meraih profit
tertinggi di dunia. Welch mendasari pola kepemimpinannya kepada kepemimpinas
transformatif. Transformatif pada dasarnya kemampuan untuk beradaptasi dengan per
ubahan, sehingga esensi dari kepemimpinan transformatif adalah kemampuan seorang
pemimpin untuk membawahi orang-orang dan organisasi untuk mampu beradaptas
dengan lingkungan untuk kesuksesan di masa yang akan datang.
Perilaku politis dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan
untuk pencapaian tujuan tertentu, dengan menggunakan berbagai cara di antaranya
penggunaan kekuasaan, serta sumber daya yang ada untuk memperoleh hasil tertentu
yang diharapkan.
Perilaku politis ini dapat dilakukan oleh pemimpin terhadap bawahan, bawahan
terhadap pemimpin, atau pemimpin dan bawahan terhadap bagian lain dalam
organisasi Dalam berbagai keadaan perilaku politis ini dapat dilakukan oleh siapa pun
dalam organisasi dalam rangka pencapaian tujuan individunya, perlindungan dirinya
dari orang lain, untuk pencapaian kepentingan pribadinya yang terkait dengan
organisasi atau juga kepentingan untuk memperoleh jabatan tertentu dalam organisasi. Dua
hal yang akan dibahas dalam bagian ini, yaitu beberapa bentuk perilaku politis serta
bagaimana mengelola atau manajemen bagi perilaku politis tersebut.

Griffin (2000) menjelaskan bahwa terdapat paling tidak empat bentuk


perilaku politis yang dapat ditemukan dalam organisasi. Bentuk pertama
dari perilaku politis put berupa kompensasi yang dijanjikan atau
inducement, di mana sperada u polyes as anggota organisasi
menawarkan kompensasi tertentu kepada orang lain atau eanajer lain
sekiranya orang yang ditawari tersebut memberikan dukungan terhadap a
yang akan diusulkannya, katakanlah kepada pimpinan dikan dukungan
terhadap on perilaku politis dapat berupa tindakan persuasif atau
persuasion, di mana najer atau seseorang memengaruhi emosi dan logika
orang lain dalam hal sesuatu ung ingin diraihnya. Misalnya, seseorang
yang tengah mengusulkan suatu program Jan memberikan justifikasi
yang logis kepada orang lain sehingga orang lain tersebut pat menerima
usulannya tersebut. Bentuk ketiga dari perilaku politis dapat berupa
antutan atas kewajiban tertentu atau creation of an obligation. Seseorang
yang jawari sebuah ide mungkin dapat menyetujui ide tersebut bukan
karena dirinya etuju atau mengerti akan ide tersebut, akan tetapi dengan
menyetujui ide tersebut seorang yang menawari ide tersebut akan "secara
sadar maupun tidak sadar" harus fertanggung jawab atas ide yang
diusulkannya serta berutang budi pada seseorang ang menyetujuinya.
Perasaan utang budi dan tanggung jawab dari seseorang yang senawari
ide tersebut dapat dimanfaatkan oleh seseorang yang menyetujui ide
tersebut tuk dimanfaatkan pada kesempatan lain ketika dia dapat
memanfaatkan situasi rang budi" dan "beban tanggung jawab" tersebut.
Bentuk keempat dari perilaku pelitis adalah dengan menggunakan
kekuasaan untuk mewujudkan sesuatu mau coercion, di mana seseorang
yang menginginkan tujuannya tercapai mungkin akan mengancam
seseorang untuk mengikuti apa yang diinginkannya atau melalui ancaman
lehilangan kompensasi sekiranya tidak mengikutinya.

Apa yang harus dilakukan oleh para manajer ketika mereka di


hadapkan pada perilaku politis yang dilakukan para anggotanya atau oleh
sesama manajer?Paling tidak ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh
manajer, yaitu:
Para manajer perlu menyadari bahwa sekalipun perilaku dan
tindakannya t dimaksudkan untuk kepentingan politis, akan tetapi orang
lain mungkin m nafsirkannya sebagai perilaku politis.
Para manajer perlu memberikan kepercayaan terhadap bawahan berupa
pen delegasian wewenang, tanggung jawab, kesempatan, dan juga umpan
balik Hal tersebut akan meminimumkan kecenderungan bawahan dalam
melakukan tindakan politis. Semakin pemimpin tidak memercayai
bawahan, semakin bawahan akan berperilaku politis karena hubungan
pimpinan bawahan tidak harmonis.
Para manajer perlu menghindarkan diri dari penggunaan pendekatan ke
kuasaan dalam berbagai hal sekiranya tidak ingin diperlakukan secara
politi oleh orang lain.
Para manajer perlu mempersiapkan diri untuk menyetujui berbagai hal
yang diusulkan oleh bawahan, sehingga bawahan tidak akan
mempergunakan ketidaksetujuan manajer sebagai potensi konflik untuk
berperilaku politis
Para manajer perlu menghindarkan diri dari melakukan kebijakan dan
kegiatan yang bersifat rahasia atau tidak transparan, karena hal tersebut
akan diikuti oleh bawahan sebagai potensi untuk berperilaku politis. Pada
praktiknya, mengelola perilaku politis sangatlah tidak sederhana.
Kemampuan para manajer untuk berinteraksi dan berkomunkasi dengan
berbagai karakter orang dan bawahan sangat menentukan pula
kemampuannya dalam mengelola dan mengendalikan perilaku politis
para anggotanya. Kembali, faktor situasional juga akan menentukan gaya
kepemimpinan seperti apa yang perlu dilakukan.
BAB I

Motivasi merupakan kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan


perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan (persistence)
pada tingkah laku tersebut.Kepemimpinan adalah perilaku seorang
individu ketika ial mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas suatu
kelompok yang dipimpinnya sehingga mereka mau bekerja sama sehingga
tujuan- tujuan yang telah ditetapkan secara bersama-sama akan tercapai
dan terjadi hubungan komunikasi yang baik antar pemimpin dan
anggotanya.Disadari bahwa tingkat kepuasan individu manusia berbeda-
beda, begitu pula dengan tingkat kebutuhan manusia juga berlainan. Hal
itu perlu dipahami oleh seorang wirausaha di dalam memotivasi
pekerjanya. Disamping itu pula, seorang wirausaha perlu mengenali
kekuatan motif diri sendiri sehingga dapat menjaga keseimbangan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Seorang wirausaha sebagai pemimpin dalam usahanya, harus
memahami tentang motivasi. Pekerjaan seorang pemimpin yang paling
penting antara lain adalah bagaimana dia bisa memotivasi orang yang
dipimpin untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan
inilah yang menjadi patokan atau ukuran keberhasilan bagi seorang
wirausaha.

Sara
n Kita sebagai calon pemimpin (wirausaha) sebaiknya harus
mampu menimbulkan semangat kerja dan membuat hubungan yang baik
dengan pegawai agar bisnis yang diusahakan dapat berhasil. Dan yang
terpenting pula harus menjadi pemimpin yang amanat, adil dan
bertangggung jawab.
https://www.academia.edu/resoure
/work/9194265

Anda mungkin juga menyukai