Anda di halaman 1dari 3

- TEORI KEAGENAN (AGENCY THEORY) DAN MANAJEMEN LABA

Pengertian Manajemen Laba


Earning Management terjadi ketika para manajer menggunakan keputusannya dalam
pelaporan keuangan dan dalam melakukan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan
keuangan, baik untuk menimbulkan gambaran yang salah bagi stakeholders tentang kinerja
ekonomis perusahaan maupun untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang bergantung pada
angka-angka akuntansi yang dilaporkan. (Healy dan Wahlen : 1999).
Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen laba dalam arti yang berbeda-beda.
Menurut Sulistyanto (2008) dalam Okta (2010) terdapat beberapa definisi mengenai
manajemen laba (earnings management) yaitu:
1. Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan
eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi (Schipper ,
1989).
2. Manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan
dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang
saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau mempengaruhi akibat-akibat perjanjian
yang mempunyai kaitan dengan angka-angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan
(Healy & Wahlen ,1999).

Praktek Manajemen Laba


Praktek manajemen laba dapat ditinjau dari dua perspektif yang berbeda, yaitu:
a. Etika Bisnis
Didalam etika, dapat dianalisis sebab-sebab manajer melakukan manajemen laba.
b. Teori Akuntansi Positif
Didalam teori ini, dapat dianalisis dan diidentifikasikan berbagai bentuk praktek manajemen
laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan.
Tinjauan etika manajemen laba yang dilihat dari sudut pandang teori akuntansi positif
dapat dijelaskan melalui teori kontrak (contracting theory). Godfrey, Hodgson dan Holmes
(1997) menjelaskan bahwa riset dan teori akuntansi positif didasarkan pada asumsi mengenai
perilaku individu yang terlibat dalam proses kontrak. Proses kontrak tersebut menghasilkan
hubungan keagenan (agency relationship). Hubungan keagenan muncul ketika salah satu
pihak (principal) mengontrak pihak lain (agen) untuk melakukan tindakan yang diinginkan
oleh principal. Dengan kontrak tersebut, principal mendelegasikan wewenang pengambilan
keputusan kepada agen. Baik principal maupun agen, kedua-duanya adalah utility maximizer,
maka tidak ada alasan yang dapat diyakini bahwa agen akan selalu bertindak untuk
kepentingan principal. Masalah keagenan (agency problem) muncul karena adanya perilaku
oportunis dari agen, yaitu perilaku manajemen (agen) untuk memaksimumkan
kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal dan akhirnya
menjadi insentif bagi manajer untuk melakukan manajemen laba.

Teori Keagenan (Agency Theory) dan Manajemen Laba


Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan pendekatan teori
keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak diantara para anggota perusahaan,
terutama hubungan antara pemilik (prinsipal) dengan manajemen (agent). Jensen dan
Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu
orang atau lebih pemilik (prinsipal) yang menyewa orang lain (agent) untuk melakukan
beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan
keputusan kepada agen. Michelson et al (1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu
hubungan berdasarkan persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk
bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (prinsipal). Pemilik akan mendelegasikan
tanggungjawab kepada manajemen, dan manajemen setuju untuk bertindak atas perintah atau
wewenang yang diberikan pemilik.
Prinsipal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang mempunyai rasio ekonomi
dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan
melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan pemilik. Hal ini disebabkan agent juga
memiliki kepentingan memaksimalkan kesejahteraannya. Informasi dalam teori agensi
digunakan untuk pengambilan keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi
dan membagi hasil sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi agen
untuk berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi sesuai dengan harapan
prinsipal sehingga dapat meningkatkan kepercayaan prinsipal kepada agen (Faozi, 2002).
Dalam hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah jika terdapat
informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (1997) menyatakan apabila beberapa
pihak yang terkait dalam transaksi bisnis lebih memiliki informasi daripada pihak lainnya,
maka kondisi tersebut dikatakan sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dapat berupa
informasi yang terdistribusi dengan tidak merata diantara agen dan prinsipal, serta tidak
mungkinnya prinsipal untuk mengamati secara langsung usaha yang dilakukan oleh agen. Hal
ini menyebabkan agen cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional
behaviour).
Salah satu disfunctional behaviour yang dilakukan agen adalah pemanipulasian data
dalam laporan keuangan agar sesuai dengan harapan prinsipal meskipun laporan tersebut
tidak menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya.
Pemanipulasian data dalam laporan keuangan tersebut dapat berupa praktek
manajemen laba (earning management). Manajemen laba merupakan proses yang dilakukan
manajer dalam batasan general accepted accounting principles, yang sengaja mengarah pada
suatu tingkatan yang diinginkan atas laba yang dilaporkan (Assih, 2000). Manajemen laba
dapat terjadi ketika manajemen lebih menggunakan judgement dalam menyusun laporan
keuangan serta dalam memilih transaksi-transaksi yang dapat merubah laporan keuangan
(Healy & Wahlen, 1998). Sedangkan menurut Scott (2000),manajemen laba merupakan
pemilihan kebijakan akuntansi untuk mencapai tujuan khusus.

Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Manajemen Laba


Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba.
Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) meneliti hubungan asimetri informasi dan
manajemen laba pada semua perusahaan yang terdaftar di NYSE pada periode akhir juni
selama 1988-1992. Hasil penelitiannya, bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara
magnitut asimetri informasi dan tingkat manajemen laba. Fleksibilitas manajemen untuk
memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas
bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Bhattacharya dan Spiegel (1991) dalam Richardson (1998) melakukan penelitian,
bahwa asimetri informasi menyebabkan ketidakinginan untuk berdagang dan meningkatkan
cost of capital sebagai pelindung harga investor itu sendiri melawan kerugian potensial dari
perdagangan dengan partisipan pasar yang diinformasikan dengan baik. Lev (1998) dalam
Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa ukuran pengamatan atas likuiditas pasar dapat
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat penerimaan asimetri informasi yang dihadapi
partisipan dalam pasar modal. Bid-ask spreads adalah salah satu pengukuran dari likuiditas
pasar yang telah digunakan secara luas dalam penelitian terdahulu sebagai pengukur asimetri
informasi antara manajemen dan pemegang saham perusahaan. Sebagai bukti dari
kemampuan bid-ask spreads dalam menangkap bukti seputar perusahaan ditunjukkan oleh
Healy, Palepu dan Sweeney (1995) dan Welker (1995) dalam Rahmawati dkk. (2006) yaitu
orang yang melaporkan bukti dari hubungan yang negatif antara bid-ask spreads dan
kebijakan pengungkapan perusahaan.
Penelitian Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) menunjukkan adanya
hubungan antara asimetri informasi dengan manajemen laba. Ketika asimetri informasi
tinggi, stakeholder tidak memiliki sumber daya yang cukup, insentif, atau akses atas
informasi yang relevan untuk memonitor tindakan manajer, dan hal ini memberikan
kesempatan atas praktek manajemen laba. Adanya asimetri informasi akan mendorong
manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut
berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer.
Glosten dan Milgrow (1985) dalam Lobo dan Zhou (2001) menyatakan bahwa
peningkatan informasi dalam laporan keuangan akan menurunkan asimetri informasi. Dengan
demikian, peningkatan pengungkapan akan menyebabkan fleksibilitas manajer untuk
melakukan manajemen laba akan berkurang karena berkurangnya asimetri informasi antara
manajemen dengan pemegang saham dan pengguna laporan keuangan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai