Anda di halaman 1dari 8

Jenis Kelamin

Sebagai protein penyimpanan zat besi utama dalam tubuh, sebagian besar feritin dijumpai
intrasel namun sejumlah feritin juga dapat dijumpai dalam jumlah terlarut di dalam darah yang
dapat diperiksa. Konsentrasi feritin dapat bervariasi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Pada
usia remaja hingga dewasa laki-laki memiliki kadar feritin yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Pada perempuan konsentrasi feritin relatif rendah hingga saat menopause dan
kemudian akan meningkat setelahnya, hal ini juga berlaku pada laki-laki yaitu kadar feritin akan
meningkat mulai usia 70 tahun. Mekanisme rendahnya kadar feritin pada wanita disebabkan oleh
siklus menstruasi yang terjadi secara rutin. Perdarahan saat menstruasi memberikan kontribusi
yang besar terhadap kehilangan besi dalam tubuh, sebanyak 1mg zat besi hilang per hari selama
siklus menstruasi. Pada perempuan produktif dibutuhkan 3-4mg zat besi/hari untuk
menggantikan kehilangan zat besi selama perdarahan untuk menurunkan risiko anemia akibat
kekurangan zat besi pada perempuan.1.2

Usia

Pada populasi usia lanjut kadar feritin umumnya meningkat, meski penyebab pasti hal ini tidak
diketahui secara rinci namun ada sebuah mekanisme yang dipercaya menyebabkan peningkatan
feritin pada usia lanjut. Efek langsung atau proses degenerasi pada sistem retikuloendotelial
sehingga menurunkan peran makrofag terhadap perlawanan terhadap infeksi hal ini juga dikenal
dengan istilah inflammaging yang merupakan proses inflamasi kronik yang umumnya
asimtomatik, meski tanpa gejala pada pasien usia lanjut terjadi peningkatan mediator inflamasi
dan sitokin seperti Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Interleukin-6 (IL-6) dalam sirkulasi
yang akan memicu pelepasan protein inflamasi salah satunya adalah feritin.3

Indeks Massa Tubuh (IMT)

Feritin merupakan suatu protein yang menyimpan zat besi dan bersifat larut dalam air, pada
populasi orang sehat feritin dapat diperiksa untuk mengetahui total kadar zat besi di dalam tubuh.
Kadar feritin dapat meningkat pada kondisi inflamasi atau perlawanan terhadap infeksi dan dapat
digunakan sebagai penanda tingginya stres oksidatif di dalam tubuh. Penyerapan zat besi diatur
oleh hepsidin, suatu 25-asam amino yang diproduksi oleh hepatosit yang kemudian akan
berikatan dengan feroportin yang kemudian akan menghambat penyerapan zat besi. Rendahnya
ekspresi hepsidin menyebabkan akumulasi zat besi, sementara ekspresi berlebihan hepsidin
menyebabkan hambatan penyerapan zat besi selain itu defisiensi feroportin juga dapat
menyebabkan resistensi hepsidin yang akan berakibat tubuh mengalami penumpukan zat besi.
Pada malnutrisi baik obesitas maupun kondisi underweight dapat menyebabkan perubahan pada
kadar feritin.4

Mekanisme hubungan antara obesitas dengan perubahan kadar feritin belum dapat dijelaskan
secara pasti, namun beberapa faktor yang paling banyak berpengaruh yakni terjadi proses
inflamasi terkait obesitas yang dapat meningkatkan kadar feritin. Feritin serum merupakan suatu
protein reaktan fase akut yang hampir serupa dengan C-reactive protein (CRP) yang akan
meningkat sebagai respon terhadap inflamasi termasuk pada kelompok obesitas yang memiliki
adipokin yang diproduksi oleh adiposit secara berlebihan. Saat proses inflamasi, sitokin akan
dilepaskan sehingga hepatosit akan merespon dengan mengekspresikan hepsidin dalam jumlah
besar sehingga menghambat penyerapan zat besi yang berakibat peningkatan feritin. Sementara
pada pasien dengan kondisi underweight anemia defisiensi besi dikaitkan dengan rendahnya
asupan mikronutrien pembentuk sel darah merah seperti zat besi, asam folat dan berbagai
vitamin seperti vitamin B12 sehingga pada kelompok underweight terjadi anemia dengan kadar
feritin yang rendah.5

Komorbid

 Gagal ginjal
Penyakit gagal ginjal kronik (PGK) merupakan suatu gangguan fungsi ginjal yang
bersifat progresif dan seringkali dikaitkan dengan kejadian penyakit kardiovaskular dan
anemia defisiensi besi. Ginjal adalah sumber utama eritropoietin (EPO), hormon yang
mengatur produksi sel darah merah. Selama perjalanan penyakit ini terjadi penurunan
kadar EPO yang menyebabkan produksi sel darah merah berkurang, dalam kondisi ini
jumlah zat besi yang diproduksi oleh sumsum tulang dan yang disimpan di dalam sel
cukup namun pelepasan zat besi dari tempat penyimpanan ke dalam sirkulasi tidak efektif
sehingga terjadi anemia defisiensi besi dengan kadar feritin yang rendah dalam darah.6,7
 Penyakit hepar kronik
Zat besi ekstraseluler akan mengalami proses oksidasi oleh feroksidase sedangkan zat
besi yang tidak aktif akan berikatan dengan transferin. Transferin merupakan protein
yang disintesis dan dilepaskan oleh hepar, bertanggung jawab untuk transportasi besi di
dalam plasma dan dapat mengatur aktivitas hepsidin. Hepsidin diproduksi oleh hepatosit
yang akan memberikan respon terhadap penyimpanan zat besi intrasel. Feritin merupakan
suati protein penyimpanan zat besi yang paling banyak ditemukan di hepar selain di
sumsum tulang. Pada penyakit hepar kronik terjadi proses inflamasi yang akan
menyebabkan produksi hepsidin meningkat menyebabkan turunnya penyerapan zat besi
di usus dan pelepasan zat besi dari makrofag yang akan menyebabkan endapan zat besi
yang berlebihan.8
 Thalasemia
Thalasemia menyebabkan adanya ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang
mendasari timbulnya berbagai kelainan. Pada thalasemia-β terdapat penurunan sinstesis
rantai β-globin menyebabkan peningkatan kadar rantai α-globin berlebih yang tidak dapat
berpasangan membentuk tetramer hemoglobin. Tingginya kadar rantai α-globin pada
pasien menyebabkan terbentuknya agregat rantai α-globin. Agregat ini akan mengalami
presipitasi membentuk badan inklusi pada eritrosit dan prekursornya di sumsum tulang.
Badan inklusi ini menyebabkan kerusakan pada membran sel dan membran organel sel
akibat pembentukan hemikrom, pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan
apoptosis dari prekursor eritrosit di sumsum tulang, menyebabkan eritropoiesis inefektif
dan menurunnya masa hidup eritrosit. Pasien dengan thalasemia mayor akan bergantung
pada transfusi darah untuk pengobatannya. Transfusi secara terus menerus akan
menyebabkan peningkatan deposisi zat besi dalam jaringan. Mengingat kandungan zat
besi yang ditransfusi sebesar 1mg dalam setiap milimeter darah, penderita lama kelamaan
akan mengalami kelebihan zat besi.9

Inflamasi pada TB

Zat besi merupakan nutrisi yang penting tidak hanya bagi manusia, tetapi juga untuk
pertumbuhan hampir semua jenis mikroba, termasuk M.tuberculosis. Pada keadaan inflamasi
termasuk saat infeksi tuberkulosis paru, mikroba patogen dan pejamu akan berkompetisi untuk
menggunakan zat besi yang terdapat di dalam sitoplasma untuk metabolisme dan menyintesis
siderofor dan makromolekul seperti transferin, feritin atau laktoferin. Feritin merupakan suatu
reaktan fase akut yang memiliki korelasi kuat dengan derajat keparahan suatu proses inflamasi.
Tingginya kadar feritin dapat menjadi penanda besarnya stres oksidatif dan kondisi akut suatu
penyakit. Sebuah studi yang dilakukan oleh Mishra, dkk. melaporkan bahwa pada pasien TB
paru didapatkan kadar feritin yang lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Peningkatan
feritin pada pasien dengan TB paru dipicu oleh monosit dan makrofag yang memproduksi feritin.
Nilai BTA yang lebih tinggi juga dihubungkan dengan kadar feritin yang tinggi.

Setelah pengenalan MTb maka akan terjadi stimulasi ekspresi sitokin-sitokin proinflamasi yang
didominasi oleh Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-22 (IL-22), dan inteferon
gamma (IFN-γ). Sitokin proinflamasi yang diekspresikan serta hidrogen peroksida yang
dihasilkan oleh neutrofil juga akan menyebabkan stimulasi ekspresi hepsidin dari hepatosit.
Dalam sebuah studi retrospektif dilaporkan bahwa bentuk atau luas lesi TB yang juga menjadi
penanda keparahan penyakit dapat menyebabkan kelainan hemostasis pada pasien, semakin luas
proses inflamasi selama infeksi tuberkulosis maka produksi hepsidin juga akan terus meningkat.
Namun pada sebuah studi yang dilakukan oleh Vishwanat Jha, dkk melaporkan bahwa protein
early secreted antigenic target 6kDa (ESAT-6) yang dihasilkan oleh kuman MTb dan
menghambat ekspresi gen HFE yang berperan dan menjadi salah satu faktor penyebab
hemokromatosis.

Untuk menilai derajat inflamasi yang berkaitan dengan TB paru selain melihat parameter
laboratorium, klinisi dapat menilai luas lesi sebagai prediktor derajat inflamasi melalui
pemeriksaan yang sederhana yaitu foto toraks. Berikut adalah kriteria luas lesi foto toraks pada
TB paru :

 Lesi lanjut minimal : gambaran konsolidasi atau infiltrat pada 1 lapang paru tanpa disertai
dengan gambaran kavitas.
 Lesi lanjut moderat : gambaran konsolidasi atau infiltrat pada 1 lapang paru yang disertai
dengan gambaran kavitas yang kurang dari 4cm.
 Lesi lanjut luas : gambaran konsolidasi atau infiltrat di kedua lapang paru, dengan atau
tanpa disertai kavitas berukuran lebih dari 4cm.

Linezolid

Linezolid merupakan agen oxazolidinon yang digunakan untuk pengobatan terhadap infeksi
bakteri gram positif, termasuk bakteri yang resisten terhadap antibiotik golongan beta-lactam dan
glikopeptida seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau Enterococcus
faecium yang resisten terhadap vankomisin. 10 Linezolid bekerja dengan cara mengganggu
translasi, menghambat sintesis protein, dan menghambat replikasi bakteri. Obat ini juga
merupakan inhibitor oksidase monoamin nonselektif (MAO) yang bersifat reversibel yang
mampu meningkatkan konsentrasi neurotransmitter epinefrin, norepinefrin, dopamin, dan
serotonin pada sistem saraf. Linezolid bersifat bakterisidal terhadap strain streptokokus dan
bakteriostatis terhadap stafilokokus dan enterokokus. Sediaan linezolid adalah tablet, suspensi,
dan injeksi dengan absorpsi yang cepat dan panjang. Bioavailabilitas oral dari linezolid mencapai
100% dengan absorpsi jaringan, terutama paru dan sistem saraf pusat, sangat baik. 28

Aktivitas dari linezolid sebagian besar merupakan bakterisidal, terutama terhadap kelompok
stafilokokus dan enterokokus. Linezolid dalam dosis 600 mg yang diberikan setiap 12 jam
ditemukan bersifat bakteriostatik terhadap Staphylococcus aureus secara in vitro. Pada manusia
sendiri, efikasi maksimal ditemukan pada persentase angka t > MIC sebesar ≥ 85% atau
AUC/MIC > 100. 33

Linezolid memiliki beberapa karakteristik farmakokinetik. Linezolid dapat diserap dengan cepat
dengan bioavailabilitas mendekati 100%. 34 Konsentrasi plasma maksimum dapat didapatkan
dalam waktu 1-2 jam setelah diberikan. Steady-state pada konsentrasi 21.2 ± 5.78 mg/L dapat
didapatkan dalam waktu sekitar 1 jam. Half-life dari linezolid sekitar 5 jam pada pasien yang
sehat. 35 Linezolid merupakan senyawa yang larut dalam air dengan 31% dapat ditemukan
berikatan dengan protein plasma dalam darah. Linezolid memiliki volume distribusi dan
penetrasi ke dalam jaringan adiposa yang rendah.

Linezolid dapat dimetabolisme menjadi 2 metabolit inaktif melalui proses oksidasi dan cincin
morfolin, yaitu aminoethoxyacetic acid metabolite dan hydroxyethyl glycine metabolite.
Eliminasi dilakukan melalui renal dan non renal. Klirens renal memiliki kecepatan sebesar 40
mL/min. Metabolit juga dapat dikeluarkan melalui feses. 35

Terdapat beberapa obat yang dapat berinteraksi dengan linezolid. Kombinasi obat golongan SSRI
yang dengan golongan MAO inhibitor dapat menyebabkan peningkatan risiko toksisitas
serotonin karena memiliki efek serotonergik. 35 Kombinasi agen simpatomimetik dengan linezolid
dapat menyebabkan peningkatan risiko efek samping seperti tekanan darah. Klaritromisin dapat
menginhibisi p-glycoprotein (PGP) yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi linezolid.
Rifampin dan levotiroksin dapat menginduksi PGP sehingga meningkatkan klirens linezolid dan
menurunkan konsentrasi linezolid. 36

Pada pasien dengan kondisi kritis, absorbsi dan penetrasi linezolid ke dalam jaringan tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Namun, terdapat perbedaan dari distribusi dan eliminasi.
Penurunan protein plasma, volume distribusi, dan metabolism dapat mengganggu eliminasi dari
linezolid. Gagal ginjal dan gagal hati dapat menurunkan klirens linezolid. 37

Pada sebuah studi, linezolid mencapai Cmin hingga 2,9 mg/L dengan Cmax sebesar 11,9 mg/L.
Angka Cmin yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan komorbiditas dan filtrasi
glomerular yang rendah dengan Cmin yang lebih rendah ditemukan pada pasien dengan berat
badan yang lebih tinggi, sedangkan angka Cmax yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan
filtrasi glomerular rendah dengan Cmax yang lebih rendah ditemukan pada pasien dengan berat
badan yang lebih tinggi. Walaupun demikian, penggunaan obat-obatan lain, seperti rifampin,
deksametason, fenobarbital, proton-pump inhibitor, antagonis channel kalsium, dan amiodaron
tidak berdampak baik pada Cmin maupun pada Cmax. 38 Akan tetapi, penelitian lain menyebutkan
bahwa interaksi obat ditemukan pada obat digoksin, klaritromisin, dan rifampin. Koadministrasi
klaritromisin sebanyak 500 mg dan koadministrasi digoksin sebanyak 0.25 mg meningkatkan
konsentrasi linezolid dalam serum secara signifikan. 39,40 Hal ini berkaitan dengan glikoprotein-P
yang pompanya dihambat oleh klaritromisin sebagai inhibitor poten dari glikoprotein-P. Obat
lainnya yang berinteraksi dengan glikoprotein-P adalah rifampin, induser glikoprotein-P, serta
amiodarone, inhibitor glikoprotein-P. Digoksin juga merupakan substrat dari glikoprotein-P yang
konsentrasinya dipengaruhi oleh keberadaan inhibitor atau induser glikoprotein-P. 40 Tingginya
angka Cmax dikaitkan dengan toksisitas dari linezolid yang berujung pada myelosupresi.
Toksisitas ini juga dikaitkan dengan fungsi mitokondria yang lebih rendah. Linezolid
menghambat pertumbuhan bakteri melalui ikatan dengan 50S RNA ribosomal yang kemudian
akan menghambat sintesis protein bakteri. Akan tetapi, kemiripan struktur ribosom mitokondria
membuat toksisitas mitokondria dapat terjadi sehingga membuat efek samping. 41 Selain itu,
penelitian lain juga menemukan adanya interaksi antagonistik antara linezolid dengan
levofloksasin 42 dan interaksi sinergistik antara linezolid dengan salah satu jenis carbapenem,
yaitu ertapenem. 43
Namun, hingga saat ini, linezolid secara umum digunakan sebagai pengobatan tuberkulosis Pre-
XDR dan MDR dengan angka keberhasilan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena
linezolid merupakan inhibitor yang baik terhadap kuman MTb dengan laporan angka
keberhasilan terapi yang menggunakan linezolid berkisar antara 70-80%. Early bactericidal
activity (EBA) 0–2, indikator yang menunjukkan kecepatan obat untuk membunuh bakteri yang
sedang berada pada fase metabolisme cepat dan bermultiplikasi pada 2 hari pertama pengobatan,
dari linezolid 600 mg yang diberikan 2 kali sehari ditemukan tidak berbeda signifikan dengan
pengobatan menggunakan isoniazid. 29 Walaupun demikian, penggunaan linezolid sebagai terapi
Pre-XDR dan MDR memiliki beberapa efek samping. Trombositopenia dan anemia merupakan
efek samping utama yang paling sering terjadi pada penggunaan Linezolid sebagai terapi TB RO
selain efek samping gastrointestinal dan neurotoksisitas 10,25,27

Pada beberapa studi menyebutkan bahwa anemia dan trombositopenia akibat penggunaan
linezolid terjadi dalam kurun waktu 10 sampai 30 hari dan jika obat tersebut dihentikan, kadar
hemoglobin dan trombosit akan kembali normal dalam waktu 7-9 hari. Penelitian lain juga
menemukan bahwa pansitopenia terjadi 20–21 hari setelah administrasi linezolid yang kemudian
membaik 2 minggu setelah penghentian obat. Pansitopenia terjadi pada konsumsi linezolid
sebanyak 600 mg, 2 kali sehari. Meski belum secara pasti diketahui, tetapi trombositopenia yang
disebabkan oleh Linezolid dapat dibagi menjadi 2 mekanisme, yakni peningkatan konsumsi serta
penghancuran trombosit atau penurunan produksi trombosit. Diketahui bahwa Linezolid dapat
menyebabkan hambatan pembentukan dan pelepasan trombosit dari megakariosit dewasa
sehingga menyebabkan trombositopenia. Linezolid juga dilaporkan menjadi penyebab
terhambatnya sintesis protein di mitokondria sehingga terjadi mielosupresi yang menyebabkan
anemia. 25,27,30–32

Sebuah studi yang dilakukan di Surabaya pada tahun 2022 melaporkan bahwa pada 93 pasien
dengan TB RO yang mendapatkan terapi Linezolid, sebanyak 27 (29%) pasien mengalami
gangguan hematologi antara lain 23,6% mengalami anemia, 3,2% trombositopenia dan 2,2%
leukopenia, kemudian di tahun yang sama para klinisi di Cina melakukan studi terhadap 184
pasien TB resisten rifampisin (TB RR) yang menggunakan Linezolid yang melaporkan terdapat
efek samping berupa neuritis perifer sebanyak 51 orang (27,7%), 42 orang (22,8%) mengalami
hemokromatosis dan sisanya mengalami efek samping gastrointestinal dan neuritis optik. 10,33
Anemia dapat terjadi pada pasien yang menggunakan linezolid dalam jangka panjang.
Peningkatan risiko dapat ditemukan pada pasien yang menggunakan linezolid lebih dari 14
hari. 13 Penelitian lain menyebutkan bahwa efek hematologis, terutama anemia dan makrositosis,
dapat terjadi sekitar 30 hari pengobatan. 34 Jenis anemia yang dialami pada pasien yang
menggunakan linezolid adalah anemia sideroblastik. 10 Pasien dengan anemia sideroblastik
memiliki peningkatan saturasi besi, ferrin, dan ferritin pada serum. 13 Peningkatan ferritin juga
dapat ditemukan pada kasus aplasia sel darah merah dan pansitopenia yang diinduksi oleh
linezolid. 35,36

Langkah pertama dalam sintesis heme adalah penggabungan glisin dengan suksinil-koenzim A
untuk membentuk asam aminolevulinat (ALA) di mitokondria. ALA disintesis oleh enzim sintase
asam aminolevulinat yang kemudian akan diangkut ke sitosol. Pada penggunaan linezolid dapat
terjadi toksisitas sumsum tulang yang menyebabkan hambatan sintesis sejumlah protein di
mitokondria termasuk protein yang berfungsi untuk sintesis heme yaitu ketidakmampuan
mitokondria untuk membentuk ALA yang menyebabkan defisiensi heme dan anemia
sideroblastik. Sejumlah zat besi intrasel yang seharusnya digunakan untuk pembentukan sel
darah merah juga terkena dampak dari proses ini sehingga tidak terpakai dan terjadi
pembentukan cincin sideroblas yang mengandung endapan besi.

Anda mungkin juga menyukai