Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS AGENCY COST PADA KECENDERUNGAN INCOME SMOOTHING

Oleh Monica Verginia

I. Latar Belakang

Dengan berkembangnya pasar modal di Indonesia pada saata ini, hal ini dapat dilihat dengan
dengan adanya peningkatan jumlah perusahaan yang memperjualbelikan sahamnya di Bursa
Efek Indonesia. Dengan seiringnya perkembangan pasar modal, seorang investor
membutuhkan informasi yang memadai dalam pengambilan keputusan investasi pada
perusahaan publik. “Januar dan Suryono (2007) menyatakan bahwa laporan keuangan
mengandung suatu informasi yang diperlukan oleh para investor”. “Widyaningdyah (2001)
menyatakan laba digunakan sebagai tolak ukur dalam menilai kinerja manajemen”. “Kusuma
dan Sari (2003) menyatakan manajemen perusahaan terkadang menciptakan kebijakan pada
laporan keuangan perusahaannya dengan maksud mencapai tujuan tertentu”. “Tujuan tersebut
tidak lain untuk menciptakan laporan keuangan yang baik melalui praktik manajemen laba,
salah satunya yaitu melalui perataan laba (Widyaningdyah, 2001)”. “Manajemen laba
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti peningkatan nilai saham (Gumanti, 2000),
pelanggaran regulasi anti monopoli (Cahan, 1992), serta untuk mendapatkan keuntungan pajak
(Maydew, 1997)”. “Manajer memiliki beberapa sasaran yang ingin diwujudkan melalui praktik
manajemen laba meliputi meminimalkan political cost, memaksimalkan kesejahteraan
manajer, dan mengurangi financing costs (Magnan dan Cormier, 1997)”. Penelitian-penelitian
sebelumnya mengungkapkan beberapa hipotesis mengenai motivasi melakukan income
smoothing, di antaranya “to reduce earnings and cash flow variability in an attempt to reduce
stock ownership risk yaitu tidak lain untuk mengurangi laba dan variabilitas arus kas dalam
upaya untuk mengurangi risiko kepemilikan saham (Cushing, 1969)”. Penelitian selanjutnya
mengenai motivasi peraataan laba (income smoothing) menyatakan bahwa “untuk pasar modal
yang efisien dan bahwa investor tidak akan tertipu oleh trik akuntansi semata (Beaver dan
Dukes, 1973)”, “mengurangi pendapatan jika perusahaan secara politik terlihat dan tunduk
kepada pemerintah dikenakan biaya seperti peningkatan pajak atau regulasi (Watts and
Zimmerman, 1978)” dan “untuk meminimalisasi agency costs (Gumanti, 2000)”. “Agency
theory khususnya yang terkait dengan income smoothing menjelaskan bahwa antara
manajemen dan prinsipal terdapat kepentingan yang saling bertentangan, dimana manajer
sebagai pihak yang berupaya melakukan perataan laba (income smoothing) untuk
kepentingannya (Assih dan Gudono, 2000)”. Salah satu motivasi manajer melakukan praktek
income smoothing agar kinerja perusahaannya nampak lebih baik supaya investor akan lebih
mudah memprediksi laba masa depan, sedangkan disisi lain prinsipal sebagai pihak yang
memiliki kepentingan untuk meningkatkan utilitasnya, maka seringkali menimbulkan masalah
diantara prinsipal dan agen. Biaya Keagenan yaitu biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka
meminimalisir masalah-masalah yang akan terjadi. “Jensen dan Meckling (1976) menyatakan
agency cost meliputi monitoring cost, bonding cost, dan residual loss”.

“Agency cost diukur menggunakan proksi SG&A (Selling and General Administrative)
merujuk penelitian Widanaputra dan Ratnadi (2007)”. “Hal ini juga dilakukan pada penelitian
Sinaga (2009) yang menggunakan variabel ini sebagai proksi dari biaya keagenan”. Proksi
yang digunakan bertujuan untuk melihat besarnya biaya audit dalam rangka memonitoring
tindakan manajemen oleh prinsipal dalam hal ini sebagai pemegang saham. SG&A adalah
proksi dari biaya operasi dengan cara menghitung rasio biaya operasi atas total penjualan pada
suatu perusahaan. biaya operasi mencerminkan diskresi manajemen dalam membelanjakan
sumber daya pada perusahaannya. Maka dari itu, “jika biaya operasi pada suatu perusahaan
cukup besar, maka agency cost yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan akan semakin besar
(Widanaputra dan Ratnadi, 2007) artinya manajemen akan cenderung melakukan praktik
perataan laba (income smoothing) jika agency cost yang dikeluarkan perusahaan cukup besar”.
“Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Kustono 2008) memperoleh hasil bahwa agency
cost yang diproksikan oleh audit tenure berpengaruh pada kecenderungan income smoothing
dimana proksi tersebut juga merupakan monitoring cost”.

Penelitian ini menganalisis Agency Cost Terhadap Kecendrungan Income Smooting.


Tujuan artikel ini untuk menganalisis Agency Cost terhadap kecendrungan Income Smooting.
Maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: Analisis Agency Cost terhadap
kecendrungan Income Smooting.
II. Landasan Teori

Teori Keagenan

Manajer memiliki kewajiban untuk memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham.


Namun, manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka.
“Penyatuan kepentingan seperti ini, seringkali menimbulkan konflik yang dinamakan konflik
keagenan (Dessy, 2008)”. “Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan agency
sebagai suatu kontrak dibawah satu atau lebih (principal) yang melibatkan orang lain (agent)
untuk melaksanakan beberapa layanan bagi mereka dengan melibatkan pendelegasian
wewenang pengambilan keputusan kepada agen”. “Berle dan Means (1932) menyatakan
bahwa dalam teori agensi yang memiliki saham sepenuhnya adalah pemilik (pemegang
saham), dan manajer diminta untuk memaksimalkan tingkat pengembalian pemegang saham.
Baik principal maupun agent diasumsikan sebagai orang ekonomi yang rasional dan semata-
mata termotivasi oleh kepentingan pribadi”. “Eisendhart (1989) mengemukakan beberapa teori
yang melandasi teori agensi, teori-teori tersebut dibedakan menjadi tiga jenis asumsi yaitu
asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi”. “Pertama
Asumsi sifat manusia, menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan
dirinya sendiri, memiliki keterbatasan rasionalitas dan tidak menyukai resiko, Kedua asumsi
keorganisasian menekankan bahwa adanya konflik antar anggota organisasi dan adanya
asimetri informasi antara principal dan agent sedangkan yang Ketiga asumsi informasi
menekankan bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan”. “Jadi yang
dimaksud dengan teori keagenan (Dini, 2010) yaitu membahas tentang hubungan keagenan
antara principal dan agent”. Konflik kepentingan antara agent dan principal dalam mencapai
kemakmuran yang dikehendakinya disebut sebagai masalah keagenan. Masalah keagenan
tersebut dapat terjadi akibat adanya asimetri informasi antara pemilik dan manajer. Asimetri
informasi ini terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan yang relatif lebih
banyak dan mendapatkan informasi relatif lebih cepat dibanding pihak eksternal. “Kondisi ini
memberikan kesempatan kepada manajer untuk menggunakan informasi yang diketahuinya
untuk memanipulasi pelaporan keuangan sebagai usaha untuk memaksimalkan
kemakmurannya (Richardson, 1998)”. “Menurut Scott (1967) informasi asimetri mempunyai
dua tipe, tipe pertama, adverse selection yakni pada tipe ini, pihak yang merasa memiliki
informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak akan mau untuk melakukan perjanjian
dengan pihak lain tersebut apapun bentuknya, dan jika tetap melakukan perjanjian, dia akan
membatasi dengan kondisi yang sangat ketat dan biaya yang sangat tinggi dan tipe kedua dari
informasi asimetri adalah moral hazard, moral hazard terjadi ketika manajer melakukan
tindakan tanpa sepengetahuan pemilik untuk keuntungan pribadinya dan menurunkan
kesejahteraan pemilik”.

Biaya Keagenan

“Menurut teori keagenan dari Jensen & Meckling (1976) menyatakan bahwa permasalahan
keagenan ditandai dengan adanya perbedaan kepentingan dan asimetri informasi antara
pemilik perusahaan (principal) dan manajer (agent)”. Perbedaan kepentingan ini dikarenakan
oleh kemungkinan bahwa agent tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan principal.
Oleh karena itu perlu adanya suatu mekanisme pengawasan untuk meminimumkan konflik
kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Munculnya mekanisme pengawasan atau
kegiatan pemantauan ini akan menyebabkan timbulnya suatu biaya yang disebut dengan
agency cost. Biaya keagenan adalah biaya yang dikeluarkan pemilik untuk mengatur dan
mengawasi kinerja para manajer sehingga mereka bekerja untuk kepentingan perusahaan.
“Jensen & Meckling (1976) menyebutkan tiga jenis biaya keagenan yaitu meliputi monitoring
cost, bonding cost, residual losses”. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung
oleh principal untuk memonitor perilaku para agent, yaitu untuk mengukur, mengamati dan
mengontrol perilaku agen. Bonding cost adalah biaya yang ditanggung oleh agen untuk
menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk
kepentingan principal. Sedangkan residual loss timbul dari kenyataan bahwa tindakan agent
kadangkala berbeda dari tindakan yang memaksimumkan kepentingan principal.

Income Smoothing (Perataan Laba)

“Praktik perataan laba (income smoothing) adalah salah satu tindakan yang dilakukan
manjemen untuk meningkatkan market returns (Michelson et.al.:2000)”. “Tindakan tersebut
sengaja dilakukan manajemen untuk mencapai posisi laba yang diinginkan dalam laporan laba
rugi perusahaan guna menarik minat pasar dalam berinvestasi, karena perhatian investor
seringkali hanya terpusat pada prosedur yang digunakan perusahaan untuk menghasilkan
informasi laba tersebut (Subekti, 2005)”. “Di samping itu laba yang dilaporkan dalam posisi
yang stabil akan memberikan rasa lebih percaya diri bagi pemilik perusahaan (Michelson,
2000) yang disertai dengan tujuan untuk meningkatkan kepuasaan pemegang saham melalui
tingkat pertumbuhan dan stabilitas laba yang dilaporkan, namun masih dalam batas aturan
akuntansi yang berlaku (Stolowy dan Breton, 2000)”. “Beidleman (1973) mendifinisikan
income smoothing adalah sebagai suatu upaya yang sengaja dilakukan manajemen untuk
mencoba mengurangi variasi abnormal dalam laba perusahaan dengan tujuan untuk mencapai
suatu tingkat yang normal bagi perusahaan”, sedangkan “(Kamaruddin et.al, 2003)
menyatakan bahwa income smoothing merupakan suatu alat yang digunakan manajemen untuk
mengurangi variabilitas yang menyolok dari laba yang dilaporkan dalam batas target yang
diharapkan dengan manipulasi variabel akuntansi atau transaksi yang terjadi dalam
perusahaan”. “Menurut Ashari, dkk (1994) perataan laba adalah sinyal dari manjemen dalam
memilih metode/kebijakan akuntansi di dalam GAAP untuk meminimalkan fluktuasi yang
berdampak pada performa perusahaan di masa datang”. “Sedangkan Copeland (1968)
mengatakan bahwa perataan laba adalah pengurangan fluktuasi dari tahun ke tahun melalui
pemindahan earnings dari tahun puncak untuk mengurangi periode kesuksesan”. “Perataan
laba menurut Ball dan Brown (1968) adalah usaha untuk mengurangi variabilitas laba,
terutama menyangkut dengan perilaku yang ditujukan untuk mengurangi adanya pertambahan
abnormal dalam laba yang dilaporkan perusahaan”.

III. Pembahasan

Perusahaan yang melakukan praktek income smooting adanya maksud tertentu, membuat
kandungan informasi pada laporan keuangan yang disajikannya dapat merugikan banyak pihak
salah satunya yaitu investor. “Teori Agensi yang terkait dengan income smoothing menyatakan
antara manajemen dan prinsipal terdapat kepentingan yang saling bertentangan, dimana
manajer sebagai pihak yang berupaya melakukan perataan laba (income smoothing) untuk
kepentingannya (Assih dan Gudono, 2000)”. Salah satu motivasi manajer melakukan praktik
income smoothing supaya kinerja perusahaannya terlihat lebih baik sehingga investor akan
lebih mudah memprediksi laba masa depan, sedangkan di satu sisi prinsipal sebagai pihak yang
memiliki kepentingan untuk meningkatkan utilitasnya, maka seringkali menimbulkan masalah
antara prinsipal dan agen. Masalah yang terjadi diantara agent dan principal akan berdampak
adanya agency cost. Agency cost adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk meminimalisir
masalah yang terjadi diantara agen dan prinsipal. “Jensen dan Meckling (1976) menyatakan
bahwa agency cost meliputi monitoring cost, nonding cost dan residual cost”.

Dari hasil peneliti sebelumnya yang dinyatakan oleh Kustono (2008) dan Yunita (2015),
“bahwa agency cost berpengaruh pada kecendrungan income smooting”. “Dia menyatakan
bahwa perusahaan akan lebih cenderung melakukan praktik perataan laba (income smooting)
apabila agency cost meningkat”. Widanaputra dan Ratnadi (2007) menyatakan bahwa “jika
biaya operasi pada suatu perusahaan cukup besar, maka agency cost yang dikeluarkan oleh
suatu perusahaan akan semakin besar artinya manajemen akan cenderung melakukan praktik
perataan laba (income smoothing) jika agency cost yang dikeluarkan perusahaan cukup besar”.

IV. KESIMPULAN

Kesimpulan dari artikel ini yaitu dari hasil peneliti sebelumnya yang dinyatakan oleh Kustono
(2008) dan Yunita (2015), “bahwa agency cost berpengaruh pada kecendrungan income
smooting”. “Dia menyatakan bahwa perusahaan akan lebih cenderung melakukan praktik
perataan laba (income smooting) apabila agency cost meningkat”. Widanaputra dan Ratnadi
(2007) menyatakan bahwa “jika biaya operasi pada suatu perusahaan cukup besar, maka
agency cost yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan akan semakin besar artinya manajemen
akan cenderung melakukan praktik perataan laba (income smoothing) jika agency cost yang
dikeluarkan perusahaan cukup besar”.

V. DAFTAR REFERENSI

Jensen and Meckling. 1976. “Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Costs,
and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics 3 (1976).

Ball, Ray & Philip Brown. 1968. “An Empirical Evaluation of Accounting Income
Numbers. Journal of Accounting Research”. Autumn68, Vol. 6 Issue 2.

Yunita dan Asri, “Analisis Pengaruh Agency Cost pada Kecendrunggan Income
Smoothing”. ISSN:2302-8556 E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana Vol.13.No.2 Nov.
2015.

Anda mungkin juga menyukai