Anda di halaman 1dari 492

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/336837940

Buku Pembelajaran Prosa Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa Arab

Book · October 2019

CITATIONS READS

7 3,893

1 author:

Hanik Mahliatussikah
State University of Malang
91 PUBLICATIONS 82 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Hanik Mahliatussikah on 27 October 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa Arab

i
ii
Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa Arab

Dr. Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum.

Universitas Negeri Malang


Anggota IKAPI No. 059 / JTI / 89
Jl. Semarang 5 Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312 psw 453

iii
iv
Mahliatussikah, H
Pembelajaran Prosa Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa Arab –
Oleh: Dr. Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum. – Cet. I – Universitas
Negeri Malang, 2018.

xii, 476 hlm; 15,5 x 23 cm

ISBN: 978-602-470-054-6

PEMBELAJARAN PROSA
TEORI DAN PENERAPAN DALAM KAJIAN PROSA ARAB
Dr. Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum.

• Hak cipta yang dilindungi:

Undang-undang pada : Pengarang


Hak Penerbitan pada : Universitas Negeri Malang
Dicetak oleh : Universitas Negeri Malang

Dilarang mengutip atau memperbanyak dalam bentuk apapun tanpa izin


tertulis dari Penerbit.

• Universitas Negeri Malang


d/h Penerbit IKIP Malang, Anggota IKAPI No. 059/JTI/89
Jl. Semarang 5 Malang, Kode Pos 65145
Telp. (0341) 562391, 551312 psw. 453

• Cetakan I : 2018

v
vi
Kata Pengantar...

Puji dan syukur marilah senantiasa kita panjatkan ke hadirat


Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat, taufik, inayah,
dan hidayahNya sehingga penyusunan buku yang berjudul
“Pembelajaran Prosa: Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa
Arab” dapat terselesaikan dengan baik.
Buku ini merupakan produk hasil kegiatan Applied
Approach (AA) yang diselenggarakan oleh LP3 Universitas
Negeri Malang. Embrio buku ini sebenarnya telah ada sejak
lama, dan berupa diktat yang dipakai pada perkuliahan Dirasah
Natsriyah. Namun, bentuknya masih sederhana dan belum
lengkap. Baru kali ini berkesempatan untuk menata dan
merevisi hingga akhirnya seperti yang berada di hadapan
pembeca.
Pada perkuliahan Dirasah Natsriyah, mahasiswa belajar
tentang teori sastra dan metode analisis prosa kemudian
menerapkannya dalam kajian prosa Arab. Penulis tidak hanya
menerapkan kritik sastra secara umum, namun dalam
pembelajaran di kelas juga dipelajari kritik sastra dengan pisau
analisis balaghah dengan berbagai klasifikasinya. Hal itu untuk
memperdalam kajian mahasiswa dan memperluas cakrawala
mereka dalam memahami, menikmati, dan memaknai karya
prosa Arab dan Al-Quran.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada kedua
orang tua penulis, abah Drs.H. Nurhadi (alm.) dan ibu hj.
Syamsiyah yang telah mendidik dengan cinta yang tak terbatas
dan menanamkan pentingnya mencintai dan mengutamakan

vii
ilmu. Terimakasih penulis sampaikan kepada suami penulis;
Eko Purnomo, S.Pd. dan kedua anakku; Dzikrika Rahmatu
Hayati dan Muhammad Fikri Nur Rahman yang telah
menemani, mendampingi, dan menjadi penyemangat penulis.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada para dosen
saya S1 Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga dan S2 Ilmu Sastra Fakultas ilmu Budaya UGM yang
telah mencurahkan wawasan ilmu kesastraan sehingga penulis
dapat mengembangkannya menjadi buku ini. Ucapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada para dosen saya di
S3 Pendidikan bahasa Arab yang telah membuka cakrawala
pikir dan keilmuan secara lebih luas.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Universitas Negeri
Malang, utamanya LP3 UM yang telah memotivasi penulisan
buku ini melalui kegiatan Applied Approach (AA). Kegiatan ini
telah menambah cakrawala pengetahuan tentang pembelajaran
dengan berbagai aspek-aspeknya. Semoga ilmu yang kami
peroleh dan buku yang kami hasilkan dapat bermanfaat dan
meningkatkan mutu pembelajaran, utamanya di prodi Pendidikan
Bahasa Arab Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas
Negeri Malang, tempat penulis mengabdi. Terimakasih penulis
sampaikan kepada Fakultas Sastra yang telah membantu
mendanai penerbitan buku ini. Buku sederhana ini tentu saja
masih jauh dari yang diharapkan. Kritik, saran, dan masukan
yang bijak dan membangun dari pembaca sangat kami
harapkan.
Malang, 10 Oktober 2018
Penulis

Dr. Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum.

viii
Kata Pengantar __ iii

BAB 1 SASTRA DAN KARYA SASTRA __ 1


A. Sekilas tentang Sastra __ 2
B. Unsur-unsur Sastra __ 7
C. Jenis-jenis Sastra __ 10
D. Macam-macam Karya Sastra __ 13

BAB 2 SASTRA ARAB DAN PERIODISASINYA __ 24


A. Sekilas tentang Sastra Arab __ 25
B. Periodisasi Sastra Arab __ 28

BAB 3 SASTRA: FUNGSI DAN ALIRAN __ 36


A. Fungsi Sastra __ 37
B. Aliran-aliran dalam Sastra __ 39

BAB 4 SASTRA ANAK __ 50


A. Sastra Anak dan Cirinya __ 51
B. Karakter Anak Berdasarkan Usia __ 53
C. Karakteristik Pebelajar Bahasa (Anak-anak) __ 55
D. Penyeleksian Materi untuk Anak __ 57

BAB 5 UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK __ 64


A. Unsur Intrinsik __ 63
B. Unsur Ekstrinsik __ 72

BAB 6 TEORI DAN METODE ANALISIS STRUKTURAL __ 77


A. Orientasi Sastra Menurut Abrams __ 78
B. Prinsip Strukturalisme __ 79
C. Teori Struktural __ 81
D. Unsur-unsur Struktur Prosa __ 84
E. Contoh Telaah __ 98
F. Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme __116

ix
BAB 7 TEORI DAN METODE ANALISIS SEMIOTIK __ 123
A. Pengertian Semiotik __ 124
B. Tanda-tanda Tekstual __ 126
C. Metode Analisis __ 130
D. Kajian Al-Quran dengan Pisau Semiotika __ 132

BAB 8 STRUKTURALISME SEMIOTIK __ 143


A. Strukturalisme Semiotik __ 144
B. Konsep Semiotik __ 147

BAB 9 ANALISIS STRUKTURAL DINAMIK __ 155


A. Strukturalisme Formalis, Strukturalisme Genetik, dan
Strukturalisme Dinamik __ 156
B. Pendekatan Strukturalisme Dinamik __ 164

BAB 10 TEORI DAN METODE ANALISIS STRUKTURAL


GENETIK __ 175
A. Struktural Genetik __ 176
B. Metode Analisis __ 181
C. Contoh Kajian __ 186

BAB 11 TEORI DAN METODE ANALISIS STILISTIKA __ 191


A. Teori Stilistika __ 192
B. Macam-macam Gaya Bahasa __ 196
C. Metode Analisis Stilistika __ 202
D. Contoh Telaah __ 204

BAB 12 TEORI DAN METODE ANALISIS INTERTEKSTUAL __ 211


A. Teori Intertekstual __ 212
B. Prinsip intertekstualitas __ 215
C. Hubungan Intertekstual __ 218
D. Metode Analisis Interteks __ 220
E. Intertekstualitas dan Sastra Bandingan __ 227
F. Sastra Bandingan, Sastra Nasional, dan Sastra Dunia __ 230
G. Ruang Lingkup Sastra Bandingan __ 233
H. Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan __ 239
I. Metode Sastra Bandingan __ 240
J. Contoh Telaah __ 243

x
BAB 13 TEORI DAN METODE ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA
__ 251
A. Teori Sosiologi Sastra __ 252
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra __ 261
C. Metode Analisis __ 262

BAB 14 TEORI DAN METODE ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA


__ 266
A. Teori Psikologi __ 267
B. Psikologi Sastra __ 268
C. Pendekatan Psikologi Sastra __ 271
D. Psikoanalisis Sigmund Freud __ 273
E. Langkah dan Proses Analisis Psikologis __ 277
F. Contoh Telaah __ 280

BAB 15 TEORI DAN METODE ANALISIS SASTRA FEMINIS


__ 296
A. Teori Sastra Feminis __ 297
B. Kritik Sastra Feminis __ 301
C. Masalah Teori Feminis __ 303
D. Metode Analisis __ 304
E. Perempuan dalam Budaya Mesir __ 311
F. Contoh Analisis __ 315

BAB 16 TEORI DAN METODE ANALISIS RESEPSI __ 334


A. Teori Resepsi Sastra __ 335
B. Horizon Harapan __ 339
C. Macam-macam Pembaca __ 342
D. Teori Penerimaan __ 344
E. Teori Estetika Resepsi __ 347
F. Metode Analisis Resepsi Sastra __ 348

BAB 17 TEORI DAN METODE HERMENEUTIK __ 355


A. Pengertian Hermeneutik __ 356
B. Para Tokoh Hermeneutik __ 362
C. Kajian Hermeneutik Sastra __ 378
D. Ringkasan Buku Hermeneutik __ 380

xi
BAB 18 TEOTI DAN METODE KAJIAN INTERDISIPLINER __
405
A. Pengertian Interdisipliner __ 406
B. Hubungan Sastra dengan Keilmuan Lain __ 408
C. Hubungan Karya Sastra dengan Masyarakat Pembaca __ 414
D. Hubungan Karya Sastra dengan Sistem Sosial Budaya __ 417
E. Era Interdisipliner dan Multidisipliner __ 419

BAB 19 TEORI DAN METODE KAJIAN DEKONSTRUKSI __ 427


A. Pengertian Dekonstruksi __ 428
B. Sejarah dan Tokoh Dekonstruksi __ 430
C. Prinsip-prinsip dan Metode Dekonstruksi __ 432
D. Contoh Pembacaan Dekonstruksi __ 440

BAB 20 TEORI DAN METODE KAJIAN POST STRUKTURAL,


POST KOLONIAL, DAN POST MODERN __ 447
A. Teori dan Metode Kajian Post Struktural __ 448
B. Teori dan Metode Kajian Post Kolonial __ 454
C. Teori dan Metode Kajian Postmodernisme __ 466

xii
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

B A B Sastra dan
____ 1
Karya Sastra

I. Deskripsi
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang sastra, unsur-
unsur sastra, jenis-jenis sastra, dan macam-macam karya sastra.
Penjelasan tersebut dirinci dan diurutkan agar mudah difahami
dengan baik dan mendalam. Di samping itu, terdapat latihan
evaluasi pemahaman dan rangkuman guna membantu belajar
mahasiswa.

II. Relevansi
Penjelasan tersebut merupakan materi dasar kesastraan
untuk menunjang pembelajaran pada bab selanjutnya, yaitu
sastra Arab dan periodesasinya. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan mampu menguasai materi dasar kesastraan agar
mudah memahami materi yang akan disajikan pada bab
berikutnya.

-1-
… Hanik Mahliatussikah …

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa mampu menjelaskan tentang sastra, unsur-unsur
sastra, jenis-jenis sastra, dan macam-macam karya sastra.

A. Sekilas tentang Sastra


Dalam bahasa Arab, sastra disebut adab. Secara etimologis,
kata “sastra” berasal dari bahasa sansekerta, yang mempunyai
makna “teks yang mengandung instruksi atau pedoman”,
berasal dari kata “sas” berarti instruksi atau ajaran , dan “tra”
berarti alat atau sarana. Jadi, sastra berarti alat untuk ari bahasa
Melayu dan Jawa yang berarti naskah atau teks, yaitu hasil
ciptaan yang baik dan indah. Adapun secara terminologis,
tidak ada kesepakatan mengenai pengertian sastramengajar,
sarana pengajaran. Adapun kata “susastra” berasal d. Penger-
tian sastra selalu berubah dan berkembang seiring konsep
estetik yang akan selalu berubah dan berkembang mengikuti
perkembangan zaman.
Menurut Mursal Esten, sastra adalah pengungkapan dari
fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan
manusia dan masyarakat, dengan medium bahasa dan memiliki
efek positif terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan.
Adapun menurut Plato, sastra adalah hasil peniruan atau
gambaran dari kenyataan (mimesis). Sastra menurut KBBI
adalah karya tulis yang bila dibandingkan dengan tulisan lain,
ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan
dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra berarti karangan
yang mengacu pada nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan
bahasa yang indah (www.dosenpendi-dikan.com; www.hasan
sadily.my.id).

-2-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Sastra menurut Sapardi (1979: 1) adalah lembaga sosial


yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri
merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan
sosial. Senada dengan itu, Plato mengemukakan bahwa sastra
adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis).
Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam
semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan.
Sumardjo & Saini (1997: 3-4) menyatakan bahwa sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu
bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona de-
ngan alat bahasa. Sehingga sastra memiliki unsur-unsur berupa
pikiran, pengalaman, ide, perasaan, semangat, kepercayaan
(keyakinan), ekspresi atau ungkapan, bentuk dan bahasa.
Karena sastra sebagai karya seni dan kegiatan seni, maka sastra
itu indah. Yang dimaksud dengan indah, yaitu memenuhi 4
syarat nilai: keutuhan (unity) keselarasan (harmony), keseim-
bangan (balance), dan fokus atau pusat penekanan suatu unsur
(righ emphasis). Karya sastra harus memenuhi 4 estetika seni
tersebut.
Pradopo kemudian menyimpulkan bahwa sastra adalah
karya imajinatif yang unsur estetiknya dominan. Menurut
Horace, sastra berfungsi sebagai dulce et utile, yaitu menyenang-
kan dan berguna. Adapun menurut Aristoteles, sastra berfungsi
sebagai katarsis, yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya
dari tekanan emosi, mendapatkan ketentraman pikiran, pen-
sucian jiwa, dan ketenangan batin (Mahliatussikah, 2015: 4-5).
Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial kemasyara-
katan, sastra memiliki 5 fungsi, yaitu rekreatif, didaktif, estetis,
moralitas, dan religius. Sastra berfungsi rekreatif karena sastra
dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat
maupun pembacanya. Hal itu dikarenakan sastra memiliki

-3-
… Hanik Mahliatussikah …

unsur keindahan. Dikatakan didaktif karena sastra mengan-


dung unsur pengajaran; bersifat mendidik dan mengandung
unsur kebaikan dan kebenaran. Dikatakan berfungsi estetis
karena sastra memiliki unsur dan nilai-nilai keindahan bagi
para pembacanya. Fungsi moralitas sastra mengandung nilai-
nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang
buruk, serta yang benar dan yang salah. Fungsi religius sastra
mampu memberikan pesan-pesan religius untuk para pem-
bacanya (Herawati, 2010; Rachman 2008).
Sastra bukan sekedar artefak (benda mati), tetapi ia meru-
pakan sosok yang hidup; berkembang dengan dinamis menyertai
sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan
kebudayaan. Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju
jalan kebenaran karena sastra yang baik adalah sastra yang
ditulis dengan penuh kejujuran, kesungguhan, kearifan, dan
keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu
mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke
jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha
menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 16-20).
Definisi kesusasteraan di Barat mulai muncul pada abad 19
atau masa romantik. Pada masa ini, kesusasteraan adalah karya
imajinatif dan kreatif. Menulis sesuatu yang tidak wujud
dianggap amat bernilai dibanding dengan yang nyata. sastra
adalah hakekat dan kenyataan yang dihadapi manusia dan
sastra merupakan ungkapan yang indah.
Yang membedakan karya sastra dan karya yang lain
menurut Jakop Sumarjo, di samping penggunaan bahasa yang
khas, sastra juga memiliki sifat khayali dan ada nilai-nilai seni.
Bahasa yang khas sastra meliputi: (1) penuh ambiguitas dan
homonim serta memiliki kategori yang tak beraturan dan tidak
rasional, (2) penuh dengan asosiasi, mengacu kepada ungkapan
atau karya sebelumnya yang telah diciptakan, (3) bersifat
ekspresif dan pragmatik, (4) berusaha untuk mempengaruhi

-4-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dan akhirnya mengubah sikap pembacanya, (5) bahasa sastra


sebagai tanda dan simbul. Adapun bahasa ilmiah hanya
sebagai ciptaan saja. Kuantitas penggunaa unsur estetis,
imajinatif, dan fiktif pada bahasa sastra lebih dominan.
Bahasa merupakan sistem tanda yang tidak hanya berarti,
tetapi juga bermakna bagi pembacanya. Bahasa teks itu
memiliki meaning dan significance. Para formalis memandang
bahwa bahasa sastra itu adalah bahasa yang khas, yang
menyimpang dari bahasa sehari-hari. Penyimpangan itu menurut
Riffaterre disebabkan oleh adanya displacing of meaning (misal-
nya metafora), creating of meaning (enjambement, pola persajakan
tipografi, dan lain-lain) dan distorting of meaning (ambiguitas
dan kontradiksi).
Pengertian sastra berbeda dengan pengertian karya sastra.
Sastra adalah jagat yang diciptakan oleh pengarang. Sastra
adalah refleksi sosial budaya suatu masyarakat. Adapun karya
sastra adalah produk imajinasi yang didasarkan pada konsep
estetik, bermedium bahasa dan terkait dengan realita. Realita
dalam sastra dan dunia nyata tidak harus sama. Fakta dalam
karya sastra adalah mentifact atau fakta mental yang ada dalam
dirinya sendiri dan dunianya sendiri.
Hakekat sastra terkait dengan penggunaan bahasa, terkait
dengan berbagai bidang ilmu, didukung oleh cerita, dan
bersifat imajinatif. Sastra adalah sebuah system yang memiliki
dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia nyata. Hal ini
berarti, antara fakta dalam cerita dan fakta dalam dunia nyata
tidak harus sama.
Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh peng-
arang untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalaman-
nya. Sebagai media, karya sastra berperan untuk menghubung-
kan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada
pembaca. Selain itu, karya sastra juga dapat merefleksikan
pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang

-5-
… Hanik Mahliatussikah …

diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan


melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang
berbagai fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat
dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara
yang berbeda.
Selain itu, karya sastra dapat menghibur, menambah penge-
tahuan dan memperkaya wawasan pembacanya dengan cara
yang unik, yaitu menuliskannya dalam bentuk naratif. Dengan
bentuk naratif itulah pesan disampaikan kepada pembaca
tanpa berkesan mengguruinya (Sugihastuti, 2007: 81-82) .
Kesusastraan adalah segala tulisan atau karangan yang
mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa
yang indah sehingga sastra adalah suatu komunikasi yang
hidup bersama bahasa. Karya sastra merupakan hasil kreativitas
manusia.
Dalam “Theory of Literature” karangan Rene Wellek dan
Austin Warren, dinyatakan bahwa ciri atau sifat-sifat kesusastraan
adalah 1) fiction, 2) imagination, 3) invention. Jadi, menurut
Wellek dan Warren, karangan yang bersifat rekaan biasanya
berdasarkan daya angan (imajinasi) dan mengandung daya
cipta merupakan kesusatraan. Dijelaskan pula bahwa karena
sifat-sifat tersebut, maka kesusastraan selalu berbentuk 1) lirik,
2) epik, dan 3) dramatik. Ada tiga hal yang membedakan karya
sastra dengan karya tulis lainnya, yaitu : (a) sifat khayali, (b)
adanya nilai-nilai seni/estetika, dan (c) penggunaan bahasa
yang khas.
Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988: 5 - 8) menyatakan
bahwa karya adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya.
Sastra adalah komunikasi yang bisa dipahami oleh orang lain.
Sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-
kaidah seni. Ia juga penghiburan bagi pembaca. Sastra adalah
sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi, bentuk,
bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya. Karya yang ber-

-6-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

mutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya dan sebuah


karya yang pekat, artinya padat isi dan bentuk, bahasa, dan
ekspresi. Karya sastra yang bermutu merupakan (hasil)
penafsiran kehidupan dan sebuah pembaharuan.
Sastra menurut Luxemburg (1992: 4-6) merupakan ciptaan
atau kreasi, bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri),
terlepas dari dunia nyata. Sastra mempunyai ciri koherensi atau
keselarasan antara bentuk dan isinya. Karya sastra adalah teks-
teks yang mengandung unsur fiksionalitas. Menurut Sumardjo
(1984: 13) sastra itu memberikan hiburan; menyenangkan untuk
dibaca, karya sastra adalah sesuatu yang indah. Ia menunjuk-
kan kebenaran hidup manusia: betapapun menariknya sebuah
karya kalau ia berisi pengalaman yang menyesatkan hidup
manusia, ia tak pantas disebut karya sastra. Sastra itu juga
melampaui batas bangsa dan zaman.ia selalu memberikan
sesuatu yang baru kepada pembacanya meskipun ia dibaca
dalam lintas zaman.

B. Unsur-Unsur Sastra
Menurut Josef Al-Hasyimi, dkk., unsur-unsur sastra ada 4,
yaitu:
1) Unsur akal pikiran/gagasan (‫)اﻟﻔﻜﺮة‬. Sastra diciptakan dengan
menggunakan pikiran yang mendalam mengenai suatu
fenomena dalam hidup. Pencipta sastra hendaknya memiliki
pikiran yang jernih, mendalam dan cerdas. Gagasan me-
rupakan ide yang harus muncul sebelum seorang pengarang
membuat karya sastra. Gagasan itu tidak akan bermakna jika
ungkapan yang bernilai seni tidak terpenuhi, karena penyam-
paian seni adalah simbol dari kandungan sastra yang dapat
dilihat dan dinikmati oleh pembaca. Pada karya sastra,
unsur akal dapat dikaji melalui ide dan tema yang diusung
oleh pengarang dan kaitan antara tema tersebut dengan

-7-
… Hanik Mahliatussikah …

konteks, baik konteks pada saat lahirnya teks, maupun


konteks pembaca pada saat ini.
2) Unsur emotif (‫)اﻟﻌﺎطﻔﺔ‬, yaitu terkait dengan perasaan. Emosi
adalah suasana batin yang kuat, yang memperlihatkan
kegembiraan, keharuan, kesedihan, dan keberanian. Seorang
sastrawan menulis suatu tema yang membekas dalam hatinya
kemudian ia juga berusaha mempengaruhi pembaca.
Unsur emosi ini dapat tercipta jika karya itu (a) me-
ngandung kekuatan rasa (‫)ﻗﻮة اﻟﻌﺎطﻔﺔ‬. Sumber kekuatan rasa
itu datang dari sastrawan itu sendiri. Seorang sastrawan
harus memiliki rasa yang kuat dan mendalam sehingga
dapat mempengaruhi emosi pembaca. (b) kelanggengan rasa
(‫)ﺛﺒﺎت اﻟﻌﺎطﻔﺔ‬. Seorang pengarang hendaknya memiliki kelang-
gengan rasa selama ia berkarya sehingga rasa tersebut tetap
berpengaruh kuat pada karyanya dan pembaca dapat merasa-
kan kelanggengan rasa tersebut ketika sebuah teks sastra
dibaca, dan (c) kejujuran dan kebenaran rasa (‫)ﺻﺪق اﻟﻌﺎطﻔﺔ‬.
Seorang sastrawan dalam menciptakan karya sastra haruslah
bersandar kepada kebenaran dan kejujuran rasa, tidak
dibuat-buat.
Ragam rasa (‫ )ﺗﻨﻮع اﻟﻌﺎطﻔﺔ‬itu misalnya kagum, sedih,
simpati, bangga, kecewa, cinta, benci dan lain-lain. Ragam
rasa maksudnya kemampuan sastrawan dalam mentrans-
formasikan kesan-kesan rasa yang beranekaragam dalam
jiwa pembaca. Tingkat rasa (‫)ﺳﻤﻮ ّ اﻟﻌﺎطﻔﺔ‬, harus dimiliki oleh
sastrawan. Yang dimaksud dengan tingkat rasa adalah per-
bedaan tinggi rendahnya karya sastra yang dimiliki setiap
sastrawan. Tinggi rendahnya sastra itu dapat diketahui dari
gaya bahasa yang digunakan dan juga unsur pembentuk
sastra yang lain. Unsur emosi ini dapat diciptakan oleh
pengarang dengan pemanfaatan berbagai bunyi dan irama,
diksi, dan gaya bahasa yang bervariasi sehingga menggugah
emosi pembaca.

-8-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

3) Unsur khayal/imajinasi (‫)اﻟﺨﯿﺎل‬. Imanjinasi adalah kemam-


puan menciptakan citra dalam angan-angan/pikiran tentang
sesuatu yang tidak dapat diserap oleh panca indera/yang
belum dialami dalam kenyataan (Panuti Sujiman, 1990:36).
Imajinasi tidak sama dengan realitas yang sesungguhnya
meskipun ia tetap berpijak kepada pengalaman dan kenyata-
an. Oleh karena itu, sastra tidak terikat dengan kenyataan,
kebenaran, dan kedustaan. Sastra memiliki dunianya sendiri
yang berbeda dengan dunia nyata. Sastra adalah tiruan
kenyataan. Adapun kenyataan adalah tiruan ide. Sastra
tidak sekedar meniru begitu saja pada kenyataan tetapi
pengarang mampu menciptakan kenyataan yang baru
berdasarkan kenyataan objektif. Sastra tidak bisa dipisahkan
dari unsur khayal karena sastra adalah ciptaan manusia dan
manusia itu memiliki daya khayal. Ketika menulis karya
sastra, pengarang akan menggunakan kreativitasnya dan
daya khayalnya sehingga lahirlah sebuah karya sastra yang
indah.
Ahmad As-Syayib (dalam Muzakki, 2006: 70-71)
membagi khayal (‫ )اﻟﺨﯿﺎل‬kepada tiga macam:
a. Khayâl Ibtikârî (creative Imagination ‫ )اﻟﺨﯿﺎل اﻹﺑﺘﻜﺎري‬adalah
adanya gambaran baru dalam sebuah karya sastra yang
disusun dari beberapa unsure sebelumnya. Jika beberapa
unsur tersebut disusun secara selektif, maka ia dinama-
kan khayâl Ibtikâri. Tetapi jika disusun dengan sewenang-
wenang, ia dinamakan wahm ‫ اﻟﻮھﻢ‬/vancy (angan-angan).
b. Khayâl Ta’lîfî: (Associative Imagination ‫)اﻟﺨﯿﺎل اﻟﺘﺄﻟﯿﻔﻲ‬. Khayal
ini merupakan perpaduan antara pikiran dan gambaran
yang serasi dengan bermuara pada satu perasaan yang
benar. Kalau gambaran ini tidak dipahami dengan benar,
ia menjadi tamtsil sebagaimana tasybih dalam istilah ‘ilmu
Al-Bayan.

-9-
… Hanik Mahliatussikah …

c. Khayâl bayânî (Interpretative Imagination ‫اﻟﺘﻔﺴﯿﺮي‬/‫)اﻟﺨﯿﺎل اﻟﺒﯿﺎﻧﻲ‬.


Khayal ini disebut juga dengan khayal tafsîrî. Khayal ini
merupakan sarana yang baik untuk mengekspresikan
nuansa alam dengan gaya sastra yang indah. Karena
bentuk khayal seperti ini berada pada sentuhan keindah-
an alam dan rahasia yang terpendam di dalamnya, juga
menggandung keindahan dengan jelas.
4) Unsur seni ( ّ ‫)اﻟﻔﻦ‬. Biasanya ditandai oleh bagusnya karangan,
indahnya gaya dan bentuk. Unsur seni ini bisa diekplorasi
dari kajian stilistika bahasa Arab yang terdapat dalam ilmu
balaghah.
Mutu karya sastra dapat dilihat dari bentuk, isi, ekspresi
dan bahasanya. Karya sastra dikatakan bermutu jika (1) mere-
kam isi jiwa sastrawannya, (2) dapat dikomunikasikan dengan
orang lain, (3) bentuknya teratur, memenuhi bentuk seni, yaitu
memiliki pola sendiri dalam dirinya, (4) ada integrasi antar
unsur (isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pengarang), (5) mengan-
dung unsur penemuan dan pembaruan (ada unsur baru yang
tidak dimiliki oleh sastra sebelumnya), (6) ekspresi yang jujur
dan tidak dibuat-buat, (7) padat isi, bentu, dan ekspresi. Sastra
yang bermutu merupakan hasil kepekatan, kepadatan (intens)
sastrawan dalam menghayati kehidupannya, dan (8) merupa-
kan penafsiran kehidupan.

C. Jenis-jenis Sastra
Ditinjau dari sisi tema, terdapat dua jenis sastra (adab),
yaitu Adab washfi dan Adab insya`i. Adab washfi berupa
sejarah, kritik dan teori sastra. Adapun Adab insya’i adalah
karya sastra itu sendiri yang telah diciptakan pengarang ( ‫اﻹﻧﺘﺎج‬
‫ اﻟﻌﻤﻞ اﻷدﺑﻲ‬/‫ )اﻷدﺑﻲ‬yang meliputi puisi, prosa, dan drama.
Adapun dalam sastra non Arab, adab washfi dikenal dengan
ilmu sastra. Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks
sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam

- 10 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

masyarakat. Teori sastra merumuskan kaidah-kaidah dan


konvensi-konvensi kesusastraan umum (Luxemburg, dkk.1989)
Menurut pakar strukturalisme Rene Wellek terdapat tiga
ilmu sastra, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
1. Teori sastra (‫ )ﻧﻈﺮﯾﺔ اﻷدب‬adalah studi prinsip-prinsip, kategori
dan kriteria sastra. Teori sastra mempelajari tentang struktur
karya sastra, genre (jenis sastra) yang terdiri dari puisi dan
prosa serta ragamnya. Ragam puisi terdiri dari pantun,
syair, sajak liris dan ragam prosa terdiri dari cerpen, novel,
roman dan drama. Prosa memiliki struktur yang menurut
Robert Stanton dibagi ke dalam tema, fakta cerita dan sarana
cerita. Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya
menyelidiki tentang pengertian sastra, hakekat sastra, dasar-
dasar sastra, genre dan teori tentang penilaian dalam karya
sastra. Jadi hal-hal yang terkait dengan teori masuk dalam
wilayah kajian teori sastra.
Secara garis besar, teori sastra bergerak pada empat
paradigma yaitu: (1) karya sastra (‫)اﻟﻌﻤﻞ اﻷدﺑﻲ‬, (2) pengarang
(‫)اﻟﻜﺎﺗﺐ‬, (3) pembaca (‫)اﻟﻘﺎرئ‬, (4) kenyataan (‫)اﻟﻮاﻗﻊ‬. Menurut
Abrams (1979:6), telaah karya sastra bisa dilihat dengan
berdasar pada empat elemen tersebut di atas. Yang pertama
telaah dari sudut pandang karya itu sendiri yang disebut
pendekatan objektif (‫) اﻟﻤﺪﺧﻞ اﻟﻤﻮﺿﻮﻋﻲ‬, kedua telaah dari sudut
pengarang yang disebut pendekatan ekspresif ( ‫)اﻟﻤﺪﺧﻞ اﻟﺘﻌﺒﯿﺮي‬,
ketiga telaah dari sudut pandang pembaca /pragmatik ( ‫اﻟﻤﺪﺧﻞ‬
‫)اﻟﺒﺮﺟﻤﺎﺗﻲ‬. Yang keempat, telaah dari sudut pandang dunia
nyata atau disebut pendekatan mimetic (‫ اﻟﺘﻨﻜ ّﺮ‬/‫)اﻟﻤﺪﺧﻞ اﻟﺘﻘﻠﯿﺪي‬.
2. Kritik sastra (‫ )ﻧﻘﺪ اﻷدب‬adalah kegiatan penghakiman,
penyelidikan, penilaian dan analisis terhadap karya sastra
untuk mengetahui bermutu tidaknya sebuah karya sastra
dan tepat tidaknya interpretasi kehidupan yang diuraikan
dalam bentuk karya sastra (Pradopo, 2003: 9-10). Dengan
demikian, kritik sastra mempelajari karya-karya kongkrit,

- 11 -
… Hanik Mahliatussikah …

artinya menyelediki karya sastra secara langsung, meng-


analisis, memberikan pertimbangan baik buruknya karya
sastra, bernilai seni atau tidaknya.
3. Sejarah sastra (‫ )ﺗﺎرﯾﺦ اﻷدب‬adalah studi sastra yang bertugas
menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya
sampai perkembangannya yang terakhir (Pradopo, 2003: 9,
Wellek & Warren, 1968: 38). Misalnya sejarah timbulnya
suatu kesusasteraan, sejarah perkembangan genre, timbul
dan hilangnya, sejarah perkembangan gaya-gaya sastra,
perkembangan bentuk-bentuk sastra, sejarah perkembangan
pikiran manusia dalam karya sastra dan seterusnya. Rene
Wellek menjelaskan bahwa sejarah sastra mengkaji secara
langsung terhadap karya sastra untuk mengetahui perkem-
bangan sastra dari waktu- ke waktu.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa ketiga bagian


ilmu sastra itu saling mendukung dan saling membutuhkan.
Kritik sastra membutuhkan teori sastra. misalnya, untuk mem-
beri penilaian karya sastra, bermutu tidaknya suatu karya
sastra diperlukan teori sastra tentang penilaian yang baik.
Kritik sastra yang baik adalah menganalisis karya sastra ber-
dasarkan teori sastra dan hakekat sastra, penilaiannya obyektif,
tidak memihak dan menyeluruh sebagai satu kesatuan yang
utuh (Pradopo, 2003: 29). Demikian juga teori sastra dalam
menyusun sebuah teori harus berdasarkan pada hasil kajian
yang dilakukan oleh kritik sastra. Atau dengan kata lain, hasil-
hasil kritik sastra dapat dijadikan sebagai acuan penyusunan
teori sastra.
Demikian pula dengan kritik sastra, memerlukan sejarah
sastra untuk mengetahui ciptaan asli atau bukan, gaya klise
atau bukan. Sebaliknya sejarah sastra memerlukan kritik sastra
untuk mengetahui bernilai tidaknya sebuah karya sastra. Jika
karya sastra itu bernilai maka dapat dimasukkan dalam

- 12 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

rangkaian sejarah sastra. Bagi sejarah sastra kritik sastra dapat


menyumbangkan hasilnya melalui penggolongan sastrawan ke
dalam angkatan-atau periode-periode berdasarkan mutu karya
sastra atau jenis sastranya.
Demikian pula dengan penyusunan sejarah sastra, memer-
lukan teori sastra, misalnya teori tentang angkatan, menyusun
periode dan sebagainya. Sebaliknya, teori sastra memerlukan
sejarah sastra, misalnya dalam menyusun teori tentang angkatan
perlulah seorang teoritikus sastra melihat perkembangan kesu-
sasteraan secara keseluruhan yang dibicarakan dalam sejarash
sastra.
Dari uraian di atas kemudian dapat disimpulkan bahwa
ketiga cabang ilmu sastra itu saling membutuhkan dan saling
berdialektika. Tak mungkin menyusun sejarah sastra tanpa
kritik sastra dan teori sastra dan juga sebaliknya (Wellek dan
Warren: 1993:39).

D. Macam-macam Karya Sastra


Karya sastra berdasarkan genre atau jenis atau kelompoknya
dibagi menjadi 3, yaitu prosa (‫)ﻧﺜﺮ‬, puisi (‫)ﺷﻌﺮ‬, dan drama
(‫)ﻣﺴﺮﺣﯿﺔ‬. Prosa adalah:

- 13 -
… Hanik Mahliatussikah …

‫ﻧﻔﺲ‬ ‫ أو ﻞ ﻣﺎ ﻳﺪور‬، ‫ﻌﺒ ﻋﻦ اﳌﺸﺎﻋﺮ و ﻣﺎ ﻳﺪور اﻟﺬ ﻦ دون ﻗﻴﻮد ﻓﻨﻴﺔ‬


‫ﺴﺎن ﻣﻦ أﻓ ﺎر وﺧﻮاﻃﺮ وﻣﺸﺎﻋﺮ واﻧﻔﻌﺎﻻت وﻻ ﻳﺘﻘﻴﺪ ﺑﻮزن أو ﻗﺎﻓﻴﺔ‬ ‫وﻗﻠﺐ‬
(http://mawdoo3.com) ‫ﻋﻨﮫ‬ ‫ و ﺪﺧﻞ ﻓﻴﮫ ا ﻴﺎل ﻟﻠﺘﻌﺒ‬،
Prosa dalam sastra Arab adalah segala yang ada di hati
manusia, baik berupa pikiran, perasaan, dan emosi yang tidak
terikat oleh wazan dan qafiyah dan memanfaatkan daya imajinasi
untuk mengekspresikannya. Prosa adalah karya sastra yang
berbentuk cerita yang bebas, tidak terikat oleh rima, irama, dan
kemerduan bunyi seperti puisi. Bahasa prosa seperti bahasa
sehari-hari.
Berdasarkan isinya, prosa dibagi menjadi dua, yaitu: (1)
prosa fiksi dan (2) prosa non fiksi. Prosa fiksi ialah prosa yang
berupa cerita rekaan atau khayalan pengarangnya. Isi cerita
tidak sepenuhnya berdasarkan pada fakta. Prosa fiksi disebut
juga karangan narasi sugestif atau imajinatif. Prosa non fiksi
ialah karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khayalan
pengarang tetapi berisi hal-hal yang berupa informasi faktual
(kenyataan) atau berdasarkan pengamatan pengarang. Prosa
non fiksi disebut juga karangan semi ilmiah. Prosa fiksi meliputi
novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel
“pendek”). Prosa non fiksi seperti: artikel, opini, biografi, tips,
reportase, iklan, dan pidato.
Dunia kesastraan juga mengenal karya sastra yang ber-
dasarkan cerita atau realita. Karya yang demikian menurut
Abrams (Nurgiyantoro, 2009: 4) disebut sebagai fiksi historis
(historcal fiction) jika penulisannya berdasarkan fakta sejarah,
fiksi biografis (biografical fiction) jika berdasarkan fakta biografis,
dan fiksi sains (science fiction) jika penulisannya berdasarkan
pada ilmu pengetahuan. Ketiga jenis ini disebut fiksi nonfiksi
(nonfiction fiction).

- 14 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary (Tarigan, 1991:


120), kata fiksi dalam bahasa Inggris disebut fiction yang
diturunkan dari bahasa latin fictio, fictum yang berarti mem-
bentuk, membuat, mengadakan, dan menciptakan. Dikatakan
oleh Tarigan (1991: 122) bahwa fiksi juga bersifat realitas,
sedangkan nonfiksi bersifat aktualitas. Penulis fiksi harus dapat
menghidupkan tokoh, peristiwa dan cerita agar pembaca me-
naruh perhatian serta yakin akan hak yang terjadi itu.
Pembagian fiksi dapat didasarkan pada bentuk dan isi.
Berdasarkan bentuknya, karya fiksi dibedakan menjadi roman/
novel, novelette dan cerpen. Perbedaan tersebut terletak pada
kadar panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita,
serta jumlah pelaku yang mendukung cerita. Unsur-unsur yang
terkandung dalam karya fiksi dan cara pengarang memaparkan
isi cerita memiliki kesamaan meski dalam unsur-unsur tertentu
mengandung perbedaan. (Aminuddin, 2002: 66-67).
Roman merupakan cerita prosa yang melukiskan penga-
laman lahir dari beberapa orang yang berhubungan satu sama
lain dalam suatu keadaan. Novel adalah sebuah eksplorasi atau
satu kronik penghidupan, merenungkan dan melukiskan dalam
bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, kehancuran atas tercapainya
gerak-gerik dan hasrat-hasrat (Virginia Wolf dalam Tarigan,
1984: 30). Menurut Frye dalam Nurgiyantoro (2009: 15), roman
lebih tua daripada novel. Roman tidak berusaha menggambar-
kan tokoh secara nyata (realistis). Roman lebih merupakan
gambaran angan, dengan tokoh yang bersifat introvert dan
subjektif.
Novel lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata, tokoh
yang berangkat dari realitas sosial. Meskipun novel, cerita
pendek dan roman sering dibedakan. Namun, pada perkem-
bangan selanjutnya antara novel dan roman sudah tidak dibe-
dakan lagi. Sedangkan antara novel dan cerita pendek masih
dibedakan. Pembedaan tersebut tidak hanya terletak pada

- 15 -
… Hanik Mahliatussikah …

panjang pendeknya cerita, melainkan meliputi aspek-aspek


pembentuk lainnya karena pada dasarnya novel merupakan
bentuk pencitraan yang bebas, lebih rinci, dan lebih banyak
melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks
(Nurgiyantoro, 2009: 8-12).
Novel merupakan suatu karangan prosa yang bersifat
cerita yang menceritakan suatu kejadian luar biasa dari kehidupan
orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini
terlahir suatu konflik yang mengalihkan jurusan nasib mereka
(Suroto, 1989: 19). Dari segi jumlah kata, biasanya suatu novel
berkisar antara 35.000 hingga tak terbatas jumlahnya (Tarigan,
1991: 164-165). Dalam The American College Dictionary, novel
diartikan sebagai suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang
tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan
kehidupan nyata yang representatif.
Goldmann membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu (1)
novel idealisme abstrak yang menampilkan tokoh yang masih
ingin bersatu dengan dunia, (2) novel romantisme keputus-
asaan yang menampilkan kesadaran hero yang terlampau luas,
sehingga berdiri sendiri dan terlepas dari dunia, dan (3) novel
pendidikan, yaitu di mana sang hero mempunyai interioritas
dan juga ingin bersatu dengan dunia (Faruk, 1994: 31). Seorang
novelis adalah seorang yang humanis karena berfungsi
memperkenalkan pembaca pada pengetahuan tentang tabiat
manusia yang serba kompleks dalam bahasa yang terpilih
(Tarigan (1991: 171-172).
Berdasarkan isinya, fiksi dapat diklasifikasikan atas romantik,
realisme, sosialis realisme, naturalisme, ekspresionisme dan
simbolisme. Romantik ialah cara mengarang yang mengideali-
sasikan penghidupan dan pengalaman manusia yang menekan-
kan pada hal yang lebih baik. Realisme secara umum menulis
apa yang dilihat dalam kehidupan dalam segi jasmani, sehingga
mengesampingkan aspek rohani.

- 16 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Sosialis-realis dimaksudkan untuk menuliskan penghidupan


yang materialisme dan dangkal berdasarkan dogma Marxisme
tentang sejarah dan masyarakat. Realisme sebenarnya adalah
penulisan yang berusaha menggambarkan kehidupan yang
mencakup segala segi kehidupan baik dalam manifestasi jasmani,
intelek, maupun rohaninya secara utuh.
Naturalisme merupakan penulisan yang memusastkan
pada kehidupan manusia dengan hasrat dan kekurangan-
kekurangan kemanusiaannya. Ekspresionisme adalah penulisan
yang menonjolkan luapan-luapan dari jiwa si pengarang sendiri.
Jenis terakhir adalah simbolisme yang diartikan bahwa penulisan
sastra banyak menggunakan simbol-simbol untuk menggambar-
kan suatu kehidupan atau perasaan manusia (Lubis, dalam
Tarigan, 1991: 157-162).
Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama berdasarkan
bentuknya meliputi drama prosa dan drama puisi. Drama
berdasarkan isinya ada beberapa macam: drama komedi, tragedi,
tragedi-komedi, opera yang diiringi musik dan nyanyian,
sendratari, pantomime/tablau, passie (agama, religious), dan
drama wayang. Drama biasanya mengandung plot cerita
berupa pengenalan, konflik, klimaks, penguraian masalah, dan
penutup.
Adapun puisi menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman,
1984), merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh
irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Watt-
Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah
ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran
manusia dalam bahasa emosional dan berirama. Carlyle
mengemukakan bahwa puisi adalah pemikiran yang bersifat
musikal, kata-katanya disusun sedemikian rupa, sehingga
menonjolkan rangkaian bunyi yang merdu seperti musik.

- 17 -
… Hanik Mahliatussikah …

Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah


kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Ralph Waldo
Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajar-
kan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
Putu Arya Tirtawirya (1980: 9) mengatakan bahwa puisi merupa-
kan ungkapan secara implisit dan samar, dengan makna yang
tersirat, di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
Herman J. Waluyo mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk
karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasi-
kan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur
fisik dan struktur batinnya.
Ada juga yang mengatakan bahwa puisi adalah bentuk
karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran
dan perasaan penyairnya, digubah dalam wujud dan bahasa
yang paling berkesan. Puisi merupakan sebuah imajinasi kata
yang didapat dari sebuah kesadaran manusia, baik berupa
pengalaman ataupun gagasan dan disusun menggunakan pilihan
kata atau bahasa yang berirama dengan mengutamakan kualitas
estetik.
Adapun menurut Slamet Mulyana (1956:112), yang mem-
bedakan puisi dari prosa adalah sebagai berikut. Pertama,
kesatuan prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis, sedang-
kan kesatuan puisi adalah kesatuan akustis (bunyi bahasa yg
berkaitan dng tinggi nada, keras suara, dan panjang bunyi).
Kedua, puisi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang disebut baris
sajak, sedangkan dalam prosa kesatuannya disebut paragraf.
Ketiga, di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai
akhir.
Perbedaan prosa dan puisi bukan pada bahannya,
melainkan pada perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi merupa-
kan hasil aktivitas pemadatan, yaitu proses penciptaan dengan
cara menangkap kesan-kesan lalu memadatkannya (kondensasi).

- 18 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Prosa merupakan aktivitas konstruktif, yaitu proses penciptaan


dengan cara menyebarkan kesan-kesan dari ingatan (Pradopo,
1993). Ditinjau dari aspek sifat, puisi merupakan aktivitas yang
bersifat pencurahan jiwa yang padat, bersifat sugestif dan
asosiatif. Sedangkan prosa merupakan aktivitas yang bersifat
naratif, menguraikan, dan informatif (Pradopo, 1993). Puisi
menyatakan sesuatu secara tidak langsung, sedangkan prosa
menyatakan sesuatu secara langsung.

IV. Rangkuman
1. Sastra adalah karya imajinatif yang unsur estetiknya
dominan. Sastra berfungsi sebagai dulce et utile, yaitu
menyenangkan dan berguna. Sastra berfungsi sebagai katarsis,
yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan
emosi, mendapatkan ketentraman pikiran, pensucian jiwa, dan
ketenangan batin. Sastra memiliki 5 fungsi dalam kehidupan,
yaitu rekreatif, didaktif, estetis, moralitas, dan religius.
2. Kesusastraan adalah segala tulisan atau karangan yang
mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan
bahasa yang indah sehingga sastra adalah suatu komunikasi
yang hidup bersama bahasa. Karya sastra merupakan hasil
kreativitas manusia.
3. Menurut Josef Al-Hasyimi, dkk., unsur-unsur sastra ada 4,
yaitu: (1) unsur akal pikiran/gagasan (‫( ;)اﻟﻔﻜﺮة‬2) unsur emotif
(‫( ;)اﻟﻌﺎطﻔﺔ‬3) unsur khayal/imajinasi (‫( ;)اﻟﺨﯿﺎل‬4) unsur seni ( ّ ‫)اﻟﻔﻦ‬.
4. Mutu karya sastra dapat dilihat dari bentuk, isi, ekspresi dan
bahasanya. Karya sastra dikatakan bermutu jika (1) merekam
isi jiwa sastrawannya, (2) dapat dikomunikasikan dengan
orang lain, (3) bentuknya teratur, memenuhi bentuk seni,
yaitu memiliki pola sendiri dalam dirinya, (4) ada integrasi
antar unsur (isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pengarang), (5)
mengandung unsur penemuan dan pembaruan (ada unsur
baru yang tidak dimiliki oleh sastra sebelumnya), (6) ekspresi

- 19 -
… Hanik Mahliatussikah …

yang jujur dan tidak dibuat-buat, (7) padat isi, bentu, dan
ekspresi. Sastra yang bermutu merupakan hasil kepekatan,
kepadatan (intens) sastrawan dalam menghayati kehidupan-
nya, dan (8) merupakan penafsiran kehidupan.
5. Ditinjau dari sisi tema, terdapat dua jenis sastra (adab), yaitu
Adab washfi dan Adab insya`i. Menurut pakar strukturalis-
me Rene Wellek terdapat tiga ilmu sastra, yaitu teori sastra,
kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga bagian ilmu sastra
tersebut saling mendukung dan saling membutuhkan.
6. Karya sastra berdasarkan genre atau jenis atau kelompoknya
dibagi menjadi 3, yaitu prosa (‫ )ﻧﺜﺮ‬, puisi (‫)ﺷﻌﺮ‬, dan drama
(‫)ﻣﺴﺮﺣﯿﺔ‬. Berdasarkan isinya, prosa dibagi menjadi 2, yaitu:
(1) prosa fiksi dan (2) prosa non fiksi. Berdasarkan bentuknya,
karya fiksi dibedakan menjadi roman/novel, novelette dan
cerpen. Berdasarkan isinya, fiksi dapat diklasifikasikan atas
romantik, realisme, sosialis realisme, naturalisme, ekspresio-
nisme dan simbolisme.
7. Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama berdasarkan
bentuknya meliputi drama prosa dan drama puisi. Drama
berdasarkan isinya ada beberapa macam: drama komedi,
tragedi, tragedi-komedi, opera yang diiringi musik dan
nyanyian, sendratari, pantomime/tablau, passie (agama,
religious), dan drama wayang.
8. Puisi menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984),
merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama,
matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Perbedaan
prosa dan puisi bukan pada bahannya, melainkan pada
perbedaan aktivitas kejiwaan.

- 20 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory
and the Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press.
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cet. IV.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Herawati, Yudianti.2010. Pemanfaatan Sastra Lokal Dalam
Pengajaran Sastra. Dalam jurnal Lingua Didaktika Volume 3
No 2, Juli 2010. Hal. 197-208.
http://www.dosenpendidikan.com
http://www.hasan sadily.my.id
http://www. mawdoo3.com
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra.
Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mahliatussikah, Hanik. 2015. Telaah Prosa. Diktat. Malang: UM
Muzakki, Akhmad. 2006. Kesusastraan Arab, Pengantar teori dan
Terapan. Jogjakarta: Ar Ruz
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik dan penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rachman, Arief. 2008. ”Pendidikan Bahasa dan Sastra dalam Me-
wujudkan Lulusan Generasi Muda yang Beretika dan Ber-
estetika”. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas.

- 21 -
… Hanik Mahliatussikah …

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta:


Elmatera Publishing
Situmorang, B.P. 1983. Puisi: Teori Apresiasi Bentuk dan Struktur.
Flores: Nusa Indah.
Slametmuljana. 1956. Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra.
Bandung-Jakarta: N.V. Ganaco.
Sugihastuti. 2007. Teori Apresiasi sastra. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Sujiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sumarjo, Jakop dan Saini, K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henry Guntur. 1991. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.
Tirtawirya, putu Arya. 1983. Apresiasi puisi dan Prosa. Flores:
Nusa Indah
Waluyo, Herman. 2001. Drama teori dan pengajaranya. Yogyakarta:
PT Hanindita Graha Widya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature.
Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Edisi
Ketiga.

- 22 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Sebutkan pengertian sastra!
2. Sebutkan ciri-ciri bahasa khas sastra!
3. Jelaskan 4 unsur sastra!
4. Sebutkan 3 bagian dari ilmu sastra!
5. Jelaskan macam-macam karya sastra!
6. Jelaskan perbedaan antara prosa dan puisi!
7. Buatlah kelompok dengan anggota maksimal tiga orang dan
carilah satu contoh prosa dan puisi dan diskusikan isinya!
8. Identifikasi perbedaan antara prosa dan puisi !
9. Presentasikan hasil temuan diskusi bersama kelompok di
depan kelas!
10. Buatlah masing-masing kelompok satu puisi tentang kehidup-
an, dan bacakan di depan kelompok kalian!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 23 -
… Hanik Mahliatussikah …

Sastra Arab dan


Periodisasinya

I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan sekilas tentang sastra Arab,
dan periodisasi sastra Arab dengan runtut dan rinci agar
mudah dipahami. Di samping itu, terdapat evaluasi dan
rangkuman yang dapat membantu mahasiswa belajar.

II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang sastra
Arab dan periodisasinya, akan dijelaskan pada bab selanjutnya
tentang sastra, baik fungsi maupun aliran-alirannya. Oleh
karena itu, diharapkan mahasiswa dapat memahami materi
pada bab ini dengan sebaik-baiknya.

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa mampu menjelaskan tentang sastra Arab, dan
periodisasinya dengan runtut dan rinci.

- 24 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

A. Sekilas tentang Sastra Arab


Pada masa Jahiliyah (periode pra Islam, sekitar abad ke 6,
sejak sekitar 150 tahun sebelum Nabi Muhammad lahir/571M),
kata adab di samping berarti akhlak baik, juga berarti ‚ajakan
makan‛ atau ‚hidangan makan‛. Mengajak makan merupakan
representasi dari akhlak baik. Dalam sebuah qashîdah disebutkan:
ْ ْ ْ ُْْ ُ ْ
َ‫ات ن ْد ُعى الجفلى ال تزيَ لْادبَ ِف ْينا ًنت َِق ُز‬
ِ ‫نَحن ِفي املشت‬
Kami mengudang siapa saja untuk makan di musim paceklik.
Tidak terlihat dari kami orang yang menyiapkan hidangan
makan mengundang orang secara khusus

Adapun prosa pada masa Jahiliyah yang terkait dengan


kata adab yang bermakna ‚hidangan makan‛ tampak pada
ucapan Utbah bin Rabi’ah kepada anaknya Hindun tentang
ucapan Abu sofyan yang meminang anaknya.
ّ
‫ًؤدب أهله وال ًؤدبىنه‬
“Abu Sofyan itu mengundang makan keluarga Utbah, namun
keluarga Utbah belum mengundang makan keluarga Abu Sofyan”.

Kemudian Hindun binti Utbah menjawab:


ّ
َ ‫إني آلخذه بأدب البعل‬
“Saya akan mengajak Abu Sufyan untuk menggundang makan
sebagai calon suami”

Dari kedua ungkapan tersebut tampak bahwa pengertian


adab pada masa jahiliyyah adalah ‚mengajak makan ‫الدعوة إلى‬
‫‛الطعام‬. Dalam kamus Al-Muhîth disebutkan bahwa kata ‫األُ ْدبَة‬
dan ‫ ال َمأ ُدوْ بَة‬berarti makanan yang dibuat untuk undangan/
selamatan.
Dalam kitab Al-Mufîd fil-Adab Al-Arabî karya Josef Al-
Hasyimî, dkk., dijelaskan pengertian sastra (adab) dari waktu ke

- 25 -
… Hanik Mahliatussikah …

waktu. Pada awalnya (kira-kira abad 6H), sastra (Adab) ber-


makna ‘akhlak atau budi pekerti’. Hal itu dikaitkan dengan
perkataan yang dinisbatkan kepada nabi:
ْ
َ ‫أ َّدب ِني رِّبي فأ ْحسن تأ ِد ًْ ِب َْي‬
Allah mengajariku budi pekerti maka menjadi baiklah budi
pekertiku.

Pada periode nabi dan khulafaur rasyidin (610-661 M),


adab berarti pendidikan bahasa dan akhlak. Pada masa Bani
Umayyah (661-750), kata Adab berarti pengajaran puisi, orasi,
dan sejarah Arab. Adab juga berarti at-tats-qîf wa at-tah-dzîb
(mendidik, membuat berbudaya). Al-mutsaqqaf berarti al-muhadz-
dzab (terdidik, berbudaya). Pada masa ini, orang-orang yang
beradab berasal dari kalangan atas; anak para pemimpin peme-
rintahan, anak para khalifah dan masyarakat yang terhormat.
Merekalah yang mendapat kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang berupa akhlak yang baik dan tingkah laku
yang benar. Dengan pendidikan itu, mereka menjadi dihormati
masyarakat.
Pada masa Bani Abbasiyah (750-945 M), pengertian Adab
menjadi meluas. Pada masa ini, selain arti pengajaran puisi,
orasi, dan sejarah Arab, kata adab juga berarti pengajaran bicara
dan nasehat.
Selanjutnya, pada abad ke-3 hijriyah (sekitar abat 10
atau 11 M), kata adab memiliki arti bahasa yang memiliki
estetika bentuk dan isi, baik lisan maupun tulisan. Adapun
pada masa modern, kata adab di samping bermakna sopan
santun juga berarti ilmu humaniora sebagai makna umum dan
juga sastra dalam makna khusus (Kamil, 2009: 5; Nasution,
1994: 56-57).
Adapun jenis-jenis sastra Arab dibagi dalam dua
kategori sebagaimana bagan berikut ini.

- 26 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Adab (sastra)

Sastra deskriptif/non fiktif Sastra kreatif


(‫)األدب الوصفي‬ )‫(األدب اإلنشائي‬

 (1) Sejarah sastra (‫)تاريخ األدب‬  (1)Sajak/puisi (‫)قصيدة‬


 (2) Kritik Sastra (‫)نقد األدب‬  (2)Prosa ( ‫ قصة‬،‫ رواية‬:‫نثر‬
‫ اقصوصة‬،‫)قصيرة‬
 (3) Teori sastra (‫)نظرية األدب‬  (3)Drama (‫)مسرحية‬

Pada masa ini pula, pengertian Adab kemudian berkem-


bang lagi menjadi pendidikan yang membuat orang menjadi
berbudaya dan menjadi tauladan umat. Hal ini menunjukkan
bahwa Adab berarti ‘pengetahuan dasar’ sehingga muncullah
Adab berbicara (pengetahuan dasar mengenai berbicara), Adab
pergaulan, Adab bepergian, Adab berkunjung, dan Adab makan
dan minum.
Dengan demikian, makna Adab adalah pengetahuan me-
ngenai segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dalam
kehidupan bermasyarakat atau dalam memperbaiki hubungan
sosial, khususnya bahasa, puisi, dan yang terkait dengannya
serta berita-berita masa jahiliyah. Pada abad ke-3M, disebutkan
bahwa Adab juga meliputi musik, pengetahuan kedokteran, dan
kimia. Selanjutnya, Ibnu Khuldun menyatakan bahwa Adab
adalah ilmu yang tidak memiliki tema tertentu. Apapun
ilmunya dapat dikatakan sebagai Adab.
Pada masa kini, tidak ada batasan yang pasti mengenai
pengertian Adab. Hal itu karena evolusi selera yang terus
berkembang seiring perkembangan zaman. Pengertian sastra
menjadi pada saat ini menyempit, yaitu puisi dan prosa. Sastra
pada masa sekarang dimaknai sebagai bentuk seni tentang
pengalaman manusia, ungkapan tentang kehidupan dengan

- 27 -
… Hanik Mahliatussikah …

media bahasa, dan buah pikiran manusia yang diungkapkan


dengan bentuk seni yang indah.
Ada yang mengatakan bahwa sastra adalah karya imajinatif.
Tapi hal itu tidak dapat mencukupi karena banyak karya sastra
yang tidak sepenuhnya imajinatif, misalnya karya-karya sastra
Inggris (khutbah John Donne, autobiografi Bunyan dan tidak
hanya karya Shakespeare) dan Prancis (falsafah Descartes dan
Pascal) abad ke-17 M.
Dengan demikian, tidaklah penting perbedaan antara fakta
ataukan rekaan yang disebut karya sastra itu, karena dalam
cerita itu ada pula fakta-fakta yang diungkap penulis melalui
pengalamannya. Banyak orang yang pada masa dahulu
menulis suatu cerita nyata, tetapi oleh orang masa sekarang
dianggap sebagai karya kesusastraan. Misalnya, kitab Tajus
Salatin dan hikayat Iskandar Zulkarnain.

B. Periodisasi Sastra Arab


Terdapat beberapa pendapat dari para pakar tentang
periodisasi sastra Arab. Ada yang membaginya dalam 5 periode
dan ada pula yang membaginya dalam 6 periode, yaitu:

1) Zaman Jahiliyah )‫)العصر الجاهلي‬


a. Zaman Jahiliyah Awal, berlangsung sejak Nabi Adam
sampai Nabi Nuh.
b. Zaman Jahiliyah kedua, zaman ini mulai dari 2 abad
sebelum Islam sampai munculnya Islam. Fase kedua
berlangsung sejak Nabi Isa sampai kedatangan Nabi
Muhammad. Masa jahiliyah kedua itu adalah masa di
mana kita mengenal syair jahili yang itu berlangsung
lebih dari dua abad. Adapun sebelum itu adalah masa
jahiliyah pertama (Zaidan, 2012: 24)
Karya sastra yang terkenal pada zaman ini adalah puisi.
Penyair yang terkenal mada masa jahiliyah adalah Umruul

- 28 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Qois, Nabighah Adz Dzibyani dan Zuhair bin Abi Sulma. Pada
masa Jahiliyah terdapat pasar sastra yang bernama Ukaz (‫)عُكاَظ‬.
Di pasar inilah tiap-tiap kabilah menampilkan kemampuan
bersastra mereka baik berupa puisi maupun pidato. Karya
pemenang dari perlombaan itu kemudian ditulis dengan tinta
emas dan digantungkan pada dinding ka’bah, sehingga
tergolong sebagai jenis mua’llaqât.

2) Zaman Permulaan Islam )‫)عصر صدر اإلسالم‬


Zaman ini dimulai dari datangnya Islam dan berakhirnya
kekuasaan Ummawiyah, yaitu 41 H. Kedatangan Islam banyak
berpengaruh terhadap bahasa, sastra pada masa ini. Sastra
pada masa ini, banyak digunakan untuk kepentingan pepe-
rangan dan dakwah.
Dengan datangnya Islam, maka Sastra Arab terpengaruh
oleh keindahan ungkapan Al-Quran dan Hadits. Rasulullah
Muhammad menggunakan ungkapan yang fasih dan baligh.
Beliau datang dari suku Quraisy yang merupakan suku ter-
mulia, tempat diturunkan Al-Quran yang merupakan kalam
ilahi yang baligh dan terkesan dalam jiwa serta mampu mem-
pengaruhi perasaan pembaca dan pendengar, mampu meng-
ubah perilaku buruk menjadi perilku santun dan mulia.
Penyair yang terkenal pada masa ini adalah Hasan bin
Tsabit, Ia hidup di dua masa yaitu masa jahiliyah dan masa
permulaan Islam. Pada masa permulaan Islam, Hasan bin
Tsabit menciptakan puisi untuk memuji Nabi dan untuk syiar
Islam. Orator pada masa ini adalah Abu bakar, Umar bin
Khatab, Ali bin Abi Thalib. Karya Ali yang terbesar adalah
kitab Nahjul Balaghah yang berisi khutbah/pidato Ali bin Abi
Thalib.

3) Zaman Bani Ummayyah (‫)العصر األموي‬, zaman ini mulai dari


berdirinya Bani Ummayah sampai berakhirnya kekuasaan
Bani Abbasiyah, yaitu 132 H. Sastrawan terkenal pada

- 29 -
… Hanik Mahliatussikah …

masa ini Hasan Basri, Thariq bin Ziyad, Abu Duaib Al-
Hadzli, Jarir, Malik bin Raib al-Tamrini. Pada masa ini
banyak puisi yang bernuansa politik dan untuk keperluan
sekte masing-masing. Banyak puisi yang mengajak kepada
fanatisme. Adapun prosa yang terkenal pada masa ini
adalah pidato/ khithobah baik untuk keperluan agama,
politik, dan peperangan.

4) Zaman Bani Abbas (‫)العصر العباسي‬


a. Zaman Abbas pertama, mulai dari berdirinya Bani
Abbas (132H) sampai berdirinya kekuasaan Buwaihiyah
di irak (334H).
b. Zaman Abbas kedua, mulai dari berdirinya kekuasaan
Buwaihiyah (334H) sampai masuknya Tartar di Bagdad
(656H).
Pada masa ini, dikenal para sastrawan yaitu Abu Utsman
Umar bin Bahr al-Jahidh dari Bashrah dengan karya di antara-
nya Al-Bayan wa Tabyin, al-Hayawan, dan at-Tarbi` wa at-Tadwiir,
Ibnu Muqaffa’ dari Paris dengan karya di antaranya al-Adab
ash-shaghir (300 hal), al-adab al-kabir (100 hal) dan kalilah wa
dimnah, Al-Khawarizmi, Badi’uz Zaman al-Hamdzani, dan Al-
Hariri (www.4imam.com).
Penyair terkenal pada masa ini adalah Abu Tamam, Abu
Thayyib Al-Mutanabbi, Abul A’la al-Ma’ari, Abu Faras Al-
Hamdani, dan Al-Buhturi (dari Syam). Adapun yang berasal
dari Baghdad adalah Ibnu Ruumi, Muslim bin al-Walid, Basyar
bin Burdin, Abu Nuwas, Ibnu Al-Mu’taz, dan Abu al-Atahiyah.
Adapun penyair dari Andalus adalah Ibnu Abdi Rabah, Ibnu
Hanik al-Andalusi, Ibnu Zaidun, Ibnu Hamdis Asl-Siqali, dan
Ibnu Khafajah al-Andalusi. Adapun yang terkenal dengan
maqamat nya pada zaman ini adalah Badi` Azzaman Al-
Hamdani.

- 30 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

5) Zaman Turki )‫)العصر التركي‬, dimulai dari tahun 656 H


sampai 1220 H. Zaman ini meliputi: (a) Zaman Mamalik
(1258-1516), dan (b) Turki Ustmani (1516 - 1798). Zaman
ini disebut pula dengan zaman pertengahan dan juga
sebagai zaman kemunduran di banding zaman Abbasiyah.
Penulis terkenal pada masa ini adalah Al-Bushiri, ibnu
majid, Shafiyuddin al-Hali, Ibnu Mandhur, Abul Fida, Ibnu
Khaldun dan Aisyah Al-Ba’uniyah.

6) Zaman Modern (‘ashrul hadîts), dimulai dari tahun 1220 H


sampai sekarang. Penulis atau sastrawan pada masa ini di
antaranya Jamaluddin Al-Aghani, Muhammad Abduh, dan
Mustafa Luthfi al-Manfaluthi. Orator pada masa ini adalah
Abdullah Nadim, Mustafa Kamil, dan Sa’ad Zahlul. Penyair
pada masa ini di antaranya adalah Mahmud Sami al-
Barudi, Ismail Shabari, Ahmad Syauqi, Muhamad Hafidz
Ibrahim, dan Iliya Abu Madhi (Muhammad bin Su`ud,
1993:17; Brockelman, tt:37; Khalifah, 1998; Muzakki, 2006:
72-74).
Di samping pembagian tersebut, terdapat pula yang mem-
bagi periodisasi sastra Arab menjadi 7 fase, yaitu sebagai
berikut.
1. Masa Jahiliyah/ ‫( العصز الجاهلي‬berlangsung satu abat setengah
sebelum Islam)
2. Masa Shadrul Islam/‫ العصز صدر إلاسالم‬mulai tahun 12 Sebelum
Hijriyah – 41 hijriyah, yaitu masa kelahiran Islam
3. Masa Umayyah/ ‫ي‬ َ ‫العصز الامى‬, yaitu 41-132H
4. masa Abbasiyah/‫ العصز العباس ي‬yaitu 132 -656 H
5. Masa Andalus ‫ العصز ألاندلىس ي‬, yaitu 92-897 H
6. Masa pertengahan/ ‫العصىر الىسطى‬, yaitu 656-1213 H

- 31 -
… Hanik Mahliatussikah …

7. Masa modern/ ‫العصز الحدًث‬, yaitu mulai 1213 sampai


sekarang. (Amin, https://www.bayt.com /ar/specialties/
q/266545/)
Adapun Ahmad al-Iskandari daan Musthafa Anani mem-
baginya dalam 5 periode, yaitu sebagai berikut.
1. Masa Jahiliyah, rentang waktu berkisar 150 tahun dan
berakhir dengan munculnya Islam
2. Masa Awal Islam, termasuk masa bani Umayyah, dimulai
dengan lahirnya Islam dan berakhir pada saat munculnya
Daulah Bani Abbas pada tahu 132 H
3. Masa Bani Abbas, di mulai sejak berdirinya daulah
Abbasiyah dan berakhir pada saat jatuhnya Baghdad di
tangan orang-orang Tartar pada 656 H.
4. Masa daulah yang berada di bawah pengaruh Turki, di
mulai sejak jatuhnya Baghdad dan berakhir dengan
permulaan masa Arab modern.
5. Masa Arab modern, yaitu mulai awal abad ke-19 sampai
sekarang (Sudiarti, 2013).

IV. Rangkuman
1. Pengertian adab selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Pada masa jahiliyyah bermakna ‚mengajak makan ‫الدعوة إلى‬
‫‛الطعام‬. Pada abad 6H, sastra (Adab) bermakna ‘akhlak atau
budi pekerti’. Pada abad ke-3M, Adab meliputi musik, pe-
ngetahuan kedokteran, dan kimia. Pada masa kini, penger-
tian sastra menjadi menyempit, yaitu puisi dan prosa. Sastra
pada masa sekarang dimaknai sebagai bentuk seni tentang
pengalaman manusia, ungkapan tentang kehidupan dengan
media bahasa, dan buah pikiran manusia yang diungkapkan
dengan bentuk seni yang indah.
2. Terdapat beberapa pendapat tentang periodisasi Sastra
Arab. Di antaranya periodisasi sastra Arab meliputi (1)
Zaman Jahiliyah (Jahiliyah Awal yang berakhir pada abad 5

- 32 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

M dan Jahiliyah kedua yang dimulai dari 2 abad sebelum


Islam sampai munculnya Islam).(2) Zaman Permulaan Islam,
(3) Zaman Bani Ummayyah, (4) Zaman Bani Abbas (5)
Zaman Turki (6) Zaman Modern (1220 H sampai sekarang).
Ada pula yang membaginya dalam 7 periode, yaitu (1)
Zaman Jahiliyah, (2) Zaman Permulaan Islam, (3) Zaman
Bani Ummayyah, (4) Zaman Bani Abbas (5) Zaman Andalus
(6) Zaman pertengahan, dan (7) Zaman Modern

- 33 -
… Hanik Mahliatussikah …

DAFTAR PUSTAKA

Al-Iskandari, Ahmad dan Musthafa Anani. Tt. Al-Wasith fi al-


Adab al-Arabiy wa Tarikhihi. Kairo: Dar al-Ma`arif.
Amin, Yahia Mohammed, dalam https://www.bayt.com /ar/
specialties/q/266545/
Az-Zayyat, Ahmad Husen. Tarikh Al-Adab al-Arabi. Kairo: Dar
An-Nahdhah.
Brockelmann, carl.2016. The History of the Arabic Written
Tradition. Brill
Jami`ah al-Imam Muhammad bin Sa`ud al-Islamiyyah. Tarikh
al-Adab Mustawa Rabi`. Via www.4imam.com.
Kamil, Sukran. 2009. Teori Kritik Sastra Arab. Jakarta: Rajawali
Press
Muzakki, Akhmad. 2006. Kesusastraan Arab, Pengantar teori
dan Terapan. Jogjakarta: Ar Ruz
Nasution, Harun, dkk. 1994. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar
Baru van Houve
Sudiarti, Sri. 2013. Tarikh Adab. Malang: Misykat.
Zaidan, Jurji. 2012. Tarikh Adab al-Lughah Al-Arabiyyah.
Maktabah al-Iskandariyah.

- 34 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Sebutkan pengertian sastra Arab dari waktu ke waktu!
2. Sebutkan periodisasi sastra Arab!
3. Sebutkan sastrawan berdasarkan masanya!
4. Sebutkan orator pada zaman permulaan Islam!
5. Jelaskan penyebab terjadinya kemunduran kesusastraan Arab
6. Sebutkan jenis-jenis sastra Arab!
7. Jelaskan pengaruh kedatangan Islam terhadap perkembangan
sastra Arab
8. Buatlah kelompok dengan anggota maksimal tiga orang dan
carilah contoh karya sastra pada masa tertentu!
9. Identifikasi isi dari karya sastra yang ditemukan!
10. Presentasikan hasil temuan dari masing-masing kelompok
di depan kelas!

‫بالتىفيق والسداد‬

- 35 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Sastra: Fungsi
dan Aliran

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang fungsi-fungsi sastra dan
aliran-aliran sastra. Selain itu, terdapat evaluasi dan rangkuman
pembelajaran untuk mempermudah mahasiswa belajar.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang fungsi-fungsi sastra
dan aliran-aliran sastra, pada bab selanjutnya akan mempelajari
diksi dan gaya bahasa pada salah satu cabang karya sastra,
yaitu puisi. Diksi dan gaya bahasa mencerminkan aliran sastra
puisi pengarang. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan dapat
memahami materi pada bab ini untuk memudahkan
memahami materi selanjutnya.

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa mampu menjelaskan tentang fungsi-fungsi sastra
dan aliran-aliran sastra.

- 36 -
A. Fungsi Sastra
Sastra mempunyai dua manfaat atau fungsi utama sebagai-
mana dikemukakan oleh Horatius, yaitu dulce et utile (sweet
and useful). Dulce (sweet) berarti sangat menyenangkan atau
kenikmatan, sedangkan utile (useful) berarti isinya bersifat men-
didik (mikics, 2007:95). Bressler (1999:12) menyebut dua fungsi
tersebut dengan istilah to teach ‘mengajar’ dan to entertain
‘menghibur’. Fungsi menghibur (dulce) artinya sastra memberi-
kan kesenangan tersendiri dalam diri pembaca sehingga pembaca
merasa tertarik membaca sastra. Fungsi mengajar (utile) artinya
sastra memberikan nasihat dan penanaman etika sehingga
pembaca dapat meneladani hal-hal positif dalam karya sastra.
Sastra mampu membuat manusia menjadi lebih manusiawi:
mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan
kehidupan (Sarumpaet, 2010: 1).
Sebuah karya sastra dapat dikatakan bernilai sastra tinggi
jika karya itu mampu memberikan hiburan kepada pembaca,
serta mampu memberikan pengajaran positif bagi pembacanya.
Sastra dapat dikatakan sebagai media hiburan yang mengajar,
dan media pengajaran yang menghibur. Dua fungsi utama
sastra tersebut dapat diturunkan ke beberapa fungsi sastra
sebagai berikut.
1) Fungsi estetis
Fungsi estetis adalah fungsi keindahan dari dalam karya
sastra yang ditampilkan melalui penggunaan bahasa-bahasa
yang indah dan memikat. Fungsi estetis, yaitu karya sastra
mampu memberikan keindahan bagi pembacanya. Karya
sastra diciptakan dengan mempertimbangkan sifat kein-
dahannya. Melalui bentuk yang indah inilah karya sastra
dapat hadir dan diterima oleh banyak orang.
2) Fungsi etis/moralitas
Fungsi etis adalah fungsi etika atau moral yang diberikan
sastra melalui nasihat atau amanat yang terkandung di

- 37 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dalamnya. Fungsi moralitas, yaitu karya sastra mampu


memberikan pengetahuan tentang moral yang baik dan
buruk. Melalui karya sastra pembaca dapat mengetahui
moral yang patut dicontoh karena baik dan tidak perlu
dicontoh karena buruk.
3) Fungsi didaktis
Fungsi didaktif, yaitu karya sastra mampu mengarahkan
pembaca untuk bertindak sesuai dengann nilai-nilai kebenar-
an dan kebaikan. Setiap karya sastra yang tercipta secara
langsung maupun tidak langsung memberi hikmah yang
dapat diterapkan dalam kehidupan. Fungsi didaktis adalah
fungsi pendidikan atau pengajaran dalam karya sastra yang
dapat diperoleh pembaca setelah membaca karya sastra.
4) Fungsi reflektif
Fungsi reflektif adalah fungsi gambaran kehidupan dalam
karya sastra yang selalu mencerminkan realitas sosial-budaya
kapan dan di mana sastra itu diciptakan. Dengan membaca
karya sastra, pembaca dapat mengetahui tradisi, kebiasaan,
gambaran alam, situasi, sejarah, dan bahkan pola pikir
masyarakat di dalam sebuah karya sastra.
5) Fungsi rekreatif
Fungsi rekreatif, yaitu karya sastra dapat memberikan hiburan
yang menyenangkan bagi pembaca atau penikmatnya.
Fungsi rekreatif adalah fungsi hiburan yang diberikan oleh
sastra melalui cerita, puisi, maupun dialog drama. Banyak
pembaca yang merasa senang membaca sastra karena
terhibur dengan dunia baru yang dibangun oleh sastrawan
dalam karyanya. Dalam hal ini, sastra banyak dijadikan
sebagai bacaan pengisi waktu, media luapan perasaan, serta
wahana hiburan refleksi diri.
6) Fungsi religius
Fungsi religius, yaitu karya sastra juga memperhatikan ajaran-
ajaran agama yang dapat diteladani oleh para pembacanya.

- 38 -
Terkadang ajaran itu tidak dapat diterima secara langsung
oleh seseorang melalui ceramah. Akan tetapi, melalui karya
sastra yang dikemas dalam bentuk cerita, maka ajaran itu
dapat tersampaikan dan diterima dengan senang hati tanpa
merasa ada paksaan (Damono dan Sapardi Djoko, 1993: 18).

B. Aliran- aliran dalam Sastra


Aliran sastra berarti keyakinan yang dianut golongan-
golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menen-
tang paham-paham lama. Karya sastra sebagai karya seni tidak
akan terlepas dari pengaruh aliran yang melatarbelakangi lahir-
nya karya tersebut. Aliran sastra pada dasarnya berupaya
menggambarkan prinsip dan pandangan hidup yang dianut
sastrawan dalam menghasilkan karya sastra.
Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian
besar, yakni (1) Idealisme, dan (2) Materialisme. Aliran idealisme
adalah aliran di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa
dunia ide, dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama
yang dituju dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra,
idealisme berarti aliran yang menggambarkan dunia yang
dicita-citakan, dunia yang diangan-angankan. Di dalamnya di-
gambarkan keindahan hidup yang ideal, yang menyenangkan,
penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil makmur
dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang
sesuai dengan tuntutan batin yang menyenangkan tanpa
kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, dan keter-
belakangan. Mereka berpendapat, sastra punya peran untuk
suatu perubahan sosial ke arah yang positif. Sastra bertenden,
sebutan untuk karya-karya pengarang idealis, diharapkan
mampu mengubah sikap hidup masyarakat atau pembaca dari
yang kurang baik menjadi baik, dari yang statis menjadi
dinamis, dan dari yang malas menjadi rajin. Aliran ini pada
awalnya dikemukakan oleh Socrates (469–399 SM) yang dilanjut-

- 39 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

kan oleh muridnya yang bernama Plato (427–347 SM). Aliran


Idealisme dapat dibagi menjadi (a) Romantisme, (b) Simbolik, (c)
Mistisisme, dan (d) Surealisme.
Aliran materialisme mengemukakan bahwa dunia sama
sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah
dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 SM, yang me-
ngatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam
ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada
kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehi-
dupan ini. Di dalam seni sastra, aliran materialisme atau
naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.
Aliran materialisme dibagi menjadi (a) Realisme, (b) Naturalisme,
(c) Impresionisme,, (d) Ekspresionisme.
Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran
materialisme atau naturalisme ini disebut juga dengan aliran
realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan
alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor
perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di
dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini
merupakan kelanjutan dari aliran realisme. Berikut paparan
masing-masing.
1). Aliran Romantisme (‫)المذهب الرومانتيكي‬
Aliran romantisme sebagai reaksi terhadap aliran rasional-
isme. Aliran ini menekankan pada ungkapan perasaan sebagai
dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca
tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya
(Fananie, 2001:49). Untuk mewujudkan pemikirannya, penga-
rang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-
indahnya dan sesempurna-sempurnanya.
Ciri sastra romantik adalah keinginan untuk kembali ke
tengah alam, kembali kepada sifat-sifat yang asli, alam yang belum
tersentuh dan terjamah tangan-tangan manusia. Romantisme

- 40 -
merupakan aliran yang mementingkan curahan perasaan yang
indah dan menggetarkan yang diungkapkan dalam estetika
diksi dan gaya bahasa yang mendayu-dayu membuai sukma.
Aliran romantis masa Jahiliyyah adalah Umru`ul Qais (Kamil,
2009:167).
2). Aliran Simbolik )‫(المذهب الرمزي‬
Aliran simbolik merupakan aliran sastra yang menampil-
kan simbol-simbol atau isyarat dan lambang dalam karyanya.
Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang mencoba meng-
ungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti
daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui objek-objek,
kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap
realisme dan naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan
semata.
Karya simbolik terkadang sukar dipahami dan hanya secara
samar-samar ditangkap maknanya. Penyair simbolik bahkan
menyukai yang samar-samar, banyak menggunakan kata-kata
kias, lambang-lambang, kata-kata yang bermakna simbolik
untuk melukiskan sesuatu. Untuk mencapai keindahan, suatu
objek diungkapkan secara tidak langsung, secara sugestif, dan
dengan memperhitungkan efek musiknya yang mengandung
makna.

3). Aliran Mistisisme


Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu
pada pemikiran mistik. Mistisisme adalah aliran dalam sastra
yang melukiskan pengalaman dalam mencari dan merasakan
nafas ketuhanan dan keabadian. Karya sastra yang beraliran
mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan
diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa kesusastraan
Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya
yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra
sekarang ini yang memperlihatkan aliran mistik adalah Abdul

- 41 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Hadi W.M., dan Danarto.


4). Aliran Surealisme )‫(المذهب السريالي‬
Surrealisme dapat diartikan sebagai melebihi realisme,
karena surrealisme juga mengagung-agungkan asosiasi yang
bebas serta penulisan secara otomatis, fantasi yang tak terkendali
serta asosiasi yang bebas mewakili suatu dunia yang lebih
realistis daripada kenyataan yang riil. Surrealisme mencoba
mengeksploatasi materi-materi di dalam mimpi, keadaan jiwa
antara tidur dan jaga, dan menyerahkan penafsirannya kepada
pembaca. Aliran ini terlalu mengagungkan kebebasan kreatif
dan berimajinasi sehingga hasil yang dicapai menjadi antilogika
dan antirealitas. Surrealisme lebih dekat terhadap absurdisme
daripada terhadap realisme.
Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak
melukiskan kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar,
alam mimpi. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-
1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan psikoanalisis-
nya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia
berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang dialami
seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang
dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien. Menurut Freud
emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia
digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan
menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan
kepada kondisinya semula.

5). Aliran Realisme)‫(المذهب الىاقعي‬


Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha
melukiskan suatu objek seperti apa adanya (Muzaki, 2006:142).
Pengarang berperan secara objektif. Gustaf Flaubert seorang
pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas
pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya.
Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak

- 42 -
hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat
berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya
yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya.
Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis
merupakan kutub seberang dari sastra imajis. Sastra realis juga
berbeda dengan berita surat kabar atau laporan kejadian,
karena ia tidak semata-mata realistik, tetapi tetap ada aspek
imajinatif. M.H. Abrams dalam kamusnya ‚Glossary of Literary
Terms‛ menyebutkan bahwa realisme digunakan dalam 2
pengertian:
a. Untuk mengidentifikasi gerakan sastra pada abad XIX,
khususnya prosa fiksi.
b. Menunjukkan cara penggambaran kehidupan di dalam
sastra. Fiksi realistik sering dioposisikan dengan fiksi
romantik. Di dalam romantik disajikan kehidupan yang
lebih indah, lebih berani mengambil resiko, dan lebih
heroik, dari pada yang nyata.
6) Aliran Naturalisme )‫(المذهب الطبيعي‬
Aliran ini menggambarkan objek setepat-tepatnya, meng-
gambarkan kehidupan masyarakat yang sungguh-sungguh dan
ada renungan kejiwaan. Aliran naturalisme adalah aliran yang
mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi
karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya.
Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam.
Aliran ini menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena
itu, ia tidak jauh berbeda dengan realisme.
7). Aliran Impresionisme)‫(المذهب االنطباعي‬
Impresionisme berarti aliran yang lebih mengutamakan
kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek
itu sendiri. Yang dipentingkan dalam aliran impresionisme
adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis.
Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan

- 43 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai dengan


situasi dan kondisi tertentu.
Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya
terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang,
yang pada masa itu kebebasan berekspresi tentang cita-cita,
harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua
idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus yang maknanya
terselubung.
A.F. Scott dalam kamusnya Current Literary Terms A Concis
Dictionary menyatakan bahwa impresionisme merupakan cara
menulis karangan yang tidak memperlakukan realitas secara
objektif, tetapi menyajikan kesan-kesan (impressions) dari
pengarangnya. Istilah impressionisme ini berasal dari dunia
seni lukis pada paruh pertama abad ke 19 di Perancis.

7) Aliran Ekspresionisme)‫(المذهب التعبيري‬


Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam sastra yang
menekankan pada perasaan jiwa pengarangnya. Ekspresi batin
yang keras dan meledak-ledak biasa dianggap sebagai pernyataan
atau sikap pengarang. Pengarang Indonesia yang dianggap
ekspresionis ialah Chairil Anwar.
M.H. Abrams menyatakan bahwa ekspresionisme adalah
gerakan dalam sastra dan seni di Jerman yang mencapai
puncaknya pada periode 1910 – 1952. Para pelopornya adalah
seniman dan pengarang yang dengan bermacam cara menyim-
pang dari penggambaran yang realistik tentang kehidupan dan
dunia. Mereka mengekspresikan pandangan seni mereka atau
emosi secara kuat. Ciri utama ekspresionisme adalah pembe-
rontakan melawan tradisi realisme dalam bidang sastra dan
seni, baik dalam hal pokok persoalannya (subject matter)
maupun gayanya (style).
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelum-
nya, terdapat pula aliran kesusastraan sebagai berikut.

- 44 -
1). Aliran Eksistensialisme )‫(المذهب الىجىدي‬
Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari
rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan
aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran
idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber
kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap
materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan
manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan
sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme
melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran,
sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek.
Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek
karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke
luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang
berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun
juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad
Tafsir 1994: 193). Dasar eksistensialisme adalah ide tentang
keberadaan manusia. Aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa
yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan mene-
kankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan
keberadaan manusia.
2). Aliran heroik )‫(المذهب البطىلي‬
Aliran heroik mencuatkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan
terhadap tanah air dan figur teladan bangsa, serta semangat
membela tanah air.

3). Aliran Religiusme )‫(المذهب الديني‬


Aliran ini mementingkan nilai-nilai keagamaan atau renungan
tentang Tuhan dan manusia di hadapan-Nya. Sastra religius
dimiliki oleh setiap agama, juga oleh sastrawan yang punya
penghayatan personal terhadap Tuhan.

- 45 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

4). Aliran Transendentalisme )‫ المتسامي‬/‫(المذهب المتعالي‬


Aliran yang mengetengahkan nilai-nilai transendental,
renungan-renungan hidup yang mendalam, yang metafisis di
atas hal-hal yang fisik/nampak. Kalau sastra sufi merupakan
katarsisme, maka sastra aliran ini kebanyakan bersifat
kontemplatif.
5). Aliran komedialisme )‫(المذهب الهزلي‬
Aliran ini penuh suasana ceria, kocak, menganggap hidup
penuh optimisme dan rasa humor, berbeda dengan determinisme
dan melankolisme yang pessimistis.
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak
dapat di-‚cap‛-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang.
Sutan Takdir Alisyahbana, termasuk dalam aliran idealis tetapi
juga romantis, sehingga ia juga dikenal sebagai seorang yang
beraliran romantis-idealis.
Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat
dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi
kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan
oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu
supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut di-
namakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural
mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-
wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih
kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam
sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan
animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling
tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia
yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih
dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme
yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan
bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena

- 46 -
kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat
dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini
juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung
pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam
kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan.

IV. Rangkuman
1. Sastra mempunyai dua manfaat utama yaitu dulce et utile
(sweet and useful). Dulce (sweet) berarti sangat menyenangkan
dan utile (useful) berarti isinya bersifat mendidik. Dua fungsi
utama sastra tersebut dapat diturunkan ke beberapa fungsi
sastra, yaitu (1) Fungsi estetis; (2) Fungsi etis/ moralitas; (3)
Fungsi didaktis; (4) Fungsi reflektif; (5) Fungsi rekreatif; (6)
Fungsi religious.
2. Aliran sastra yaitu keyakinan yang dianut golongan-golongan
pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang
paham-paham lama. Ada beberapa aliran sastra, yaitu (1).
Aliran Romantisme; (2). Aliran Simbolik; (3). Aliran Mistisisme;
(4). Aliran Surealisme; (5). Aliran Realism); (6) Aliran Natural-
isme; (7). Aliran Impresionism ; (8) Aliran Ekspresionisme.
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya,
terdapat pula aliran kesusastraan, yaitu (1) Aliran Eksis-
tensialisme; (2) Aliran Heroik (3) Aliran Religiusme; (4)
Aliran Transendentalisme, dan (5) Aliran komedialisme.

- 47 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, 2001. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
sampai Capra, cetakan ke-9. Bandung: Remaja Rosdakarya
Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism: An Introduction to
Theory and Practice . New Jersey: Prentice-Hall
Damono, Sapardi Djoko, 1993, Sastra dan Pendidikan, makalah
seminar internasional sastra, Film, dan Pendidikan, FS, UI.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muham-
madiyah University Press.
Mikics, David. 2007. A New Handbook of Literary Term. London:
Yale University Press.
Sarumpaet, Riris Toha. 2010, Pendidikan Sastra anak. Gramedia:
Yogyakarta.

- 48 -
LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Sebutkan 2 fungsi utama sastra!
2. Apa yang dimaksud dengan aliran idialisme dan materialisme?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan fungsi didaktis dan
fungsi religius pada sastra!
4. Jelaskan aliran romantisme dan surealisme!
5. Jelaskan aliran eksistensialisme!
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan aliran heroik!
7. Jelaskan perbedaan antara aliran transendentalisme dan
aliran komedialisme!
8. Carilah nama tokoh pada masing-masing aliran dan buatlah
mind maping ciri-ciri masing aliran!
9. Buatlah kelompok dengan anggota maksimal tiga orang dan
pilihlah satu sub materi pada tiap-tiap kelompok! Pahami
dan diskusikan materi tersebut dengan anggota kelompok!
10. Presentasikan atau jelaskan materi yang telah didiskusikan
kepada kelompok lainnya!

‫بالتوفيق والسداد‬

- 49 -
… Hanik Mahliatussikah …

B A B Sastra Anak
____ 4

I. Deskripsi
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang (a) Sastra anak dan
cirinya, (b) karakteristik anak berdasarkan usia, (c) karakteristik
pebelajar bahasa anak-anak, dan (d) penyeleksian materi untuk
anak. Penjelasan tersebut dirinci dan diurutkan agar mudah
difahami dengan baik dan mendalam. Di samping itu, terdapat
rangkuman dan latihan guna membantu belajar mahasiswa.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang sastra anak, akan
dipelajari unsur-unsur intrinsik yang merupakan unsur yang
membangun karya sastra. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan
dapat memahami materi pada bab ini untuk memudahkan
pemahaman materi selanjutnya.

- 50 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang (a) Sastra
anak dan cirinya, (b) karakteristik anak berdasarkan usia,
(c) karakteristik pebelajar bahasa anak-anak, dan (d)
penyeleksian materi untuk anak.

A. Sastra Anak dan Cirinya


Sastra menurut Lukens (2003: 9) merupakan hiburan yang
menyenangkan, baik untuk anak maupun dewasa. Sastra menam-
pilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanja-
kan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan daya
suspense.
Huck (1987: 6) mendefinisikan sastra anak sebagai karya
sastra yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat
penceritaan.
Sarumpaet (2010:3) mengemukakan bahwa sastra anak adalah
karya sastra yang khas dunia anak, di baca anak dengan
dibimbing orang dewasa. Adapun menurut Kurniawan (2009:
5), sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasa sesuai
dengan tingkat perkembangan intelektual dan emosional anak.
Ampera (2010: 10) juga mengemukakan bahwa sastra anak
adalah buku-buku bacaan atau karya sastra yang sengaja ditulis
sebagai bacaan anak, isinya sesuai dengan minat dan pengalaman
anak, dan sesuai dengan tingkat perkembangan emosi dan
intelektual anak. Sastra anak dapat melatih dan memupuk
kebiasaan membaca pada anak-anak, membantu perkembangan
intelektual anak, mempercepat perkembangan bahasa anak,
dan dapat membangkitkan daya imajinasi anak (Juliasandi,
2016).
Endraswara (2002) menyatakan bahwa sastra dapat mem-
bentuk kepribadian dan menuntun kecerdasan emosi anak.
Sastra bagi anak berfungsi sebagai pendidikan dan hiburan.

- 51 -
… Hanik Mahliatussikah …

Sastra berisi informasi, pengalaman, dan ajaran akhlak yang


baik. Sastra menurut Endraswara dapat membentuk kepribadian
anak dan menuntut kecerdasan anak.
Sastra anak lebih menonjolkan imajinasi. Sastra anak harus
sesuai dengan dunia dan alam mereka. Ia disajikan dengan
harapan dapat menjadi tiruan dalam berperilaku yang baik.
Sastra anak biasanya berisi tentang cerita alam, binatang dan
budaya. Dalam menulis sastra anak dihindari penyelesaian
masalah dengan kekerasan, dan sebaliknya harus berisi pesan
yang mendidik.
Ciri sastra anak menurut Purwanto (2008: 7) adalah mengan-
dung tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelit-
belit, menggunakan setting yang dekat dengan dunia anak,
para tokoh memiliki keteladanan yang baik, gaya bahasanya
mudah dipahami, mengandung imajinasi yang sesuai dengan
usia mereka, dan isinya menambah wawasan anak.
Sedangkan menurut Sarumpaet (2010), sastra anak meng-
hindari permasalahan orang dewasa, seperti cinta yang erotis
dan dendam, disajikan dengan gaya secara langsung, baik
dengan tokoh berwatak jahat maupun berwatak baik. Jadi tidak
berbelit–belit. Sajian cerita anak mengandung pengetahuan
yang bermanfaat.
Sastra anak memiliki banyak manfaat. Di antaranya menurut
Tarigan (2011: 6-8), sastra anak bermanfaat sebagai berikut:
1- Memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan
kepada anak-anak.
2- Dapat mengembangkan imajinasi anak-anak dan membantu
mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, insan,
pengalaman, atau gagasan dengan berbagai cara.
3- Memberikan pengalaman-pengalaman baru yang seolah-
olah dialami sendiri oleh para anak.
4- Dapat mengembangkan wawasan para anak untuk ber-
perilaku kemanusiaan.

- 52 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

5- Dapat menyajikan serta memperkenalkan kesemestaan


pengalaman kepada para anak.
6- Menjadi sumber utama bagi penerusan warisan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Perkembangan kebahasaan anak sejalan dengan perkem-
bangan intelektual dan aspek-aspek personalitas yang lain.
Dalam usia setelah anak mulai dapat memahami dan mempro-
duksi bahasa, anak mulai dapat menerima dan mengembang-
kan pemahaman tentang dunia. Salah satu sarana untuk
mengembangkan pemahaman itu adalah dengan cerita. Mulai
usia 3 atau 4 tahun, bahkan lebih awal, anak suka pada cerita,
minta diceritai dan sering membaca buku dan minta dibacakan
cerita (Nurgiyantoro, 2005:213).

B. Karakter Anak Berdasarkan Usia


Sebagai bahan pertimbangan di bawah ini dikemukakan
beberapa karakteristik anak pada kelompok usia tertentu sebagai
salah satu kriteria pemilihan buku bacaan sastra anak (Brady,
1991:35-7). Namun demikian, kehati-hatian dan sikap kritis kita
harus tetap diutamakan karena harus diakui adanya perbedaan
tingkat kecepatan kematangan anak akibat kondisi kehidupan
sosial-budaya masyarakat.
Anak usia 3-5 tahun: (i) pemfungsian tahap praoperasional
(Piaget); (ii) pengalaman pada tahap prakarsa versus kesalahan
(Erickson); (iii) penafsiran baik dan buruk, boleh dan tidak
boleh, berdasarkan konsekuensi fisik dan hadiah atau hukuman;
(iv) perkembangan bahasa berlangsung amat cepat, dan pada
usia lima tahun sudah mampu berbicara dalam kalimat kompleks;
(v) perkembangan kemampuan perseptual seperti membedakan
warna dan mengenali atribut yang berbeda pada objek yang
mirip; (vi) cara berpikir dan bertingkah laku egosentris; (vii)
belajar lewat pengalaman tangan-pertama; (viii) mulai menyata-
kan sesuatu secara bebas; dan (ix) belajar lewat permainan

- 53 -
… Hanik Mahliatussikah …

imaginatif; (x) membutuhkan pujian dan persetujuan dari


dewasa; (xi) kurang memperhatikan masalah waktu; dan (xii)
mengembangkan rasa tertarik dalam aktivitas kelompok.
Anak usia 6 dan 7 tahun: (i) beralih ke cara berpikir tahap
operasional konkret (Piaget), mulai berpikir beda, menentang,
dan bersikap hati-hati; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian
versus perasaan rendah din (Erickson); (iii) penerimaan konsep
benar (baik) berdasarkan hadiah dan persetujuan; (iv) melanjut-
kan perkembangan pemerolehan bahasa; (v) mulai memisahkan
fantasi dari realitas; (vi) belajar berangkat dari persepsi dan
pengalaman langsung; (vii) mulai berpikir abstrak, tetapi belajar
lebih banyak terjadi berdasarkan pengalaman konkret; (viii)
lebih membutuhkan pujian dan persetujuan dari orang dewasa;
(ix) menunjukkan sensitivitas rasa dan sikap terhadap anak lain
dan orang dewasa; (x) berpartisipasi dalam kelompok sebagai
anggota; (xi) mulai tumbuh rasa keadilan dan ingin bebas dari
orang dewasa; (xii) menunjukkan perilaku egosentris dan
sering menuntut.
Anak usia 8 dan 9 tahun: (i) pemfungsian tahap berpikir
operasional konkret (Piaget), berpikir kini lebih fleksibel dan hati-
hati; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan
rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan konsep benar berdasarkan
aturan; (iv) adanya perhatian dan penghormatan dari kelompok
kini lebih penting; (v) mulai melihat dengan sudut pandang
orang lain dan semakin berkurangnya sifat egosentris;(vi)
mengembangkan konsep dan hubungan spasial; (vii) menghargai
petualangan imaginatif; (viii) menunjukkan minat dan kete-
rampilan yang berbeda dengan kelompoknya; (ix) mem-
punyai ketertarikan pada hobi dan koleksi yang bervariasi;
(x) menunjukkan peningkatan kemampuan mengutarakan ide
ke dalam kata-kata; dan (xi) membentuk persahabatan
yang khusus.

- 54 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Anak usia 10-12 tiiltun: (i) pemfungsian tahap opera-


sional konkret (Piaget), dapat melihat hubungan yang lebih
abstrak; (ii) pengalaman pada tahap kepandaian versus perasaan
rendah diri (Erickson); (iii) penerimaan masalah benar berdasar-
kan ke-/ar>-an; (iv) memiliki ketertarikan yang kuat dalam
aktivitas sosial, (v) meningkatnya minat pada kelompok, men-
cari kekariban dalam kelompok; (vi) mulai mengadopsi model
kepada orang lain daripada ke orang tua; (vii) menunjukkan
minatnya pada aktivitas khusus; (viii) mencari persetujuan dan
ingin mengesankan; (ix) menunjukkan kemampuan dan kemauan
untuk melihat sudut pandang orang lain; (x) pencarian nilai-
nilai; (xi) menunjukkan adanya perbedaan di antara individu;
(xii) mempunyai citarasa keadilan dan peduli kepada orang
lain; dan (xiii) pemahaman dan penerimaan terhadap adanya
aturan berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Anak usia 13 dan adolesen: (i) pemfungsian tahap
operasional formal (Piaget), kemampuan untuk memprediksi,
menginferensi, berhipotesis tanpa referensi; (ii) pengalaman
tahap identitas versus kebingungan (Erickson); (iii) mungkin
beralih ke tahap otonomi moral (tahap 5 dan 6 menurut
Kohlberg); (iv) menunjukkan kebebasannya dari keluarga sebagai
langkah menuju ke awal kedewasaan; (v) mengidentifikasikan
diri dengan dewasa yang dikagumi; (vi) menunjukkan
ketertarikannya pada isu-isu filosofis, etis, dan religius; dan (vii)
pencarian sesuatu yang idealistis.

C. Karakteristik Pembelajar Bahasa (Anak-anak)


Sebelum melakukan seleksi materi pembelajaran bahasa
Arab untuk anak-anak, pihak guru (penyusun bahan ajar) perlu
memahami karakteristik anak-anak dalam pembelajaran bahasa.
Berikut ini karakteristik anak-anak dalam pembelajaran bahasa
yang direduksi dari Scott dan Ytreberg (1990).

- 55 -
… Hanik Mahliatussikah …

a. Anak-anak dapat mengutarakan sesuatu yang akan mereka


kerjakan.
b. Anak-anak dapat mengutarakan sesuatu yang telah mereka
kerjakan dan mereka dengar.
c. Anak-anak belajar sambil bekerja (learning by doing).
d. Anak-anak sudah dapat beragumentasi (membantah).
e. Anak-anak dapat menggunakan pola-pola intonasi bahasa
ibu.
f. Anak-anak dapat memahami interaksi manusia secara
langsung.
g. Anak-anak mengetahui bahwa bahasa itu ada aturannya,
tetapi mereka masih belum memahami aturan-aturan itu.
h. Anak-anak lebih cepat memahami situasi daripada mema-
hami bagaimana bahasa itu digunakan.
i. Anak-anak menggunakan keterampilan berbahasa jauh
sebelum mereka menyadari tentang keterampilan itu
sendiri.
j. Anak-anak memperoleh pemahaman melalui gerakan
(isyarat) tangan, mata, dan Iain-lain.
k. Anak-anak kadang-kadang mengalami kesulitan membeda-
kan antara fakta dan fiksi.
l. Mereka suka bermain dan mempelajari sesutau yang
mereka senangi.
m. Mereka dapat bekerja sama dengan orang dewasa.
n. Kosa kata orang dewasa tidak sama dengan kosa kata
anak-anak. Artinya Anak-anak masih belum memahami
kosa kata (ungkapan) yang biasa digunakan oleh orang
dewasa.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Furaidah
(1999). Dia menyatakan bahwa karakteristik anak-anak sebagai
pembelajar bahasa adalah sebagai berikut.
a. Anak-anak memliki kecenderungan suka bermain dan
bersenang-senang.

- 56 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

b. Anak-anak memahami hal-hal di sekitarnya secara holistik


(utuh) tidak secara analitik ("njelimet").
c. Anak-anak belajar bahasa melewati suatu masa yang
disebut dengan periode bisu (fatrotush shumti/silent period).
Artinya pada awal belajar bahasa, anak-anak masih hanya
dapat mendengar, belum dapat berbicara.
d. Anak-anak cenderung belajar bahasa melalui pemeroleh-
an (iktisab atau acquisition), yaitu suatu pengembangan
kemampuan berbahasa dalam setting alamiah, bukan
mempelajar bahasa secara formal (learning) dengan meng-
kaji aruran-aturan bahasa (Krashen, 1985).
e. Pada umumnya anak-anak pada usia sekolah dasar
berada pada berpikir secara konkret.

D. Penyeleksian Materi untuk Anak


Berpijak dari karakteristik anak-anak dalam pembelajaran
bahasa dan prinsip-prinsip dalam penyeleksian materi pembe-
lajaran, maka dalam memilih materi pembelajaran bahasa Arab
bagi anak-anak, guru memperhatikan prinsip-prinsi sebagai
berikut.
1. Penyeleksian materi pembelajaran bahasa Arab diorientasikan
pada tujuan pembelajaran bahasa Arab. Dalam Kurikulum
1994/1995 Mata Pembelajaran Bahasa Arab MI ditegaskan,
bahwa tujuan pembelajaran bahasa Arab adalah agar murid
dapat menguasai secara aktif perbendaharaan kata arab
fusha sebanyak 300 kata dan ungkapan dalam bentuk dan
pola kalimat dasar, dengan demikian murid diharapkan dapat
mengadakan komunikasi sederhana dalam bahasa Arab dan
dapat memahami bacaan-bacaan sederhana dalam teks. Secara
eksplisit dalam kurikulum disebutkan bahwa kegiatan ber-
bahasa meliputi (1) kegiatan berbicara (kemampuan meng-
ungkapkan berbagai fungsi komunikasi bahasa, (2) mendengar
(memahami bahasa Arab lisan), (3) membaca (mengembang-

- 57 -
… Hanik Mahliatussikah …

kan kemampuan memahami isi wacana, dan (4) mengarang


(mengembangkan kemampuan menyusun kalimat-kalimat
yang benar dalam insya' nwwajjah (karangan yang diarahkan).
2. Materi pembelajaran bahasa Arab untuk anak-anak disajikan
secara utuh (integrated system) bukan disajikan secara terpisah
(separated system), misalnya nahwu diajarkan sendiri, sharaf
diajarkan sendiri, dan keterampilan juga diajarkan sediri.
Pendekatan ini sesuai dengan kecenderungan anak-anak
untuk berpikir secara holistik.
3. Materi pembelajaran bahasa Arab dimulai dari yang paling
mudah dan sederhana ke yang paling sulit dan kompleks.
4. Materi pembelajaran bahasa Arab lebih bersifat aplikatif
daripada teoritis. Guru hendaknya mengindari pemilihan
materi yang lebih mengarah pada pembahasan tatabahasa.
Apalagi pembahasan tatabahasa tersebut bersifat analitis.
Dengan kata lain, ajarkan berbahasa, bukan tentang bahasa.
5. Materi pembelajaran bahasa Arab hendaknya mencerminkan
refleksi atau representasi dari kehidupan nyata anak-anak
(apa yang dialami dan dilihat sehari-hari),
6. Materi pembelajaran (kosakata, membaca, berbicara, maupun
menulis sederhana dan terbimbing) diorientasikan pada
kebutuhan anak-anak.
7. Penyajian materi pembelajaran bahasa Arab (terutama kosa
kata) dimulai dengan hal-hal yang konkret dan frekuensi
penggunaannya tinggi.
8. Materi pembelajaran bahasa Arab hendaknya disertai dengan
alat bantu (media gambar) yang jelas (komunikatif), tidak
multi-interpretatif).
9. Dalam materi pembelajaran bahasa Arab disajikan soal-soal
latihan baik untuk pemantapan kemampuan, perbaikan,
maupun untuk pengayaan.
Berkaitan dengan prinsip-prinsip di atas, penulis "sekedar"
memberikan gambaran tentang kosakata atau topik-topik dalam

- 58 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

materi pembelajaran bahasa Arab untuk anak-anak. Kosa kata


atau topik-topik tersebut misalnya kosa kata atau topik yang
berkaitan dengan keadaan di sekolah (deskripsi alat-alat tulis
dan perabot sekolah), keadaan di rumah (deskripsi ruang,
perabot rumah, dan anggota keluarga), perkenalan (identitas
diri), identifikasi narna binatang (yang sering dilihat), hitungan
(sederhana), alat-alat transportasi, ucapan selamat, ucapan
terima kasih, permintaan maaf, ungkapan-ungkapan keagamaan
sederhana yang sering digunakan (misalnya asma'ul husna)
sebagai ciri keislaman MI, dan Iain-lain yang menurut intuisi
dan pengalaman guru merupakan kosa kata atau topik yang
memang sangat relevan untuk pembelajaran bahasa Arab bagi
anak-anak.

VI. Rangkuman
1. Sastra anak menempatkan sudut pandang anak sebagai
pusat penceritaan. Sastra anak adalah karya sastra yang khas
dunia anak, di baca anak dengan dibimbing orang dewasa.
Sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasa
sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan
emosional anak.
2. Ciri sastra anak di antaranya berisi tentang cerita alam,
binatang dan budaya, mengandung tema yang mendidik,
alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting
yang dekat dengan dunia anak, dan para tokoh di dalam
cerita memiliki keteladanan yang baik. Gaya bahasa sastra
anak lebih sederhana, mudah dipahami, mengandung
imajinasi yang sesuai dengan usia mereka, dan isinya
menambah wawasan anak.
3. Sastra anak bermanfaat untuk memberikan kesenangan,
kegembiraan, dan kenikmatan kepada anak-anak. Sastra anak
dapat mengembangkan imajinasi anak-anak dan membantu
mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, insan,

- 59 -
… Hanik Mahliatussikah …

pengalaman, atau gagasan dengan berbagai cara. Sastra anak


memberikan pengalaman-pengalaman baru yang seolah-olah
dialami sendiri oleh para anak. Ia juga dapat mengembang-
kan wawasan para anak untuk berperilaku kemanusiaan,
dapat menyajikan serta memperkenalkan kesemestaan
pengalaman kepada para anak. Sastra anak juga menjadi
sumber utama bagi penerusan warisan dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
4. Karakteristik anak pada kelompok usia tertentu memiliki
perbedaan dalam kecepatan kematangan tumbuh kembang
yang diakibatkan dari kondisi kehidupan sosial-budaya ma-
syarakat. Anak berdasarkan usianya dibagi menjadi beberapa
tahapan dengan karakteristiknya masing-masing. Anak
usia 3-5 tahun: berada dalam masa pra-operasional, Anak
usia 6 dan 7 tahun: beralih ke cara berpikir tahap operasional
konkret, dan usia berikutnya adalah pemfungsian tahap
operasional konkret.
5. Karakteristik anak-anak dalam pembelajaran bahasa adalah
bahwa Anak-anak dapat mengutarakan sesuatu yang akan
mereka kerjakan, dapat mengutarakan sesuatu yang telah
mereka kerjakan dan mereka dengar. dapat beragumentasi
(membantah), menggunakan pola-pola intonasi bahasa ibu,
dapat memahami interaksi manusia secara langsung, lebih
cepat memahami situasi daripada memahami bagaimana
bahasa itu digunakan. Anak-anak memperoleh pemahaman
melalui gerakan (isyarat) tangan, mata, dan kadang-kadang
mengalami kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi.
Mereka suka bermain dan mempelajari sesuatu yang
mereka senangi dan dapat bekerja sama dengan orang
dewasa.

- 60 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Ampera, Taufik . 2010. Pengajaran Sastra Teknik Mengajar Sastra


Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Padjadjaran.
Brady, Laure. 1991. “Children and Their Books: The Right Book
for The Right Child 1”, dalam Maurice Saxby & Gordon
Winch (eds). Give Them Wings, The Experience of Children’s
Literature, Melbourne: The Macmillan Company.
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra.
Yogyakarta: Buana Pustaka.
Furaidah, Widiati, U, Winihasih, Taufik, M. 1999. Meningkatkan
kebiasaan membaca Siswa SD Laboratorium IKIP Malang
melalui Program Membaca “Membaca Yes..! Hasil
Penelitian: LPM UM, tidak diterbitkan.
Huck, Charlotte S., Hepler S., & Hickman J .1987. Children`s
Literature in the Elementary School. New York: Holt Rinehelt,
and Winston.
Juliasandi, M. Mousafi. 2016. Sastra Anak: Hakekat, Manfaat, dan
Kontribusi Sastra Anak. Yogyakarta: PPS UNY
Krashen, S.D. 1985. The Input Hypothesis: Issues and Implications,
New York: Longman.
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme,
Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta:
Graha ilmu.
Lukens, Rebecca J. A Critical Handbook of Children`s Literature.
New York: Longman.
Furaidah. “Meningkatkan Kebiasaan Membaca Siswa Sekolah
Dasar Melalui Program Membaca... Yes!” Jurnal Bahasa
dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Pengajarannya (FS
UM).
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak (Pengantar Pemahaman
Dunia Anak).Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

- 61 -
… Hanik Mahliatussikah …

Nurgiyantoro, Burhan. “Tahapan Perkembangan Anak dan


Pemilihan Bacaan Sastra Anak.” Cakrawala Pendidikan, Juni
2005. Th. XXIV No.2, hal 197-213.
Puryanto, Edi. 2008. “Konsumsi Anak dalam Teks Sastra di
Sekolah.” Makalah dalam Konferensi Internasional Kesu-
sastraan XIX HISKI.
Sarumpaet dan Riris Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak,
Jakarta: Obor.
Scott, Wendy A., and Lisbeth H Ytreberg. 1990. Teaching English
to Children. London: Longman.
Tarigan, Guntur Tarigan. 2011. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa

- 62 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Sebutkan kecepatan kematangan pertumbuhan anak pada
usia 3-5 tahun!
2. Buatlah peta konsep tentang kategori-kategori usia anak!
3. Berikan kesimpulan dari karakteristik anak-anak dalam
pembelajaran bahasa menurut Scott dan Furaidah!
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan menghargai petua-
langan imaginatif pada usia 8-9 tahun!
5. Apa ciri, fungsi dan manfaat sastra anak?
6. Materi pembelajaran bahasa Arab untuk anak-anak disajikan
secara utuh (integrated system) bukan disajikan secara
terpisah (separated system), bagaimana pendapat anda!
7. Pada jaman yang sudah semakin modern, konsep pembe-
lajaran seperti apa yang perlu diterapkan pada usia anak?
8. Jelaskan bagaimana keadaan umum anak dalam mem-
pelajari bahasa Arab dengan baik!
9. Manakah yang lebih didahulukan, anak yang memiliki minat
dalam belajar bahasa atau menumbuhkan minat anak
dalam pembelajaran bahasa? Ungkapkan pendapatmu!
10. Bagaimana cara mengenalkan sastra kepada anak? Jelaskan!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 63 -
… Hanik Mahliatussikah …

B A B Unsur Intrinsik
____ 5 dan Ekstrinsik

I. Deskripsi
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Penjelasan tersebut dirinci dan diurutkan agar
mudah difahami dengan baik dan mendalam. Di samping itu,
terdapat rangkuman dan latihan evaluasi guna membantu
belajar mahasiswa.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang unsur intrinsik dan
ekstrinsik, pada bab selanjutnya akan dipelajari teori dan
metode analisis struktural. Selain dibutuhkan unsur-unsur
dalam mengupas karya sastra, juga dibutuhkan metode dan
teori dalam analisis struktural. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan dapat memahami materi pada bab ini untuk
memudahkan memahami teori struktural tersebut.
- 64 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

III. Capaian Pembelajaran MK

Mahasiswa dapat menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan


ekstrinsik dari suatu karya sastra.

A. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari dalam. Unsur-unsur intrinsik karya sastra adalah :
Pertama, tema adalah sesuatu yang menjadi pokok masa-
lah/pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam
karangannya. Tema, yaitu suatu yang menjadi pokok masalah
atau persoalan sebagai bahan karangan, yang diungkapkan dalam
suatu cerita oleh pengarang. Tema prosa fiksi terutama novel
dapat terdiri atas tema utama serta beberapa tema bawahan.
Tema bawahan berasal dari masalah-masalah yang muncul dari
setiap adegan atau sub cerita. Adapun cerpen (cerita pendek)
biasanya hanya memiliki tema utama saja.
Untuk dapat menentukan tema suatu cerita kita dapat
menempuh dengan jalan bertanya sebagai berikut.
a. Mengapa pengarang menulis cerita tersebut?
b. Apa tujuan pengarang menulis cerita tersebut?
c. Faktor apa yang menyebabkan atau menjadikan suatu
karangan bermutu dan berharga?
Kedua, amanat adalah pesan/kesan yang dapat memberikan
tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna
dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan
kekayaan batin kita terhadap hidup. Amanat, yaitu pesan-pesan
yang disampaikan oleh si pengarang melalui cerita yang digu-
bahnya. Si pengarang menyampaikan amanatnya dengan dua
cara, yaitu:
a. secara eksplisit (terang-terangan): pembaca dengan

- 65 -
… Hanik Mahliatussikah …

mudah menemukannya; dan


b. secara implisit (tersirat/tersembunyi): untuk menemukan
amanat dalam hal ini, pembaca agak sukar menemukan-
nya, terlebih dulu pembaca hendaknya membaca secara
keseluruhan isi cerita tersebut.
Ketiga, alur/plot adalah jalan cerita/rangkaian peristiwa
dari awal sampai akhir.
Alur/plot, yaitu urutan atau kronologi peristiwa yang
dilukiskan pengarang dalam suatu cerita rekaan, terjalin satu
dengan yang lainnya.
a. Tahap-tahap Alur yaitu sebagai berikut.
1) Tahap Perkenalan/Eksposisi, yaitu tahap permulaan
suatu cerita yang dimulai dengan suatu kejadian, tetapi belum
ada ketegangan. Pada tahap ini dilakukan pengenalan para
tokoh, reaksi antarpelaku, penggambaran fisik, dan penggam-
baran tempat. Eksposisi adalah proses penggarapan serta mem-
perkenalkan informasi penting kepada para pembaca. Melalui
eksposisi, seorang pengarang mulai melukiskan atau memapar-
kan suatu keadaan, baik keadaan alam maupun tokoh-tokoh
yang ada di dalam cerita tersebut, serta informasi-informasi
yang akan diberikan pengarang kepada pembaca melalui
uraian eksposisi tersebut.
2) Tahap Pertentangan/Konflik, yaitu tahap mulai terjadi
pertentangan antara pelaku-pelaku yang menjadi awal bagi
pertentangan selanjutnya. Komplikasi adalah adanya masalah
yang terjadi di antara para tokoh, baik tokoh dengan tokoh,
tokoh dengan tempat, maupun tokoh dengan suasana yang
terdapat dalam cerita rekaan.Konflik terbagi menjadi dua yaitu,
konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal adalah
konflik yang terjadi dalam diri tokoh. Konflik eksternal adalah
konflik yang terjadi di luar tokoh, yakni konflik tokoh dengan
tokoh, konflik tokoh dengan lingkungan, konflik tokoh dengan
alam, dan konflik tokoh dengan Tuhan.

- 66 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

3) Tahap Penanjakan Konflik/Komplikasi, yaitu tahap


ketegangan mulai terasa semakin berkembang dan rumit. Pada
tahap ini, nasib pelaku semakin sulit diduga dan terasa samar.
Konflik, konflik adalah pergumulan yang dialami oleh
karakter dalam cerita. Konflik ini merupakan inti dari sebuah
karya sastra yang pada akhirnya membentuk plot. Ada empat
macam konflik, yang dibagi dalam dua garis besar: yaitu
konflik internal dan konflik eksternal.
Konflik internal, yaitu (1) konflik Individu-diri sendiri:
Konflik ini tidak melibatkan orang lain, ditandai dengan gejolak
yang timbul dalam diri sendiri mengenai beberapa hal seperti
nilai-nilai. Kekuatan karakter akan terlihat dalam usahanya
menghadapi gejolak tersebut.
Konflik eksternal, yaitu (2) konflik Individu – Individu:
konflik yang dialami seseorang dengan orang lain. (3) konflik
Individu – alam: Konflik yang dialami individu dengan alam.
Konflik ini menggambarkan perjuangan individu dalam usahanya
untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam. (4) konflik
Individu-lingkungan/masyarakat: Konflik yang dialami indi-
vidu dengan masyarakat atau lingkungan hidupnya.
4) Tahap Klimaks, yaitu tahap ketegangan atau perma-
salahan yang telah mencapai puncaknya. Perubahan nasib
pelaku sudah mulai dapat diduga dan terkadang dugaan itu
tidak terbukti di akhir cerita.
5) Tahap antiklimaks, yaitu Antiklimaks adalah suatu
peristiwa yang ditandai dengan menurunnya tingkat perma-
salahan yang terjadi pada tokoh. Tahap ini dilanjutkan dengan
tahap resolusi atau penyelesaian, yaitu tahap akhir cerita
(Falling action). Pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-
nasib yang dialami tokoh setelah mengalami peristiwa puncak
itu. Ada pula yang penyelesaiannya diserahkan kepada pembaca.
Jadi, akhir ceritanya menggantung, tanpa ada penyelesaian.

- 67 -
… Hanik Mahliatussikah …

b. Macam-macam alur
1. Alur Maju adalah peristiwa–peristiwa diutarakan mulai
awal sampai akhir/masa kini menuju masa datang.
2. Alur Mundur/Sorot Balik/Flash Back adalah peristiwa-
peristiwa yang menjadi bagian penutup diutarakan
terlebih dahulu/masa kini, baru menceritakan peristiwa-
peristiwa pokok melalui kenangan/masa lalu salah satu
tokoh.
3. Alur Gabungan/Campuran adalah peristiwa-peristiwa
pokok diutarakan. Dalam pengutarakan peristiwa-peris-
tiwa pokok, pembaca diajak mengenang peristiwa-peris-
tiwa yang lampau, kemudian mengenang peristiwa
pokok yang dialami oleh tokoh utama.
c. Berdasarkan cara menyusun tahapan-tahapan alur,
maka dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Alur Lurus (Alur Maju/Alur Agresif), yaitu rangkaian
cerita dikisahkan dari awal hingga cerita berakhir tanpa
mengulang kejadian yang telah lampau.
2. Alur Sorot Balik (Alur Mundur/Alur Regresif/Flash Back),
yaitu kebalikan dari alur lurus. Rangkaian ceritanya
mengisahkan kembali tokoh pada waktu lampau.
3. Alur Campuran, yaitu gabungan antara alur maju dan
alur sorot balik.
d. Berdasarkan hubungan tahapan-tahapan dalam alurnya,
maka dapat dibedakan menjadi dua, yaitu.
1. Alur Rapat, yaitu alur yang terbentuk apabila alur pem-
bantu mendukung alur pokoknya.
2. Alur Renggang, yaitu sebaliknya, alur yang terbentuk
apabila alur pokok tidak didukung oleh alur pembantu.
e. Berdasarkan kuantitasnya, maka dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Alur tunggal, yaitu alur yang hanya terjadi pada sebuah
cerita yang memiliki satu jalan cerita saja, biasanya

- 68 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

terjadi pada cerpen.


2. Alur ganda, yaitu alur yang terjadi pada sebuah cerita
yang memiliki jalan cerita lebih dari satu, biasanya ada
pada novel.

1. Perwatakan/Penokohan adalah bagaimana pengarang


melukiskan watak tokoh. Tokoh merupakan pelaku di dalam
cerita dan mengambil peranan dalam setiap insiden-insiden.
Watak tokoh terdiri atas sifat, sikap, serta kepribadian tokoh.
Penokohan dapat dilakukan melalui dimensi (a) fisik, (b) psikis,
dan (c) sosial.
Karakter terkait dengan pelaku atau tokoh dalam cerita.
Tokoh dapat berupa manusia, tumbuhan maupun benda. Pelaku
dalam cerita dapat berupa manusia, binatang, atau benda-
benda mati yang diinsankan. Pelaku terdiri atas pelaku utama
dan pelaku pembantu. Pelaku utama adalah pelaku yang
memegang peranan utama dalam cerita dan selalu hadir/muncul
pada setiap satuan kejadian. Pelaku pembantu adalah pelaku
yang berfungsi membantu pelaku utama dalam cerita. Ia bisa
bertindak sebagai pahlawan mungkin juga sebagai penentang
pelaku utama.
Adapun karekter dapat dibagi menjadi: karakter protagonis
dan antagonis. Kedua karakter ini memiliki peran penting
dalam menjalankan tema. Karakter protagonist adalah pelaku
yang memegang watak tertentu yang membawa ide kebenaran,
seperti jujur,setia, dan baik hati. Karakter antagonis adalah
pelaku yang berfungsi menentang pelaku protagonis, seperti
pendusta, pengkhianat,tidak setia dan suka mengganggu.
Namun, terkadang pelaku antagonist juga tidak selamanya
jahat. Terdapat pula istilah pelaku tritagonis, yaitu pelaku
yang dalam cerita sering dimunculkan sebagai tokoh ketiga
yang biasa disebut dengan tokoh penengah.
Dalam kaitannya dengan karakter, Terdapat pula karakter

- 69 -
… Hanik Mahliatussikah …

statis dan dinamis. Karakter statis (Flat/static character) :


karakter yang tidak mengalami perubahan kepribadian atau
cara pandang dari awal sampai akhir cerita. Adapun karakter
dinamis (Round/ dynamic character): karakter yang mengalami
perubahan kepribadian dan cara pandang. Karakter ini biasanya
dibuat semirip mungkin dengan manusia sesungguhnya, terdiri
atas sifat dan kepribadian yang kompleks. karakter pembantu
biasanya adalah karakter statis karena tidak digambarkan
secara detail oleh penulis sehingga perubahan kepribadian dan
cara pandangnya tidak pernah terlihat secara jelas.
Karakterisasi atau cara menggambarkan karakter dapat
dibedakan menjadi tiga metode, yaitu:
a. Analitik adalah pengarang langsung menceritakan watak
tokoh. Metode analitik, yaitu pemaparan secara langsung
(eksplisit) watak atau karakter para tokoh dalam cerita,
seperti; penyayang, penyabar, keras kepala, baik hati, dan
pemarah.
b. Dramatik adalah pengarang melukiskan watak tokoh
dengan tidak langsung. Bisa melalui tempat tinggal, ling-
kungan, percakapan/dialog antartokoh, perbuatan, fisik
dan tingkah laku, cara berpakaian, kata-kata yang diucap-
kan, komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu, jalan
pikiran tokoh.
c. Campuran adalah gabungan analitik dan dramatik.

2. Latar/Setting
Latar/setting adalah sesuatu atau keadaan yang melingkupi
pelaku dalam sebuah cerita. Macam-macam latar yaitu latar
tempat, latar waktu, dan latar suasana.
a. Latar tempat adalah latar di mana pelaku berada atau
cerita terjadi, seperti masjid, sekolah, lapangan, di rumah
sakit, daerah wisata, di daerah transmigran, di kantor, di
kamar tidur, dan di halaman dan seterusnya.

- 70 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

b. Latar waktu adalah kapan cerita itu terjadi, seperti pagi,


siang, malam, kemarin, besok, tahun, musim, masa
perang, dan masa panen.
c. Latar suasana adalah dalam keadaan di mana cerita
terjadi, seperti sedih, gembira, dingin, sepi, aman, damai,
gawat, bergembira, berduka/berkabung, kacau, dan galau.

3. Sudut Pandang/Point Of View


Sudut pandang adalah posisi/kedudukan pengarang dalam
membawakan cerita. Sudut pandang dibedakan atas :
a. Sudut pandang orang kesatu adalah pengarang berfungsi
sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam cerita,
terutama sebagai pelaku utama. Pelaku utamanya aku,
saya, kata ganti orang pertama jamak: kami, kita. Keun-
tungan dari teknik ini adalah pembaca merasa menjadi
bagian dari cerita.
b. Sudut pandang orang kedua, yaitu teknik yang banyak
menggunakan kata ‘kamu’ atau ‘anda’. Teknik ini jarang
dipakai karena memaksa pembaca untuk mampu berperan
serta dalam cerita.
c. Sudut pandang orang ketiga adalah pengarang berada di
luar cerita, ia menuturkan tokoh-tokoh di luar, tidak
terlibat dalam cerita. Pelaku utamanya: ia, dia, mereka,
dan kata ganti orang ketiga jamak.
Namun demikian kadang terdapat sudut pandang campur-
an, yaitu kombinasi, kadang-kadang di dalam sebagai pelaku
orang ke satu dan dan kadang-kadang di luar cerita sebagai
orang ke tiga.

4. Gaya bahasa
Gaya Bahasa, yaitu cara yang digunakan oleh si pengarang
untuk mengungkapkan maksud dan dan tujuannya baik dalam
bentuk kata, kelompok kata, atau kalimat. Gaya bahasa meliputi;

- 71 -
… Hanik Mahliatussikah …

gaya kata/diksi, frasa atau kelompok kata, dan gaya kalimat


(struktur) atau gaya bahasa. Gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna dibagi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan. Masing-masing gaya bahasa ini memiliki jenis
yang bermacam-macam.
Paparan unsur intrinsik di atas berlaku pada unsur
intrinsik prosa. Adapun pada puisi, unsur instrinsik terdiri atas
bunyi (rima, irama/ qafiyah dan arudh), diksi, dan kalimat atau
gaya bahasa.

B. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari luar. Unsur-unsur ektrinsik yaitu latar belakang
penciptaan adalah kapan karya sastra tersebut diciptakan dan
kondisi masyarakat pada saat karya sastra diciptakan adalah
keadaan masyarakat baik itu ekonomi, sosial, budaya, politik
pada saat karya sastra diciptakan.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar
aspek sastra, yang ikut membangun penyusunan suatu karya
sastra. Unsur-unsur luar ini meliputi:
1. Nilai-nilai dalam cerita (agama, budaya, politik, ekonomi);
2. Latar belakang kehidupan pengarang; dan
3. Situasi sosial ketika cerita itu diciptakan.
Teori aspek ekstrinsik ini akan dibahas satu persatu pada
bab-bab berikutnya.

IV. Rangkuman
1. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari dalam. Unsur intrinsik terdiri dari tema,
amanat, alur, latar/setting dan sudut pandang serta
penggunaan gaya bahasa.
2. Sedangkan Unsur ekstrinsik adalah unsur yang
membangun karya sastra dari luar. karya sastra diciptakan

- 72 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

adalah keadaan masyarakat baik itu ekonomi, sosial,


budaya, politik pada saat karya sastra diciptakan.
3. Unsur pembangun prosa terdiri atas struktur dalam atau
unsur intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik.
Adapun unsur intrinsik prosa terdiri tema, amanat, alur,
latar/setting dan sudut pandang, gaya bahasa.
4. Unsur ekstrinsik berupa segala sesuatu yang menginspirasi
penulisan karya sastra dan mempengaruhi karya sastra
secara keseluruhan. Unsur ekstrinsik ini meliputi: latar
belakang kehidupan penulis, keyakinan dan pandangan
hidup penulis, adat istiadat yang berlaku pada saat itu,
situasi politik (persoalan sejarah), ekonomi, dsb.

- 73 -
… Hanik Mahliatussikah …

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cet. IV.


Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Amir Fuady. 1985. Kesusastraan. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Dick Hartoko. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:Gramedia
Widiasarana Indonesia
Endraswara, Suwandi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra, Epis-
temologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Jogyakarta: Pustaka
Widyatama
Esten, Mursal.1992. Apresiasi Sastra. Padang:Angkasa
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muham-
madiyah University Press
Herman J. Waluyo. 2006. Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret .
Jakob Sumarjo. 1983. Memahami Kesusastraan. Bandung:Alumni
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:Pt Gramedia
Pustaka Utama
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diter-
jemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pradotokusumo, Partini Sarjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta:
Gramedia
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti. A. Suminto. 1985. Sastra dan Pengajarannya. Semarang:
Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT.
Grasindo
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Jogyakarta: Pustaka Pelajar

- 74 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Sugihastuti, 2007. Teori Apresiasi Sastra. Jogjakarta: Pustaka


Pelajar
Sumarjo, Jakop dan Saini, K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henry, Guntur, 1983. Prinsip – Prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.

- 75 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Unsur yang membangun karya sastra dari dalam merupa-
kan unsur?
2. Buatlah peta konsep yang meliputi unsur-unsur intrinsik?
3. Buatlah contoh cerita dengan pelaku utama sudut pandang
orang petama!
4. Bagaimana cara Si pengarang menyampaikan amanatnya?
5. Apa yang dimaksud unsur ekstrinsik, berikan contohnya!
6. Jelaskan macam-macam penokohan!
7. Jika dilihat dari pengertiannya, apakah tokoh dan penokoh-
an memiliki kesamaan?
8. Ada banyak cara untuk menggali penggambaran karakter,
secara garis besar karakterisasi ditinjau melalui dua cara
yaitu secara naratif dan dramatik. Menurut anda cara
manakah yang sulit dilakukan pengarang?
9. Penulis biasa memilih kata-kata yang dipakainya sedemi-
kian rupa sehingga segala pesannya sampai kepada pem-
baca. Selain itu, teknik penggunaan bahasa yang baik juga
membuat tulisan menjadi indah dan mudah dikenang. Be-
narkah tulisan yang indah itu lebih mudah dalam menyam-
paikan pesan kepada pembaca? Jelaskan alasan saudara!
10. Carilah bersama teman sekelompokmu satu contoh novel
dan kajilah berdasarkan unsur-unsur intrinsiknya, kemudi-
an paparkan hasilnya kepada kelompok lain.

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 76 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

BAB Teori & Metode


____ 6 Analisis
Struktural

I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan sekilas tentang teori dan
metode analisis struktural dengan runtut dan rinci agar mudah
dipahami. Di samping itu, terdapat rangkuman dan latihan
yang dapat membantu mahasiswa belajar.

II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang teori dan
metode analisis struktural, akan dijelaskan pada bab berikutnya
tentang teori dan metode analisis semiotik. Analisis semiotik
merupakan kelanjutan dari analisis struktural. Analisis struktural

- 77 -
… Hanik Mahliatussikah …

berfokus pada unsur intrinsik karya sastra. Adapun analisis


semiotic sudah mulai memperhatikan aspek di luar teks, yaitu
pembaca. Analisis semiotik menganggap bahasa merupakan
tanda-tanda yang bermakna.

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang teori dan metode
analisis struktural pada prosa yang terdiri atas kajian tema,
tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya
bahasa.

A. Orientasi Sastra Menurut Abrams


Terdapat banyak ragam teori yang dapat diterapkan
dalam menganalisis karya sastra, baik sastra Arab maupun
sastra Barat. Sastra bersifat universal sehingga teori yang
digunakan untuk menganalisispun bersifat universal pula.
Artinya teori itu dapat diterapkan untuk menganalisis karya
sastra dari berbagai bahasa di dunia.
Menurut Abrams, terdapat 4 orientasi kritik sastra, yaitu:
mimetik, pragmatik, ekspresif, dan obyektif. Beberapa penjelasan
mengenai hal tersebut.

1. Orientasi Mimetik
Orientasi ini menitikberatkan pada semesta. Istilah
mimetik berasal dari Yunani mimesis yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara karya seni dan kenyataan. Semakin
karya itu mirip dengan kenyataan, maka semakin bernilailah
karya itu menurut orientasi mimetik.

2. Orientasi Pragmatik
Secara pragmatik degresi yang bernuansa pendidikan
tidak menjadi masalah karena tujuan utama kritik pragmatik
- 78 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

adalah untuk mendidik pembaca. Adapun peniruan pada alam


itu hanya merupakan alat agar pendidikan itu dapat meresap
ke dalam hati pembaca.

3. Kritik ekspresif
Berdasarkan orientasi ekspresif, karya sastra merupakan
pikiran, perasaan, riwayat hidup pengarang. Orientasi ekspresif
muncul pada zaman romantik. kritik ini muncul sekitar abad
17-19. Karya sastra menurut pandangan ini merupakan luapan
perasaan pengarang dan biografi pengarang (aliran romantik).
Aliran ini berpendapat bahwa karya sastra yang bukan merupa-
kan luapan perasaan pengarang merupakan sampah. Sastrawan
romantisme mengutamakan curahan perasaan.
Kemudian di Eropa setelah perang dunia I muncul aliran
realisme yang berdasar pada kehidupan nyata, yaitu melukis-
kan kehidupan masyarakat sebagaimana adanya. Karya sastra
menurut pandangan realisme adalah untuk memperbaiki keadaan
masyarakat yaitu dengan mengkritik hal-hal yang tidak baik
yang terjadi di masyarakat pada saat itu.
Ketika muncul aliran realisme di Eropa maka di Indonesia
baru muncul aliran romantik ini (baru muncul tahun 30-40-an
dan di Eropa sudah berganti dengan aliran realisme). Aliran
romantisme itu baru muncul kemudian karena para sastrawan
Indonesia beru mengenal aliran tersebut. Di Belanda, sastra
romantik baru muncul tahun 1980-an.

4. Orientasi Objektif
Teori objektif muncul di Indonesia tahun 1970-an yang
mementingkan struktur dalam teks. Struktur terdiri atas unsur-
unsur yang saling terkait satu sama lain.

B. Prinsip Strukturalisme
Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang
tak bisa lepas dari apek-aspek linguistik. Sejak jaman Yunani,
- 79 -
… Hanik Mahliatussikah …

Aristoteles telah mengenalkan strukturalisme dengan konsep


wholeness, unit, complexity dan coherence. Hal ini merepresen-
tasikan bahwa keutuhan makna bergantung pada koherensi
keseluruhan unsur sastra. Keseluruhan sangat berharga di-
bandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena masing-masing
unsur memiliki pertautan dibandingkan unsur yang berdiri
sendiri. Karena masing-masing unsur memiliki pertautan yang
membentuk sistem makna. Setiap unit struktur teks sastra
hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan
struktur lainnya. Hubungan tersebut dapat berupa pararelisme,
pertentangan, inversi dan kesetaraan. Yang terpenting adalah
bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan makna
secara keseluruhan. Sebagai contoh, kata manis baru bermakna
lengkap ketika dipertentangkan dengan kata pahit. Ini berarti
bahwa struktur sastra memiliki fungsi.
Menurut Jean Peaget (Hawkes, 1978:16) Strukturalisme
mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan
(wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya
menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrisik yang
menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagian-
nya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur
itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus
memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga,
keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memer-
lukan hal-hal diluar dirinya untuk mempertahankan prosedur
trransformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem
lain.
Paham strukturalis, secara langsung maupun tidak
langsung sebenarnya telah menganut paham penulis Paris yang
dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Paham ini
mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi)
atau seperti yang dikemukakan Luxemburg (1989) tentang

- 80 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

signifiant-signifie dan paradigma-syntagma. Kedua unsur itru


selalu berhubungan dan merajut makna secara keseluruhan.
Karenanya, kedua unsur penting ini tak dapat dipisahkan
dalam penafsiran sastra.

C. Teori Struktural (‫)اﻟﻨﻈﺮﯾﺔ اﻟﺘﺮﻛﯿﺒﯿﺔ‬


Analisis struktural yang biasa digunakan dalam
menganalisis karya sastra adalah analisis struktural yang
berfokus pada teks itu sendiri, berfokus pada aspek formal
karya sastra. Dari aspek formal itu kemudian diketahui hu-
bungan antarunsur karya sastra. Karya sastra merupakan
struktur yang tersusun dari lapis-lapis norma yang saling
berjalinan. Karya sastra merupakan struktur dan merupakan
sistem tanda yang bermakna dengan menggunakan medium
bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama. Analisis struk-
tural bertujuan untuk mengungkap dan memaparkan dengan
cermat dan teliti mengenai hubungan dan jalinan antar unsur
dalam membentuk kesatuan karya sastra yang menghasilkan
makna yang utuh dan padu.
Robert Stanton dalam bukunya An Introduction to Fiction
pada chapter 2 mengemukakan bagaimana membaca fiksi How
to Read A Fiction. Dalam bab ini Stanton menjelaskan aspek
struktural dalam karya fiksi yang meliputi tiga kategori yang
merupakan unsur intrinsik, yaitu (1) fakta cerita, (2) tema dan
(3) sarana cerita. Yang termasuk dalam kategori fakta cerita
adalah tokoh (characters), alur (plot), dan latar (setting) dan yang
termasuk sarana cerita adalah konflik, klimaks, sudut pandang,
nada dan gaya.
Terdapat pula kajian strukturalisme yang berfokus pada
lapis norma karya sastra sebagaimana dikemukakan oleh
Roman Ingarden dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk
(1931) dengan metode fenomenologi Edmond Husserl. Lapis

- 81 -
… Hanik Mahliatussikah …

norma ini biasanya digunakan untuk menganalisis puisi. Lapis


norma yang dimaksud meliputi (a) lapis bunyi yang mem-
punyai arti berdasarkan konvensi bahasa yang mendasari
timbulnya lapis arti, (b) lapis arti yang berupa rangkaian
fonem, suku kata dan kelompok kata dan kalimat, (c) lapis
dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak
perlu dinyatakan secara eksplisit karena sudah terkandung di
dalamnya, (d) lapis metafisik, yaitu sifat-sifat metafisik yang
sublim, tragis, mengerikan dan menakutkan dan yang suci.
Dengan sifat-sifat ini karya sastra dapat memberikan renungan
(kontemplasi) kepada pembaca.
Teori struktural dalam sebuah novel terkait dengan aspek
intrinsik novel. Unsur-unsur intrinsik novel terdiri dari (a)
tema, (b) fakta cerita dan (c) sarana cerita. Tema adalah dasar
cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel yang telah
ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan
untuk mengembangkan cerita.
Menurut tingkat keutamaannya, tema dibagi menjadi dua
yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema
pokok cerita, artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar
atau gagasan dasar umum novel. Adapun tema minor adalah
makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita.
Fakta cerita meliputi plot, tokoh dan penokohan serta
latar/setting. Menurut Stanton (1965), plot adalah cerita yang
berisi urutan kejadian yang mempunyai hubungan kausalitas
(dalam Nurgiyantoro, 1995). Plot merupakan dasar pembicara-
an cerita dan cerita merupakan dasar pembicaraan plot. Plot
dan cerita tidak dapat dipisahkan. Tahapan plot terdiri atas
tahap awal (perkenalan), tahap tengah (tahap konflik/tahap
penampilan klimak) dan tahap akhir (tahap peleraian/
penyelesaian cerita). Ada dua tahap dalam tahap terakhir ini
yaitu happy end dan sad end.

- 82 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan


menjadi dua yaitu kronologis (plot lurus, maju, progresif) dan
tak kronologis (sorot balik, mundur, flash back, regerif).
Adapun tokoh cerita menurut Abrams (1981) adalah
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif. Penokohan
menunjuk pada sifat dan sikap dan kualitas pribadi seorang
tokoh. Ditinjau dari tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah
cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh utama (central character,
main charakter) dan tokoh tambahan (peripheral character).
Ditinjau dari perannya, tokoh dibedakan menjadi dua yaitu
tokoh protagonis (yang dikagumi) dan tokoh antagonis (yang
biasanya bertentangan dengan tokoh protagonis).
Sarana cerita meliputi sudut pandang penceritaan dan
gaya bahasa. Sudut pandang (point of view) merupakan cara,
strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang
untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya (Nurgiyantoro,
1995). Gaya bahasa (style) adalah cara pengucapan bahasa
dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkap-
kan sesuatu yang akan dikemukakan. Gaya bahasa pada hake-
katnya merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan
yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan.
Menurut Abrams (1981), unsur style terdiri dari fonologi,
sintaksis, leksikal, retorika. Di pihak lain, leech and short (1981
dalam Nurgiyantoro, 1995) mengemukakan unsur style terdiri
dari leksikal (diksi), gramatikal (struktur kalimat), pemajasan
(gaya bahasa kiasan), penyiasatan struktur (repetisi, parale-
lisme, anafora, pertanyaan retoris) dan pencitraan (imagery)
yaitu kumpulan cerita yang dipergunakan untuk melukiskan
obyek dan kualitas tanggapan indra yang dipergunakan dalam
karya sastra.
Unsur tema, fakta cerita dan sarana cerita saling terkait
dalam membangun sebuah cerita dan tak dapat dipisahkan

- 83 -
… Hanik Mahliatussikah …

satu sama lain. Oleh karena itu pengkajiannya pun akan selalu
terpadu dan saling berhubungan.
Unsur-unsur prosa meliputi: tema, peristiwa atau ke-
jadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alur atau
plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Adapun unsur-unsur
puisi meliputi: tema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau
daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau
pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur
drama meliputi tema, dialog, peristiwa atau kejadian, latar atau
seting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, dan gaya
bahasa.

D. Unsur-unsur Struktur Prosa


1. Tema
Istilah tema sering disamakan dengan pengertian masalah,
padahal kedua istilah itu berbeda pengertian. Masalah merupa-
kan sarana untuk membangun tema sehingga timbul beberapa
maslah yang mendukung tema. Tema selalu berkaitan dengan
masalah.
Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (yang diper-
cakapkan) yang dipakai sebagai dasar mengarang, mengubah
sajak, dan sebagainya (Moeliono dkk, 1990:921). Tema adalah
makna cerita, gagasan sentral atau pikiran utama yang
mendasari kasya sastra (Sudjiman,1988: 50). Tema merupakan
arti atau ide pusat yang menghubungkan unsure-unsur lain
dalam cerita (Stanton, 1965: 4). Tema merupakan ide sentral
atau pokok dalam karya sastra (Holman, 1981: 443).
Dari beberapa pengertian tema di atas, dapat disimpul-
kan bahwa tema merupakan dasar cerita, gagasan sentral, atau
ide pokok yang mendasari karya sastra dan menghubungkan
unsur-unsur lain dalam keseluruhan cerita. Tema merupakan
unsur penting tatapi tidak boleh dianggap sebagai unsur yang
melebihi unsur-unsur lain. Tema dapat menjadi faktor yang
- 84 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

mempersatukan pelbagai unsur yang bersama-sama membangun


karya sastra dan menjadi notif tindakan tokoh (Sudjiman, 1988:
51).
Kriteria menentukan tema, menurut Esten (1985:6) dida-
sarkan pada tiga cara penentuan. Pertama, permaslahan mana
yang paling menonjol dalam sebuah cerita. Kedua, secara
kuantitatif, permasalahan mana yang paling banyak menim-
bulkan konflik, yaitu konflik yang melahirkan peristiwa-
peristiwa dalam sebuah cerita. Ketiga, menentukan (menghitung)
waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk men-
ceritakan peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh di dalam cerita.
Menurut tingkat keutamaannya, tema dibagi menjadi dua
yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah tema
pokok cerita, artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar
atau gagasan dasar umum novel. Adapun tema minor adalah
makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita
(Nurgiyantoro, 1995).

2. Tokoh dan penokohan


Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami
peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam
cerita. Tokoh cerita biasanya berwujud manusia, tetapi dpat
juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan (Sudjiman,
1988: 16). Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dan drama adalah
manusia sehingga tokoh-tokoh tersebut haruslah seperti
manusia (Abrams, 1957:21).
Menurut Hudson (1955: 191), tokoh terdiri atas perasaan,
kemauan, nafsu dan hidup dalam lingkungan manusia serta
dapat dipertanggungjawabkan dari sudut psikologis.
Wellek dan Warren (1989: 287) mengemukakan bahwa
untuk dapat menerangkan watak tokoh adalah dengan jalan
memahami keadaan jasmani dan rohani tokoh tersebut. Ada
cara yang paling sederhana untuk menggambarkan watak
- 85 -
… Hanik Mahliatussikah …

adalah dengan memberi nama.


Dalam kaitannya dengan jenis tokoh, Stanton (1965: 17)
mengemukakan bahwa pada dasarnya ada dua jenis tokoh
dalam karya sastra prosa, yaitu tokoh utama dan tokoh
bawahan. Tokoh utama merupakan tokoh yang selalu ada dan
relevan dalam setiap peristiwa dalam cerita. Tokoh bawahan,
menurut Grimes (dalam Sudjiman, 1988: 19), merupakan tokoh
yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi
kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau men-
dukung tokoh utama. Kedua tokoh tersebut mempunyai peran
yang sama penting. Perbedaannya, tokoh utama lebih banyak
berhubungan dengan masalah cerita, lebih banyak melakukan
hubungan dengan tokoh lain, dan lebih banyak memerlukan
waktu penceritaan.
Tokoh utama (Sudjiman, 1991: 18-19) terdiri dari tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah
tokoh yang memegang peran pimpinan di dalam cerita. Menurut
Panuti Sudjiman, penentuan tokoh protagonis didasarkan pada
kriteria sebagai berikut:
Pertama, tokoh yang paling tinggi intensitas keterlibatan-
nya di dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.
Waktu yang digunakan untuk menceritakan pengalaman tokoh
protagonis lebih banyak dibandingkan waktu yang diperlukan
untuk mengisahkan tokoh-tokoh lain.
Kedua, tokoh protagonis berhubungan dengan semua
tokoh yang ada dalam cerita, sedangkan tokoh-tokoh lain tidak
saling berhubungan. Adapun tokoh yang merupakan penentang
utama dari tokoh protagonis, disebut Panuti Sudjiman, 1991:
19).
Adapun watak atau penokohan harus dilihat dari tiga
dimensi sebagai struktur pokoknya. Ketiga dimensi itu adalah
dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psikologis.

- 86 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Selanjutnya dijelaskan bahwa dimensi fisiologis meliputi jenis


kelamin, umur, tinggi badan, berat badan, warna kulit, rambut,
postur tubuh, penampilan, dan cacat-cacat tubuh. Dimensi
sosiologis meliputi golongan masyarakat, pekerjaan, pendidikan,
agama, suku bangsa, tempat tinggal, kedudukan dalam masya-
rakat, afiliansi politik dan hobi. Dimensi psikologis meliputi
moral, ambisi pribadi, temperamen, sikap hidup, pikiran dan
perasaan, tanggung jawab dan tingkat kecerdasan.
Forster (1971: 56) juga mengatakan bahwa tokoh dapat
berwatak datar/pipih (flat character) ataupun berwatak bulat
(round character). Tokoh yang berwatak datar hanya disoroti
satu dari wataknya, sedangkan tokoh berwatak bulat diungkap
berbagai sisi wataknya. Tokoh berwatak bulat diungkap sisi
baik maupun sisi buruknya sehingga ia tidak selalu terampil
dengan watak yang selalu baik atau buruk. Tokoh berwatak
datas hanya ditonjolkan salah satu sisi wataknya saja sehingga
ia akan tampak sebagai tokoh yang berwatak baik buruk.
Tokoh-tokoh adalah rekaan pengarang. Oleh karena itu,
tokoh-tokoh itu harus diperkenalkan agar wataknya juga
dikenal pembaca. Untuk menampilkan tokoh diperlukan teknik.
Ada beberapa teknik penyajian watak tokoh atau metode
penokohan S. Tasrif S.H (Lubis, 1978:11) memaparkan cara
melukiskan rupa, watak, dan pribadi tokoh: yaitu sebagai
berikut:
1- Physical description, merupakan penokohan dengan cara
melukiskan bentuk lahir dari tokoh secara langsung
2- Portrayal of thought or streams of consius thought, merupakan
penokohan dengan cara melukiskan jalan pikiran tokoh
atau apa yang melintas dalam pikirannya. Dengan jalan
itu pembaca dapat mengetahui bagaimana watak tokoh.
3- Reaction to evens, yaitu penokohan dengan cara menggam-
barkan bagaimana watak tokoh.

- 87 -
… Hanik Mahliatussikah …

4- Direct author analysis, merupakan penokohan dengan cara


menganalisis watak tokoh secara langsung
5- Discussion of environment, merupakan penokohan dengan
cara melukiskan keadaan sekitar tokoh. Keadaan sekitar
tokoh dapat memberikan gambaran mengenai watak
tokoh.
6- Reaction of others to character, yaitu penokohan dengan
cara menghadirkan pandangan-pandangan tokoh lain
dalam suatu cerita terhadap tokoh utama itu.
7- Conversation of others character, merupakan cara penokoh-
an dengan menghadirkan perbincangan tokoh-tokoh lain
yang memperbincangkan tokoh utama. Secara tidaklang-
sung pembaca mendapat kesan tentang segala sesuatu
mengenai tokoh lain.

3. Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang disusun secara
logis dan kronologis, saling bait dan yang diakibatkan atau
dialami oleh para pelaku. Luxemburg (1992:149) menyatakan
bahwa hubungan peristiwa hendaknya bersifat logis dalam
jalinan kausal.
Menurut Moeliono dkk (1990:24), alur adalah (a) rang-
kaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama dan
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan
selesaian, (b) jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu (pautannya dapat diwujudkan oleh
hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau
sebab akibat.
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang bersebab
akibat (Forster, 1971:72). Sejalan dengan hal tersebut, Nurgi-
yantoro (1995: 141-142) bahwa alur sebuah cerita, bagaimana-
pun juga, tentu mengandung urutan waktu, baik dikenukakan
secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam
- 88 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

sebuah cerita ada peristiwa yang dapat dikatakan sebagai


peristiwa awal, peritiwa lanjutan, dan peristiwa akhir. Tahap
awal cerita tidak harus selalu berada di awal cerita.
Tahap-tahap perkembangan alur secara rinci dikemuka-
kan oleh Tasrif (Lubis, 1978: 10). Menurut Tasrif struktur alur
terdiri dari lima bagian sebagai berikut:
1. Situation merupakan penggambaran suatu keadaan
2. Generating Circumstances, merupakan bagian yang me-
nunjukkan peristiwa-peristiwa yang tersebab akibat
mulai bergerak
3. Rising action adalah bagian yang memperlihatkan
peristiwa-peristiwa yang mulai memuncak
4. Climax merupakan bagian alur yang memperlihatkan
puncak dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sejak
dari bagian situation.
5. Denoument adalah bagian alur yang ditandai oleh adanya
pemecahan soal dari semua peristiwa.

Dalam menyusun kelima bagian tersebut ada ber-macam-


macam cara. Ada alur lurus (peristiwa-peristiwa yang berhu-
bungan sebab akibat itu disusun secara berurutan dari pertama
sampai kelima). Selain hal itu, ada beberapa teknik pengaluran,
yaitu backtracking (menoleh kembali), suspense (tegangan), dan
foreshadowing (membayangkan sesuatu).
Prihatmi (1977:11) mengibaratkan flashback seperti sorotan
lampu senter. Sebagimana sebuah sorotan lampu senter,
flashback, tidak dapat bertahan dalam waktu lama, tetapi
dengan lincah menyorot ke ruang dan waktu yang berlainan
secara bergantian dan seperlunya.
Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot harus
terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap awal, tahap tengah, dan
tahap akhir (Abrams, 1981). Tahap awal biasa disebut tahap
perkenalan (misalnya menyangkut latar atau tokoh). Fungsinya
- 89 -
… Hanik Mahliatussikah …

adalah memberikan informasi tentang sesuatu yang nantinya


berkaitan dengan plot. Tahap tengah disebut sebagai tahap
pertikaian; menampilkan pertikaian dan atau konflik yang
mulai dimunculkan sebelumnya menjadi meningkat. Dalam
tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik
utama telah mencapai titik integritas tertinggi. Tahap akhir atau
tahap peleraian menampilkan peristiwa tertentu sebagai akibat
klimaks. Jadi bagian ini, misalnya, berisi kesudahan atau akhir
cerita.
Alur juga dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria,
yaitu (1) kriteria urutan waktu, (2) kriteria jumlah, (3) kriteria
isi, dan (4) kriteria kepadatan.
(1) Berdasarkan kriteria urutan waktu, alur dibedakan menjadi
kronologis dan tidak kronologis. Alur kronologis sering
disebut alur lurus, maju, atau progresif; A---B---C---D---E.
Alur tidak kronologis disebut alur sorot baik atau regresif;
D1---A---B---A---D2---E.
(2) Berdasarkan kriteria jumlah, alur dibedakan menjadi alur
unggal dan alur subplot. Subplot hanya merupakan bagaian
dari alur utama. Ia berisi cerita kedua yang memperjelas
dan memperluas pandangan pembaca terhadap alur utama
dan mendukung efek keseluruhan cerita (Abrams, (1981).
Saleh Saad mengemukakan bahwa secara kuantitatif alur
dapat dibedakan menjadi (a) alur tunggal dan (b) alur
ganda. Dalam alur tunggal hanya ada satu alur saja,
sedangkan dalam alur ganda terdapat lebih dari satu alur.
(3) Berdasarkan kriteria isi, alur dibedakan menjadi (a) alur
peruntungan, yang berkaitan dengan nasib tokoh, meliputi:
alur gerak, alur sedih, alur tragic, alur penghukuman, alur
sentimental, dan alur kekaguman; (b) alur tokohan, berkait
erat dengan sifat pementingan tokoh, meliptui: alur
pendewasaan, alur pembentukan, alur pengujian, dan alur

- 90 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

kemunduran; (c) alur pemikiran, menekankan pemikiran


dalam cerita, meliputi: alur pendidikan, alur efektif, alur
pembukaan rahasia, dan alur kekecewaan. Pembagian ini
bersifat teoritik dan terlihat tumpah tindih.
(4) Berdasarkan kriteria kepadatan, alur dibedakan menjadi
alur padat atau alur longgar. Dalam alur padat, peristiwa-
peristiwa yang erat hubungannya dan fungsional, sedangkan
dalam alur longgar fungsi hubungan antarperistiwa
longgar sehingga memungkinkan disisipi cerita lain yang
disebut digresi. Digresi adalah peristiwa yang menyimpang,
penyimpangan dari tema pokok, sekadar utnuk memper-
lancar cerita dengan unsur-unsur yang tidak langsung
berkaitan dengan tema (Hartoko dan Rohmanto dalam
Sugihastuti, 2002)

4. Latar
Menurut Stanton (1965: 9) latar merupakan suatu ling-
kungan terjadinya peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita.
Bagian-bagian latar merupakan latar belakang yang nyata
seperti kafe, gunung-gunung, dan jalan buntu. Dijelaskannya
pula bahwa latar berupa waktu, hari, tanggal dan keadaan
cuaca.
Sumardjo (1994: 12) berpendapat bahwa latar bukan
berarti tempat atau local saja, melainkan daerah dengan segala
watak kehidupannya. Misalnya Jakarta di waktu damai dengan
Jakarta di waktu perang harus dinilai dua latar yang berbeda.
Sudjiman (1988: 46) mengatakan bahwa segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan
susunan terjadinya peristiwa dalam karya sastra membangun
latar cerita.
Abrams (1957: 157) mengemukakan bahwa latar cerita
fiksi atau drama menunjukkan perhatian pada tempat masa
secara umum dan periode sejarah dari peristiwa yang terjadi.
- 91 -
… Hanik Mahliatussikah …

Pradopo (dalam Abdullah, 1979-1980: 57) merinci latar


sebagai berikut:
a) Tempat, baik tempat di luar rumah atau di dalam
rumah yang melingkupi pelaku atau tempat terjadinya
peristiwa ataupun seluruh cerita.
b) Lingkungan kehidupan, berhubungan dengan tempat
adalah lingkungan kehidupan atau lingkungan peker-
jaan. Misalnya lingkungan sekolah, lingkungan pabrik,
lingkungan ketentaraan, dan sebagainnya.
c) Sistem kehidupan; tiap-tiap lingkungan mempunyai
sistem sendiri-sendiri. Misalnya lingkungan pabrik
mempunyai sistem sendiri yang berbeda dengan sistem
di lingkungan sekolah.
d) Alat-alat atau benda-benda yang berhubungan dengan
kehidupan atau lingkungan kehidupan. Misalnya,
pabrik gula mempunyai mesin-mesin penggiling, lori
dan sebagainya.
e) Waktu terjadinya peristiwa. Ini dapat berupa bagian
dari hari, tahun atau periode sejarah. Misalnya pagi,
siang, sore, musim kemarau, musim penghujan, Agustus
dan lain-lain. Waktu berpengaruh besar terhadap
peristiwa, adat istiadat, atau corak kehidupan. Waktu
sangat penting, bahkan waktu merupakan faktor yang
tidak dapat dihindarkan dalam cerita, baik lisan mau-
pun tulisan. Jika waktu dihilangkan dari cerita, akan
mengakibatkan kekacauan-kekacauan bagi pembaca.
Supaya tidak kacau maka waktu sebuah peristiwa atau
kejadian dalam berita dan jarak di antara kejadian
harus dijaga dengan terang dalam pikiran pembaca.
Saad (dalam Ali, 1967: 125) mengatakan bahwa latar
erat hubungannya dengan tokoh dan peristiwa selalu
terlihat dalam ruang dan waktu.

- 92 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Menurut Holtman (1981: 413) unsur-unsur yang mem-


bangun latar adalah: (1) lokasi geografis, pemandangan
tipografi, dan penataan secara fisik seperti jendela dan pintu
dalam suatu ruangan; (2) pekerjaan dan gaya keseharian atau
kehidupan pokok; (3) waktu atau periode pada saat peristiwa
terjadi, misalnya jangka waktu sejarah atau musim pada suatu
tahun; (4) lingkungan umum tokoh-tokohnya, misalnya agama,
metal, moral dan kondisi emosional.
Dari beberapa pengertian di atas, Nurgiyantoro (1995:
227) menyimpulkan jenis latar terdiri atas latar tempat, latar
waktu, dan latar sosial. Ketiga jenis latar ini memaparkan
permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan
sendiri-sendiri, tetapi pada kenyataannya saling berkait dan
saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Latar berguna untuk menghidupkan cerita. Latar/setting
sering disuguhkan dengan maksud untuk menciptakan suasana
yang layak, menghidupkan cerita, atau memperbesar kejiwaan
sebuah cerita. Latar berfungsi juga untuk memberikan warna
atau corak watak tokoh-tokoh dalam cerita.
Panuti Sudjiman (1988: 47) menjelaskan bahwa latar
memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana
adanya. Selain itu, ada latar yang berfungsi sebagai proyeksi
keadaan batin para tokoh; latar menjadi metaphor dari keadaan
emosional dan spiritual tokoh. Latar yang bergungsi sebagai
metaphor dapat menciptakan suasana hidup dalm cerita.
Wellek (1989: 291) mengatakan bahwa latar juga mengeks-
presikan watak. Keadaan dalam rumah tangga atau kamar
seorang tokoh dapat dipandang sebagai metonemia atau
metafora, pengekspresian watak. Rumah seseorang adalah
perluasan diri sendiri. Keadaan seorang tokoh dapat menun-
jukkan keadaan atau suasana tokoh; juga dapat menunjukkan
pekerjaannya. Misalnya, keadaan kamar seorang tokoh kacau

- 93 -
… Hanik Mahliatussikah …

atau tidak teratur. Hal ini dapat menunjukkan bahwa si tokoh


sedang atau sedang kacau pikirannya atau ia seorang yang
jorok dan malas. Barang-barang di sekitar tokoh juga dapat
menunjukkan pekerjaan atau kedudukannya; misalnya maha-
siswa, guru, atau pegawai.
Latar mungkin juga menunjukkan ekspresi kemauan
seseorang. Misalnya gambaran alam yang indah menujukkan
hasrat kebebasan dan kecintaan pada alam (tanah air). Antara
alam dan orang ada hubungan yang nyata.

5. Pusat pengisahan
Dalam menceritakan suatu cerita, pengarang dapat
mempergunakan bermacam-macam sudut pandang. Ia dapat
memilih posisi (kedudukan) sebagai orang yang ada di luar
cerita atau juga dapat mengambil kedudukan sebagai tokoh
yang ikut andil dalam ceritanya.
S. Tasrif mengemukakan macam-macam pusat pengisahan
sebagai berikut:
(1) Author Omniscient (orang ketiga). Di sini pengarang
menggunakan kata "dia" untuk pelaku utama, tetapi ia
turut hidup dalam pribadi tokoh.
(2) Author Participant, pengarang turut mengambil bagian
dalam cerita. Ada dua kemungkinan yang bisa ditempuh
dalam cara ini. Pertama, pengarang dapat menjadi pelak
utama dengan mempergunakan bentuk "aku" atau main
character, atau kedua, ia hanya mengambil bagian kecil
saja sebagai pelaku bawahan atau subordinat character.
Ini juga mempergunakan gaya "aku", tetapi bukan
pelaku utama.
(3) Author observer. Pengarang hanya sebagai peninjau;
seolah-olah ia tidak dapat mengetahui jalan pikiran
pelaku. Dengan demikian, ia mengayuh pelaku-pelaku-

- 94 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

nya bercerita, menguraikan pikiran, pandangannya, dan


gerak-geriknya sendiri. Ini juga gaya "dia".
(4) Multiple ialah percampuran gaya "dia" dan gaya "aku"
atau gaya lainnya.
Metode di atas oleh Purwadarminta disebut "metode
dalang".
Pengarang mengetahui segala-galanya tentang pelaku
hingga ia dapat mengerti pikiran-pikiran pelakunya, mengerti
waktu kapan dan di mana pelakunya berada. Seolah-olah
pengarang adalah pelak cerita, baik sebagai pelaku uataa maupun
hanya sebagai tokoh bawahan; bawahan yang menyaksikan
kejadian-kejadian yang kemudian dilaporkan kepada pembaca.
Metode orang pertama mempunyai keuntungan, antara
lain (1) pembaca akan merasa lebih yakin dibandingkan dengan
metode cerita "dia". Sebab, hal-hal yang dikemukakan kelihatan
sebagai pengalaman pelaku sendiri; meskipun "aku" ini
hendaknya jangan dikacaukan dengan aku pengarang, (2)
pembaca dapat mengidentifikasikan dirinya dengan diri pelaku
hingga cerita ini lebih meresap di hati pembaca. Di sini, seolah-
olah hal yang diceritakan oleh "aku" adalah pengalaman "aku"
pembaca sendiri. Pembaca seolah-olah menjadi cerita yang
mengalami cerita itu sendiri dan pikiran yang dikemukakan
seolah pikirannya sendiri.
Wellek (1956: 212) membagi pusat pengisahan menjadi
dua macam, yaitu (1) metode orang pertama disebut metode
"aku" (ich erzahlung) dan (2) metode orang ketiga disebut
metode "dia" (omniscient author).
Dalam metode orang pertama Wellek, pengertian "aku"
tiak boleh dikacaukan dengan penulis. Metode ini memberikan
efek dan tujuan yang bermacam-macam; misalnya metode
orang pertama memberi efek membuat pengarang tidak nyata
karena aku (pengarang) seakan-akan sebagai pusat dari cerita

- 95 -
… Hanik Mahliatussikah …

mereka sendiri. Selain itu, seakan-akan pembaca menjadi satu


dengan si tokoh sehingga pembaca merasa benar-benar
mengalami sendiri kejadian yang ada dalam cerita itu. Metode
orang ketiga menggambarkan bahwa pengarang serba tahu,
maksudnya, pengarang dpat mengetahui semua hal yang
dialami oleh para tokoh cerita.
Wellek (1956: 214) juga mengemukakan dua metode lagi,
yaitu metode romantic ironic dan metode objektif atau
dramatik. Dalam metode romantic ironic pengarang sengaja
memperbesar peranannya sendiri di dalam penderitaannya.
Pengarang juga dapat membeberkan apa saja yang diinginkanya
terhadap tokoh-tokoh cerita. Metode ini menyukai "pemerkosaan"
angan bahwa ini adalah kehidupan, bukan seni. Sebab itu,
pembaca akan memperoleh boneka saja. Pengarang terus-
menerus memperingatkan bahwa cerita itu bukanlah kesusteraan.
Metode di atas biasanya dipergunakan untuk tujuan
memberi nasihat atau untuk dengan langsung mengemukakan
pendapat pengarang kepada pembaca. Sebab itu, pengarang
sering berdialog dengan langsung kepada pembaca atau
bahkan langsung berdialog dengan tokoh cerita.
Metode objektif atau dramatik adlah pengarang ingin
menceritakan secara objektif semua yang dilihat dan didengar-
nya tanpa memasukkan komentar. Metode ini juga disebut
metode artistik.
Sehubungan dengan metode objektif, Wellek (1956: 215)
mengatakan bahwa alat metode objektif adalah percakapan
batin. Hal inilah yang dipakai sebagai alat untuk memper-
kenalkan secara langsung kehidupan bawah sadar para pelaku
tanpa campur tangan pengarang untuk menjelaskan atau
memberi komentar.
Sebagaiamana metode orang pertama di atas, kedua
metode yang dikemukakan Wellek juga mempunyai keuntungan

- 96 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dan keberatan. Dengan metode romantic ironic segala sesuatu


menjadi terang bagi pembaca; pembaca tidak usah meraba-raba
sebab sudah diterangkan oleh pengarang. Akan tetapi, dengan
hal ini cerita menjadi tidak hidup. Seolah-olah pelaku-
pelakunya hanya sebagai boneka yang melakukan segala
kemauan pengarang tanpa kemauan sendiri. Metode objektif
membuat cerita tampak hidup, tetapi sering pembaca tidak
dapat melihat dengan jelas apa yang dimaksudkan.

D. Metode Analisis
Penelitian stuktural akan memandang karya sastra
sebagai sosok yang berdiri sendiri, mengesampingkan unsur
karya sastra. Karya sastra yang dipandang bermutu, manakala
karya sastra mampu menjalin unsur-unsur secara terpadu dan
bermakna. Hubungan antar unsur hendaknya memiliki tujuan
dan bersifat estesis. Dengan demikian aspek bentuk dan isi
merupakan hal yang harus dikedepankan dalam penelitian.
Menurut Endaswara (2003, 52-53) langkah yang dilakukan
seorang peneliti struktural adalah sebagai berikut:
1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre
yang diteliti.
2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat
unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
3. Unsur tema sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum
membahas unsur lain karena tema akan selalu terkait
langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
4. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan
pentingnya keterkaitan antar unsur.
Terdapat beberapa macam model kajian struktur. Peneliti
dapat memilih dari yang tersedia. Misalnya analisis novel
dengan teori struktur E.M. Forster dalam Aspects of the Novel
atau John Maredhit Fitgerald dalam Structuring Young Novel.

- 97 -
… Hanik Mahliatussikah …

Bidang prosa (cerpen) bisa memanfaatkan How to Analyze


Fiction karya Robert Stanton. Bidang puisi dapat menggunakan
buku How to Analyze Poetry karya Christopher Russel Reaske
dan A handbook for the study of Poetry tulisan Lybb Alterbernd.
Sedangkan dalam bidang drama dapat menggunakan How to
Analyze Drama tulisan William Kenney.

E. Contoh Telaah
1. Novel Qalbul Lail karya Najib Mahfudh
Contoh telaah kajian struktural adalah telaah terhadap
novel yang berjudul Qalbul Lail (QL). Qalbul Lail merupakan
karya Najib Mahfudh yang terbit pada tahun 1975. Novel ini
memiliki struktur yang kompleks sehingga memerlukan analisis
untuk memahaminya. Salah satu bentuk analisis yang dapat
diterapkan adalah analisis stuktural.
Berdasarkan analisis struktural, tema pergeseran idiologi
dari idealism menuju realism diperankan oleh tokoh utama
Ja'far dengan dibantu oleh tokoh tambahan Ar-Rawi dan Ibrahim.
Ideologi yang sedang berkuasa sebagai unsur antagonisnya.
Novel ini beralur sorot balik dengan teknik dramatik dan
memanfaatkan variasi retorika sehingga mampu mempeng-
aruhi jiwa pembacanya.
Latar pendidikan pengarang, yaitu sarjana dan master
filsafat yang diperoleh tahun 1930-1936 (Brugman, 1984: 234)
telah berpengaruh dalam penciptaan karya sastra QL. Pengaruh
tersebut tampak pada penggunaan istilah-istilah filsafat seperti
kapitalisme, realism, idealism dan liberalism sera fasisme
dalam novel QL.
Telaah novel ini secara struktural meliputi (1) tema, (2)
tokoh, (3) alur, dan (4) gaya bahasa, kemudian dilanjutkan
dengan (5) hubungan intrinsik antar unsur dalam membangun
cerita QL.

- 98 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

1. Tema
Tema sentral dalam novel ini adalah "pergeseran idiologi
dari idealism menuju realism". Tema pokok ini merupakan
generalisasi dari tema tambahan, yaitu tokoh Ja'far datang ke
pengadilan, tokoh Ja'far ditinggal mati oleh kedua orang
tuannya disaat ia masih kecil, tokoh Ja'far hidup bersama
kakeknya, penolakan Ja'far terhadap perjodohan, Ja'far menikah
dengan Mirwanah, Ja'far ditinggalkan oleh Mirwanah dan
anak-anaknya, Ja'far menikah dengan Huda, keinginan Ja'far
untuk mendirikan partai, Ja'far masuk penjara dan kehidupan
Ja'far sebagai pengemis jalanan setelah keluar dari penjara.
Idealism tokoh Ja'far diawali ketika ia tidak mau dipaksa
kawin dengan putri bangsawan pilihan kakeknya. Ia lebih
memilih harta yang dicintainnya, Mirwanah. Ja'far tidak mau
mendengar nasehat Syakrun, temannya untuk menikah dengan
wanita pilihan kekeknya yang senasab dengannya. Ja'far tidak
mau kembali ke rumah Ar-Rawi meskipun telah ditinggal istri
dan anak-anaknya. Ja'far tetap bersikeras untuk mendirikan
partai baru meskipun telah dilarang oleh keduanya, Huda.
Untuk mempertahankan idealismenya Ja'far tega membunuh
gurunya, Sa'dun Kabir. Ja'far tetap menyebarkan pahamnya
meskipun berada dalam penjara dan meskipun telah menjadi
pengemis jalanan.
Idelialisme Ja'far terbentur dengan realitas yang dihadapi-
nya. Realitas tersebut antara lain dengan kembalinya Ja'far
dalam masyarakat golongan bawah (rakyat jelata). Ja'far hidup
sederhana di sebuah kampung bersama ibunya sebelum ia
hidup mewah di rumah kakeknya. Setelah menikah dengan
Mirwanah ia hidup miskin bahkan kemudian ia ditinggal istri
dan anaknya.
Partai baru yang akan dibentuk menimbulkan konflik
dengan guruya sehingga ia dipenjara karena membunuh

- 99 -
… Hanik Mahliatussikah …

gurunya, Sa'dun Kabir. Setelah keluar dari penjara, Ja'far


mencari anak-anaknya dari Mirwanah istri pertamanya, dan
anak-anak dari Huda, istri kedua, namun tidak menemukan
mereka lagi. Ja'far kembali ke rumah Ar-Rawi, namun istana
kakeknya itu telah menjadi reruntuhan. Akhirnya Ja'far datang
ke pengadilan untuk menuntut haknya sebagai pewaris tunggal
Ar-Rawi. Namun harta itu tidak dapat dimilikinya karena telah
menjadi harta wakaf. Itulah realitas yang harus dihadapi Ja'far.
Sikap idealisme juga diperankan oleh tokoh berpen-
didikan tinggi, Ibrahim yang tidak mau dinikahkan dengan
ayahnya, Ar-Rawi, dengan putri direktur Al-Azhar. Akhirnya
ia dipecat Ar-Rawi, yaitu seorang yang menjadi tokoh agama
dan penguasa yang kaya raya. Dia keluar dari garis
keturunannya yang seharusnya berhak menerima warisan.
Sikap idealism ini juga diperankan oleh tokoh Ar-Rawi, yaitu
yang menolak punya menantu rakyat jelata yang pada
kenyataannya dicintai putranya. A-Rawi juga tidak menerima
kenyataan bahwa cucunya pun mencintai wanita pengembala
kambing.

2. Tokoh dan penokohan


Tokoh utama protagonis dalam novel QL adalah Ja'far
Ibrahim Sayyid AR-Rawi. Ja'far dikategorikan sebagai tokoh
utama protagonist karena dialah tokoh yang paling benyak
keterlibatannya di dalam peristiwa yang membangun cerita.
Ja'far memegang peran pimpinan di dalam cerita.
Watak tokoh utama ini dapat diketahui melalui aspek
psikologis, sosial dan fisiknya. Najib Mahfudh tidak mendes-
kripsikan fisik tokoh secara detil dan lebih mementingkan
deskripsi sosial dan psikis tokoh. Secara fisik, pengarang hanya
menyebut bahwa ketika sudah tua, Ja'far berperawakan kurus,
tatapannya lemah, brewok, berambut putih, dan berbaju kumal.
Secara sosial, tokoh Ja'far digambarkan sebagai tokoh
- 100 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

yang berasal dari golongan masyarakat rendah, rakyat biasa,


hidup bersama ibunya di kampung sampai umur 6 tahun
kemudian berubah menjadi tokoh yang berada dalam golongan
masyarakat atas, golongan bangsawan dan hidup di kalangan
penguasa, di rumah kakeknya Ar-Rawi sampai berumur 20
tahun.
Ketika hidup bersama ibunya, ia sering diajak ke pekuburan
dan tempat-tempat penelaahan ilmu ghaib. Ibunya juga sering
bercerita tentang alam semesta, malaikat, jin, benda-benda mati
dan mayat-mayat. Ketika berada di rumah kakeknya, Ja'far
belajar agama yang belum pernah dikenal sebelumnya, berlatih
shalat dan puasa serta menghafal beberapa ayat Alqur'an,
menghadiri pertemuan ahli agama dan belajar ilmu mantiq di
Al-Azhar.
Setelah menikah dengan Mirwanah, Ja'far kembali menjadi
rakyat biasa dan mendapat uang dari bermain musik, mengajar
dan berkhutbah. Setalah ditinggal oleh Mirwnah, Ja'far menikah
dengan Huda kemudian belajar hukum sampai bergelar doctor
di bidang hukum dan kemudian menjadi pengacara.
Dari sisi psikologis, tokoh Ja'far memiliki idealism dalam
hidup, namun setelah menghadapi berbagai kenyataan dan
pengalaman yang beraneka ragam akhirnya ia berubah menjadi
tokoh realism. Tokoh Ja'far memiliki ambisi untuk mencapai
ambisi yang kuat untuk merealisaikan idealismenya, bahkan
setelah ia di penjara pun dan telah menjadi pengemis jalanan
pun, ia masih berambisi untuk menggapai cita-citanya yang
belum terwujud, yaitu membentuk partai yang berbeda dari yang
telah ada (komunisme, liberalism, farcisme, dan tradisionalisme
agama).
Tokoh Ja'far menawarkan idiologi baru, yaitu suatu
idiologi yang dibangun atas tiga dasar: (a) filsafat yang
menghargai kesucian akal, (b) sosial berdasar pada komunisme

- 101 -
… Hanik Mahliatussikah …

yang menghapus milik pribadi, penghapusan segala bentuk


penindasan. Segala sesuatu pada kebutuhan dan kemampuan,
dan (c) hukum demokrasi yang menghargai kemerdekaan dan
nilai-nilai kemanusiaan. Tokoh Ja'far ingin mendirikan partai
politik baru yang berdasarkan tiga alas an dasar tersebut
sehingga idiologinya mencakup warisan hokum Islam, revolusi
Prancis dan revolusi komunisme (QL: 137).
Tokoh Ja'far adalah tokoh yang berperan sebagai tokoh
idealis (dalam aliran dilsafat berarti tokoh yang mementingkan
ide, pikiran dan jiwa serta mempercayai ketinggian nilai
sintesis) dan kemudian berubah menjadi realis (dalam aliran
filsafat yang termasuk realis adalah yang terkait dengan fisik
materialis) setelah terbentur dengan pelbagai masalah kehidupan
yang menimpanya.
Adapun kekuatan antagonis yang melawan Ja'far adalah
idiologi yang sedang berkuasa, yaitu kapitalisme, sosialisme
komunisme, liberalism, fascisne dan tradisionalisme agama.
Kekuatan antagonis itu diperankan oleh tokoh tambahan
seperti Ar-Rawi, Sa'dun Kabir, sebagai wakil penguasa dan
tokoh agama. Ibrahim, Muhammad Syakrun, Mirwanah dan
Huda sebagai rakyat biasa.
Dari uraian tersebut diketahui bahwa tokoh Ja'far memilki
watak yang bulat, tokoh kompleks dan dinamis, yaitu mengalami
perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan cerita.

3. Alur (plot)
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang disusun secara
logis dan kronologis dan dalam jalinan kausal (Luxemburg,
1992: 149). Alur dalam novel QL adalah sorot bali (flashback).
Dikatakan demikian karena cerita diawali oleh alur yang
seharusnya terletak di paling belakang, yaitu tokoh Ja'far yang
tua renta menuntut harta di pengadilan. Padahal alur itu
- 102 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

seharsunya terletak di paling akhir setelah tokoh ini menceritakan


kisah masa lalunya sejak kecil sampai ia jatuh miskin dan jadi
pengemis jalanan. Dengan demikian alur kisah ini mirip
dengan alur film Titanic. Tokoh Ja'far dlam QL bercerita mulai
tengah malam sampai menjelang fajar kepada tokoh si "aku".
Pada saat bercerita itu, tokoh Ja'far sudah tua renta dan ia
mengenang masa lalunya lewat cerita kepada tokoh "aku" dan
bagaimana perjalanan hidupnya hingga ia menjadi seorang
pengemis jalanan sebagaimana yang disaksikan oleh tokoh
"aku".
Setelah menuntut harta ke pengadilan, tokoh Ja'far
bercerita kepada si "aku" pada suatu malam. Alur cerita diawali
dengan penggambaran kehidupan tokoh Ja''far ketika masih
kecil, kemudian dilanjutkan dengan munculnya pertikaian
antara tokoh Ja'far dan tokoh Ar-Rawi kemudian dengan
istrinya yan pertama Mirwanah yang mengakibatkan keduanya
berpisah. Konflik kemudian memuncak ketika Ja'far berdebat
dengan gurunya Sa'dun Kabir. Klimak dari cerita ini adalah
matinya tokoh Sa'dun Kabir dan sebagai tahap akhir adalah
terpenjaranya tokoh Ja'far sebagai pembunuh.
Tahap akhir dari plot novel QL adalah berpisahnya tokoh
aku dengan Ja'far akibat terdengarnya suara adzan shubuh
yang menandai bahwa malam panjang telah berlalu dan fajar
mulai tiba.
Di samping alur, unsur latar (setting) juga menentukan
perkembangan cerita. Novel QL mengambil latar tempat di
daerah Mesir. Hal ini diketahui melalui penyebutan mata uang
junaih (pound) dan dikaitkan pula dengan latar kehidupan
pengarang.

4. Gaya bahasa
Gaya bahasa dalam novel QL sebagaiamana gaya bahasa
dalam novel secara umum cenderung denotatif. Berbeda halnya
- 103 -
… Hanik Mahliatussikah …

dengan bahasa puisi yan konotatif dan padat. Namun demikian,


pengarang juga memiliki kekhasan tersendiri dalam meng-
ungkapkan gagasannya, di antaranya adalah munculnya cerita
dalam cerita yang bukan merupakan degresi karena mem-
pengaruhi perkembangan alur cerita.
Pengarang lebih memilih teknik drama dalam novel ini
dengan banyak menggunakan model dialog secara langsung
dan tidak menggunakan teknik orang ketiga sebagaimana
wayang dan cerita lainnya. Teknik drama ini justru mampu
membawa pembaca larut dalam suasana cerita pengarang juga
menggunakan kalimat yang bervariasi, dari kalimat performatif
menuju kalimat profositif sehingga melahirkan irama cerita
yang memukau.

2. Roman Azab dan Sengsara karya Merari Siregar


Azab dan sengsara merupakan roman pertama Angkatan
Balai Pustaka. Roman ini merupakan kritik tak langsung yang
dilakukan oleh Merari Siregar terhadap adat dan kebiasaan
yang kurang baik yang terjadi di masa lalu, khususnya di
daerah Tapanuli Sumatera Utara. Adat kawin paksa yang
sering dilakukan oleh kaum tua ditentang oleh Merari Siregar
sebagai subyak kolektif dari kaum muda. Namun roman ini
dan juga roman lain dalam Balai Pustaka cenderung mengalahkan
kaum muda. Hal ini dibuktikan dengan berpisahnya dan tidak
bahagianya pasangan Mariamin dan Aminuddin dalam Azab
dan Sengsara, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri dalam Siti
Nurbaya, Hanafi dan Corri dalam Salah Asuhan.
Kajian unsur intrinsik dilakukan dengan mengkaji aspek
estetik dan aspek ekstra estetik. Kedua aspek ini penting
diketahui untuk memahami aspek intrinsik karya sastra. Aspek
estetik dan ekstra estetik dalam roman ADZ tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Masing-masing saling berhubungan

- 104 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dalam membentuk keseluruhan makna cerita.

Sinopsis
Mariamin dan Aminuddin adalah sepasang kekasih.
Aminuddin adalah saudara sepupu Mariamin. Menurut adat
Tapanuli sebenarnya perkawinan dengan sepupu adalah
perkawinan yang ideal. Namun karena perbedaan status sosial
maka keduanya dipisahkan oleh perkawinan yang dipaksakan
oleh orang tua.
Roman ini diawali dengan kisah Aminuddin yang di
suatu senja minta izin kepada Mariamin bahwa ia akan pergi ke
Deli, Medan untuk mencari pekerjaan. Setelah itu kisah
dilanjutkan dengan persahabatan mereka di waktu masih kecil.
Aminuddin dan Mariamin sering bermain, pergi ke sawah dan
sekolah bersama-sama. Aminuddin lebih tua usianya dibanding
Mariamin. Ketika Mariamin berusia 8 tahun maka Aminuddin
berusia 11 tahun.
Sepulang sekolah Aminuddin sering mampir ke rumah
Mariamin dan bahkan Aminuddin pun sering membantu
keluarga Mariamin dalam mengerjakan sawah karena datu
Baringin ayah Mariamin telah tiada. Kebersamaan mereka
ketika sekolah, bermain dan ke sawah inilah yang akhirnya
memupuk rasa kasih dan cinta di antara keduanya.
Suatu ketika, mereka pergi ke sawah bersama. Karena
asyik berbincang akhirnya mereka pun lupa jika gelap sudah
tiba. Hujan lebat disertai angin kencang dan halilintar pun
datang sehingga mereka tidak bisa langsung pulang di sore itu.
Sambil menunggu hujan reda, keduanya mampir ke gubuk di
tengah-tengah sawah yang luas itu. Aminuddin bercerita
kepada Mariamin untuk melenyapkan ketakutannya pada alam
di sore itu. Aminuddin bercerita tentang seorang wanita yang
tidak pernah puas dengan penghasilannya, bahkan setelah
malaikat merubah hidupnya sesuai dengan yang kehendaknya
- 105 -
… Hanik Mahliatussikah …

pun ia tetap ingin menjadi lebih dari itu. Akhirnya wanita itu
meninggal disambar petir akibat ketidakpuasan dengan
apapun nikmat yang diberikan kepadanya.
Ketika keduanya mendengar suara tabuh yang
menandakan maghrib sudah tiba, keduanya bersepakat untuk
pulang dengan melewati sungai yang sedang banjir. Ketika
Mariamin menyeberang maka terpelesetlah kakinya dan jatuh
ke sungai yang banjir itu. Aminuddin menyelami sungai itu
dan menangkap Mariamin yang terapung-apung di sungai dan
akhirnya Aminuddin berhasi membawa Mariamin keluar dari
bahaya besar itu.
Setelah empat belas hari lamanya Mariamin sakit maka
kemudian ia sudah bisa ke sekolah lagi. Sejak peristiwa itu,
hubungan mereka bertambah akrab dan Mariamin pun merasa
berhutang nyawa dengan Aminuddin yang telah menyelamat-
kannya dari bahaya banjir itu.
Kisah dilanjutkan dengan cerita keluarga Mariamin
ketika ayahnya, Sutan Baringin (Tohir) masih hidup. Sutan
Baringin termasuk orang kaya di antara penduduk sipirok.
Namun ia memiliki perilaku yang tidak baik, tidak meng-
hormati istri, tinggi hati, pemarah, pemalas dan pemboros serta
tidak mendengar nasehat istri. Ia juga tidak mau membagi
harta warisan kepada adik kandungnya. Karena ketamakan-
nya itu, Sutan Baringin ingin memiliki seluruh harta yang
seharusnya dibagi bersama adiknya. Adik Sutan Baringin amat
baik budinya dan sangat sayang kepada kakaknya. Namun
karena Sutan Baringin membalasnya dengan air toba maka
akhirnya iapun menuntut harta bagiannya.
Sutan Baringin mempertahankan harta itu di pengadilan
hingga habislah harta itu untuk alat memenangkan perkara di
pengadilan. Sutan Baringin kalah dan hartapun telah habis dan
iapun akhirnya meninggal duani dengan meninggalkan

- 106 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Mariamin dan ibunya, Nuria dalam kondisi melarat.


Suatu ketika ibu Mariamin mengatakan kepada anaknya
bahwa ia kini tidak sepantasnya berharap banyak kepada
Aminuddin karena kondisi ekonominya sekarang sudah jauh
berbeda dengan dahulu. Namun Mariamin tetap bersikeras
untuk bertahan karena Aminuddin tidak mempermasalahkan
hal itu. Kini Aminuddin tinggal di Medan dan pasangan
kekasih itu tiada bertemu lagi kecuali hanya lewat surat saja.
Aminuddin berkirim surat kepada ayahnya agar ia
segera dinikahkan dengan Mariamin. Mariamin pun tahu
rencana lewat surat yang dikirimkan Aminuddin kepadanya.
Bahagialah kedua insan itu tiada terkira dengan hari-hari yang
akan dijalaninya. Namun tidak demikian kesudahannya.
Orang tua Aminuddin, khususnya Ayah Aminuddin
sebagai seorang kepala kampung yang kaya pada saat itu tidak
sepakat dengan pilihan Aminuddin. Perkawinan dengan
sepupu (Mariamun-Aminuddin) itu sebenarnya menurut adat
Tapanuli sangat ideal. Namun karena Mariamin itu miskin
maka dianggap tidak pantas mendampingi Aminuddin. Oleh
karena itu ia menjodohkan Aminuddin dengan gadis desa lain
yang cantik, si anak kepala kampung bermarga Siregar.
Orang tua Aminuddin membawa gadis pilihannya itu
beserta keluarganya kepada Aminuddin di Medan. Alangkah
terkejutnya Aminuddin ketika kenyataan itu tidak sesuai
dengan impiannya. Aminuddin tidak dapat menolak gadis
pilihan orang tuanya itu karena orang tuanyalah yang meminta
gadis itu. Akhirnya Aminuddin resmi menikah dengan gadis
itu dan Mariamin masih menunggu Ayah Aminuddin datang
kepadanya untuk membawanya ke Medan.
Akhirnya Mariamin menerima sepucuk surat dari
Aminuddin dan ia menceritakan apa yang telah terjadi. Mariamin
pingsan sebelum ia sempat membaca surat itu sampai habis.

- 107 -
… Hanik Mahliatussikah …

Sejak saat itu tubuh Mariamin bertambah kurus dan gairah


hidup tiada lagi. Namun pada akhirnya Mariamin dapat
menerima kenyataan itu dan membalas surat Aminuddin
dengan kesepakatan untuk menjadi dua orang yang bersaudara.
Mariamin menikah dengan Kasibun, orang kaya atas
paksaan ibunya. Mariamin menyetujuinya meskipun Kasibun
itu wajahnya jelek, umurnya tua dan pandai bertipu daya.
Mariamin diboyong Kasibun ke Medan dan di negeri asing itu
Mariamin tidak bahagia karena ia menolak melayani Kasibun
layaknya suami istri dengan alasan bahwa Kasibun memiliki
penyakit kotor.
Kasibun sering marah kepada Mariamin, menamparnya
dan memukulnya bahkan pernah tidak mengizinkan Mariamin
tidur tetapi berada di sebelah tempat tidur dengan lantai yang
tersiram air. Kemarahan itu semakin memuncak ketika Kasibun
mendengar bahwa Aminuddin pernah mendatangi Mariamin.
Pada hal Aminuddin hanya menjenguk untuk mengetahui
keadaan saudaranya itu dan tidak terjadi apa-apa sebagaimana
yang dituduhkan.
Setelah tidak kuat lagi Mariamin menerima siksaan dari
Kasibun maka akhirnya ia memutuskan untuk melarikan diri
dari rumah itu menuju kampung halamannya. Sesampai di
kampung, ia tidak mendapati lagi pondok beratap lalang,
tempat ia tinggal dulu bersama ibu dan anaknya. Ia pun tak
tahu lagi di mana kini mereka berada. Pondok itu telah rebah
dan tinggal tiang bambunya saja yang berserakan dan ditutup
oleh rumput dan tumbuhan yang menjalar.
Mariamin akhirnya meninggal di usia muda dengan
penuh kesengsaraan.
1. Aspek estetik dalam roman Azab dan Sengsara
Ciri-ciri intrinsik karya sastra dapat diuraikan dengan
melihat dua aspek, yaitu ciri struktur estetik dan ciri struktur

- 108 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

ekstra estetik. Ciri struktur estetik meliputi alur, penokohan,


latar, pusat pengisahan, gaya bercerita, dan gaya bahasa.
Adapun yang termasuk unsur ekstra estetik adalah masalah,
pemikiran, pandangan hidup bahkan bahasanya (Pradopo,
1995: 22).
Ciri-ciri estetik dalam roman Azab dan Sengsara
(selanjutnya disingkat ADZ) adalah sebagai berikut:
a. Alur
Roman ini beralur lurus dengan diawali pembayangan
sesuatu yang akan datang (foreshadowing), yaitu Aminuddin
minta izin kepada Mariamin untuk pergi ke Medan. Secara
runtut alur roman ini diawali dengan kisah Mariamin dan
Aminuddin ketika mereka masih kecil. Mereka sering bersama-
sama karena mereka masih bersaudara sepupu. Mereka selalu
berangkat sekolah bersama-sama karena mereka berada dalam
sekolah yang sama. Aminuddin adalah kakak kelas Mariamin.
Mereka sering berangkat ke sawah bersama-sama karena
sawahnya bersebelahan.
Kisah itu dilanjutkan dengan terjadinya hujan lebat dan
banjir ketika mereka berdua masih berada di sawah. Pada saat
menuggu hujan di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah,
Aminuddin bercerita kepada Mariamin tentang seorang
perempuan yang tiada puas dengan nasibnya walau malaikat
telah memenuhi keinginannya atas perintah Allah. Karena
cerita ini tidak terkait dengan alur cerita maka cerita dalam
cerita ini disebut degresi.
Selanjutnya, pengarang mundur sebentar untuk men-
ceritakan kehidupan keluarga Mariamin ketika ayahnya, Sutan
Baringin (Tohir) masih hidup dan bagaimana awal mula
peristiwanya sehingga keluarga itu jatuh melarat. Teknik
pengaluran ini disebut backtracking, yaitu pengarang menge-
nangkan apa yang telah terjadi sebelum peristiwa itu memuncak

- 109 -
… Hanik Mahliatussikah …

kejadiannya.
Setelah terjadi backtracking, pengarang kembali mene-
ruskan perjalanan cerita Aminuddin dan Mariamin. Aminuddin
dan Aminuddin melakukan korespondensi lewat surat karena
mereka berjauhan. Aminuddin berada di Medan dan Mariamin
berada di kota Sipirok, Tapanuli. Peristiwa yang bersebab
akibat terus bergerak (generating circumstances) ketika Aminuddin
meminta ayahnya melalui surat untuk membawa Mariamin ke
Medan untuk dijadikan Istrinya. Ayah Aminuddin tidak setuju
dan bahkan menjodohkan Aminuddin dengan wanita anak
kepala kampung yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Peristiwa mulai memuncak (rising action) ketika ayah Aminuddin
membawa gadis pilihannya itu ke Medan, Mariamin menunggu
ayah Aminuddin yang tiada kunjung datang dan kisah
Aminuddin yang menunggu kehadiran kekasihnya bersama
ayahnya untuk menemuinya.
Peristiwa puncak (climax) terjadi saat Aminuddin
bertemu dengan orang tuanya yang membawa jodoh lain
untuknya. Aminuddin tidak bisa menolak perjodohan itu
karena ayahnyalah yang telah meminta gadis itu kepada orang
tuanya untuk menjadi jodohnya. Peristiwa mulai menurun
ketika Aminuddin menulis surat kepada Mariamin tentang apa
yang telah terjadi.
Penyeleseian (denoument) dari peristiwa ini adalah
Mariamin menikah dengan Kasibun atas paksaan ibunya,
kemudian pergi ke Medan. Mariamin sering disiksa Kasibun
karena ia menolak melayaninya. Mariamin kemudian pulang
ke kampung halaman dan meninggal di usia muda setelah azab
dan sengsara terus menerus menimpanya.
Roman balai pustaka yang berjudul Azab dan Sengsara
ini tergolong sad ending, yaitu berpisahnya Mariamin dan
Aminuddin sebagai pasangan kekasih karena adanya kawin

- 110 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

paksa hingga kawin paksa ini mengakibatkan kesengsaraan


dan matinya tokoh utama Mariamin.

b. Penokohan
Tokoh utama protagonis dalam roman ini adalah
Mariamin dan Aminuddin. Adapun kekuatan antagonisnya
adalah adat kawin paksa yang telah mengakibatkan pende-
ritaan tokoh utama. Kekuatan antagonis ini diperankan kaum
tua, yaitu orang tua Aminuddin. Pengarang mendeskripsikan
fisik tokoh secara detil, baik tokoh utama maupun tokoh
tambahan.
Pelukisan fisik tokoh tersebut dapat diketahui di
antaranya melalui teks berikut:

“ ...kecantikan Mariamin bertambah lagi, dan romannya


pun makin elok ...lihatlah warna kulitnya yang jernih dan
bersih itu, putih kuning sebagai kulit langsat! Matanya
yang berkilat-kilat serta dengan terang itu...tampaklah
giginya yang putih dan halus, berkilat-kilat sebagai mutiara
...air mukanya yang hening dan jernih, suci dan bersih
sebagai seri gunung waktu matahari akan terbenam”.
(ADZ: 33-34)

c. Latar
Pengarang juga melukiskan latar secara detil,
khususnya latar tempat. Contoh:

“...hari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin


karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam
peraduannya, ke balik gunung Sibualbuali, yang menjadi
watas dataran tinggi Sipirok yang bagus itu. Langit di
sebelah barat pun merah kuning rupanyam dan sinar
matahari yang turun itu nampaklah di atas puncak kayu
yang tinggi-tinggi...” (ADZ: 11).

- 111 -
… Hanik Mahliatussikah …

“kiri kanan jalan besar itu terbentang sawah yang


luas...kira-kira setengah pal dari Sipirok nampaklah di
tengah-tengah sawah yang subur itu puncak-puncak
pohon nyiur dan kayu-kayuan, di antaranya kelihatanlah
rumah-rumah yang beratap ijuk” (ADZ: 24)
d. Pusat pengisahan
Pusat pengisahan dalam roman ini menggunakan
metode orang ketiga (author omniscient), yakni pengarang yang
menceritakan kisah itu dan bukan pelaku cerita yang melaku-
kan dialog. Pusat pengisahan ini dapat kita lihat pada hampir
seluruh penceritaan. Pengarang menggunakan kata ia, penye-
butan nama tokoh oleh pelaku cerita, seperti Mariamin,
Aminuddin, ibunya, Sutan Baringin, dan lain-lain. Pelaku-
pelaku cerita diperlakukan seperti boneka.

e. Gaya bercerita
Dalam bercerita muncul banyak degresi, seperti pantun,
syair, nasehat untuk pembaca (bersifat didaktis) dan uraian
adat serta cerita dalam cerita yang tidak secara langsung terkait
dengan alur cerita.

f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang terdapat dalam roman ADZ adalah
perumpamaan, metafora, memanfaatkan peribahasa dan syair.
Contoh:

...tetapi pengetahuannya tiada suatu apa, ibarat gendang,


kalau dipalu keras suaranya, dibelah, tak ada isinya”
(ADZ: 31)
“sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”
(ADZ: 32)
“siapa yang menang perkara jadi bara dan yang kalah jadi
abu” (ADZ: 31)
“buah hati pengarang jantung, tempat bunda mengatakan
- 112 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

untung, dunia akherat tempat bergantung, harapan bunda


janganlah buntung... (ADZ: 101).
“lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya”
(ADZ: 126)
“daun dan cabang-cabang itu bergoyang-goyang perlahan-
lahan sebagai menunjukkan kegirangannya” (ADZ: 11)
“tampaklah giginya yang putih dan halus, berkilat-kilat
sebagai mutiara ...air mukanya yang hening dan jernih,
suci dan bersih sebagai seri gunung waktu matahari akan
terbenam”. (ADZ: 34)

2. Aspek ekstra estetik dalam roman Azab dan Sengsara


Ciri-ciri struktur ekstra estetik dalam roman ADZ
adalah sebagai berikut:
a. Berisi masalah adat
Adat yang berlaku di daerah Tapanuli adalah (a) laki-
laki tidak mungkin menolak gadis yang telah diminta oleh
orang tuanya, (b) permintaan maaf dilakukan dengan membawa
bungkusan nasi dengan daun, (c) orang kaya menikah dengan
orang kaya dan begitu sebaliknya, (d) orang perempuan lebih
banyak berada di dapur, (e) terjadi kawin paksa (kaum tua
memaksakan kehendak kepada kaum muda).

b. Perbedaan paham antara kaum muda dan kaum tua


Perbedaan antara kaum muda dan kaum tua ini tampak
pada keinginan Mariamin untuk menikah dengan Aminuddin
diperingatkan oleh ibunya karena melihat kondisi ekonominya
yang jauh berbeda dengan keluarga Aminuddin. Keinginan
Aminuddin untuk menikah dengan Mariamin tidak disetujui
oleh ayahnya karena perbedaan status sosial tersebut. Aminuddin
dengan Mariamin sebagai wakil dari kelompok kaum muda
merasa bahagia jika menikah dengan pasangan pilihannya dan

- 113 -
… Hanik Mahliatussikah …

tidak suka untuk dikawinkan secara paksa. Namun menurut


kaum tua kawin paksa itu pada akhirnya akan membawa
bahagia bagi anak masing-masing karena mereka dijodohkan
dengan orang yang menurut pandangan kaum tua lebih cocok
untuk anaknya. Namun ternyata yang terjadi tidak demikian.
Kawin paksa itu telah mengakibatkan penderitaan kaum muda.

c. Harta dipandang sebagai martabat yang tinggi


Perebutan harta ini menunjukkan bahwa harta masih
dipandang sebagai sesuatu yang dapat membuat orang bahagia
karena terpenuhi seluruh kebutuhannya. Oleh karena itu, ibu
Mariamin menjodohkannya dengan Kasibun, orang kaya.
Aminuddin pun dijodohkan dengan putri kepala kampung
yang kaya. Sutan Baringin mempertahankan dan bahkan
merebut harta warisan adiknya.

d. Terdapat sistem patriarkhi yang masih kuat


Sistem patriarkhi yang tampak dalam roman ini adalah
(a) perlakuan Ayah Aminuddin kepada ibunya. Ketika ayah
Aminuddin mencarikan jodoh lain untuk Aminuddin maka
ibunya mengingatkan bahwa anaknya mencintai Mariamin.
Namun ibunya akhirnya menurut suaminya karena suaminya
tidak sepakat dengan pendapat istri, (b) perlakuan Sutan
Baringin terhadap istrinya. Ketika Nuria menasehatinya maka
ia menolak sambil mengatakan bahwa urusan wanita itu di
dapur dan tak usah ikut urusan laki-laki (ADZ:32), (c)
pernyataan bahwa seharusnyalah wanita itu membahagiakan
suaminya dan bukan seharusnyalah suami istri itu harus saling
membahagiakan, (d) pernyataan Mariamin bahwa amat
sakitnya menjadi perempuan (ADZ:41) menunjukkan bahwa
kaum perempuan masih tertindas oleh dominasi laki-laki.

e. Kesetiaan gadis terhadap pasangan (Mariamin kepada


Aminuddin dan Nuria kepada Sutan Baringin)

- 114 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

f. Latar cerita adalah latar pedesaan dan daerah (Sipirok)


g. Kritik terhadap masalah sosial
h. Permasalahan yang dikemukakan adalah permasalahan
individu yang mewakili kelompok tertentu dan bukan
permasalahan kebangsaan
Dalam novel ini terdapat oposisi-oposisi, seperti keluarga
Aminuddin kaya dan keluarga Mariamin miskin. Akibat
oposisi tersebut maka keduanya tidak dapat dipersatukan.
Selanjutnya, Mariamin tetap tingal di desa (Sipirok) dan
sebagai gadis desa dan Aminuddin, Kasibun pergi ke kota
(Medan). Dalam novel ini terdapat oposisi bahwa desa adalah
tempat kesucian, tempat kuatnya ikatan perkawinan, tempat
kesetiaan sedang di kota tempat ketidaksetiaan akibat talak
yang sering dilakukan (diperankan tokoh Kasibun).
Oposisi antara dunia ideal (perempuan, desa, istri, dan
lain-lain) dan dunia nyata (laki-laki, kota, suami dan lain-lain)
menunjukkan bahwa roman ADZ mengekspresikan dan
sekaligus bekerja dalam rancangan dunia romantik.
Menurut Mukarovsky dan Felik Vodicka, karya sastra
adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda,
struktur, dan nilai seni, sehingga untuk menganalisisnya
memerlukan metode struktural dan semiotic (Ratna, 2004: 93).
Strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang
sesuatu yang berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi
struktur-struktur. Teeuw (1984: 135) mengemukakan bahwa
analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang
menyeluruh. Pembahasan secara struktural adalah langkah
awal penelitian sastra. Penelitian struktural dipandang lebih
objektif karena hanya berdasarkan sastra itu sendiri (bersifat

- 115 -
… Hanik Mahliatussikah …

otonom). Pemahamannya harus mengaitkan antarunsur pem-


bangun karya sastra dengan menekankan aspek intrinsik sastra
(Endraswara, 2008: 49-51). Menurut Abrams (via Djoko
Pradopo, 1981: 68), pendekatan strukturalis dalam karya sastra
merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara komprehensif
oleh berbagai unsur pembentuknya. Analisis struktural
merupakan 19 prioritas lain sebelum yang lainnya karena tanpa
itu kebulatan makna intrinsic tidak akan tertangkap (Teeuw,
1983: 61).

F. Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme


Dalam penelitian struktural, penekanan pada relasi
antar unsur pembangun teks sastra. Unsur teks secara sendiri-
sendiri tidak penting. Unsur teks itu hanya memperoleh arti
penuh melalui relasi oposisi maupun relasi asosiasi. Relasi
oposisi biasanya lebih berkembang pada dunia antropologi,
sedangkan dunia sastra banyak menggunakan relasi asosiasi.
Melalui Barthes dan Kristeva di Perancis, strukturalismme
mulai berkembang luas. Keduanya mengenalkan penafsiran
struktural teks sastra berdasarkan kode bahasa teks sastra.
Melalui kode bahasa itu, diungkapkan retorika, psikoanalisis
dan sosiokultural.
Penekanan strukturalis memandang karya sastra sebagai
teks mandiri. Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu
menekankan aspek intrisik karya sastra. Keindahan teks sastra
bergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antar
unsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan
sebuah “artefak” (benda seni) yang bermakna. Artefak tersebut
terdiri atas unsur teks seperti ide, tema, plot, latar, watak,
tokoh, gata bahasa dan sebagainya yang jalin-menjalin rapi.
Jalinan antar unsur tersebut akan membentuk makna yang
utuh pada sebuah teks. Itulah sebabnya, Smith (Aminuddin,
1990:62) mengungkapkan penelitian dtruktur internal karya
- 116 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

sastra merupakan the ontological structure of the work of art.


Dari sini tampak bahwa karya sastra merupakan organised
whole has various constituente, unsur-unsur pemadu dalam
totalitas itu memiliki interrelations and mutual dependencies,
dan antara unsur pembangun totalitas itu memiliki stratifikasi
hubungan tertentu.
Sebagai sebuah model penelitian, strukturalisme bukan
tanpa kelemahan. Ada beberapa kelemahan yang perlu
direnungkan bagi peneliti struktural, yaitu melalui struktural
karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya
sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari
sejarah dan terpisah dari aspek kemanusiaan.
Analisis strukturalisme biasanya mengandalkan paham
positivistik, yaitu berdasarkan tekstual. Peneliti membangun
teori analisis struktural yang handal, kemudian diterapkan
untuk menganalisis teks. Metode positive ini biasanya juga
sering digunakan kaum formalis, yang mempercayai teks
sebagai studi utama. Yang menjadi problem analisis struk-
turalisme, antara lain pada pemilihan data teks. Seringkali
peneliti tergoda untuk meneliti karya-karya dari pengarang
ternama saja. Padahal sesungguhnya pengarang lain perlu
dikaji secara struktural. Paling tidak jika ada perbedaan
struktur antara karya yang bersifat subjektif ini, seringkali juga
menyebabkan penelitian strukturalisme kurang berkembang di
beberapa pusat penelitian.
IV. Rangkuman
1. Terdapat 4 orientasi kritik sastra, yaitu: mimetik, pragmatik,
ekspresif, dan obyektif. orientasi mimetik adalah orientasi
ini menitikberatkan pada semesta. Orientasi pragmatik
adalah secara pragmatik degresi yang bernuansa pendidikan
tidak menjadi masalah karena tujuan utama kritik pragmatik
adalah untuk mendidik pembaca. Orientasi ekspresif, karya

- 117 -
… Hanik Mahliatussikah …

sastra merupakan pikiran, perasaan, riwayat hidup penga-


rang. Orientasi obyektif yang mementingkan inner
strukturnya.
2. Analisis struktural yang biasa digunakan dalam meng-
analisis karya sastra adalah analisis struktural yang berfokus
pada teks itu sendiri, berfokus pada aspek formal karya
sastra. Stanton mengemukakan model analisis struktural
dalam karya fiksi, khususnya novel. Stanton menjelaskan
aspek struktural dalam karya fiksi yang meliputi tiga
kategori, yaitu fakta cerita, tema dan sarana cerita. Yang
termasuk dalam kategori fakta cerita adalah tokoh
(Characters), alur (plot), dan latar (setting) dan yang ter-
masuk sarana cerita adalah konflik, klimaks, sudut pandang,
nada dan gaya.
3. Unsur-unsur intrinsik novel terdiri dari (a) tema, (b) fakta
cerita dan (c) sarana cerita. Menurut tingkat keutamaan-nya,
tema dibagi menjadi dua yaitu tema mayor dan tema minor.
Fakta cerita meliputi plot, tokoh dan penokohan serta latar/
setting. Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan
menjadi dua yaitu kronologis (plot lurus, maju, progresif)
dan tak kronologis (sorot balik, mundur, flash back, regerif).
Sarana cerita meliputi sudut pandang penceritaan dan gaya
bahasa.
4. Langkah yang perlu dilakukan seorang peneliti struktural
adalah sebagai berikut:
a) Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre
yang diteliti.
b) Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat
unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
c) Unsur tema sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum
membahas unsur lain karena tema akan selalu terkait
langsung secara komprehensif dengan unsur lain.

- 118 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

d) Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan


pentingnya keterkaitan antar unsur.

- 119 -
… Hanik Mahliatussikah …

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Term. Cet.IV. New


York: Holt, Rinehart and Winston
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cet.
keempat. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Esten, Mursal.1992. Apresiasi Sastra. Padang:Angkasa
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muham-
madiyah University Press
Forster, E.M. 1971. Aspect of the novel. Victoria: Pinguin Book
Australia ltd.
Hawkes, Terence. 1978. Structuralism and Semiotics. London:
Methuen and Co.Ltd.
Hudson,W.H. 91955) An Introduction to the Study of Literature.
London: George G. harrapp Ltd.
Lubis, Mochtar. 1978. Teknik Mengarang. Jakarta: PT Nunang
Jaya.
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra.
Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, Anton. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdikbud Balai Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Prihatmi.Th. Sri R. 1977. Pengarang-pengarang Wanita Indonesia.
Jakarta: Pustaka jaya.
Sayuti. A. Suminto. 1985. Sastra dan Pengajarannya. Semarang:
Institut Keguruan Ilmu Pendidikan
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. New York:

- 120 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Holt, Rinehart and Winston Inc.


Stanton, Robert. 2007.Teori Fiksi. Jogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudjiman, panuti. 1988. Memahami cerita rekaan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Sugihastuti, 2007. Teori Apresiasi sastra. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Sumarjo, Jakop dan Saini, K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature.
Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.

- 121 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Sebutkan 4 orientasi kritik sastra menurut Abrams! Jelas-
kan masing-masing!
2. Sebutkan macam-macam plot!
3. Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang pusat pengi-
sahan!
4. Jelaskan prinsip-prinsip strukturalisme!
5. Bandingkan perbedaan tentang tokoh dan penokohan yang
sudah anda pelajari!
6. Buatlah peta konsep tentang kajian struktural!
7. Carilah satu contoh cerpen dan kajilah karakter tokohnya?
8. Bagaimana cara menentukan tema?
9. Apakah yang membedakan telaah struktural pada puisi
dan prosa?
10. Bagaimanakah langkah-langkah analisis struktural sebuah
novel?

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 122 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

BAB Teori & Metode


Analisis
____ 7 Semiotik

I. Deskripsi
Pada bab sebelumnya kalian telah mempelajari teori dan
metode analisis struktural yang merupakan teori utama dan per-
tama yang harus dipahami oleh pembaca sebelum menginjak
ke teori-teori yang lain. Pada bab ini akan dijelaskan sekilas
tentang teori dan metode analisis semiotik dengan runtut dan
rinci agar mudah dipahami. Materi meliputi pengertian semiotik,
tanda-tanda tekstual, metode analisis, kajian Al-Quran dengan
semiotika, dan contoh telaah. Di samping itu, terdapat rang-
kuman dan evaluasi yang dapat membantu mahasiswa belajar
dan berlatih.

- 123 -
… Hanik Mahliatussikah …

II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang teori dan
metode analisis semiotik, akan dijelaskan pada bab berikutnya
tentang teori dan metode analisis Struktural Semiotik. Keduanya
memiliki hubungan yang erat. Oleh karena itu, diharapkan
mahasiswa dapat memahami materi pada bab ini dengan baik
dan tidak melewatkannya karena antara bab ini dan selanjut-
nya memiliki keterkaitan yang relevansi.

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang teori dan metode analisis
semiotik dengan runtut dan rinci dan dapat menerapkannya
dalam kajian teks prosa atau kajian teks Al-Quran.

A. Pengertian Semiotik
Dalam linguistik, semiotika dikenal melalui Ferdinand de
Saussure dengan istilah semiologi. Kemudian istilah semiotics
muncul dalam tulisan Charles Sander Pierce. Semiotik adalah
ilmu tentang tanda atau ilmu yang mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda itu memiliki arti. Ilmu semiotik adalah ilmu yang
menganggap kebudayaan termasuk sastra sebagai tanda.
Menurut De Saussure, bahasa adalah sistem tanda, dan
tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak
terpisahkan, yaitu penanda dan petanda. Penanda: signifiant:
signifier: yang menandai: aspek formal atau bunyi pada tanda
itu, misalnya kata: ibu. Petanda: signifie: signified: yang ditandai:
aspek kemaknaan atau konseptual, misalnya: orang yang
melahirkan.
Ada tiga tanda yang dikenalkan dalam teori semiotic,
yaitu:
- 124 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

1. ikon : hubungan alamiah


2. indeks : hubungan kausalitas
3. simbol : hubungan arbitrer menurut konvensi yang
berlaku
Ilmu yang meneliti tanda-tanda, sistem-sistem tanda
dan proses suatu tanda diartikan. Menurut Noor (2004), tanda
adalah sesuatu yang menunjuk kepada sesuatu yang lain, yang
mewakili sesuatu yang lain tersebut. Tanda selalu bersifat
vrepresentatif. Tanda selalu mempunyai hubungan dengan tanda-
tanda lain dengan sesuatu yang dilambangkan, dan dengan
sesuatu yang memakai tanda itu (pengirim dan pengirim
tanda)
Apabila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka
huruf, kata, dan kalimat tidak mempunyai arti pada dirinya
sendiri, melainkan selalu sebagai relasi antara pengemban arti
(signifiant), apa yang diartikan (signifie) bagi penutur bahasa
yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra biasanya diperhati-
kan hubungan sintaktik (tanda dengan tanda), semantik (tanda
sebagai simbol), dan pragmatik (tanda dengan pemakai tanda).
Semiotik tidak hanya dapat diterapkan pada bahasa, melainkan
dapat juga diterapkan pada semua bentuk ungkapan budaya
(kultural).
Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani semion yang
berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
pengguna tanda.
Menurut Peirce (dalam Noor, 2004), makna tanda sesung-
guhnya adalah mengemukakan sesuatu yang disebut represen-
tamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda yang diacunya,
yang ditunjuknya disebut objek. Adapun acuannya disebut
referent. Jadi suatu tanda mengacu pada acuannya dalam suatu

- 125 -
… Hanik Mahliatussikah …

representasi. Representasi dapat terlaksana karena bantuan


sesuatu yang disebut ground. Ground suatu tanda seringkali
berupa code (kode). Kode adalah suatu sistem peraturan yang
bersifat transindividual. Akan tetapi, banyak pula tanda yang
bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual. Suatu
tanda perlu diinterpretasikan berarti setelah dihubungkan acuan-
nya suatu tanda akan melahirkan tanda baru yang disebut
interpretant. Jadi tanda selalu ada hubungannya dengan
ground, referent, dan interpretant.
Menurut Sujiman dan Zoest (1992:9) Hubungan tanda
dengan acuannya pada prinsipnya ada tiga:
1. hubungan antara tanda dengan acuannya yang berupa
hubungan kemiripan (ikon)
2. hubungan antara tanda dengan acuannya yang berupa
hubungan kedekatan eksistensi (indeks)
3. hubungan antara tanda dengan acuannya yang berupa
hubungan konvensional (simbol)
Misalnya sebuah peta atau foto adalah ikon, tiang penunjuk
jalan (menandakan arah tertentu) atau asap menandakan
ada api adalah indeks, gelengan kepala menandakan
penolakan dan tanda-tanda kebahasaan lain adalah simbol.

B. Tanda-Tanda Tekstual
Tanda-tanda tekstual dalam suatu teks adalah segala
sesuatu yang mungkin dapat dianggap sebagai tanda Tipografi
(penyusunan baris dan bat), penyusunan kalimat (keteraturan
suku kata, pengulangan fonetik) semua adalah tanda dan
penanda bahwa teks ini adalah teks ini adalah sajak. Dalam
cerita rekaan unsur-unsur cakapan, latar, pergantian sudut
pandang, peristiwa, nama tokoh, dan segala sesuatu yang
dapat diamati dan diidentifikasi, semua adalah tanda. Jadi
jumlah tanda dalam teks sastra sebenarnya tidak terbatas

- 126 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

sehingga jumlah acuan yang mungkin ada juga tidak terbatas.


Acuan itu dapat bersifat kongkret atau abstrak, nyata atau
imajiner, mungkin ada, pernah ada, atau mungkin ada di masa
yang akan datang.
Ciri puisi menurut Riffaterre adalah ketidaklangsungan
ekspresi. Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga
hal:
1. distorting of meaning
2. displacing of meaning
3. creating of meaning
Bahasa sehari-hari itu bersifat mimetik dan bahasa puisi
bersifat semiotik. Pembacaan puisi secara heuristik perlu dilaku-
kan untuk mengetahui konvensi bahasanya dan perlu dilanjut-
kan ke pembacaan retroaktif untuk mengetahui konvensi
sastranya. Karena puisi dipahami sebagai sebuah satuan yang
bersifat struktural, maka pemahamannya juga dilakukan
dengan melihat bolak balik dari bagian ke keseluruhan dan dari
keseluruhan ke bagian-bagian hingga ditemukan makna yang
utuh.
Pembacaan heuristic dalam metode pembacaan heuristik,
pembaca melakukan interpretasi secara referensial lewat tanda-
tanda linguistik, dilakukan secara struktural untuk menemukan
arti secara linguistik. Sebagaimana hipogram, matriks tidak
hadir dalam teks. Yang hadir adalah aktualisasinya. Aktualisasi
pertama dari matriks adalah model yang bisa berupa kalimat
atau kata tertentu. Ciri utama model adalah sifat puitisnya
(model adalah tanda puitis dan sebuah tanda akan puitis jika
mengacu pada hipogram) oleh karena itu, mode harus
monumental. Matriks tidak eksplisit dan pembacalah yang
harus kreatif dan mengeksplisitkannya. Matriks dapat berupa
kata, kelompok kata atau kalimat sederhana.

- 127 -
… Hanik Mahliatussikah …

Hipogram ada dua, yaitu hipogram aktual dan hipogram


potensial. Hipogram potensial adalah: segala bentuk impliskasi
dari makna kebahasaan, baik yang berupa presuposisi atau
makna-makna konotatif yang sudah dianggap umum.
Implikasi itu tidak terdapat dalam kamus melainkan sudah ada
dalam penutur bahasa pada umumnya. Contoh “aku” dalam
puisi chairil telah merngimplikasikan adanya “kau”. “kalau
sampai waktuku” mengimplikasikan bahwa waktu itu belum
sampai. Dengan demikian, pemahaman hipogram potensial ini
akan diketahui melalui oposisi-sposisi yang ditimbulkan oleh
puisi.
Adapun hipogram aktual adalah teks-teks yang ada
sebelumnya, baik mitos atau karya sastra lain. Matriks dalam
puisi Chairil Anwar adalah: kehendak, kemauan. Adapun
modelnya: aku ini binatang jalang dan aku mau hidup seribu
tahun lagi.
Tokoh-tokoh semiotik sebagai berikut.
1. Omberto Eco (italia)
2. Juric Lotman
3. J. Kristeva (Prancis)
4. Roland Barthes (Prancis)
5. Jonathan Culler (dalam buku the pursuit of sign)
6. M.Riffaterre (dalam buku semiotics of poetry)
7. Charles Sander Peirce (Amerika Serikat)
Arti Bahasa dalam istilah Alex Preminger disebut sistem
semiotik tingkat pertama (first order semiotics) dan arti sastra
disebut sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotis).
Konvensi dalam ks menurut Preminger adalah konvensi
tambahan yang menyebabkan ks memiliki makna.
Dalam istilah Riffaterre, arti bahasa disebut meaning
dan arti sastra disebut significance. Dalam teori Riffaterre, arti

- 128 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

bahasa diketahui melalui pembacaan heuristik dan arti sastra


diketahui lewat pembacaan hermeneutik.
Dalam istilah Juric Lotman disebut :
1. Primarly modeling system:bahasa tingkat satu. Bahasa
sehari-hari termasuk kategori tk I
2. Secondary modeling system:bahasa tingkat dua. Ekspresi
yang tidak langsung, makna sastra
Menurut Jonathan Culler dalam bukunya "Memburu
tanda-tanda (the Pursuit of sign)" menyatakan bahwa dalam
menelaah sastra dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi:
1. jenis-jenis tanda (ikon, indeks, simbol)
2. menyendirikan satuan-satuan (alur, tokoh, latar, tema)
yang digunakan
3. menganalisis secara intertekstual
Menurut Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotics of
poetry, terdapat 4 prosedur dalam menelaah karya sastra,
khususnya puisi, yaitu:
1. ketidaklangsungan ekspresi
2. pembacaan heuristik dan hermeneutik
3. matriks, model dan varian
4. hubungan intertekstual
Tanda-tanda yang harus diburu menurut Rachamad
Djoko Pradopo:
1. jenis-jenis tanda: tanda-tanda penting dari ikon, indeks
dan simbul
2. satuan-satuan arti (pada puisi terletak pada aspek
kebahasaannya), yaitu: bunyi, kata dan kalimat. Bunyi
meliputi:
a. persajakan: awal-tengah-akhir (rima:sajak akhir)
b. aliterasi (huruf yang sama dalam satu bait). Contoh:
huruf l dan r pada: perahu melancar bulan memancar
laut terang

- 129 -
… Hanik Mahliatussikah …

c. asonansi (kombinasi bunyi vokal): a-i-e-o-u


d. orkestrasi: bunyi musik
e. efoni: bunyi yang indah
f. kakafoni: bunyi yang tidak merdu: k-p-t-s:
mendukung suasana kacau dan tidak menyenangkan
g. bunyi-bunyi konsonan bersuara: voiced: b-d-g-j
h. bunyi liquida: r-l
i. bunyi sengau: m-n-ng-ny
j. irama: gerak yang teratur
k. metrum: irama yang tetap: jumlah suku kata tetap
l. ritme: irama yang disebabkan pertentangan atau per-
gantian bunyi: irama yang tidak tetap
Kombinasi asonansi, aliterasi, liquida, sengau dan
konsonan bersuara menimbulkan orkestrasi bunyi bunyi yang
indah (efoni) ---menimbulkan gambaran angan, perasaan, imaji-
imaji dan pendek kata menurut Pradopo menimbulkan pengala-
man yang mengagumkan, pembaca atau pendengar berada
dalam keadaan extase---kombinasi tersebut untuk mendukung
suasana gembira dan mesra
K a t a, yaitu satuan arti kata berupa kosa kata, diksi
dan bahasa kiasan (perbandingan, pertentangan, dan lain-lain.).
K a l i m a t, yaitu satuan arti kalimat: sarana retorika, aspek
struktural dalam prosa tema, tokoh, alur, dan lain-lain):
3. Konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti
(ketidaklangsungan ekspresi)
4. Hubungan intertekstual (hipogram)

C. Metode Analisis
Karya sastra menurut pandangan semiotik memiliki sistem
sendiri yang berupa sistem tanda yang bermakna. Pendekatan
semiotik memiliki pertalian dengan pendekatan struktural dan
pendekatan stilistika. Semiotik merupakan lanjutan dari pende-
katan struktural yang menekankan unsur formal karya sastra
- 130 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

sebagai pembentuk dan pembangun sebuah karya. Adapun


stilistika menekankan aspek kebahasaan. Semiotik tidak hanya
mempersoalkan pemakaian bahasa sebagai sistem tanda tingkat
pertama, tetapi sampai pada sistem sastra yang merupakan
sistem tanda tingkat kedua.
Dalam analisis, semiotik tidak hanya melihat karya sastra
itu, tetapi menghubungkannya dengan apa yang ada di
luarnya. Sistem yang berada di luar karya itu adalah semua
anasir, data, fenomena yang mereaksi bagi kelahiran karya
tersebut. Dalam hal ini termasuk masalah sosial budaya dan
sistem tata nilai yang mewarnai karya tersebut. Semiotik tidak
hanya melihat karya sastra sebagai sebuah karya, tetapi juga
melihat karya sastra dalam perspektif yang lebih luas,
menyangkut kehidupan manusia yang memiliki tata nilai dan
adat istiadat. Pendekatan semiotik berkepentingan dengan
pengarang dan pembaca. Pemahaman atau resepsi sastra
menjadi soal yang penting dalam analisis ini.
Secara rinci, langkah kerja dalam pendekatan semiotik
sebagai berikut.
1. Membaca dengan penuh perhatian untuk menemukan
pemahaman, kekhasan dan keunikan karya tersebut.
2. Mengkaji teknik, gaya kekuatan dan keistimewaan yang
menyebabkan karya itu memiliki sistem sendiri.
3. Mengkaitkan sistem karya tersebut dengan sistem yang
berada di luar karya. Konflik yang berada dalam cerita
dikaitkan dengan konflik yang ada di luar karya. Bahasa
yang digunakan pengarang dikaitkan dengan bahasa yang
digunakan masyarakat untuk melihat bagaimana upaya
pengarang mengeksploitasi bahasa untuk mencapai efek
keindahan, atau untuk melihat sejauhmana penyimpangan
struktural mampu menghasilkan sesuatu yang
menggugah.

- 131 -
… Hanik Mahliatussikah …

Pendekatan semiotik lebih menyempurnakan pendekatan


yang lain seperti struktural, sosiologis dan stilistika. Peng-
analisis semiotik memerlukan dukungan ilmu linguistik, sosio-
logis dan psikologi untuk menghasilkan analisis semiotik yang
maksimal.

D. Kajian Al-Quran dengan Pisau Semiotika


Dalam khazanah ilmu Al-Qur’an ada dua cara untuk
memahami Al-Qur’an, yaitu tafsir dan takwil. Tafsir dikenal
sebagai cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral
yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Di sini teks
dikatakan “subjek”. Sedangkan takwil adalah cara untuk
memahami teks dengan menjadikan teks, sebagai objek atau
lebih tepat di sebut pemahaman, pemaknaan dan interpretasi
terhadap teks tanpa mengotak atik teks itu sendiri. Kajian
semiotika Al-Qur’an banyak dimotori oleh Nasr Hamid Abu
Zaid dan Muhammad Arkoun.
Kajian semiotika akan mendukung terma bahwa Al-Quran
selalu selaras dengan zaman. Semiotika Al-Qur’an memposisikan
Al-Quran sebagai teks yang dapat ditafsirkan. Bahasa Al-
Qur’an secara umum dan khusus terdiri dari sign (tanda) dan
simbol-simbol, yang mana sifatnya arbitrer konvensional.
Dengan adanya tafsir maka muncul pluralitas makna. Semiotika
merupakan ilmu yang mengulas tentang tanda (sign). Sign
dalam masyarakat itu arbitrer konvensional. Teks tidak lepas
dari tanda-tanda yang dikonvensionalkan.
Menurut Nasr Hamid, teks Al-Quran mendasarkan
acuannya pada sistem kebahasaan kolektif yang melatarinya,
yaitu bahasa Arab 6 M. sehingga Al-Quran dapat dikatakan
terdiri atas kata-kata yang mengacu pada figur sejarah tertentu.
Teks Al-Qur’an bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu
saja apa yang sudah baku dan mapan dalam realitas, melainkan

- 132 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

teks yang mampu menciptakan sistem linguistiknya sendiri


yang spesifik.
Tahapan teks menurut Abu Zayd pada periode awal
adalah periode keterbentukan (marhalah at-tasyakkul) yang
menggambarkan keberadaan teks sebagai “Produk Budaya”.
Interaksi dan dialektika teks dengan realita sosial budayanya,
yakni pertama ketika teks Al-Qur’an membentuk dan
merekontruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya
yang melatarinya, di mana sistem bahasa merupakan salah satu
bagiannya. Kedua, periode pembentukan atau marhalah at-
tasykil ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkontruksi
ulang sistem budayanya, yaitu dengan menciptakan sistem
kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa induknya,
dan kemudian menimbulkan efek perubahan pada sistem
kebudayaan lain. Teks yang semula merupakan produk kebu-
dayaan kini berubah menjadi produsen kebudayaan. Padahal
teks sejati menurut Abu Zaid adalah teks yang mampu
membebaskan diri dari konteks semula di mana dia diproduksi
dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari
norma-norma yang berasal dari luar. Al-Quran telah mampu
menunjukkan spesifikasinya.
Teks pada satu sisi merupakan objek dan produk dari
sistem sosial budaya di mana ia bergabung di dalamnya. Di sisi
lain, teks merupakan subjek yang mengubah sistem sosial
budaya yang bersangkutan. Sehingga teks sangat dahsyat;
mampu menimbulkan perubahan dahsyat pada kebudayaan-
nya. Dan perubahan ini dimulai dari perubahan kode bahasa
yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mengguncang
konsepsi budaya yang kemudian di bidang sosial politik dan
ekonomi. Istilah kode mendapat peranan yang cukup memadai.
Dalam semiotika struktural, kode adalah cara bagaimana
tanda-tanda dalam sebuah teks dapat mengangkat makna-

- 133 -
… Hanik Mahliatussikah …

makna konvensional yang sudah ada. Umberto ECO meng-


ungkapkan bahwa sebuah kode hanya dapat dikatakan eksis,
bila ada seperangkat kemungkinan makna yang dapat
dihasilkannya, yang dapat diperkirakan makna tersebut ber-
dasarkan relasi antar penanda dan petandanya.
Menurut Abu Zayd, Al-Quran memiliki dua segi, yaitu
struktur teks dan proses resepsi teks oleh pembaca. Bahasa
sebagai sistem tanda mengandung unsur “penanda” dan
“petanda” (2 segi dari 1 kenyataan). Semua sistem kebahasaan
adalah “penanda”, untuk sistem budaya “petanda”nya.
Dalam struktur teks, sistem budaya (“petanda”) yang ter-
cermin dalam linguistik atau dalam sistem bahasa (“penanda”)
beralih menjadi tanda-tanda semiotik inilah yang dimaksud
proses semiosis, yaitu perubahan sistem bahasa menjadi tanda-
tanda semiotik di dalam sistem yang lain. Secara umum dan
khusus, bahasa Al-Qur’an terdiri atas sign (tanda) dan simbol-
simbol. Tanda-tanda dan simbol-simbol ini ketika dilihat dari
kacamata semiotika, mengacu pada objeknya secara arbitrer
dan berdasarkan keputusan konvensi dalam sebuah masyarakat,
yakni tanda-tanda dan simbol-simbol tersebut tidak mempunyai
hubungan yang natural dengan apa yang dilambangkan
(objeknya), tidak terkecuali bahasa Arab sebagai bahasa Al-
Qur’an.
Al-Quran menggunakan bahasa Arab, dan teks Al-Quran
tidak terlepas dari realitas dan budaya masyarakat ketika itu.
Metode penafsiran yang menggunakan pendekatan historisitas
budaya pun juga akan mempengaruhi. Padahal, ketika kajian
historisitas digunakan, maka akan dipengaruhi pandangan,
metode, dan ideologinya. Selain upaya mengungkapkan makna
teks dalam konteks historisnya, pembacaan harus diupayakan
menghasilkan signifgikansi baru dari teks. Yaitu pengertian
teks dalam konteks sosio kultural saat ini yang dapat ditarik

- 134 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dari makna historis teks itu sendiri. Sehingga pembacaanya


berangkat dari realitas kontemporer dengan cara menentukan
horison harapan pembaca untuk didialogkan dengan teks. (1)
dialog degan teks ini dilakukan dengan memperhitungkan
perwujudan teks pada tataran mimetiknya, (2) selanjutnya
meningkat pada tataran semiotik teks dalam keseluruan latar
tradisi teks dan sistem budaya yang disimpanginya, (3)
interaksi makna historis teks pada kedua aspeknya ini dengan
pembacaan kontemporernya memungkinkan untuk menghasil-
kan signifikansi baru dari teks untuk kesejarahan saat ini, (4)
signifikansi baru ini selanjutnya dapat menjadi titik tolak baru
untuk melakukan dialog ulang dengan teks dalam proses tanpa
henti.
Diskursus seputar Al-Qur’an dan penafsirannya merupa-
kan diskursus yang tak pernah mengenal kata usai. Hal ini
dikarenakan keyakinan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah salih li kulli zaman wa makan (relevan bagi ruang dan
waktu). Dan Al-Qur’an yang katanya selalu menampilkan
pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran
sebelumnya. Dalam bahasa lain, selalu memberikan hal-hal
yang inovatif, yang absah dalam setiap gaya penafsiran
(Gunawan, 2013)

E. Contoh Telaah
1. Kajian Semiotik terhadap kisah Ashabul Kahfi dalam
Al-Quran
Semiotik dapat pula dijadikan alat telaah terhadap teks Al-
Qur’an dalam rangka pemahaman secara lebih mendalam. Al-
Qur’an merupakan kitab suci sekaligus mu’jizat Nabi Muhammad
saw. yang mengalahkan segala bentuk karya sastra bangsa
Arab Jahiliah yang terkenal akan kehebatannya. Bahasa Al-
Qur’an mengandung nilai sastra yang tak tertandingi, baik oleh

- 135 -
… Hanik Mahliatussikah …

Jin maupun manusia. Al-Qur’an bukanlah karya sastra, tetapi


mengandung aspek-aspek keindahan yang ada dalam prosa
dan puisi sekaligus. Sebagai teks yang mengandung nilai-nilai
keindahan, Al-Qur’an dapat dikaji dengan berbagai model
analisis untuk menemukan kedalaman makna yang terkandung
(Eco, 1994: 6).
Surat Al-kahfi merupakan salah satu surat dalam Al-
Qur’an yang mashur di kalangan masyarakat Muslim, hampir
semua mengetahuinya. Menurut Al-Baqo’i tema utama surat
Al-Kahfi adalah menggambarkan betapa Al-Qur’an adalah salah
satu kitab yang sangat agung, karena Al-Qur’an mencegah
manusia mempersekutukan Allah. Mempersekutukan Allah
bertentangan dengan keesaan-Nya yang telah terbukti dengan
jelas pada uraian surat-surat yang sebelumnya, yang dimulai
dengan “‫ ”ﺳﺒﺤﺎن‬yakni mensucikan Allah dari segala kekurangan
dan sekutu. Sesuai dengan namanya, kisah yang dominan
diceritakan dalam surat Al-Kahfi adalah kisah As-Habul Kahfi.
Dalam sebuah kisah atau cerita tidak lepas dari struktur,
simbul-simbul, dan juga nilai.
Struktur kisah Ashabul Kahfi dibagi menjadi dua, yaitu
struktur estetik dan struktur ekstra estetik. Struktur estetik
terkait dengan aspek struktur lahir dan struktur ekstra estetik
terkait dengan struktur batin. Dalam analisis semiotik yang
mengacu pada teori Riffaterre, dilakukan dua pembacaan
semiotik: heuristik dan hermeneutik. Teori Pierce juga dapat
dipadukan dengan menganalisis ikon, indek, dan simbol
(qualisigns, sinsigns, dan legisigns) yang dirasa penting untuk
dicantumkan. Dari hasil pembacaan hermeneutik, ditemukan
bahwa seorang hamba yang baik adalah mereka yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah untuk senantiasa diberikan
petunjuk, dan selalu mengharap pertolongan Allah atas setiap
kesulitannya. Segala yang telah dijanjikan Allah pasti akan

- 136 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

terjadi, termasuk hal yang seakan tidak bisa dinalar oleh fikiran
manusia, hal itu karena Allah kuasa atas segala-galanya. Mereka
yang tidak percaya janji tersebut kelak akan menyaksikan
kebenaran dengan mata kepala mereka, pada waktu itu barulah
mereka percaya dan mengakui telah melakukan kesalahan
besar selama hidupnya (Komaruddin, 1996: 14).
Nilai yang dapat dipetik dari kisah Ashabul Kahfi adalah
a) tauhidillah b) tadh-chiyyah (pengorbanan), c) tawakkal
(pasrah kepada Allah), d) al-futuwah al-qudwah (pencurahan
segala kebaikan, menahan atau menghindari hal-hal yang
menyakiti dan meninggalkan pengaduan kepada selain Allah
swt. Tokoh yang dipilih Allah dalam kisah ini adalah golongan
pemuda dan bukan golongan orang tua. Pemuda adalah yang
paling siap dan interest menerima kebenaran, dibandingkan
golongan tua; dan e) nilai pembenaran akan janji Allah, yaitu
akan dibangkitkannya semua manusia dari mati menuju hari
pembalasan (Nasruddin, 2012).

2. Kajian Semiotik terhadap Cerpen Shurakhul Qubur karya


Khalil Gibran
Analisis semiotik pada cerpen Shurakhul Qubur (SQ)
dilakukan dengan melakukan pembacaan secara heuristic, yaitu
berdasarkan pembacaan tingkat pertama atau berdasarkan
struktur kebahasaan, mulai dari awal cerita sampai akhir secara
berurutan. Selanjutnya dilakukan pembacaan secara hermeneutik
dengan menggunakan explanation dan interpretation. Hipogram
atau teks yang menjadi latar belakang kehadiran cerpen ini
adalah masalah kehidupan sosial dalam kerajaan. Matriks
dalam cerpen ini adalah masalah sosial tentang ketidakadilan
seorang raja dan dijabarkan dalam penggalan-penggalan teks
dalam cerpen (Novitasari, 2012).

- 137 -
… Hanik Mahliatussikah …

IV. Rangkuman
1. Semiotik adalah ilmu tentang tanda atau ilmu yang
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensi-
konvensi yang memungkinkan tanda itu memiliki arti.
Ilmu semiotik adalah ilmu yang menganggap kebudayaan
termasuk sastra sebagai tanda.
2. Ada tiga tanda yang dikenalkan dalam teori semiotic,
yaitu: (1) ikon: hubungan alamiah, yaitu hubungan antara
tanda dengan acuannya yang berupa hubungan kemiripan,
(2) indeks: hubungan kausalitas, hubungan antara tanda
dengan acuannya yang berupa hubungan kedekatan
eksistensi, dan (3) simbol: hubungan arbitrer menurut
konvensi yang berlaku, hubungan antara tanda dengan
acuannya yang berupa hubungan konvensional.
3. Menurut Jonathan Culler menyatakan bahwa dalam
menelaah sastra secra semiotik dapat dilakukan dengan
cara mengidentifikasi:
(a) jenis-jenis tanda (ikon, indeks, simbol)
(b) menyendirikan satuan-satuan (alur, tokoh, latar, tema)
yang digunakan
(c) menganalisis secara intertekstual
4. Menurut Michael Riffaterre, terdapat 4 prosedur dalam
menelaah karya sastra secara semiotik, khususnya puisi,
yaitu:
(a) ketidaklangsungan ekspresi
(b) pembacaan heuristik dan hermeneutik
(c) matriks, model dan varian
(d)hubungan intertekstual
5. Tanda-tanda yang harus diburu menurut Rachamad
Djoko Pradopo:
a. Jenis-jenis tanda: tanda-tanda penting dari ikon, indeks
dan simbul

- 138 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

b. Satuan-satuan arti (pada puisi terletak pada aspek


kebahasaannya), yaitu: bunyi, kata dan kalimat.
c. Konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti
(ketidaklangsungan ekspresi)
6. Secara rinci, langkah kerja dalam pendekatan semiotik
sebagai berikut.
(a) Membaca dengan penuh perhatian untuk menemukan
pemahaman, kekhasan dan keunikan karya tersebut.
(b) Mengkaji teknik, gaya kekuatan dan keistimewaan
yang menyebabkan karya itu memiliki sistem sendiri.
(c) Mengkaitkan sistem karya tersebut dengan sistem
yang berada di luar karya. Konflik yang berada dalam
cerita dikaitkan dengan konflik yang ada di luar karya.
Bahasa yang digunakan pengarang dikaitkan dengan
bahasa yang digunakan masyarakat untuk melihat
bagaimana upaya pengarang mengeksploitasi bahasa
untuk mencapai efek keindahan, atau untuk melihat
sejauhmana penyimpangan struktural mampu meng-
hasilkan sesuatu yang menggugah.
7. Pendekatan semiotik lebih menyempurnakan pendekatan
yang lain seperti struktural, sosiologis dan stilistika.
Penganalisis semiotik memerlukan dukungan ilmu
linguistik, sosiologis dan psikologi untuk menghasilkan
analisis semiotik yang maksimal. Dalam khazanah ilmu
Al-Qur’an ada dua cara untuk memahami Al-Qur’an,
yaitu tafsir dan takwil. Tafsir dikenal sebagai cara
mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan moral yang
terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Sedangkan
takwil adalah cara untuk memahami teks dengan
menjadikan teks, sebagai objek atau lebih tepat di sebut
pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks
tanpa mengotak-atik teks itu sendiri. Kajian semiotika Al-
Qur’an banyak dimotori oleh Nasr Hamid Abu Zaid dan
Muhammad Arkoun.
- 139 -
… Hanik Mahliatussikah …

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar Semiotka: tanda-tanda


dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Eco, Umberto. 1994. A Theory of Semoitics, Bloomington: Indiana
University Press.
Faruk. 1996. “’Aku’ dalam Semiotika Riffaterre”, dalam Jurnal
Humaniora III hal: 25. Yogyakarta: FIB UGM.
Gunawan, imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan
Praktik. Jakarta: Bumi Aksara
Mahliatussikah, Hanik. 2003. “Analisis Struktural-Semiotik
dalam Puisi Arab Modern Kun Jamilan Karya Îliyyâ Abû
Mâdhî”, dalam Jurnal Al-Arabi.Vol.1 No.1, Juni 2003. Hal:1-
9.
Noor, redyanto. 2004. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang:
Fak Sastra UNDIP
Novitasari, Sherly. 2012. Analisis Struktural Semiotik Cerpen
“Shurohul Qubur” Karya Jubran Kholil Jubran, Skripsi,
Malang: UM
Pradopo, Rachmat Djoko 1999. “Semiotika: Teori, Metode, dan
Penerapannya dalam Pemaknaan Sastra”. Makalah
disampaikan dalam kegiatan Penyerapan Ilmu Kesusasteraan
dan Penerapannya. Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra, UGM.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. “Penelitian Sastra dengan
Pendekatan Semiotik”, dalam Jabrohim (Ed.). Teori
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika
Indonesia dan IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Hal: 93.

- 140 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Prasetya, Arif Budi. Semiotik: Simbol, Tanda, dan Konstruksi


Makna. Dalam fbudi.lecture.ub.ac.id.
Aart, van Zoest. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan
Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber
Agung..

- 141 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Apa pengertian semiotik?
2. Sebutkan tokoh-tokoh semiotik dan pendapatnya mengenai
bahasa sebagai sistem tanda!
3. Buatlah peta konsep mengenai ikon, indeks dan simbol yang
disertai contoh!
4. Uraikan secara runtut semiotika Riffaterre dalam meng-
analisis sastra!
5. Jelaskan metode analisis semiotik!
6. Jelaskan pentingnya tanda-tanda tekstual dalam suatu teks?
7. Menurut pendapat saudara, cara mana yang lebih baik
untuk menganalisis memahami ilmu Al-Qur’an, tafsir atau
takwil?
8. Bagaimanakah langkah kerja secara semiotis terhadap teks
Al-Quran?
9. Apa yang anda ketahui tentang hipogram dan matriks?
10. Carilah satu contoh teks sastra atau teks Al-Quran kemudian
analisislah secara semiotik!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 142 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

B A B Strukturalisme
____ 8
Semiotik

I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan sekilas tentang struktural
semiotik. Teori strukturalisme semiotik merupakan gabungan
dari teori struktural dan teori semiotik. Teori ini muncul akibat
adanya kekurangan dan keterbatasan dari teori struktural yang
hanya melihat aspek intrinsik teks saja. Dengan pembahasan ini
diharapkan kalian lebih memahami teori struktural semiotik. Di
akhir pembahasan disajikan rangkuman dan latihan yang akan
menguatkan pemahaman.

II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu strukturalisme
Semiotik, akan dijelaskan pada bab berikutnya tentang analisis
struktural dinamik. Oleh karena itu, diharapkan mahasiswa
dapat memahami materi pada bab ini dengan baik sehingga

- 143 -
… Hanik Mahliatussikah …

akan membantu mempermudah dalam memahami kajian


berikutnya.

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa mampu menjelaskan tentang teori struktural
semiotik dan dapat menerapkannya dalam kajian prosa Arab.

A. Struktural Semiotik
Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan,
dan keinginan pengarang lewat bahasa. Ketiga aspek tersebut
tidak bisa dipisah-pisahkan dan sebaliknya selalu berjalan
beriringan dan menyatu. Bahasa itu akan membentuk sistem
ketandaan yang dinamakan semiotik dam ilmu yang mempelajari
masalah ini, adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan
semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam
karya sastra.
Model struktural semiotik muncul sebagai akibat ketidak-
puasan terhadap kajian struktur. Jika struktural sekadar me-
nitikberatkan aspek intrinsik, semiotik yang demikan halnya,
karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra
memiliki sistem tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian
struktural semiotik, artinya penelitian yang menghubungkan
aspek-aspek struktural dengan tanda-tanda. Tanda sekecil
apapun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan.
Kajian struktural semiotik akan mengungkap karya
sastra sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana
komunikasi yang bersifat elastis. Karenanya setiap tanda
membutuhkan pemaknaan (Segers, 2000:6), membagi tiga jenis
sarana komunikasi, yaitu signal dan symbol. Signal adalah
tanda-tanda yang merupakan elemen terendah, seperti halnya

- 144 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

sebuah stimulus pada sebuah bintang. Sign adalah tanda-tanda.


Symbol adalah lambang yang bermakna. Ketiganya seringkali
digunakan tidak secara terpisah dalam dunia sastra. Karena itu,
tugas peneliti sastra adalah meberikan rincian ketiganya,
sehingga makna sastra itu menjadi jelas.
Sistem kerja penelitian semiotik dapat menggunakan dua
model pembacaan, yaitu heuristik dan hermeneutik. Pembacaan
heuristik adalah telaah dari kata-kata, bait-bait (line), dan term-
term karya sastra. Sedangkan pembacaan hermeneutik merupa-
kan penafsiran atas totalistas karya sastra. Fokkema dan
Kunne-Ibsch (1977: 166) memberikan acuan bahwa penelitian
semiotik sekurang-kurangnya perlu memperhatikan tiga aspek
utama, yaitu (a) the construction of abstract scientific models, (b)
explanatory model, (c) schematic simplication. Sedangkan menurut
Riffaterre (1978:1-2) penelitian semiotik perlu memperhatikan
tiga hal juga, yaitu (1) displacing of meaning (penciptaan arti), (2)
distorting of meaning (penyimpangan arti), (3) creating of meaning
(penciptaan arti). Meskipun konsep analitik itu banyak
digunakan dalam penelitian puisi, tidak berarti tidak dapat
diterapkan pada genre lain. Genre drama dan prosa pun dapat
memanfaatkan hal ini.
Bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai
suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut
makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Karya sastra yang bermedia-
kan bahasa merupakan sebuah struktur ketandaan yang ber-
makna. Karya sastra merupakan struktur yang kompleks
sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan
analisis. Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan
analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme sebagai-
mana dinyatakan oleh Pradopo (1987: 108) merupakan prosedur
formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya memahami
keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem
tanda dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang

- 145 -
… Hanik Mahliatussikah …

mengikat (jabrohim.wordpress.com). Analisis tanda sebagai hasil


proses-proses sosial menuju kepada sebuah pembongkaran
struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi.
Sistem tanda dan konvensinya merupakan jalan dalam pem-
bongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem tanda maka
struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara
keseluruhan.
Menurut Hawkes, strukturalisme adalah cara berpikir
tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan
deskripsi struktur. Yang menjadi konsep dasar teori struk-
turalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya
sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom
yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat
dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan
(Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori
strukturalisme yang memandang bahwa struktur itu harus
lepas dari unsur lain memunculkan adanya kajian semiotik.
Karena kajian semiotik juga tidak dapat sepenuhnya lepas dari
struktur maka kajian ini akhirnya disebut dengan kajian
struktural semiotik.
Ketika kajian struktural dikaitkan dengan kajian yang lain
seperti sosiologi dan feminisme serta antropologi dan lain-lain,
maka kajian ini memasuki wilayah studi interdisliner. Dengan
demikian, sebagaimana dikemukakan Jabrohim, dengan studi
interdisipliner ini, teori strukturalisme dapat menggunakan
pendekatan ekstrinsik karena mengaitkan struktural dengan
keilmuan lain. Darma (2004: 85) menyatakan bahwa struktur-
alisme dapat menggunakan pendekatan ekstrinsik, jika struk-
turalisme digunakan sebagai studi interdisipliner. Mengaitkan
antara sastra dengan antropologi, sosiologi, sejarah, psikologi,
maupun bidang kajian sastra yang lainnya. Seedangkan
feminisme adalah bagian dari pendekatan sosiologi sastra.

- 146 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

B. Konsep Semiotik
1. Konsep Saussure tentang semiotik
Konsep Saussure tentang semiotik berkaitan dengan
bahasa sebagai sistem tanda yang bermakna. Bahasa sebagai
sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak
terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau
penanda dan petanda. Wujud penanda dapat berupa bunyi-
bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda
adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung
dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002:
43). Penanda dan petanda merupakan konsep Saussure yang
terpenting, sedangkan konsep Saussure yang lain menurut
Ratna (2010: 99) adalah parole dan langue; paradigmatik dan
sintagmatik; serta sinkroni dan diakroni.
Perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech,
utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem
yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole
bersifat konkret yang kemudian membentuk sistem bahasa
yang bersifat abstrak yaitu langue.
Hubungan sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan
paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan,
hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir
dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro (2002: 47)
kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang
muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi
puitik. Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman
(hubungan paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hu-
bungan linier, hubungan sintagmatik – bentuk yang dipilih
dalam puisi tersebut adalah bentuk yang paling tepat (Jabrohim,
wordpress.com).
Diakronis mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah,
dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi
mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda.

- 147 -
… Hanik Mahliatussikah …

Adapun sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu,


hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.

2. Konsep Peirce tentang semiotik


Peirce (Ratna, 2010: 101) mengemukakan bahwa tanda
memiliki tiga sisi/triadik, yaitu representamen, objek, dan
argumen. Penjelasannya sebagai berikut.
a. Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan
tanda dengan ground ada 3, yaitu qualisigns, sinsigns,
dan legisigns (Zoest, 1993: 18-19). Jabrohim (Jabrohim.
wordpress.com) mengemukakan sebagai berikut.
1) Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar
suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’ dapat digunakan
sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat
berarti cinta (memberi mawar merah pada seseorang),
bagi perasaan dapat berarti menunjukkan sesuatu.
Namun warna itu harus memeroleh bentuk, misal
pada bendera, pada mawar, dan pada papan lalu
lintas.
2) Sinsigns
Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas
dasar tampilnya dalam kenyataan. Sinsigns dapat
berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan,
keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali
orang lain dari dehemnya, langkah kakinya,
tertawanya, dan nada dasar dalam suaranya.
3) Legisigns
Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan
tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum,
sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’
pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.

- 148 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

b. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa


yang diacu. Hubungan antara tanda dengan
denotatum, yaitu:
1) Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena
serupa. Ikon dibagi tiga macam:
a) Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang
b) Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur
c) Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua Kenya-
taan yang didenotasikan
Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang
menandai kuda (petanda).
2) Indeks
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena
sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.
3) Simbol
Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena
adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal:
lampu merah pertanda berhenti.
c. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam
batin penerima.
Hubungan antara tanda dan interpretan oleh
Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga
macam:
1) Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
Contoh: “Rien adalah X”. X merupakan tanda
yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau ‘cerdas’, tanda itu
diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.
2) Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan
deskriptif.
Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam ke-
seluruhan merupakan decisigns.

- 149 -
… Hanik Mahliatussikah …

3) Argument, tanda sebagai nalar: proposisi


(Jabrohim.wordpress.com).

Contoh Kajian:
Citra Tokoh dalam Kadurakan Ing Kidul Dringu Karya
Saparto: Sebuah Analisis Struktur-semiotik
Penulis: Dhanu Priyo Prabowo
Abstrak:
Penelitian terhadap novel Kadurakan ing Kidul Dringu
(KKD) ini bertujuan untuk mencari makna citra tokoh, makna
hubungan struktur, makna hubungan intertekstualitas novel
tersebut dengan novel Lara Lapane Kaum Republik (LLKR),
dan makna hubungan intertekstualitasnya dengan filsafat atau
pandangan pengarangnya.
Dalam analisis ini dipergunakan metode strukturalisme
dan metode semiotik. Struktur novel dalam tesis ini berupa
penokohan, alur, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.
Tokoh utama adalah seorang laki-laki mantan pegawai Jawatan
Listrik dan Gas Probolinggo, penakut, dan mempunyai
kesenangan menulis. Ia ikut berjuang membela negara ketika
Probolinggo diduduki tentara Belanda. Alur dimulai dari
urutan tekstual, kemudian dilanjutkan dengan urutan sekuen,
urutan kronologis, dan urutan logis. Latar tempat novel KKD
berada di selatan Dringu dan Sala, sedangkan latar waktu
terjadinya peristiwa adalah saat perang kemerdekaan dan
setelah perang.
Pusat pengisahan yang digunakan dalam KKD adalah
pusat pengisahan orang pertama sentral dan orang pertama
pinggiran. Adapun gaya bahasa yang digunakan adalah gaya
bahasa kiasan dan sarana retorika. Gambaran itu menunjukkan,
secara struktural, novel KKD dibangun oleh satuan naratif dan
satuan naratif diikat oleh penanda struktural sehingga secara
keseluruhan tercipta satu struktur yang padu dan bulat.

- 150 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Struktur yang padu dan bulat itu mampu menggambarkan


citra tokoh utamanya.
Setelah analisis struktural, kemudian dilanjutkan dengan
analisis semiotik (pembacaan heuristik dan pembacaan
hermeneutik). Dalam KKD, pembacaan heuristik dimulai dari
awal hingga akhir secara kronologis, yaitu masa perang dan
setelah perang. Dalam pembacaan hermeneutik, teks dibaca
dengan menafsirkan tanda-tanda yang berupa ketidaklang-
sungan semantik, kata-kata kiasan, dan judul teks. Kesemua
tanda itu ada yang berkedudukan sebagai matriks (kata kunci).
Kata kunci yang dimaksudkan di sini adalah ketakutan akibat
perbuatan dosa melalui pembunuhan terhadap sesama pejuang
yang sedang menderita luka dan tidak berdaya. Novel KKD
dan LLKR terdapat kesamaan masalah. Kesamaan masalah itu
menunjukkan bahwa antara KKD dan LLKR terdapat hubung-
an intertekstualitas.
Hasil studi menunjukkan bahwa hubungan intertekstuali-
tas itu terwujud dalam tiga bentuk, yaitu hubungan transformatif,
hubungan dialektis, hubungan hipogramatik, dan hubungan
antara teks dan filsafat atau pandangan pengarangnya
mengenai ketakutan. Berdasarkan pembacaan atas struktur
naratif teksnya, diperoleh pemahaman mengenai citra tokoh
utama KKD, yakni konflik batin akibat perbuatan dosa. Konflik
batin itu diselesaikan oleh tokoh utama dengan cara
meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya diembannya.
(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/produk/662)

IV. Rangkuman
1. Kajian struktural semiotik akan mengungkap karya sastra
sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana
komunikasi yang bersifat elastis. Penelitian semiotik
menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch sekurang-kurangnya
perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu (a) the

- 151 -
… Hanik Mahliatussikah …

construction of abstract scientific models, (b) explanatory model,


(c) schematic simplication. Sedangkan menurut Riffaterre
(1978:1-2) penelitian semiotik perlu memperhatikan tiga
hal juga, yaitu (1) displacing of meaning (penciptaan arti), (2)
distorting of meaning (penyimpangan arti), (3) creating of
meaning (penciptaan arti).
2. Konsep Saussure tentang semiotik berkaitan Bahasa
sebagai sistem tanda yang mewakili dua unsur (diadik)
yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan
signifie, atau penanda dan petanda. Kemudian konsep
parole dan langue; paradigmatik dan sintagmatik; serta
sinkroni dan diakroni.
3. Konsep pierce tentang semiotik bahwa bahwa tanda
memiliki tiga sisi/triadik, yaitu representamen, objek,
dan argumen.

- 152 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Aart, van Zoest. (1993). Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya


dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan
Sumber Agung.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra . Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad
Kedua Puluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya.
Jabrohim.wordpress.com
Kutha Ratna, Nyoman.2010. Teori, Metode dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Prabowo, Danu Priyo. Citra Tokoh Dalam Kadurakan Ing Kidul
Dringu Karya Saparto, sebuah Analisis Struktur-semiotik,
dalam
(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/prod
uk/662)
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and
London: Indiana University Press.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita.

- 153 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Apa yang dimaksud dengan semiotik?
2. Jelaskan bagaimana munculnya kajian struktural semiotik!
3. Bandingkan perbedaan model pembacan antara heuristik
dan hermeneutic!
4. Jelaskan konsep semiotik menurut Saussure!
5. Jelaskan konsep semiotik menurut Pierce!
6. Apa yang dimaksud dengan konsep Qualisigns, Sinsigns,
dan Legisigns menurut Pierce? Jelaskan jawaban saudara!
7. Sebutkan 3 macam ikon dan jelaskan pengertian masing-
masing!
8. Mengapa karya sastra dikaji dengan teori semiotik?
9. Lakukan analisis semiotik terhadap cerpen atau teks Al-
Quran bersama teman saudara!
10. Presentasikan di depan kelas atau di depan kelompok lain
hasil analisis yang telah dilakukan!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 154 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

B A B Analisis Struktur
Dinamik
____ 9

I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan tentang analisis struktural
dinamik yang merupakan tindak lanjut dari analisis struktural.
Untuk membantu pendalaman dalam pemahaman, dikemukakan
pula rangkuman dan evaluasi. Semoga paparan analisis
struktural yang telah dideskripsikan sebelumnya sudah dapat
dipahami dengan baik sehingga memudahkan kalian untuk
memahami materi ini.

II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang analisis
struktural dinamik, akan dijelaskan pada bab berikutnya
tentang teori dan metode analisis struktural genetik. Oleh
karena itu, diharapkan mahasiswa dapat memahami materi
pada bab ini dengan baik dan tidak melewatkannya karena
antara bab ini dan selanjutnya memiliki keterkaitan dan

- 155 -
… Hanik Mahliatussikah …

relevansi. Keduanya sama-sama merupakan tindak lanjut dari


kajian struktural yang sudah lebih lengkap.

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa mampu menjelaskan tentang analisis struktural
dinamik dengan runtut dan rinci.

A. Strukturalisme Formalis, Strukturalisme Genetik, dan


Sstrukturalisme dinamik
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuh teori pen-
dekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan kese-
luruhan relasi antara berbagai unsur teks. Teori strukturalisme
sastra menganggap karya sastra sebagai “artefak” (benda seni)
maka realisasi-realiasi struktural sebuah karya sastra hanya
dapat dipahami dalam relasi unsur-unsur artefak itu sendiri.
Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri atas komponen-
komponen seperti; ide, tema, amanat, latar, watak dan
perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa (Taum, 1997: 37-40).
Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan
aksentuasi pada pelbagai teks sastra. Strukturalisme sastra
memberi keluasaan kepada peneliti sastra untuk menerapkan
komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas
signifikan. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh
komponen-komponen itu terserat dalam teks itu sendiri. Jadi
teks sastra berfungsi mengontrol objektifitas dan validitas hasil
penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menetapkan teori
strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan
diterima dalam kalangan luas.
Menurut Zulfahnur (1997: 146-147) struktural mempunyai
konsep sebagai berikut:

- 156 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

a. Memberi penilaian terhadap keharmonisan semua


komponen yang membentuk keseluruhan struktur dengan
menjalin hubungan antara komponen tersebut sehingga
menjadi suatu keseluruhan yang bermakna dan bernilai
estetik.
b. Memberikan penilaian terhadap hubungan harmonis
antara isi dan bentuk, karena jalinan isi dan bentuk
merupakan hal yang sama penting dalam menentukan
mutu sebuah karya sastra.
Tujuan teori strukturalime ini meliputi; (a) sebagai
aktivitas yang bersifat intelektual, bertujuan menjelaskan
eksplikasi tekstual; (b) sebagai metode ilmiah, teori ini
memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah
yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid; (c) sebagai
pengetahuan, teori ini dapat dipelajari dan dipahami secara
umum dan luas dan dapat dibuktikan kebenaran cara kerja
secara cermat.
Teori strukturalisme dibagi menjadi tiga jenis yaitu
strukturalisme formalis, strukturalisme genetik, strukturalisme
dinamik yang pada dasarnya secara global strukturalisme
menganut paham penulis paris yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep bentuk
dan makna (sign and meaning).

a. Strukturalisme Formalis
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti
bentuk, wujud) berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik
sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis,
ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk
karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya
pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa
lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk

- 157 -
… Hanik Mahliatussikah …

menyebut model pendekatan ini karena mereka memandang


karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang utuh dan
otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya.
Tokoh; Kaum Formalis Rusia tahun 1915-1930 dengan tokoh-
tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky,
Eichenhaum, dan Tynjanov. Rene Wellek dan Roman Jakobson
beremigrasi ke Amerika Serikat. Sumbangan penting kaum
formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka meng-
arahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan
fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan
istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum
Formalis. Karya sastra merupakan sesuatu yang otonom atau
berdiri sendiri. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang
terdiri dari unsur-unsur pembangun karya sastra. Makna
sebuah karya sastra hanya dapat diungkapkan atas jalinan atau
keterpaduan antar unsur.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah
evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis.
Strukturalisme menentang teori mimetic (yang berpandangan
bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif
(yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan
perasaan dan watak pengarang), dan menentang teori-teori
yang dianggap sastra sebagai media komunikasi antara
pengarang dan pembacanya. Dalam perkembangannya, terdapat
banyak konsep dan istilah yang berbeda, bahkan saling
bertentangan. Misalnya strukturalisme perancis yang terutama
diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengembang-
kan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa
teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkap kode-kode
reptorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan
bahwa sebuah karya sastra harus dipandang secara otonom.

- 158 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara


objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak
pada penggunaan bahasa yang khas yang mengandung efek-
efek estetik. Aspek-aspek ekstrisik seperti idiologi, moral,
sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada
dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara
tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Selama 25 abad terjadi perubahan paradigma yang sangat
mendasar, yaitu dengan memberikan prioritas terhadap karya
sastra, yang diawali oleh:
a. Formalisme Rusia (1915—1930)
b. Strukturalisme Praha (1930—an )
c. Kritik baru di Amerika Serikat (1940—an)
d. Strukturalisme Baru di Rusia (1960—an)
e. Strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di Jerman,
Strukturalisme di Belanda, dan Strukturalisme di Indonesia
melalui kelompok Rawamangun (1960—an).
Menurut Mukarovsky dalam (Wellek, 1970: 275-276),
sejarah strukturalisme mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak
menggunakan nama metode atau teori, sebab teori berarti
bidang ilmu pengetahuan tertentu dan metode berarti prosedur
ilmiah yang relatif baik. Strukrutalisme bersifat sistem secara
umum.

b. Strukturalisme Dinamik
Strukturalisme dinamik dipelopori oleh Mukarovsky
sebagai tokoh strukturalisme praha. Aliran ini berkembang
tahun 1930-an namun karena kebanyakan tertulis dalam
bahasa Ceko maka baru dikenal di Eropa tahun 1960-an melalui
terjemahannya dalam bahasa Jerman dan tahun 70-an dalam
bahasa Inggris. Dengan demikian teori ini berpangkal pada
aliran formalis, yaitu sebagai usaha memahami karya sastra

- 159 -
… Hanik Mahliatussikah …

sebagai realisasi fungsi puitik bahasa. Fungsi puitik bahasa


dikenalkan oleh Jakobson, yaitu berpusat pada pesan demi
pesan itu sendiri.
Sejak awal, Mukarovsky telah memperkenalkan fungsi
karya sastra sebagai tanda, sebagai fakta sosial supra individual
yang mengadakan komunikasi. Bagi mukarovsky, karya sastra
tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks sosial lain.
Fungsi estetik tidak dapat membaca teks secara aprioro. Jadi
menurutnya harus dikaitkan dengan lingkungan sosial yang
memunculkannya. Hubungan antara fungsi estetik dan fungsi
lain bukanlah variabel tetapi berubah-ubah. Penanggap karya
sastra bervariabel dan berubah-ubah. Fungsi karya sastra juga
berubah-ubah.
Jadi menurut Mukarovsky karya sastra dalam sejarahnya
tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial budaya serta norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Dia
menolak strukturalisme obyektif yang memutus karya sastra
dari aspek budaya. Unsur-unsur itu tidak hanya berfungsi
pada karya sastra itu saja tetapi terkait dengan sosialnya. Dia
mengatakan, karya sastra itu artefak yang menghidupkannya
adalah pembaca. Pembaca yang memberi makna terhadap
karya sastra itu. Struktur karya sastra terkait dengan kode
sosial tidak berdiri sendiri sebagaimana yang dipercaya oleh
strukturalisme obyektif.
Dalam perkembangannya, ada pergeseran konsep fungsi.
Dalam tulisannya tentang estetic function norm and value social
fact (1936) Mukarovsky menjelaskan definisi fungsi: hubungan
yang aktif antara sebuah obyek dengan tujuan yang dilayani
oleh obyek tersebut. Dengan demikian, karya sastra bertujuan
untuk berkomunikasi dengan pembaca. Tujuan itu harus supra
individual, tidak terikat oleh pribadi saja karena seni sebagai

- 160 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

faktor semiotik yang komunikatif dalam kerangka sosial.


Tujuan kesenian dengan demikian adalah untuk dikomunikasi-
kan. Fungsi utama seni adalah untuk dinikmati oleh orang lain.
Jadi fungsinya obyektif.
Kemudian beberapa tahun kemudian ia membuat definisi
lain tentang fungsi, yaitu ragam realisasi diri terhadap obyek
dunia luar. Jadi lewat fungsi kesenian, pembaca merealisasikan
dirinya. Dengan demikian, pembacalah yang menjadi pusat
realisasi semiotik. Dengan demikian pembaca sebagai subyek
sangat penting sebagaimana pentingnya struktur.
Kunci strukturalime dinamik Mukarovsky:
1. Karya sastra
2. Pembaca
3. Pengarang
4. Dunia yang baru
Strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-
kelemahan strukturalisme murni. Strukturalisme dinamik
dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang
semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik,
yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya.
Strukturalime dinamik awalnya dikemukakan oleh Mukarovsky
dan Felix Vodicka (Fokkema, 2010; Ratna, 2008: 93). Menurutnya,
karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri
atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda
yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh
sebab itu, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi
penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca
sebagai penerima.
Strukturalisme dinamik lebih merupakan pengembangan
strukturalisme murni atau klasik juga. Strukturalisme dinamik
mengakui kesadaran subyektif dari pengarang, mengakui

- 161 -
… Hanik Mahliatussikah …

peran sejarah serta lingkungan sosial, meski bagaimanapun


sentral penelitian tetap pada karya sastra itu sendiri. Perbedaan
pokok antara strukturalisme genetik dan dinamik terletak pada
subyek yang diteliti. Strukturalisme dinamik lebih menekankan
pada karya-karya masterpice, karya mainstream, dan karya
agung.
Strukturalisme dinamik lebih fleksibel dalam menerapkan
teori penelitian. Teori yang dipakai biasanya merupakan
gabungan sedikit-sedikit antara teori satu dengan yang lain.
Penelitian ini menolak asumsi-asumsi strukturalisme murni
yang sangat menolak kesadaran subyektif, takluk pada sistem,
menolak historismer, mengidolakan sinkronik dan anti
humanisme. Atas dasar ini, strukturalisme dinamik justru
mengenalkan penelitian sastra dalam kaitannya dengan sistem
tanda. Caranya adalah menggabungkan kajian otonom karya
sastra dan semiotik. Kajian otonom dilakukan secara intrinsik
dan kajian semiotik akan merepresentasikan teks sastra sebagai
ekspresi gagasan, pemikiran, dan cita-cita pengarang. Gagasan
tersebut dimanifestasikan dalam tanda-tanda khusus.
Kepaduan antar struktur otonom dan tanda ini, merupakan
wujud bahwa struktur karya sastra bersifat dinamik.

c. Strukturalisme Genetik
Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural
formalis dan teori semiotik. Hampir sama dengan struktural
genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi penekanan-
nya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur,
tanda, dan realitas. Tokoh-tokohnya Julia Cristeva dan Roland
Bartes (Strukturalisme Prancis).
Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian
terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik
baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda,

- 162 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping akibat dari


ciri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsur tersebut juga terjadi
sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam
hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-
ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap
penilaian akan memberikan hasil yang berbeda.
Atas dasar hakikat otonom karya sastra seperti di atas,
maka tidak ada aturan yang baku terhadap suatu kegiatan
analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan tergantung
dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis
di pihak yang lain. Dalam analisis akan selalu terjadi tarik-
menarik antara struktur global, yakni totalitas suatu karya itu
sendiri dengan unsur-unsur yang diadopsi ke dalam wilayah
penelitian. Menurut Jean Piaget (1973:97-98) di sinilah tampak
dinamika karya sastra sebagai totalitas sebab proses adopsi
mengandaikan terjadinya ciri-ciri transformasi dan regulasi
sehingga akan terjadi keseimbangan antara struktur global
dengan unsur-unsur yang dianalisis. Suatu karya yakni karya
sastra tidak mungkin dan tidak perlu dianalisis secara
menyeluruh sebab struktur global tidak terbatas.
Sebuah novel, cerita pendek, bahkan satu bait puisi,
selalu tampil sebagai subordinasi genre, periode, struktur sosial
dan kebudayaan yang lebih luas, yang mana pada gilirannya
tidak memungkinkan untuk melepaskan karya tersebut dari
kerangka sosiokultural yang menghasilkannya. Puisi, prosa,
dan drama dan juga sastra klasik yang lain, tidak semata-mata
dianalisis secara teks, tetapi juga dimungkinkan dalam
kaitannya sengan pementasan langsung sebagai performing art.
Dalam hubungan ini analisis struktur akan melibatkan paling
sedikit tiga komponen utama, yakni pencerita, karya sastra, dan
pendengar. Sehingga metodologi yang digunakan pun akan

- 163 -
… Hanik Mahliatussikah …

bertambah kompleks, tidak hanya terbatas pada penelitian


pustaka, melainkan juga dilengkapi dengan penelitian
lapangan yang dengan sendirinya juga akan melibatkan
instrumen penelitian lapangan.
Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami
secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin diterapkan
sama persis seperti yang telah dikemukakan oleh para
penemunya. Teori juga dapat ditafsirkan sesuai dengan
kemampuan peneliti. Teori adalah alat, yang mana berfungsi
untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek
secara maksimal. Jadi, teori memiliki fungsi statis sekaligus
dinamis.

B. Pendekatan Strukturalisme Dinamik


Strukturalisme dinamik mengakui kesadaran subjektif
dari pengarang, mengakui peran sejarah serta lingkungan
sosial; meski bagaimanapun sentral penelitian tetap pada karya
sastra itu sendiri. Selain itu, strukturalisme dinamik mengenal-
kan penelitian sastra dalam kaitannya dengan sistem tanda.
Caranya, adalah menggabungkan kajian otonom karya sastra
dan semiotik. Kajian otonom, dilakukan secara intrinsik dan
kajian semiotik akan merepresentasikan teks sastra sebagai
ekspresi gagasan, pemikiran, dan cita-cita pengarang
(Endraswara, 2004: 62).
Dalam penerapan strukturalisme dinamik, terdapat dua
hal yang harus diperhatikan: (1) peneliti bertugas menjelaskan
karya sastra sebagai sebuah struktur berdasarkan unsur-unsur
atau elemen-elemen yang membentuknya; (2) peneliti bertugas
menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas, karya sastra, dan
pembaca (Pradopo, dkk, 2001: 64).

- 164 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Strukturalisme dinamik juga merupakan gabungan


antara teori strukturalisme murni, sosiologi, dan strukturalisme
semiotik.

1. Strukturalisme murni
Strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir
tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan
dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya
sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur
yang saling terkait satu sama lain. Kodrat struktur itu akan
bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur
tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan
harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara
keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian
atau fragmen struktur (Endraswara, 2004: 49).
Strukturalisme murni menganggap bahwa karya sastra
merupakan sebuah kesatuan yang utuh. Pradopo, dkk (2001:
54), mengemukakan bahwa satu konsep dasar yang menjadi
ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di
dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur
yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan
yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang paling
berjalinan.
Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-
mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana
keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar,
sudut pandang (Nurgiyantoro, 1995: 37). Unsur-unsur intrinsik
tersebut sangatlah luas, sehingga penulis hanya membatasi
pada penokohan, alur/plot, latar/setting, serta tema dan
amanat.

- 165 -
… Hanik Mahliatussikah …

a. Penokohan
Perlu diketahui, bahwa istilah “penokohan” lebih luas
pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan”. Istilah
“tokoh” menunjuk pada orangnya (orang yang terdapat/
diceritakan dalam novel). Sedangkan penokohan mencakup
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca (Nurgiyantoro, 1995: 165-166).

b. Alur/Plot
Alur/plot adalah proses jalannya cerita dari awal sampai
akhir atau selesai. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995: 113),
mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
terjadinya peristiwa yang lain. Kenny, mengatakan bahwa plot
sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita
yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun
peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

c. Latar/setting
Latar/setting adalah suatu penjelasan tentang tempat,
ruang dan waktu dalam sebuah cerita atau karya sastra.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 216), berpendapat bahwa
latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Menurut Nurgiyantoro (1995: 227-234), unsur latar
dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok:
- Latar tempat: menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

- 166 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

- Latar waktu: berhubungan dengan “kapan” terjadinya


peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi.
- Latar sosial: berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi dan juga berhubungan dengan status sosial tokoh.

d. Tema dan Amanat


Tema adalah sesuatu yang mendasari sebuah cerita atau
karya sastra. Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro,
1995: 68), mengemukakan pendapat mereka bahwa tema
merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai
struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan
atau perbedaan-perbedaan.
Untuk menemukan tema sebuah novel, haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan
bagian-bagian tertentu cerita. Menurut Stanton (87-88), usaha
menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel dapat
ditunjukkan sebagai berikut:
- penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan
tiap detil cerita yang menonjol.
- penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat
bertentangan dengan tiap detil cerita.
- penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan
diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara
langsung maupun tak tak langsung dalam novel yang
bersangkutan.
- penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri
pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang
disarankan dalam cerita.

- 167 -
… Hanik Mahliatussikah …

Hubungan antara tema dan amanat saling terkait. Tema


merupakan ide pokok yang menjadi permasalahannya,
sedangkan amanat merupakan pemecahannya. Tema juga
merupakan perumusan permasalahannya, sedangkan amanat
merupakan perumusan jawabannya.

2. Pendekatan Sosiologi
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang
bersifat reflektif, artinya cermin kehidupan masyarakat pada
masa itu. Oleh karena itu, pendekatan sosiologi sastra lebih
banyak membicarakan hubungan antara pengarang dengan
kehidupan sosialnya. Sastra adalah konsep cermin (mirror).
Sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Namun,
sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan
yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang
kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis (Endraswara,
2004: 78).
Tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk
mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh
tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra,
dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan
timbal balik antara ketiga anasir tersebut penting artinya bagi
peningkatan pemahaman dan penghargaan kita terhadap sastra
itu sendiri (Pradopo, dkk, 2001: 159).

3. Pendekatan Semiotik
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari
sistim-sistim, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memung-
kinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, dkk,
2001: 67-68). Sedangkan Endraswara (2004: 64), meng-

- 168 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

ungkapkan bahwa semiotik adalah model penelitian sastra


dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap
mewakili sesuatu objek secara representatif. Suatu gejala
struktural, baik ia muncul dalam teks pada tingkatan
mikrostruktural (dalam kalimat, dalam sekuen) maupun pada
tingkatan makrostruktural (dalam bagian teks yang agak lebih
luas atau dalam teks secara keseluruhan), selalu dapat
dianggap sebagai tanda (Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest,
1992: 15).
Strukturalisme dianggap mementingkan objek, dengan
konsekuensi menolak, bahkan ‘mematikan’ subjek pencipta.
Oleh karena itulah strukturalisme dianggap sebagai anti-
humanis. Strukturalisme dianggap melepaskan karya dari
sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-
usulnya. Karena itu kemudian strukturalisme dikaitkan dengan
analisis lain untuk melengkapi kelemahan tersebut. Struk-
turalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan
strukturalisme murni tersebut.
Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian
terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik
baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda,
memiliki unsur-unsur yang berbeda. Masing-masing karya
sastra dikatakan memiliki ciri-ciri yang khas, otonom, tidak
bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan memberikan hasil
yang berbeda.
Berikut unsur-unsur prosa, puisi dan drama:
 Unsur-unsur prosa meliputi: tema, peristiwa atau
kejadian, latar atau setting, penokohan atau perwatakan,
alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa.
 Unsur-unsur puisi meliputi: tema, stilistika atau gaya
bahasa, imajinasi atau daya bayang, ritme atau irama,

- 169 -
… Hanik Mahliatussikah …

rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata, simbol,


nada, dan enjambemen.
 Unsur-unsur drama meliputi tema, dialog, peristiwa atau
kejadian, latar atau setting, penokohan atau perwatakan,
alur atau plot, dan gaya bahasa.
Atas dasar hakikat otonom karya sastra seperti di atas,
maka tidak ada aturan yang baku terhadap suatu kegiatan
analisis. Artinya, unsur-unsur yang dibicarakan tergantung
dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, tujuan analisis
di pihak yang lain. Dalam analisis akan selalu terjadi tarik-
menarik antara struktur global, yakni totalitas suatu karya itu
sendiri dengan unsur-unsur yang diadopsi ke dalam wilayah
penelitian.
Sebuah novel, cerita pendek, bahkan satu bait puisi,
selalu tampil sebagai subordinasi genre, periode, struktur sosial
dan kebudayaan yang lebih luas, yang mana pada gilirannya
tidak memungkinkan untuk melepaskan karya tersebut dari
kerangka sosiokultural yang menghasilkannya. Puisi, prosa,
dan drama dan juga sastra klasik yang lain, tidak semata-mata
dianalisis secara teks, tetapi juga dimungkinkan dalam
kaitannya dengan pementasan langsung sebagai performing art.
Dalam hubungan ini analisis struktur akan melibatkan paling
sedikit tiga komponen utama, yakni pencerita, karya sastra, dan
pendengar. Sehingga metodologi yang digunakan pun akan
bertambah kompleks, tidak hanya terbatas pada penelitian
pustaka, melainkan juga dilengkapi dengan penelitian
lapangan yang dengan sendirinya juga akan melibatkan
instrumen penelitian lapangan.
Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami
secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin diterapkan
sama persis seperti yang telah dikemukakan oleh para

- 170 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

penemunya. Teori juga dapat ditafsirkan sesuai dengan


kemampuan peneliti. Teori adalah alat, yang mana berfungsi
untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek
secara maksimal. Dengan demikian teori memiliki fungsi statis
sekaligus dinamis. Penelitilah yang akan menentukan
bagaimana ia menyikapi dan memperlakukan teori yang
digunakannya.

IV. Rangkuman
1. Strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-
kelemahan strukturalisme murni. Strukturalisme dinamik
lebih merupakan pengembangan strukturalisme murni,
yaitu dengan menggabungkan antara strukturalisme
murni, sosiologi, dan semiotik.
2. Strukturalisme dinamik dipelopori oleh Mukarovsky
sebagai tokoh strukturalisme praha. Aliran ini berkem-
bang tahun 1930-an namun karena kebanyakan tertulis
dalam bahasa Ceko maka baru dikenal di Eropa tahun
1960-an melalui terjemahannya dalam bahasa Jerman dan
tahun 70-an dalam bahasa Inggris. Menurut Mukarovsky,
karya sastra tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial
budaya serta norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Menurutnya, karya sastra
adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas
tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda
yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh
sebab itu, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi
penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca
sebagai penerima. Kunci strukturalime dinamik Mukarovsky:
karya sastra, pembaca, pengarang, dan dunia yang baru.

- 171 -
… Hanik Mahliatussikah …

3. Dalam penerapan strukturalisme dinamik, peneliti bertugas


menjelaskan karya sastra sebagai sebuah struktur
berdasarkan unsur-unsur atau elemen-elemen yang
membentuknya; kemudian menjelaskan kaitan antara
pengarang, realitas, karya sastra, dan pembaca.
4. Strukturalisme dinamik lebih fleksibel dalam menerapkan
teori penelitian. Penelitian ini menolak asumsi-asumsi
strukturalisme murni yang sangat menolak kesadaran
subjektif, takluk pada sistem, menolak historismer,
mengidolakan sinkronik dan anti humanisme. Atas dasar
ini, strukturalisme dinamik justru mengenalkan penelitian
sastra dalam kaitannya dengan sistem tanda. Caranya
adalah menggabungkan kajian otonom karya sastra dan
semiotik.

- 172 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Aart, van Zoest. (1993). Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya


dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan
Sumber Agung.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Fokkema, D.W. & Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad
Kedua Puluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, Dan, Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha.2010. Teori, Metode dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Stanton, Robert. 2007.Teori Fiksi. Jogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudjiman P dan Aart van Zoest. 1992. Serba Serbi Semiotika.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor:
Penerbit Nusa Indah.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature.
Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Zulfahnur, Z. F., dkk. 1997. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:
Universitas Terbuka.

- 173 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut ini!


1. Apa yang dimaksud dengan struktural dinamik?
2. Ceritakan secara singkat tentang sejarah struktural
dinamik!
3. Sebutkan kunci strukturalime dinamik Mukarovsky!
4. Bandingkan perbedaan struktural dinamik dengan
struktural semiotik?
5. Bagaimanakah perbedaan antara struktural dinamik dan
struktural murni?
6. Jelaskan perbedaan struktural genetik dan struktural
dinamik!
7. Apa keunggulan struktural dinamik dibanding dengan
struktural yang lain?
8. Bagaimana metode analisis struktural dinamik? Jelaskan!
9. Sebutkan konsep-konsep para pakar tentang struktural
dinamik!
10. Carilah cerpen Arab dan analisislah dengan struktural
dinamik!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬
- 174 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Teori & Metode


B A B Analisis Sturktur
___ 10 Genetik

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan sekilas tentang teori dan metode
analisis struktural genetik. Kajian ini merupakan kelanjutan
dari kajian struktural. Jika kajian struktural hanya berfokus
pada aspek intrinsik karya sastra, maka kajian struktural
genetik sudah merambah pada aspek latar belakang kemunculan
karya sastra. Pada akhir bab ini, terdapat rangkuman dan
latihan soal.

II. Relevansi
Metode analisis struktural genetik memiliki relevansi
dengan metode analisis struktural yang telah dipaparkan pada
bab sebelumnya. Materi ini juga berkaitan dengan materi
setelahnya, yaitu tentang teori dan metode analisis stilistika.

- 175 -
… Hanik Mahliatussikah …

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa mampu menjelaskan secara logis konsep
teoretis struktural genetik dan dapat menerapkannya dalam
kajian prosa Arab

A. Stuktural Genetik
Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung
sosiologi sastra. Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog
Perancis, Lucien Goldmann. Kemunculannya disebabkan, adanya
ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, yang
kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik
tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra,
sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.
Bagi Goldman, tidak ada pertentangan antara sosiologi
sastra dan aliran strukturalisme. Bagi Goldman studi karya
sastra harus dimulai dari analisis struktur. Strukturalisme
genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan
strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik di
dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering
juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya
sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldmann bermaksud
menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme
yang merupakan kajian intrinsik dan pendekatan sosiologi
yang termasuk kajian ekstrinsik (https://pusatbahasaalazhar.
wordpress.com/pesona-puisi/teori-strukturalisme-genetik/).
Dari sudut pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik
memiliki arti penting, karena menempatkan karya sastra sebagai
data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem
makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas
yang tak dapat dipisah-pisahkan (Damono, 1979:42). Karya
- 176 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

sastra pada hakekatnya selalu berkaitan dengan masyarakat


dan sejarah yang turut mengkondisikan penciptaan karya
sastra, walaupun tidak sepenuhnya di bawah pengaruh faktor
luar tersebut.
Menurut Goldmann, struktur itu bukanlah sesuatu yang
statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang
terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang
hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang
bersangkutan. Goldmann percaya pada adanya homologi antara
struktur karya sastra dengan struktur masyarakat sebab keduanya
merupakan produk di aktivitas strukturasi yang sama (Faruk,
1999:12, 15).
Pada perkembangannya strukturalisme genetik juga
dipengaruhi oleh ilmu seorang marxis, yaitu George Lukacs.
Menurut Goldmann strukturalisme genetik memandang struktur
karya sastra sebagi produk dari struktur kategoris dari pemikiran
kelompok sosial tertentu. Kelompok sosial itu mula-mula
diartikan sebagai kelompok sosial dalam pengertian marxis
(Faruk, 1999:12-14).
Setiap karya sastra yang penting memiliki struktur
signifikatif yang bersifat otonom dan imanen yang harus digali
oleh peneliti secara cermat. Struktur signifikatif itu mewakili
vision du monde atau pandangan dunia pengarang yang merupa-
kan individu kolektif, juru bicara kelompoknya. Pandangan dunia
merupakan wakil golongan masyarakatnya. Situasi sosial
dalam karya yang agung secara optimal dan jelas terbayang
dalam karya sastra atau pandangan masyarakatnya. Karena itu
apa yang disebut struktur tidak dapat lepas dari masyarakat.
Struktur yang dibangun atas dasar struktur sosial masyarakat
itulah yang disebut dengan strukturasi.

- 177 -
… Hanik Mahliatussikah …

Jadi struktur tersebut membayangkan struktur sosial


masyrakat. Atas dasar pandangan dunia tersebut peneliti dapat
membandingkan data-data dan analisis sosial yang ada dalam
masyarakat. Karena itu Goldman menekankan pada analisis
karya sastra yang besar. Dengan demikian karya sastra dapat
dilacak asalnya dan terjadinya dari latar belakang sosial
tertentu. Terdapat homologi antara struktur karya sastra
dengan struktur sosial.
Kunci dari strukturalisme genetik adalah sebagai berikut.
1. Historis
2. Transindividual
3. Homologi
4. Pandangan dunia: pengarang sebagai juru bicara kelompok
5. Strukturasi.
Genetik karya sastra artinya asal usul karya sastra. Struk-
turalisme genetik membahas persoalan struktur dalam kaitannya
dengan asal-usul, kajian sastra dengan penelaahan asal usul
karya itu. Goldman percaya bahwa karya sastra merupakan
sebuah struktur yang dinamis, produk dari proses sejarah yang
terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturasi yang
hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang
bersangkutan.
Strukturalisme genetik memadukan sastra sebagai karya
fiksi dengan konstruksi sosial yang nyata dan historis seperti
institusi keagamaan dan lingkungan masyarakat. Jadi sifat-sifat
fiksi itu dihadapkan pada faktor-faktor riil dan historis dalam
masyarakat yang dinamis. Dengan demikian faktor sejarah
tidak dapat terlepas dari kajian strukturalisme genetik.
Menurut Goldman, terdapat kategori-kategori yang mem-
bangun strukturalisme genetik, yaitu fakta kemanusiaan, subjek
kolektif, strukturasi, pandangan dunia dan dialektika pema-
- 178 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

haman-penjelasan. Fakta kemanusiaan adalah segala hasil


aktivitas manusia, baik yang verbal maupun yang fisik, yang
berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Pemahaman
mengenai fakta kemanusiaan tersebut harus mempertimbang-
kan struktur dan artinya. Adapun subyek kolektif terkait
dengan pengarang yang mewakili masyarakat tertentu yang
memiliki kelas sosial tertentu yang memiliki ideologi tertentu
pula. Novel mengartikulasikan ideologi kelas sosial tertentu
tersebut hingga menjadi pandangan dunia (vison du monde)
pengarang. Adapun metode dialektik mempertimbangkan
persoalan koherensi struktural (Faruk, 1999: 12-13).
Dasar konsep struktural genetik adalah pandangan ontologi
sastra. Karya sastra yang akan dianalisis tidak berhenti pada
teks karya sastra itu melainkan karya sastra dalam kaitannya
dengan pengarang, pembaca dan semesta atau masyarakat
sosial asal karya sastra itu muncul. Karya sastra itu tidak lahir
dari kekosongan sosial budaya dan tidak dapat lepas dari aspek
historis kemunculannya. Pengarang merupakan wakil dari
subyek kolektif. Pengarang menghasilkan vision du monde
kepada kepada subyek kolektifnya. Vision du monde itu bukan
semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung melainkan
merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat
mempersatukan kelompok sosial masyarakat.
Karya sastra merupakan produk sosial yang berada dalam
jaringan kebudayaan. Karya sastra itu hebat karena masyara-
katnya yang menyebabkan karya itu lahir dan bukan pengarang
atau karya itu sendiri. Karya sastra perlu dipahami strukturnya
dalam kaitannya dengan sosial budaya yang berada diluar
struktur tersebut karena pada dasarnya teks itu adalah tenunan
budaya. Dalam penelitian sosiologi sastra, pengarang harus

- 179 -
… Hanik Mahliatussikah …

diburu, siapa dia, apa karya yang telah dihasilkan, buku apa
kesukaannya dan bagaimana penilaian orang terhadapnya.
Karya sastra adalah bagian dari kehidupan masyarakat.
Apapun yang kita lakukan selalu berada dan dipengaruhi oleh
struktur social” everithing we do is located in, and there fore affected
by social structure” (Janet Wolf, 1981:9).
Strukturalisme genetik (genetik structuralism) adalah
cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Ini
merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan
metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian
struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek
eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling
tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.
Strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur masyarakat melalui pandangan
dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Karya sastra tidak
akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan
masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu
saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra
menjadi pincang.
Pandangan dunia yang selalu terbayang dalam karya sastra
agung, adalah abstraksi dan bukan fakta empiris yang memiliki
eksistensi objektif. Abtraksi itu akan mencapai bentuknya yang
konkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia itu suatu
bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya,
maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan
inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh
karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya
(unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu.
Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu
tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik,
- 180 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini,


karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya.
Teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme
genetik adalah model dialektik. Teknik ini berbeda dengan
positivistik, intuitif, biografi dan sebagainya. Model dialektik
mengutamakan makna yang koheren. Prinsip dasar teknik
analisis dialektik adalah adanya pengetahuan mengenai fakta-
fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak dibuat
konkret dengan mengintegrasikan ke dalam totalitas. Sehubungan
dengan hal tersebut, metode dialektik mengembangkan dua
macam konsep, yaitu “ keseluruhan-bagian’ dan “ pemahaman-
penjelasan.
Goldman menyatakan bahwa sudut pandang dialektik
berbeda dengan sudut pandang rasional dan sudut pandang
empirik. Sudut pandang rasionalis biasanya mengansumsikan
adanya gagasan yang berasal dari pembawaan dan secara
langsung dapat didekati, sedangkan kaum empirik menyandar-
kan diri pada kesan inderawi. Dua sudut pandang penelitian
ini sama-sama mengharuskan agar ditemukannya pengetahuan
secara pasti. Kedua sudut pandang ini memang berbeda
dengan sudut pandang dialektik, yang berasumsi bahwa dalam
analisis sastra tidak pernah ada titik awal yang secara mutlak
valid, tidak ada persoalan yang secara final pasti terpecahkan.

B. Metode Analisis
Dasar konsep strukturalisme genetik adalah pandangan
ontologi sastra (pandangan mengapa sastra itu ada) karena
strukturalisme genetik merupakan penelitian tentang asal usul
sastra yang obyeknya adalah sastra secara ontologis. Karya sastra
itu merupakan kehadiran yang ditarik-tarik oleh berbagai
unsur, yaitu pembaca, pengarang dan semesta. Oleh karena itu,
- 181 -
… Hanik Mahliatussikah …

dalam struktural genetik harus dipahami jagat pengarang,


pembaca dan sastra sekaligus secara holistik. Oleh karena itu,
aspek fiksi dan non fiksi harus didekati dengan berbagai ilmu
yang multidisipliner.
Dalam genetik structuralism ada unsur keuniversalan
sehingga ada kecenderungan bahwa yang dilihat itu adalah
masalah kemanusiaan. Nilai-nilai universal itu sudah dianggap
sebagai sesuatu yang benar sehingga penelitian struktural
genetik dapat diterima mayoritas orang.
Novelis di samping sebagai makhluk individu juga sebagai
makhluk sosial. Jadi di samping mengungkapkan masalah
individu juga mengungkapkan interaksinya dengan masyarakat
yang berada dalam komunitas tertentu. Totalitas karya sastra
adalah totalitas komunitas, bukan totalitas subyek kreator. Genetis
karya sastra dengan demikian menurut Goldmann harus dicari
dalam totalitas komunitas tersebut. Hubungan-hubungan antara
struktur sosial dengan karya sastra tidak lagi bersifat dwi arah
melainkan dalam bentuk jaringan hubungan yang harus
dipecahkan secara dialektis (Goldman, 1973: 111).
Menurut Goldman, teori dan metode yang sesuai untuk
menganalisis karya sastra adalah strukturalisme genetik, sebab
strukturalisme genetik memandang bahwa karya sastra sebagai
gejala-gejala kultural dalam pengertian yang sesungguhnya,
antar hubungan yang memiliki kualitas homologi dan simetri.
Simetri-simetri struktur mental (makna pengalaman individual
yang berada dalam gejala sosial) dengan struktur rekaan
dengan demikian tidak saja bermanfaat bagi karya sastra dan
masyarakat tetapi juga terhadap pemahaman ilmu-ilmu
humaniora pada umumnya (Goldman, 1978: 156).
Genetic structuralism berupaya untuk mengungkap asal
muasal sastra lewat pencermatan masyarkat yang terkait dengan
- 182 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

karya tersebut. Struktur masyarakat yang empirik dianggap


mampu menjelaskan struktur dalam karya sastra yang imajiner.
Agar kaitan antara masyarakat dan sastra menjadi jelas maka
pandangan dunia, yaitu gambaran dari subyek kolektif sastra
yang terpancar dari struktur karya harus jelas. Pandangan dunia
merupakan produk interaksi antara subyek kolektif dengan
situasi sekitarnya dan tidak lahir dengan tiba-tiba (Goldman,
1981: 112). Subyek kolektif adalah subyek fakta historis yang
berasal dari fakta kemanusiaan yang sosial. Subyek kolektif
adalah subyek sastra itu sendiri, subyek yang menjadi wakil
dari masyarakat. fakta kemanusiaan adalah segala hasil
aktifitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang
fisik (Faruk, 1999: 12).
Strukturalisme genetik percaya bahwa karya sastra
adalah sebuah struktur yang tidak statis melainkan merupakan
produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses
strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh
masyarakat asal karya sstra yang bersangkutan. Yang dimaksud
dengan struktur adalah kesatuan di mana bagian hanya bisa
dipahami dalam keseluruhan dan keseluruhan hanya bisa
dipahami melalui pencermatan bagian-bagian.
Analisis struktur karya sastra selalu dalam kaitannya
dengan struktur sosial, artinya semesta tokoh dan peristiwa
dipahami dalam pengertian bersama. Struktur karya sastra
adalah relasi antara tokoh dan tokoh dengan obyek di sekitarnya
(Faruk, 1999: 17). Pemahaman bukan untuk menemukan makna
tunggal tetapi sebaliknya justru memunculkan berbagai
interpretasi sesuai dengan pemahaman pembaca yang memiliki
kualitas pemahaman dan latar sosial yang berbeda. Semakin
banyak repertoar yang dimiliki seseorang maka akan lebih
mendalam pula pemahamannya terhadap suatu teks sastra.
- 183 -
… Hanik Mahliatussikah …

Strukturalisme genetik mengakui adanya homologi


antara struktur sosial dengan struktur imajiner selalu mengarah
pada interaksi yang bermakna. Prinsip-prinsip pemahaman
mengenai homologi struktur mental dengan struktur imajiner
juga memberikan jalan keluar terhadap ketidaklengkapan analisis
struktur formal. Homologi ini menurut Goldmann akan diketahui
hubungannya melalui mediasi, pandangan dunia (Faruk, 1999:
16). Pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif yang
dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual, suatu
model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks
sastra (Faruk:1999:21).
Homologi-homologi struktur mental dengan struktur
rekaan mencapai kulminasinya dalam struktur intrinsik adikarya.
Kualitas simetri dan homologi ditentukan oleh karya sastra,
oleh struktur imajiner, bukan oleh struktur sosial. Paradigma
dialektis, secara sistematik dengan sendirinya juga diarahkan
melalui struktur formal karya sastra. Dengan demikian, ciri-ciri
homologi benar-benar mencapai titik temu, baik sebagai
afirmasi, negasi, kritik, dan oposisi. Sesuai dengan Proposisi
Goldman (1978: 167), dalam adikarya terkandung sejumlah
penilaian, kritik dan bahkan juga oposisi terhadap masyarakat.
Keseimbangan yang diperoleh melalui homologi itu tidak
statis melainkan terus-menerus dihadapkan pada mediasi-mediasi
yang baru, variabel yang berbeda-beda sehingga terjadi
homologi dan simetri antara asumsi fakta-fakta kultural dengan
dunia rekaan karya. Homologi mengandaikan terjadinya
antarhubungan dalam bentuk dialektika dan justru bersifat
antitesis secara terus-menerus dan tiada akhir.
Goldmann (dalam Faruk, 1999: 20) mengungkapkan
bahwa sudut pandang dialektik tidak pernah ada titik awal
yang secara mutlak sahih, tidak ada persoalan yang secara final
- 184 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

pasti terpecahkan. Oleh karenanya, dalam sudut pandang


tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus.
Setiap fakta memiliki arti jika ditempatkan dalam keseluruhan.
Sebaliknya, keseluruhan dapat dipahami dengan pengetahuan
yang utuh. Keseluruhan gagasan tidak dapat dipahami tanpa
bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keselu-
ruhan, proses pencapain pengetahuan dengan metode dialektik
menjadi semacam gerak yang melingkar terus menerus, tanpa
diketahui titik pangkal ujungnya. Goldmann (dalam Faruk,
1999: 20) berpendapat bahwa kerangka berpikir secara dialektik
mengembangkan dua unsur yaitu,
Analisis kemudian dilanjutkan dengan mengungkap
dialektika bagian keseluruhan dan bagian penjelasan. Setiap
fakta atau gagasan yang ada, ditempatkan pada keseluruhan
atau kesatuan makna akan dapat dipahami dengan fakta atau
gagasan yang membangun keseluruhan makna tersebut.
Metode analisis data secara dialektik yang diungkapkan oleh
Goldmann (dalam Faruk, 1999: 20) adalah penggabungan
unsur-unsur intrinsik menjadi keseluruhan atau kesatuan
makna yang akan dicapai dengan beberapa langkah, yaitu
menganalisis dan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang
ada dalam novel.
Jadi, langkah dalam analisis strukturalisme genetic adalah
dengan menganalisis novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata
dengan menggunakan analisis struktural. Analisis struktural
dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang
sudah diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan teks-teks yang
terdapat dalam novel Laskar Pelangi yang mengandung unsur
tema, tokoh, alur, dan latar. Hasil analisis dapat berupa
kesimpulan tema, alur, tokoh, dan latar dalam novel Laskar
Pelangi.
- 185 -
… Hanik Mahliatussikah …

Kemudian, menganalisis novel dengan tinjauan Sosiologi


Sastra teori Lucien Goldmann dilakukan dengan membaca dan
memahami kembali data yang diperoleh selanjutnya menge-
lompokkan teks-teks yang mengandung fakta-fakta sosial yang
ada dalam novel Laskar Pelangi dengan yang ada di luar novel
Laskar Pelangi. Setelah itu, dianalisis dimensi sosial kesen-
jangan perekonomian yang difokuskan pada permasalahan
kemiskinan dalam novel Laskar pelangi dan pandangan dunia
(Vision Du Monde) Andrea Hirata sebagai pengarang.

C. Contoh kajian: Pandangan Dunia Darmanto Jatman


Dalam abstrak penelitian ini dideskripsikan representasi
pandangan dunia Darmanto Jatman tentang masalah dasar
kehidupan yang tersirat dan tersurat dalam karya puisi yang
ditulisnya. Pandangan penyair yang tersirat atau tersurat
dalam karya sastranya itu meliputi pandangan tentang masalah
maut, tragedi, cinta, harapan, kekuasaan, loyalitas, makna dan
tujuan hidup serta hal-hal yang bersifat transendental dalam
kehidupan manusia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif analitis dengan teknik yang digunakan
adalah analisis teks, yaitu menganalisis teks-teks yang dijadikan
sampel beberapa puisi Darmanto Jatman. Kerangka teori yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan teori mimetik
atau mimesis yang merujuk pada pendapat Abraham (1980).
Simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
bahwa kedelapan masalah dasar kehidupan yang tertuang
dalam sajak-sajak yang ditulis Darmanto Jatman tidak jauh
berbeda dengan pandangan dunia yang telah dikemukakan
oleh pengarang lain pada umumnya, terutama dari pandangan
Nasrani dan Jawa. Kematian atau maut bagi Darmanto Jatman

- 186 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

adalah jalan untuk mencapai “Kemerdekaan”. Tragedi atau


bencana adalah irama kehidupan yang silih berganti. Cinta
adalah tenaga moral manusia yang mampu mendekatkan satu
rasa atau perasaan manusia dengan mahluk yang lain agar
terasa lebih intim. Harapan adalah optimisme hidup. Kekuasaan
bermula dari kekuasaan Tuhan yang lalu dipinjamkan kepada
manusia. Loyalitas adalah kesetiaan yang tulus dan ikhlas.
Makna dan tujuan hidup adalah kita semua berasal dari Tuhan
dan akan kembali kepada Tuhan. Hal-hal yang transsendental
adalah sesuatu yang berada di luar kekuasaan manusia.
Delapan masalah dasar kehidupan manusia, direpresentasikan
dalam karya Darmanto Jatman melalui lakuan tokoh yang telah
tercatat dalam sejarah keimanan (terutama tokoh-tokoh dalam
agama Nasrani). Ungkapan-ungkapan puitisnya disampaikan
dalam berbagai variasi/ragam bahasa: ada Jawa, Ingris, Cina,
Perancis, Sangsekerta atau Jawa Kono, dan bahasa Indonesia.
(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/produk/127)

IV. Kesimpulan
1. Strukturalisme genetik disebut juga strukturalisme historis.
Dikembangkan oleh Lucien Goldman, berasal dari ilmu sastra
marxis Georg Lukacs, seorang yang menulis buku historical
novel. Bagi Goldman tidak ada pertentangan antara sosiologi
sastra dan aliran strukturalisme.
2. Struktur menurut Goldman identik dengan struktur menurut
Aristoteles, yaitu berciri khas adanya unsur kesatuan, kohen-
rensi dan kekayaan bahannya dan sifat non konseptual.
3. Kunci dari strukturalisme genetik adalah historis, trans-
individual, homologi, pandangan dunia: pengarang sebagai
juru bicara kelompok, dan strukturasi.

- 187 -
… Hanik Mahliatussikah …

4. Teknik analisis yang digunakan strukturalisme genetik adalah


model dialetik. Strukturalisme genetik percaya bahwa karya
sastra adalah sebuah struktur yang tidak statis melainkan
merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung,
proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati
oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan.
5. Langkah dalam analisis strukturalisme genetic adalah dengan
menganalisis teks secara struktural. Kemudian dilanjutkan
dengan tinjauan Sosiologi Sastra teori Lucien Goldmann
dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data
yang diperoleh selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang
mengandung fakta-fakta sosial yang ada dalam teks dengan
fakta yang ada di luar teks. Setelah itu, dianalisis dimensi
sosial dan pandangan dunia (Vision Du Monde) pengarang.

- 188 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Goldmann, Lucien. 1973. “Genetik Structuralism in The


Sociology of Literature”, dalam Elizabeth and Tom Burns.
Sociology of Literature and Drama. Middlesex: Penguin
Books.
Damono, S. D. 1979. Sosiologi sastra sebuah pengantar ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/produk/127
https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/teori-
strukturalisme-genetik/
Janet Wolf. 1981. The Social Production of Art. Macmillan Publ.
Ltd., London,

- 189 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah Pertanyaan berikut!


1. Apa yang saudara ketahui tentang pendekatan struktural
genetik?
2. Sebutkan kata kunci dari strukturalisme genetik?
3. Ada beberapa kategori-kategori yang membangun struk-
turalisme genetik, sebutkan!
4. Apa perbedaan pendekatan struktural genetik dengan
pendekatan struktural murni?
5. Sebutkan kelebihan dari pendekatan struktural genetik?
6. Bagaimana langkah-langkah penelitian dengan mengguna-
kan analisis struktural genetik!
7. Apa yang dimaksud dengan novelis di samping sebagai
makhluk individu juga sebagai makhluk social, uraikan
pendapat anda?
8. Apa yang dimaksud dengan pandangan dunia?
9. Jelaskan apa yang saudara ketahui tentang pengarang
dalam pandangan struktural genetik!
10. Carilah cerpen/novel Arab yang terkenal lalu analisis
secara struktural genetik!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 190 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Teori & Metode


BAB Analisis Stilistika
___ 11

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode analisis
stilistika, gaya bahasa, macam-macam gaya bahasa, dan gaya
bahasa perbandingan dalam bahasa Arab. Selain itu, terdapat
evaluasi dan rangkuman pembelajaran untuk mempermudah
mahasiswa belajar serta terdapat latihan untuk pendalaman
materi.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis stilistika, pada bab selanjutnya akan mempelajari teori
dan metode analisis intertekstual. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan dapat memahami materi pada bab ini untuk
memudahkan memahami materi selanjutnya.

- 191 -
… Hanik Mahliatussikah …

III. Capaian Pembelajaran MK


Mahasiswa mampu menjelaskan secara logis konsep teoretis
stilistika dan dapat menerapkannya dalam kajian prosa Arab

A. Teori Stilistika
Terdapat kedekatan makna antara stilistika, retorika,
Wacana, Logika dan Bahasa. Stilistika adalah ilmu yang
meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya
sastra. Retorika adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang
secara khusus memusatkan perhatiannya terhadap tutur dan
kegiatan bertutur. Wacana adalah ungkapan pikiran yang
beruntun, secara lisan atau tulisan tentang suatu pokok
(Sudjiman, 1984: 80). Logika dan Bahasa berkaitan dengan
kedudukan dan fungsi bertutur, yaitu sebagai pembeda antara
manusia dan binatang, menyangkut kegiatan sosial budaya,
dan berfungsi informatif.
Gaya bahasa itu meliputi semua hierarki kebahasaan
pilihan kata secara individual. Dr. Gorys Keraf (1981:99)
mensyaratkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus
mengandung tiga unsur dasar: kejujuran, sopan-santun, dan
menarik. Stilistika menurut Sudjiman adalah ilmu yang
meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya
sastra. Dalam perkembangan linguistik terapan muncul minat
untuk menerapkan teori dan pendekatan linguistik dalam
rangka pengkajian sastra (Satoto, 1995:6).
Stilistika adalah studi yang menjembatani pengkajian
bahasa dan sastra dengan mengkaji apa sebenarnya hubungan
antara bahasa dan sastra (Satoto, 1995:6). Ciri khas sebuah
karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan genrenya, tetapi
dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi
- 192 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

bahasanya. Khusus dalam kaitan bahasa dalam sastra,


pengarang mengeksploitasi potensi-potensi bahasa untuk
menyampaikan gagasannya dengan tujuan tertentu.
Menurut Aminuddin (2008) gaya merupakan perwujudan
penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan
gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu
bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya.
Sebagai wujud cara menggunakan kode kebahasaan, gaya
merupakan relasional yang berhubungan dengan rentetan kata,
kalimat dan berbagai kemungkinan manifestasi kode
kebahasaan sebagai sistem tanda. Jadi, gaya merupakan simbol
verbal.
Stilistika dalam kajian karya sastra mamiliki hubungan
yang erat karena dalam sebuah karya sastra terdapat style
sedangkan stilistika merupakan cabang ilmu sastra yang
mengkaji tentang style atau gaya.
Istilah Gaya bahasa dalam bahasa Inggris disebut style.
Istilah itu berasal dari bahasa Latin stilus yang bermakna "alat".
Alat yang digunakan untuk memakai gaya bahasa adalah
bahasa itu sendiri (Aminuddin, 1990). Adapun ilmu yang
mempelajari gaya bahasa dan studi tentang gaya bahasa
disebut stilistika (Pradopo, 1995; Aminuddin, 1990). Menurut
Abrams (1981), gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa
dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan
sesuatu yang akan dikemukakan. Senada dengan itu, Keraf
(1990) mengemukakan pengertian gaya bahasa dengan cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau penutur.
Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang meng-
gunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena
ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan,
kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud

- 193 -
… Hanik Mahliatussikah …

penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh


secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan.
Landasan empirik merujuk pada kesesuian landasan konseptual
dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan
karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Adapun menurut Rene Wellek dan Austin Warren,
perhatian utama stilistika adalah kontras system bahasa pada
zamannya (Wellek dan Warren : 1990 : 221). Pada apresiasi
sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan
menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang
digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui
ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dengan gaya bahasa, penutur bermaksud menjadikan
paparan bahasanya menarik, kaya, padat, jelas dan lebih mampu
menekankan gagasan yang ingin disampaikan, menciptakan
suasana tertentu dan menampilkan efek estetis. Efek estetik
tersebut menyebabkan karya sastra bernilai seni. Nilai seni
karya sastra tidak semata-mata disebabkan oleh gaya bahasa
saja, tapi juga gaya bercerita atau penyusunan alurnya. Akan
tetapi gaya bahasa sangat besar sumbangannya kepada
pencapaian nilai seni karya sastra (Pradopo, 1995).
Keraf (1990) membedakan gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna ke dalam dua kelompok, yaitu gaya
bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris
adalah gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut
struktur lahirnya. Adapun gaya bahasa kiasan adalah gaya
bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan
makna kata-kata yang membentuknya, melainkan pada makna
yang ditambahkan, makna yang tersirat atau makna kias. Gaya
bahasa kiasan bertujuan untuk membuat ungkapan menarik
perhatian, menimbulkan kesegaran hidup dan terutama
menimbulkan kejelasan gambaran angan(Pradopo, 1995).

- 194 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Moliono (1989) menyebut istilah gaya bahasa kiasan ini


dengan sebutan majas. Cakupan majas dalam bahasa Indonesia
berbeda dengan cakupan majaz (‫) ﻣﺠﺎز‬dalam bahasa Arab.
Dalam bahasa Indonesia, majas dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu (1) Majas pertentangan, seperti ironi, hiperbola, litotes, (2)
Majas pertautan, seperti eufimisme, kilatan, metonimi, sinekdok
dan (3) Majas perbandingan yang mencakup penginsanan/
personifikasi, perumpamaan/simile dan kiasan/metafora. Adapun
dalam bahasa Arab, majaz mencakup majaz ‘aqli ( ‫ )ﻣﺠﺎزﻋﻘﻠﻰ‬dan
majaz lughawi ( ‫)ﻣﺠﺎز ﻟﻐﻮى‬. Majaz lughawi terdiri dari isti’arah dan
majaz mursal. Jika dikaitkan dengan GBP dalam bahasa
indonesia maka sebagian bentuk personifikasi adalah isti’arah
makniyah, Simile adalah tasybih mursal dan metafora adalah
tasybih baligh (metafora dalam arti sempit) dan ‫إﺳﺘﻌﺎرة ﺗﺼﺮﯾﺨﯿﺔ‬
(metafora implisit).
Penggunaan bentuk majaz dalam Al-Quran bukan berarti
penutur (Allah) tidak mampu menggunakan bahasa secara
sebenarnya dan apa adanya yang terdapat dalam struktur
bahasa melainkan untuk fungsi deskriptif terhadap keterbatasan
bahasa manusia. Bahasa berfungsi sebagai alat transformasi.
Dengan bahasa, manusia mentransformasikan segala sesuatu
yang dibaca atau didengarnya mengenai sesuatu yang di luar
dirinya ke dalam hati dalam bentuk lambang-lambang yang
lebih akrab atau lebih dikenal, dengan cara memperbandingkan
pengetahuan baru yang akan dipahami dengan pengetahuan-
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Jadi majaz dalam Al-Quran bukan hanya sebagai
penghias bahasa, melainkan merupakan suatu kebutuhan;
kebutuhan pengungkapan dan kebutuhan pemahaman. Gaya
bahasa majaz digunakan untuk mengungkapkan makna yang
abstrak, seperti keagungan, keindahan, kebesaran dan lain
sebagainya. Dengan bahasa pisikal (yang bermakna majazi)

- 195 -
… Hanik Mahliatussikah …

maka orang diberi peluang untuk berimajinasi dengan


menggunakan simbul-simbul yang lebih mudah dipahami
(Sa’id, 1997: 66-67).

B. Macam-macam Gaya Bahasa


Gaya bahasa berdasarkan titik tolak yang dipergunakan
Keraf (1981: 101) mengklasifikasikan empat gaya bahasa
berdasarkan titik tolak penggunaannya, yaitu: 1) Gaya bahasa
berdasarka pilihan kata 2) Gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimat 3) Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung di
dalamnya 4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa bertujuan untuk
melihat ketepatan dan kesesuaian kata dalam menghadapi
situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar (bahasa baku),
Keraf (1981:101-106) mengklasifikasikannya menjadi 3, yaitu (1)
gaya bahasa resmi (bukan bahasa resmi), (2) gaya bahasa tak
resmi, dan (3) gaya bahasa percakapan.
Adapun gaya bahasa berdasarkan struktur kalimatnya,
menurut Keraf (1981: 108-111) diklasifikasikan menjadi anti-
klimaks, repetisi, dan antitesis. Sedangkan gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna dibedakan menjadi
gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Adapun
berdasarkan maksud dan tujuan yang hendak dicapai, gaya
bahasa dapat dibedakan menjadi 4, yaitu sebagai berikut.
1) Gaya bahasa perbandingan
2) Gaya bahasa pertentangan
3) Gaya bahasa pertautan
4) Gaya bahasa perulangan.

- 196 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

1. Gaya Bahasa Perbandingan


Gaya bahasa perbandingan/ majas perbandingan adalah
salah satu bentuk gaya bahasa kias. Sebagaimana dikemukakan
oleh Moliono (1989), majas perbandingan mencakup (1) peng-
insanan/personifikasi, (2) perumpamaan/simile dan, (3) kiasan/
metafora.
a). Penginsanan/ Personifikasi
Penginsanan atau Personifikasi adalah jenis majas yang
melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak
bernyawa dan idea yang abstrak (Moliono, 1989). Begitu pula
Pradopo (1995) mendefinisikan personifikasi sebagai gaya bahasa
kias yang menggambarkan benda-benda sebagai manusia yang
berperilaku. Kiasan ini mempersamakan benda dengan
manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir
seperti manusia. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di
samping itu memberi kejalasan pemaparan, memberikan
bayangan angan yang kongrit. Contoh: Malas dan malu nyala
pelita, seperti meratap mencucuri mata, Seisi kamar berduka
cita, seperti takut, gentar berkata.
b). Perumpamaan/ Simile
Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada
hakekatnya berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama.
Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh penggunaan
kata seperti, ibarat, laksana, umpama dan sebagainya (Moliono,
1989). Demikian pula Pradopo (1995) memberi definisi Simile
dengan gaya bahasa kias yang membandingkan sesuatu dengan
hal lain secara eksplisit. Simile disebut juga dengan perbandingan
atau perumpamaan.
Simile sebagaimana dikemukakan oleh Atmazaki (1993)
mengandung empat unsur, yaitu Tenor (hal yang dibandingkan),
Vehicle (hal yang untuk membandingkan), motif atau sifat
(perihal yang diperbandingkan) dan penanda/pemarkah perban-

- 197 -
… Hanik Mahliatussikah …

dingan. Contoh: gadis itu cantik laksana bunga mawar. Simile


dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) simile tertutup jika
seluruh unsur perbandingan disebutkan secara eksplisit, dan
(2) simile terbuka jika unsur motifnya saja yang tidak
dieksplisitkan.

c). Metafora
Metafora adalah bentuk gaya bahasa perbandingan secara
langsung yang tidak menggunakan kata-kata pembanding.
Moliono (1989) menyebutnya dengan perbandingan yang
implisit karena metafora tidak menggunakan kata pembanding
secara langsung di antara dua hal yang berbeda. Metafora itu
menurut Becker adalah melihat sesuatu dengan perantaraan
benda yang lain. Selanjutnya menurut Altenbernd, metafora
menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga
dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Pradopo,
1995).
Pada dasarnya, metafora adalah simile yang penanda
perbandingan dan motifnya dihilangkan. Jika pada gaya bahasa
simile muncul empat unsur perbandingan maka pada gaya
bahasa metafora hanya terdapat dua unsur pokok saja
(Pradopo, 1995), yakni Tenor (hal yang dibandingkan) dan
Vehicle (hal yang untuk membandingkan). Contoh: Engkau
adalah rembulan. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa
gaya bahasa metafora lebih padat dan ringkas dibanding
dengan gaya bahasa simile.
Menurut Noth, istilah metafora dalam arti luas dan arti
sempit telah dipergunakan sejak jaman kuno. Dalam arti luas,
metafora mencakup semua bentuk kiasan. Dalam arti sempit,
metafora merupakan salah satu bentuk kiasan (Murtadho,
1999). Percy (dalam Murtadho, 1999) mendefinisikan metafora
dalam arti sempit dengan an indirect way to compare things

- 198 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

withaut using “like” or “as” atau gaya bahasa perbandingan


yang tidak menggunakan kata pembanding secara eksplisit.
Jadi hanya menyebut unsur tenor dan vehicle saja. Definisi ini
sepadan dengan apa yang dikemukakan oleh Pradopo (1995)
bahwa metafora hanya memiliki dua term saja, yaitu tenor dan
vehicle.
Jika penyair atau penulis hanya menyebutkan unsur
vehicle saja dalam sebuah ungkapan sastranya maka bentuk ini
menurut Pradopo disebut dengan istilah metafora implisit
(implied metaphor). Gaya bahasa metafora yang memiliki unsur
lebih sedikit dibanding dengan bentuk simile ini justru langsung
memberikan gambaran angan dan lebih indah dibanding
dengan gaya bahasa simile. Inilah mungkin yang menyebabkan
gaya bahasa metafora dikatakan sebagai induk dari gaya
bahasa kias (Ahmadi dalam Mahliatussikah, 2004).

2. Gaya Bahasa Perbandingan dalam Bahasa Arab


Gaya Bahasa Perbandingan (GBP) dalam bahasa Arab
dibahas dalam salah satu cabang ilmu retorika bahasa Arab
(Balaghah) yang disebut dengan ilmu bayan (stilistika bahasa
Arab). Bahasan dalam stilistika bahasa Arab dikelompokkan
menjadi tiga bagian, yaitu (1) tasybih, (2) majaz dan (3) kinayah .
Jika dikaitkan dengan klasifikasi GBP menurut Moliono (1989)
maka GBP dalam bahasa Arab yang sepadan dengan GBP
dalam bahasa non Arab adalah tasybih dan majaz isti’arah.
Tasybih ( ‫ )ﺗﺸﺒﯿﮫ‬adalah ungkapan yang menyatakan bahwa
sesuatu mempunyai persamaan dengan sesuatu yang lain
dengan menggunakan penanda persamaan atau perbandingan,
baik secara tersirat maupun tersurat (Jarim dan Amin, 1971).
Unsur-unsur tasybih ada empat, yaitu ‫( ﻣﺸﺒﮫ‬hal yang
dibandingkan/ tenor), ‫( ﻣﺸﺒﮫ ﺑﮫ‬hal yang untuk membandingkan/
vehicle), ‫( أداة اﻟﺘﺸﺒﯿﮫ‬penanda perbandingan/ pemarkah) dan ‫وﺟﮫ‬
‫( اﻟﺸﺒﮫ‬motif perbandingan). Dengan demikian, unsur Tasybih
- 199 -
… Hanik Mahliatussikah …

dalam bahasa Arab adalah sepadan dengan unsur simile


dalam bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh
Atmazaki (1993).
Selanjutnya, berdasarkan ada tidaknya penanda perban-
dingan (adat tasybih) dan motif perbandingan (wajah syibeh),
tasybih dibedakan menjadi dua, yaitu ‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﺑﻠﯿﻎ‬dan ‫ﺗﺸﺒﯿﮫ ﻏﯿﺮ ﺑﻠﯿﻎ‬.
Tasybih ghairu baligh adalah tasybih yang mencantumkan
penanda perbandingan dan motifnya atau salah satu dari
keduanya. Bentuk tasybih yang menyebutkan penanda perban-
dingan ( ‫ )ﺗﺸﺒﯿﮫ ﻣﺮﺳﻞ‬sepadan dengan simile. Jika wajah
syibeh/motif perbandingannya disebutkan pada tasybih mursal
tersebut maka disebut simile tertutup dan jika wajah syibeh tidak
disebutkan maka disebut dengan simile terbuka. Sedangkan
bentuk tasybih yang tidak menyebutkan penanda perbandingan
(‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﻣﺆﻛﺪ ﻣﻔﺼﻞ‬dan ‫ )ﺗﺸﺒﯿﮫ ﺑﻠﯿﻎ‬tidak dapat disepadankan dengan
simile. ‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﺑﻠﯿﻎ‬sepadan dengan metafora dalam arti sempit.
Sedangkan ‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﻣﺆﻛﺪ ﻣﻔﺼﻞ‬belum ditemukan ekuivalensinya
dalam bahasa Indonesia.
‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﺑﻠﯿﻎ‬adalah gaya bahasa perbandingan yang tidak
menyebutkan penanda perbandingan dan motifnya tetapi
hanya menyebutkan unsur ‫( ﻣﺸﺒﮫ‬tenor) dan unsur ‫ﻣﺸﺒﮫ ﺑﮫ‬
(vehicle). Pengertian ini sepadan dengan metafora dalam arti
sempit, yaitu sebagai salah satu bentuk kiasan saja (Percy,
dalam Murtadho, 1999: 19, Asrori, 1989: 22, Pradopo, 1995).
Di samping empat bentuk tasybih di atas, terdapat pula
‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﺿﻤﻨﻰ‬dan ‫ﺗﺸﺒﯿﮫ ﺗﻤﺜﯿﻞ‬. Yang dimaksud dengan tasybih
dhimniy adalah bentuk tasybih yang tersamar, artinya
perbandingannya tidak nampak dalam suatu kalimat berbahasa
Arab namun dapat dipahami melalui makna suatu kalimat
yang hanya berdampingan saja. Tasybih tamstil adalah tasybih
yang motifnya dipahami dari beberapa hal yang berbilang dan
merupakan bentuk tasybih yang dianggap paling sempurna

- 200 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dibanding dengan bentuk tasybih yang lain (Al-Hasyimi,


1960).
Adapun ‫ ﻣﺠﺎز‬dalam bahasa Arab adalah ungkapan yang
digunakan pada selain arti yang ditetapkan karena adanya
persesuaian serta pertanda yang menghalangi pemberian makna
aslinya (Jarim dan Amin, 1971). Majaz dibagi menjadi dua
macam, yaitu (1) ‫( ﻣﺠﺎز ﻋﻘﻠﻰ‬hubungan logis) dan (2) ‫ﻣﺠﺎز ﻟﻐﻮى‬
(hubungan etimologis, leksikal). Majaz lughawi dibagi menjadi
dua, yaitu (1) ‫إﺳﺘﻌﺎرة‬, yaitu metafora yang dihilangkan salah
satu unsur tenor atau vehiclenya dan mempunyai hubungan
perbandingan. (2) ‫ﻣﺠﺎز ﻣﺮﺳﻞ‬, yaitu majaz yang hubungannya
bukan perbandingan tetapi bersifat logis.
Isti’arah dibagi menjadi dua, yaitu (1) ‫إﺳﺘﻌﺎرة ﺗﺼﺮﯾﺨﯿﺔ‬,
yaitu unsur tenor atau musyabbah dihilangkan dan langsung
menyebut term kedua/ vehicle (‫)ﻣﺸﺒﮫ ﺑﮫ‬. Pengertian ‫إﺳﺘﻌﺎرة‬
‫ﺗﺼﺮﯾﺨﯿﺔ‬ini sepadan dengan metafora implisit dalam istilah
Pradopo (1995). dan (2) ‫إﺳﺘﻌﺎرة ﻣﻜﻨﯿﺔ‬, yaitu unsur vehicle atau
musyabbah bih dihilangkan dan hanya menyebut term pertama/
tenor (musyabbah). Isti’arah makniyyah sebagian sepadan dengan
personifikasi atau tashkhish dan sebagian yang lain belum
ditemukan ekuivalensinya dalam bahasa Indonesia. Adapun
bentuk isti’arah yang di dasarkan pada tasbih tamstil disebut
‫إﺳﺘﯿﻌﺎرة ﺗﻤﺜﯿﻠﯿﺔ‬. Isti’arah tamstiliyah ini mengimplisitkan salah satu
unsur pokok dan motifnya dipahami dari beberapa hal yang
berbilang (Al-Hasyimiy, 1960).
Dengan demikian, jika dikaitkan antara GBP dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Arab maka ditemukan bahwa:
(1) ‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﻏﯿﺮ ﺑﻠﯿﻎ‬yang mursal ( ‫ ﻣﺮﺳﻞ ﻣﻔﺼﻞ‬dan ‫ )ﻣﺮﺳﻞ ﻣﺠﻤﻞ‬adalah
Simile (simile tertutup dan simile terbuka).
(2) ‫ ﺗﺸﺒﯿﮫ ﺑﻠﯿﻎ‬adalah Metafora dalam arti sempit.
(3) ‫ إﺳﺘﻌﺎرة ﺗﺼﺮﯾﺨﯿﺔ‬adalah Metafora Implisit.

- 201 -
… Hanik Mahliatussikah …

(4) ‫ إﺳﺘﻌﺎرة ﻣﻜﻨﯿﺔ‬sebagian berbentuk ‫ﺗﺸﺨﯿﺺ‬/ personifikasi dan


sebagian lain belum ditemukan ekuivalensinya dalam
bahasa Indonesia.
Analisis karya sastra yang menggunakan kajian stilistika
berarti menganalisis aspek struktur bahasanya. Dilihat dari
aspek strukturnya, karya sastra Arab mengandung gaya bunyi,
gaya kata, gaya kalimat, dan gaya wacana. Gaya bunyi meliputi
asonansi dan aliterasi. Gaya kata meliputi diksi, dan gaya
kalimat meliputi gaya bahasa kias dan gaya bahasa retoris.
Adapun gaya bahasa wacana dapat dilihat dalam keseluruhan
alenia, bait, maupun teks secara lebih luas.

C. Metode Analisis Stilistika


1. Menganalisis unsur-unsur bunyi, kata, frasa, kalimat,
paragraf, wacana atau dari wacana menuju unsur yang
lebih kecil, atau menetapkan sebagian saja yang diteliti.
Analisis bunyi, terutama dalam puisi menjadi penting
untuk mencapai efek estetika.
2. Menganalisis pilihan kata dan pemanfaatannya secara
tepat. Menurut aliran simbolisme, kata dapat menimbul-
kan asosiasi dan menimbulkan tanggapan di luar arti
yang sebenarnya bila didukung oleh ritme dan rima.
3. Menganalisis aspek deviasi (penyimpangan) yang dapat
menimbulkan gaya dan kesan yang indah, memberikan
penekanan dan menunjukkan adanya kreativitas.
4. Mengkaji makna, karena hakekat pemakaian bahasa
untuk menghasilkan makna. Teori transformasi generatif
perlu digunakan.
5. Pengkajian dramatisasi bahasa (penggunaan bahasa
figuratif) oleh penulis perlu diperhatikan dalam rangka
mencapai efek keindahan.
6. Gaya individual pengarang juga perlu dilihat untuk
melihat jenis gaya yang paling dominan, alasan pengguna-
- 202 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

an gaya, pilihan kata, dan penataan kalimat, pemakaian


bahasa sebagai pendukung gagasan. (Semi, 1994: 85)

Analisis stilistika dapat dilakukan dengan cara sebagai


berikut.
1. Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
2. Analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan
yang lainnya.
3. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang
ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang
dikandungnya (Aminuddin, 1995 : 98).
Analisis stilistika dapat dilakukan dengan menganalisis
aspek gaya dalam karya sastra, menganalisis aspek-aspek
kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan
tanda baca dan cara penulisan, dan analisis gagasan atau
makna yang dipaparkan dalam karya sastra.
Gaya bahasa terkait dengan diksi, pencitraan, dan
tuturan figurative. Sastrawan dituntut untuk dengan cermat
dalam pemilihan kata, karena kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, komposisi kalimat dalam wacana.
Pencitraan berkaitan erat dengan diksi karena sebuah kata atau
serangkaian kata tertentu dapat memberikan pencitraan
tertentu. Pencitraan kata merupakan gambaran angan-angan
dalam sastra, termasuk puisi. Penyair tidak hanya menciptakan
musuk verbal tetapi juga pencipta gambaran dalam kata-kata
mendiskripsikan sesuatu. Tuturan figurative adalah bahasa
untuk menyatakan suatu mkna dengan cara yang tidak biasa
atau tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya.
Pada mulanya,stilistika oleh penemunya, Carles Bally
(Imron,2008:15) tidak dimasukkan sebagai studi gaya sastra,
melainkan untuk studi bahasa yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari untuk memenuhi tujuan hidup. Menurut

- 203 -
… Hanik Mahliatussikah …

Bally stilistika adalah studi tentang efek-efek ekspresif dan


mekanisme dalam semua bahasa-bahasa. Baginya stilistika
merupakan sumber-sumber ekspresif bahasa dan mengeluar-
kannya dari dalamnya studi bahasa sastra yang diorganisasikan
untuk tujuan estetik. Tetapi Cressot (Imron, 2008: 15) menyatakan
bahwa kesusastraan adalah bidang stilistika yang utama karena
dalam bidang kesusastraan pilihan gaya lebih manasuka dan
lebih sadar. Kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk
menghindari kritik sastra yang bersifat impresionistis dan
subjektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat
memperoleh hasil yang memenuhi kriteria objektivitas dan
keilmiahan (Aminuddin, 1995 : 42).

D. Contoh Telaah
Analisis Cerpen “Daun-daun di Samirono” Karya NH
Dini
NH Dini adalah salah satu penulis wanita Indonesia.
Nama lengkapnya Nurhayati Srihardini, tetapi ia lebih dikenal
lewat nama singkatnya NH Dini. Pengarang kelahiran
Semarang, 29 Februari 1936 ini telah menghasilkan begitu
banyak karya dan telah diterbitkan dalam bentuk buku.
Kumpulan cerpenya, Dunia Dunia, pertama kali muncul pada
tahun 1956 dan diterbitkan oleh NV Nusantara, Bukittinggi.
Hingga tahun 2004, sudah puluhan buku yang memuat
karyanya telah diterbitkan.
Di antara karya-karya awal Nh Dini yang cukup dikenal
luas adalah Pada Sebuah Kapal (Novel), Namaku Hiroko (Novel),
Keberangkatan (Novel), Sebuah Lorong di Kotaku (Novel), La Barka
(Novel), dan sebuah cerita kenangan berjudul Sekayu. Nh Dini
dan keluarganya sering brpindah tempat tinggal di berbagai
negara. Saat tinggal di Perancis (1977), ia sempat bekerja
sebagai penjaga orang lanjut usia, sebelum akhirnya kembali ke

- 204 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Indonesia (1980) dan bercerai dari suaminya (1984). Tahun 2002


Nh Dini memutuskan tinggal di Kawasan Lansia Mandiri di
Sendowo, Yogyakarta (Nuroh, 2011).
Cerpen “Daun-daun Waru di Samirono” tidak banyak
berbeda dari gaya yang selama ini ditekuni oleh Nh Dini, ialah
realisme. Bahkan pada cerpen ini Nh Dini realismenya lebih
kukuh. Yang di kisahkan ialah peristiwa-peristiwa kecil yang
dialami seorang ibu tua miskin pada hari terakhir hidupnya,
hingga maut menjemputnya. Latar belakang kultural
dinyatakan dengan pasti di Jawa, tepatnya Yogyakarta. Aneka
detail, dari penggunaan istilah Jawa sampai ke nama tempat
dan sikap dasar sang tokoh, bertujuan menghidupkan suasana
kultural khas Jawa - yang agaknya disadari sebagai mata air
literernya. Warna kejawaan itu di pertegas dengan meng-
hadirkan bangsawan nun jauh diseberang. Menariknya, gaya
bertuturnya di bangun melalui pilihan bahasa yang sengaja
dibuat “datar”, tidak meluap-luap, lemah-lembut, sebagaimana
langgam gaya ala Jawa, seperti yang terlihat dalam kutipan
berikut ini:
“Kemarau tiba-tiba terputus sejenak walaupun mungkin
akan diteruskan selama dua atau tiga bulan mendatang.
Seingat Mbah Jum, para tetangganya sering menyebut
September karena berarti sumbere kasep. Perempuan tua
itu hanya mengenal nama-nama bulan Jawa melalui
hitungan cahaya malam di langit: Jumadil Akhir,
Ruwah... Dia baru menyadari bahwa poso atau puasa
sudah tampak diambang waktu”
“Keluarga Bu Guru yang tinggal di rumah depan
mengatakan bahwa hujan itu sebagai tanda bumi
Mataram berduka dengan terjadinya ontran-ontran di
Surakarta. Karena menurut dia, meskipu Kertosuro dan
Mataram sudah terpisah menjadi dua kerajaan,
sesungguhnya masih terjalin kental”
- 205 -
… Hanik Mahliatussikah …

Dari kutipan di atas menunjukkan kepada pembaca


bahwa cerpen ini menunjukkan suasana kultural masyarakat
Jawa dan tentang kehidupan masyarakatnya khususnya di
Yogyakarta. Dan menunjukkan adanya istilah-istilah Jawa yang
digunakan yaitu sumbere kasep, Jumadil Akhir, Ruwah, Poso,
ontran-ontran, priyagung, ngerso dalem, kondur dan sebagainya.
Warna kejawaan ini juga dipertegas dengan menghadirkan
bahasa yang digunakan oleh orang Bangsawan Jawa seperti
priyagung, ngerso dale, kondur dan masih banyak lagi. Dalam
kutipan di atas menggunakan bahasa yang datar, tidak meluap-
luap, lemah-lembut dan santun. Hal ini melambangkan warna
kultural masyarakat Jawa (Yogyakarta dan sekitarnya). Serta
alur dan tema cerita menunjukkan ciri khas kehidupan
masyarakat Jawa pada umumnya. Selain itu juga dalam cerpen
ini juga menggunakan piranti stilistika seperti personifikasi,
ironi, hiperbola dan metafora. Seperti pada kutipan berikut ini:
“Matahari bersinar lembut. Tadi malam hujan yang
mendadak menyiram bumi Mataram membikin orang-
orang kaget namun berlega hati”
Dalam kutipan di atas terdapat gaya bahasa personifikasi
dan hiperbola. Pada “matahari bersinar lembut” menunjukkan
gaya bahasa personifikasi, dimana matahari di bandingkan
atau diumpamakan seperti sifat manusia yaitu “lembut” yang
mempunyai arti keadaan cuaca dan suasana waktu itu cerah
dengan adanya sinar matahari. Sedangkan pada kutipan “tadi
malam hujan yang mendadak menyiram bumi Mataram
membikin orang-orang kaget” menunjukkan adanya gaya
bahasa hiperbola, dimana ditunjukkan dengan adanya bahasa
yang dilebih-lebihkan pada “hujan yang mendadak menyiram
bumi Mataram membikin orang-orang kaget” yang berarti
akibat hujan yang deras menyebabkan kagetnya orang-orang di
sekitar Mataram (Yogyakarta). Hal ini menunjukkan adanya

- 206 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

gaya bahasa yang dilebih-lebihkan karena tentu saja bukan


semata-mata karena hujan dapat menyebabkan orang-orang
kaget di seluruh Mataram.
Langit mendung. Tampak kemurungan masih akan ber-
linjut hari itu. Pengaruh kelakuan dan suasana batin para
priyagung sangat besar, kata seorang dari cucu Bu Guru”
((Dini, NH. Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005: Daun-
daun Waru di Samirono. (PT. Gramedia Jakarta, 2005), 97)
Dalam kutipan diatas terdapat gaya bahasa personifikasi
dan metafora. Pada “langit mendung. Tampak kemurungan
masih akan berlanjut hari itu” menunjukkan gaya bahasa personi-
fikasi yang ditunjukkan “mendungnya langit” di umpamakan
atau dibandingkan dengan “murungnya wajah” yang
mempunyai arti keadaan cuaca dan warna langit pada saat itu
mendung yang berarti akan turun hujan. Sedangkan pada
kutipan “tampak kemurungan masih berlanjut hari itu.
Pengaruh kelakuan dan suasana batin para priyagung sangat
besar” dimana kutipan tersebut mempunyai arti implisit,
dimana akibat pengaruh hati yang tidak baik dari para
bangsawan/petinggi/pejabat maka mengakibatkan dampak
yang besar pada seluruh rakyatnya (sesuatu hal yang tidak baik
pula) (Nuroh, 2011: 27-29).

- 207 -
… Hanik Mahliatussikah …

DAFTAR PUSTAKA

Abu Sa’îd, Ahmad, dkk. 1968. A`l-Mufîd fi`l Adab a`l-Arabiy. A`l-
Juz a`ts-Tsâniy. Beirut: A`l-Maktab a`t-Tijârî li`th-Thibâ’ah
wa`n-Nasyr wa`t-Tauzî’.
Al-Hasyimî, Sayyid Ahmad. 1960. Jawâhiru`l-Balâghah
Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar
Baru.
Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa
dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Asrari, Imam. 1998. Penggunaan Gaya Bahasa Kias dalam Al-
Quran. Tesis belum diterbitkan. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak: teori, metodologi, dan Aplikasi.
Bandung: Angkasa.
Jarim Ali dan Mustofa Utsman. 1993. A`l-Balaghatu`l Wadhîchah.
Diterjemahkan oleh Mujiyo Nurkholis, dkk. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Mahliatussikah, Hanik. 2004. Gaya Bahasa Perbandingan dalam
Ayat-ayat Al-Quran tentang Hari Kiamat. Dalam jurnal
Bahasa dan Seni. Malang: Fakultas sastra UM.
Moeliono, Anton. 1989. Diksi atau Pilihan Kata. Kembara Bahasa
Kumpulan Karangan tersebar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dini, NH.2005. Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005: Daun-
daun Waru di Samirono. Jakarta: PT. Gramedia
Nuroh, Ermawati Zulikhatin. 2011. Analisis Stilistika dalam
Cerpen Daun-daun Waru di Samirono kaya NH Dini. Dalam
Pedagogia: Jurnal Pendidikan Vol. 1, No. 1, Desember
2011: 21-34. http://journal.umsida.ac.id/files/ErmaV1.1.pdf

- 208 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Segers, T. Rien. 1978. The Evaluation of Literary texts. Lisse: The


Peter de Ridder Press.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature.
Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.

- 209 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut!


1. Apa yang dimaksud dengan stilistika ?
2. Coba cari ekuivalensi gaya bahasa Arab dan bahasa
Indonesia yang saudara ketahui!
3. Sebutkan jenis gaya bahasa perbandingan!
4. Jelaskan 4 jenis gaya bahasa berdasarkan maksud dan
tujuannya!
5. Buatlah contoh gaya bahasa simile!
6. Buatlah contoh gaya bahasa metafora!
7. Sebutkan gaya bahasa ditinjau dari langsung tidaknya
makna!
8. Apa yang saudara ketahui tentang gaya bahasa metafora?
9. Bagaimanakah langkah-langkah dalam analisis stilistika?
10. Pilihlah satu surat dalam Al-Quran kemudian kajilah
secara stilistik!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 210 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Teori &
BAB Metode Analisis
___ 12 Intertekstual

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode analisis
intertekstual, prinsip intertekstual dan peranannya terhadap
karya sastra, hubungan intertekstual, dan intertekstual sastra
bandingan. Selain itu, terdapat evaluasi dan rangkuman
pembelajaran untuk mempermudah mahasiswa belajar.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis intertekstual, pada bab selanjutnya akan mempelajari
Pendekatan Moral-Filosofis. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan dapat memahami materi pada bab ini untuk
memudahkan memahami materi selanjutnya.

- 211 -
… Hanik Mahliatussikah …

III. Capaian Pembelajaran MK


Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan
dapat mendeskripsikan teori intertekstual, prinsip intertekstual
dan teori sastra banding, metode analisis intertekstual, dan
penerapan kajian intertekstual dalam teks prosa Arab.

A. Teori Intertekstual
Yang dimaksud dengan intertekstualitas adalah bahwa
“dalam sebuah teks terdapat beberapa buah teks”. Teks
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan
teks-teks lain. Setiap teks terjalin hasil dari kutipan, peresapan,
dan transformasi dari teks-teks lain. Kajian intertekstualitas ini
digunakan untuk mengimbangi dan memadukan antara teks
dalaman dan teks luaran (Napiah, 1994: ix-xv, Culler, 1977:
139).
Harold Bloom berpendapat bahwa intertekstual adalah
sebuah teks yang berasal dari hubungan antara karya baru
dengan karya pendahulunya. Hubungan tersebut dapat berupa
kata, frasa, kalimat, atau masalah yang terdapat dalam suatu
karya sastra (Culler, 1981: 107-109; Sangidu, 2005: 25). Roland
Barthes juga menyatakan bahwa teks sastra merupakan
tenunan kata-kata (fabric of the words) atau jalinan antar kode,
dirumuskan dan ditandai (Young dalam Sangidu, 2005: 25).
Culler (1981: 103, 117) menyatakan bahwa teks-teks yang
terdahulu memberikan sumbangan terhadap pembentukan teks
yang muncul kemudian. Oleh karena itu, teks terdahulu
sebagai prior teks dan sebagai penyumbang kode yang
memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi menjadi
penting. Dalam kajian intertekstual, perlu dicari presupposition,
baik yang bersifat logis maupun pragmatis. Presupposition
merupakan landasan signifikasi, perkiraan “tanda” terjadinya

- 212 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

transformasi teks atau perkiraan bahwa teks baru mengandung


teks lain yang hadir sebelumnya.
Teori intertekstual berawal dari konsep dialogika yang
diperkenalkan pertama kali oleh Michail Bakhtin pada tahun
1926. Bakhtin berpendapat bahwa semua karya itu dihasilkan
berdasarkan dialog antara teks dengan teks-teks lain. Teori
dialogika Bakhtin tersebut kemudian dikembangkan oleh Julia
Kristeva dengan istilah intertekstualitas sebagaimana dalam
bukunya semiotike.
Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan antara
teks yang satu dengan teks yang lain. Teks, menurut Julia
Kristeva, merupakan mozaik kutipan-kutipan dan merupakan
penyerapan dan transformasi teks-teks lain (Culler, 1977: 139).
Menurut Kristeva, di dalam sebuah teks terdapat teks-teks lain
yang diambil dan dimasukkan ke dalam teks yang baru (Junus,
1986: 87) dengan pengolahan dan kreativitas pengarang sehingga
tampil dalam bentuknya yang baru. Dari sini tampak bahwa
karya sastra (puisi) tidak muncul dari kekosongan budaya
(Teeuw, 1980:11), tetapi ia lahir dari masyarakat dan kemudian
ditanggapi oleh teks yang muncul kemudian (teks transformasi).
Hipogram dan teks transformasi itu akan membantu dalam
memberikan pemaknaan secara lebih mendalam terhadap
sebuah sajak.
Selanjutnya, Riffaterre mengembangkan teori intertekstual
tersebut dengan memberikan istilah hypogram pada sajak yang
menjadi latar penciptaan sebuah sajak, sedangkan teks baru
yang menyerap dan mentransformasikan hipogram itu disebut
teks transformasi (1978: 11,23). Hipogram ada dua macam,
yaitu hipogram aktual dan hipogram potensial. Hipogram
potensial adalah segala bentuk implikasi dari makna
kebahasaan, baik yang berupa presuposisi atau makna-makna
konotatif yang sudah dianggap umum. Implikasi itu tidak
terdapat dalam kamus melainkan sudah ada dalam penutur

- 213 -
… Hanik Mahliatussikah …

bahasa pada umumnya. Pemahaman terhadap hipogram


potensial ini akan diketahui melalui oposisi-oposisi yang
ditimbulkan oleh puisi. Adapun hipogram aktual adalah teks-
teks yang ada sebelumnya, baik mitos atau karya sastra lain
(Faruk, 1996: 25-26).
Sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan
sajak yang lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya
yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya
(Teeuw, 1983: 66). Meskipun seorang penyair melihat sajak atau
teks hipogramnya, tetapi ia mampu mentransformasikan teks
lain tersebut melalui pengolahan kreatif berdasarkan
ideologinya sendiri dan horison harapannya sendiri hingga
lahirlah karya baru yang asli (Pradopo, 2002: 229).
Intertekstualitas ini merupakan satu teori yang tidak
hanya memperhatikan struktur intrinsik teks saja, tetapi juga
aspek ekstrinsik teks. Intertekstualitas tidak hanya bertumpu
pada soal pengaruh dalam penciptaan karya sastra, tetapi
pendekatan ini lebih menitikberatkan komponen-komponen
yang membina sebuah teks, seperti adanya transformasi, per-
ubahan atau penentangan terhadap satu atau lebih sistem yang
ada dalam sebuah karya sastra. Kristeva menyebutkan beberapa
prinsip intertekstualitas, yaitu transformasi (pemindahan), mo-
difikasi (penyesuaian, perubahan), demitefikasi (penentangan),
haplologi (penghilangan), ekserp (pararel), dan konversi
(pemutarbalikan) (Napiah, 1994: xxiv).
Culler (1981: 103, 117) menyatakan bahwa teks-teks yang
terdahulu memberikan sumbangan terhadap pembentukan teks
yang muncul kemudian. Oleh karena itu, teks terdahulu sebagai
prior teks dan sebagai penyumbang kode yang memungkinkan
lahirnya berbagai efek signifikasi menjadi penting. Dalam
kajian intertekstual, perlu dicari presupposition, baik yang
bersifat logis maupun pragmatis. Presupposition merupakan
landasan signifikasi, perkiraan “tanda” terjadinya transformasi

- 214 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

teks atau perkiraan bahwa teks baru mengandung teks lain


yang hadir sebelumnya.
Kristeva menyebutkan beberapa prinsip intertekstualitas,
di antaranya transformasi, modifikasi, dan demitefikasi
(Napiah, 1994: xxiv).

1. Transformasi
Transformasi bermakna pemindahan, penjelmaan atau
penukaran suatu teks kepada teks lain. Transformasi itu ada
yang bersifat formal dan ada pula yang bersifat abstrak.
Transformasi formal atau dalam istilah Junus (1985: 87-88)
disebut fisikal adalah memindahkan teks sepenuhnya atau
hampir sepenuhnya ke sebuah teks baru yang diciptakan, baik
dari aspek strukturnya, dialognya, maupun judul teks itu
sendiri. Adapun yang bersifat abstrak adalah memasukkan
teks-teks lain secara implisit, seperti kesesuaian idenya saja,
tetapi diungkapkan dengan bahasa yang berbeda (Napiah,
1994: xxiv; Junus, 1985: 87-88).
a. Modifikasi
Modifikasi adalah penyesuaian, perubahan suatu teks ke
dalam teks yang lain. Dengan kreativitasnya, seorang pengarang
dapat menambah atau melengkapi teks yang dibacanya dengan
menghadirkan teks yang baru. Modifikasi merupakan perubahan
dalam tataran linguistik (Napiah, 1994: xxv; Endraswara, 2003:
132).
b. Demitefikasi
Demitefikasi adalah penentangan ide terhadap teks hipo-
gram (Napiah, 1994: xxv; Endraswara, 2003: 132).

B. Prinsip Intertekstualitas
Pengertian, paham, atau prinsip interteksualutas berasal
dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam struktualismme
Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filusuf Perancis,

- 215 -
… Hanik Mahliatussikah …

Jaques Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip


ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan
latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang
sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan
pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks
lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa
teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka
yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam
penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah
ada memainkan peranan penting. Pemberontakan atau penyim-
pangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki
ataupun disimpangi; dan pemahaman teks baru memerlukan
latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang menda-
huluinya (Kristeva dalam Teeuw, 1984: 146)
Sajak yang menjadi latar penciptaan sajak baru oleh
Rifaterre disebut hypogram (1978: 11). Dalam hubungan ini Julia
Kristeva (Culler, 1977: 139) mengemukakan bahwa tiap teks itu
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan
(transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil
hal-hal yang bagus drai teks lain berdasarkan tanggapan-
tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya atau ditulis
setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik
secara sadar maupun tidak sadar. Setelahmenanggapi teks lain
dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiran-
pikirannya kemudian mentransformasikannya ke dalam karya
sendiri dengan gagasan dan konsp estetik sendiri sehinga
terjadi perpaduan baru. Konvensi dan gagasan yyang diserap
itu dapat kembali apabila kita membandingkan teks yang
menjadi hypogram-nya dengan teks baru itu. Teks baru atau
teks yang menyerap dan mentransformasikan hypogram itu
disebut teks transformasi.
Prinsip intertekstualitas dalam karya sastra di dunia
Barat sudah mulai dikenal tahun enampuluhan. Di Indonesia,

- 216 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

prinsip ini baru diterapkan pada karya sastra Indonesia pada


tahun delapan puluhan dipelopori Teeuw dalam artikel
MAjalah Basis tahun 1980 No. 30.1 yang ditulis kembali dlam
buku Membaca dan Menilai Sastra (1983).
Karya sastra tidak hadir dalam kekosongan budaya,
termasuk sastra. Karya sastra itu merupakan response (Teeuw,
1983: 65) pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh
karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari
teks lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya
yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks
dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan
hanya teks tertulis ataupun tekslisan. Adapt istiadat,
kebudayaan, film, drama secara pengertian umuam adlah teks.
Oleh karen aitu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal
yang penciptaan tersebut, baik secara umum maupuun khusus.
Teeuw membuktikan bahwa prinsip intertekstualitas
dapat diterapkan secara efektif pada karya sastra Indonesia.
Misalnya, Sajak-Sajak Indonesia Modern karya AMir Hamzah
(Pujangga Baru) dan sajak karya Chairil Anwar (Angkatan ‘45)
seperti “Berdiri Aku” dengan “SEnja di Pelabuhan Kecil; sajak
“Kusangka” dengan “Penerimaan”; “Dalam MAtamu” dengan
“Sajak Putih”. H.B. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor
Angkatan ’45 (1978) telah menerapkan pendekatan interteks-
tualisme untuk memahami sajak Chairil yang penciptaannya
dilatari sajak-sajak penyair Eropa dan Amerika. Demikain pula
Michael Rifaterre dalam bukunya Semiotiscs of Poetry (1978)
mendemostrasikan pendekatan intertekstualisme sevara nyata
dengan membahas sajak Peranci yang baru dapat dipahami
sepenuhnya apabila dibaca dengan latar belakang sajak lain.
Dasar intertekstual yaitu prinsip persamaan (vraisambable)
teks yang satu dengan teks yang lain sebagaimana yang
dikemukakan Culler (1977:139). Ia menegmukakan pendapat
Julia Kristeva bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan

- 217 -
… Hanik Mahliatussikah …

dan transformasi teks-teks lain, setiap teks itu merupakan


mosaic kutipan-kutipan dari teks lain. Hubungan ini dapat
berupa persamaan atau pertentangan (Teeuw, 1983:65).
Dikemukanan Riffaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks) yang
menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra (teks) yang lain
itu diseut hiporgram. Karya sastra yang menjadi hipogram
diserap dan ditransformasikan ke dalam teks sastra sesudahanya
menunjkkan adanya persamaan itu. Dengan menjajarkan
sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, maka
makna teks tersebut menjadi jekas, baik teks itu mengikuti atau
menentang hipogramnya. Begitu juga, situasi yang dilukiskan
menjadi lebih terang hingga dapat diberikan makna sepenuhnya.

C. Hubungan Intertekstual
Dalam mengalisis karya sastra, krtitikus secara aktif
memberi makana kepada unsure-unsur katrya sastra dan
keseluruhan karya sastra. Pemberian makna ini berdasarkan
sisitem tanda dalam karya sastra yang khusu disebut Preminger
dkk (1974:1981) sebagai konvensi tambahan, disamping konvensi
bahasa yang menjadi mediumnya.
Untuk mendapatkan makana sepenuhnya itu dlam
menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks
sejarah dan konteks social budayanya. Dalam hubungan
pembicaraan intertekstualitas ini berkenaan dengan konteks
sejarah sastranya.
Karya sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong
kebudayaannya (Teeuw, 1980:11), termasuk dalamnya situasi
sastranya. Dalam hal ini, karya sastra dicipta berdasarkan
konvensi sastra yang ada, yaitu meneruskan konvensi sastra
yang ada, di samping juga sebagai sifat hakiki sastra, yaitu sifat
kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian itu dicipta
menyimpang cirri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada.

- 218 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Selallu ada ketegangan antara konvensi dengan pembaharuan


(Teeuw, 1980:12).
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa,
mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang
mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini
baik berupa persamaan ataupun pertentangan. Denganh hal
demikian ini, sebaikany membiucarakan karya sastra ityu
dalam hubunganya dengan karya sezaman, sebelum atau
sesudahnya.
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu
diperhatikan prinsip intertekstualitas. Hal ini ditunjukkan oleh
Riffaterre dalam bukunya Semoitic of Poetry (1978) bahwa sdajak
baru bermakan penuh dalam hubunganya dengan sajak lain.
Dikemukakan Riffaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra)
yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya itu
disebut hipogram. Karena tak ada karya sastra yang lahir itu
mencontoh atau menirtu karya sebelumnya yang disrap dan
ditransformasikan dalam karya itu. Karena hal yang demikian
ini, dikatakan oleh Julia Kristeva (Culler, 1977:139) bahwa
setiap teks sastra itu merupakan mosaic kutipan-kutipan,
penyerapan dan transformasi teks-teks lain.
Hubungan intertekstual dalam karya ssatra prosa
Indonesia modern, misalnya dapat dilihat antara Di Bawah
Lindungan Ka’bah (DLK) karya Hamka dengan Atheis karya
Achdiat Kartamihardja dan Gairah untuk Hidfup dan untuk mati
karya Nasjah Djamin (GHM), bahkan juga Burung-Burung
Manyar karay YB Mangunwijaya. Di bawah Lindungan Ka’bah
merupakan hipogram karya-karya yang kemudian itu, kecuali
Burung-Burung Manyar yang berhipogram Atheis.
Hubungan intertekstual antara Atheis dengan Burung-
Burung Manyar itu terletak dalam persamaan penggunaan
metode pusat pengisahan. Atheis mempergunakan dua pusat
pengisahan, yaitu naskah Hasan mempergunakan dua pusat

- 219 -
… Hanik Mahliatussikah …

pengisahan, yaitu naskah Hasan mempergunakan metode orang


pertama (aku), sedangkan bagian ketiga mempergunakan pusat
pengisahan metode orang ketiga (Diaan). Dalam BBM juga
dipergunakan dua pusat pengisahan. Teto bercerita dengan
metode orang pertama (aku sertaan), sedangkan cerita Teto
mengenai atiek diceritakan dengan pusat pengisahan metode
orang ketiga (diaan). Ini seperti halnya dalam Atheis aku (tak
sertaan) mengisahkan hasan dengan metode orang ketiga (dia).

D. Metode Analisis Interteks


Kajian sastra bandingan, pada akhirnya harus mesuk ke
dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam
sastra yang akan melehirkan karya berikutnya (Riffaterre,
1978:23). Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar
kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya
dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini
akan berjalan terus menerus sejauh proses sastra itu hidup.
Hipogram merupakan “induk” yang akan menuntaskan karya-
karya baru, dalam hal ini peneliti sastra berusaha membanding-
kan antara karya.”induk” denghan karya baru. Namun, tidak
ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang
lebih tua yang hebat, sepertihalnya studi filologi. Studi
interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas
pengarang.
Hipogram karya sastra akan meliputi: (1) ekspansi,
yaitu perluasaan atau pengembangangan karya. Ekspansi tidak
sekedar repetisi tetapi termasuk perubahan gramatikal dan
perubahan jenis kata. (2) konversi adalah pemutarbalikan
hipogram/matriksnya penulis akan memodifikasi kalimat
kedalam karya barunya. (3) Modifikasi, adalah perubahan
tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat
saja pengarang hanay mengganti nama pengarang pada hal
tema dan ceritanya sama, (4) ekserp, adalah semacam intisari

- 220 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh


pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit
dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkan karya.
Dari penelitian interteks demikian, akan terlihat lebih
jauh bahwa karya berikutnya merupakan response pada karya-
karya yang terbit sebelumnya. Karenanya, masuk akal aklau
Cortius dalam bukunya Introduction to the Comparative Study of
Literature menyatakan bahwa karya sastra adalah barisan teks
atau himpunan teks. Penampilan teks pada teks lain tersebut
dapat dirumuskan sebagai berikut: (a) kehadiran teks secara
fisik suatu teks dalam teks yang lainnya, (b) kehadiran teks
pada teks lain kemungkinan hanya berupa kesinambungan
tradisi, sehingga pencipta sesudahnya jelas telah membaca
karya sebelumnya.
Kehadiran teks alin paad suatu teks, akan mewarnai
teks baru tersebut. Dalam kaitan ini Riffaterre dalam bukunya
Semiotic of Poetry menyatakan bahwa karya sastra (sajak)
biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan
sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun perten-
tangannya. Hal ini menyugestikan bahwa karya sastra yang
lahir kemudian, sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Karya
sastra yang lahir berikutnya, merupakan “pantulan” karya
sebelumnya. Pantulan tersebut dapat langsung maupun tidak
langsung. Jika pantulan itu langsung, tentu karya tersebut
memiliki hubungan interteks yang sangat tajam. Sebaliknya,
jika pengaruh tersebut tak langsung akan menimbulkan
hubungan interteks yang halus. Hubunagn interteks model
pertama, akan mudah diketahui oleh siapa saja yang telah
membaca beberapa karya. Sedangkan interteks yang kedua,
tentu membutuhkan kejelian pembaca untuk mengetahuinya.
Prinsip dasat intertekstualitas (Pradopo, 1997:228)
adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh
dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram.

- 221 -
… Hanik Mahliatussikah …

Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan


sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan
juga sangat ketara. Dalam kaiatan ini, sastrawan yang lahir
berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya.
Dengan demikian, merasa selalu menciptakan karya asli,
karena dalam mencipta selau diolah dengan pandangannya
sendiri, dengan horisaon atau harapannya sendiri.
Penelitian intertekstual tersebut, sebenarnya merupakan
usaha pemahaman sastra sebagaiu sebuah “presupposition”
yakni sebuah perkiraan bahwa suatu teks baru mengandung
teks lain sebelumnya. Perkiraan ini, tentu ada yang tepat dan
ada yang meleset, tergantung kejelian peneliti. Namun, hal
demikian juga diakui oleh Roland Barthes, bahwa dalam diri
dia sesunggunya telah penuh dengan teks-teks lain. Dalam diri
pengarang penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu
dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap dalam
karyanya banyak memuat teks alin, memang akan kehilangan
orosinalitasnya.
Secara garis besar, penelitian intertekstual memiliki dua
fokus: pertama, meminta perhatian kita tentang pentingnya teks
yang terdahulu (prior texs). Tunytutan adanya otonomi teks
sebenarnya dapat mnyesatkan gagasan, sebuah karya memiliki
arti karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih dahulu
oleh pengarang lain. Kedua, intertekstual akan membimbing
pneliti untuk mempertimbangakn teks terdahulu sebagai
penyumbang kode yang memungkinakn lahirnya berbagai efek
signifikansi. Dari dua fokus ini, tampak bahwa karya sastra
sebelumnya banyak berperan dalam sebuah penciptaan. Bahkan,
Barthes berpendapat, karya sastra yang anonim sekalipun
kadang-kadang akan mewarnai penciptaan karya selanjutnya.
Hubungan interteks tersebut, ternyata tidak hanya pada
karya yang satu bahasa. Interteks dapat melebar atau meluas ke
sastra lain. Yang penting, asalkan pengarang menguasai bahasa

- 222 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

karya sastra lain, akan terjadi interteks. Kini tugas peneliti


interteks adalah menemukan presupposition. Mungkin saja
pengarang sangat halus menyembunyikan presupposition
sehingga membutuhkan tafsir yang meyakinkan. Presupposition
sebenarnya merupakan perkiraan “tanda” terjadinya transfor-
masi teks. “tanda” ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
presupposition logis dan presupposition pragmatis.
Presupposition logis biasanya tampak pada pemikiran
pengarang dalam kalimat ataupun kata-kata tertentu. Kalimat
atau kata tersebut jika dihadirkan secara eksplisit, tentu tidak
masalah. Namun, jika pencipta berikutnya sangat samar-samar,
peneliti harus mampu menafsirkan. Misalkan, “berapa lama
kau menghuni teralis besi?”, ini berarti presupposition-nya
merujuk pada narapidana. Adapun presupposition pragmatis
adalah tidak lagi bertolak dari relasi antar kalimat dan kata,
melainkan antar ucapan dan ungkapan. Dalam karya sastra,
mungkin berupa special kind of speech dan juga special words.
Misalkan saja, “buka pintu”, bisa hadir presupposition
permohonan dan perintah.
Perlu dikemukakan bahwa intertekstual dalam kaitanya
dengan teori resepsi dapat diposisikan sebagai metode. Akan
tetapi, intertekstual dapat juga diposisikan sebagai teori
tergantung pada objek material (karya sastra) yang diteliti. Julia
Kristeva (dalam Culler, 1975:139) mengemukakan bahwa
prinsip intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca
dan dipahami dengan latar belakang teks-teks lain. Artinya,
setiap teks merupakan mozalik kutipan-kutipan, pnyerapan,
dan transformasi teks-teks lain. Hal yang dapat dikerjakan dalam
membuktikan kutipan-kutipan, penyerapan, atau transformasi
dari teks-teks lain adalah dengan menguraikan dan menggam-
barkan kasus-kasus atau kejadian-kejadian (by showing in cases)
yang dipermasalahkan di dalam teks sastra, baik kasus-kasus
atau kejadian-kejadian yang meneladani maupun yang

- 223 -
… Hanik Mahliatussikah …

menentang (Culler. 1981:107). Angaapan yang demikian


menimbulakn satu konsekuensi bahwa sebuah teks sastra
hanya dapat dibaca dan dipahami dalam kaitanya dengan teks-
teks lain, baik kaitan secara diakronis maupun kaitan secara
sinkronis. (Chamamah-Soeratno, 1991:19).
Sementara itu, Riffaterre (1978:11, 23) mengemukakan
bahwa sebuah karya sastra, baru bermakna penuh dalam
hubunganya denagn karya sstra yang lain atau istilahnya
dengan memperhatikan prinsip intertekstual. Menurutnya,
karya sastra yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra
sesudahnya disebut sebagai karya hipogram. Hipogramn
merupakan karya yang menjadi dasar penciptaan karya lain
yang lahir kemudian. Karyan yang dicfiptakan berdasarkan
hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena
mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.
Hipogram dapat terjadi secara eksplisit ataupun implicit.
Keeksplisitan terjadi karena kesengajaan yang dilakukan oleh
pengarang dan biasanya dapat dibuktikan secara tekstual di
dalam karya sastralama yang akan diungkap maknanya,
sedangkan keimplisitan terjadi di luar kesengajaan pengarang
karean pengenalanya terhadap karya sastra sebelumnya
(Abdullah, 1991:9). Keimplisitan karya sastra dalam menyerap
karya-karya sebelumnya, dapat diketahui lewat pembacaan
teks-teks yang diduga menjadi hipogram bagi teks yang akan
diungkap maknaya.
Selanjutnya, Riffaterre (1978:13-15) mengemukakan
bahwa dalam pemaknaan karya sastra perlu diperhatikan
matriks, model dan varian-varian yang terdapat di dalamnya.
Matriks merupakan kata kunci (key word) dan dapat berupa
satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat
sederhana. Wujud matriks dapat berupa “topikalisasi” teks
sastra yang dibaca. Matriks ini selanjutnya ditransformasikan
menjadi “model”. Model adalah kiasan ataupun kata-kata

- 224 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

puitis. Matriks dan model ini, selanjutnya ditransformasikan


menjadi varian-varian. Wujud varian-varian itu adalah uraian-
uraian tentang masalah yang terjabarkan dalam alur atau
peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam teks sastra. Teknik
yang dapat dikerjakan dalam melaksanakan metode
intertekstual ini adalah dengan “menjajarkan” karya sastra
yang dimaknai dengan karya sastra yang menjadi hipogramnya
ataupun sebaliknya, bergantung paad kondisi karya sastra
yang dihadapi oleh peneliti. Hal yang “disejajarkan” dapat
berupa matriks, model, dan varian-varian. Ketiga hal itu pada
akhirnya akan membentuk teks sebagai satu struktur yang
bulat dan utuh.
Harold Bloom (dalam Culler, 1981:107-109) berpendapat
bahwa intertekstual adalah sebuah teks yang berasal dari
hubungan antara “karya baru” dengan karya pendahuluan.
Artinya, suatu karya sastar tidak mempunyai arti, kecuali
hanya dalam hubungannya dengan karya ssatra lain yang
memungkinkan karya tersebut dapat terinterprestasikan.
Hubungan tersebut dapat saaj berupa kata, frase, kalimat, atau
masalah yang terdapat dalam suatu karya sastra. Pengung-
kapan hubungan tersebut dapat dilakukan denagn menguarai-
kan (tradisi) yang terdapat dalam karya sastra. Tradisis adalah
peniruan karya sastar dari karya-karya sebelumnya. Peniruan
adapt dialuakn setelah membaca karya-karya sebelumnya.
Adapun Roland Barthes (dalam Young, 1981:32)
mengemukakan baahwa teks sastra merupakan tenunan kata-
kata (fabric of the words) atau jalinan antar kode, dirumuskan
dan ditandai. Kode tidak lain berasal dari teks-teks yang telah
terbaca sebelumnya (Culler, 1981:102). Oleh karenaitu, teks
sastra dikatakn oleh Bartes sebagai jalinan atau tenunan kode-
kode, maka yang perlu diketahui adalah jalinan kode-kode
yanga da din dalam teks yang berasal dari teks-teks lain atau
intertekstual. Menurutnya, intertekstual merupaakn “tenunan

- 225 -
… Hanik Mahliatussikah …

baru” dari kutiapn teks-teks sebelumnya. Jiak orang


menciptakan teks baru, maka sekaligus teks baru itu adalah
interteks karena diambil dari teks-teks yang lain. Di dalam teks
baru (apa yang ditulis) itu berisi pikiran yang bermacam-
macam yang telah dijadikan dalam satu wadah.
Intertekstual adalah fenomewna anonym yang tidak
usah diberi catatan bawah Karen aia merupakan pikiran yang
bermacam-macam dan berasal dari teks-teks lain (young,
1981:39). Konsep intertekstual Bartes ini secara teoritis bagus
dsan ideal karena di dalam teks-teks asatra kadang-kadang
juag terjadi seperti konsepnya, tetapi secara metodologis,
peneliti mengalami kesulitan untuk menguraiakn konsep
tersebut. Untuk itulah, di dalam penelitian terhadap teks-teks
sastar perlu dimanfaatkan metode yang merupakan gabungan
dari metode kristeva, Riffaterre, Bloom, dan Barthes. Hal
tersebut dilakukan karena meliaht kondisi teks-tesk sastra yang
diteliti. Semenatar itu teoriu tersebut lahir dari kebudayan barat
yang tidak tahu atau belum diketahui oleh para peneliti
Indonesia.
Riffaterre mengemukakan bahwa di dalam prinsip
intertekstual diperluakn suatu metode perbandungan denagn
membandingakn unsure-unsur struktur secara menyeluruh
terhadap teks-teks sastra yang diteliti. Metode yang demikian,
merupakan bukti yang dapat dipandang ilmiah. Karen aitu,
untuk mengungkakan hubungan intertekstual antara teks
sastra yang satu denagn teks sastra yang lain, tentu juga
diperlukan metode perbandingan yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara ilmiah, yaotu denagn membandingakn unsur-
unsur srtuktur secara menyeluruh yang terdapat di dalam
kedau teks sastra atau lebih dari dau teks sastra yang diteliti.
Adapun teknik membandingkannya adalah dengan menjajar-
kan unsur-unsur struktur secara menyeluruh yang terdapat di
dalam karya sastra yang diperbandingkan.

- 226 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

E. Intertekstualitas dan Sastra Bandingan


Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across
cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih
banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu
dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat
membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda.
Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan
menurut wilayah geoggrafis sastra. Konsep ini merepresentasi-
kan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan pada
perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju
pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan
semacam ini, guna merunut keterkaitan aspek kehidupan.
Ilmu sastra menjadi pijakan sastra bandingan. Oleh
karena, melalui ilmu sastra tersebut akan dapat dilihat apakah
karya sastra satu dengan yang lain saling bersinggungan atau
tidak. Teori-teori tentang gaya bahasa, naratologi, estetika dan
sebagainya amat bermanfaat bagi studi sastra perbandingan.
Tanpa ilmu dan atau teori mendasar, seorang peneliti tak
mungkin membandingkan karya sastra secara cermat. Apalagi
kalau karya sastra yang dibandingkan itu sangat halus
kemiripannya.
Sastra bandingan, awalnya memang berkembang di
Perancis, Inggris, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya.
Selanjutnya, sastra bandingan juga melebarkan sayap ke
Amerika dan Asia pada umumnya. Sejak tahun 1970-an sastra
bandingan mulai berkembang dengan mengkaji karya-karya
Andre Malraug, William Somerset Maughnam dan Franz
Kafka. Pada awalnya, sastra bandingan sekedar membanding-
kan karya sastra dengan karya sastra, untuk mencari kefavoritan
dan keoriginalitasan karya sastra. Dari perbandingan ini, akan
ditemukan karya-karya yang bertaraf nasional dan bahkan taraf
dunia.

- 227 -
… Hanik Mahliatussikah …

Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra


bendingan. Interteks memang lebih sempit disbanding sastra
perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan
gerakan peneliti filologi baik klasik maupun modern, yang
selalu berhubungan dengan teks sastra-sastra bandingan justru
lebih luas lagi. Sastra bandingan dpat melebar kea rah
bandingan antara sastra dengan bidang lain yang mungkin (di
luar sastra).
Munculnya stuudi interteks, sebenarnya lebih banyak
dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena, melalui
pembuatan sejarah sasra, interteks akan menyjmbangakan
bahan yang lauar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam
tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam (gaduh) anatar sastra
satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan
dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh
penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas disiplin ini akan
memandang seuah fenomena senada akan memiliki sumbangan
penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan
menjadi lengkap apabila telah dibandinkan scara cermat satu
sama lain.
Studi interteks menurut Frow (1990: 45-46) didasarkan
beberapa asumsi kritis: (10 konsep interteks menuntut peneliti
untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga
aspek perbedaan dan sjarah teks, (2) take stak hanya stukrut
yang ada, tetapi satu sama lain juga saling membeuru, sehingga
terjadi perulangan atau transformasi teks, (3) ketidakhadiran
struktur tesks dalam rentang teks yang lain namun hadirr juga
pada teks teretntu merupakan proses waktu yang menentukan,
(4) bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentanagn dari
yang eksplisit sampai implicit. Teks boleh saja diciptakan ke
bentuk lain: di luar norma idiologi dan budaya, di luar genre,
di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain, (5)
hubungan teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang

- 228 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

waktu lama, hubugan teks satu dengan yang lain boleh dalam
rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak,
hubungan interteks juga sering terjadi penghilangan-peng-
hilangan bagian tertetu, (6) pengaruh mediasi dalam interteks
sering mempengaruhi juga pada penghilangan gaya amupun
norma-norma sastra, (7) dalam melakukan identifikasi interteks
diperlukan proses interprestasi, (8) analisis interteks berbeda
dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep
pengaruh.
Jika dicermati dari asumsi di atas, penelitian interteks
semula memang pengembangan dari resepsi sastra, terutama
resepsi teks. Asumsi paham interteks adalah bahawa teks sastra
tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain.
Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi
karya sebelumnya. Hanya saja, terjadinya interteks tersebut ada
yang sanagt vulgar dan ada pula yang menyembunyikan atau
sebaliknya memang ingin menampakkan karya orang lain
dalam karyanya.
Pemerhati interteks dan karya perbandingan sebenarnya
kurang lebih sama. Baik interteks maupun sastra perbandingan,
sebenarnya ingin melacak orisinalitas sebuah teks sastra. Jika
karya sastra semakin tidak memuat tekslain, berarti fungsi
kreativitas sangat tinggi. Pencipta telah memanfaatkan
kemampuan berkreasi sehingga seakan-akan tak ada teks lain
yangmuncul di dalamnya. Namun jika peneliti interteks dan
atau sastra pperbandingan sangat jeli, apa yang disembunyikan
pencipta atau teks lain sering terungkap.
Julai Kristeva (Junus, 1986:87) munculnya interteks
sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang masuk ke teks
lain itu dapat saja hanya setitik saja. Jika kemungkian unsure
yangmasuk itu banyak, berate telah terjadi resepsi yang berarti.
Jika dalam suatu teks terdaapat berbagai teks lain berarti teks
sastra tersebut disebut karnaval. Teks yang lahir kemudian

- 229 -
… Hanik Mahliatussikah …

hanya mosaic dari karya sastra sebelumnya. Mosaik tersebut


ibarat bahan ynag terpecaj-pecah, terpencar-pencar, sehingga
pengarang berikutnya sering harus menata ulang ke dalam
karyanya. Dari ini akan tercipta sebuah karya yang merupakan
transformasi teks lain.
Dari pendapat demikian, layak jika Culler (1981:103)
menyatakan bahwa studi intertekstualitas akan membawa
peneliti memandang teks-teks pendahulu sebagai sumbangan
pada suatu kode yang memungkinkan efek signification, yaitu
pemaknaan yang bermacam-macam. Melalui pemaknaan yang
bermacam-macam akan ditemukan makna yang asli. Pada saat
itu pula teks asli akan diketemukan. Yakni, teks yang kurang
lebih disebut orisinal. Kendati istilah orisinal ini yang “bebas”
dari karya orang lain. Namun demikian, melalui studi interteks,
setidaknya peneliti akan mampu memilih dan memilahkan,
mana karya yang paling dekat dengan asli dan mana yang
telah bergeser.

F. Sastra bandingan, Sastra nasional dan Sastra dunia


Kajian sastra bandingan tidak dapat mengabaikan
peranan sastra nasional yang lama-kelamaan akan menjadi
sastra dunia. Sastra nasioanal adalah sastra yang secar umum
menjadi milik bangsa. Pengertian nasional ini adalah batas
wilayah politik suatu negara. Jadi, karya sastra Amerika
Serikatdan Inggris, meskipun sama-sama menggunakan bahasa
Inggris, adlah dua hal yang berbeda.
Istilah yang sering terkait dengan sastra bandingan
adalah sastra dunia (world literature). Ada juga yang menyebut
sastra universal. Sastra dunia adalah sastra yang memuat
pandangan-pandangan universal atau mendunia. Sastra
tersebut diakui oleh seluruh di dunia. Biasanya, karya-karya
semacam ini tergolong masterpiece (karya sastra agung). Karya
demikian banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa ke

- 230 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

seluruh dunia. Tentu saja untuk menjadi sastra dunia tidak


hanya memakan waktu pendek. Meskipun ukuran waktu ini
sangat lentur, namun sekurang-kurangnnya bila karya tersebut
sangat digemmari oleh siapapun di dunia, boleh dikatakan
sastra dunia.
Sastra dunia memang lebih luas dibanding sastra
bandingan. Sastra dunia mencakup sastra bandingan ke seluruh
negara. Sedangkan sastra bandingan biasanya terbentur oleh
waktu dan berbagai kesempatan,karenanya sering terbatas
hanya pada karya sastra nasional atau bahkan regional.
Hutomo (1993: 8) menjelaskan bahwa hubungan sastra
bandingan dengan sastra dunia, dapat dijelaskan melalui
berikut ini.
Sudut pandang Sastra bandingan Sastra dunia
Ruang Hubungan karya Hubugan yang
(pengarang) dari dua menyentuh seluruh
negara dunia (biasanya
dunia barat)
Waktu Boleh Ketokohan karya
membandingkan dikaitkan dengan
sastra dari zaman apa waktu kelahirannya,
saja (sastra lama sastra mutakhir
ataupun sastra baru) tidak termasuk
kajian
Kualitas Karya yang dipilih Hanya terbatas
untuk dibandingkan karya agung
tidak terikat pada
kehebatannya
(bermutu)
Insensitas Karya sastra yang Menunggu hasil
belum terkenal dapat dari sastra
terangkat ke sastra bandingan
dunia

- 231 -
… Hanik Mahliatussikah …

Dari wilayah sastra bandingan demikian, kadang-kadang


peneliti dituntut menguasai bahasa satra lain, sekurang-
kurangnya dua bahasa. Untuk memahami interteks diantara
dua karya dari dua negara tentu memerlukan penguasaan
bahasa negara masinmg-masing. Iulah sebabnya model intreteks
yang utama adalah penguasaan bahasa masiong-msing pemilik
sastra. Peneliti juga dpaat meneliti juga dapat mempersempit
wilayah garap, agar penguasaan bahasa tidak terlalu meluas,
yaitu ke arah sastra nasional saja. Bahkan sastra regional pun
boleh jadi dilakukan pnelitian sastra bandingan secara
interteks, misalkan saja melakukan bandingan antara sastra
jawa dengan sastra bali, sunda, bugis, dayak dan sebagainya.
Pengertian lain tentang sastra banding diajukan oleh
Wellek and Austin (1978: 46-48) yang mengemukakan tiga
cakupan makna. Pertama, sastra banding berarti studi yang
berkaitan dengan sastra oral, terutama tema-tema cerita rakyat
(folk-tale) dan migrasinya dan tentang bagaimana dan kapan
tema-tema tersebut memasuki sastra yang “artistik” dan “lebih
tinggi”. Pengertian selanjutnya membatasi pada studi tentang
hubungan antara dua karya sastra atau lebih. Dalam hal ini,
fokus kajian lebih diarahkan pada pengaruh seorang penulis
terhadap penulis lainnya. Terakhir, sastra banding harus
dibedakan dari sastra dunia (world literature) atau sastra
universal/umum. Sastra dunia diharapkan merupakan unifikasi
dari seluruh karya sastra di dunia yang didalamnya semua
karya sastra dapat berperan. Dalam kenyataannya, hal ini
berubah makna karena sastra dunia ternyata menunjuk pada
karya-karya besar Eropa, seperti karya-karya Homer,
Cervantes, Dante, Shakespeare dan Goethe.
Definisi lain ditawarkan oleh Holman (1980: 94). Sastra
Banding didefinisikan sebagai studi karya-karya sastra dalam
berbagai bahasa dan bangsa yang berbeda dengan melihat pada
pencermatan dan analisis hubungan-hubungannya, pengaruh-

- 232 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

pengaruh timbal baliknya dan sifat-sifat dasarnya (natures).


Beberapa ancangan (approaches) digunakan, misalnya dalam
studi terhadap bentuk-bentuk seperti legenda, mitos, dan epik,
studi tentang genre, studi tentang pengaruh timbal balik antara
sekelompok pengarang dan gerakan (movements) dengan
pengarang dan gerakan yang lain, dan studi tentang teori kritik
dan metode.
Fowler (1987: 34) menyatakan bahwa sastra banding
secara sistematis mengembangkan kecenderungan kaitan antar
karya dalam bahasa yang sama atau yang lain. Cara lain adalah
dengan mempelajari beberapa tema atau topik yang direalisasi
dalam karya-karya sastra dengan bahasa-bahasa yang berbeda.
Sehubungan dengan perkembangan definisi terbaru dari
sastra banding, Zepetnek (1998:13) mencoba memberikan sum-
bangan dengan merumuskan sastra banding sebagai metode
dalam studi sastra yang mengimplikasikan dua cakupan.
Pertama, sastra banding menyiratkan pengetahuan lebih dari
satu bahasa dan sastra suatu negara dan pengetahuan serta
penerapan disiplin-disiplin lain dalam dan untuk studi sastra.
Kedua, sastra banding mengandung ideologi kemencakupan
Dunia Sana (inclusion of the Other). Dunia Sana mencakup sastra
marjinal dalam berbagai makna marjinalitasnya, genrenya,
berbagai jenis teksnya, dan sebagainya.
Praktik-praktik studi sastra dengan perspektif sastra
banding di luar negeri telah banyak dilakukan. Berbagai jurnal,
tulisan dan organisasi yang mendukung gerakan ini telah
muncul dalam jumlah yang sangat banyak. Jurusan-jurusan
sastra banding di berbagai universitas di dunia, baik di Asia,
Amerika maupun Eropa sudah berdiri.

G. Ruang lingkup sastra bandingan


Sastra bandingan merupakan kajian sastra diluar batas
sebuah negara dan tentang hubungan diantara sastra dengan

- 233 -
… Hanik Mahliatussikah …

bidang ilmu serta kepercayaaan lain. Pada dasrnya baik studi


interteks maupun sastra bandingan akan mencari dua hal yaitu,
yaitu: (1) afinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralisme seta
varian teks satu dengan yang lain. (2) pengaruh karya sastra
satu pada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lain dan
sebalikanya.
Dua hal tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi
beberapa lingkup studi, antara lain: (a) perbandingan antara
karya pengarang satu dengan lainnya pengarang sezaman,
antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya, (b)
perbandingan karya sastra dengan bidang lain, seperti arsitektur,
pengobatan tradisional, tahayyul, dan seterusnya, (c) kajian
bandingan yang bersifat teoritik untuk melihat sejarah, teori,
dan kritik sastra.
Memang dari luang lingkup: (a) kajian sastra bandingan
itu, sampai sekarang masih menimbulkan masalah tersendiri.
Sekurang-kurangnya jika peneliti membandingkan karya-karya
sastra yang dalam lingkup yang wajar-wajar saja, menurut
Kasin (1996: 17-18) diasumsikan bukan studi sastra bandingan,
misalkan bandingan sastra Indonesia dengan Malasyia, antara
sastra Ingrris dan Amerika Serikat dan Australia serta Libanon
dengan Mesir. Hal ini dianggap bahwa para pengarang
memiliki persamaan. Asumsi demiikian tentu tidak tepat,
karene justeru dengan persamaan itu kemungkinan besar akan
ditemukan berbagai varia yang menarik.bahkan, saya berpen-
dapat bahwatudi sastra perbandingan dpat dilakukan dalam
lingkupp atau wilayah tertentu saja. Misalkan, bandingan
antara sastra jawa dengan sastra indonesia,, khususnya tentang
refleksi sastra wayang.
Patokan sastra bandingan seyogyanya menitikberatkan
pada dua hal. Pertama, bahasa dan konteks buadaya yang
dipergunakan. Kedua, asal susl kewargaan negara pengarang

- 234 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

yang dominan tinggal diman. Dua hal ini untu mengantisipasi


kesulitan melihat karya sastra yang ditulis dengan bahasa lain.
Ruang lingkup bandingan (b) antara karya sastra
dengan bidang lain, kadang-kadang terjebak pada refleksi saja.
Maksudnya, peneliti bandingan sekedar sampai seberapa jauh
refleksi bidang lain ke dalam karya sastra ataupun sebaliknya.
Padahal bandingan semacam ini, jika dimanfaatkan sebaik-
baiknya akan dapat saling menunjang satu sama lain misalkan
saja perbandingan antara sufisme dalam agama islam dengan
karya karya sastra jawa suluk. Jika hal ini dilakukan maka akan
saling memperkaya satu sama lain.
Ruang lingkup kajian (c) bandingan mengenai perkem-
bangan sejarah, teori, dan kritik sastra juga tidak begitu jelas
aspek bandingannya. Bandingan ini tidak secara langsung
menukik pada karya sastranya. Melainkan pada aspek pengem-
bangan teori. Kendati dasar penyusunan nsastra juga karya
sastra, namun perbandingan semacam ini kadang-kadang
dianggap mengada-ada. Karena itu, akan lebih bermanfaat bila
bandingan sastra demikian diarahkan pada salah satu teori,
misalkan tentang tematiknya. Tema-tema sastra klasik diban-
dingkan dengan modern secara teoritik. Dari sini akan tersusun
sejarah keberadaan karya sastra.
Dari ruang lingkup demikian, sastra bandingan dapat
digolongkan ke dalam empat bidang utama, yaitu:
(1) kajian yang bersifat komparatif, yaitu menelaah teks A, B, C
dan seterusny. Kajian ini dapat mendasarkan pada nama
pengarang, tahun penerbitan, lokasi penerbita, dan
seterusnya. Kajian ini untuk melihat influence study dan
atau afinity study.
(2) Kajian bandingan historis, yaitu ingin melihat pnegaruh
nilai-nilai historis yang melatarbelakangi kaitan antara
satu karya dengan karya sastra lainnya atau antara karya
sastra dengan buah pemikiran manusia. Tugas studi ini

- 235 -
… Hanik Mahliatussikah …

untuk melihat sebberapa pengaruh historis tertentu yang


masuk ke dalam diri pengarang sehingga menciptakan
karya. Hal ini mirip dengan strukturalisme genetik,
hanya dibandingkan.
(3) Kajian bandoingan teoritik, bertujuan untuk menggambar-
kan secara jelas tentang kaidah-kaidah kesastraaan.
Misalnya saja, peneliti dpat membandingkan berbagai
genre, aliran dalam sastra, kritik sastra (antara struktur-
alisme dengan formalisme), tema dan sebaginya. Dalam
kaitan ini, tampak tidak secara langsung membandingkan
cipta sastra. Namun hakikatnya tidak demikian, peneliti
dapat membadingkan karya sastra, hanya saja bandingan
diarahkan untuk menemukan atau meyakinkan berfbagai
teoritik sastra.
(4) Kajain antardisiplin ilmu, yaitu bandingan natara karya
sastra dengan bidang lain, misalkan kepercayaan, politik,
agam,a, seni dan sebagainnya. Titik tolakbandingan
adalah pada jarya sastra, sedangkan bidang lain berguna
untk memperjelas informasi sastar. Peneliti lalu mem-
bandingkan kedua bidang itu dengan harapan untuk
mendapatkan informasi kellmuan yang handal.
Dalam pandangan Ridoean (1986: 112) studi sastra
bandingan yang menyangkut dua karya atau lebih hendaknya
menekankan pada 4 hal, yaitu: pengarug, penetrasi, reputasi
dan popularitas. Pengaruh adalah adaya dukung pengarang
atau karya sastraapada suatu negara kepada karya lain.
Pengaruh ini merupakan hal yang paling sentral dalam kajian
bandingan sastra. Selain pengaruh dan popularitas, dalam
sastra bandingan juga ditekankan pembebasan (penetrasi),
yaitu perembesan pengaruh satu karya sastra ke dalam karya
sastra lain. Adapun popularitas dan reputasi adalah menyangkut
kemasyhuran anma seorang pengarang dan karyanya. Reputasi
lebih menekankan pada mutu serirang pengarang. Sedangkan

- 236 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

popularitas menekankan pada aspek ketenaran karya, bukan


pada mutu. Pengaruh nasib baik bisa saja membuat orang
pengarang menjadi terkenal di neagra lain. Padaha, di neagranya
belum tentu babhwa dia termasuk pengarang kenamaan.
Dalam kaitan ini, Power menyebut seabgai Fortune (keber-
untungan). Fortune berkaitan dengan ikhwal/ reception, yaitu
keberterimaan seorang pengarang.
Dalam pandangan Jost (Rahman, 200:6), sastra bandingan
juga dapat meliputi aspek: pengaruh, sumber ilham (acuan),
proses pemgambiolan ilham atau pengaruh itu, dan tema dasar.
Dalam kaitan ini ada 4 kelompok kajian sastra bandingan jika
dilihat dari aspek garapan, yaitu:
Pertama, kategori yang melihat hubungan karya satu
dengan yang lainya, dengan menelusuri juga kemungkinann
adanya pengaruh satu karya terhadsap karya yang lain.
Termasuk di sini adalah interdisipliner dalam sastra bandingan,
seperti dengan filsafat, sosiologi, agama, dan sebagainya.
Apabila dilihat dari aspek bahan, menurut Babirin
(1993:6-8) ada tiga lingkup sastra bandingan, yaitu:
(1) bandingan sastra lisan, terutama untuk membandingakn
cerita rakyat dan migrasinya serta bagaimana dan kapan
cerita rakyat ityu masuk ke dalam penulisan karya sastra
yang lebih artistik. Sebenarnya wilayah inni adalah
bidang folklor, yang kurang memperhatikan bidang
estetika.
(2) Bandingan sastra tulis yang menayngkut dua karya atau
lebih, misalnya sastra indonesia denagn belanda. Sastra
indonesai modern denagn karya sastra indonesia klasik.
(3) Bandingan dalam kerangka supra nasional. Yaitu mempe-
lajari gejala-gejala sastra konkrit yang kait-mengkait dan
dalam perkembangan sejarah. Pebandingan menggunakan
kajian karya teotrik dan sejarah sastra. Pengetahuan

- 237 -
… Hanik Mahliatussikah …

genre, metafora, naratologi, dan sebagainya diperlukan


bagi studi ini.
Khusus lingkup sastra bandingan sastra nasional,
menurut Hutomo (1993:9-11) dapat meliputi berbagai hal,
yakni:
(1) membandingakn duakarya sastra atau lebih dari dua
neagra yang bahasanya benar-benar berbeda .
(2) kita dapat membandingakn dua krya dari dua negara
denagn bahasa yang sama, baik dalam situasi yang
benar0beanr sama maupun dalam bentuk dialek.
(3) membandingakn karya awal seorang penagrang di
neagra asalnya dengan karya pengarang setelah menjadi
warga negara lain. membandingakn karya seorang
pengarang yang telah menjadi warga neagra suatu
neagara tertentu denag seorang pengarang dari neagra
lain (bukan tanah asal penagrang yang dibandingkan).
(4) Membandingkan karya seorang penagrang yang menulis
dalam 2 bahasa.
(5) Membandingakn 2 karya penagrang dari 1 neagra yang
menulis dalam karya berbahasa asingbyang berbeda.
Dari lingkup kajian demikian, seacra garis besar dapat
dibedakan menjadi 2 golongan bentuk kajian, yaitu: (1) kajian
persamaan dan (2) kajian konsep pengaruh. Kajian persamaan,
tidak selalu untuk menjawab masalah: mengapa terdapat
persaman? Misalkan saja peneliti membandingkan 2 puisi atau
2 cerpen, hendaknya sampai pada penyebab terjadinya
kesamaan. Kesamaan tersebut mungkina da yang disenagja dan
ada yang tidak. Kesamaan sering dianmakan pararel. Dua
karya sstra atau lebih yang memilikim kesamaan berarti ada
pararel dalam hal-hal tertentu.

- 238 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

H. Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan.


Kajian konsep pengaruh, merupakan titik terpenditing
bagi studi sastra bandingan. Karya yang terpengaruh dengan
karya sebelumnya tentu kan memiliki idendi\titas tersendiri,
dari proses pengaruh mempengaruhi itu akan terdapat
berbagai aspek bandingan yang disebut varian. Dalam konteks
ini, memang karya sebelumnya sering dianggap kartya super,
artinya bisa mempengaruhi karya beriutnya. Seberapa jauh
keterpengaruhan tersebut tergantung kemampuan pengarang.
Keterpengaruhan ini jelas akan dipengaruhi oleh berbagai hal
antara lain: (a) perkembangan karir pengarang, (b) proses
penciptan pengarang, (c) tradisi/budaya pengarang. Dari tiga
hal ini mana kala pengarang berikutnya bersifat ceroboh tentu
kan terdapat pengaruh yang lasngsung atau semakin jelas.
Berbeda dengan pengarang yang kreatif, tentu pengaruh
tersebut semakin halus dan hampir tersembunyi. Pengarang
yang banyak membaca karya lain, dan sering bermigrasi
kemana-mana sering kali terpengaruh olehnya. Pengarang
yang secra langsung dan tampak sekali terpengaruh sumber
asli biasanya disebut tranmitter. Ia terpegaruh secara langsung
oleh karya sebelumnya. Pengaruh secara ini mungkin
disengaja. Berbeda pengaruh pengaruh tak langsung dan tak
disengaja sering disebut intermediari. Ia hanya mengambil
karya orang lain melalui mediasi/perantara. Baik pengarang
yang terpengaruh langsung/tidak jelas bisa disebut sebagai
resetor. Mereka menerima karya sebelumnya, dengan seleksi
maupun tanpa seleksi sehingga muncul dalam karya miliknya.
Kajian pengaruh perlu sampai pada bagaimana pengaruh-
pengaruh itu diterakan. Dewasa ini, perbandingan yang berbau
positifisme telah mulai dikesampingkan perbandingan mulai
diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan keberterimaan
pengaruh. Hal ini pernah dikemukakan oleh Carre dan Guyard
bahwa kajian bandingan pengaruh dianggap kurang meyakin-

- 239 -
… Hanik Mahliatussikah …

kan sebaliknya perbandingan lebih baik diarahakan ke persolaan


penerimaan, perantaraan, perjalanan pengarang dan sikap
seseorang pengarang terhadap sebuah negara.

I. Metode Sastra Bandingan


Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan
metode kritik sastra yang objeknya lebih dari satu karya.
Penekanan sastra bandingan adlah pada aspek kesejarahan
teks. Itulah sebabnya, menurut aapar (Santosa, 2003:99) sastra
bandingan bersifat positifistik. Kajiannya bercorak Binari
(duaan) dan bertumpu pada rappots defaits artinya perhu-
bungan faktual antara dua buah teks yang diteliti secara pasti.
Kegiatan yang dilakukan juga menganalisis, menafsirkan, dan
menilai. Karena objeknya lebih dari satu, setiap objek harus di
telaah. Barulah hasil telaah tersebut diperbandingkan. Bisa saja,
peneliti melakukan analisis struktural baru kemudian diper-
bandingkan. Dengan cara ini kan mempermudah pebneiti
melakukan bandingan. Setidaknya, akan mudah ditemukan
unsur persamaan dan perbedaan setiap karya sastra.
Pada dasarnya, metode sastra bandingan dapat dike-
lompokkan menjadi dua bandingan, yaotu:
(1) metode perbandingan diakronik, yaitu unuk membandingkan
dua karya atau lebih yang berbeda periode penciptaan
(2) metode perbandingan sinkronik, yaitu perbandingan karya
sastra yang sezaman.
Metode semacam itu, sebenarnya lebih ke arah hal
ihwal yang harus dibandingkan. Atau, lebih menitikberatkan
tentang objek sepereti apa yang patut dibandingkan sedangkan
bagaimana perbandingan itu dilakukan sebenarnya sangat
longgar. Artinya, sastra bandingan belum memiliki tradisi
khusus. Metode pengumpulan data, menganalisi, menafsirkan,
menilai cara ini adalah cara yang tepat untuk ini.

- 240 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Dalam kajian sastra bandingan, ada beberapa istilah


yang patut direnungkan. Istilah-istilah itu termasuk tradisi
sastra yang mnyebabkan melebar,antara lain: (1) transformasi,
yaitu perubahan atau pemindahan bentuk-bentuk sastra dari
waktu ke waktu; (2) terjemahan, yaitu proses tradisi memin-
dahkan atau mengalihkan bahasa yang memungkinkan
perbedaan. Terjemahan sering kali juga ada penambahan dan
pengurangan teks. (3) peniruan, yaitu proses kreatif pengarang
berikutnya dehngan cara meniru baik sebagian maupun
keseluruhan terhadap karya sebelumnya. (4) kecenderungan,
yaitu tradisi yangmemuat kemiripan secara halus dari karya
sebelumnya. Kemiripan ini dapat rerjadi epigonistis dan
peminnjaman. Kecenderungan juga terjadi karena pengaruh
karya masa lalu. Berbagai istilah itu sebenarnya menunjukkan
bahwa karya berikutnya selalu treletak pada istilah “hutang
budi” pada karya sebelumnya.
Dengan berbagai lingkup perbandingan semacam itu,
secara garis besar sastra bandingan sebenarnya berlandaskan
pada tiga hal: (1) afinitas, (2) tradisi, (3) konsep pengaruh. Ata
afinitas berasal dari bahasa latin ad yang artinya dekat dan finis
yang berarti batas. Jika dalam ilmu antropologi aktifitas serig
dimaknai sebgai hubungan kkeerabatan. Dan sastra banding-
anpun tidak jauh berbeda. Jadi, afinitas dalam sastra bandingan
merupakan studi terhadap hubungan kekerabatan teks sastra.
Setiap teks memiliki pertautan erat dengan teks ssebelumnya.
Karenanya, tugas peneliti sastra bandingan harus mampu
menjelaskan hubungan tersebut.
Unsur tradisi, berhubungan unsur kesejarahan penciptaan
karya sastra. Dalam kaitan karya yabg lahir lebih awal
dianggap sumber uatama. Dari karya sumber ini kan tumbuh
tradisi penciptaan baru yang mungkin berupa penerjemahan
ide, pencomotan ide, pemenjaman dan sebagainya. Misalkan
saja puisi aswaradana karya Yunawan Mochamad. Secara tak

- 241 -
… Hanik Mahliatussikah …

langsung jelas berasal dari tradisi karya sebelumnya yaitu


karya Angling darma dan Sera darma wulan.
Konsep pengaruh terdapat keterpengaruhan unsur-unsur
sastra baik sebagaian maupun secara keseluruhan. Melalui
pengaruh ini kan terjadi transformasi, adapatasi, saduran dan
terjemahan. Konsep ini juga tampaknya yang mendorong
lahirnya kajian intrteks.
Dari pembahasan di atas, dapat diketengahkan bahwa
baik sastra bandingan maupun studi interteks maupn studi
interteks saling menunjang. Kedua bidang ini memiliki tujuan
yang kurang lebih sama. Keuanya memiliki prinsip antara lain:
(a) sebuah teks mengandung berbagai teks selain teks lain, (b)
menganalisis unsur teks intrinsik dan ekstrinsik, (c) karya
pengarang sebenarnya lahir tidak dalam kekosongan sehingga
pengaruh karya lain sangat dimungkinkan
Dari prinsip ini, peneliti sastra banduingan yang penting
hatus mampu menemukan hipogram. Hipogram adlaah unsur
cerita vbaik berupa ide, kalinat, ungkapan, peistiwa dan lain-
lain yang terdapat pada teks terdahulu yang kemudian
dijadikan model/acuan berikutnya. Menurut Rifaterre, Hipogram
dapat berupa ekspansi, perluasan atau pengembangan hipo-
gram. Konfersi yaitu berupa pemutarbalikan hipogram /
matriksnya. Modifikasi yang berhubungan tataran linguistik
dan latar kesusastraan.
Dasar sastra bandingan dapat berkiblat pada penjelasan
Clement (Ikram, 1980:6) yaitu gnere dan bentuk, periode,
aliraan, tema, mitos, dan pengaruh. Dari dasar ini, pneliti dapat
mengembangkan sendiri untuk menganalisis dan memban-
dingkan teks sastra yang lebih detail. Teks-teks yang ada tersebut
harus dicari analogi-analogi, kemiripan, dan pengaruh tertentu.

- 242 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

J. Contoh Telaah Intertekstual (ringkasan)


Hubungan Intertekstual antara Novel “Layla Majnûn”
Karya Syaikh Nizami dan Novel “Romeo Juliet” Karya
William Shakespeare.

Berdasarkan penelusuran cerita, ditemukan adanya


hubungan intertekstual antara novel “Layla Majnun” dan novel
“Romeo Juliet”. Hubungan intertekstual tersebut adalah trans-
formasi, modifikasi, dan demitefikasi.
Terdapat transformasi judul dalam kisah Layla Majnun
dan Romeo Juliet. Judul kedua karya adalah tokoh utama
cerita, yaitu nama sepasang kekasih yang saling mencintai,
yaitu Layla Majnûn dan Romeo Juliet. Di samping itu, juga
terdapat modifikasi tema dalam kisah Layla Majnun dan
Romeo Juliet. Tema utama kisah Layla Majnun dan Romeo
Juliet berpusat pada masalah perjuangan cinta yang berakhir
dengan kematian. Dalam Layla Majnun, cinta mereka terhalang
oleh orang tua yang tidak merestui hubungan mereka. Dalam
Romeo Juliet, cinta mereka terhalang oleh perseteruan antara
dua keluarga. Halangan cinta dalam kedua karya adalah
halangan keluarga. Halangan tersebut kemudian mengakibatkan
Majnun terpisah dari Layla dan Romeo terpisah dari Juliet.
Perpisahan itu mengakibatkan kerinduan yang semakin dalam
dan perjuangan untuk bersatu yang semakin kuat. Demi mem-
perjuangkan cinta, Layla menderita hingga akhirnya meninggal.
Demi memperjuangkan cintanya, Juliet rela minum ramuan
yang mengakibatkan dirinya mati suri dan dikubur di pusara.
Berdasarkan tokoh dan penokohannya, terdapat trans-
formasi dalam kedua karya. Bentuk-bentuk transformasi
tersebut sebagai berikut. Layla dan Majnun saling mencintai
sebagaimana Juliet dan Romeo. Layla adalah putri tercantik
dan dari keluarga terpandang (ayahnya seorang ketua kabilah)
begitu pula dengan Juliet, putri tercantik dari keluarga

- 243 -
… Hanik Mahliatussikah …

terpandang pula (keluarga bangsawan). Layla dan Juliet sama-


sama dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan laki-laki
kaya, tampan, dan terpandang. Layla dipaksa menikah dengan
Ibnu Salam dan Juliet dipaksa menikah dengan County Paris.
Layla dan Majnun (tokoh utama) meninggal karena masalah
cinta, demikian juga dengan Romeo Juliet (tokoh utama)
meninggal karena masalah cinta. Qais meninggal karena ingin
bersatu jiwanya dengan Layla di syurga keabadian. Romeo juga
meninggal karena ingin bersatu jiwanya dengan kekasih yang
dianggap sudah meninggal .
Transformasi lain dalam cerita ini juga ditunjukkan oleh
orang tua yang menjadi penyebab utama tidak bersatunya
sepasang kekasih. Hubungan cinta Layla dan Qais tidak
disetujui orang tua. Hubungan cinta Juliet dan Romeo
terselubung karena dua keluarganya bermusuhan. Kekasih
Layla sangat tergila-gila kepadanya sebagaimana kekasih Juliet
juga sangat tergila-gila kepadanya.
Di samping transformasi, terdapat pula modifikasi
dalam kedua karya. Kisah Romeo Juliet meupakan bentuk
modifikasi dari kisah Layla Majnun. Layla dicinta dan dipuja
kekasih dengan lantunan syair, sedangkan Juliet juga dicinta
dan dipuja kekasih dengan menggunakan kata-kata romantis.
Dalam Layla Majnun (LM), Layla selalu murung dan tidak mau
makan dan minum setelah pertemuannya yang terakhir dengan
Majnun. Ia selalu memikirkan nasib cintanya hingga akhirnya
ia meninggal dunia. Demikian juga dalam Romeo Juliet (RJ),
setelah pertemuannya yang terakhir dengan Romeo (sebelum
pengasingan), Juliet selalu murung, tidak mau makan dan
minum, akhirnya akan dinikahkan dengan orang lain. Untuk
bertemu Layla, Qays menyamar menjadi pengemis dan rela
dihina. Ia juga sering memasuki taman rumah Layla secara
sembunyi-sembunyi hanya untuk melihat Layla. Begitu pula
Romeo, untuk bertemu Juliet, ia rela pergi ke tempat yang

- 244 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

berbahaya (musuh keluarga) dengan sembunyi-sembunyi


memanjat dinding rumah Juliet.
Bentuk modifikasi juga ditemukan dalam kisah berikut
ini. Qays, kekasih Layla yang tergila-gila kepada Layla tidak
mau mendengar nasehat dari siapapun, apalagi meminta
nasehat, sedangkan Romeo, kekasih Juliet mau mendengar
nasehat dari orang lain ketika menghadapi masalah cinta,
bahkan meminta nasehat kepada pastor. Majnun, kekasih Layla
meninggal dengan cara berdoa agar dicabut nyawanya.
Adapun Romeo, kekasih Juliet juga meninggal dengan cara
minum racun. Ibnu Salam, suami Layla akhirnya meninggal
karena memikirkan derita cintanya yang tak terbalas. Demikian
halnya dengan County Paris, calon suami Juliet akhirnya juga
meninggal karena dibunuh akibat mempertahankan calon
istrinya dari anggapan bahaya.
Dilihat dari latar kedua karya, terdapat modifikasi dan
transformasi. Bentuk-bentuk transformasi dalam kisah kedua
novel ini adalah sebagai berikut. Majnun mengasingkan diri di
gurun dan di gua dan berkomunikasi dengan hewan, alam, dan
tumbuhan. Romeo ketika diasingkan ke Mantua juga
berkomunikasi dengan hewan, alam, dan tumbuhan. Majnun
meninggal di pusara Layla demikian juga dengan Romeo,
meninggal di pusara Juliet sang kekasih hati.
Adapun bentuk-bentuk modifikasi kedua karya adalah
sebagai berikut. Dalam kedua novel, dikisahkan bahwa
perempuan boleh keluar rumah selama memiliki tujuan yang
jelas dan tidak melanggar aturan keluarga dan adat. Layla dan
teman-temannya pergi ke sekolah untuk belajar. Mereka juga
bermain-main di taman sekolah sebagaimana Juliet dan para
gadis Verona berkumpul di rumah tuan Capulet untuk ikut
pesta perayaan upacara keagamaan. Selain itu Juliet juga
pernah ke gereja untuk meminta nasihat pastor serta
melakukan pengakuan dosa. Pertemuan pertama kali kedua

- 245 -
… Hanik Mahliatussikah …

tokoh dalam kisah novel LM dan RM berlangsung di forum


umum. Layla bertemu Majnun ketika mereka belajar di sekolah,
sedangkan Juliet bertemu Romeo dalam acara perayaaan natal.
Kisah kasih di sekolah, sebagaimana yang dikisahkan
dalam novel Layla Majnun merupakan latar yang paling indah.
Sekolah merupakan latar yang abadi. Dari dulu sampai
sekarang, banyak kisah cinta pertama yang berawal dari
bangku sekolah. Sekolah menjadi sebuah tempat berseminya
cinta kaum muda. Dalam kaitannya dengan latar ini, Nizami
berhasil mengadaptasi kisah pertemuan cinta Layla Majnun
dari latar keluarga di desa menjadi latar sekolah. Dalam
kehidupan sekarang, keabadian latar sekolah ini ditunjukkan
oleh fakta yang dapat dilihat sehari-hari dan juga dapat
disaksikan pada film-film remaja.
Transformasi alur dalam kedua karya ini tampak pada
urutan peristiwanya yang beralur lurus. Alur ini menceritakan
semua kisah secara berurutan mulai dari awal sampai akhirnya
tokoh utama dalam kedua novel tersebut meninggal dunia.
Kisah dalam novel Layla Majnun diawali dengan kisah cinta
antara mereka berdua, kemudian diikuti dengan liku-liku
perjuangan cinta hingga akhirnya mengalami penderitaan yang
mengakibatkan pada meninggalnya sepasang kekasih yang
saling mencintai. Kisah dalam novel Romeo Juliet juga dimulai
pertemuan tokoh Romeo dengan Juliet dan keduanya saling
jatuh cinta. Sebelumnya, Romeo pernah dikecewakan oleh
seorang gadis. Dalam menjalani percintaan, keduanya
mengalami liku-liku perjuangan cinta yang akhirnya meninggal
secara tragis.
Selain transformasi dan modifikasi, dalam kedua karya
ini juga ditemukan demitefikasi cerita. Cinta kasih Layla dan
majnun menimbulkan pertengkaran 2 keluarga, sedangkan
cinta kasih Juliet dan Romeo mengakibatkan bersatunya dua
keluarga yang saling bermusuhan. Layla dan Majnun tidak

- 246 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

pernah bersatu dalam ikatan pernikahan sampai ajal tiba, tetapi


Romeo dan Juliet sudah pernah disatukan dalam ikatan
pernikahan terselubung sebelum mereka meninggal.
Perempuan dalam Romeo Juliet dicitrakan lebih agresif
daripada perempuan dalam kisah Layla Majnun. Perempuan
Arab yang menjalin cinta kasih sebelum menikah dianggap aib
oleh masyarakatnya. Sementara itu, bagi masyarakat Barat,
menjalin cinta kasih sebelum pernikahan adalah hal yang
sudah biasa dan bukan aib. Layla menyatakan cintanya kepada
Majnun hanya lewat puisi. Adapun Juliet berani menyatakan
cinta dan mempertanyakan kesungguhan Romeo terhadap
dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Barat,
seorang gadis lebih berani dan terbuka untuk menyatakan
perasaan cintanya kepada laki-laki dibanding dengan gadis
dalam tradisi Timur.
Jika ditinjau dari akhir cerita dalam kedua novel
diketahui bahwa dalam pada akhir cerita Layla Majnun,
perseteruan antara Bani Amir dan Bani Qhatibiah tidak
disebutkan, tetapi yang dibahas adalah akhir kisah cinta Layla-
Majnun. Setelah kematian Layla, Majnun langsung ke makam
Layla dan ia terus di sana sampai nyawanya terpisah dari
raganya. Kisah cinta mereka akan selalu terkenang sepanjang
masa. Mereka tidak bisa bersatu karena selalu menjaga
kesucian dan kepercayaan. Sedangkan dalam novel Romeo-
Juliet, diceritakan bukan ending dari Romeo dan Juliet saja,
tetapi juga akhir dari perseteruan antara dua keluarga yang
berakhir dengan bahagia. Ini semua berkat perjuangan Romeo-
Juliet. Di sini disebutkan, cinta suci mereka, walaupun akhirnya
harus ditebus dengan nyawa mereka berdua. Keduanya
berhasil mewujudkan cita-cita dan keinginan untuk mengakhiri
permusuhan keluarga mereka dengan baik. Dua keluarga
tersebut akhirnya sadar dan hidup berdampingan dengan
bahagia.

- 247 -
… Hanik Mahliatussikah …

IV. Rangkuman
1. Intertekstual adalah sebuah teks yang berasal dari hubungan
antara karya baru dengan karya pendahulunya
2. Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan antara teks
yang satu dengan teks yang lain
3. Di antara prinsip intertekstualitas terdiri atas transformasi,
modifikasi, dan demitefikasi.
4. Hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran
karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan
karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan
berjalan terus menerus sejauh proses sastra itu hidup.
Hipogram merupakan “induk” yang akan menuntaskan
karya-karya baru, dalam hal ini peneliti sastra berusaha
membandingkan antara karya.”induk” dengan karya baru
5. Sastra bandingan dapat digolongkan ke dalam empat bidang
utama, yaitu: kajian yang bersifat komparatif, kajian
bandingan historis, kajian bandingan teoritik, dan kajian
antardisiplin ilmu.

- 248 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Sign, Semiotics, Literature,


Deconstruction. London and Henley: Rouledge and Kegan
Paul.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogya-
karta: Pustaka Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Ban-
dingan. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Napiah, Abdul Rahman. 1994. Tuah-Jebat dalam Drama Melayu:
Suatu Kajian Intertekstualiti. Malaysia: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sangidu, 2005. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, metode, teknik
dan kiat. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat
UGM.

- 249 -
… Hanik Mahliatussikah …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut!


1. Apa yang saudara ketahui tentang Intertekstual!
2. Jelaskan dengan bahasa saudara apa yang dimaksud
dengan sastra bandingan!
3. Carilah ekuivalensi antara Intertekstual dan sastra
bandingan!
4. Salah satu prinsip intertekstual adalah modifikasi, jelaskan
dengan bahasa suadara secara ringkas tentang arti
modifikasi!
5. Apa saja yang menjadi pokok kajian interteks!
6. Bagaimanakah metode analisis intertekstual?
7. Pada metode intertesktual, sebutkan bagian-bagian yang
meliputi hipogram karya sastra!
8. Buatlah peta konsep terkait penjelasan intertekstual dan
sastra bandingan berikut uraian dan pembagian-pembagian
teorinya!
9. Buatlah kelompok belajar yang beranggotakan tiga orang,
dan carilah dua buah cerpen atau novel yang dianggap
mempunyai hubungan intertekstual!
10. Analisis hubungan intertekstual pada cerpen atau novel
tersebut!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 250 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Teori &
BAB Metode Analisis
___ 13 Sosiologi Sastra

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori sosiologi sastra,
sasaran penelitian sosiologi sastra, dan metode analisis
sosiologi sastra. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis sosiologi sastra, pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian psikologi sastra. Mahasiswa diharapkan
mempelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.

- 251 -
… Hanik Mahliatussikah …

III. Capaian Pembelajaran MK


Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori sosiologi, sasaran penelitian
sosiologi, dan metode analisis sosiologi sastra serta dapat
menerapkan kajian sosiologi sastra dalam teks prosa Arab.

A. Teori Sosiologi Sastra


Menurut KBBI (1989: 855 ), sosiologi sastra merupakan
pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari
atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang
terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh
status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik
dan soaialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan
umum yang merupakan hasil terakhir daripada perkembangan
ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir per-
kembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasar-
kan pada kemajuan-kemajuan yang telah dicapai ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa
sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada
spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat dan hasil-
hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan
motodologis (Suekanto, 1982: 4 ).
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra
yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung
berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu (
Luxenburg, 1984: 23 ). Hubungan antara sastra dan masyarakat
dapat diteliti dengan cara:
1. Faktor–faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu
tidak ditinjau. Penelitian ini menfokuskan pada keduduk-
an pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan
- 252 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosio-


logi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak
menggunakan pendekatan ilmu sastra.
2. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan
dengan jelas, tetapi diteliti dengan metode-metode dari
ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mem-
pergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin
meniti persepsi para pembaca.
3. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan
masyarakat sejauh mana system masyarakat serta jaringan
sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan
pengarang.
Pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap
karya sastra dengan tidak meninggalkan latar belakang sosial
budaya, baik latar belakang sosial pengarang, pembaca, dan
karya sastra. Literature is an exspreesion of society, artinya sastra
adalah ungkapan perasaan masyarakat (Wellek and Werren,
1990: 110 ). Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat
oleh Wellek dan Werren dapat diteliti melalui:
1. Sosiologi Pengarang
Menyangkut masalah pengarang sebagai penghasil karya
satra. Mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial penga-
rang, dan ketertiban pengarang di luar karya sastra.
2. Sosiologi Karya Sastra
Menyangkut eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi
karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya
sastra itu sendiri, dan yang berkaitan masalah-masalah sosial.
3. Sosiologi Pembaca
Karya sastra sebagai karya imajinasi lahir bukan atas
kekososngan jiwa namun juga atas realitas yang terjadi di
sekeliling pengarang. Hal ini tentu tidak lepas dari unsure yang
membangun karya sastra tersebut yang meliputi unur intrinsik

- 253 -
… Hanik Mahliatussikah …

dan unsure ekstrinsik. Salah satu contoh kajian ekstrinsik karya


sastra adalag konflik sosial yang dikupas dalam kajian sosiologi
sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif
mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga dan
proses sosial. Sosiologi mengkaji struktur sosial dan proses
sosial termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial yang
mempelajari lembaga sosial. agama, ekonomi, politik dan
sebagainya secara bersamaan dan membentuk struktur sosial
guna memperoleh gambaran tentang cara-cara manusia menye-
suaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatan
dan kebudayaan. Sastra sebagaimana sosiologi berurusan
dengan manusia; karena keberadaannya dalam masyarakat
untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri.
Sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa
sebagai mediumnya karena bahasa merupakan wujud dari
ungkapan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.
Menurut Wolf, “Sosiologi kesenian dan kesusastraan
merupakan suatu disiplin ilmu yang tanpa bentuk; tidak
terdefinisikan dengan baik , terdiri atas sejumlah studi empiris
dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general;
yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal
bahwa semuanya berurusan dengan antara seni dan kesusas-
teraan dengan masyarakat (Faruk, 1999 : 3 ).
Menurut De Bonald (dalam Welleck dan Warren, 1990:
110), sastra merupakan ungkapan perasaan masyarakat, atau
dengan kata lain bahwa sastra mencerminkan dan mengeks-
presikan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak
bisa terlepas dari dari tradisisi-tradisisi dan norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk
mengetahui itu semua dalam wacana sastra perlu digunakan
teori sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan kajian sastra

- 254 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

yang mendekati sastra berdasarkan hubungannya dengan


realitas sosial atau masyarakat.
Ada tiga hal yang menjadi objek kajian sosiologi sastra (
Ian Watt dalam Faruk, 1994:4). Pertama, konteks sosial
pengarang; kedua sastra sebagai cermin masyarakat; ketiga,
fungsi sosial sastra. Pada bagian ini yang diteliti adalah (1)
bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (2)
sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai
profesi, dan (3) masyarakat apa yang dituju pengarang. Sastra
sebagai cermin masyarakat adalah suatu penelitian untuk
mengetahui sejauh mana sastra dapat mencerminkan keadaan
masyarakat. Pada bagian ini yang mendapat kan perhatian
adalah (1) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada
waktu karya sastra itu ditulis, (2) sejauh mana sifat pribadi
pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin
disampaikannya, dan (3) sejauh mana genre sastra yang diguna-
kan pengarang dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat.
Fungsi tersebut dimaksud untuk mengetahui sejauh mana nilai
sastra berkaitan dengan nilai sosiologi sastra atau seberapa
jauhkah nilai sosial.
Selain teori yang dikemukakan Welleck dan Werren, dan
juga Ian Watt, penelitian ini tidak mengabaikan pula teori yang
dikemukakan oleh Grebstein (Damono,1984) dengan pendekat-
an sosial-Kultural. Salah satu pendapat Grabstein bahwa karya
sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipi-
sahkan dari lingkungan atau kebudayaan yang menghasilkannya.
Sosiologi sastra merupakan gabungan antara dua ilmu,
yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra adalah analisis
terhadap unsur-unsur karya seni sebagai bagian integral
unsur-unsur sosiokultural (Ratna, 2003:3). Perspektif sosiologis
diperlukan dalam sastra karena sastra tidak dapat memasuki
semua unsur-unsur yang rinci dalam kehidupan. Oleh karena
itu, perlu diadakan kerjasama antara sastra dengan sosiologi

- 255 -
… Hanik Mahliatussikah …

karena sosiologi memahami bagaimana masyarakat itu bergerak.


Perspektif sosiologis dalam sastra diperlukan untuk melihat
sejauh mana karya sastra itu dihasilkan oleh masyarakatnya.
Kunci dari sosiologi sastra adalah ungkapan Janet Wolff
(1989: 1) “ Art is a social Product ” (karya seni adalah produk
sosial). Sastra dalam perspektif sosiologis tidak lagi di pandang
sebagai jagad kata (a verbal World) sebagaimana ungkapan
Teeuw, melainkan sebagai product social. Acuan karya sastra
dengan demikian adalah masyarakat dan bukan jagat kata atau
bahasa. Bahasa adalah unsur penting dalam sastra namun jika
tanpa masyarakat tidak ada yang dilukiskan melalui bahasa.
Wolff juga menegaskan bahwa dalam usaha memahami
seni (termasuk sastra) secara sosiologis, seseorang tidak akan
menerima lagi pandangan-pandangan romantik dan mistik
yang menyatakan bahwa seni (termasuk sastra) adalah ciptaan
orang genius (pengarang dianggap genius). Sebaliknya, menurut
Wolff (1989:1) unsur-unsur yang penting untuk memahami
sastra secara sosiologis adalah faktor-faktor riil dan faktor-
faktor sejarah.
Sastra tercipta karena kondisi masyarakat yang nyata dan
kompleks serta bersifat historis dan bukan ciptaan orang genius
sebagaimana diyakini oleh penganut aliran romantik dan
mistik sebagaimana kutipan berikut:
It argues against the romantic and mystical notion of art as
the creation of ‘genius’, transcending existence, society and
time, and argues that it is rather the complex construction of
number of real, historical factors (Wolff: 1989:1).
Studi sosiologi sastra telah berhasil untuk mengekspos
berbagai elemen ekstra estetik dan masuk dalam penilaian estetik
(Wolff, 1989: 7). Dominasi kekuatan sosial mempengaruhi
kreativitas artistik. Hary Lavin menyatakan bahwa sastra tidak
hanya dipengaruhi sosial tetapi juga mempengaruhi sosial

- 256 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

(dalam Elizabeth and Burns, 1973: 31). Atau dapat dikatakan


bahwa sastra dan kekuatan sosial saling mempengaruhi dan
saling tergantung. Sastra dipengaruhi dan sekaligus mempeng-
aruhi kekuatan sosial dan struktur sosial (reciprocal relation).
Lebih jelas lagi, sastra bagi Hary Lavin adalah institusi
sosial (1973: 56). Sastra menggambarkan kenyataan sosial,
sebagai gejala sosial. Dalam pengertian yang terbatas, karya
sastra sebagai institusi sejajar dengan sistem religi. Keduanya
berfungsi untuk membentuk dan memelihara nilai-nilai, yaitu
nilai-nilai etik bagi sistem religi dan nilai-nilai estetik bagi
karya seni sastra.
Karya sastra sebagai institusi, di samping
mempertahankan dan memelihara gejala-gejala dalam formasi
tipe-tipe, karya sastra juga berupaya untuk melegitimasikan
institusi yang diterima melalui tradisi dan konvensi. Sebagai
institusi yang otonom, karya sastra juga mengembangkan pola-
pola baru bahkan membongkar sebagai bentuk dekonstruksi
konstitutif.
Kehidupan masyarakat adalah sumber munculnya karya
sastra. Sebagai simbol ekspesif, medium komunikasi, dan
manifestasi transedental, fungsi-fungsi sosial karya sastra tidak
hanya terbatas sebagai penjelasan materialisme kultural dari
individu ke individu yang lain, tetapi yang lebih penting
adalah transmisi dari satu komunitas ke komunitas yang lain,
dari satu generasi ke generasi yang lain (Ratna:2003:35).
Sebagai respon, sastra merupakan representasi kejadian
sehari-hari, mengutip dan membakukannya ke dalam struktur
interhensif. Karya sastra juga mengambil alih sistem jaringan
peranan. Melalui mediasi-mediasi, aparatus struktur literernya,
karya sastra juga bermaksud untuk memberikan kepuasan
minimal, menyajikannya dalam bentuk pengalaman berbagi
kepada pembaca. Pada gilirannya, karya seni sastra juga

- 257 -
… Hanik Mahliatussikah …

berdungsi sebagai institusi, sekaligus menopang eksistensi


institusi yang lebih besar (Ratna:86)
Karya sastra memiliki struktur sebagaimana masyarakat.
Sastra memiliki struktur yang koheren dan berarti dalam
kaitannya dengan usaha manusia memecahkan persoalan
dalam kehidupan sosial yang nyata. Apapun yang kita lakukan
selalu berada dan selalu dipengaruhi oleh struktur sosial.
Manusia tidak dapat terlepas dari struktur sosial karena
manusia berada dalam struktur tersebut (Wolff, 1989: 9).
Menurut Michel Zeraffa (1973: 35), karya sastra yang
paling mampu mengekspresikan fenomena masyarakat adalah
novel. Menurutnya, karena novel berbasis narasi, novel banyak
berbicara tentang fakta sosial. Sosiologi sastra memandang
novel sebagai manifestasi sosial (social manifestation), yaitu
novel sebagai alat untuk mengungkapkan sistem nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Goldman (1978: 9) yang mengatakan bahwa hanya karya sastra,
khususnya novel, yang berhasil untuk merekonstruksi struktur
mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara
penyajiannya melalui semesta tokoh-tokoh dan peristiwa
dalam bentuk narasi.
Novel dianggap sebagai genre yang paling memadai
untuk menerjemahkan kompleksitas struktur sosial. Konotasi-
konotasi bahasa dalam struktur narativitas memampukan subyek
kreator untuk menyerap kompleksitas muatan-muatan sosial,
bahkan mampu mentransformasikannya dalam bentuk yang
sama sekali baru. Bagi novelis, rekonstruksi sosial ke dalam
novel merupakan rekonstruksi ide. Novel dengan demikian
merupakan pertemuan antara kesadaran sosial dengan kesadaran
tertinggi subyek kreator, sekaligus membuktikan kapasitas
institutif sastra dalam merefleksikan semestaan sosial. Lain
halnya dengan puisi yang lebih condong pada ekspresi
individual penyair.

- 258 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Novel itu lahir dari pengamatan dan pengalaman rasional


tentang kenyataan-kenyataan yang didefinisikan oleh orang
lain. Balzac dan Proust (dalam Zeraffa, 1973: 36) tidak melihat
bahwa realitas sosial berbeda dengan sastra karena dalam
kacamata seniman, yang disebut dengan social reality adalah
sastra itu sendiri. Novelis menganalisis data sosiologis dan
dari data tersebut lahirlah karya sastra.
Novelis di samping sebagai makhluk individu juga
sebagai makhluk sosial. Jadi di samping mengungkapkan
masalah individu juga mengungkapkan interaksinya dengan
masyarakat yang berada dalam komunitas tertentu. Totalitas
karya sastra adalah totalitas komunitas, bukan totalitas subyek
kreator. Genetis karya sastra dengan demikian menurut
Goldmann harus dicari dalam totalitas komunitas tersebut.
Hubungan-hubungan antara struktur sosial dengan karya
sastra tidak lagi bersifat dwi arah melainkan dalam bentuk
jaringan hubungan yang harus dipecahkan secara dialektis
(Goldman, 1973: 111).
Menurut swingewood (1972), terdapat tiga perspektif
berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu sebagai berikut.
1. Pespektif yang memandang bahwa sastra sebagai
dokumen sosial. Sastra memuat refleksi situasi pada
masa sastra tersebut diciptakan
2. Pespektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya
3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi
dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.
Dalam konteks metodologis, pendekatan sosiologis pada
awalnya diletakkan pada kerangka positivisme, yaitu pencarian
hubungan antara sastra dan faktor iklim, geografi, filsafat, dan
politik. Sastra diperlakukan seperti fakta. Kemudian, dalam
perkembangan berikutnya, pendekatan sosiologis tidak lagi ke
arah positifistik, tetapi ditekankan pada telaah nilai-nilai,
karena karya sastra berkaitan dengan hakekat situasi dalam

- 259 -
… Hanik Mahliatussikah …

sejarah. Karya sastra merupakan karya yang menyajikan


persoalan-persoalan interpretasi yang berkaitan dengan makna
dan tata nilai serta struktur dari kondisi sosial dan historis yang
terdapat dalam kehidupan manusia.
Secara implisit, dalam teks sastra terdapat proposisi-
proposisi bahwa manusia tidak pernah hidup sendiri. Manusia
juga memiliki masa lampau, masa kini dan masa mendatang.
Karena itu, nilai yang terdapat dalam teks sastra juga berkembang
dan dinamis (Fananie, 2000: 133-134).
Mengenai ragam pendekatan terhadap karya sastra kajian
sosiologis mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Warren :
1986) (a) Sosiologi pengarang (b) Sosiologi karya sastra (c)
Sosiologi sastra dalam sosiologi pengarang. wilayahya mencakup
dan memasukkan status sosial, ideologi sosial dan lain sebagainya
menyangkut pengarang, dalam hal ini berhubungan posisi sosial
pengarang dalam masyarakat dan hubungannya dengan
rnasyarakat sastra: mengenai sosiologi karya sastra, yaitu
mempennasalahkan karya sastra itu sendiri dengan kata lain
menganalisis struktar karya dalam hubungannya antara karya
seni dengan kenyataan dengan tujuan menjelaskan apa yang
dilakukan dalam proses membaca dan memahami karya sastra
” sosiologi sastra, wilayah cakupannya dan memasalahkan
pembaca sebagai penyambut dan penghayat karya sastra serta
pengaruh sosial karya sastra terhadap pembaca atau dengan
kata lain memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh
sosialnya terhadap masyarakat.
Dalam pandangan Wolf (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra
merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan
dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan
berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang
masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal
bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan
masyarakat. Ia juga menawarkan studi sosiologi yang lebih

- 260 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level


“makna” dari karya sastra.
Levin (Elizabeth dan Burns, 1973:31) menyatakan bahwa
“literature is not only the effect of social causes but also the cause of
social effect”. Sugesti ini memberikan arah bahwa penelitian
sosiologi sastra dapat kearah hubungan pengaruh timbale balik
antara sosiologi dan sastra. Keduanya akan saling
mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya
menarik perhatian peneliti.
Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood
(1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi
sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra
sebagai dokumen social yang didalamnya merupakan refleksi
situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang
mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya,
dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi
peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra


Fungsi sosial sastra menurut Watt (Damono, 1978:70-71)
akan berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berapa jauh nilai
sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada tiga
hal yang perlu diungkap : (a) sudut pandang kaum romantik
yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau Nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan
agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b)
sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur
belaka; dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” tak ada
bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai
best seller, dan (c) semacam kompromi dapat dicapai dengan
meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu
dengan jalan menghibur.

- 261 -
… Hanik Mahliatussikah …

Penelitian tentang faktor faktor sosial menyangkut sastra


misalnya tentang produksi dan pemasaran. Studi semacam ini
akan menghubungkan tiga kutup sastra yaitu penerbit,
pembaca, dan pengarang. Tipe dan taraf ekonomi masyarakat
tempat berkarya, kelas atau kelompok sosial yang berhubungan
dengan karya, sifat pembaca, system sponsor, pengayom,
tradisi sastra dan sebagainya.

C. Metode Analisis
Menurut Atar Semi (1994), metode dan langkah kerja
dalam penelitian sosiologis sebagai berikut.
1. Mengkaji sosok pengarang, aspek sosial yang ada dalam
karya sastra, segi pembaca atau khalayak pendukung yang
dibicarakan. Aspek pengarang dibicarakan terlebih dahulu
karena ia merupakan kunci penentu tentang apa dan
bagaimana aspek sosial kebudayaan dimanfaatkan.
2. Aspek falsafah, idiologi politik, status sosial dan pendidikan
pengarang serta sosialisasinya, serta kehidupan keagamaan-
nya. Hal ini akan menentukan visi kepengarangan dan pola
perjuangannya yang kemudian tercurah melalui karyanya.
3. Telaah aspek intrinsik dikaitkan dengan kepentingan masyara-
kat serta misi sastra dalam meningkatkan taraf kehidupan
misalnya melihat tema dalam kaitannya dengan kepentingan
masyarakat, watak yang memperlihatkan perjuangan dalam
membela masyarakat, dan lain-lain.
4. Resepsi, kesan dan sambutan masyarakat terhadap karya,
terkait dengan unsur didaktik dan moral dalam karya serta
aspek keindahan teks.
5. Pengaruh karya tersebut terhadap penulis dan pembaca.
6. Tata nilai, etika, budaya, falsafah yang ada dalam karya
sastra, termasuk dogma, didaktik dan protes sosial yang
terdapat dalam teks.

- 262 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

IV. Rangkuman
1. Objek kajian sosiologi sastra (1) konteks sosial pengarang, (2)
sastra sebagai cermin masyarakat, (3) fungsi sosial sastra.
Pada bagian ini yang diteliti adalah (1) bagaimana
pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (2) sejauh
mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi,
dan (3) masyarakat apa yang dituju pengarang.
2. Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh
Wellek dan Werren dapat diteliti melalui sosiologi
pengarang, sosiologi karya sastra dan sosiologi pembaca.
Sosiologi pengarang menyangkut masalah pengarang
sebagai penghasil karya satra. Mempermasalahkan status
sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban pengarang
di luar karya sastra. Sosiologi karya sastra terkait dengan
eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra,
tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu
sendiri, dan yang berkaitan masalah-masalah sosial. Adapun
sosiologi pembaca mempermasalahkan pembaca dan
pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak
sosial sastra bagi masyarakat pembacanya.
3. Metode dan langkah kerja dalam penelitian sosiologis
sebagai berikut (1) mengkaji sosok pengarang, aspek sosial
yang ada dalam karya sastra, segi pembaca atau khalayak
pendukung yang dibicarakan (2) mengkaji aspek falsafah,
idiologi politik, status sosial dan pendidikan pengarang
serta sosialisasinya, serta kehidupan keagamaannya. (3)
mengkaji aspek intrinsik dikaitkan dengan kepentingan
masyarakat serta misi sastra dalam meningkatkan taraf
kehidupan.(4) resepsi, kesan dan sambutan masyarakat
terhadap karya, terkait dengan unsur didaktik dan moral
dalam karya serta aspek keindahan teks, (5) Pengaruh karya
tersebut terhadap penulis dan pembaca, (6) tata nilai, etika,
budaya, falsafah yang ada dalam karya sastra, termasuk
dogma, didaktik dan protes sosial yang terdapat dalam teks.

- 263 -
… Hanik Mahliatussikah …

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar


Ringkas. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Depdikbud.
Elizabeth dan Tom Burns. 1973. Sociology of Literature and
Drama. Australia: Penguin Books Inc.
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muham-
madiyah University Press
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. 1989. Balai
Pustaka. Jakarta
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra.
Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Swingewood, Alan and Diana Laurenson. 1972. The Sociology of
Literature. Paladine.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature.
Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1989. Teori Kesusastraan. Edisi
Ketiga.
Wolf, Janet. 1989. The Social Production of Art. New York: New
York University Press.
Zeraffa, Michael. 1973. Sociology of Literature and Drama.
Australia: Penguin Book

- 264 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut!


1. Apakah yang dimaksud dengan sosiologi?
2. Apakah yang saudara ketahui tentang sosiologi sastra?
3. Sebutkan pergertian sosiologi sastra menurut para
pakar!
4. Apa hubungan sastra dengan sosiologi ?
5. Sebutkan 3 perspektif dalam sosiologi sastra menurut
swingewood dan Laurenson!
6. Bagaimanakah langkah kerja penelitian sosiologi?
7. Bagaimanakah langkah kajian sosiologi pembaca?
8. Bagaimanakah langkah kajian sosiologi karya sastra?
9. Bagaimanakah langkah kajian sosiologi pengarang?
10. Carilah satu cerpen atau novel untuk dikaji secara
sosiologis!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 265 -
… Hanik Mahliatussikah …

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori psikologi, psikologi
sastra, landasan pijak psikologi sastra, pendekatan psikologi sastra,
psikoanalisis sigmund freud, teori kepribadian Jung, langkah dan
proses analisis psikologi sastra, dan contoh analisis. Pada akhir
bab, akan disajikan rangkuman dan latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis psikologi sastra, pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian sastra feminis. Mahasiswa diharapkan mem-
pelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.

- 266 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

III. Capaian Pembelajaran MK


Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori psikologi sastra, metode analisisnya
serta dapat menerapkan kajian psikologi sastra dalam teks
prosa Arab.

A. Teori Psikologi
Secara etimologis, kata psikologi berarti ilmu jiwa. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani Kuno; psyche yang berarti jiwa dan
logos yang berarti ilmu. Adapun secara terminologis, terdapat
beberapa definisi psikologi. Di antaranya, Adkinson
menjelaskan bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari perilaku dan proses mental (study of behavior
and mental processes). Muhibbin menyatakan bahwa psikologi
merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas
tingkah laku manusia, baik yang terbuka seperti duduk dan
berjalan maupun yang tertutup seperti berpikir dan berbahasa.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
penghayatan tingkah laku manusia sebagai makhluk individu
dan penghayatan terhadap intern relasi manusia terhadap diri
dan lingkungannya sebagai makhluk social beserta implikasi-
implikasi lainnya (Nursalim, 2007:1-2; Chaer, 2009: 2; Siswantoro,
2005: 26).
Psikologi merupakan satu cabang ilmu Psikologi merupa-
kan ilmu yang membicarakan persoalan-persoalan manusia dari
aspek kejiwaan. Pendekatan psikologi dalam penelitian
terhadap karya sastra dapat berpijak dari psikologi kepribadian
yang dikemukakan oleh Sigmund Freud atau yang lainnya.
Dalam perkembangannya, psikologi terbagi menjadi 3
aliran sesuai paham filsafat, yaitu psikologi mentalistik yang

- 267 -
… Hanik Mahliatussikah …

melahirkan aliran psikologi kesadaran, psikologi behavioristik


yang melahirkan psikologi perilaku, dan psikologi kognifistik
yang melahirkan psikologi kognitif. Psikologi kesadaran mengkaji
proses-proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi, suatu
proses akal dengan cara melihat ke dalam diri sendiri setelah
suatu rangsangan terjadi.
Psikologi perilaku mengkaji perilaku manusia yang berupa
reaksi apabila suatu rangsangan terjadi dan selanjutnya bagai-
mana mengontrol dan mengawasi perilaku itu. Adapun yang
dikaji dalam psikologi kognitif adalah bagaimana cara manusia
memperoleh, menafsirkan, mengatur, mengeluarkan, dan meng-
gunakan pengetahuan tanpa harus ada rangsangan terlebih
dahulu. Karena psikologi berkaitan erat dengan berbagai masalah
kehidupan manusia, kemudian muncullah berbagai cabang
psikologi sesuai dengan penerapannya, seperti psikologi komu-
nikasi, psikologi anak, psikologi bahasa, dan psikologi sastra.

B. Psikologi Sastra
Yang dimaksud dengan kajian psikologi sastra bukanlah
kajian terhadap teks yang ditinjau dari 2 aspek; psikologi dan
sastra, melainkan kajian psikologi terhadap teks berbahasa
sastra, dalam hal ini teks Al-Quran (QS 12). Begitu pula halnya
dengan psikologi anak, psikologi komunikasi, dan seterusnya.
Kata “sastra” dalam psikologi sastra, “anak” dalam psikologi
anak, dan “komunikasi” dalam psikologi komunikasi merupakan
objek material yang dikaji.
Adapun objek formal atau sudut pandang dan analisisnya
adalah psikologi. Dengan demikian, hasil kajian psikologi sastra
tidak berbeda dengan psikologi yang diterapkan pada non
sastra ditinjau dari aspek objek formalnya. Semuanya mem-
bicarakan psikis manusia. Pembedanya hanya pada objek
material; terdapat objek material sastra jika teks yang dikaji

- 268 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

adalah sastra, objek material anak jika yang dikaji adalah anak
dan objek material komunikasi jika yang dibahas tentang
komunikasi.
Psikologi sastra membicarakan karya sastra dalam kaitan-
nya dengan aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam
suatu karya sastra (Sangidu, 2005: 30). Untuk mengungkap
unsur-unsur psikologi dalam karya sastra diperlukan bantuan
teori-teori psikologi. Teori psikologi yang paling banyak
digunakan dalam analisis adalah teori psikoanalisa Sigmund
Freud (1856-1939) yang membedakan kepribadian menjadi 3
macam, yaitu id, ego, dan Superego (Ratna, 2006:343-344).
Munculnya kajian psikologi sastra tidak terlepas dari
pertautan antara ilmu psikologi dan sastra. Keduanya memiliki
sumber kajian yang sama yaitu manusia dan kehidupan.
Keduanya memiliki hubungan fungsional, yaitu sama-sama
mempelajari aspek kejiwaan. Kajian psikologi sastra dapat
diarahkan pada kajian tekstual yang mengkaji tokoh dalam cerita,
kajian reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologis
pembaca, dan kajian ekspresif yang mengkaji aspek psikologis
pengarang. Wellek dan Warren (1990) dan Hardjana (1985)
menambahkan kajian pada penelitian hukum-hukum psikologi
yang diterapkan dalam teks sastra (Endraswara, 2003: 97).
Kajian reseptif terkait dengan estetika eksperimental yang
dikemukakan D.E. Berlyne, yaitu studi pengaruh efek-efek
motivasional dari teks sastra bagi pembaca. Aspek motivasional
itu muncul melalui aspek kolatif, yaitu bagian teks yang merupa-
kan stimulus yang dapat membangkitkan perasaan pembaca.
Dalam kajian estetika ini, terdapat 3 kategori perilaku estetik
“esthetic behavior, yang dimungkinkan menjadi objek estetika
eksperimental, yaitu pengarang, pembaca dan aktor (Segers,
2000:74-75; Suwardi: 90).

- 269 -
… Hanik Mahliatussikah …

Analisis teks sastra tidak dapat dilepaskan dari aspek


yang berada di luar sastra, karena perkembangan teks sastra
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan
yang lain. Karena itu, dalam analisis karya sastra, perlu ditinjau
pula aspek keilmuan yang lain untuk menganalisisnya
sehingga karya sastra tidak terpisah dari rumpun ilmu-ilmu
yang lainnya.
Objek karya Sastra adalah kehidupan dan objek kajian
psikologi adalah manusia, yaitu jiwa manusia. Segala aktivitas
manusia tidak dapat terlepas dari dimensi kejiwaannya. Sastra
memiliki sifat mimesis, sebagai tiruan dunia nyata. Unsur –
unsur yang berkembang dalam kehidupan itu, terefleksi dalam
teks sastra.
Psikologi sastra merupakan sebuah disiplin ilmu yang
memandang karya sastra sebagai karya yang memuat peristiwa-
peristiwa kehidupan, menyangkut batin dan peristiwa kejiwaan
yang dialami manusia dengan berbagai selek beluk kejiwaan-
nya. Psikologi sastra menganggap bahwa karya sastra itu
memuat unsur-unsur psikologis. Karena itu, dalam analisisnya,
diperlukan teori psikologi.
Asumsi dasar penelitian psikologis sastra antara lain di-
pengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa
karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan
pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar
atau subconcius setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk
secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar selalu
mewarnai proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra
dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkap-
kan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta
sastra.
Kedua, kajian psikologis sastra di samping meneliti
perwatakan tokoh secara psikologi juga mengkaji aspek-aspek

- 270 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya


tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan
perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup.
Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog ataupun pemilihan
kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan
batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan
orisinalitas karya.

C. Pendekatan Psikologi Sastra


Psikologi sastra berkaitan dengan pendekatan tekstual,
pendekatan reseptif, dan pendekatan ekspresif. Pendekatan
tekstual mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra.
Pendekatan reseptik mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai
penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya
sastra yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam
menikmati karya sastra. Pendekatan ekspresif mengkaji aspek
psikologi sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang
terproyeksi lewat karyanya (Roekhan, 1990:88). Penelitian psiko-
logis sastra dari aspek tekstual tak bisa lepas dari prinsip-prinsip
Freud tentang psikologis. Buku Freud tentang inter-pretasi
mimpi dalam teks sastra telah banyak mengilhami para peneliti
psikologi teks.
Terdapat pula kajian Estetika Eksperimental. Peneliti akan
mengaitkan estetika eksperimental sebagai studi pengaruh efek-
efek motivasional dari teks sastra pada penerimanya. Efek
motivasional ini akan tampak melalui aspek kolatif, yaitu sebuah
stimulus yang muncul dalam teks sastra. Aspek kolatif
merupkan bagian teks yang dapat membangkitkan perasaan.
Sastra memiliki hubungan dengan psikoanalisa. Psiko-
analisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini
pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner, 1992:
43), seorang dokter muda dari Wina. Ia mengemukakan

- 271 -
… Hanik Mahliatussikah …

gagasannya bahwa kesadarannya merupakan sebagian kecil


dari kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah
ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran ini dapat menyublim ke
dalam proses kreatif pengarang. Ketika pengarang mencipta-kan
karya terkadang lepas dari kesadarannya.
Kajian psikologi sastra berusaha mengungkap psikoanalisa
kepribadian yang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego dan
super ego. Ketiga system kepribadian ini satu sama lain saling
berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia
yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id
merupakan acuan penting untuk memahami mengapa
seniman/sastrawan menjdi kreatif. Melalui Id pula sastrawan
mampu mnenciptakan symbol-simbol tertentu dalam karyanya.
Jadi apa yang kemudian dinamakan novel psikologis misalnya
ternyata merupakan karya yang dikerjakan berdasarkan interpret-
tasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan
watak untuk kepentingan struktur plot (Atmaja,1988:231).
Salah satu teori psikologi yang dipakai dalam kajian prosa
adalah teori kepribadian Jung. Kartono (1974: 21) menjelaskan
bahwa kepribadian (personality) ialah keseluruhan individu
yang terorganisir dan terdiri atas disposisi-disposisi psikis yang
memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk membedakan
ciri-cirinya yang umum dengan pribadi lainnya.
Jung dalam Soemadi (2004: 156) tidak berbicara tentang
kepribadian melainkan tentang perkembangan kepribadian
(psyche). Psyche ialah totalitas segala peristiwa psikis baik yang
disadari maupun yang tidak disadari. Garis besar dari teori Jung
adalah bahwa kepribadian seseorang terdiri atas dua alam yaitu
alam kesadaran dan alam ketidaksadaran. Kepribadian sangat
dipengaruhi oleh alam ketidaksadaran. Antara kesadaran dan
ketidaksadaran menurut Jung sama pentingnya dalam
menentukan perilaku seseorang. Kehidupan alam kesadaran

- 272 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dan alam ketidaksadaran sangat berlawanan. Misalnya jika


seseorang yang kesadarannya bertipe pemikir maka ketidak-
sadarannya bertipe perasa. Orang yang kesadarannya ekstrovert
maka ketidaksadaranya introvert, dan begitu selanjutnya
(Suryabrata 2002: 163).
Menurut Jung ketidaksadaran dibagi menjadi dua yaitu
ketidaksadaran pribadi (personal unconsciousness) dan ketidak-
sadaran kolektif (collective unconsciousness). Isi ketidaksadaran
pribadi diperoleh melalui hal-hal yang diperoleh individu
selama hidupnya sedangkan isi dari ketidaksadaran kolektif
diperoleh selama pertumbuhan jiwa keseluruhannya. Ketidak-
sadaran kolektif ini merupakan warisan kejiwaan yang besar
dari perkembangan kemanusiaan yang terlahir kembali dalam
struktur tiap individu (Budiningsih 2002:14).

D. Psikoanalisis Sigmund Freud


Menurut Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar,
yang disadari secara samar-samar oleh individu yang ber-
sangkutan. Menurut Freud, ketaksadaran justru merupakan
bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap
orang. Adapun kesadaran merupakan bagian kecil saja dari
kehidupan mental. Dalam teori Freud, manusia memiliki 2 lapis
ketaksadaran, yaitu ketaksadaran personal dan ketaksadaran
kolektif. Isi ketaksadaran personal diterima melalui penga-
laman kehidupan sebagai material ontogenesis. Adapun ketaksa-
daran kolektif diterima secara universal dan esensial, sebagai
pola-pola behavioral, sebagai material filogenesis. Bentuk ketak-
sadaran kolektif juga disebut arketipe, yang pada umumnya
disamakan primordial. Dalam psikoanalisis, watak atau kepri-
badian manusia dibagi 3, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku
manusia merupakan produk interaksi ketiganya (Endraswara, 2003:
101).

- 273 -
… Hanik Mahliatussikah …

1. Id
Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar.
Ia merupakan aspek bawah sadar manusia yang berisi sifat-sifat
keturunan, insting dan nafsu (kenikmatan) yang tak kenal nilai.
Id cenderung menghendaki penyaluran untuk setiap ke-inginan
dan jika terhalangi akan terjadi ketegangan. Id merupa-kan
prinsip kesenangan dan kenikmatan (the pleasure principle) dan ia
akan mengejawantahkan penyalurannya dengan jalan irasional,
tanpa mempertimbangkan akibat atau konsekuensi. Watak ini
tidak mengenal rasa takut dan cemas sehingga tidak memiliki
tindakan hati-hati dalam upaya penyaluran hasrat (Milner, 1992;
Endraswara, 2003; Siswantoro, 2005: 38-39).
Untuk keperluan mencapai maksud dan tujuannya itu, id
memiliki dua macam proses, yaitu proses tindakan-tindakan
refleks dan proses primer. Tindakan refleks yaitu bentuk tin-
dakan yang mekanisme kerjanya otomatis dan segera. Adapun
proses primer adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah
reaksi psikologis yang rumit. Tindakan memuaskan suatu
kebutuhan yang berlangsung dalam mimpi oleh Freud juga
dipandang sebagai proses primer (Koeswara, 1991: 33).
Id merupakan gudang tempat menyimpan semua insting.
Ia sudah ada sejak manusia dilahirkan. Pada mulanya, semua
energi psikis disalurkan ke id untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang memang harus dipenuhi untuk kelangsungan
diri. Energi id dikendalikan sepenuhnya oleh prinsip kenik-
matan ini. Energi id berada dalam keadaan bebas tanpa kekangan
apapun dan tidak bisa membedakan antara yang nyata dan tidak
nyata. Pemikiran yang tidak membedakan antara khayalan dan
kenyataan ini disebut pemikiran proses primer (primary process
thinking). Energi psikis yang terkait dengan id bersifat bawah
sadar, karena hal itu tidak disadari oleh individu dan tidak bisa
ia bicarakan atau pikirkan (Salkind: 158).

- 274 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Semua energy psikis yang terkait dengan id tidak ada


padanan verbalnya; tidak tertangkap oleh proses-proses mental
yang lebih tinggi; emosi dan perasaan yang terkait dengannya
tidak bisa dipikirkan di atas landasan rasional. Alam bawah
sadar mendorong agar id tetap aktif sepanjang hidup, tetapi
apabila individu bertambah dewasa maka kadar energy psikis
yang didistribusikan kepada id semakin sedikit. Kadar energy
psikis yang didistribusikan kepada ego dan super ego kemudian
bertambah banyak.
2. Ego
Ego merupakan perilaku yang didasarkan pada prinsip
kenyataan. Ego merupakan system kepribadian yang bertindak
sebagai pengarah individu kepada dunia objek nyata dan
menjalankan fungsinya berdasarkan kenyataan. Ego adalah
kepribadian implementatif, yang terjadi akibat kontak dengan
dunia luar. Ego seseorang mulai berkembang karena ketidak-
mampuan id untuk memenuhi sendiri semua kebutuhan
individu. Ia perlu interaksi dengan lingkungannya dalam
rangka identifikasi. Pada tahap ini, organism bisa membedakan
antara fantasi dan kenyataan. Proses yang dimiliki dan dijalankan
ego sehubungan dengan upaya memuaskan kebutuhan disebut
proses sekunder (secondary process thinking). Dengan proses
sekunder ini, ego akan berfikir dengan melibatkan fungsi
kognitifnya untuk menentukan apakah akan melaksanakan
pemuasan kebutuhan tersebut atau tidak (Koswara, 1991: 34).
Sebelum dimulai pikiran proses sekunder, metode pokok
yang digunakan oleh organisme untuk memuaskan kebutuhan-
nya adalah dengan melakukan pelepasan afektif (emosional)
tertentu dengan melakukan tindakan atau isyarat kepada unsur
lingkungan yang potensial untuk membantu kebutuhannya. Ego
pada awalnya berupa ego penikmat kemudian meningkat
menjadi ego rasional yang dikendalikan oleh prinsip realitas.

- 275 -
… Hanik Mahliatussikah …

Kenikmatan ego diwujudkan dengan cara mematuhi realitas-


realitas eksternal.
Selain berfungsi sebagai pertimbangan realistis terhadap
lingkungan, ego menjalankan fungsi penting lainnya yaitu
sebagai penengah antara id dan superego dan mengendalikan
arah energi yang tersalur ke dunia luar. Menurut Freud, per-
sepsi indrawi lebih banyak pengaruhnya pada ego dibandingkan
pada id dan superego. Pentingnya pengalaman-pengalaman
sensorimotor pada ego seperti pentingnya insting pada id. Ego
berfungsi sebagai mekanisme pengambilan keputusan yang
bertindak sesuai dengan keinginan bawah sadar id. Ego ber-
tugas sebagai pelaksana. Ego adalah perantara yang mengurusi
energi yang tersedia dan mengatur pengeluaran energi dalam
keseluruhan sistem untuk memastikan terpenuhinya kebutuh-
an dan juga terpeliharanya jumlah energi bagi pertumbuhan
selanjutnya.
Apabila id mendorong organisme ke arah pemenuhan
kebutuhan, ego mengusahakan pemenuhan kebutuhan itu me-
lalui interaksi konstruktif dengan lingkungan, maka superego
bertindak sebagai energi psikis yang menjadi kekuatan peng-
halang id agar tidak mengekspresikan dorongan-dorongan yang
tidak tepat menurut standar noma yang berlaku di masyarakat.
Superego juga mendorong agar individu mengusahakan apa
yang ideal. Superego merupakan sistem kepribadian yang
berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif.
Fungsi utama superego adalah (a) pengendali dorongan-dorongan
naluri id agar disalurkan dalambentuk yang bisa diterima di
masyarakat, (b) mengarahkan ego pada tujuan-tujuan yang sesuai
dengan moral dibanding dengan kenyataan, dan (c) mendorong
individu kepada kesempurnaan (Koswara, 1991: 34-35).

- 276 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

3. Superego
Superego berkembang mengontrol perilaku yang ditimbul-
kan oleh id. Superego merupakan sistem kepribadian yang berisi
nilai-nilai dan aturan yang bersifat evaluatif, menyangkut baik-
buruk (Suwardi: 101; Milner: 43). Menurut Freud, energi psikis
yang terkait dengan superego terdiri atas ego ideal dan kesadaran
nurani. Ego ideal berwujud penilaian tertentu, yang secara moral
dipandang baik. Adapun hati nurani berwujud hal-hal yang
secara moral dipandang baik. Id, ego, dan superego itu hendaknya
berjalan seimbang. Jika tidak, akan menimbulkan neurosis
dalam diri manusia.
Dalam Islam juga dikenal 3 tingkatan nafsu, yaitu an nafs
al ammârah, an-nafs al lawwâmah dan an-nafs al muthma`innah. An-
nafs al ammârah merupakan nafsu yang selalu mendorong
pemiliknya kepada perbuatan yang buruk. An-nafs al lawwâmah
merupakan nafsu yang selalu mengecam pemiliknya setiap kali
berbuat kesalahan, sehingga timbul penyesalan dan berjanji untuk
tidak mengulangi kesalahan. Adapun an nafs al muthma’innah
adalah jiwa yang tenang karena selalu mengingat Allah dan jauh
dari segala pelanggaran dan dosa.

E. Langkah dan Proses Analisis Psikologis


Dalam analisis psikologi sastra, teks ditempatkan sebagai
objek penelitian. Setelah itu, ditentukan teori psikologi tertentu
yang dianggap relevan, memahami teori tersebut, kemudian
dilanjutkan analisis terhadap karya sastra. Teori Freud diman-
faatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di
balik gejala bahasa (ratna, 2000: 346).
Sebagai dunia dalam kata, teks sastra memasukkan ber-
bagai aspek kehidupan, di antaranya manusia. Aspek-aspek
kemanusiaan inilah yang kemudian menjadi objek utama psiko-
logi sastra. Secara lebih rinci, langkah dan proses analisis yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Kajian psikoanalisis
- 277 -
… Hanik Mahliatussikah …

lebih menekankan pada kajian aspek intrinsik dibanding dengan


aspek ekstrinsik karya sastra. Aspek intrinsik yang dimaksud,
utamanya aspek tokoh dan penokohan, memahami unsur-unsur
kejiwaan tokoh dalam karya (Scott dalam Sangidu, 2005: 30).
Kajian ini tidak hanya berkutat pada perilaku tokoh saja, te-tapi
juga dikaitkan dengan hubungannya dengan realitas, sebagai
fenomena individual ataukah sosial (Endraswara, 2003: 98).
Di samping itu, pembahasan aspek tema juga penting
dikupas karena tema dikejawantahkan melalui perilaku para
tokoh. Demikian juga dengan kajian alur, terjadinya konflik
serta kaitannya dengan perwatakan. Konflik yang terjadi apakah
berasal dari diri pribadi ataukah terjadi karena adanya tokoh lain
atau situasi lain yang berada di luar dirinya.
Menurut Milner, teori Freud memiliki implikasi yang luas
dalam memahami karya sastra, tidak hanya pada aspek genesis
saja, tetapi bisa menjangkau aspek-aspek lain tergantung
bagaimana mengoperasikan ilmu psikologi tersebut. Hubungan
psikologi dengan sastra sebagaimana pasien dengan dokter.
Sastra menampilkan ketaksadaran bahasa. Kemampuan peneliti
dalam mengungkap ketaksadaran bahasa dalam karya sastra,
seperti pengulangan yang terkait dengan bahasa tokoh, gaya
bahasa, latar dan lain-lain merupakan unsur penting dalam
analisis ini.
Dalam analisis psikologi, penting pula dikemukakan
analisis pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Utamanya
pengaruh yang menimbulkan kesan yang mendalam dalam jiwa
yang berdampak pada aspek didaktis bagi manusia. Seni adalah
sumber dari rasa keindahan. Seni yang bermediakan bahasa
disebut dengan seni sastra. Salah satu bentuk sastra adalah
cerita. Umumnya, cerita memiliki unsur edukatif. Cerita tidak
hanya disukai oleh anak-anak, tetapi juga orang dewasa Abdul
Majid, 2002:8). Cerita dijadikan salah satu media oleh Allah

- 278 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dalam menyampaikan wakyu-Nya agar manusia dapat


mengambil pelajaran dari cerita tersebut .
Pendekatan psikologis sesuai untuk mengkaji perwatakan
tokoh. Namun demikian, menuntut kekayaan pengetahuan ilmu
kejiwaan, membutuhkan kejelian karena banyak perilaku dan
motif tindakan yang tidak dijelaskan dan tokoh dalam teks tidak
bisa diwawancarai.
Kelemahan teori psikoanalisa Freud ini adalah (a)
laporan psikoanalisa biasanya tidak dilengkapi dengan material
klinis kata demi kata, (b) material semacam itu jarang yang
mengacu pada prosedur penaksiran tersusun yang dapat disalin
atau diulang, (c) kurang memperhatikan pemeriksaan dalam
pengumpulan dan evaluasi data, (d) latihan profesional dan
latihan analisis yang singkat menghasilkan psikoanalisa yang
komitmen filosofisnya kurang kuat terhadap anggapan teori
Freud sehingga cenderung menyimpangkan penafsiran.
Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi
sastra tidak akan lepas dari sasaran penelitian. Apakah peneliti
sekedar menitikberatkan pada psikologi tokoh dan atau sampai
proses kreativitas pengarang. Dalam kajian psikologi tokoh,
pendekatan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan
baik berupa unsur intrisik maupun ekstrinsik. Namun tekanan
pada unsur intrisik, yaitu tentang penokohan dan perwatakannya.
Di samping tokoh dan watak, perlu dikaji pula masalah
tema karya. Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada nalar
perilaku tokoh. Tokoh yang disoroti tak hanya terfokus pada
tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh
bawahan yang dianggap tak penting pun harus diungkap. Yang
lebih penting, peneliti harus memiliki alasan yang masuk akal
tentang watak tokoh, mengapa oleh pengarang diberi
perwatakan demikian. Konflik perwatakan tokoh juga perlu
dikaitkan dengan alur cerita (Rokhmansyah, 2011).

- 279 -
… Hanik Mahliatussikah …

F. Contoh Telaah (sebuah ringkasan)


KISAH NABI YUSUF DALAM AL-QURAN
(Sebuah Tinjauan Psikologi Sastra)

1. Kisah Yusuf dalam Perspektif Psikologis


Dalam Al-Quran, kisah Nabi Yusuf secara keseluruhan
tertera dalam surat Yusuf (QS.12), terdiri atas 111 ayat, terletak
setelah surat Hud dan sesudah surat Al-Hijr. Surat ini turun di
Mekah. Menurut Quraish Shihab, turunnya surat ini bertujuan
untuk menguatkan hati nabi yang pada saat itu sedang
dirundung kesedihan akibat wafatnya istri dan pamanya; Siti
Khadijah dan Abu Thalib. Adapun menurut Al Biqâ’I, tujuan
utamanya turunnya kitab ini adalah untuk membuktikan
bahwa kitab suci Al-Quran benar-benar merupakan penjelasan
menyangkut segala sesuatu yang mengantar pada petunjuk
(tilka âyâtul kitâbil Mubîn), berdasar pengetahuan dan
kekuasaan Allah swt secara menyeluruh, baik yang nyata
maupun yang gaib.
Kisah Yusuf terdiri atas 10 episode, yaitu mimpi Yusuf,
Yusuf disingkirkan saudaranya, Yusuf dijual kepada orang
Mesir, rayuan istri orang kepada Yusuf, jamuan makan, dalam
penjara, mimpi raja dan kebebasan Yusuf, Yusuf menjadi
pejabat pemerintah, pertemuan dengan keluarga, dan i’tibar
dari kisah Nabi Yusuf. Masing-masing episode tersebut,
dijabarkan sebagai berikut.
Pada episode I, Nabi Yusuf bermimpi melihat 11 bintang,
serta matahari dan bulan bersujud kepadanya. Baca QS 12:4
Nabi Yusuf memanggil ayahnya tanpa sebutan nama
Ya’kub, tetapi langsung “yâ abati” (wahai ayahku). Secara
psikologis, hal ini menunjukkan kedekatan Yusuf kepada
ayahnya. Kedekatan dan kasih sayang seorang ayah kepada
Yusuf juga ditunjukkan oleh panggilan Ya’kub kepada Yusuf

- 280 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

dengan panggilan “Yâ bunayya” sebagai bentuk tashghîr dari


frasa “ibnî”. Dalam ilmu retorika bahasa Arab, seruan “yâ”
digunakan untuk memanggil orang yang jauh atau
menunjukkan ketinggian dan kedudukan orang yang dipanggil.
Jika seruan itu kemudian digunakan untuk memanggil orang
yang dekat, maka itu menunjukkan adanya tujuan sastra, yaitu
menambah intensitas rasa bagi yang mendengarnya. Pada ayat
4 surat ini, frasa “ra`aitu” disebut sebanyak 2 kali. Secara
psikologis, hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh mimpi itu
dalam jiwa Yusuf.
Freud memandang mimpi sebagai jalan utama menuju ke
alam tak sadar karena dia melihat isi mimpi ditentukan oleh
keinginan-keinginan waktu sadar yang direpres. Karenanya,
mimpi juga bisa ditafsirkan sebagai pemuasan simbolis dari
keinginan-keinginan. Dengan teknik penafsiran mimpi yang
menyertakan analisis atas makna-makna yang samar dari
simbul-simbul mimpi, akan ditemukan gejala atau konflik
motivasional yang dialaminya (Koswara, 1991:65-66).
Mimpi Yusuf melihat sebelas bintang dan bulan yang
bersujud kepadanya tidak terlepas dari kondisi Yusuf pada saat
itu di antara saudara-saudaranya. Secara psikologis, sebagai
anak terkecil, secara naluri, ia mengharapkan kasih sayang dari
para saudaranya. Namun, keinginan itu tidak terwujud akibat
rasa cemburu saudara Yusuf kepadanya akibat rasa cinta
seorang ayah yang lebih kepada Yusuf dibanding kepada
mereka. Posisi Yusuf yang lemah pada saat itu mengakibatkan
ia punya obsesi dan cita-cita yang ditekan di alam bawah sadar.
Berbagai obsesi, keinginan, dan cita-cita itu kemudian terbawa
ke alam bawah sadarnya hingga akhirnya ia bermimpi melihat
11 bintang yang bersujud kepadanya.
Namun demikian, mimpi tersebut tidak dapat dipisahkan
dari rangkaian teks Al-Quran sebagai petunjuk Allah dan

- 281 -
… Hanik Mahliatussikah …

Yusuf sebagai manusia pilihan (calon Nabi). Sebagai calon


Nabi, ia bermimpi tentang tentang masa depan yang akan
dialaminya. Sebagai implikasi dari mimpi sebagai petunjuk ini
adalah sikap tahan banting yang dimiliki Yusuf dalam
menghadapi berbagai cobaan, mulai cobaan ditinggal wafat
oleh sang ibu, dikucilkan oleh saudara-saudaranya yang
merasa cemburu, dimasukkan ke dalam sumur, dicintai oleh
istri Al Aziz, hingga sampai masuk penjara.
Terjadinya mimpi berada di bawah sadar manusia.
Mimpi memiliki dampak kejiwaan bagi yang mengalaminya.
Dampak mimpi yang baik akan membahagiakan dan dampak
mimpi negative akan menyedihkan. Berdasarkan teori
psikologi Freud, mimpi itu bagai lukisan atau bagai seni pahat
yang memiliki makna simbolik sebagaimana bahasa. Ya’kub
telah menjelaskan makna simbolik itu. Secara psikologis, ketika
tokoh Yusuf bermimpi dan menceritakan mimpi itu kepada
Ya’kub, hal itu disebabkan karena kebahagiaan akibat mimpi
itu juga ingin dibagi bersama orang yang paling dekat
dihatinya.
Menurut Freud, hadirnya mimpi sebagaimana karya
sastra, dapat menyentuh perasaan karena memberikan jalan
keluar pada hasrat-hasrat rahasia yang tersembunyi dalam diri
manusia. Freud melihat adanya analogi antara karya sastra dan
mimpi yang juga memberikan kepuasan tak langsung pada
hasrat-hasrat manusia. Kisah mimpi tokoh Yusuf yang
menyenangkan diceritakan kepada ayahnya yang disayanginya
itu turut merasakan kebahagiaan itu.
Sebagaimana teori Freud, ada kesamaan antara proses
elaborasi karya sastra dan mimpi. Keduanya merupakan
system tanda yang bermakna. Pemahaman eksistensinya
diperlukan interpretasi. Keduanya menghadirkan simbul yang
mengandung makna konotatif /makna sastra (meaning of

- 282 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

meaning/significant) di samping makna denotatif. Makna


denotatif mimpi itu sebagaimana yang tersurat dalam bahasa.
Adapun makna konotatifnya adalah tunduknya 11 saudara
kepadanya dan datangnya ibu dan Bapaknya bersama mereka
ke Mesir pada saat Yusuf memegang Tampuk kepemimpinan.
Nabi Ya’kub menasehati Yusuf agar tidak menceritakan
mimpi itu kepada saudaranya agar tidak memperkeruh
hubungan persaudaraan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
mimpi itu adalah mimpi yang bagus dan membahagiakan
keduanya sehingga tidak perlu diketahui saudaranya yang
suka cemburu pada kedekatan Ya’kub dan Yusuf. Nabi Yusuf
menjadi bertambah berkesan dan bahagia dengan mimpi itu
ketika sang ayah menjelaskan makna mimpi itu, bahwa (1) ia
sebagai makhluk pilihan Allah yang (2) akan diajarkan
kepadanya ta’wilul achâdîts,yaitu penafsiran tentang mimpi
(QS.12: 6, 21),1 dan (3) Allah akan memberikan kebahagiaan
hidup dunia dan di akherat, yaitu dengan diangkat sebagai
nabi sebagaimana leluhur Ibrahim dan Ishaq.
Pada episode dua, Nabi Yusuf disingkirkan oleh para
saudaranya. Kepribadian id mereka mendominasi ketika sepakat
untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur. Ego mereka muncul
ketika melaksanakan rencana itu. Adapun kepribadian superego
muncul ketika mereka berkeinginan untuk menjadi orang yang
saleh setelah kejadian itu. Mereka sepakat untuk tidak
membunuh Yusuf, tetapi hanya menyingkirkannya. Hal ini
berarti mereka masih dikendalikan oleh superego mereka.
Sumur yang ditempati untuk membuang Yusuf adalah sumur
yang tidak terlalu banyak airnya, tidak terlalu dalam, bahkan
mereka memperkirakan sumur itu sering dilewati oleh para

َ ‫يث َو ُيت ُّم ن ْع َم َت ُه َع َل ْي َك َو َع َلى َآل َي ْع ُق‬ ََْ َْ ْ َ َ َُ َ َ َ ْ َ َ َ َ


(QS.12:6)… ‫وب‬ ِ ِ ِ ِ ‫ كذ ِلك يجت ِبيك َرُّبك ويع ِل ُمك ِمن تأ ِو ِيل اْلح ِاد‬1
ََْ ْ َ ْ ُ َ ُ َ ْ َ ْ َ ُ ُ َّ َّ َ َ َ َ
(QS.12:21)…‫يث‬ ِ ‫ض و ِلنع ِل َمه ِمن تأ ِو ِيل اْلح ِاد‬
ِ ‫كذ ِلك مكنا ِليوسف ِفي اْلر‬...
- 283 -
… Hanik Mahliatussikah …

musafir untuk beristirahat dan mengambil air di sumur itu.


Mereka berharap Yusuf akan dibawa oleh musafir dan jauh dari
kehidupan mereka dengan maksud Ya’kub akan mencintai
mereka sebagaimana cinta kepada Yusuf.
Umumnya, seorang anak kecil yang diletakkan dalam
sumur dalam keadaan tak berbaju lalu ditinggalkan saudaranya,
pastilah ada rasa takut, cemas, khawatir yang dikejawantahkan
melalui tangisan dan jeritan. Tetapi Nabi Yusuf tidak demikian.
Ia terhibur dengan makna mimpi yang diceritakan sang ayah.
Apalagi, ia mendapat wahyu ketika berada di sumur itu bahwa
ia tidak perlu khawatir dan pasti Allah akan menyelamatkannya.
Suatu ketika, ia akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka
(QS.12: 15). Jiwa yang pasrah dan tawakkal serta keimanan yang
penuh kepada Dzat tertinggi Yang Maha menolong
mengakibatkan jiwa Yusuf menjadi tenang.
Berdasarkan teori psikologi perkembangan, dinyatakan
bahwa anak usia 8 -10 tahun berada dalam tahapan katarsis
emosional. Ia mampu memanfaatkan emosi, mengontrol emosi,
mengendalikan emosi dalam rangka pencarian identitas diri.
Pencarian jati diri itu dimulai dengan sikap menyembunyikan
emosi, meninggalkan emosi, dan penyesuaian emosi dengan
situasi. Emosi pada masa ini sudah mencapai taraf keseim-bangan
(Baraja, 2008:144-146). Pada usia 10-13 tahun anak berada dalam
tahapan motivasional, yakni seorang anak memiliki harapan
untuk dapat mencapai sesuatu yang diinginkan. Pada masa ini
anak akan melanjutkan pencarian jati diri melalui penggunaan
kemampuan kognitif, afektif, dan kemampuan fisik. Jika Yusuf
pada waktu dimasukkan ke dalam sumur berada dalam usia
sebagaimana tersebut, berarti emosi Yusuf ketika menghadapi
perilaku para saudaranya secara psikologis sudah bisa
dikendalikan dan tertata.

- 284 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Sikap membohongi orang tua dengan sedih dan menangis


yang dilakukan oleh para saudara Yusuf menunjukkan bahwa
kebohongannya tidak ingin diketahui sang ayah. Karena itu,
mereka berusaha menutupi dengan membawa bukti baju Yusuf
yang berlumuran darah. Jiwa nabi Ya’kub yang berduka itu
kemudian terobati dengan sikap bersabar dan berserah diri
kepada Allah (QS.12: 18).
ُ َّ ‫يل َو‬
‫َّللا‬ َ ‫ال َب ْل َس َّو َل ْت َل ُك ْم َأ ْن ُف ُس ُك ْم َأ ْم ًرا َف‬
ٌ ‫ص ْب ٌر َج ِم‬ َ ‫َو َج ُاءوا َع َلى َقميص ِه ب َدم َك ِذب َق‬
ٍ ٍ ِ ِ ِ
َ‫ْ ُ ْ َ َ ُ َ َ َ َ ُ ن‬
(QS.12:15) ‫اْلستعان على ما ت ِصفو‬

Tujuan kesabaran itu adalah untuk menjaga keseim-


bangan emosi agar hidup tetap stabil. Sabar bukan berarti tidak
bertindak, tetapi ia ibarat benteng pada saat menghadapi musuh
yang kuat. Dari dalam benteng, seseorang mempersiapkan diri
kemudian terjun menghalau musuh sekuat kemampuan
(Shihab, 2002: 400).
Pada episode ketiga, Yusuf dijual kepada orang Mesir. Para
musafir merasa senang ketika menemukan Yusuf. Kese-nangan itu
akibat prediksi keuntungan ekonomis yang akan mereka
peroleh Kesenangan itu juga ditunjukkan oleh frasa Yâ busyrâ
yang digunakan dalam QS.12: 19.
ُ
‫يم ِب َما َي ْع َملو َن‬ ُ َّ ‫اع ًة َو‬
ٌ ‫َّللا َع ِل‬ َ ‫ض‬ ُ ‫ال َيا ُب ْش َرى َه َذا ُغ ََل ٌم َو َأ َس ُّر‬
َ ‫وه ب‬ َ ‫َق‬
ِ
Menurut Quraish Syihab, kata ghulâm menunjukkan usia
Yusuf antara 10-20 tahun. Adapun Sayyid Quthub
memperkirakan usia Yusuf saat itu tidak kurang dari 14 tahun.
Sesudah itu, seseorang dinamai fatâ kemudian rajul. yang
digunakan dalam ayat ini karena keuntungan ekonomis.
Orang yang membeli Yusuf pun merasa senang. Hal ini
diketahui dari sikapnya terhadap Yusuf, yaitu (1)
menjadikannya sebagai anak, (2) diberi tempat dan pelayanan
yang baik. Secara psikologis, seseorang yang sudah bersuami
- 285 -
… Hanik Mahliatussikah …

istri pastilah menginginkan keturunan. Ketika keinginan itu


belum tercapai, terdapat rasa berharap dan terus berharap.
Keinginan dan kesungguhan mereka mengambil Yusuf sebagai
anak juga dibuktikan dengan penambahan ta’ pada kata
ittakhadza (QS.12:21)2. Ketika pembeli Yusuf tidak memiliki anak
dan kemudian mendapatkan anak dengan cara yang mudah,
maka jiwanya menjadi lebih tenang dan bahagia. Yusuf sebagai
perantara rasa bahagia ini menjadikan keluarga ini memper-
lakukan Yusuf secara baik. Keluarga yang dimaksud adalah
keluarga seorang menteri yang memiliki istri bernama Zalikha
yang terkenal di Indonesia dengan sebutan Zulaikha. Sayyid
Quthub menyatakan bahwa umur Nabi Yusuf saat itu 25 tahun
dan usia Zalikha 40 tahun. Secara psikologis, seorang istri yang
telah berusia 40 tahun telah memiliki kematangan emosi,
kemampuan, dan keberanian untuk menggoda lawan jenisnya.
Pada episode empat, terjadi rayuan seorang istri orang
Mesir kepada Yusuf. Istri orang Mesir yang mengetahui
perkembangan Nabi Yusuf dari hari ke hari, melihat keindahan
parasnya, kejernihan matanya, kegagahan dan kehalusan budinya
menyebabkan ia jatuh hati padanya. Secara psikologis, seseorang
yang dilanda cinta, pada mulanya ia akan memendam rasa.
Artinya tidak langsung mengatakannya, hal itu karena rasa yang
bercampur baur. Ketika gejolak jiwa pecinta itu sudah
memuncak, maka ia akan berusaha untuk menundukkan
sasarannya dengan menyatakan cintanya, baik secara eksplisit
maupun implisit. Dalam ayat ini dikatakan istri orang mesir itu
menggodanya untuk menundukkannya. Ini berarti bahwa
upaya menggoda itu tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali
supaya tunduk.

َ َ َ َ َ ْ َْ َ ْ ‫اش َت َر ُاه م ْن م‬
ْ َّ َ َ َ 2
(QS.12:21) ‫ص َر ِِل ْم َرأ ِت ِه أك ِر ِمي َمث َو ُاه َع َس ى أ ْن َي ْن َف َع َنا أ ْو ن َّت ِخذ ُه َول ًدا‬ ِ ِ ‫ال ال ِذي‬‫وق‬
- 286 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

َّ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ُ َّ ُ ْ َ َ ‫َ َر‬
‫َّللا ِإ َّن ُه‬
ِ ‫ال معاذ‬ ‫و اودته ال ِتي هو ِفي بي ِتها عن نف ِس ِه وغلق ِت اْلبواب وقالت هيت لك ق‬
َ ُ َّ ْ َ ُ َّ َ ‫َ بي َأ ْح َس َن َم ْث َو‬
(QS.12:23)‫اي ِإنه ِل ُيف ِل ُح الظ ِاْلون‬ ِ‫ر‬
Kata râwadathu berasal dari kata râwada yang asalnya
adalah râda. Dalam tafsir Al-Mishbah, kata ini mengandung arti
meminta sesuatu dengan lemah lembut agar apa yang diharapkan
-dan enggan diberi oleh orang yang dimintai- dapat diperoleh.
Bentuk kata yang digunakan ini mengandung makna upaya
berulang-ulang. Pengulangan itu terjadi karena langkah
pertama ditolak, sehingga diulangi lagi dan begitu seterusnya.
Ini menunjukkan bahwa perempuan itu benar-benar menyukai
Yusuf. Hal ini juga dipertegas pada ayat berikutnya (QS.12:24)
yang menggunakan penanda taukid sebanyak 2 kali ‫َولَقَدْ َه َّمتْ بِ ِه‬
(dan sungguh perempuan itu telah berhasrat kepada Yusuf)
yang ditujukan pada hasrat perempuan kepada Yusuf, sedangkan
untuk Yusuf tanpa diberi penanda taukid ‫( َو َه َّم بِ َها‬dan Yusuf pun
berkehendak kepadanya). Artinya, Yusuf pun sebagai manusia
yang punya id, ego, dan superego juga memiliki sikap senang
kepada lawan jenis. Hanya saja, rasa itu tidak seberapa
dibanding dengan Zulaikha.
َ ْ َ ُّ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ َ
‫وء َوال َف ْحش َاء‬‫ولقد همت ِب ِه وهم ِبها لوِل أن رأى برهان رِب ِه كذ ِلك ِلنص ِرف عنه الس‬
َ ْ ُْ َ
(QS 12:24) ‫ِإ َّن ُه ِم ْن ِع َب ِادنا اْلخل ِصين‬
Sikap seorang istri itu telah didominasi oleh kepribadian id
dan egonya. Sementara Nabi Yusuf dengan berpegang pada
wahyu, telah dikendalikan sikapnya oleh superegonya. Kepri-
badian id yang mendominasi wanita itu juga ditunjukkan oleh
sikapnya yang mengoyak baju Yusuf dari belakang. Hasrat
birahi yang muncul dari dalam diri wanita itu tidak terbendung
akibat gejolak cinta yang sudah lama terpendam.
Berdasarkan sikap yang ditampakkan oleh Zulaikha dan
Yusuf, diketahui bahwa secara psikologis, Zulaikha mengalami
- 287 -
… Hanik Mahliatussikah …

Frustasi karena keinginannya yang berkali-kali ditolak hingga ia


memaksa Yusuf. Berdasar teori psikologi, seseorang akan
mengalami frustasi karena keinginannya tidak terpenuhi. Tidak
terpenuhinya harapan dan keinginan tersebut bisa karena faktor
fisik maupun psikis. Frustasi ada tiga jenis, yaitu: (a) sosial, (b)
individual, dan (c) komplit (Philip, 1971:41). Frustasi yang
dialami Zulaikha termasuk frustasi individual sekaligus sosial.
Lapis ego yang mengalami frustasi akan merasa sakit, lalu
bereaksi secara tidak sadar untuk mengurangi tekanan batin yang
menimbulkan rasa sakit atau stress. Reaksi itu disebut reaksi
mekanistik (defense machanism). Reaksi itu dilakukan oleh lapis
ego dalam rangka mempertahankan harga diri. Reaksi mekanistik
dapat dibagi tiga, yaitu(a) reaksi agresif, berupa menyerang atau
menyakiti, (b) reaksi menghindar atau menarik diri, dan (c)
reaksi mengganti atau kompromi. Reaksi agresif tadi dapat
berwujud mengkambinghitamkan, marah tanpa pandang bulu,
atau menyalahkan diri sendiri (Floyd: 403-404). Jadi orang yang
frustasi akan mengalihkan kemarahannya pada objek lain
sebagai sasaran pengganti.
Adapun reaksi menghindar dari situasi yang menyebabkan
frustasi, wujud menghindar bisa berupa tindakan fisik atau
psikis. Adapun reaksi mengganti atau kompromi adalah menu-
runkan derajat keinginan semula agar hasrat tetap terealisasi
meskipun kurang maksimal (Floyd: 471).
Kepuasan langsung atas kebutuhan atau keinginan tertentu
sering tidak bisa terwujud sebab sasaran yang hendak digapai
secara fisik tidak terjangkau atau tindakan yang diupayakan
untuk menggapai sasaran hanya membangkitkan rasa tidak
menyenangkan. Dalam kondisi seperti itu, seseorang bisa
mengalihkan sasaran untuk memperoleh kepuasan meskipun
tidak akan memberi kepuasan seperti tujuan semula. Penggantian
kepuasan inilah yang disebut konsep sublimasi.

- 288 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

Adapun reaksi mekanistik yang dilakukan oleh Zulaikha


adalah reaksi agresif, yaitu menyerang Yusuf dengan membuat-
nya di penjara dan mengundang para perempuan di ling-
kungannya yang telah mencibir perbuatannya dengan mengun-
dang mereka pada jamuan makan malam. Hal itu dilakukan
dalam rangka rasionalisasi.
Rasionalisasi adalah proses merekayasa alasan agar logis
atas situasi tertentu, karena jika dibiarkan akan mengakibatkan
hilangnya harga diri di hadapan masyarakat. Seseorang yang
mencari pembenaran sebenarnya ia takut celaan orang lain atas
dirinya. Rasionalisasi adalah mekanisme yang dilakukan diri
dalam upaya mengantisipasi kritikan atau mempertahankan diri
terhadap tekanan atas kegagalan. Rasionalisasi adalah bentuk
mencari-cari alasan agar tidak turun harga dirinya di hadapan
orang lain (Siswantoro, 2005:171). Secara psikis istri Al Aziz
ingin membela diri ketika posisinya di hadapan keluarga dan
lingkungan sudah tercemar akibat perilaku yang tidak
sepantasnya.
Pada episode kelima, terdapat jamuan makan (QS.12:30).
Para undangan yang terdiri atas para wanita itu menggunjing
sikap istri Al-Aziz yang menggoda Yusuf. Maka ketika ia
mendengar gunjingan itu, istri Al-Aziz meminta para wanita itu
untuk memegang pisau dan buah. Terperangahlah mereka
ketika melihat Yusuf yang sangat tampan sampai terpotonglah
jari tangan mereka.
َ َّ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ ُ ََ
‫… َوآت ْت ك َّل َو ِاح َد ٍة ِم ْن ُه َّن ِس ِك ًينا َوقال ِت اخ ُر ْج َعل ْي ِه َّن فل َّما َرأ ْي َن ُه أك َب ْرن ُه َوقط ْع َن أ ْي ِد َي ُه َّن‬
(QS.12:32( ‫يم‬ ٌ ‫ّلِل َما َه َذا َب َش ًرا إ ْن َه َذا إ َِّل َم َل ٌك َكر‬ َّ َ َ َ ْ ُ َ
ِ ِ ‫اش‬ ‫وقلن ح‬
ِ ِ ِ

- 289 -
… Hanik Mahliatussikah …

Huruf sin dan ta’ pada kata ista’shama pada ayat 32 dari
surat ini menunjukkan makna kesungguhan Yusuf dalam
menolak istri Al-Aziz.
ْ ‫َو َل َق ْد َر َاو ْد ُت ُه َع ْن َن ْفسه َف‬
َ ‫اس َت ْع‬
(QS.12:32(… ‫ص َم‬ ِ ِ
Selanjutnya kata layusjananna menggunakan nun taukid ats
tsaqîlah menurut al biqa`i menggambarkan gejolak jiwa
pengucapnya, yaitu istri Al-Aziz yang kecewa dengan sikap
Yusuf yang menolaknya. Akhirnya, Yusuf pun di penjara atas
kemauan sendiri (QS.12: 34). Yusuf lebih menyukai dipenjara
jasadnya asal jiwanya tidak seperti di penjara.
Pada episode ke enam, diceritakan bahwa Nabi Yusuf
berada di penjara bersama dua orang pemuda. Di penjara inilah
Nabi Yusuf menjadi penta’wil mimpi 2 orang pemuda tadi.
Ta’wil pertama menggembirakan bagi yang menerima mimpi
itu, yaitu ia akan kembali ke rumah tuannya, melakukan pekerjaan
semula dan takwil kedua merupakan takwil yang mencekam
jiwa yang bermimpi itu sehingga ia berkata bahwa mimpinya
tadi hanyalah bohong belaka. Takwilnya adalah ia akan disalib
dan digantung, lalu burung makan sebagian kepalanya.
Pada episode ke tujuh, Yusuf mendapat kesempatan untuk
menakwilkan mimpi sang raja. Karena ta’wilnya benar, maka ia
dibebaskan. Adapun pada episode ke delapan, Yusuf menjadi
pejabat pemerintah (QS.12: 54-55). Ia minta jabatan sebagai
bendaharawan Negara. Permintaan ini didorong oleh rasa
percaya diri Yusuf dan sikapnya yang jujur. Ia meminta jabatan
sesuai dengan spesifikasi yang dimilikinya, yaitu chafîdzun ‘alîm.
Dalam teori psikologi, kekuasaan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan (needs) adalah keadaan
yang menimbulkan motivasi. Maslow membagi kebutuhan
menjadi lima tingkat, yaitu (1) kebutuhan biologis, (2) kebutuhan
rasa aman, terhindar dari kecemasan dan ketakutan, (3) kebu-

- 290 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

tuhan sosial (mencintai dan dicintai), (4) kebutuhan-kebutuhan


harga diri, dan (5) kebutuhan aktualisasi diri. Adapun McCleland
berpendapat bahwa setiap orang memiliki tiga jenis kebutuhan
dasar, yaitu (1) kebutuhan akan kekuasaan, yaitu keinginan
untuk mempengaruhi orang lain, (2) kebutuhan untuk berafiliasi,
yaitu kebutuhan untuk memiliki teman, menjalin persahabatan,
dan (3) kebutuhan berprestasi, yaitu kebutuhan untuk berhasil
dalam tugas-tugas, nilai akademik yang baik, dan memperoleh
penghargaan (Nursalim, 2007: 118-119; koswara, 1991: 118-127).
Pada episode ke Sembilan, Nabi Yusuf dipertemukan
dengan keluarganya (Qs.12:58-61). Para saudara Yusuf yang
datang padanya untuk mengambil jatah bahan makanan yang
dibagikan kepada penduduk Mesir dan sekitarnya. Rasa rindu
Yusuf kepada Benyamin dan ayahnya yang telah terpendam
lama, mendapatkan kesempatan untuk bertemu. Pertemuan
dengan saudara ini dalam teori kebutuhan termasuk kebutuhan
sosial.
Adapun episode terakhir merupakan i’tibar dari kisah
Nabi Yusuf (QS.12: 102-111), di antaranya menjelaskan prinsip-
prinsip segala yang dibutuhkan manusia menyangkut
kemaslahatan hidup di dunia dan akherat.
َّ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ ً َ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ ٌ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ َ َ
‫يق ال ِذي َب ْي َن‬‫اب ما كان ح ِديثا يفترى ول ِكن تص ِد‬ ِ ‫لقد كان ِفي قص ِص ِهم ِعبرة ِْل ِولي اْللب‬
َ ْ َ ً َ ُ َ ََْ َْ َ
)QS.12: 111( ‫يل ك ِل ش ْي ٍء َو ُه ًدى َو َر ْح َمة ِلق ْو ٍم ُيؤ ِم ُنون‬ ‫يدي ِه وتف ِص‬

IV. Ringkasan
1. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
penghayatan tingkah laku manusia sebagai makhluk individu
dan penghayatan terhadap intern relasi manusia terhadap
diri dan lingkungannya sebagai makhluk social beserta
implikasi-implikasi lainnya.

- 291 -
… Hanik Mahliatussikah …

2. Psikologi sastra membicarakan karya sastra dalam kaitannya


dengan aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu
karya sastra
3. Kajian psikologi sastra berusaha mengungkap psikoanalisa
kepribadian yang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego
dan super ego.

- 292 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid, Abdul Aziz. 2002. Mendidik dengan Cerita. Bandung:


Rosdakarya.
Baraja, Abu Bakar. 2008. Psikologi Perkembangan. Jakarta Timur:
Studia Press.
Chaer, Abdul. Sosiolinguistik. 2009. Jakarta. Rineka Cipta.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogya-
karta: Pustaka Widyatama.
K. Bertens. 1984. Sigmund Freud: Memperkenalkan Psikoanalisa.
Jakarta: PT Gramedia
Kuswara, E.. 1991. Teori-teori kepribadian. Bandung: Eresco.
L. Floyd and G. Philip. 1971. Psychology and Life. London:
Scott,Foresman and Company
Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta:
Intermassa
Neil J. Salkind. Tt. Teori-teori Perkembangan Manusia. Nusamedia
Nursalim, Muchammad dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Sura-
baya: Unesa University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rokhmansyah, Alfian. 2011. Psikologi Sastra. www.alfianrokh
mansyah.com.
Sangidu. 2005. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, metode,
teknik dan kiat. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia
Barat UGM.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita.
Semi, M. Atar.1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Shihab, Quraisy. 2002. Tafsir Al Mishbah: Pesan, kesan dan
keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera

- 293 -
… Hanik Mahliatussikah …

Sirin, Muhammad Ibnu . 2004. Tafsir Mimpi menurut Al-Quran


dan As Sunnah. Jakarta: Gema Insani.
Siswantoro.2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis.
(Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Wolf, Janet. 1989. The Social Production of Art. New York: New
York University Press.

- 294 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …

LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut!


1. Apa pengertian psikologi?
2. Apa pengertian psikologi sastra?
3. Mengapa sastra dikaitkan dengan psikologi?
4. Jelaskan psikoanalisa Sigmund Freud!
5. Sebutkan metode analisis psikologis!
6. Diskusikan dengan teman sekelompok tentang langkah-
langkah kajian dalam psikologi sastra
7. Carilah data di website tentang psikologi sastra!
8. Buatlah mind mapping tentang psikologi sastra!
9. Carilah satu cerpen untuk dikaji secara psikologi sastra!
10. Presentasikan di hadapan kelompok/ kelas hasil kajian yang
sudah dilakukan!

‫بالتوفيق والسداد‬

- 295 -
Teori &
BAB Metode Analisis
___ 15 Sastra Feminis

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori Sastra Feminis,
Kritik Sastra feminis, masalah teori feminis, metode analisis,
perempuan dalam budaya Mesir, dan contoh analisis. Pada
akhir bab, akan disajikan rangkuman dan latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis sastra feminis, pada bab selanjutnya akan dipela-
jari tentang kajian resepsi sastra. Mahasiswa diharapkan
mempelajari dengan baik materi ini dengan baik agar
dapat mengikuti materi berikutnya dengan mudah.

- 296 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori sastra feminis, Kritik Sastra feminis,
masalah teori feminis, perempuan dalam budaya Mesim, serta
dapat menerapkan teori kritik sastra feminis dalam teks prosa
Arab.

A. Teori Sastra Feminis


Perempuan yang diberi kesempatan sejak awal untuk
meningkatkan SDMnya melalui pendidikan, dapat bersaing
dengan laki-laki dan bahkan terbukti bisa lebih tinggi kuali-
tasnya. Dengan kualitas SDM tersebut, perempuan memiliki
kemampuan untuk ikut andil dalam pembangunan fisik dan
mental bangsa. Oleh karena itu, perlakuan yang tidak seimbang
terhadap perempuan dalam kancah pendidikan, sosial dan
budaya masyarakat, bukan saja merugikan kaum perempuan,
tetapi juga merugikan kaum laki-laki sebagai mitranya dan
secara umum merugikan pembangunan bangsa. Kesadaran
itulah yang kemudian mendorong masyarakat yang sadar
gender, baik laki-laki maupun perempuan untuk memper-
juangkan kesetaraan gender. Kesadaran itu kemudian meram-
bah pula dalam kajian ilmu sastra dengan lahirnya kritik sastra
feminis (Feminist Literary Criticsm). Prinsip dasar kritik feminis
adalah untuk memahami suatu ilmu pengetahuan baru, yang
timbul karena adanya komponen-komponen genus dari yang
tidak tampak muncul menjadi tampak dalam berbagai wacana
yang dihasilkan oleh bidang ilmu humanitas dan sosial
(Ruthvern, 1984: 1).
Kebudayaan yang selama ini mendominasi kehidupan
dunia adalah kebudayaan androsentris, yaitu suatu kebudaya-
an yang menjadikan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Sastra
merupakan produk kebudayaan, gambaran realitas kehidupan

- 297 -
sosial suatu masyarakat tertentu. Sastra adalah social product
(Wolf, 1989: 1). Kritik sastra feminis berupaya untuk menawar-
kan usulan mempelajari sastra sebagai suatu manifestasi
bentuk kekuatan yang asasi dalam masyarakat yang harus
diubah jika memang diinginkan adanya perubahan yang lebih
baik.
Persoalan yang paling mendasar dalam kajian feminis
bukanlah persoalan biologis, tetapi lebih berfokus pada per-
soalan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
budaya (Ratna, 2004:194). Perbedaan laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi oleh budaya tersebut tampak pula pada
bahasa (Coates, 1993: 12). Bahasa merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Laki-laki memiliki pengaruh yang kuat dalam
pemakaian bahasa, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa
Indonesia.
Dalam Bahasa Indonesia misalnya, kata TKI sebenarnya
sudah mewakili laki-laki dan wanita sebagai tenaga kerja
Indonesia, tetapi masih ada penyebutan lain, yaitu TKW dan
tidak ada TKL. Wanita yang menjadi polisi disebut POLWAN
dan tidak ada POLLAK dan masih banyak lagi penggunaan
bahasa yang bias gender. Di samping bahasa, konstruksi dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat yang lebih meng-
utamakan laki-laki juga berpengaruh terhadap aspek psikologis
yang termanifestasikan dalam perilaku sehari-hari, baik oleh
laki-laki maupun perempuan.
Konstruksi sosial dunia patriarkhi yang panjang akhirnya
melahirkan citra wanita yang kurang baik. Citra perempuan
yang tidak baik yang telah dikonstruksi laki-laki dan bahkan
perempuan sendiri dalam budaya masyarakat tersebut pada
era dewasa ini mulai dinaturalisasikan dan diangkat setahap
demi setahap oleh masyarakat yang sadar gender dan

- 298 -
kesetaraannya. Di antara bentuk penyadaran tersebut adalah
lewat karya sastra.
Apresiasi sastra Arab di Indonesia telah banyak
dilakukan, baik melalui jalur non akademis maupun akademis
(Bunyamin, 2003: 153-154). Jalur non akademis misalnya,
dilakukan melalui penerjemahan karya sastra Arab ke dalam
bahasa Indonesia. Hal ini tentunya tidak terlepas dari muatan
isinya yang universal dan dibutuhkan oleh seluruh kalangan.
Novel Arab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia di antaranya adalah karya-karya Kahlil Gibran, Najib
Mahfudh, Lukman Hakim, Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, Najib
Kailani, Samirah dan Nawal Sa’dawi. Penerbit Obor Jakarta
Misalnya, menerbitkan terjemahan novel Nawal Sa’dawi, baik
dari bahasa Arab maupun bahasa Inggris.
Apresiasi sastra Arab di Indonesia melalui jalur akademis
ditandai dengan munculnya jurusan dan program studi Sastra
Arab, baik di perguruan tinggi yang berada di bawah naungan
departemen Agama, seperti UIN, maupun yang berada di
bawah naungan Diknas, seperti UM, UI, UPI, UAD, dan
UNPAD. Program-program studi tersebut telah menghasilkan
banyak penelitian sastra Arab yang merupakan bentuk
apresiasi sastra Arab di Indonesia. Novel Tenggelamnya kapal
Van Derwick karya Hamka juga sebagai bukti sambutan
pembaca Indonesia terhadap karya sastra Arab. Novel tersebut
merupakan bentuk transformasi dari karya Lutfi Al-Manfaluthi
yang berjudul Majdulin yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Magdalena dan diterbitkan oleh
Navila, Yogyakarta.
Salah satu novelis terkenal yang memperhatikan nasib
kaum wanita adalah Nawal Sa’dawi. Nawal, di samping
seorang novelis bergelar doktor, juga berprofesi sebagai dokter
di Kairo. Dia juga pendiri beberapa organisasi, khususnya

- 299 -
organisasi yang peduli terhadap nasib kaum wanita. Di
samping itu, ia juga pernah mengajar di berbagai perguruan
tinggi di dalam dan di luar negeri Mesir. Keberaniannya dalam
mengungkap fakta wanita di Mesir dianggap melanggar
peraturan pemerintah dan menyebabkan dirinya dipenjara
pada bulan September 1981. Karya-karyanya dalam bahasa
Arab telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, di
antaranya ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Swedia,
Portugis, Italia Belanda, Jepang, Iran, Turki, Urdu dan
Indonesia (Bunyamin, 2003:150- 152). Salah satu karyanya yang
bermuatan gender adalah novel Mautur-Rajulil-Wahîdi-Alal-
Ardhi (selanjutnya disingkat MRWA).
Novel MRWA termasuk karya populer. Kepopulerannya
dibuktikan dengan sambutan yang diberikan oleh masyarakat
pembaca dari berbagai kalangan, baik melalui penerjemahan
maupun melalui penerbitan dan penelitian. Novel ini meng-
gambarkan realitas yang terjadi dalam masyarakat Mesir.
Hampir dalam keseluruhan karyanya, Sa’dawi mengungkap
kesewenang-wenangan kaum laki-laki terhadap perempuan.
Budaya patriarkhi yang kuat di Mesir telah membuat kaum
wanita tertindas dan tersubordinasi. Keberanian Nawal dalam
mengungkap budaya wanita di Mesir ini mendapat kritikan
keras dari penguasa Mesir yang memang identik dengan laki-
laki. Sebagai akibatnya, ia pun pernah di penjara karena
dianggap melawan pemerintahan Mesir.
Permasalahan perempuan tidak saja terjadi di Mesir,
tetapi juga di seluruh belahan dunia. Perempuan yang juga
manusia sebagaimana laki-laki tidak diperlakukan secara
seimbang, tetapi di nomor duakan. Masalah inilah yang
kemudian memunculkan gerakan feminisme dan disambut
pula dalam sastra melalui perspektif kritik sastra feminis.
Karya sastra yang menggunakan bahasa kedua, Secondary

- 300 -
Modeling Sistem dalam istilah Juric Lotman atau Second Order
Semiotic dalam istilah Alex Preminger selalu dapat dimaknai
secara universal. Dalam pengertian ini, novel MRWA dapat
bermakna bagi pembaca non Arab yang melakukan interpretasi
karena setiap karya sastra dapat ditransendensikan sehingga
selalu memberi makna bagi masyarakat walau berada dalam
lintas budaya.

B. Kritik Sastra Feminis


Secara leksikal, feminisme berarti gerakan wanita yang
menuntut persamaan hak sepenuhnya antara wanita dan pria
(Moeliono, 1996:241). Feminisme adalah teori tentang per-
samaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik,
ekonomi, sosial atau kegiatan terorganisasi yang memper-
juangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986: 837).
Dalam buku The New Feminist Criticsm (Showalter,
1985:3) disebutkan bahwa kritik sastra feminist merupakan
studi sastra yang mengarahkan perhatian pada analisis kepada
wanita. Jika selama ini wanita dianggap bahwa yang mewakili
pembaca dan pencipta dalam sastra Barat adalah laki-laki maka
kritik sastra feminist ingin menunjukkan bahwa pembaca
wanita itu memiliki persepsi dan harapan ke dalam
pengalaman sastranya.
Pembaca wanita yang membaca sebagai wanita mem-
pengaruhi konkretisasi sastra karena makna teks di antaranya
ditentukan oleh pembaca. Teks hanya bermakna jika dibaca
oleh pembacanya (Iser, 1978:20). Dalam sebuah konkretisasi
terhadap karya sastra, akan terdapat bermacam-macam makna
sesuai dengan kelompok pembacanya, baik ditinjau dari jenis
kelamin, tingkat pendidikan, bekal pembacaan dan latar
belakang sosial budayanya.

- 301 -
Fase Tradisi Penulisan Wanita
Elaine Showalter dalam bukunya A literature of Their Own
mengkaji para novelis wanita Inggris sejak Brontes dari sudut
pandang pengalaman wanita. Menurutnya ada perbedaan
mendalam antara hasil tulisan perempuan dengan laki-laki
karena tidak ada seksualitas atau imajinasi wanita yang
berpembawaan halus atau pasti (Selden, 1986: 135).
Ada tiga Pola dan Fase Perkembangan Tradisi Wanita
menurut Elain Showalter (Newton, 1990: 270, Selden, 1986: 135-
136), yaitu:

1. Fase Feminine (1840 – 1880).


Pada masa ini, novelis wanita berusaha menyamakan
prestasi intelektual dalam budaya laki-laki. Mereka meng-
gunakan nama samaran laki-laki, khususnya di Inggris pada
tahun 1840-an. Para penulis wanita meniru dan menghayati
standar estetika pria yang dominan.

2. Fase Feminist (1880-1920)


Wanita secara historis mampu menolak akomodasi sikap
feminin dan menggunakan sastra untuk dramatiasi siksaan atas
kesalahan menjadi wanita.

3. Fase Female (1920-sekarang)


Wanita menolak imitasi dan protes -dua bentuk ketergan-
tungan terhadap laki-laki; berfokus kepada pengalaman wanita
sebagai sumber otonomi seni mandiri, memperluas analisis
budaya feminist menuju bentuk dan teknik sastra, meng-
gambarkan satu bentuk estetik mengenai pembagian laki-laki
dengan perempuan. Fase ini mengembangkan ide tentang
kekhususan tulisan wanita dan pengalaman wanita.

- 302 -
C. Masalah Teori Feminis
Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex (1949 dalam
Selden, 1986: 129-130) menetapkan masalah dasar feminis
modern, yaitu:
1. Wanita membatasi dirinya dengan mengatakan “aku
seorang perempuan”. Sementara laki-laki tidak menyatakan
demikian. Laki-laki membatasi diri sebagai manusia tidak
sebagaimana perempuan.
2. Wanita terikat dalam suatu hubungan berat sebelah
dengan laki-laki; laki-laki adalah satu sedangkan perem-
puan adalah yang lain (the others).
3. Kekuasaan laki-laki telah membuat mantapnya ideologi
bahwa para wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis,
ahli ilmu pengetahuan telah berusaha menunjukkan
bahwa kedudukan wanita yang rendah itu diinginkan di
surga dan bermanfaat di bumi.
4. Wanita telah dibuat lebih rendah dan tekanan ini menjadi
berlipat ganda oleh keyakinan para lelaki bahwa wanita
adalah lebih rendah menurut kodratnya. Gagasan per-
samaan “nyata” biasanya ditentang kaum lelaki.
Pokok perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan
berfokus pada 5 (lima) hal pokok, yaitu biologi, pengalaman,
wacana, ketaksadaran, dan kondisi sosial ekonomi. Untuk
penjelasannya, sebagai berikut:
1. Biologi
Para lelaki menyatakan bahwa perempuan adalah sebuah
kandungan. para feminin radikal menganggap atribut
biologis wanita sebagai sebuah keunggulan.
2. Pengalaman
Pengalaman wanita yang khusus dalam hidup (ovulasi,
menstruasi, dan melahirkan) merupakan sumber nilai-
nilai perempuan yang positip dalam kehidupan dan seni.

- 303 -
Pengalaman tersebut akan mempengaruhi perbedaan
persepsi dan kehidupan emosi; para wanita tidak melihat
suatu hal dengan cara yang sama dengan laki-laki. Wanita
memiliki perbedaan dengan laki-laki mengenai ide dan
perasaan tentang apa yang penting dan tidak penting.
3. Wacana
Dale Spender dalam bukunya Man-Made menganggap
bahwa wanita secara mendasar ditindas oleh bahasa yang
dikuasai laki-laki. Menurut Foucoult, apa yang “benar”
tergantung pada siapa yang menguasai wacana. Menurut
Lakolff, ucapan lelaki lebih kuat.
4. Ketaksadaran
Proses ketidaksadaran ini terdapat dalam teori
psikoanalitik Lacan dan Julia Kristeva. Para penulis
feminis telah menentang biologisme. Seksualitas wanita
bersifat revolusioner, subversif beragam dan terbuka.
Pendekatan ini menolak untuk mendefinisikan seksualitas
perempuan; jika ada prinsip wanita maka berada di luar
definisi laki-laki tentang perempuan.
5. Kondisi sosial dan ekonomi
Virginia Woolf adalah kritikus wanita pertama yang
memasukkan dimensi sosiologi dalam analisisnya
mengenai tulisan wanita. Sejak itu dan selanjutnya, kaum
feminis Marxis telah mencoba menghubungkan
perubahan kondisi sosial dan ekonomi dan perubahan
imbangan kekuatan di antara kedua jenis kelamin. Kaum
feminis Marxis ini menolak hakekat keperempuanan yang
universal.

D. Metode Analisis
Metode analisis kritik sastra feminis didasarkan pada
macam-macam kritiknya, yaitu sebagai berikut.

- 304 -
1. Woman as Reader (wanita sebagai pembaca)
Woman as Reader menempatkan wanita sebagai konsumen
dari produk sastra laki-laki dan pembaca wanita merubah
pengertian terhadap teks. Kritik ini membangunkan kita untuk
menandai kode-kode seksual.
Showalter menyebutnya sebagai kritik feminis, dan
sebagaimana macam kritik lain ada landasan sejarah yang
mengasumsikan ideologi fenomena sastra ini, yaitu: (a) citra
dan stereotipe wanita dalam sastra, (b) pengabaian dan
kesalahan konsep mengenai wanita dalam kritik, (c) keretakan
dalam sejarah sastra yang dikonstruksi oleh laki-laki dan (d)
eksploitasi dan manipulasi penonton wanita (Newton, 1990:
268-269).
Showalter menyatakan bahwa pendekatan kritik “wanita
sebagai pembaca” sebagaimana dalam sekolah “images of
Woman“ merupakan pembatasan dengan fokus pandangan
laki-laki terhadap wanita. Pendekatan “Images of Woman”
didominasi oleh studi sastra feminis pada awal tahun 1970-an
dan masih menjadi pusat pendidikan studi wanita dalam
sastra. Melalui pendekatan “Images of Woman” kritik ini
menentukan bagaimana karakter perempuan tergambar dalam
karya sastra. Kritik feminis berakar dari intuisi apriori funda-
mental yang hakiki bahwa wanita tersusun atas seperangkat
kesadaran, yaitu mereka sendiri, bukan yang lain. Wanita dalam
sastra ditulis laki-laki kebanyakan tampak sebagai yang lain,
sebagai obyek, menarik hanya sejauh sebagai pelayan mereka
atau mengurangi keberhasilan seorang tokoh protagonis laki-
laki (Newton, 1990: 263).

2. Wanita sebagai penulis (Ginokritik)


Subyek kritik ini di antaranya psikodinamis kreatifitas
wanita, linguistik dan masalah dalam bahasa wanita, karir
sastra wanita kolektif, sejarah sastra, dan studi tertentu
- 305 -
terhadap penulis dan karyanya. Ginokritik ( tulisan-tulisan
wanita) dicetuskan oleh Elaine Showalter. Fokus kritik ini
adalah wanita sebagai penulis.
Perbedaan kritik feminis dan gynokritik adalah bahwa
kritik feminis berawal dari masalah politik dan polemik
sosiologi dan estetik Marxis. Problem utamanya adalah
berorientasi pada kejantanan (Male Orineted). Kritik ini
memiliki tujuan untuk menaturalisasikan pengorbanan wanita,
dengan membuatnya sebagai sebagai topik menarik dalam
diskusi.
Sedangkan Ginokritik Berusaha membangun sebuah
kerangka karya wanita untuk analisis sastra wanita. Kritik ini
dimulai dengan membebaskaan wanita dari sejarah laki-laki
dan tidak lagi menyesuaikan tradisi antara laki-laki dan wanita,
tetapi berfokus pada dunia budaya wanita yang dapat dilihat.
Kritik ini mengembangkan model baru yang lebih berdasar
pada studi pengalaman wanita dibanding pada adopsi teori
dan model laki-laki (Newton, 1990: 269).
Teks tentang gynokritik pernah ditulis oleh Mary
Ellmann dengan judul Thingking about Woman (1968). Ia
mengemukakan bahwa para penulis wanita seringkali
menetapkan suatu perspektif berbeda secara subversif dengan
mengabaikan keterbatasan pertimbangan dan ketepatan fokus.
Dalam pandangannya, tidak semua penulis wanita mengambil
gaya tulisan wanita. (Selden, 1986: 137-138).

3. Reading as Woman
Selain dua model kritik yang disebutkan oleh Swowalter
tersebut di atas, Culler memperkenalkan teori Reading as woman.
Culler mengemukakan konsep Reading as Woman dalam bukunya
On Deconstruction. Yang dimaksud dengan Reading as Woman
adalah pembaca yang memandang sastra dengan kesadaran
khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan
- 306 -
dengan budaya, sastra dan kehidupan. Jenis kelamin ini
menimbulkan berbagai perbedaan perlakuan, baik perbedaan
yang ada dalam diri pengarang, karya sastra, pembaca atau
kesemestaan yang diacunya (Culler,1982: 43-63). Konsep Culler
ini digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi
kekuasaan laki-laki yang andrisentris atau patriarkis yang sampai
sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan
sastra sehingga wanita berada di bawah naungannya.

4. Kritik Moral
Selanjutnya, Kritik feminis menurut Josephin merupakan
moral karena kritik itu memperlihatkan problem sentral sastra
Barat, yaitu wanita sebagai obyek, wanita tidak diperlakukan
sebagai manusia yang berhak menyusun kesadarannya, wanita
itu obyek-obyek yang digunakan untuk mengfasilitasi laki-laki.
Kritik feminis menjadi politis ketika kritik itu menegaskan
bahwa sastra, dan standar hukum kritik harus berubah. Dengan
demikian, sastra tidak lama berfungsi sebagai propaganda,
lebih lanjut sebagai ideologi seksual (Newton, 1990: 263).
Dimensi estetik sastra tak dapat dipisahkan dari dimensi
moral. Sejak Aristoteles, pengalaman estetik pada kenyataan-
nya dipahami sebagai sebuah katarsis, gambaran dan pembe-
basan dan kesenangan secara menyeluruh. “images of Woman”
(citra wanita) awalnya merupakan sekolah kritik feminis. Fokus
perhatiannya pada bagaimana karakter wanita tergambar
dalam karya sastra. Josefin Donovan sebagai salah tokoh kritik
ini menyatakan bahwa dalam kritik feminis tidak dapat
dipisahkan antara aspek estetik dan aspek moral dalam karya
sastra (Newton, 1990: 263).

5. Feminisme Politis
Kritik model ini diperkenalkan oleh Kate Millet dan
Michele Barret. Dalam bukunya Sexual Politics (1970), Millet
menyatakan bahwa sebab penindasan wanita adalah patriarkhi
- 307 -
yang telah meletakkan wanita di bawah laki-laki. Patriarkhi
memperlakukan perempuan sebagai laki-laki yang inferior.
Mereka menggunakan kekuatan untuk membatasi wanita.
Menurutnya demokrasi tidak begitu berpengaruh karena
wanita masih terus dikuasai oleh suatu sistem peranan
kejenisan yang telah menguasai wanita sejak muda.
Pemahaman tentang perempuan dalam suatu masyarakat
dapat dilihat dari karya sastranya. Menurut Soenarjati, pada
awalnya karya sastra perempuan di Amerika pun pernah
dianggap tidak ada artinya. Anggapan itu muncul dari
stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal
yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada
karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan,
dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan
kredibilitas pengarang laki-laki. Menurut Maria, tidak heran
kalau pada awalnya pengarang perempuan di Amerika pun
pernah menggunakan nama samaran laki-laki agar karya
mereka bisa diterima masyarakat. "Padahal, belum tentu
penulis perempuan akan menghasilkan karya sastra yang
membela perempuan, begitu juga sebaliknya, tidak semua
penulis laki-laki pasti tidak berpihak pada perempuan
(Djayanegara, 2000).
Paling tidak ada empat landasan yang bisa digunakan
dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme. Pertama,
kelompok feminis yang berusaha menjadi kritikus sastra
dengan melihat ideologinya. Mereka ini umumnya akan
menyoroti persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik
yang mencari ja-waban apakah penulis perempuan itu
merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa
dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok feminis
yang menggunakan konsep sosialis dan marxis. Logikanya,
bahwa perempuan itu faktanya tertindas karena tidak memiliki

- 308 -
alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasil-
kan uang. Akibatnya, perempuan tidak memiliki kekuasaan
dalam keluarga. Keempat, menggunakan psiko-analisis yang
diambil dari Sigmund Freud. Bagi kelompok feminis ini,
perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang
dimilikinya (Djayanegara,2000). Dengan kritik Feminis
diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks
yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional.
Fokus di dalam kritik ini ada 2, yaitu (1) pengkajian ulang
sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon
yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke
generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-
karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang
ter(di)pendam selama ini. (2) mengkaji kembali teori-teori dan
pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini
dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan
dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada
pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di
sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis
perempuan yang mendukung mereka agar mampu
mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang
selama ini diredam (Gunoto, dalam http://www.suarakarya-
online.com/news .html?id =113881).
Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis,
sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, posmodern, dan
lain-lain, yang masing-masing memiliki perbedaan
pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada
feminisme yang sangat maskulin, ada yang antimaskulin, ada
pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas. Hal ini
berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan
menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan
pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous,

- 309 -
Virginia Wolf, Kate Millet, dan lain-lain, yang merupakan
kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous
misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah
seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal.
Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan
dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.
Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis
ditemukan kritik gynocritics, ideologis, melakukan kajian
terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan,
tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan
perbedaannya dengan tulisan laki-laki. Kritik sastra feminis
ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks
yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji adalah
citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman me-
ngenai perempuan. Kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat
tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-
kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik
menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra.
Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis
lesbian, dan ras (etnik).
Dalam pandangan Elain Showalter, terdapat 3 macam
kritik sastra feminis. Tahap pertama, kritik sastra feminis,
menganalisis berbagai citra stereotip perempuan dengan kritis.
Kebanyakan kritikus menganalisis bagaimana kaum pria
memandang dan menggambarkan perempuan. Tahap kedua,
perhatian diarahkan kepada para pengarang perempuan dan
menitikberatkan pada penemuan kembali para penulis perem-
puan yang terlupakan serta evaluasi ulang terhadap sastra oleh
kaum perempuan. Tahap ketiga, berusaha memecahkan
masalah-masalah teoretis, merevisi pelbagai asumsi teoretis
yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan

- 310 -
menulis yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-
laki.

E. Perempuan dalam Budaya Mesir


Penderitaan perempuan dalam sistem patriarkhi di Mesir
tidak pernah disinggung dalam karya sastra Arab. Hal ini tidak
terlepas dari sistem patriarkhi yang dianut pengarang dan yang
menguasai mereka. Banyak karya sastra Arab yang memar-
ginalkan perempuan seperti tulisan Abbas Mahmud Al-Aqqad,
Taufik Al-Hakim dan Zaki Mubarak (Sa’dawi, 2003a). Namun,
pada akhir abad ke-19, pemikiran bangsa Arab mulai bangkit
dengan pelopornya Jamaluddin Al-Afghani. Mulai saat itu,
banyak buku-buku yang menulis tentang pembebasan perem-
puan, di antaranya Ahmad Faris Shidyaq, Rifaah Rafi
Thantawi, Muhammad Abduh, Qasim Amin, dan Ahmad
Lutfi. Tidak ketinggalan juga para penulis perempuan seperti
Aisyiah At-Taimuria, Zainab Fawaz, Malak Hafni Nasif dan
May Ziyadah (Sa’dawi, 2003a).
Sastra Arab merupakan warga sastra dunia. Hal ini di
antaranya dibuktikan dengan penganugerahan hadiah Nobel
Sastra kepada kepada sastrawan Mesir, Najib Mahfuzh pada
tahun 1988 (Esposito, 2001: 153). Di samping itu, karya master
piece seperti Alfu-Lailah wa Lailah, Hay bin Yaqdzan, kalilah wa
Dimnah sudah dikenal dengan baik dalam kancah dunia sastra.
Apalagi dengan kemunculan sastrawan kontemporer, Gibran
Kahlil Gibran dengan karya-karyanya yang mendunia.
Populernya karya sastra Arab ini juga terbukti dengan
diterjemahkannya karya-karya tersebut dalam berbagai bahasa.
Sastra Arab dewasa ini merupakan wacana kompleks
yang mengambil berbagai unsur, baik dari khazanah budaya
Arab-Islam masa lalu maupun khazanah tradisi Barat. Sastra
Arab sekarang ini merupakan kekuatan budaya utama di
Timur Tengah. Melalui hubungannya dengan khazanah
- 311 -
warisan tekstual Arab-Islam, sastra Arab tetap menunjukkan
kekhasannya (Esposito, 2001: 158).
Sastra Arab modern mulai berkembang menjelang akhir
abat ke-19. sebelumnya, pada sekitar abat ke-17 dan ke-18,
bangsa-bangsa Timur Tengah (Asia Barat) tampaknya terlelap
dalam arti politik, agama dan kebudayaan. Adanya pertum-
buhan dan perkembangan sastra Arab modern ini disebabkan
adanya akulturasi dengan kebudayaan Barat (Audah, 2002:
366). Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan
sebagai pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu
banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah. Mereka pindah
ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya di negeri ini (Audah,
2002: 364).
Mesir memiliki peranan penting dalam perkembangan
sastra Arab modern. Menurut Sa’dawi (1980: 170), Mesir
merupakan jantung dunia Arab karena posisinya yang
strategis, sebagai pelopor revolusi dalam pergerakan politik
negara-negara Arab, dan juga merupakan pusat kebudayaan
terpenting. Mesir adalah satu-satunya negara Arab pertama di
Timur tengah yang mendapat pengaruh langsung dari Eropa,
sehingga prestasi budaya dan intelektual negara tersebut
berada dalam barisan terdepan di antara negara-negara Arab
yang lain. Mesir merupakan tempat bertemunya dua arus besar
sastra, budaya dan bangsa; yang dikenal dengan sebutan Barat
dan Timur, suatu istilah yang dibuat oleh bangsa Barat (yang
menganggap dirinya lebih berbudaya) untuk membedakan
dirinya dari bangsa Timur yang dianggap “yang lain” (the
others) . Timur diwakili oleh Turki Utsmani, sedangkan Barat
diwakili oleh Perancis yang ditandai dengan ekspedisi secara
besar-besaran yang dipimpin oleh Napoleon Bonarpate (1798).
Sistem patriarkhi yang telah mendominasi dunia selama
ribuan tahun, termasuk yang terjadi di Mesir, mengakibatkan

- 312 -
perempuan berada dalam posisi kelas dua, tertindas dan
menjadi “budak”, khususnya mereka yang berada dalam taraf
ekonomi yang lemah. Perempuan mendapatkan penindasan
dari negara, suami dan keluarga patriarkat (Sa’dawi, 2001: 17).
Pada tahun 1973, Sa’dawi melakukan riset terhadap 160
perempuan Mesir dari berbagai kelompok sosial. Hasil riset
menunjukkan bahwa kekerasan seksual oleh laki-laki dewasa
terhadap anak-anak perempuan atau gadis-gadis muda adalah
yang paling sering terjadi. Kejadian dalam keluarga berpen-
didikan adalah 45% dan dalam keluarga yang tidak berpen-
didikan 33,7% (Sa’dawi, 2001: 38). Akibat kejadian tersebut,
banyak gadis Arab hidup dalam kegelisahan yang terus
menerus terhadap hilangnya keperawanannya sebelum malam
pertama dilalui. Perempuan yang tidak mengeluarkan darah
ketika berhubungan di malam pertama dianggap tidak
perawan lagi dan laki-laki kemudian cenderung menceraikan-
nya tanpa mau mengetahui sebab-sebabnya (Sa’dawi, 2001: 48).
Hasil riset juga menunjukkan 75,6% perempuan menikah
tidak berdasarkan cinta. Banyak istri yang membenci suaminya
namun tidak berani meminta cerai karena akibat yang akan
dideritanya. Kemiskinan dan ketiadaan sumber ekonomi
karena larangan bekerja ketika menjadi istri memainkan
peranan penting sebagai penyebab penderitaan para janda
yang mempertahankan kelangsungan hidup diri dan anaknya
(Sa’dawi, 2003a).
Persoalan penting yang dihadapi perempuan Arab adalah
kehamilan, baik setelah menikah maupun di luar nikah. Bila
seorang perempuan miskin hamil tanpa suami maka hidupnya
akan celaka. Ia harus membayar perbuatannya dengan seluruh
hidupnya meskipun ia sebenarnya tidak bersalah karena hanya
diperkosa dari orang kalangan atas dan kemudian tidak
bertanggung jawab. Para pembantu di bawah umur juga

- 313 -
banyak yang diperkosa oleh majikannya atau anak majikan
yang berada dalam taraf ekonomi yang lebih tinggi. Banyak
anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual baik
oleh bapaknya sendiri atau saudaranya dan tetangganya
(Sa’dawi, 2003a).
Dalam masyarakat pertanian Mesir, sebagian besar
perempuan bekerja keras di ladang, berdampingan dengan
seorang lelaki selama beberapa tahun. Ekonomi negara dan
produksinya dengan demikian tergantung pada petani laki-laki
dan perempuan. Perempuan desa dilarang untuk keluar rumah
kecuali untuk dieksploitir. Inilah keadaan yang menimpa
perempuan desa yang bekerja di ladang. Petani-petani perem-
puan yang bekerja di negara Arab merupakan jumlah terbesar.
Mereka berada di bawah kekuasaan mutlak laki-laki (Sa’dawi,
2001: 372-377).
Mesir dan negara Arab yang lain masih melihat bahwa
perempuan diciptakan dengan kodratnya untuk menjadi ibu
atau istri. Meskipun ia bekerja di luar rumah, ia kemudian
harus juga mengurus keluarga dan anak-anak dan melaksana-
kan tugasnya sebagai istri dan ibu. Kebanyakan sistem di
negara Arab masih jauh dari keadilan. Undang-undang perka-
winan masih memberikan hak kepada suami untuk melarang
istrinya bekerja. Seorang istri bekerja harus berdasar ijin suami.
Kebanyakan perempuan Mesir adalah petani yang
bekarja tanpa upah demi suami dan keluarga. Kenyataan ini
juga berlaku pada perempuan di negara-Arab lainnya. Hampir
seluruh perempuan yang bekarja adalah para petani. Karena
mereka bekerja tanpa upah maka para petugas sensus meng-
abaikan keberadaan mereka dan tidak dihitung sebagai tenaga
produktif. Perempuan-perempuan pekerja tersebut memainkan
peran penting dalam usaha pembebasan perempuan Mesir.
Sebagian dari mereka menolak menikah untuk menghindari

- 314 -
ketidakadilan dan perampasan hak sebagai istri dan
perempuan.

F. Contoh Analisis

PEREMPUAN DALAM NOVEL


MAUTUR RAJULIL WAHIDI ALAL ARDHI (MRWA)

Perempuan dalam budaya Mesir selalu di nomor duakan


dalam berbagai aspek kehidupan (Sa’dawi, 2001: 21), termasuk
dalam hal pendidikan. Hal ini membuat mayoritas perempuan
kemudian tidak lebih berharga dibanding kaum lelaki,
cenderung pasif dan tertindas. Di antara bentuk penindasan
terhadap kaum perempuan dalam novel ini adalah pelecehan
seksual yang dilakukan oleh kaum laki-laki yang identik
dengan penguasa. Misalnya, dalam novel MRWA ini, tokoh
Umdah memperkosa hampir seluruh gadis di desanya melalui
tabib atau dukun haji Ismail dan kepala keamanan, tuan
Zuhran. Di antara gadis tersebut adalah Nafisah, Zainab, dan
bahkan Zakiyah, istri adiknya.
Penindasan juga dilakukan oleh penguasa terhadap
rakyat. Umdah sebagai kepala desa dengan dibantu kepala
keamanan, tuan Zuhran memaksa rakyat untuk membayar
pajak. Buruh tani yang tidak mampu membayar pajak
kemudian berhutang kepada pemerintah. Dengan hutang
inilah kemudian rakyat menjadi takut dan tergantung pada
penguasa. Di antara ketergantungan tersebut tampak pada
kutipan berikut:
...Umdah mampu menghentikan sesuap kehidupan
mereka. Jika sampai Umdah marah, hutang-hutang
mereka akan berlipat ganda dan teguran-teguran
pemerintah akan terus mengancam mereka; apakah

- 315 -
membayar secara kontan atau menyerahkan tanah
untuk disita? (Sa’dawi, 2003b: 176)

Penguasa memanfaatkan kekuasaannya untuk memutar


balik fakta demi kepentingan penguasa. Dalam novel ini, tokoh
umdah melalui orang kepercayaannya, tuan Zuhran menuduh
Ulwan memperkosa Nafisah. Pada hal, Umdah sendiri yang
memperkosanya. Tuan Zuhran menuduh Kufrawi sebagai
pembunuh Ulwan. Pada hal, Tuan Zuhran sendiri yang mem-
bunuhnya. Jalal dituduh mencuri uang negara, padahal oknum
pemerintahan sendiri yang meletakkan uang tersebut di rumah
Jalal. Pemutarbalikan fakta ini hanya karena Umdah, sang
penguasa menginginkan Zainab tetap melayaninya.
Dalam budaya Mesir, seorang suami berhak untuk
melarang istrinya pergi kapan pun ia mau (Sa’dawi, 2001: 387).
Dalam novel ini, Jalal dijauhkan dari Zainab dengan memen-
jarakannya. Ketika seorang laki-laki Mesir ingin menikah, ia
cenderung memilih gadis yang lebih muda dan masih perawan.
Keperawanan yang ditunjukkan oleh pecahnya selaput dara
pada malam pertama merupakan hal yang amat penting bagi
laki-laki bangsa Mesir (Sa’dawi, 2001:48, 150). Dalam novel ini,
secara jelas, pengarang menampilkan fenomena tersebut. Guru
Hamzawi menikah dengan Fathiyah yang lebih pantas menjadi
cucunya. Tokoh Umdah memperkosa gadis-gadis yang masih
perawan.
Masyarakat Mesir tidak menyukai anak perempuan (
Sa’dawi, 2001: 25). Dalam novel ini, tampak bahwa Fathiyah
merasa senang ketika suaminya menemukan bayi laki-laki
yang selama ini ditunggu-tunggu kehadirannya oleh keluarga
tersebut. Bahkan, guru Hamzawi menikah sampai empat kali
hanya karena belum dikaruniai anak laki-laki. Ibu Zakiyah
sering disiksa ayahnya karena tidak dapat melahirkan bayi

- 316 -
laki-laki. Zakiyah sendiri juga sering dipukuli ketika
melahirkan anak perempuan.
Penguasa memanfaatkan tokoh lembaga agama untuk
melanggengkan kekuasaannya karena rakyat amat patuh pada
imam masjid. Dalam novel ini, tampak bahwa guru Hamzawi
(seorang imam masjid) menjadi kaki tangan Umdah. Lewat
khutbah-khutbah Hamzawi inilah, rakyat dibodohi dengan
mengatakan bahwa Umdah seorang pemimpin yang mulia.
Dalam kaitannya dengan kritik sastra feminis, yang
menjadi pusat perhatian adalah citra dan stereotipe wanita
dalam novel MRWA dengan kesadaran pembaca sebagai
wanita. Wanita dalam novel ini adalah Zakiyah, Zainab dan
Nafisah. Sebagai rakyat, para tokoh wanita ini dioposisikan
dengan tokoh laki-laki sebagai penguasa, yaitu Umdah, tuan
Zuhran, guru Hamzawi dan tabib Ismail. Kritik ini meneliti
kesalahpahaman mengenai wanita dan sebab-sebab mengapa
wanita diabaikan hingga ditemukan ideologi kekuasaan laki-
laki yang androsentris/ patriarkhis.
Berdasarkan penelusuran cerita, ditemukan citra dan
stereotipe wanita serta idiologi patriarkhis. Citra dan stereotipe
ini kemudian ditolak oleh Nawal Sa’dawi sebagai tokoh feminis
melalui tokoh Zakiyah yang merupakan transformasi diri
pengarang. Ia juga menolak ideologi patriarkhis yang berlaku
dalam budaya masyarakatnya.
Penolakan tersebut secara lebih jelas tampak pada
kutipan dan ulasan berikut ini:
1. Wanita distereotipekan sebagai manusia yang lemah,
lembut dan tidak memiliki kekuatan. Hal ini ditolak
pengarang melalui cerita Zakiyah yang setiap hari pergi ke
ladang untuk mencangkul dan menggembalakan kerbau
dari terbit fajar hingga petang menjelang.

- 317 -
‫ ﺗ ﻮن زﻛﻴﺔ ﻗﺪ وﺻﻠﺖ‬،‫ء اﻟﺪﻧﻴﺎ‬ ‫ﻗﺒﻞ أن ﻳﻨ ﺸﺮ ﻧﻮر اﻟ ﺎر وﺗ‬
،‫ﺣﺎﻓﺔ اﻟ ﻋﺔ‬ ‫اﻟﺴﺎﻗﻴﺔ ﻋ‬ ‫إ ﺣﻘﻠ ﺎ ور ﻄﺖ ا ﺎﻣﻮﺳﺔ‬
‫وﺧﻠﻌﺖ ﻃﺮﺣ ﺎ اﻟﺴﻮداء وﺷﻤﺮت أﻛﻤﺎﻣ ﺎ ورﻓﻌﺖ ذﻳﻞ ﺟﻠﺒﺎ ﺎ‬
‫ﻳﺮن‬..‫ور ﻄﺘﮫ ﺣﻮل ﺧﻀﺮ ﺎ ﺛﻢ ﺣﻤﻠﺖ اﻟﻔﺄس و ﺪأت ﺗﻔﺘﺢ رض‬
‫ و ﻋﻀﻠﺖ ذراﻋ ﺎ‬،‫ا ﻘﻮل اﳌﺠﺎورة ﻗﻮ ﺎ ﺛﺎﺑﺘﺎ‬ ‫ﺻﻮت ﻓﺄﺳ ﺎ‬
‫ﺗﺮﻓﻊ اﻟﻔﺄس إ أﻋ ﻛﺄﻧﻤﺎ ﺗﻀﺮب ﺑﮫ اﻟﺴﻤﺎء ﺛﻢ‬...‫ﻗﻮ ﺔ ﻣﺸﺪودة‬
(٩ :‫ﻮي ﺑﮫ إ أﺳﻔﻞ )اﻟﺴﻌﺪوي‬
Sebelum sinar panas menyebar dan menyinari alam
semesta, Zakiyah telah sampai di ladangnya. Ia
menambatkan tali kerbaunya di tepi tanggul, mele-
paskan kerudung penutup kepalanya, menggulung
lengan baju, mengangkat ujung gamis dan mengikat-
nya di sekitar pinggul, kemudian mengambil cangkul
dan mulai menggarap tanah. Suara cangkul yang
melibas tanah itu menggema menyelusup ke lading-
ladang tetangga. Otot lengannya tampak menonjol…
dia mengangkat cangkul setinggi-tingginya, seolah
ingin meruntuhkan langit lantas menghujamkannya
keras ke bawah …
Dari kutipan di atas jelas bahwa seorang perempuan itu
juga kuat sebagaimana laki-laki dan mampu untuk
mengerjakan pekerjaan kasar seperti mencangkul dan
menggembala kerbau. Ideologi patriarkhis menganggap
bahwa laki-laki itu kuat sehingga berkuasa dan menguasai
perempuan yang dianggap lemah. Ideologi ini ditolak
karena perempuan pun juga memiliki kekuatan fisik yang
sama jika sudah terbiasa bekerja sejak kecil.
2. Wanita hanya dipandang dari aspek fisiknya saja; memiliki
lekuk tubuh yang indah dan menggaerahkan laki-laki.
Laki-laki yang mengikuti budaya patriarkhi menganggap
wanita sebagai barang yang menyenangkan, yang bisa
- 318 -
dipakai kapan mereka suka. Ia dipandang bukan dari
aspek manusia yang memiliki kemampuan dan sumber
daya manusia, tetapi dianggap sebagai barang yang menarik
untuk dicicipi dan dinikmati. Laki-laki memandang wanita
dari aspek fisik untuk kepentingan seksualitas, seperti
memiliki tubuh yang indah dan cantik.
‫ ﺬﻩ ﺸﺒﮫ‬:‫وﻗﺮب اﻟﻌﻤﺪة رأﺳﮫ ﻣﻦ رأس ا ﺎج إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ وﻗﺎل‬
‫ أﺧ ﺎ ﺻﻐﺮ‬،‫ إ ﺎ ز ﺐ‬:‫ ورد ا ﺎج اﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺴﺮﻋﺔ‬.‫ﻧﻔ ﺴﮫ‬
... .‫ ﻟﻢ أﻛﻦ أﻋﺮف أن ﻧﻔ ﺴﺔ ﻟ ﺎ أﺧﺖ‬:‫وﺳﺄل اﻟﻌﻤﺪة‬. ‫ﻳﺎ ﻋﻤﺪة‬
‫ﺳﻜﺖ اﻟﻌﻤﺪة‬... ‫ ﺻﻐﺮ داﺋﻤﺎ أﺣ‬... .‫ﻣﻦ ﻌﺾ‬ ‫ﺛﻨﺎن أﺣ‬
‫ﺴ ﻓﻮق‬ ‫ﻳ ﺐ اﻟﻔﺎرع اﳌﺸﻮق و‬.‫ﻃﻮ ﻼ وﻋﻴﻨﺎﻩ ﺗ ﺒﻌﺎن ﺟﺴﺪ ز‬
‫ ردﻓﺎ ﺎ اﳌﺴﺘﺪﻳﺮان ﻳﻀﺮ ﺎن ا ﻠﺒﺎب اﻟﻄﻮ ﻞ ﻣﻦ‬.‫ا ﺴﺮ‬
‫ و ﺪا ﺎ اﳌﺪﺑﺒﺎن ﻳﺼﻌﺪان و ﺒﻄﺎن ﻣﻊ ﺣﺮﻛﺔ ﺳﺎﻗ ﺎ‬،‫ا ﻠﻒ‬
‫اﻟﻄﻮ ﻠﺘ ن اﳌﻤﺸﻮﻗﺘ ن اﳌﻨ ﻴﺘ ن إ ﻛﻌﺒ ن ﻧﺎﻋﻤﻴﺖ ﻣﺘﻮردﻳﻦ‬
(٢٦-٢٥ :‫)اﻟﺴﻌﺪوى‬
Umdah mendekatkan kepalanya ke haji Ismail dan
berkata” Perempuan itu mirip dengan Nafisah”. “Dia
Zainab adiknya, jawab haji Ismail spontan. Umdah
bertanya lagi,” aku tidak tahu jika Nafisah mamiliki
adik”… dan seorang adik itu biasanya lebih
manis… Umdah terdiam sekian lama. Kedua
matanya terfokus pada tubuh Zainab yang tinggi
langsing yang berjalan melintas tanggul. Pantatnya
yang padat bundar menggerak-gerakkan gamisnya
yang panjang dari belakang. Buah dadanya yang
kenyal bergoyang-goyang bersamaan dengan gerak
kakinya yang panjang langsing yang berujung pada
dua mata kaki yang berwarna merah lembut.

3. Dari kutipan tersebut nampak bahwa laki-laki memandang


wanita bukan dari kemampuannya melainkan dari bentuk
- 319 -
fisiknya yang menarik untuk memenuhi kebutuhan
seksualitasnya. Seorang laki-laki ketika melihat seorang
perempuan langsung dikaitkan dengan keinginan biologis
dan menganggap wanita sebagai barang untuk dinikmati
dan makanan untuk dicicipi. Perlakuan laki-laki seperti ini
berada di mana saja dan kapan saja karena kesadaran
bahwa perempuan itu juga memiliki kemampuan dalam
urusan publik belum sepenuhnya diakui, bahkan oleh
beberapa kaum wanita itu sendiri. Pada kutipan ini tampak
bahwa pengarang ingin mengungkapkan bagaimana laki-
laki yang androsentris memandang wanita.
4. Laki-laki berkuasa dalam rumah tangga, baik kepada istri
maupun kepada anak. Laki-laki dianggap sebagai
pemimpin bagi kaum perempuan. Segala hukum yang
berlaku adalah hukum kaum laki-laki dan perempuan
tidak boleh menolaknya atau sekedar membuat pilihan
yang terbaik untuk diri dan masa depannya. Wanita yang
menolak akan mendapat pukulan dan siksaan.
‫ﺑ ﺖ ﻋﻤﺪة وﻟﻜﻨﮫ اﺧﺘﺎر‬ ‫اﻟﻜﻔﺮ ﺗﺘﻤ أن ﺗﺨﺪم‬ ‫أﻟﻒ واﺣﺪة‬
‫ أﻧﺎ ﻣﻮاﻓﻖ ﻳﺎ ﺷﻴﺦ ز ﺮان وﻟﻜﻦ‬:‫وﻗﺎل ﻛﻔﺮوي‬...‫اﺑ ﺘﻚ ﻳﺎ ﻛﻔﺮاوي‬
‫ و ﻞ ﻛﻼم اﻟﺒ ﺖ‬:‫ ورد ﺷﻴﺦ ا ﻔﺮ ﺑﺤﺪة‬.‫اﻟﺒ ﺖ راﻓﻀﺔ ﻛﻤﺎ ﺗﺮى‬
‫ ﻛﻼﻣﻲ أﻧﺎ‬:‫ﺑ ﺘﻚ ﻳﺎ ﻛﻔﺮاوي؟ وﻗﺎل ﻛﻔﺮوي‬ ‫ﻨﺎ‬ ‫ﻮ اﻟﺬي ﻳﻤ‬
‫ ﺮان‬. ‫ وﻟﻜﻦ ﻣﺎذا أﻓﻌﻞ؟ ورد اﻟﺸﻴﺦ‬،‫ﻳﺎ ﺷﻴﺦ ز ﺮان‬ ‫اﻟﺬي ﻳﻤ‬
‫ اﺿﺮ ﺎ ﻳﺎ‬.‫ ﻣﺎذا أﻓﻌﻞ؟ و ﻞ ﺬا ﺳﺆال ﺴﺄﻟﮫ رﺟﻞ‬:‫ﺑﺤﺪة أﺷﺪ‬
‫ أﻻ ﻌﺮف أن اﻟﺒﻨﺎت واﻟ ﺴﻮان ﻻ ﺴﻤﻌﻦ إﻻ‬. ‫أ‬
‫ﺻﻌﺪ إﻟ ﺎ أﺑﻮ ﺎ ﻓﻮق اﻟﻔﺮن وﺿﺮ ﺎ وﺷﺪ ﺎ وﺳﻠﻤ ﺎ‬...‫ﺑﺎﻟﻀﺮب؟‬
(٣٦-٣٥ :‫ﻟﺸﻴﺦ ا ﻔﺮ ) اﻟﺴﻌﺪوي‬
Ada seribu satu orang Kafr Thin berangan-angan
untuk dapat bekerja dirumah Umdah, tapi Umdah
lebih memilih anakmu, karena dia menganggap
- 320 -
bahwa engkau laki-laki yang baik dan jujur serta
punya pendirian. Jika kukatakan kepadanya bahwa
kalian menolaknya apa yang akan dikatakannya?
“Aku sepakat, tuan Zuhran. Tapi anakku
menolaknya seperti yang engkau lihat, sahut
Kufrawi. “apakah perkataan anakmu yang berlaku
sebagai hukum di rumahmu ini?!” tanya kepala
keamanan itu dengan geram. “Perkataankulah yang
berlaku di sini tuan Zuhran, tapi, apa yang harus
aku perbuat?”. “Apa yang harus engkau lakukan?
Inikah pwertanyaan yang dilontarkan oleh seorang
lelaki? Cambuk dia saudaraku! Apakah engkau
tidak tahu bahwa perempuan dewasa, tidak akan
memenuhi perintah kecuali jika dipukul?” timpal
tuan Zuhran dengan suara yang Kufrawi pun
berteriak memanggilnya dengan suara berwibawa,
“Nafisah, keluar dan ke sini, cepat!”. Dan ketika
Nafisah datang, dia pun datang menghampirinya
di balik tungku pembakaran roti lalu mencambuk-
nya, menarik tangannya dengan paksa dan menye-
rahkannya kepada tuan Zuhran.
Dari kutipan tersebut jelas bahwa seorang anak perempuan
berada dalam kekuasaan ayahnya (Kufrawi terhadap
Nafisah) dan setelah menikah berada dalam kekuasaan
suaminya (Jalal melarang Zainab bekerja di rumah Umdah).
Ketika seorang anak atau istri melawan, ia diperlakukan
seperti binatang, tidak diberi kesempatan untuk memberikan
argumentasi, tetapi langsung dicambuk.
5. Dalam budaya patriarkhis anak laki-laki lebih berharga
daripada anak perempuan. Hal ini tampak pula dalam
terjemahan berikut:
“...Aku telah menikah tiga kali, tapi belum
mempunyai keturunan anak laki-laki. Sebelum aku
mati, aku ingin mempunyai keturunan anak laki-
laki”. “Fathiyah masih bocah ingusan sebaya dengan
- 321 -
cucu-cucu kita. ...tampaknya anak itu menguasai
jiwamu....panoramanya telah mengembalikan ruh
kehidupan ke dalam jasadku. O, mengapa jiwaku
sungguh terpesona dengan perempuan seperti
ini?”...tapi apakah engkau mampu menguasainya?...
engkau sudah separuh baya...(Sa’dawi, 1999: .44-45).
Dari kutipan tersebut, dapat dimengerti bahwa seorang
ayah belum puas sebelum memiliki anak laki-laki. Guru
Hamzawi menikah sampai 4 kali hanya karena ingin
memiliki keturunan anak laki-laki yang dianggap lebih
tinggi derajatnya dibanding anak perempuan. Di samping
itu guru Hamzawi juga menikah dengan perempuan yang
lebih muda. Ini menunjukkan bahwa perkawinan itu tidak
saja karena untuk mendapatkan anak laki-laki, tetapi juga
karena pemenuhan gaerah seksualnya di mana perempuan
yang lebih muda lebih menggaerahkan kaum laki-laki.
Perempuan sendiri juga menganggap bahwa anak laki-laki
lebih tinggi dari anak perempuan. Oleh karena itu, dalam
novel ini digambarkan bagaimana anak yang dianggap
haram oleh penduduk Kafr Thin itu dipelihara oleh
Fathiyyah, bahkan ia rela bertarung dengan penduduk
sehingga nyawa anak dan ibu itu melayang.
6. Yang bekerja di sektor domestik adalah perempuan. Hal ini
tergambarkan di dalam novel ini, bahwa wanita selain
bekerja di ladang juga bekerja sebagai pembantu di rumah
kepala desa. Selain menjadi pembantu rumah tangga,
mereka juga dipaksa melayani kebutuhan seksual majikan
(Sa’dawi, 2003b: 157-167) dan setelah kepuasan terpenuhi,
mereka dipulangkan dan diganti dengan gadis baru. Dalam
novel ini, juga digambarkan bagaimana seorang kepala
desa berganti-ganti pasangan perempuan dengan kedok
dijadikan pembantu rumah tangga. Hal inilah yang dialami
Nafisah dan Zainab dan juga para gadis di desa tersebut.
- 322 -
7. Penindasan terhadap kaum perempuan tidak saja
dilakukan oleh penguasa negeri, tetapi juga kepala rumah
tangga. Ketika Zakiyah masih menjadi istri Abdul Mun’im
(adik Umdah), Zakiyah sempat ditiduri Umdah. Suaminya
pun memperlakukannya tidak manusiawi. Ia punya anak
16 dan hanya Jalal saja yang masih hidup. Ketika hamil, ia
sering dipukuli, apalagi jika ia melahirkan anak perempuan
(Sa’dawi, 2003: 125).
Berdasarkan kritik moral Josephin Donovan, maka
karakter wanita yang tergambar dalan novel MRWA karya
Nawal Sa’dawi adalah sebagai berikut:

1. Kuat dan Mandiri


Karakter ini dimiliki tokoh utama cerita, yaitu Zakiyah.
Sebagai janda yang ditinggal anaknya ke medan perang,
Zakiyah menggembalakan kerbau di ladang dan mencangkul
untuk sekedar mendapatkan sepotong roti untuk menyambung
hidupnya. Ia berangkat di pagi buta dan pulang saat petang
menjelang. Meskipun ia memiliki keponakan, yaitu Nafisah
dan Zainab, tetapi ia tidak menggantungkan hidup pada
mereka.
Zakiyah menyusuri jalan-jalan sempit, berkelok-
kelok dan dipenuhi kotoran binatang, lantas akhir-
nya tiba di bibir tanggul yang penuh dengan
tebaran batu yang menghitam. Zakiyah berjalan
diikuti oleh kerbaunya...Zakiyah berjalan melintasi
tanggul dan bentangan ladang. Langkahnya masih
belum berubah, meskipun, sinar mentari telah
mulai menerobos pagi (Matinya Seorang Laki-laki
(MS), 2003: 3).
‘Sebelum sinar panas menyebar dan menyinari
alam semesta, Zakiyah telah sampai di ladangnya.
Ia menambatkan tali kerbaunya di tepi tanggul,
melepaskan kerudung penutup kepalanya yang

- 323 -
berwarna hitam, menggulung lengan baju,
mengangkat ujung gamis dan mengikatnya di
sekitar pinggul. Lantas mengambil cangkul dan
mulai menggarap tanah. …Otot-otot lengannya
tampak menonjol...hentakan-hentakan cangkulnya
ganas menikam tanah, seperti wajahnya. Dia
mengangkat cangkul setinggi-tingginya, seolah ingin
meruntuhkan langit, lantas menghujamkannya keras
ke bawah seolah-olah ingin menghancurkan isi bumi
(MS, 2003: 3).
Dari kutipan tersebut, tampak bahwa perempuan sejajar
dengan laki-laki. Tidak hanya laki-laki saja yang kuat fisiknya
dan kemudian kerja di luar rumah untuk mencari nafkah, tetapi
perempuan pun mampu melakukannya. Dengan demikian,
stereotipe bahwa laki-laki lebih kuat fisiknya dan perempuan
itu lebih lemah dapat di tolak oleh novel ini.

2. Berusaha keras untuk mempertahankan harga diri


Karakter ini diperankan oleh tokoh Nafisah, putri
pertama Kufrawi. Ketika kepala keamanan mendatangi rumah
Kufrawi dan meminta agar menyerahkan putrinya kepada
kepala desa, Kufrawi pun takut dan tidak berdaya kemudian
memanggil putrinya, Nafisah agar menurut. Namun, gadis itu
menolak hingga akhirnya disiksa.
“Tapi begitu tuan Zuhran tiba, dia malah
bersembunyi di balik tungku pemanggang roti lalu
menangis terisak, berteriak dan menolak pergi. Dia
lalu mendengar suara tuan Zuhran, “kepala desa
kita itu lelaki mulia, istrinya perempuan asli, dan
engkau akan memperoleh 20 pound pada hari
pertama. Apakah engkau menolak keberuntungan
ini ataukah engkau lebih memilih menjadi fakir dan
lapar karena kemalasanmu, goblok?”...dia
menjawab,”...bukannya aku orang malas tapi aku
tidak ingin pergi ke rumah itu...” (MS, 2003:33-34).
- 324 -
“Aku sepakat tuan Zuhran. Tapi, anakku itu
menolaknya seperti yang engkau lihat,”sahut
Kufrawi. “Apakah perkataan anakmu yang berlaku
dirumahmu ini?! Tanya kepala keamanan itu
dengan geram...”cambuk dia, saudaraku! Apakah
engkau tidak tahu bahwa anak perempuan,
maupun perempuan dewasa, tidak akan mematuhi
perintah kecuali jika dipukul?” (MS, 2003:34-35)
3. Berani mengambil resiko
Keberanian menanggung resiko, di samping diperankan
oleh tokoh Nafisah juga diperankan oleh tokoh Zakiyah.
Keberanian mengambil resiko yang diperankan oleh Zakiyah
adalah keberaniannya untuk membunuh kepala desa dengan
cangkulnya. Ia sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan
Umdah dan bawahannya yang sewenang-wenang terhadap
rakyat kecil, terutama keluarganya. Umdah telah menginjak-
injak harga diri keluarganya, terutama kaum perempuan yang
telah diperlakukan sebagai objek yang tidak manusiawi.

“Umdah melihat Zakiyah berjalan ke arahnya dan


mengira bahwa ia adalah salah satu pekerja di
ladangnya. Tapi, saat Zakiyah mendekatinya, Umdah
melihat lengan Zakiyah yang panjang terangkat ke
udara dan di ujung lengannya tergenggam sebuah
cangkul. Sebelum cangkul itu benar-benar meng-
hantam kepala dan memecahkannya, Umdah telah
melihat sorot matanya dan jatuh pingsan karena
ketakutan (MS, 2003:233).
Adapun keberanian yang ditampakkan oleh tokoh
Nafisah, di samping keberanian menolak perintah pimpinan
desa, ia juga berani untuk pergi meninggalkan desa dalam
kondisi hamil dengan berjalan sendirian berhari-hari tanpa alas
kaki.

- 325 -
“Lelaki itu menatap kedua kakinya yang tidak
beralas dan pecah-pecah dipenuhi debu dan tanah
lantas berkata,”Sudah lamakah engkau berjalan?”.
Perempuan itu berkata sambil menatap ke depan,
”Ya”. “Sepanjang malam?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya”, jawabnya... lelaki itu terdiam dan memandang
ke depan kemudian berkata,” malam amat berba-
haya”. Perempuan itu pun berkata sambil masih
berjalan ke arah jalan,”malam lebih aman dari
siang, paman”. (MS, 2003: 38).
Keberanian mengambil resiko juga diperankan oleh tokoh
Fathiyah, istri Guru Hamzawi. Keberanian Fathiyah ini tampak
ketika rakyat mengepungnya untuk membunuh anak angkat-
nya yang diduga sebagai anak haram dan penyebab musibah
kebakaraan dan kesengsaraan rakyat desa. Fathiyah berlari
dengan menggendong anaknya dan kemudian sempat ber-
tarung mempertahankan diri dan anaknya hingga akhirnya ia
terpelanting bersama anaknya dan meninggal dunia.

“Dengan segera syekh Mutawalli membantunya


membopong tubuh Fathiyyah yang lemah. Sebelum
keduanya menggerakkannya dari tempatnya di atas
tanggul, tubuh itu pun membuka matanya. ....dan
menoleh ke arah sekitar seakan mencari sesuatu...
Syekh Mutawalli menyelidik ke arah sekitar. Lalu
matanya tertumbuk pada sesosok tubuh kecil yang
tergeletak di atas tanggul tidak jauh dari tempat-
nya. Ia datang menghampirinya. Kemudian kem-
bali dengannya. Ternyata, tubuh itu adalah tubuh
seorang anak kecil yang sudah terkoyak. Syekh
Mutawalli meletakkan anak itu di atas dada
Fathiyah...kenudian Fathiyyah tampak memejam-
kan kedua matanya dan tubuhnya pun menjadi
ringan menerima untuk dibawa ke mana saja (MS,
2003:199-200).
- 326 -
Berdasarkan teori Ginokritik Elaine Showalter yang telah
dipaparkan di atas, maka kajian novel ini berfokus pada wanita
sebagai penulis; menganalisis novel Sa’dawi sebagai sastra
wanita. Kritik ini dimulai dengan membebaskan wanita dari
sejarah laki-laki dan tidak lagi menyesuaikan tradisi antara
laki-laki dan wanita, tetapi berfokus pada dunia budaya wanita
yang dapat dilihat. Lewat novel ini, penulis akan mengiden-
tifikasi tulisan wanita (Nawal Sa’dawi) dengan pengalaman
wanita. Penulis akan melihat psikodinamis kreatifitas wanita,
linguistik, dan masalah dalam bahasa wanita.
Kreativitas dan keunggulan Nawal Sa’dawi sebagai
penulis wanita melalui novelnya MRWA tampak pada paparan
berikut ini:

1. Penulis membicarakan potensi perempuan


Dalam novel ini, wanita memiliki potensi yang luar biasa.
Wanita memiliki karakter yang kuat dan mandiri, berusaha
keras untuk mempertahankan harga diri dan berani mengambil
resiko. Karakter tersebut telah penulis paparkan dalam
pembahasan kritik moral di atas.
Perempuan itu tidaklah lemah sebagaimana stereotipe
yang selama ini ada. Dogma agama dengan tafsiran laki-laki
yang kemudian dianggap sebagai ajaran yang harus ditaati lah
yang memperkuat stereotipe bahwa perempuan itu lemah.
Dalam novel ini, digambarkan bagaimana kuatnya seorang
wanita yang bekerja di ladang, mengembalakan kerbau dan
mencangkul. Kemandirian wanita dan potensinya dalam
mencari nafkah ini tentunya tidaklah dapat dikatakan sebagai
suatu kelemahan.
Di samping itu, novel ini pun membicarakan usaha keras
seorang wanita dalam mempertahankan harga diri hingga rela
untuk dicambuk berkali-kali. Jika wanita dikatakan lemah dan
penakut serta tidak bisa mempertahankan harga diri, maka
- 327 -
Nafisah akan tunduk pada perintah Tuan Zuhran untuk
menjadi wanita simpanan Umdah. Namun, ia menolak hingga
dicambuk dan akhirnya dipaksa menurutinya. Nafisah terus
berjuang meskipun akhirnya tidak berhasil menghindar.
Potensi lain yang dimiliki perempuan dalam novel ini
adalah keberanian mengambil resiko. Keberanian mengambil
resiko dalam novel ini diperankan tokoh Zakiyah yang
merupakan tokoh transformasi dari diri penulis. Karena
Zakiyah tidak rela harga diri dan keluarganya diinjak-injak dan
ditindas oleh kesewenang-wenangan kepala desa (Umdah) dan
kaki tangannya, maka ia rela dipenjara karena telah membunuh
Umdah. Penjara ini tentunya lebih memuaskan batinnya
dibanding harus hidup di luar penjara dengan batin yang
tersiksa.

“Sebuah mobil kereta bergerak dan Zakiyah berada


di dalamnya... kereta berhenti di depan sebuah
pintu gerbang yang besar. Lalu ia melangkah
masuk bersama beberapa orang laki-laki dengan
tangan terbelenggu...suatu malam ia tidur di
samping narapidana...(MS, 2003:234-235).
Keberanian mengambil resiko juga diperankan oleh tokoh
Fathiyah. Ia meninggal karena mempertahankan anak angkat
yang dicintainya yang akan dibunuh oleh warga desa. Ia berlari
untuk menyelamatkan anaknya tersebut, tetapi karena warga
terlalu banyak, maka iapun tidak dapat bertahan dan akhirnya
sang anak dan ibu pun meninggal.

1. Penulis berani membicarakan dunia budaya wanita


Dunia budaya wanita yang terjadi dalam masyarakat
mesir adalah tidak diperlakukannya wanita secara manusiawi
dan adil sebagaimana yang terjadi pada laki-laki. Wanita
dianggap sebagai objek dan sebagai “yang lain” yang berbeda

- 328 -
dari laki-laki. Wanita yang tidak tunduk pada perintah laki-laki
(bapak, penguasa desa) dicambuk sebagaimana binatang.

...”cambuk dia, saudaraku! Apakah engkau tidak


tahu bahwa anak perempuan, maupun perempuan
dewasa, tidak akan mematuhi perintah kecuali jika
dipukul?” “Kufrawipun berteriak memanggilnya...
dan ketika Nafisah tidak datang, dia pun datang
menghampirinya di balik tungku pembakaran roti
lalu mencambuknya, menarik tangannya dengan
paksa, dan menyerahkannya kepada tuan Zuhran
(MS, 2003: 35)
“anakku menolak seperti yang engkau lihat, haji
Ismail.” jawab Mas’ud. “Maksudmu, apakah perka-
taan putrimu itu yang menjadi keputusan akhir di
rumahmu ini?” ...Cambuk dia, saudaraku! Apakah
engkau tidak tahu bahwa perempuan tidak dilahir-
kan kecuali untuk dipukul?” (MS, 2003: 50-51)
Wanita juga dijadikan pemuas seksualitas laki-laki tanpa
mengenal batas-batas kemanusiaan. Dalam novel ini, dicerita-
kan bagaimana Nafisah yang masih gadis kemudian dihamili
di luar nikah oleh Umdah. Demikian pula dengan Zainab, adik
Nafisah dipaksa dengan licik untuk bekerja di rumah Umdah
dan melayaninya sebagaimana suami istri. Bahkanm Zakiyah
sendiri sebagai istri kakak Umdah, pernah pula ditiduri
Umdah. Tindakan sewenang-wenang ini kemudian mengobar-
kan api kemarahan para tokoh perempuan hingga akhirnya
menentang penguasa.
Laki-laki memandang wanita bukan sebagai mitra yang
setara dengan dirinya, tetapi sebagai objek, sebagai barang
yang habis manis sepah dibuang. Laki-laki memandang wanita
karena ketertarikan fisiknya yang molek dan menggoda
seksualitasnya.

- 329 -
Kedua mata lelaki itu pun mulai liar memandangi
tubuhnya...jika saja perempuan itu berpaling dan
menyunggingkan senyuman kepadanya sekarang,
maka lelaki itu akan menyandarkan kepala di
dadanya... (MS, 2003: 36,39)
Umdah menyeka air mata dengan telapak tangan-
nya. Umdah merasakan aliran darah panas menjalar
di dadanya. Dia beringsut semakin mendekatinya...
Umdah hampir saja memeluknya... Tapi ia tidak
ingin membuat Zainab ketakutan. Ia harus bersabar
sebentar (MS, 2003: 160).
Zainab menjerit karena tubuhnya jatuh ke lantai.
Sebelum ia menapakkan telapak tangannya ke
lantai untuk mengangkat tubuhnya dan bangkit,
lengan Umdah telah berada di atas pinggulnya
sambil merapatkan tubuhnya (MS, 2003: 165)

IV. Ringkasan
1. Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-
laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi,
sosial atau kegiatan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita
2. Metode analisis kritik sastra feminis didasarkan pada
macam-macam kritiknya, yaitu sebagai berikut.
a. Woman as Reader (wanita sebagai pembaca)
Woman as Reader menempatkan wanita sebagai kon-
sumen dari produk sastra laki-laki dan pembaca
wanita merubah pengertian terhadap teks. Kritik ini
membangunkan kita untuk menandai kode-kode
seksual. Melalui pendekatan “Images of Woman” kritik
ini menentukan bagaimana karakter perempuan
tergambar dalam karya sastra.

- 330 -
b. Wanita sebagai penulis (Ginokritik).
Subyek kritik ini di antaranya psikodinamis krea-
tivitas wanita, linguistik dan masalah dalam bahasa
wanita, karir sastra wanita kolektif, sejarah sastra,
dan studi tertentu terhadap penulis dan karyanya.
Fokus kritik ini adalah wanita sebagai penulis.

c. Reading as Woman
Yang dimaksud dengan Reading as Woman adalah
pembaca yang memandang sastra dengan kesadaran
khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan.
Jenis kelamin ini menimbulkan berbagai perbedaan
perlakuan, baik perbedaan yang ada dalam diri
pengarang, karya sastra, pembaca atau kesemestaan
yang diacunya.

d. Kritik Moral
Kritik moral muncul karena adanya anggapan bahwa
wanita sebagai objek, wanita tidak diperlakukan
sebagai manusia yang berhak menyusun kesadaran-
nya, wanita itu obyek-obyek yang digunakan untuk
mengfasilitasi laki-laki. Dimensi estetik sastra tak
dapat dipisahkan dari dimensi moral.

e. Feminisme Politis
Sebab penindasan wanita adalah patriarkhi yang
telah meletakkan wanita di bawah laki-laki.
Patriarkhi memperlakukan perempuan sebagai laki-
laki yang inferior. Mereka menggunakan kekuatan
untuk membatasi wanita. Menurutnya demokrasi
tidak begitu berpengaruh karena wanita masih terus
dikuasai oleh suatu sistem peranan kejenisan yang
telah menguasai wanita sejak muda.

- 331 -
DAFTAR PUSTAKA

Audah, Ali. 2002. Sastra. dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam


jld IV, Pemikiran dan Peradaban (Taufik Abdullah et al,
Ed.). Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Bunyamin, Bahrun. 2003. Mengenal Novelis Arab Modern.
Makalah dalam jurnal Adabiyyat hal.127-155.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction, Theory and Criticsm
after structuralism. London and Henley: Routledge and
Kegan Paul.
Djayanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah
Pengantar. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Esposito, John L. 2001. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern jld
I. Bandung: Mizan.
Goefe, Philip. 1986. Websters Thirds International Dictionary The
English Language. Sprinfield Massachusset: Merriam W
Inc.
Gunoto, Saparie. 2005. Kritik Sastra dalam Perspektif Feminisme
dalam
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=113881,
Minggu, 3 Juli 2005
Iser, Wolfgang.1978. The Act of Reading, A Theory of Aesthetic
Response. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Moeliono, Anton. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1996. Jakarta:
Balai Pustaka
Newton, K.M. 1990. Twentieth Century of Literary Theory A
Reader. London: Macmillan. Hal. 263-276
Ridwan, Muh.. 1996. Mautur Rajul Al-Wahi:di Alal Ardhi karya
Nawal Saadawi: sebuah tinjauan sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Skripsi FIB UGM
Saadawi, Nawal -2001. Perempuan dalam Budaya Patriarkhi
(dialihbahasakan oleh Zulhilmiyasri dari The Hidden Face

- 332 -
of Eve Woman in the Arab World). Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Saadawi, Nawal -2003a. Wajah Telanjang Perempuan (dialih-
bahasakan oleh Azhariah dari Al-Wajhu Al-Ari Lil Mar’a
Al-Arabiyyah). Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Saadawi, Nawal -2003b. Matinya Seorang Laki-Laki (dialih
bahasakan oleh joko Suryatno dari Mautu ar Rajul al
Wahi:di ala al Ardhi. Yogyakarta: Jendela.
Saadawi, Nawal. 1999. Mautu ar Rajul al Wahi:di ala al Ardhi.
Iskandariyah: Dar wa matabi’ al-mustaqbal
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary
Theory.British: The Harvester Press hal 128-147).
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini
(diterjemahkan oleh Rh. Djoko Pradopo dan Imran T.
Abdullah dari A Reader’s Guide to Contemporary
Literary Theory). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.hal.135-155
Showalter, Elaine. 1985. The New Feminist Criticism, New York:
Basil Blackwell
Suryami. 2001. Eksistensi Perempuan dalam Kumpulan Puisi Mimpi
dan Pretensi Karya Toeti Heraty.Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa

- 333 -
LATIHAN

Jawablah Pertanyaan berikut!


1. Apa yang saudara ketahui tentang kritik sastra feminis?
2. Apa yang melatarbelakangi munculnya kritik feminis dalam
karya sastra?
3. Sebutkan jenis-jenis kritik sastra faminis!
4. Apa yang dimaksud reading as woman?
5. Jelaskan kajian feminis yang menggunakan perspektif
woman as a reader!
6. Apakah yang dibahas dalam kajian feminis pada umumnya
dan bagaimanakah ketika dikaitkan dengan karya sastra?
7. Sebutkan langkah-langkah penelitian yang menggunakan
prinsip kritik sastra feminis !
8. Bacalah skripsi tentang kritik sastra feminis dan
presentasikan hasil bacaan kalian!
9. Kajilah satu cerpen Arab dengan tinjauan kritik sastra
Feminis! Lakukan tugas ini bersama kelompok kalian!
10. Tulislah ringkasan hasil kajian kalian, kemudian unggahlah
di media sosial!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 334 -
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode analisis
resepsi sastra. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis resepsi sastra. Pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian hermeneutik. Mahasiswa diharapkan mem-
pelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.
- 335 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan
dapat:
mendeskripsikan teori resepsi sastra, dan dapat menerapkan
teori tersebut dalam teks prosa Arab.

A. Teori Resepsi Sastra


Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks
sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi
sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan sambutan dan
tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan
golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata
recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai
penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi
diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna
terhadap karya sehingga dapat memberikan respon
terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara
karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai
proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna 2009:
165).
Teori resepsi berpengaruh besar pada cara-cara studi
literer yang kemudian banyak dikerjakan, tetapi jalur yang
dieksplorasikan ternyata tidak terbukti menjadi seterbuka dan
seproduktif seperti diimpikan pada mulanya. Hal tersebut
menjadi benar saat teori resepsi dikonfrontasikan dengan
keberagaman posisi yang diasosiasikan dengan strukturalis,
postrukturalis, atau gerakan avantgarde lain. Dalam teori-teori itu
ditunjukkan bagaimana perkembangbiakan wacana yang
menentang cara yang dominan dalam mempertimbangkan

- 336 -
genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih
produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi
teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu
direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasi-
nya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontem-
porer menjadi lebih tampak.
Hans Robert Jauss merupakan tokoh teori resepsi. Jauss
dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan
sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersem-
bunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep
yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik
atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah
yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya
sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu
menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan
estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya
seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-
masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra
mendapat makna dan fungsinya.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan
bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-
macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi
pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaan-
nya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang
berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Peng-alaman
pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara
tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya
hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini,
kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta
literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang
dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. (Jauss 1983: 21)

- 337 -
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya
sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemaha-
mannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi
bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan
kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesas-
trannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap
sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan
dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari
pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk
dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya
sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan
baru.
Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama
dalam teori resepsi adalah pembaca karya sastra di antara jalinan
segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca.
Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mem-punyai
kekuatan pembentuk sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12)
suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa tertentu
berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu yang
diharapkan.
7 tesis Jauss adalah sebagai berikut:
1. Pembaharuan sejarah sastra menuntut pembuangan pra-
sangka objektivisme historis dan estetika karya sastra dan
penggambaran kenyataan yang tradisional. Karya sastra
adalah orkestrasi yang selalu memberi hal-hal baru bagi
pembacanya.
2. Analisis pengalaman kesastraan pembaca menyisihkan
perangkap-perangkap psikologi yang mengancam-menen-
tang kan skeptisisme-luas
3. Horison harapan- jarak estetik dapat diobjektivikasikan- ada
perubahan horison
4. Ada rekonstruksi horison harapan

- 338 -
5. Teori estetika resepsi tidak hanya menuntut makna dan
bentuk karya sastra dalam penjelasan historis melainkan
menuntut pula kerja individual
6. Analisis sinkronis dan diakronis
7. Sejarah umum
Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan
bahwa karya sastra sejak awal kemunculannya selalu men-
dapatkan tanggapan pembacanya. Apresiasi pembaca pertama
terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tang-
gapan-tanggapan pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14).
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu
yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang
meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang
memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut.
Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca
yang lain disebabkan adanya perbedaan horizon harapan dari
masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa
setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya
penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya
seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya.
Pradopo (2007: 210-211) mengemukakan bahwa pene-
litian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan
penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu
periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada
dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupa-
kan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang
menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap
periode. Karya sastra menurut perspektif estetika resepsi
merupakan gambaran relitas sosial sehingga dapat dibuat
sejarah, dan bukan sebagai imitasi.

- 339 -
B. Horizon Harapan
Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya
sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai
wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison
harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk
masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk
dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang
telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis.
Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan
kondisi tersebut, teks karya sastra mampu mensti-mulus proses
psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang
dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut meng-
implikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang
dibacanya.
Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat
pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan
seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut
Segers (dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan ditentukan
oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang
terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua,
ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks
yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi
dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami,
baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun
dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Hal ini terilhami oleh penyataan Jauss bahwa horizon
harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi (1) pengetahuan
pembaca mengenai genre-genre sastra; (2) pengetahuan dan
pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka
dapat melalui pengalaman membaca karya sastra; (3) penge-
tahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa

- 340 -
sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada
umumnya; dan (4) sidang pembaca bayangan.
Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca
merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menun-
jukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan
interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi
dalam masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca
merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara
pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata
lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan
menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan
historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif
pembaca. Horizon harapan pembaca meng-ubah penerimaan
sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif
menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi
produksi baru yang mendominasi.
Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama
dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman kesas-
traan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang
(Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan
dengan aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut
aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar pembaca, yang
berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat
tinggal, dan agama; (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca;
(3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca;
(4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya
mempertanyakan teks; dan (5) siatuasi penerimaan seorang
pembaca.
Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983:
24) ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum
yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca; (2)
pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang

- 341 -
telah dibaca sebelumnya; dan (3) pertentangan antara fiksi dan
kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks
baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari penge-
tahuan tentang kehidupan.
Estetika resepsi adalah suatu ajaran yang menyelidiki teks
sastra dengan dasar reaksi pembaca yang riil dan mungkin
terhadap suatu teks sastra. Dalam kaitannya dengan orientasi
karya sastra yang dikemukakan Abrams, resepsi sastra ber-
orientasi pragmatis (Teeuw, 1983: 59). Karya sastra ditujukan
kepada pembaca untuk kepentingan pembaca. Pembacalah yang
menentukan makna dan tanpa tanggapan pembaca maka sebuah
Karya sastra tidak dapat dikatakan bernilai. Teori ini dapat
dilakukan untuk menyusun sejarah sastra, yaitu penyusunan
sejarah sastra berdasarkan tanggapan pembaca. Estetika resepsi
membicarakan sejarah karya sastra itu sendiri yang selalu
berubah tanggapannya oleh pembaca.
Perbedaan dalam menanggapi karya sastra itu terjadi
akibat adanya cakrawala harapan yang berbeda-beda.
Cakrawala harapan adalah harapan pembaca terhadap karya
sastra. Cakrawala harapan itu akan dipengaruhi oleh pen-
didikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan dalam
menanggapi karya sastra. Cakrawala harapan menurut Segers
dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu (1) norma-norma sastra yang
pernah dibaca, (2) semua teks yang sudah pernah dibaca, dan (3)
pertentangan antara fiksi dan kenyataan,
Horison harapan pembaca akan selalu berkembang karena
pengalaman yang dimiliki pembaca juga berkembang seiring
perkembangan waktu. Tanggapan pembaca dari waktu ke
waktu akan selalu berkembang sesuai dengan horison
harapannya. Oleh karena itu pembaca dianggap penting dalam
teori estetika resepsi.

- 342 -
Horison pembaca (horizon of expectation) memungkinkan
terjadinya penerimaan dan pegolahan dalam batin pembaca
terhadap teks sastra. Horison harapan pembaca yang bersifat
estetis berupa penerimaan unsur-unsur strukjtur pembangun
karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, dan sebagainya.
Bagi Jauss, karya sastra memiliki implikasi estetik dan historis.
Implikasi estetik muncul apabila sebuah teks dibandingkan
dengan teks lain yang telah dibaca, dan implikasi historis
muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian
penerimaan atau resepsi sebelumnya.

c. Macam-macam pembaca
Penafsiran teks terjadi akibat adanya pertemuan antara
pembaca dan teks sastra. Pembacalah yang memberikan makna
terhadap teks. Dalam menanggapi karya sastra, pembaca selalu
membentuk unsur estetik melalui pertemuan antara horizon
harapan, bentuk teks, dan norma-norma sastrawi yang berlaku.
Pembaca selaku pemberi makna akan senantiasa ditentukan oleh
ruang, waktu, golongan sosial, budaya dan pengalam-annya.
Implikasi estetik terhadap suatu karya sastra terletak pada
kenyataan bahwa resepsi pertama suatu karya oleh pembaca
mencakup pengujian nilai estetiknya dalam perban-dingannya
dengan karya-karya yang sudah dibaca. Kejelasan implikasi
historis mengenai hal ini ialah pemahaman pembaca pertama
akan ditopang dan diperkaya dalam sebuah rantai resepsi dari
generasi ke generasi sehingga makna historis suatu karya akan
diputuskan dan nilai estetiknya dibuktikan (Jauss 1983: 20;
Rokhmansyah, 2011)
Pembaca memungkinkan untuk menampilkan makna
secara tak terbatas, baik pembaca sezaman maupun pembaca
dalam konteks sejarah. Pembaca jelas berbeda antara satu
dengan yang lain, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas

- 343 -
sosial, dan wilayah geografis. Pembaca dalam teori resepsi
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu pembaca biasa
dan pembaca ideal.
Pembaca biasa merupakan pembaca dalam arti sebe-
narnya, yaitu yang membaca suatu karya sastra, bukan sebagai
bahan penelitian. Penelitian untuk pembaca ini dapat dilaku-kan
secara diakronik maupun sinkronik. Adapun pembaca ideal
adalah pembaca yang berpengetahuan. Pembaca ini adalah
pembaca yang kompeten dalam pengetahuan maupun
penguasaan bahasa yang digunakan dalam karya sastra.
pembaca ideal dapat dikatakan sebagai pembaca yang ahli
dalam bidang sastra. Pembaca ini adalah pembaca yang
melakukan pembacaan secara mendalam. Pembaca peneliti
masuk dalam kategori ini.
Pada waktu melakukan interpretasi suatu teks, pembaca
sudah mempunyai bekal yang berkaitan dengan karya yang
dibacanya. Bekal pengetahuan inilah yang selanjutnya
menyediakan kepada si pembaca satu cakrawala harapan.
Kedalaman bekal pembaca diangkat dari gudang pengetahuan
dan pengalamannya, yaitu gudang pembaca yang berisikan
seperangkat norma-norma sosial, historis, dan budaya yang
dimanfaatkan dalam proses pembacaannya (Rokhmansyah,
2011).
Bekal pembaca senantiasa bertambah dan berubah. Latar
belakang pengetahuan mereka berbeda sehingga hasil
penerimaan dan tanggapannya berbeda pula. Keadaan ini
memperlihatkan gejala bahwa dalam tindak pembacaan terjadi
interaksi dialog antara pembaca dengan teks yang dibacanya
yang selanjutnya melahirkan beragam makna. Kehadiran ragam
makna tersebut menunjukkan bahwa sebuah teks jika belum
dibaca, ia masih berada dalam tatanan artefak yang tidak
tersusun rapat. Karya sastra akan berubah menjadi karya seni,

- 344 -
yaitu menjadi objek estetik dan berfungsi estetik, setelah dibaca
atau ditanggapi. Ketika dilakukan pembacaan, teks serasa
bergoyang dan terdapat celah-celah kosong yang dapat diisi oleh
pembaca dengan interpretasinya terhadap teks yang dibaca
(chamamah Soeratno, 2002).

D. Teori penerimaan
Tokoh estetika resepsi dari Jerman, Wolfgang Iser, semasa
dengan Jauss. Beliau membicarakan konsep Wirkung
(pengaruh), yaitu cara sebuah teks mengarahkan reaksi-reaksi
pembaca kepadanya. Teks sastra itu tidak dapat disamakan
dengan objek-objek nyata dari dunia pembaca atau dengan
pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Kurangnya keter-
kaitan antara teks sastra dengan objek nyata tersebut
menghasilkan area ketidakpastian (unbestimmheit). Teks sastra
secara luas dapat didefinisikan sebagai indeterminasi yang
seharusnya tidak hadir dalam tulisan. Secara internal, teks sastra
dikarakterisasi oleh gap-gap atau bagian-bagian indeterminasi.
Hal itu tidak dianggap cela tetapi justru dianggap sebagai
elemen dasar dalam respon estetis (1971: 12 dalam segers, 2000:
36). Gap-gap tersebut merupakan faktor penting dalam
pengaruh yang dikeluarkan oleh teks karena tugas pembaca
adalah untuk mengisinya ruang kosong tersebut (Segers,
2000:36).
Iser menyatakan bahwa fiksi itu bukanlah satu entitas
(kesatuan) yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu
struktur komunikasional. Fokus tidak lagi pada arti dan makna
sastra tetapi pada apa pengaruhnya bagi pembaca. Ini berarti
perhatian difokuskan pada dimensi pragmatik sebuah teks.
Yang dimaksud pragmatik Iser adalah sejalan dengan Morris,
yaitu relasi tanda-tanda tekstual dengan penafsirnya (Iser, 1978:
54 dalam segers, 2000: 40 dalam Jabrohim: 148). Iser menyebut

- 345 -
karya sastra sebagai performative utterance “pengungkapan
performatif”. Hal ini berarti karya sastra harus didasarkan pada
tiga kriteria, yaitu ekspresi pengarang, penggunaan konvensi,
dan partisipasi pembaca.
Ekspresi pengarang seharusnya konvensi yang juga
berlaku bagi penerima (repertoire), yaitu seperangkat norma-
norma sosial, historis dan budaya yang yang diungkapkan oleh
teks yang berasal dari ide filosofis dan sosial yang berlaku
dalam masyarakat pada waktu karya itu diciptakan. Adapun
penggunaan konvensi itu seharusnya disesuaikan dengan
konteks komunikasi. Konvensi harus diarahkan pada prosedur
yang dapat diterima, dapat dikomunikasikan dengan
pembacanya. Sedangkan partisipasi pembaca untuk mau
melakukan komunikasi atau realisasi teks.
Partisipasi pembaca untuk mengungkapkan citraan sastra
dimungkinkan karena pada hakekatnya, dalam teks sastra itu
terdapat tempat-tempat kosong yang menjadi tempat bagi
pembaca untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi.
Kondisi teks seperti inilah yang menimbulkan berbagai ragam
pemaknaan. Teks dan pembaca dengan demikian saling
berdialog (Jauss 1974) dan berinteraksi (Iser 1978). Dalam proses
interaksi tersebut, wujud struktur yang terdapat dalam teks
berperan memberi arahan kepada pembaca yang diangkat dari
repertoire sehingga lahirlah realisasi teks. Teks dan pembaca
sama-sama aktif. Jadi resepsi sastra memberikan penghargaan
penting terhadap keberadaan pembaca.
Setiap tindak pembacaan terdapat dua kutub, yaitu artistik
dan estetik. Kutub artistik mengacu kepada teks yang diciptakan
oleh sang pengarang. Kutub estetik mengacu pada realisasi yeng
terwujud dalam proses pembacaan (Iser, 1975 dalam Chamamah
2002: 149). Jadi resepsi sastra berfungsi menempatkan pembaca

- 346 -
dan proses pembacaan dalam konteks komunikasi dan juga
memperlihatkan suatub teks dalam sejarah perkembangannya.
Iser berdasarkan Ingarden mencurahkan perhatian kepada
potensi yang terkandung dalam karya seni untuk mengadakan
efek tertentu kepada pembaca. Ingarden mengatakan bahwa
karya sastra itu tidak mengikat pembaca secara penuh tetapi
memberikan tempat kosong yang diserahkan pembaca dalam
pengisiannya. Pembaca hanya diarahkan oleh bunyi dan arti
teks dan kemudian mengisi tempat kosong untuk proses
konkretisasi. Tempat kosong itu mengaktifkan daya cipta
pembaca dan menciptakan perspektif dalam bagi sebuah teks
(Innerperspektif) (Teeuw, 1984: 202-203).
Teori penerimaan Iser berdasarkan pada idiologi
humanisme liberal: suatu kepercayaan bahwa dalam membaca
kita harus bersikap luas dan mempunyai akal pikiran yang
terbuka bersedia mempersoalkan kepercayaan kita sendiri dan
mengizinkannya diubah (Eagleton, 1988: 87). Studi yang terkait
dengan teks sastra dan pembaca memerlukan ilmu lain, seperti
semiotik (ilmu tanda untuk mengungkapkan ketandaan teks
sastra), sosiologi sastra untujk mengungkapkan latar belakang
yang membuat komunikasi berkembang dan psikologi sastra
untuk memberi bantuan metodologik dalam meneliti pengaruh
teks terhadap sekelompok pembaca (Segers, 1978: 55, dalam
Chamamah, 2002: 150).
Jauss berorientasi pada bekal pembaca dan seterusnya
digunakan untuk penyusunan sejarah sastra. Iser berorientasi
pada efek teks pada pembaca dan proses pembacaan. Fish
berorientasi pada penyajian tataran gramatikal. Riffaterre
berorientasi pada tanggapan pembaca. Norman Holland
berorientasi pada psikologi sastra. David Bleich dan segers
berorientasi pada penilaian. Dalam pandangan Iser, tugas
kritikus bukan menerangkan teks sebagai obyek melainkan lebih

- 347 -
menerapkan efeknya kepada pembaca. Kodrat teks itulah yang
memungkinkan adanya keanekaragaman kemungkinan
pembacaan sehingga muncul macam-macam pembaca.

E. Teori Estetika Resepsi


Dalam pembicaraan mengenai estetika resepsi, yang
dipentingkan adalah pengaruh karya sastra atau aspek
pragmatis. Estetika resepsi berorientasi pada komunikasi. Jauss
menempatkan teks sastra dalam posisi di tengah-tengah antara
pengarang dan pembaca. Dengan demikian obyek studinya
adalah jaringan hubungan antara teks, pengarang dan pembaca.
Tugas estetika resepsi adalah menyelidiki konkret-isasi pembaca
terhadap teks sastra.
Penelitian sejarah sastra berdasarkan estetika resepsi dapat
dilakukan dengan penelitian sinkronis dan diakronis. Penelitian
Sinkronis berfokus pada tanggapan pembaca pada waktu yang
sama atau sezaman. Adapun penelitian diakronis merupakan
tanggapan pembaca dari waktu ke waktu. Penelitian diakronis
ini secara historis lebih kuat karena mengumpulkan tanggapan-
tanggapan pembaca ahli dari berbagai periode.
Menurut Segers, penelitian estetika dapat dilakukan
melalui angket dengan mengelompokkan pembaca ke dalam (1)
kelompok umum,(2) kelompok Mahasiswa, (3) kelompok
sastrawan, dan (4) kelompok guru atau dosen sastra.
Adapun tanggapan pembaca dapat dilihat dari (1) cetak
ulang, (2) perubahan dari karya sastra menjadi film, (3) adanya
ulasan-ulasan, (4) adanya penerjemahan, dan lain-lain.
Yang menjadi perhatian utama estetika resepsi menurut
Jauss adalah pembaca karya sastra berada dalam jalinan segitiga
pengarang, karya sastra dan pembaca. Dasar dari teori estetika
resepsi adalah bahwa karya sastra itu selalu mendapat
tanggapan dari pembacanya dan termasuk dalam kriteria

- 348 -
penelitian pragmatik yaitu penelitian sastra yang
menitikberatkan pada aspek pembaca sebagai penyambut karya
sastra.

F. Metode Analisis Resepsi Sastra


Penelitian reseptif berkaitan erat dengan penelitian
pragmatik karena keduanya sama-sama mementingan aspek
pembaca. Pragmatik sastra adalah cabang penelitian yang ke
arah aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul atas dasar
ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang sering
melupakan aspek pembaca sebagai pemberi makna. Karena itu,
muncul penelitian pragmatik, yakni kajian sastra yang
berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Aspek
kegunaan sastra ini dapat diungkap melalui penelitian resepsi
pembaca terhadap teks sastra.
Dalam penelitian resepsi sastra dikenal pembaca sebagai
penikmat dan pembaca sebagai penyelamat. Sebagai penikmat,
pembaca akan meresepsi dan sekaligus memberikan tanggapan
tertentu terhadap karya sastra. Sebagai penyelamat, pembaca
yang mau menerima kehadiran sastra, juga akan meresepsi dan
selanjutnya melestarikan dengan cara mentransformasikannya
kepada orang lain.
Penelitian reseptif dapat dilakukan secara eksperimental,
yaitu dengan menyajikan teks tertentu kepada pembaca tertentu,
baik secara individu maupun kelompok, kemudian mereka
diminta untuk mengisi angket yang telah disiapkan peneliti.
Selanjutnya jawaban para responden dianalisis secara sistematik
dan kuantitatif atau kualitatif. Resepsi merupakan gejala
sinkronik dalam hubungannya dengan sastra sejaman, dan
gejala diakronik dalam hubungannya dengan kesinam-bungan
sastra dan penanggapan pembaca yang berturut-turut. Untuk

- 349 -
penelitian eksperimental berarti terfokus pada penelitian
sinkronik.
Penelitian resepsi juga dapat dilakukan dengan jalan kritik
sastra. Pembaca sebagaimana dikatakan oleh Vodicka sebagai
pemeran konkretisasi karya sastra. Dalam kaitannya dengan
resepsi melalui kritik sastra, Vodicka meneliti resepsi penyair
Tsjeko dalam rangka perkembangan sastra modern. Menurut
Vodicka, peneliti harus sadar bahwa yang penting dalam karya
sastra bukanlah tanggapan seorang individu, melainkan
pengritik yang baik mau mewakili norma sastra yang terikat
pada masa tertentu atau pada golongan masyarakat tertentu.
Adapun pendekatan lain terhadap penelitian resepsi
adalah intertekstualitas, penyalinan di mana penyalin
memberikan tanggapan atau catatan, tambahan terhadap
salinannya, penyaduran dengan menyesuaikan dengan norma-
norma baru sehingga muncul pergeseran horison harapannya,
dan penerjemahan.
Penelitian resepsi sastra pada dasarnya merupakan
penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks. Reaksi termaksud
dapat positif dan juga negatif. Resepsi yang bersifat positif,
mungkin pembaca akan senang, gembira, tertawa, dan segera
mereaksi dengan perasannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Mukarovsky (Fokkema, 1977:1347) bahwa peranan pembaca
amat penting yaitu sebagai pemberi makna teks sastra. Karya
sastra hanya artefak yang harus dihidupkan kembali dan diberi
makna oleh pembaca sehingga menjadi obyek estetik.
Pendekatan yang sering digunakan oleh peneliti resepsi
adalah fenomenologi. Peneliti resepsi mencermati gejala yang
tampak pada si pembaca teks sastra, berterima atau tidak
terhadap teks yang dibaca (Ingarden, dalam Iser, 1978:170).
Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum
dikatakan lengkap karena hanya menghadirkan bentuk

- 350 -
skematik dan sejumlah “tempat tanpa batas” yangb perlu
dilengkapi secara individual menurut penghalamannya akan
karya-karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks lain
yang dikenal dengan model sastra perbandingan, dianggap
belum sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi
struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretasi atau
penyelarasan atau pengisian makna oleh pembacanya
berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.

IV. Ringkasan
1. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks
sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi
sambutan atau tanggapan
2. 7 tesis Jauss terdiri atas (1) Pembaharuan sejarah sastra
menuntut pembuangan prasangka objektivisme historis dan
estetika karya sastra dan penggambaran kenyataan yang
tradisional. (2) Analisis pengalaman kesastraan pembaca
menyisihkan perangkap-perangkap psikologi yang
mengancam-menentang kan skeptisisme-luas, (3) Horison
harapan- jarak estetik dapat diobjektivikasikan- ada
perubahan horison, (4) Ada rekonstruksi horison harapan,
(5) Teori estetika resepsi tidak hanya menuntut makna dan
bentuk karya sastra dalam penjelasan historis melainkan
menuntut pula kerja individual, (6) Analisis sinkronis dan
diakronis, dan (7) Sejarah umum.
3. Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya
sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai
wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya.
4. Horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi (1)
pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2)
pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk
sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca

- 351 -
karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap
pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-
hari atau bahasa nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang
pembaca bayangan.
5. Setiap tindak pembacaan terdapat dua kutub, yaitu artistik
dan estetik. Kutub artistik mengacu kepada teks yang
diciptakan oleh sang pengarang. Kutub estetik mengacu
pada realisasi yeng terwujud dalam proses pembacaan.
6. Menurut Segers, penelitian estetika dapat dilakukan
melalui angket dengan mengelompokkan pembaca ke
dalam (1) kelompok umum,(2) kelompok Mahasiswa, (3)
kelompok sastrawan, dan (4) kelompok guru atau dosen
sastra.

- 352 -
DAFTAR PUSTAKA

Chamamah-Soeratno, Siti. 1994. “Penelitian Resepsi Sastra dan


Problematikanya”, dalam Jabrohim (Ed.) Teori Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia dan
IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. hal: 206.
Eagleton. (1988). Teori kesusastraan. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kemenetrian Pendidikkan Malaysia.
Fokkema, D.W. dkk. 1977. Theories of Literature in the
Twentieth Century. London: C. Hurst Company.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading. A Theory of Aesthetic
Receptions. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Jabrohim, dkk. 2003. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception.
Translated from Germany by Timothy Bahti. Minneapolis:
University of Minisota Press.
Nuryatin, Agus. 1998. Resepsi Estesis Pembaca Atas Sri Sumarah
dan Bawuk Karya Umar Kaya. Dalam Jurnal Bahasa dan
Seni “ Lingua Artistik”, No.2 tahun XXI , hlmn,. 130-141.
Semarang: IKIP Semarang
Pradopo, Djoko, Rachmad. 2007. Pengkajian Puisi.
Jogjakarta:Gajah Mada University Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rokhmansyah, Alfian. 2011. Teori Resepsi Sastra Hans Robert
Jauss
http://phianz1989.blogspot.com/2011/01/teori-resepsi-sastra-
hans-robert-jauss.html
Segers, T. Rien. 1978. The Evaluation of Literary texts. Lisse: The
Peter de Ridder Press.

- 353 -
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

- 354 -
LATIHAN

Jawablah Pertanyaan berikut!


1. Jika ditinjau dari 4 tinjauan teori Abrams, teori resepsi
termasuk dalam kategori teori apa ?
2. Sebutkan pengertian resepsi sastra!
3. Apakah yang dimaksud dengan teori penerimaan?
4. Jelaskan penelitian sinkronik dan diakronik
5. Siapakah tokoh teori resepsi sastra? Sebutkan prinsip-
prinsip pemikirannya!
6. Sebutkan 7 tesis Jauss!
7. Jelaskan konsep horison dalam teori Jauss!
8. Sebutkan langkah analisis sastra dengan pendekatan
resepsi!
9. Bacalah di web 2 artikel atau buku tentang teori resepsi dan
presentasikan hasil bacaan kalian di depan kelas!
10. Kajilah satu cerpen berdasarkan teori resepsi!

‫بالتوفيق والسداد‬

- 355 -
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode
hermeneutik kaitannya dengan analisis sastra. Pada akhir bab,
akan disajikan rangkuman dan latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis hermeneutik. Pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian interdisipliner. Mahasiswa diharapkan mem-
pelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.

- 356 -
III. Capaian Pembelajaran MK

Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan


dapat:
mendeskripsikan teori hermeneutik, dan dapat menerapkan
teori tersebut dalam teks prosa Arab.

A. Pengertian
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari
istilah Yunani, yaitu kata kerja herme>neuein, yang berarti
“menafsirkan”, dan kata benda herme>neia, yang berarti “inter-
pretasi atau penafsiran” (Palmer,2003:14). Kata ini kemudian
diasosiasikan pada dewa Hermes. Palmer menjelaskan bahwa
mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang
diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga
makna dasar dari kata kerja herme>neuein, yaitu mengungkap-
kan kata-kata, menjelaskan dan menerjemahkan.
Secara terminologis, terdapat banyak pengertian yang
diberikan para tokoh mengenai hermeneutik yang semuanya
berpangkal pada interpretasi. Hermeneutik merupakan usaha
untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang
lebih terang. Jadi, dalam waktu seseorang menafsirkan sesuatu,
ia melewati suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas menuju
ke yang lebih jelas. Bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah
menjadi bentuk pemikiran yang lebih jelas itulah menafsirkan
(Hardiman, 2002).
Sebagai tokoh sastra, Abrams (1981) memberikan
pengertian hermeneutik dalam makna luas dan sempit dalam
kaitannya dengan interpretasi karya sastra. Menurutnya,
menginterpretasi karya sastra dalam makna sempit berarti
- 357 -
menerangkan arti bahasanya dengan cara analisis, paraphrase,
dan mengomentarinya. Fokus utama interpretasi adalah pesan
yang masih kabur dan tidak jelas, ambiguitas dan penuh kiasan.
Dalam makna luas, menginterpretasi karya sastra berarti
membuat jelas arti keseluruhan karya sastra dengan meng-
gunakan bahasa sebagai mediumnya. Interpretasi dalam arti
luas ini mencakup penafsiran berbagai aspek seperti genre (jenis-
jenis karya), elemen-elemen, struktur, tema dan pengaruhnya.
Bleicher (Permata, 2003 pen.) mengatakan bahwa herme-
neutik secara umum berarti suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna. Di dalam kelompok sastra Anglo Amerika,
istilah hermeneutika juga disinonimkan dengan interpretasi.
Referensi utamanya adalah pemahaman teks, khususnya teks
teologi (Hawthorn, 1994).
Hermeneutik pada mulanya digunakan untuk menafsir-
kan kitab suci. Di dalam mitologi Yunani ada tokoh bernama
Hermes. Menurut mitos, Hermes bertugas menafsirkan
kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Jadi hermeneutik kitab suci artinya menafsirkan kehendak
Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab
suci (Hardiman, 2002).
Sejak abad 19, istilah “hermeneutik” digunakan untuk
menandai teori umum tentang interpretasi (Abrams, 1981,
Beckson & Ganz, tt). Oleh karena itu, formulasi prosedur dan
prinsipnya mencakup penangkapan arti pada seluruh teks yang
ditulis, termasuk keabsahannya, pemaparannya, dan kesastra-
annya sebagaimana ada dalam teks injil (Abrams, 1981). Jadi
sejak abad ke-19 pengertian itu diperluas dalam berbagai
bidang; menafsirkan karya sastra, hukum atau teks-teks ilmu
sosial (Becson & Ganz, tt). Sejak abat 19, hermeneutik sudah
tidak sekedar digunakan untuk interpretasi teks kitab suci saja

- 358 -
melainkan sudah digunakan untuk menafsirkan berbagai
bidang ilmu, khususnya ilmu humaniora (Geisteswissenschaften).
Definisi terminologis di atas akan lebih jelas jika dikaitkan
dengan definisi terminologis yang dikemukakan oleh Palmer
(2003: 38) berikut ini. Menurut Palmer, ada enam definisi
modern hermeneutik. Definisi ini cenderung bersifat historis,
kronologi makna interpretasi. Enam definisi yang dimaksud
adalah sebagai berikut:

1. Hermeneutika adalah teori eksegesis Bible.


Secara historis, pemahaman pertama tentang herme-
neutik merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bible. Di
Inggris dan selanjutnya di Amerika, penggunaan kata
“hermeneutik” merujuk secara khusus pada penafsiran Bible.
Penggunaan pertama kali dicatat Oxford English Dictionary
(1737), yang mengartikan “hermeneutik” dengan “bersikap
bebas dengan tulisan suci”.

2. Hermeneutik sebagai metodologi filologi.


Perkembangan rasionalisme mempunyai pengaruh besar
terhadap hermeneutika Bible. Tantangan interpretasi selan-
jutnya adalah untuk membuat Bible relevan dengan pikiran
rasional manusia masa pencerahan. Jika terdapat rasionalitas
dalam interpretasi maka hermeneutik dapat pula diterapkan
pada disiplin ilmu lain. Dalam perkembangan selanjutnya (abad
18), hermeneutik digunakan dalam metodologi filologi. Sejak
masa pencerahan hingga sekarang, metode penelitian Bible
tidak dapat dibedakan dengan metodologi filologi. Konsepsi
hermeneutik yang jelas-jelas bernuansa Bible secara perlahan
menjelma ke dalam hermeneutika sebagai kaidah-kaidah umum
dari eksegesis filologi, dengan Bible sebagai salah satu obyek
filologi.

3. Hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik

- 359 -
Pengertian ini berangkat dari pendapat Schleiermacher
yang punya distingsi tentang pemahaman hermeneutika sebagai
“ilmu” atau “seni” pemahaman. Hermeneutik dalam pengertian
ketiga ini merupakan sistematisasi-koherensi, seba-gai ilmu
yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam
semua dialog. Hermeneutik tidak lagi filologis melain-kan
hermeneutik umum yang prinsip-prinsipnya dapat diterapkan
dalam semua ragam interpretasi teks.

4. Hermeneutik sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswis-


senchaften
Pengertian ini mengacu pada pendapat Dilthey yang
menyatakan bahwa hermeneutik merupakan inti disiplin yang
dapat dijadikan fondasi bagi Geisteswissenchaften, yaitu semua
disiplin yang mengfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan
tulisan manusia. Menurut Dilthey, untuk menafsirkan ilmu-ilmu
kemanusiaan diperlukan tindakan pemahaman historis. Dengan
demikian pengetahuan pribadi mengenai apa yang
dimaksudkan manusia menjadi penting.

5. Hermeneutik sebagai Fenomenologi Dasein dan pemahaman


eksistensial
Pengertian ini dipelopori oleh Martin Heidegger. Her-
meneutik dalam konteks ini dianggap sebagai penjelasan
fenomenologi tentang keberadaan manusia. Jadi hermeneutik
tidak lagi mengacu pada ilmu interpretasi atau metodologi
pemahaman, tetapi pada penjelasan fenomenologis mengenai
keberadaan manusia itu sendiri. Pemahaman dan interpretasi di
sini merupakan model dasar keberadaan manusia. Dengan
demikian, hermeneutika dasein Heidegger dapat bersifat
melengkapi, sejauh dapat merepresentasikan ontologi pema-
haman. Selanjutnya menurut Gadamer, hermeneutik adalah
pertemuan dengan ada (being) melalui bahasa.

- 360 -
6. Hermeneutik sebagai sistem interpretasi: menemukan makna
melalui ikonoklasme
Menurut Paul Recoeur, hermeneutika berfokus pada
eksegesis tekstual. Hermeneutika adalah teori tentang kaidah-
kaidah yang menata sebuah eksegesis. Hermeneutika adalah
sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dianggap sebagai sebuah teks.
Interpretasi mimpi termasuk hermeneutik. Mimpi adalah teks,
teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik. Psikoanalisa
menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan
penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna
tersembunyi. Obyek interpretasi adalah teks dalam pengertian
yang luas. Obyeknya dapat berupa mimpi, mitos-mitos dalam
masyarakat atau karya sastra. Ricoeur membedakan simbul
univokal dan equivokal. Simbul univokal adalah tanda dengan
satu makna yang ditandai. Simbul equivokal adalah tanda
dengan multi makna. Simbul equvokal inilah yang menjadi
fokus hermeneutik (Palmer, 2003: 38-49).
Proses hermaneutik itu berawal ketika seorang penutur
mencoba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-
kata yang memiliki makna objektif yang dapat dimengerti
pendengarnya. Kemudian pendengar melakukan proses
subyektifikasi, yaitu memahami kata-kata atau percakapan
tersebut sesuai dengan pemahamannya. Kemudian penafsir itu
mengembalikan kata-kata itu ke makna aslinya, sabagaimana
yang dimaksudkan penuturnya sebelum dipadatkan dalam
bentuk kata-kata.
Hermeneutik adalah fenomen khas manusia. Seseorang
menafsirkan karena ada bahasa yang merupakan simbol. Salah
satu gejala yang membedakan manusia dengan hewan adalah
manusia itu berbahasa, memakai lambang, berupa bahasa.
Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah animal simbolicum

- 361 -
atau langue-using animal. Karena manusia selalu berbahasa maka
manusia pun tiada berhenti menafsirkan. Dengan demikian
hermeneutik merupakan gejala khas manusia. Manusia punya
kecenderungan untuk selalu memberi makna. Manusia adalah
makhluk yang mampu memberi makna kepada realitas dengan
bahasa sebagai peranan sentralnya. Merleau Ponty mengatakan
bahwa man is condemned to meaning. Memberi makna sama
dengan memahami. Proses memahami bahasa tersebut terkait
dengan hermeneutik (Hardiman, 2002).
Bahasa terdiri atas kata-kata dan kalimat yang memiliki
makna sesuai dengan konteks. Dua kalimat yang sama bisa
berarti beda jika konteksnya berbeda. Konteks ini disebut pula
gaya bahasa. Konteks yang lebih luas lagi dari GB adalah gaya
sastra (literary genre) . Gaya sastra erat kaitannya dengan konteks
sosial. Dengan demikian, gaya sastra mampu mengungkapkan
psikologis suatu bangsa dan kedudukan karya tersebut dalam
masyarakat(Hardiman, 2002).
Menurut Hidayat, 1996), hermeneutika sebagai ilmu
interpretasi merupakan proses yang bersifat triadik (mem-
punyai tiga aspek yang saling berhubungan), yaitu dunia teks
(the world of the text), (b) dunia pengarang (the world of author),
dan (c) dunia pembaca (the world of reader) (Hidayat: 1996: 3). Hal
ini berarti seseorang yang melakukan tindak interpretasi tidak
dapat lepas dari tiga aspek pokok tersebut.
Teks adalah wujud ekspresi bahasa yang mengandung
substansi materi. Dalam teks terdapat proses penciptaan dan
proses penerimaan yang tentu saja terkait dengan dimensi
tempat, ruang dan waktu. Karena teks bermedium bahasa dan
bahasa merupakan produk budaya maka teks terkait dengan
latar budaya yang memiliki ketentuan-ketentuan yang
mengikat. Termasuk teks, Al-Quran, diwahyukan pertama kali
untuk komunitas bangsa Arab. Oleh karena itu, Al-Quran

- 362 -
berbahasa Arab, mengikuti konvensi bahasa, sastra dan budaya
Arab pada saat teks tersebut diturunkan.
Persoalan yang muncul berkaitan dengan hermeneutik
adalah sebagaimana ungkapan Newton bahwa kata-kata yang
ditulis pada masa lampau (khususnya) masih tetap ada
sebagaimana asalnya, namun konteks yang menghasilkan kata-
kata itu yang sudah tidak ada lagi pada saat ini (1990: 103). Itulah
yang kemudian memunculkan berbagai pendapat dari para
tokoh terkait dengan kerja hermeneutika.

B. Para Tokoh Hermeneutik


Tokoh-tokoh hermeneutik yaitu (1) F.D.E. Schleiermacher
(1768-1834), (2) Wilhelm Dilthey (1833-19211), (3) Emilio Betti, (4)
E.D. Hirsch, (5) Bultmann, (6) Martin Heidegger (1889-1976), (7)
Hans Georg Gadamer, (8) Jurgen Habermas, (9) Paul Recoeur.
Adapun pemikiran para tokoh tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut.

1. Dua pendahulu Schleiermacher (F. August Wolf & F. Ast)


Tokoh yang berjasa besar kepada Schleiermacher dengan
konsep hermeneutikanya adalag filolog pada masanya, yaitu
Friedrich Ast (1778-1841) dan Friedrich August Wolf (1759-1824).
Hasil dialog kritis dengan kedua tokoh tersebut kemu-dian
melahirkan hermeneutika modern. Jadi penelusuran singkat
mengenai dua tokoh ini diperlukan untuk mengetahui
hermeneutika filologis pada masa Schleiermacher.
Friedrich Ast menerbitkan dua karya utama mengenai
filologi pada tahun 1808, yaitu: (1)Grudlinien der Grammatik,
Hermeneutik und Kritik ( Basic Elements of Grammar, Hermeneutiks
dan (2)Criticism dan Grundriss der Philologie (Outlines of Philology).
Dua buku inilah yang menjadi rujukan utama Schleiermacher.
Buku pertama menjelaskan tentang tujuan dan obyek studi
filologi. Bagi Ast, tujuan dasar filologi adalah untuk menangkap
- 363 -
spirit antiquitas (geist jaman kuno) yang diterima dengan sangat
jelas dalam warisan literatur. Filologi merupakan wahan untuk
menangkap isi luar dan dalam sebuah karya sebagai satu
kesatuan. Karena pertemuannya dengan spirit maka studi
filologi memiliki nilai spiritual. spirit antiquitas tidak dapat
ditangkap tanpa melihat kata karena bahasa merupakan media
utama bagi transmisi spiritual. Untuk mempelajari tulisan jaman
kuno dibutuhkan gramatika. Membaca karya lama tersebut
dilakukan untuk memahami dan menjelaskan kebenarannya.
Jadi belajar bahasa kuno harus terkait dengan hermeneutika
(Palmer, 2003: 85-91).
Selanjutnya, Friedrich August Wolf mendefinisikan
hermeneutika sebagai ilmu tentang kaidah yang dengannya
tanda-tanda dikenali (sekumpulan kaidah-kaidah). Setiap
kaidah akan dicapai melalui praktek. Tujuan hermeneutika
menurut Wolf adalah untuk menangkap pikiran yang ditulis
atau bahkan dikatakan oleh pengarang seperti yang dia
inginkan. Interpretasi adalah dialog dengan pengarang.
Maksudnya interpreter harus peka dalam memahami maksud
yang dikehendaki pengarang sehingga dapat menjelaskan
kepada orang lain. Ia harus memiliki bakat umum untuk
berempati dengan pikiran-pikiran orang lain, memiliki
kecerahan jiwa yang dengan cepat membiasakan dirinya sendiri
untuk lebur pada pikiran-pikiran asing. Eksplanasi harus
didasarkan pada pemahaman dan bahasa menjadi penting
untuk eksplanasi tersebut (Palmer, 2003: 91-92). Dua tokoh inilah
yang berpengaruh secara kuat bagi hermeneutika
Schleiermacher.

2. F.D.E. Schleiermacher (1768-1834)


Ahli teologi Jerman, Friedrich Schleiermacher merupakan
orang pertama yang meletakkan teori tentang “hermeneutik

- 364 -
umum” sebagai “seni memahami” teks apapun jenisnya
(Abrams: 1981).
Menurut orang romantik Jerman ini, kalimat yang
diucapkan memiliki dua momen pemahaman, yaitu apa yang
dikatakan oleh konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh
pembicara. Sebelum manusia mengucapkan sesuatu tentu ia
memikirkannya terlebih dahulu. Dengan demikian, ada jurang
pemisah antara berbicara (berpikir yang sifatnya internal) dan
ucapan (yang bersifat aktual). Jeda dari pikiran ke ucapan ini
mengakibatkan tidak adanya impresi langsung sehingga dapat
menimbulkan kesalahan linguistik. Untuk itulah diperlukan
hermeneutik yang menjembataninya (Sumaryono, 1993).
Friedrich Schleiermacher menawarkan rekonstruksi
historis, obyektif dan subyektif dalam penafsiran. Maksudnya,
dengan rekonstruksi obyektif historis, seseorang dapat mema-
hami pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai
keseluruhan. Adapun rekonstruksi subyektif historis maksud-
nya seseorang dapat membahas awal mula sebuah pernyataan
masuk ke dalam pikiran seseorang (Sumaryono, 1993).
Istilah “lingkaran hermeneutik” dikemukakan pertama
kali oleh Schleiermacher, yaitu awal abad ke-19. pada akhir abad
ke-19 pengertian tersebut dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey.
Maksud dari lingkaran hermeneutik adalah bahwa setiap
bagian dari suatu peristiwa hanya dapat dipahami dalam
konteks keseluruhan bagian-bagiannya, dan juga sebaliknya.
Jadi terdapat hubungan timbal balik antar kata, kalimat,
paragraf dan wacana secara keseluruhan (Becson & Ganz, tt).
Jadi menurutnya, pemahaman dapat kita peroleh dengan
melihat bagaimana semua bagian itu berhubungan satu sama
lain. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah “lingkaran
hermeneutika” oleh Dilthey (Hawthorn, 1994).

- 365 -
Friedrich Schleiermacher mengemukakan pandangannya
mengenai pemahaman intuitif ( divinatorisches Verstehen). Sebuah
tafsir membutuhkan intuisi tentang karya yang sedang
dipelajari. Menurutnya, perlu dilakukan rekonstruksi imajinatif
atas situasi zaman dan kondisi batin pengarang dan berempati
dengannya (Hardiman, 2002). Dengan demikian, dia mem-
fokuskan pada pengarang sebagai obyektivikasi hermeneutik
dan steril dari intervensi historisitas penafsir. Jadi penafsir
melepaskan diri dari konteks sosial budayanya untuk bisa
masuk ke dalam konteks sosial budaya pengarang.
Menurut Schleiermacher, untuk memahami suatu teks
harus dijembatani dengan memahami si pengarang, karena
interpretasi teks berarti pula interpretasi psikologis. Menu-
rutnya, untuk memahami teks, seseorang dituntut untuk keluar
dari zaman hidupnya sekarang dan kemudian merekonstruksi
zaman si pengarang dan menampilkan kembali suasana saat ia
menulis teksnya. Dengan demikian Schleiermacher kurang
memperhatikan rentang waktu yang panjang antara pengarang
dan pembaca sebagai penafsirnya. Interpreter hanya berupaya
menyusun kembali (reproduksi) teks aslinya (Newton, 1990).
Inilah yang kemudian dipermasalahkan oleh tokoh berikutnya,
seperti Gadamer.
Berdasarkan pemikiran Schleiermacher, interpretasi dapat
dilakukan dengan mengambil intisari dari situasi sehari-hari
yang mirip dengan yang terdapat dalam kitab suci. Dia lebih
condong pada interpretasi sebagai seni. Artinya tidak ada yang
mengikat dan membatasi interpretasi. Dengan demikian perlu
adanya intuisi (pandangan ke dalam karena pikiran kita adalah
sebuah proses yang mengalir dan bergerak dan bukan sekedar
fakta yang serba komplit (Sumaryono, 1993).

- 366 -
3. Wilhelm Dilthey (1833-19211)
Pandangan Schleiermacher di kembangkan oleh filosof
berpengaruh, Wilhelm Dilthey (1883-1911). Dialah orang yang
mengemukakan bahwa ilmu hermeneutik merupakan dasar
penafsiran terhadap segala macam bentuk tulisan dalam ilmu-
ilmu humaniora. Oleh karena itu, ilmu sastra, ilmu-ilmu huma-
niora dan ilmu-ilmu sosial berbeda dengan ilmu-ilmu alam.
Dilthey menganggap bahwa ilmu-ilmu humaniora marupakan
cara menghadapi pengalaman hidup yang sewaktu, dan
konkret. Dia membedakan ilmu alam dari ilmu sosial. Di
manapun ilmu-ilmu alam selalu bertujuan untuk menjelaskan
perilaku yang statis, kategorinya reduktif. Pada hal tujuan
hermeneutik adalah untuk membangun teori pemahaman
secara umum. Pemahaman teks secara khusus berisi interpre-
tasi terhadap karya, yang mana jalinan dalam kehidupan secara
penuh dapat diekspresikan (Abrams: 1981).
Dalam memahami makna suatu teks, Dilthey memberi
istilah “lingkaran hermeneutik”. Maksudnya, untuk memahami
makna tertentu mengenai bagian linguistik, kita harus
mendekatinya dengan merasakan terlebih dahulu keseluruhan
makna. Akhirnya kita tahu keseluruhan makna hanya dengan
mengetahui arti dari bagian unsur pokoknya (Abrams, 1981
Hawthorn,1994 Newton, 1990). Jadi interpretasi dilakukan
dalam hubungannya antara arti dari komponen kata dengan
suatu kalimat dan arti kalimat secara keseluruhan, sebagai-mana
antara arti seluruh unsur kalimat dan karya secara keseluruhan.
Jadi, di antara prosedur interpretasi adalah melihat
hubungan antara arti dari komponen kata dengan suatu kalimat
dan arti kalimat secara keseluruhan dan antara seluruh unsur
kalimat dan karya secara keseluruhan. Jadi setiap bagian dari
suatu peristiwa hanya dapat dipahami dalam konteks
keseluruhan bagian-bagiannya, dan juga sebaliknya. Atau

- 367 -
dengan bahasa lain, penafsir harus memiliki pandangan yang
menyeluruh sebelum ia melakukan interpretasi. Friedrich
Schleiermacher sebagai pencetus pertama teori tersebut
mengatakan bahwa pemahaman dapat kita peroleh dengan
melihat bagaimana semua bagian itu berhubungan satu sama
lain (Karl Becson & Arthur Ganz: Literary Term Dictionary).
Bagaimanapun, Dilthey mempertahankan bahwa lingkaran
hermeneutik itu bukan lingkaran setan (lingkaran yang tak
berujung pangkal). Oleh karena itu kita dapat melakukan
interpretasi secara benar dengan kerja terus menerus.
Wilhelm Dilthey sebagaimana Schleiermacher meng-
anggap hermeneutik sebagai penafsiran reproduktif; meng-
hadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak peng-
arang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Wilhelm
Dilthey menawarkan bahwa peristiwa yang termuat dalam teks
kuno itu harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan
sejarah, maka yang direproduksi bukanlah keadaan psikis
pengarang melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu.
Jadi hermeneutik itu pada dasarnya bersifat menyejarah. Suatu
makna tidak pernah berhenti pada satu masa saja tetapi selalu
berubah menurut modifikasi sejarah. Interpretasi laksana benda
cair yang selalu bergerak dan berubah. Dengan demikian
penafsiran terhadap sesuatu itu bersifat dinamis.
Selanjutnya Wilhelm Dilthey mengemukakan syarat
dalam menafsirkan ilmu-ilmu humaniora, yaitu (a) memahami
cara pandang dan gagasan pelaku itu sendiri, (b) memahami
makna kegiatan pelaku yang berkaitan secara langsung dengan
peristiwa sejarah, kemudian (c) menilainya berdasarkan gagasan
yang berlaku pada saat penafsir hidup. Dilthey termasuk
penggagas aliran hermeneutika obyektivis yang berfokus pada
teks dan tidak mengakui adanya intervensi penafsir dalam
penafsiran (Atho’, Fahrudin, 2003).

- 368 -
4. Emilio Betti (1890-1968)
Emilio Betti adalah seorang teolog modernis dan seja-
rawan hukum yang lahir di Italia tahun 1890-1968. Herme-
neutika, bagi Betti adalah Auslegung, yaitu bagaimana
mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid dan objektif
dan bukan Deutung (speculative interpretation) sebagaimana yang
dilakukan Schleiermacher. Tujuan utama interpretasi ini adalah
untuk mengklarifikasi perbedaan esensial antara penafsiran
(auslegung) dan peran penafsir dalam penyerahan makna
terhadap obyek. Penafsiran terhadap obyek merupakan sebuah
obyektivasi dari semangat manusia yang diekspresikan dalam
bentuk pikiran yang sehat (Atho’, Fahrudin, 2003).
Maksud bahasa pengarang bukanlah pikiran total pada
satu waktu ketika menulis. Akan tetapi hanya merupakan aspek
saja di mana ia menggunakan potensi konvensi dan norma
bahasa, dia ekspresikan ke dalam kata-kata dan juga mungkin
merupakan hasil shering dengan pembaca yang mengetahui
bagaimana memainkan konvensi dan norma itu ke dalam
praktek interpretasi.
Jika teks dibaca secara terpisah dari maksud pengarang-
nya hal itu akan memunculkan ketidaktentuan. Oleh karena itu
dapat menimbulkan ketidaktentuan dan perbedaan arti.
Pembaca dapat menentukan artinya dengan menggunakan
logika validasi secara diam-diam (tak diucapkan). Pembaca
dapat menginterpretasikan maksud pengarang dengan melihat
aspek internal dan eksternal, melihat secara umum norma-
norma bahasa, lingkungan pengarang dan memperhatikan
aspek yang relevan dengan horizon pengarang (Abrams, tt).
Jadi interpretasi menurut Betti adalah rekognitif
(pengenalan yang bersifat otentik, pemahaman dari sudut diri
sendiri sebagai orang pertama), reproduktif (penyusunan
kembali yang ditujukan untuk mengkomunikasikan beberapa

- 369 -
pengalaman), dan normatif yaitu memberikan panduan dalam
pelaksanaannya (Atho’, Fahrudin, 2003).
Betti menawarkan 4 momen dalam proses hermeneutika
yang akan memfasilitasi pemahaman, yaitu (1) penafsir
melakukan investigasi fenomena linguistik dari teks, (2) penafsir
menghindari kepentingan sosial, ideologi, komitmen atau
sumber-sumber yang intoleran yang bisa menghalangi
pemahaman, (3) penafsir menempatkan diri dalam posisi
seseorang untuk dipahami, dengan menggunakan imajinasi dan
wawasan, dan (4) melakukan rekonstruksi untuk memasukkan
situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai
dari teks (Atho’, Fahrudin, 2003).
Dengan demikian, menurut Betti, proses penafsiran perlu
dibawa pada pikiran penciptanya dan kemudian dihidupkan
kembali oleh subyek penafsir sebagai upaya reproduksi. Hal ini
dilakukan untuk mengukur unsur subyektivitas penafsir
sebagai parameter yang menentukan terhadap obyektitivitas
penafsiran penafsir. Betti adalah pengikut aliran tradisional
(Schleiermacher & Dilthey). Betti dan juga tokoh aliran
tradisional berupaya menyediakan sebuah teori umum tentang
bagaimana “obyektivasi” ekspresi manusia dapat ditafsirkan.
Dia menyatakan secara tegas otonomi obyek interpretasi dan
mungkinnya “obyektivitas” ekspresi manusia itu dapat
ditafsirkan. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Gadamer
yang menyatakan bahwa obyektivitas itu tidak mungkin dapat
dicapai dalam interpretasi (Palmer, 2003: 52).

5. E.D. Hirsch
E.D. Hirsch sebagaimana Emilio Betti mengemukakan
bahwa interpretasi dapat dilakukan secara obyektif untuk me-
ngetahui arti yang diekspresikan pengarang. Dalam karyanya
“Validity in Interpretation” (1967) di ikuti dengan “The Aims of
interpretation” (1976), Hirsch menegaskan bahwa teks berarti apa
- 370 -
yang dimaksudkan pengarang. Jadi menurutnya, arti suatu teks
adalah arti bahasa yang dimaksudkan pengarang. Penafsir teks
memiliki tugas moral untukm memahami teks dalam relasinya
dengan konteks aslinya.
Maksud bahasa pengarang bukanlah pikiran total pada
satu waktu ketika menulis. Akan tetapi hanya merupakan satu
aspek saja di mana ia menggunakan potensi konvensi dan
norma bahasa, dia ekspresikan ke dalam kata-kata dan juga
mungkin merupakan hasil shering dengan pembaca yang
mengetahui bagaimana memainkan konvensi dan norma itu ke
dalam praktek interpretasi.
Jika teks dibaca secara terpisah dari maksud penga-
rangnya hal itu akan memunculkan ketidaktentuan. Oleh karena
itu dapat menimbulkan ketidaktentuan dan perbedaan arti.
Pembaca dapat menentukan artinya dengan mengguna-kan
logika validasi secara diam-diam (tak diucapkan). Pembaca
dapat menginterpretasikan maksud pengarang dengan melihat
aspek internal dan eksternal, melihat secara umum norma-
norma bahasa, lingkungan pengarang dan memperhatikan
aspek yang relevan dengan horison pengarang.
Hirsch mengikuti aliran hermeneutik tradisional dan
membuat jarak yang esensi antara arti bahasa dan makna. Arti
bahasa itu tetab dan stabil sedangkan maknanya selalu berubah
sesuai dengan minat penafsir dan kemampuannya dalam
menafsirkan. Pada hal makna teks adalah hubungan antara arti
bahasa dengan material lain, seperti situasi personal,
kepercayaan dan respon pembaca individual atau bahkan
budaya zaman. Arti bahasa teks menurut Hirsch adalah tertentu
dan stabil, itulah makna. Arti bahasa merupakan bagian yang
diperhatikan dalam bidang hermeneutik. Makna teks dalam
beberapa aspek diperhatikan oleh kritik sastra.

- 371 -
Hirsch mengformulasikan kembali konsep Dilthey
mengenai lingkaran hermeneutik sebagai berikut: kemampuan
pembaca membentuk hipotesis sebagai arti bagian atau
keseluruhan teks yang menerima perbaikan yaitu hipotesis
dapat juga dikonfirmasikan atau tidak dikonfirmasikan dengan
referensi selanjutnya dari teks.
Dengan demikian Hirsch merupakan pembela utama
pendekatan hermeneutik tradisional Dilthey dan Schleiermacher.
Menurutnya penafsir memiliki tugas moral untuk memahami
dengan konteks keasliannya. Hirsch bertentangan dengan
Heidegger dan muridnya Gadamer yang membawa manusia
pada interpretasi total sehingga muncul subyektivitas
pemahaman (Newton, 1990).

6. Rudolf Bultman
Rudolf Bultman lahir di Jerman tahun 1884. Bultman
menolak pendapat Dilthey yang mengatakan bahwa seorang
penafsir harus mampu memahami pengarang teks melebihi
pengalaman pengarang atas dirinya. Bagi Bultman, esensi
makna terletak pada ekspresi sebuah teks, serta menemukan apa
yang dikatakan dan dimaksudkan oleh teks.
Sumbangan yang sangat berarti dalam perkembangan
hermeneutik diberikan oleh teolog modern, Rudolf Bultmann
adalah konsep demitologisasi. Menurut Bultman gambaran
tentang dunia yang dilukiskan perjanjian baru itu bersifat
mitologis, dan itu bertentangan dengan manusia modern yang
rasional dan positivistik. Untuk itu Bultman menawarkan
demitologisasi, yaitu berupaya menterjemahkan bahasa mitos
manusia masa lalu ke dalam bahasa manusia modern agar bisa
dipahami secara komprehensif. Mitologi perlu dikupas untuk
substansi mitos itu sendiri. (Atho’, Fahrudin, 2003).
Dalam melakukan demitologisasi ini Bultman mengguna-
kan interpretasi historis dan psikologis sebagai instrumen utama
- 372 -
dalam mendeterminasi pesan-pesan yang terkandung dalam
AL-Kitab. Konsep ini bertujuan untuk menterjemahkan bahasa
mitos secara komprehensif ke dalam bahasa manusia modern.
Dengan konsep ini, Bultman bermaksud menginter-pretasi
simbul untuk mengumpulkan kembali keorisinalan makna yang
tersembunyi.
Demitologisasi merupakan upaya untuk memberi arahan
soal “percaya” dan “mengerti” akan berita kristiani dalam
kacamata pemikiran zaman modern. Ia mau menjadikan Al-
Kitab dapat dipercaya dan dimengerti oleh manusia modern,
sehinga mereka dapat mendengar sabda Allah di dalamnya.
Bultman melihat adanya pembungkus dalam firman Allah
sehingga manusia sulit mempercayainya. Untuk itu pem-
bungkus tersebut haruslah dibuat transparan (Atho’, Fahrudin,
2003).
Selanjutnya, dalam menghadapi Al-Kitab, Bultman
sebagai pengikut agama nasrani yang taat berupaya untuk
menghadirkan kembali Al-Kitab. Artinya menjadikan suatu
dokumen yang bersifat historis itu bisa berarti bagi masyarakat
sekarang, berfungsi dan berhasil menjadikan umat yang hidup
masa sekarang juga disapa oleh Allah sebagaimana yang terjadi
di masa lalu. Pemahaman menurut Bultman berlangsung dalam
proses historis. Dengan demikian, interpretasi tidak dapat
dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya. Pemahaman
sangat tergantung pada situasi historis yang baru (Atho’,
Fahrudin, 2003).
Ada dua gagasan untuk memindahkan teks Al-Kitab dari
masa dahulu ke masa sekarang itu dengan cara (1) berita Al-
kitab harus dibawa menyeberang, artinya ilmu teologi itu harus
mengangkut berita itu dari seberang masa dahulu ke seberang
masa sekarang, (2) berita Al-Kitab seluruhnya harus dapat
diseberangkan.

- 373 -
Bultman juga mengemukakan teori umum tentang
interpretasi, yaitu, pertama, semua interpretasi dokumen-
dokumen tertulis harus dianalisis secara formal dalam struktur
dan gayanya. Penafsir harus menganalisis karya dan mema-
hami bagian-bagiannya agar dapat memahami keseluruhan dan
sebaliknya. Penafsir harus menginterpretasikan karya
berdasarkan pemahaman terhadap tata bahasa yang digunakan
penulisnya. Aturan-aturan hermeneutik tersebut akan
menghasilkan metode historis mengenai pendalaman teks.
Kedua, penafsir harus memiliki relasi hidup dengan
sesuatu yang dinyatakan oleh sebuah teks untuk mendapatkan
pemahaman yang memadai. Menurutnya penafsir paling tidak
merasakan pengalaman yang sama dengan keadaan pada waktu
dokumen tersebut dibuat. Namun demikian herme-neutika
bukan hanya memberikan gambaran tentang masa lampau atau
merekonstruksi masa lampau, melainkan belajar dari teks yang
ada itu apa yang dibutuhkan manusia saat ini untuk praktisnya
menjalani hidup.

7. Martin Heidegger
Martin Heidegger menulis “Being and Time” (1927 dan
diterjemahkan tahun 1962). Dia menggabungkan tindak inter-
pretasi dalam phenomenology dan eksistensi filosofi. Oleh
karena itu filsafat memusatkan pada dasein, yaitu apa yang
terdapat di dunia (apa yang sudah ada). Makna hermeneutik
yang radikal diberikan oleh fisuf Martin Heidegger yang
menganggap bahwa hermeneutik merupakan bagian dari
eksistensi manusia yang lekat pada diri manusia. Menurutnya
dasein (apa yang terdapat di dunia) itu hidup dan selalu
diketemukan dalam kerangka waktu; lampau, sekarang dan
yang akan datang.
Manusia sebagai pemberi makna tidak lepas dari konteks.
Teks tercipta berdasarkan konteks. Begitu pula pembaca teks
- 374 -
berada dalam suatu konteks. Konteks teks dan pembaca ini akan
menimbulkan berbagai pemahaman. Proses pemahaman adalah
proses menemukan makna (Atho’, Fahrudin, 2003). Makna
berada dalam teks dan dibalik teks dan makna selalu berubah
karena setiap interpretasi baru akan memunculkan makna baru
akibat repertoar yang semakin bertambah.
Pemahaman menurut Heidegger merupakan dasar
interpretasi. Dasar pemahaman terletak dalam realitas yang
lebih dahulu daripada suatu ungkapan tematis. Pengertian
tentang objek baru terjadi karena ada pra paham yang
mendahuluinya. Artinya, manusia mencari pengetahuan karena
belum tahu dan sudah tahu (ada pra anggapan).

8. Hans Georg Gadamer


Jika sosok Betti, schleiermacher dan Dilthey sebagai sosok
penggagas aliran hermeneutika yang obyektivis maka Gadamer
menolak hal tersebut karena adanya jarak antara pengarang dan
penafsir yang tentu saja memiliki latar kultural yang berbeda.
Dengan demikian penafsir harus memproduksi makna yang
dikandung oleh teks sehingga teks itu sendiri menjadi lebih
kaya makna. Kesenjangan waktu antara penafsir dan pengarang
tidak harus diatasi seolah-olah sebagai sesuatu yang negatif,
melainkan justru harus dipikirkan sebagai perjumpaan
cakrawala-cakrawala pemahaman.
Penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka melainkan
juga produktif. Maksudnya, teks bukanlah makna bagi
pengarangnya melainkan juga makna bagi orang yang hidup di
jaman ini. Dengan demikian menafsirkan teks adalah proses
kreatif manusia. Manusia justru membiarkan dirinya meng-
alami perbenturan antara cakrawala yang dimilikinya dengan
cakrawala pengarang. Dengan cara ini maka pemahaman
seseorang diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga.
Perbenturan itu hendaknya dihadapi secara produktif, kreatif
- 375 -
dan terbuka sehingga memperkaya pemahaman. Suatu teks
perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau dan masa depan
untuk menfaatnya di masa kini (Hardiman, 2002).
Bagi Gadamer, hermeneutika yang bisa dihidupkan
dengan baik adalah subyektivisme interpretasi yang relevan
dengan praandaian-praandaian yang dibangun oleh
historisitasnya di masa kini (Atho’, Fahrudin, 2003: 136).
Gadamer berpendapat bahwa pemahaman dan hermeneutik
adalah seni yang dinamis dan terbuka terhadap yang lain
(Sumaryono, 1993).
Menurut Gadamer, proses penafsiran tidak sekedar
reproduksi makna melainkan juga proses produksi makna.
Penafsir dapat pula disebut sebagai pembuat sejarah, sebab ia
memahami teks dengan titik tolak sekarang. Makna teks
menurutnya selalu bergerak dan dinamis seiring dengan
perjalanan penafsir. Dengan demikian penafsir tidak akan
mendapatkan pemahaman dari penafsiran tersebut yang
obyektif. Penafsiran merupakan peristiwa historis, dialektis dan
bersifat kebahasaan di berbagai kehidupan manusia (Atho,
Fahrudin, 2003).
Secara kategoris, kerangka hermeneutika Gadamer
berkaitan dengan pokok-pokok khusus, yaitu (a) kebenaran
sebagai yang tak tersembunyi. Untuk mencapai kebenaran perlu
dialektika. Penyingkapan kebenaran itu harus mengacu pada
tradisi yang merupakan bagian dari pengalaman. (b) Bahasa
sebagai medium untuk memahami. Wujud bisa disingkapkan
hanya melaui bahasa. Gadamer mensyaratkan adanya
praandaian dalam proses interpretasi sehingga terbangun dialog
antara penafsir dengan teks yang ditafsirkan sehingga dapat
dicapai pemahaman. (c) kebenaran bukanlah produk metode.
Metode tidak secara mutlak merupakan wahana pemahaman
yang menghasilkan kebenaran. Kebenar-an itu tercapai melalui

- 376 -
adanya sendiri sesuai dengan proses dialektik dan linguistik
yang melampaui batas-batas metodo-logis yang diaplikasikan
oleh penafsir teks (Atho’, Fahrudin, 2003).
Gadamer yakin bahwa hermeneutiknya itu bukanlah
sekedar usaha membangun norma untuk interpretasi yang
benar melainkan merupakan usaha secara sederhana untuk
menjelaskan bagaimana kita sebenarnya dapat sukses dalam
menginterpretasikan teks.

9. Jurgen Habermas
Gagasan Habermas dapat dilihat dalam bukunya yang
berjudul Knowledge and Human Interest (pengetahuan dan
minat manusia). Menurut Habermas, penjelasan menuntut
penerapan proposisi-proposisi teoritis terhadap fakta yang
terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis.
Pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan
pengertian teoritis terpadu menjadi satu. Habermas mengutip
pandangan Charles Sanders Pierce yang mengatakan bahwa
setiap pertanyaan yang diajukan pasti ada jawabannya yang
benar, ada kesimpulan akhirnya, yang hendak dituju oleh
pendapat setiap orang secara ajeg (Sumaryono, 1999: 82).
Habermas membedakan antara penjelasan dan pema-
haman. Manusia tidak dapat memahami seluruhnya makna
sesuatu fakta sebab ada fakta yang tidak dapat diinterpretasi,
bahkan manusia tidak dapat menafsirkan fakta secara tuntas.
Menurutnya, selalu ada makna yang bersifat lebih yang tidak
dapat dijangkau oleh interpretasi tetapi terus menerus muncul
dalam kehidupan kita. Habermas mengatakan bahwa sebuah
penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis
terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui peng-
amatan sistematis. Sedangkan pemahamanadalah suatu
kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu

- 377 -
menjadi satu. Hermeneutik Habermas terkait dengan bahasa,
tindakan dan pengalaman (Sumaryono, 1999: 84-85).
“Memahami” menurut Habermas pada dasarnya
membutuhkan dialog, sebab proses memahami adalah proses
kerjasama di mana pesertanya saling menghubungkan diri satu
sama lain secara serentak di bawah lebenswelt (dunia kehidupan).
Lebenswelt mempunyai tiga aspek, yaitu dunia obyektif, dunia
sosial dan dunia subyektif (Sumaryono, 1999: 94).

10. Paul Recoeur


Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika adalah untuk
memahami teks. Oleh karena itu, pengertian tentang teks
menjadi sangat penting dalam hermeneutika Ricoeur. Menurut
Ricoeur, teks adalah korpus yang otonom yang memiliki empat
ciri, yaitu (a) dalam sebuah teks, makna terletak pada apa yang
dikatakan (what is said) dan terlepas dari pengungkapannya (the
act of saying). Dalam sebuah dialog, maksud dari pembicara
bukan hanya ditunjukkan oleh ucapannya melainkan
ditunjukkan pula oleh intonasi, mimik dan gerstures-nya. (b)
makna sebuah teks tidak lagi terikat pada pembicara. Apa yang
dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang dimaksudkan
oleh penulisnya karena penulis sudah terhalang oleh teks yang
sudah membeku. (c) sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks
semula karena teks tidak lagi terikat oleh sebuah sistem dialog.
Apa yang ditunjuk oleh teks adalah dunia imajiner yang
dibangun oleh teks itu sendiri. (d) teks ditulis bukan untuk
pembaca tertentu melainkan untuk siapapun yang bisa
membaca dan tidak terbatas pada ruang dan waktu. Teks adalah
sebuah monolog yang membangun hidupnya sendiri (Atho’,
Fahrudin, 2003).
Menurut Ricoeur, hermeneutik adalah teori pengoperasi-
an pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
terhadap teks. Apa yang kita ucapkan dan kita tulis mem-punyai
- 378 -
makna lebih dari satu (multiinterpretable) jika dikaitkan dengan
konteks yang berbeda. Tugas utama hermeneutik adalah
mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di
dalam sebuah teks dan mencari daya yang dimiliki kerja teks itu
untuk memproyeksikan diri ke luar dan yang memungkinkan
‘hal”nya teks itu muncul ke permukaan.
Menurut Ricoeur, sebelum sesorang menafsirkan teks
untuk menangkap makna kontekstual dari teks tersebut perlu
adanya eksplanasi untuk mengkaji dimensi statis dari teks.
Menurutnya makna kontekstual tidak lagi mengacu pada asbabul
wurud teks yang bersangkutan. Teks itu sudah memiliki makna
internal yang obyektif dan tidak lagi ditopang oleh intensional
psikologis dari pengarangnya. Dalam sebuah pembacaan teks,
seorang pembaca tidak lagi masuk ke dalam teks untuk
melakukan rekonstruksi psikologis kepada pengarang dan tidak
pula menarik teks ke dalam pre understanding- nya sendiri.
Yang terjadi adalah seorang pembaca teks membuka dirinya di
hadapan teks yang juga sama-sama membuka diri.

C. Kajian Hermeneutik Sastra


Hermeneutik berarti tafsir. Studi sastra juga mengenal
hermeneutik sebagai tafsir sastra. Dalam penelitian sastra,
hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur
(Sumaryono, 1999:106), hermeneutik berusaha memahami
makna sastra yang ada di balik struktur. Permahaman makna,
tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai
teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka,
penliti harus menukik ke arah teks dan konteks hermeneutik
sehingga ditemukan makna utuh.
Pada dasarnya paradigma hermeneutik telah menawar-
kan dua metode tafsir sastra. Pertama, metode dialektik antara
masa lalu dengan masa kini dan Kedua, metode yang

- 379 -
memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan.
Kedua metode itu memaksa peneliti untuk melakukan tafsir
berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-
kultural., Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran
hermeneutik.
Dalam kaitan dengan interpretasi, Smith (Luxemburg,
1989:51) mensugestikan bahwa “ our interpretation of a work and
our experience of its value are mutually dependent, and each depend
upon wahat might be called the psychological ‘set’ our encounter with
it”. Dari sugesti ini, berarti intrerpretasi teks sastra sangat
tergantung pada pengalaman di peneliti. Semakin dewasa si
peneliti, tentu kematangan psikologisnya dalam menafsirkan
semakin bisa diandalkan pula. Pengalaman peneliti juga amat
penting dalam menggali makna sebuah teks sastra.
Penafsiran teks sastra setidaknya mengikuti salah satu
atau lebih dari enam pokok rambu-rambu yaitu :
(1). Penafsiran bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sendiri
sudah jelas.
(2). Penafsiran berusaha menyusun kembali arti historik.
Penaafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang
seperti nampak pada teks sendiri atau diluar teks.
(3). Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh
Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masa
kini.
(4). Penafsiran bertolak pada pandangannya sendiri
mengenai sastra.
(5). Penafsiran berpangkal pada suatu problematik tertentu,
seperti aspek politik, psikologis, sosiologis, dan moral.
(6). Tafsiran yang tak langsung berusaha untuk menunjukkan
kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks,
sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.

- 380 -
D. Ringkasan buku: Hermeneutik: Sebuah Teori Filsafat
Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti menafsirkan. Kata benda hermeneia berarti
penafsiran atau interpretasi. Istilah ini biasanya dikaitkan
dengan Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas untuk
menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Ia menerjemah-
kan pesan-pesan dari dewa ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh umat manusia (h.34). Ia harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam
bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Kemudian pada
akhirnya hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Palmer,
1969:3) dalam sumaryono, 24).
Dalam bukunya de interpretatione, Aristoteles berkata
bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari
pengalaman mental kita dan kata-kata yang kita tulis adalah
simbol dari kata-kata yang kita ucapkan (h.24). Oleh karena itu
seseorang tidak akan dapat memiliki bahasa tulisan yang sama,
demikian pula dengan bahasa ucapan. Itulah hasil dari parole.
Sebagai implikasinya maka penafsiran pun tidak akan sama
antara satu orang dengan yang lainnya. Kalaupun seseorang
ketepatan memiliki pengalaman mental yang sama tapi ekspresi
oralnya tentu berbeda. Pengalaman mental biasanya menjadi
menyempit ketika ditulis dalam kata-kata sehingga tidak
seluruhnya pengalaman itu dapat tertuang dalam kata-kata
(h.25). Penyempitan ini kemudian akan menimbulkan berbagai
interpretasi tergantung siapa yang menginterpretasi-kannya dan
dalam konteks apa ia menginterpretasikannya.
Hermeneutik berkaitan dengan bahasa karena kita
berpikir, mengerti dan membuat interpretasi, berkomunikasi
dan mengkomunikasikan sesuatu yang tidak menggunakan
bahasa melalui bahasa. Gadamer mengatakan bahwa bahasa

- 381 -
merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan
merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh
konstitusi tentang dunia ini. Bahasa adalah sesuatu yang
memiliki ketertujuan di dalam dirinya(h.26). Kata-kata penuh
dengan maksud, meskipun arti kata-kata itu konvensional tetapi
kata-kata itu tidak pernah dibuat secara asal-asalan (aksidental).
Gadamer kemudian menyatakan bahwa mengerti adalah
mengerti melalui bahasa (h.27).
Penerapan hermeneutik sangat penting dalam memahami
ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften), begitu kata
Dilthey (h.23). begitu juga dalam kesusasteraan, perlu
interpretasi untuk mengerti artinya. Interpretasi menurut Betti
(dalam Bleicher (1980:39) adalah sarana untuk mengerti.
Interpretasi tersebut akan berbeda-beda tergantung pada
pemahaman dan cakrawala penafsirnya. Kegiatan interpretatif
itu merupakan proses yang bersifat triadik, yaitu teks, konteks
dan penafsir.
Menurut Betti, makna bukanlah diambil dari kesimpulan
melainkan harus diturunkan dan bersifat instruktif. Penafsir
tidak pasif melainkan harus merekonstruksi makna. Adapun
heidegger dengan teorinya tentang dasein (untuk menyebut
manusia autentik >< das man: manusia semu: artifisial: hanya
buatan) diketemukan dalam kerangka waktu yang lalu , kini dan
yang akan datang. Manusia autentik selalu dilihat dalam
konteks ruang dan waktu di mana manusia sendiri mengalami
atau menghayatinya. Untuk memahami dasein perlu konteks.
Manusia autentik hanya bisa dimengerti hanya melalui ruang
dan waktu yang tepat di mana ia berada. Setiap individu selalu
tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami di dalam
situasinya h.32). Setiap objek berada dalam ruang waktu tertentu
dan konteks tersebut memberi ciri khusus pada obyek tersebut.

- 382 -
Filsuf Paul Ricoeur dan Jacquis Derrida menulis herme-
neutik dalam kesusasteraan, Filsuf Martin Heidegger dan Hans
Georg Gadamer berkecimpung dalam dunia metafisika.
Fredrich Schleiermacher seorang penafsir hukum, Wilhelm
Dilthey penafsir sejarah keduanya merupakan pelopor
hermeneutik filosofis.
Menurut Schleiermacher (1768-1834/abad 18- awal 19),
hermeneutik adalah bagian dari seni berpikir (h.34). Mula-mula,
buah pikiran kita mengerti dahulu, baru kemudian kita ucapkan.
Pembicaraan kita kemudian berkembang seiring dengan buah
pikiran yang telah kita mengerti.
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari
istilah Yunani, yaitu kata kerja herme>neuein, yang berarti
“menafsirkan”, dan kata benda herme>neia, yang berarti
“interpretasi atau penafsiran” (Palmer,2003:14). Kata ini
kemudian diasosiasikan pada dewa Hermes. Palmer menjelas-
kan bahwa mediasi dan proses membawa pesan “agar
dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di
dalam tiga makna dasar dari kata kerja herme>neuein, yaitu
mengungkapkan kata-kata, menjelaskan dan menerjemahkan.
Secara terminologis, hermeneutik merupakan usaha untuk
beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih
terang. Jadi, dalam waktu seseorang menafsirkan sesuatu, ia
melewati suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas menuju ke
yang lebih jelas. Bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah
menjadi bentuk pemikiran yang lebih jelas itulah menafsirkan
(Hardiman, 2002).
Sebagai tokoh sastra, Abrams (1981) memberikan penger-
tian hermeneutik dalam makna luas dan sempit dalam
kaitannya dengan interpretasi karya sastra. Menurutnya,
menginterpretasi karya sastra dalam makna sempit berarti
menerangkan arti bahasanya dengan cara analisis, paraphrase,

- 383 -
dan mengomentarinya. Fokus utama interpretasi adalah pesan
yang masih kabur dan tidak jelas, ambiguitas dan penuh kiasan.
Dalam makna luas, menginterpretasi karya sastra berarti
membuat jelas arti keseluruhan karya sastra dengan meng-
gunakan bahasa sebagai mediumnya. Interpretasi dalam arti
luas ini mencakup penafsiran berbagai aspek seperti genre
(jenis-jenis karya), elemen-elemen, struktur, tema dan
pengaruhnya.
Bleicher (Permata, 2003 pen.) mengatakan bahwa herme-
neutik secara umum berarti suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna. Di dalam kelompok sastra Anglo Amerika,
istilah hermeneutika juga disinonimkan dengan interpretasi.
Referensi utamanya adalah pemahaman teks, khususnya teks
teologi (Hawthorn,1994).
Hermeneutik pada mulanya digunakan untuk
menafsirkan kitab suci. Di dalam mitologi Yunani ada tokoh
bernama Hermes. Menurut mitos, Hermes bertugas menafsir-
kan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata
manusia. Jadi hermeneutik kitab suci artinya menafsirkan
kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat
kitab-kitab suci (Hardiman, 2002).
Sejak abad 19, istilah “hermeneutik” digunakan untuk
menandai teori umum tentang interpretasi (Abrams, 1981,
Beckson & Ganz, tt). Oleh karena itu, formulasi prosedur dan
prinsipnya mencakup penangkapan arti pada seluruh teks yang
ditulis, termasuk keabsahannya, pemaparannya, dan kesas-
traannya sebagaimana ada dalam teks injil (Abrams, 1981). Jadi
sejak abad ke-19 pengertian itu diperluas dalam berbagai bidang;
menafsirkan karya sastra, hukum atau teks-teks ilmu sosial (Becson
& Ganz, tt). Sejak abat 19, hermeneutik sudah tidak sekedar
digunakan untuk interpretasi teks kitab suci saja melainkan sudah

- 384 -
digunakan untuk menafsirkan berbagai bidang ilmu, khususnya
ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften).
Definisi terminologis di atas akan lebih jelas jika dikaitkan
dengan definisi terminologis yang dikemukakan oleh Palmer
(2003: 38) berikut ini. Menurut Palmer, ada enam definisi
modern hermeneutik. Definisi ini cenderung bersifat historis,
kronologi makna interpretasi. Enam definisi yang dimaksud
adalah sebagai berikut:

1. Hermeneutika adalah teori eksegesis Bible.


Secara historis, pemahaman pertama tentang herme-
neutik merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bible. Di
Inggris dan selanjutnya di Amerika, penggunaan kata
“hermeneutik” merujuk secara khusus pada penafsiran Bible.
Penggunaan pertama kali dicatat Oxford English Dictionary
(1737), yang mengartikan “hermeneutik” dengan “bersikap
bebas dengan tulisan suci”.

2. Hermeneutik sebagai metodologi filologi.


Perkembangan rasionalisme mempunyai pengaruh besar
terhadap hermeneutika Bible. Tantangan interpretasi selanjut-
nya adalah untuk membuat Bible relevan dengan pikiran
rasional manusia masa pencerahan. Jika terdapat rasionalitas
dalam interpretasi maka hermeneutik dapat pula diterapkan
pada disiplin ilmu lain. Dalam perkembangan selanjutnya (abad
18), hermeneutik digunakan dalam metodologi filologi. Sejak
masa pencerahan hingga sekarang, metode penelitian Bible
tidak dapat dibedakan dengan metodologi filologi. Konsepsi
hermeneutik yang jelas-jelas bernuansa Bible secara perlahan
menjelma ke dalam hermeneutika sebagai kaidah-kaidah umum
dari eksegesis filologi, dengan Bible sebagai salah satu obyek
filologi.

3. Hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik

- 385 -
Pengertian ini berangkat dari pendapat Schleiermacher
yang punya distingsi tentang pemahaman hermeneutika sebagai
“ilmu” atau “seni” pemahaman. Hermeneutik dalam pengertian
ketiga ini merupakan sistematisasi-koherensi, sebagai ilmu yang
mendeskripsikan kondisi-kondisi pemaham-an dalam semua
dialog. Hermeneutik tidak lagi filologis melainkan hermeneutik
umum yang prinsip-prinsipnya dapat diterapkan dalam semua
ragam interpretasi teks.

4. Hermeneutik sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswis-


senchaften
Pengertian ini mengacu pada pendapat Dilthey yang
menyatakan bahwa hermeneutik merupakan inti disiplin yang
dapat dijadikan fondasi bagi Geisteswissenchaften, yaitu semua
disiplin yang mengfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan
tulisan manusia. Menurut Dilthey, untuk menafsirkan ilmu-ilmu
kemanusiaan diperlukan tindakan pemahaman historis. Dengan
demikian pengetahuan pribadi mengenai apa yang
dimaksudkan manusia menjadi penting.

5. Hermeneutik sebagai Fenomenologi Dasein dan


pemahaman eksistensial
Pengertian ini dipelopori oleh Martin Heidegger. Herme-
neutik dalam konteks ini dianggap sebagai penjelasan
fenomenologi tentang keberadaan manusia. Jadi hermeneutik
tidak lagi mengacu pada ilmu interpretasi atau metodologi
pemahaman, tetapi pada penjelasan fenomenologis mengenai
keberadaan manusia itu sendiri. Pemahaman dan interpretasi di
sini merupakan model dasar keberadaan manusia. Dengan
demikian, hermeneutika dasein Heidegger dapat bersifat
melengkapi, sejauh dapat merepresentasikan ontologi
pemahaman. Selanjutnya menurut Gadamer, hermeneutik
adalah pertemuan dengan ada (being) melalui bahasa.

- 386 -
6. Hermeneutik sebagai sistem interpretasi: menemukan
makna melalui ikonoklasme
Menurut Paul Recoeur, hermeneutika berfokus pada
eksegesis tekstual. Hermeneutika adalah teori tentang kaidah-
kaidah yang menata sebuah eksegesis. Hermeneutika adalah
sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dianggap sebagai sebuah teks.
Interpretasi mimpi termasuk hermeneutik. Mimpi adalah teks,
teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik. Psikoanalisa
menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan
penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna
tersembunyi. Objek interpretasi adalah teks dalam pengertian
yang luas. Obyeknya dapat berupa mimpi, mitos-mitos dalam
masyarakat atau karya sastra. Ricoeur membedakan simbul
univokal dan equivokal. Simbul univokal adalah tanda dengan
satu makna yang ditandai. Simbul equivokal adalah tanda
dengan multi makna. Simbul equvokal inilah yang menjadi
fokus hermeneutik (Palmer, 2003: 38-49).
Proses hermaneutik itu berawal ketika seorang penutur
mencoba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-
kata yang memiliki makna objektif yang dapat dimengerti
pendengarnya. Kemudian pendengar melakukan proses
subjektifikasi, yaitu memahami kata-kata atau percakapan
tersebut sesuai dengan pemahamannya. Kemudian penafsir itu
mengembalikan kata-kata itu ke makna aslinya, sebagaimana
yang dimaksudkan penuturnya sebelum dipadatkan dalam
bentuk kata-kata.
Hermeneutik adalah fenomen khas manusia. Seseorang
menafsirkan karena ada bahasa yang merupakan simbol. Salah
satu gejala yang membedakan manusia dengan hewan adalah
manusia itu berbahasa, memakai lambang, berupa bahasa.
Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah animal simbolicum

- 387 -
atau langue-using animal. Karena manusia selalu berbahasa maka
manusia pun tiada berhenti menafsirkan. Dengan demikian
hermeneutik merupakan gejala khas manusia. Manusia punya
kecenderungan untuk selalu memberi makna. Manusia adalah
makhluk yang mampu memberi makna kepada realitas dengan
bahasa sebagai peranan sentralnya. Merleau Ponty mengatakan
bahwa man is condemned to meaning. Memberi makna sama
dengan memahami. Proses memahami bahasa tersebut terkait
dengan hermeneutik (Hardiman, 2002).
Bahasa terdiri atas kata-kata dan kalimat yang memiliki
makna sesuai dengan konteks. Dua kalimat yang sama bisa
berarti beda jika konteksnya berbeda. Konteks ini disebut pula
gaya bahasa. Konteks yang lebih luas lagi dari GB adalah gaya
sastra (literary genre). Gaya sastra erat kaitannya dengan konteks
sosial. Dengan demikian, gaya sastra mampu mengungkapkan
psikologis suatu bangsa dan kedudukan karya tersebut dalam
masyarakat (Hardiman, 2002).
Menurut Hidayat, 1996), hermeneutika sebagai ilmu
interpretasi merupakan proses yang bersifat triadik (mem-
punyai tiga aspek yang saling berhubungan), yaitu dunia teks
(the world of the text), (b) dunia pengarang (the world of author),
dan (c) dunia pembaca (the world of reader) (Hidayat: 1996: 3). Hal
ini berarti seseorang yang melakukan tindak interpretasi tidak
dapat lepas dari tiga aspek pokok tersebut.
Teks adalah wujud ekspresi bahasa yang mengandung
substansi materi. Dalam teks terdapat proses penciptaan dan
proses penerimaan yang tentu saja terkait dengan dimensi
tempat, ruang dan waktu. Karena teks bermedium bahasa dan
bahasa merupakan produk budaya maka teks terkait dengan
latar budaya yang memiliki ketentuan-ketentuan yang
mengikat. Termasuk teks, Al-Quran, diwahyukan pertama kali
untuk komunitas bangsa Arab. Oleh karena itu, Al-Quran

- 388 -
berbahasa Arab, mengikuti konvensi bahasa, sastra dan budaya
Arab pada saat teks tersebut diturunkan.
Persoalan yang muncul berkaitan dengan hermeneutik
adalah sebagaimana ungkapan Newton bahwa kata-kata yang
ditulis pada masa lampau (khususnya) masih tetap ada
sebagaimana asalnya, namun konteks yang menghasilkan kata-
kata itu yang sudah tidak ada lagi pada saat ini (1990: 103). Itulah
yang kemudian memunculkan berbagai pendapat dari para
tokoh terkait dengan kerja hermeneutika.
Para tokoh hermeneutika sebagaimana telah dipaparkan
dalam bab ini yang telah tersebut di atas, yaitu F.D.E.
Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-19211),
Emilio Betti, E.D. Hirsch, Bultmann, Martin Heidegger (1889-
1976), Hans Georg Gadamer , Jurgen Habermas, dan Paul
Recoeur.
Pokok bahasan filsafat adalah spekulasi dan analisis.
Spekulasi adalah subyek atau gagasan dan merenungkannya
secara mendasar. Spekulasi itu dilakukan dengan mengemuka-
kan mengenai apa, mengapa, bagaimana, dimana dan bilamana
dan seterusnya. Spekulasi seperti ini disebut dengan berpikir
filosofis. Perbedaannya dengan berpikir dalam kehidupan
keseharian adalah kesungguhan dan sistematisasinya.
Adapun analisis memuat mengajukan pertanyaan,
menjawab, berteori, menyelidiki, menguraikan, menggunakan
data fisik untuk membantu dan mempergunakan penalaran
logika. Analisis dapat dikatakan juga sebagai mempertanyakan
tentang pertanyaan dan jawabannya (h. 14). Analisis dalam
sastra biasanya berarti menguraikan, memilah-milah kemudian
menggabungkan kembali. Jadi berfilsafat sebenarnya adalah
berspekulasi dan melakukan analisis.
Filsafat tidak mengenal ruang dan waktu. Filsafat
menyelidiki realitas dalam arti sepenuhnya. Filsafat tidak selalu

- 389 -
menyajikan bukti-bukti ilmiah sebagaimana dalam sains. Sains
memiliki metode sendiri yaitu adanya bukti-bukti ilmiah yang
diperoleh melalui statistik, penjumlahan, uji coba, analisis,
pembenaran dan pembuktian. Dengan demikian, sains memi-
liki batas ruang lingkup yang jelas sedang dalam filsafat, apapun
yang disebut ada berada dalam pembahasannya.
Kemudian para filsuf berupaya menyususn metode untuk
mendapatkan pengakuan universal bahwa tindakannya juga
termasuk tindakan ilmiah. Plato (427-347 SM) merumuskan
bahwa kebenaran diperoleh melalui metode dialektis, yaitu
tanya jawab. Namun metode ini juga tidak mampu sepenuhnya
mengatasi permasalahan filsafat.
Kemudian Aristoteles (384-322 SM) menawarkan metode
silogisme atau logika, yaitu dengan menggabungkan
pembenaran dan penyangkalan di antara tiga term sehingga
kesimpulan yang meyakinkan dapat diperoleh. Jika dua term
secara terpisah membenarkan term ketiga maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa dua term tersebut saling membenarkan satu
sama lain. Tetapi jika hanya satu term yang membenarkan term
ketiga maka term pertama dan kedua saling menyangkal satu
sama lain. Metode ini juga tidak mampu sepenuhnya
menyeleseikan masalah karena metode ini hanya mampu
meyakinkan kebenaran suatu pernyataan dan tidak
menimbulkan pernyataan baru. Metode ini hanya berlaku untuk
penyimpulan deduksi dan tidak untuk induksi. Metode ini
hanya dapat menerapkan hukum-hukum yang bersifat
universal pada semua hal yang khusus dan tidak dapat
digunakan untuk menyusun suatu hukum universal yang
ditarik dari penyimpulan hal-hal yang khusus. Aristoteles
dikenal dengan bapak logika.
Kemudian Rene Descartes (1596-1650 ) seorang ahli
matematika Prancis menyusun metode ragu-ragu. Descartes

- 390 -
dikenal dengan bapak filsafat modern. Segala sesuatu diuji
hingga terbebas dari keraguan. Ia meletakkan prinsip-prinsip
untuk menilai validitas sebagai tuntutan kebenaran. Setelah itu
muncul metode empirisme yaitu sesuatu dianggap benar jika
sudah dapat dibuktikan dengan perantaraan panca indra.
Lalu muncul metode analitis yang menganalisis
terminologi linguistik, menyusun tabel-tabel linguistik untuk
menentukan kebenaran sebuah kalimat. Namun, metode ini juga
lemah yaitu, pemikir dibatasi aturan yang ketat mengenai
makna dan tidak bebas melakukan interpretasi untuk
mendapatkan arti yang baru (h.19). kemudian muncul metode
refleksi.
Kemudian muncul metode fenomenologis yang dikemu-
kakan oleh Edmund Husserl ( 1895-1939), yaitu kesadaran
sebagai alat pengukuran validitas di dalam pengalaman hidup
sehari-hari. Metode ini bersifat subyektif. Dari metode ini
kemudian muncul aliran eksistensialisme yang menggunakan
fenomenologi sebagai metodenya. Dari seluruh metode yang
dikemukakan para tokoh tersebut meskipun sangat berjasa
namun menurut Sumaryono belum dapat dikatakan sebagai
metode filsafat (h.19).
Metode adalah dasar penalaran manusia. Oleh karena itu,
tidak boleh membekukan pemikiran filosofis. Metode yang ideal
memiliki ciri: harus menampilkan suatu bentuk struktur, yaitu
suatu struktur yang memungkinkan pengembangan lebih lanjut,
konkret tapi tidak bertentangan dengan yang bersifat abstrak,
objektif tapi tidak kaku karena harus juga menampakkan aspek
subyektifnya, dan dapat diterapkan secara universal seperti
metode ilmiah. Kemudian pada akhir-akhir ini muncul metode
hermeneutik yang dianggap sebagai alternatif metode filsafat
(h.20).

- 391 -
Bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah menjadi
bentuk pemikiran yang lebih jelas itulah menafsirkan (h. 37). Di
dalam mitologi Yunani ada tokoh bernama Hermes. Menurut
mitos, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel)
dengan bantuan kata-kata manusia. Jadi hermeneutik kitab suci
artinya menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana terkandung
di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci.
Salah satu gejala yang membedakan manusia dengan
hewan adalah manusia itu berbahasa, memakai lambang,
berupa bahasa. Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah
animal simbolicum atau langue-using animal. Karena manusia
selalu berbahasa maka manusia pun tiada berhenti menafsir-
kan. Dengan demikian hermeneutik merupakan gejala khas
manusia.
Seorang penutur mencoba mengekspresikan pengalaman-
nya dalam bentuk kata-kata yang memiliki makna objektif yang
dapat dimengerti pendengarnya. Kemudian pendengar
melakukan proses subyektifikasi, yaitu memahami kata-kata
atau percakapan tersebut sesuai dengan pemahamannya.
Kemudian penafsir itu mengembalikan kata-kata itu ke makna
aslinya, sabagaimana yang dimaksudkan penuturnya sebelum
dipadatkan dalam bentuk kata-kata.
Manusia punya kecenderungan untuk selalu memberi
makna. Merleau Ponty mengatakan bahwa man is condemned to
meaning. Memberi makna sama dengan memahami. Taraf-taraf
pemahaman manusia ada tiga, yaitu pemahaman langsung
mengenai alam material, pemahaman atas kebudayaan dan
pemahaman mengenai diri sendiri atau memahami manusia
lain. Proses memahami bahasa terkait dengan hermeneutik.
Bahasa terdiri atas kata-kata dan kalimat yang memiliki makna
sesuai dengan konteks. Dua kalimat yang sama bisa berarti beda
jika konteksnya berbeda. Konteks ini disebut pula gaya bahasa.

- 392 -
Konteks yang lebih luas lagi dari aya bahasa adalah gaya sastra
(literary genre) . Gaya sastra erat kaitannya dengan konteks sosial.
Dengan demikian mampu mengungkapkan psikologis suatu
bangsa dan kedudukan karya tersebut dalam masyarakat (h.
40).
Secara antropologis hermeneutik adalah kegiatan eksis-
tensial manusia yang memberi ciri khas dan radikal pada
manusia, maka manusia dapat didefinisikan secara herme-
neutik yaitu makhluk yang mampu memberi makna kepada
realitas dengan bahasa sebagai peranan sentralnya (41).
Hermeneutik, berdasarkan sejarahnya, awalnya diterap-
kan orang Kristen dalam menghadapi kitab perjanjian lama.
Hasil tafsir tersebut termuat dalam perjanjian baru. Orang
Kristen mencoba melakukan dua model penafsiran, yaitu
penafsiran harfiah dan penafsiran simbolis. Penafsiran harfiah
mengikuti madzhab antiokhia dan penafsiran simbolis
mengikuti madzhab Alexandria. Kemudian puncak perpecahan
kaum kristiani karena adanya perbedaan hermeneutis.
Sumbangan yang sangat berarti dalam perkembangan
hermeneutik diberikan oleh teolog modern, Rudolf Bultmann
dengan konsepnya demitologisasi. Sumbangannya yang lain
adalah penerapan gagasan Heidegger yaitu pra paham pada
teologi. Jadi, untuk memahami sebuah teks, kita harus memiliki
pra paham tentang teks itu.
Dalam filsafat, refleksi kritis mengenai hermeneutik
dirintis oleh Friedrich Schleiermacher dengan pandangannya
mengenai pemahaman intuitif (divinatorisches Verstehen). Se-
buah tafsir membutuhkan intuisi tentang karya yang sedang
dipelajari. Kita mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas
situasi zaman dan kondisi batin pengarang dan berempati
dengannya. Tapi, teori ini dikritik karena kita harus mengatasi
kesenjangan waktu dengan pengarang yang tentunya memiliki

- 393 -
budaya yang berbeda pula. Kemudian Wilhelm Dilthey
menawarkan bahwa peristiwa yang termuat dalam teks kuno itu
harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, maka
yang direproduksi bukanlah keadaan psikis pengarang
melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu. Dua tokoh
filsafat tersebut menganggap hermeneutik sebagai penafsiran
reprodutif.
Makna hermeneutik yang radikal diberikan oleh fisuf
Martin Heidegger yang menganggap bahwa hermeneutik
merupakan bagian dari eksistensi manusia yang lekat pada diri
manusia. Pengertian tentang objek baru terjadi karena ada pra
paham yang mendahuluinya. Inilah yang disebut dengan
lingkaran hermeneutis. Gagasan tentang lingkaran hermeneutis
ini diterima oleh Hans Georg Gadamer. Ia menolak gagasan
Dilthey dan Schleiermacher. Menurutnya kesenjangan antara
waktu antara kita dan pengarang tidak harus diatasi seolah-olah
sebagai sesuatu yang negative, melainkan justru harus
dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawala-cakrawala pema-
haman. Penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka melainkan
juga produktif. Maksudnya, teks bukanlah makna bagi
pengarangnya melainkan juga makna bagi jkita yang hidup di
jaman ini. Dengan demikian menafsirkan teks adalah proses
kreatif manusia(h. 44).
Pemahaman yang kita capai pada masa kini suatu saat
akan menjadi pra paham baru pada taraf yang lebih tinggi
karena adanya proses pengayaan kognitif dalam spiral
pemahaman itu. Jika pemahaman dilakukan melalui bahasa,
pemahamanpun bersifat intersubyektif atau dialogis.
Kesulitan yang akan kita hadapi dalam menafsirkan teks
masa lampau adalah jarak waktu antara kita dengan teks itu
ketika ditulis (h. 48). Pengarang dan pembaca memilimki latar
belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Hermeneutik

- 394 -
romantis Dilthey dan Shlaiermacher berusaha mencapai
identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan tugas
reproduktif; menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran,
kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan
rekonstruksi.
Gadamer kemudian tidak sependapat dan menawarkan
gagasan bahwa menafsirkan teks adalah tugas produktif dan
kreatif; kita justru membiarkan diri kita mengalami perben-
turan antara cakrawala kita dengan cakrawala pengarang.
Dengan cara ini maka pemahaman kita diperkaya dengan
unsure-unsur yang tak terduga. Perbenturan itu hendaknya
dihadapi secara produktif, kreatif dan terbuka sehingga
memperkaya pemahaman kita. Suatu teks perlu dipahami dalam
cakrawala masa lampau dan masa depan untuk menfaatnya di
masa kini (h.50).
Dunia kehidupan sosial seperti agama dan kesusasteraan
tak dapat begitu saja diketahui melalui observasi akan tetapi
terutama melalui pemahaman (verstehen). Yang ingin ditemu-
kan adalah makna. Untuk memahami dan kemudian menemu-
kan makna ia harus berpartisipasi ke dalam proses menghasil-
kan dunia kehidupan itu. Jadi, tidak membuat distansi antara
objek dan subyeknya. Verstehen mencoba memadukan antara
pemahaman teori dan pengalaman. Kehidupan sosuial harus
dilibati dari dalam diri subyek sosial. Jadi untuk mencapai
pemahaman makna dituntut berpartisipasi di dalamnya dengan
melangsungkan proses komunikasi (h. 63).
Hermeneutika romantis yang dicetuskan oleh Schleier
Macher dan Dilthey mempergunakan teori emphatic untuk
menjelaskan bahwa obyek dapat diketahui secara reproduktif.
Menurut hermeneutik romantis, pembaca teks harus mampu
beremphati secara psikologis ke dalam isi teks dan penga-
rangnya; pembaca haruis mampu ‘mengalami kembali’

- 395 -
pengalaman yang dialami pengarang yang termuat dalam teks
itu. Emphatic psikologistis itu terutama dicetuskan oleh
schalaiermacher dan kemudian Dilthey lebih menekankan pada
proses bagaimana karya itu diciptakan, membuat rekonstruksi
terhadap produk budaya tersebut. Jadi, perhatian kepada
struktur-struktur psikis dialihkan kepada struktur-struktur
simbolis. Namun demikian, keduanya berpendapat bahwa
hermeneutik adalah penafsiran secara reproduktif.
Tetapi Gadamer memahami makna dengan jalan
produktif. Jadi, penafsir terikat dengan konteks sosio historis
tempat ia berpijak, jadi kesenjangan waktu itu tak mungkin
dijembatani oleh emphatic atau sekedar mereproduksi struktur-
struktur simbolik. Menurutnya cara yang tepat menafsirkan teks
adalah keterbukaan antara masa kini dan masa depan. Dengan
demikian tugas penafsiran tak kunjung selesei dan bersifat
kreatif (h. 64).
Metode hermeneutik sejak awal berurusan dengan
penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Teks dapat
diperluas pengertiannya ke teks sosial. Teks dihasilkan oleh
“pengarang” atau pelaku sosial. Teks hendak ditafsirkan, begitu
pula dengan masyarakat. Tujuannya adalah untuk memahami
maknanya (sinverstehen), maka peneliti harus melibatinya dari
dalam. Ada dua cara untuk melibatinya, pertama adalah cara
empati (disarankan oleh Fredrich Schleiermacher dan Wilhelm
Dilthey). Schleiermacher meng-usulkan empati psikologis, yaitu
peneliti harus mampu masuk ke dalam isi teks sosial sampai
“mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya,
yaitu pengalaman para pelaku sosial. Dilthey memperbaiki
theori empati ini untuk menemukan obyektivitas, karena
schleiermacher terlalu psikologistis. Menurut Dilthey yang
direproduksi bukanlah pengalaman pengarang melainkan
bagaimana proses teks sosial itu terbentuk. Kalau kita meneliti

- 396 -
karya seni misalnya maka kita harus menemukan kaitan-kaitan
antara pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan struktur
praksis yang penting melainkan struktur simbolis.
Cara empati yang reproduktif itu kemudian dikoreksi
oleh Gadamer dengan cara produktif. Karena teks sosial itu
berasal dari masa lampau dan sudah berlangsung. Untuk itu
Gadamer mengusulkan bahwa teks sosial itu harus ditafsirkan
secara kreatif-produktif dengan keterbukaan terhadap masa kini
dan masa depan. Di sini peneliti bukan sekedar mereproduksi
teks-sosial melainkan menafsirkannya secara kreatif.
Setelah menemukan keterlibatan metodis itu, peneliti
perlu menangkap unsure hakiki yang terkandung dalam teks
sosial. Pengalaman adalah unsure subjektif yang dalam
penghayatan internal pelaku-sosial (hasrat-cita-cita, harapan).
Itu semua mendapat wujud lahiriyah berupa karya seni, tulisan,
tingkah laku (ekspresi sosial). Jadi terjadi pemahaman dan
proses dialog antara teks dengan peneliti sehingga
penafsirannya tidak hanya hermeneutis melainkan praksis
komunikasi. Penelitian hermeneutik berbentuk spiral, artinya
totalitas menafsirkan bagian dan bagian menafsirkan totalitas.
Pola spiral itu menampilkan pola kominikasi manusiawi yang
bersifat intersubyektif dan sosial. Dengan demikian, penelitian
sosial dalam perspektif teori kritis itu bukan hanya meng-
gunakan komunikasi melainkan komunikasi itu sendiri;
penelitian sosial sebagai praksis komunikasi.
Di dalam mitologi Yunani ada tokoh bernama Hermes.
Menurut mitos, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata
(orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Jadi hermeneutik
kitab suci artinya menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana
terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci.
Hermeneutik sebagai fenomen khas manusia. Salah satu
gejala yang membedakan manusia dengan hewan adalah

- 397 -
manusia itu berbahasa, memakai lambang, berupa bahasa.
Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah animal simbolicum
atau langue-using animal. Karena manusia selalu berbahasa maka
manusia pun tiada berhenti menafsirkan. Dengan demikian
hermeneutik merupakan gejala khas manusia.
Seorang penutur mencoba mengekspresikan pengalaman-
nya dalam bentuk kata-kata yang memiliki makna objektif yang
dapat dimengerti pendengarnya. Kemudian pendengar
melakukan proses subyektifikasi, yaitu memahami kata-kata
atau percakapan tersebut sesuai dengan pemahamannya.
Kemudian penafsir itu mengembalikan kata-kata itu ke makna
aslinya, sebagaimana yang dimaksudkan penuturnya sebelum
dipadatkan dalam bentuk kata-kata.
Alam pikir masyarakat abad pertengahan secara kualitatif
berbeda dengan alam pikir masyarakat modern. Alam pikir
masyarakat abat pertengahan adalah metafisika. Mereka
meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri
lepas dari subyek yang berpikir. Mereka menekankan obyek
pengetahuan dan mengabaikan subyek. Rene Descartes adalah
sosok dalam filsafat yang berperan sebagai juru bicara
keruntuhan abad pertengahan. Semua makana dunia objektif
dipertanyakan dan disangsikan secara metodis, sehingga
sampailah ia pada keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa: aku
berpikir maka aku ada (je pense donc je suis).

E. Terjemahan : Twentieth Century Literary Theory: A Reader.


Karya Newton, K.M. 1990. London. Hal.101-112.
Ilmu hermeneutik adalah ilmu interpretasi yang berasal
dari karya teolog Jerman abad 16. Kritik sastra memandang
romantik Jerman “Friedrich Schleiermacher sebagai kontributor
besar pertama teori hermeneutik modern. Problem dasar yang
berhadapan dengan hermeneutik adalah ketika kata-kata dari

- 398 -
teks yang ditulis pada masa lampau seperti bible tetap ada tetapi
konteks yang menghasilkannya sudah tidak ada lagi
keberadaannya. Schleiermacher menunjukkan bahwa tujuan
dari hermeneutik adalah untuk menyusun kembali konteks
aslinya sehingga kata-kata dalam teks tersebut dapat dipahami
dengan tepat. Hermeneutik selanjutnya dikembangkan pada
abat 19 oleh Wilhelm Dilthey, yang mencoba membangun dasar
yang lebih ilmiah untuk tujuan pengkajian ilmu-ilmu
kemanusiaan yakni kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial yang
bertentangan dengan ilmu-ilmu alam.
Oleh karena itu, fokus utama hermeneutik adalah
pemahaman dibanding penjelasan yang diterapkan dalam ilmu
alam, karena dalam penafsiran ilmu-ilmu alam diarahkan pada
dunia non kemanusiaan. Sebaliknya interpretasi ilmu-ilmu
kemanusiaan justru diarahkan pada apa yang telah dihasilkan
oleh manusia sehingga pemahaman harus dilakukan untuk
menampilkan obyek-obyek produk manusia supaya bisa hidup,
seperti teks yang ditulis pada masa lampau. Dilthey juga
mengedepankan masalah “lingkaran hermeneutik”, yaitu untuk
memahami sebuah teks seseorang harus mempunyai ide utama
dari keseluruhan arti, juga seseorang hanya dapat mengetahui
arti dari keseluruhan hanya dengan mengerti arti dari bagian-
bagiannya. Dilthey percaya bahwa perputaran ini dapat
dihindari melalui suatu permainan tetap yang saling
menentukan dan arah balik antara bagian-bagian dan
keseluruhan itu.
Sebuah perubahan besar dalam pemikiran hermeneutik
terjadi pada abad ini sebagai dampak dari filsafat Martin
Heidegger yang karyanya berpengaruh besar terhadap salah
satu tokoh terpenting dalam hermeneutik modern, yaitu Hans
Georg Gadamer. Gadamer mengembangkan pernyataan
Heidegger bahwa situasi historis dan temporal penafsiran tidak

- 399 -
dapat dilepaskan dari hermeneutis. Oleh karena itu, tidak ada
yang harus lepas dari lingkaran hermeneutik. Dalam karya
besarnya, Truth and Method, dia berpendapat bahwa: masa lalu
dapat ditangkap hanya melalui relasinya dengan masa kini.
Oleh karena itu, pemahaman masa lampau melibatkan fusi
horison (peleburan cakrawala) antara teks sebagai perwujudan
pengalaman masa lampau dan minat dan bahkan pra andaian
dari penafsir pada saat ini dan tidak seperti Schleiermacher dan
Dilthey yang percaya bahwa rekonstruksi konteks original dari
teks dalam istilahnya sendiri dengan minat dan prasangka
penafsir dijauhkan sejauh mungkin.
E.D. Hirsch barangkali pengikut paling utama pende-
katan hermeneutik tradisional dari schleiermacher dan Dilthey,
bertentangan dengan gadamer dan Heidegger karena Hirsch
percaya bahwa heidegger dan Gadamer membawa kita pada
bentuk hermeneutik yang mengarah kepada relativisme total.
Hirsch beralasan bahwa penafsir dari sebuah teks memiliki
tugas moral untuk memahami teks dalam relasinya dengan
konteks aslinya. Tetapi Hirsch berupaya untuk mempertahan-
kan beberapa peran bagi minat penafsir dengan menarik
perbedaan antara arti dan makna. Apabila arti dari teks dapat
tetap maka makna akan berubah dalam kaitannya dengan minat
penafsir.
P.D. Juhl dalam bukunya Interpretation juga tertarik atau
berminat pada hermeneutik tradisional tetapi tidak seperti
Hirsch. Dia (Juhl) melakukan sesuatu dengan dasar inten-
sionalis. Dia berpendapat bahwa kita hanya dapat menginter-
pretasi teks jika kita dapat mengasumsikan bahwa teks itu
diciptakan sebagai satu hasil dari keniatan manusia (human
intentionality). Oleh karena itu, menginterpretasi teks seolah-
olah tidak berpengarang. Jadi yang harus ada dalam

- 400 -
hermeneutik adalah usaha untuk merekonstruksi maksud
pengarang yang asli dari bukti-bukti apapun yang ditemukan.
Gadamer menyatakan bahwa bahasa sebagai penentu
objek hermeneutik. Menulis merupakan proses pemindahan
diri. Lebih-lebih membaca teks. Membaca teks merupakan tugas
tertinggi dari pemahaman, bahkan tanda-tanda prasasti secara
murni dapat dilihat secara tepat dan dapat diartikulasikan secara
benar hanya jika teks dapat ditransformasikan kembali kepada
bahasa. Bagaimanapun, transformasi itu selalu membangun
hubungan dengan apa yang dimaksudkan, dengan obyek yang
sedang dibicarakan. Di sini proses pemahaman pndah dengan
masuk ke ke bidang arti yang dijembatani oleh tradisi bahasa.
Jadi tugas hermeneutik dengan suatu inskripsi permulaan
hanya setelah diuraikan. Hanya dalam arti luas bukan
merupakan sastra monumen yang menghadirkan tugas
hermeneutik. Jadi tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri.
Yang dimaksudkan adalah sebvuah pertanyaan tentang
interpretasi, bukan uraian dan pemahaman terhadap apa yang
mereka katakan.
Dalam penulisan, bahasa mencapai kebenaran kualitas
intelektualnya ketika bertentangan dengan tradisi pemahaman
kesadaran yang mendapatkan kekuasaannya secara penuh.
IV. Ringkasan
1. Hermeneutika sebagai ilmu interpretasi merupakan proses
yang bersifat triadik (mempunyai tiga aspek yang saling
berhubungan), yaitu dunia teks (the world of the text), (b)
dunia pengarang (the world of author), dan (c) dunia pembaca
(the world of reader)
2. Tokoh-tokoh hermeneutik yaitu (1) F.D.E. Schleiermacher
(1768-1834), (2) Wilhelm Dilthey (1833-19211), (3) Emilio
Betti, (4) E.D. Hirsch, (5) Bultmann, (6) Martin Heidegger

- 401 -
(1889-1976), (7) Hans Georg Gadamer, (8) Jurgen Habermas,
(9) Paul Recoeur.
3. Hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada
di balik struktur. Permahaman makna, tak hanya pada
simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di
dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penliti
harus menukik ke arah teks dan konteks hermeneutik
sehingga ditemukan makna utuh.
4. Pada dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan
dua metode tafsir sastra. Pertama, metode dialektik antara
masa lalu dengan masa kini dan Kedua, metode yang
memperhatikan persoalan antara bagian dengan
keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti untuk
melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas
konteks historis-kultural.
5. Intrerpretasi teks sastra tergantung pada pengalaman
peneliti. Semakin dewasa si peneliti, tentu kematangan
psikologisnya dalam menafsirkan semakin bisa diandalkan
pula. Pengalaman peneliti juga amat penting dalam
menggali makna sebuah teks sastra.
6. Penafsiran teks sastra setidaknya mengikuti salah satu atau
lebih dari enam pokok rambu-rambu yaitu : teks sudah jelas,
berusaha menyusun kembali arti historik, Penafsir dapat
berpedoman pada maksud si pengarang seperti nampak
pada teks sendiri atau diluar teks, berusaha memadukan
masa silam dan masa kini, bertolak pada pandangannya
sendiri mengenai sastra. berpangkal pada suatu
problematik tertentu, seperti aspek politik, psikologis,
sosiologis, dan moral, serta pembaca dapat menafsirkan
sendiri teks yang dibaca.

- 402 -
DAFTAR PUSTAKA

Abrams. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt,


Rinehart and Winston.
Bleicher, Josef.2003. Hermeneutika Kontemporer, terjemahan:
Ahmad Norma Permata .Yogyakarta: Fajar Pustaka baru.
Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika al-Qu’ran. Yogyakarta:
Qolam.
Hardiman, F.Budi. 2002. Melampaui Positivisme dan
Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Hawthorn, Jeremy. 1994. A Concise Glossary of Contemporary
Literary Theory. London: Edward Arnold.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah
Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra.
Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia
Newton, K.M. 1990. Twentieth Century Literary theory: A
Reader. 101-112. London.
Palmer, E Richard. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryono. 1993. Hermeneutik: Sebuah Teori Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius,
Yogyakarta: Kanisius

- 403 -
LATIHAN

1. Sebutkan pengertian hermeneutik secara etimologis!


2. Sebutkan pengertian hermeneutik secara terminologis!
3. Sebutkan tokoh-tokoh hermeneutik!
4. Sebutkan pendapat para tokoh hermeneutik !
5. Sebutkan hubungan antara hermeneutik dan filsafat!
6. Sebutkan hubungan antara filsafat dan sastra dalam
pespektif hermeneutik!
7. Bagaimana kajian hermeneutik terhadap teks sastra
dilakukan?
8. Pilihlah satu surat dalam juz amma dan kajilah secara
hermeneutis! Kerjalah secara berkelompok!
9. Presentasikan hasil kerja no 6 ke depan teman-teman kalian!
10. Carilah satu artikel jurnal tentang kajian hermeneutik Al-
Quran atau kajian hermeneutik terhadap teks sastra dan
presentasikan hasil bacaan kalian!

‫بالتوفيق والسداد‬

- 404 -
Teori &
BAB Metode Kajian
___ 18 Interdisipliner

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode kajian
interdisipliner. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode kajian
interdisipliner. Pada bab selanjutnya akan dipelajari tentang
kajian dekonstruksi. Mahasiswa diharapkan mempelajari de-
ngan baik materi ini dengan baik agar dapat mengikuti materi
berikutnya dengan mudah.

- 405 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori dan metode kajian interdisipliner, dan
dapat menerapkan teori tersebut dalam teks prosa Arab.

A. Pengertian Interdisipliner
Pendekatan Interdisipliner adalah pendekatan dalam
pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan
berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan atau
tepat guna secara terpadu. Adapun Pendekatan Multi-
disipliner adalah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah
dengan menggunakan berbagai sudut pandang banyak ilmu
yang relevan.
Interdisipliner (interdisciplinary) adalah interaksi intensif
antar satu atau lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan
maupun yang tidak, melalui program-program pengajaran dan
penelitian, dengan tujuan melakukan integrasi konsep, metode,
dan analisis. Multidisipliner (multidisciplinay) adalah peng-
gabungan beberapa disiplin untuk bersama-sama mengatasi
masalah tertentu. Transdisipliner (transdisciplinarity) adalah
upaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru
dengan membangun kaitan dan keterhubungan antar berbagai
disiplin (Prentice, A.E (1990); http://www.darmayanti.
wordpress.com/2012/02/25/interdisipliner-multidisipliner-dan-
transdisipliner/
Penelitian sastra memerlukan sumbangan ilmu-ilmu
bantu, lebih-lebih dalam interpretasi karya sastra, penafsiran/
penguraian maksud atau makna karya sastra. Bila peneliti
sudah membekali diri dengan ilmu-ilmu bantu diharapkan

- 406 -
mudah baginya untuk memahami karya sastra. Ilmu-ilmu
bantu yang dimaksud adalah ilmu-ilmu sosial yang ada
hubungannya dengan sastra, seperti bahasa, biografi, psikologi,
sosiologi, sejarah, filsafat, etnologi, dan cabang-cabang seni
yang lain.
Sastra merupakan produk masyarakat, sastra itu
merupakan pengalaman yang intens, yang ditunjukkan melalui
keberadaan jiwa dan perilaku tokoh-tokohnya. Jadi jelas betapa
penelitian sastra memerlukan sekali uluran tangan ilmu-ilmu
bantu tersebut. Penelitian intrinsik misalnya, jelas memerlukan
bantuan linguistik (bahasa). Demikian pula penelitian eks-
trinsik perlu bantuan psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, dan
sebagainya.
Ilmu-ilmu bantu itu diharapkan dapat memberi kemung-
kinan lebih besar bagi pemahaman sastra. Dengan sumbangan
ilmu bantu, peneliti sastra diharapkan menjadi peneliti sastra
yang baik. Akan tetapi itu bukan berarti dimaksudkan agar
peneliti sastra menjadi linguis, sejarawan, psikolog, atau
sosiolog. Memang mungkin saja terjadi karya sastra dikajikan
objek studi sosiologi, psikologi, atau sejarah, tetapi bila karya
sastra dijadikan objek kajian sastra tentu saja berbeda
persoalannya. Oleh sebab itu pengajaran ilmu-ilmu bantu itu
harus dibedakan untuk kepentingan studi sastra atau untuk
kepentingan studi yang lain.
Dalam kaitannya dengan studi sastra, ilmu-ilmu bantu itu
cenderung lebih banyak dimanfaatkan untuk penelitian
ekstrinsik (Wellek & Warren, 1968: 73). Ilmu-ilmu bantu ada
kemungkinan diperlukan dalam penelitian aspek-aspek sosial
dalam teks sastra, atau diperlukan dalam penelitian hubungan
teks sastra dengan segi-segi sosiologisnya. Misalnya hubungan
sastra dengan pengarang, dengan pembaca, penerbit atau
proses saling pengaruh, serta sebab akibat dalam hubungan itu.

- 407 -
Manfaat ilmu-ilmu bantu itu terhadap penelitian sastra secara
teoritis akan terlihat apabila kita berbicara tentang hubungan
sastra dengan ilmu-ilmu bantu satu demi satu.

B. Hubungan sastra dengan keilmuan lain


Sastra berhubungan dengan psikologi. Mengenai hu-
bungan ini Wellek dan Warren menerangkan bahwa dalam
hubungannya dengan ilmu jiwa, sastra merupakan:
1. Penyelidikan jiwa pengarang sebagai tipe/individu
2. Penyelidikan proses penciptaan
3. Penyelidikan tipe-tipe jiwa dan norma-norma dalam
karya sastra
4. Pengaruh sastra terhadap masyarakat
Sigmund Freud seorang ahli ilmu jiwa terkemuka menga-
takan (Wellek & Warren, 1968:82) bahwa seniman (termasuk
sastrawan) itu sesungguhnya orang yang melarikan diri dari
kenyataan karena tidak dapat memenuhi kebutuhan nalurinya.
Kemudian ia lari ke alam fantasi untuk mempermainkan
harapannya. Hasilnya berupa karya seni sebagai refleksi
impian hidupnya.
Carl Yung seorang ahli ilmu jiwa dari Swiss membagi tipe
jiwa manusia atas ”introvert” dan ”ekstrovert”, yaitu di bawah
alam sadar ada kumpulan bawah sadar. Seorang pengarang
dimasukkan tipe tertentu berdasarkan karyanya, tetapi mes-
kipun demikian ada pengarang dengan karya sastra yang
menunjukkan lawan dari tipe dirinya (Wellek & Warren,
1968:83).
J. Ellema dam Petica, menyatakan jiwa manusia terdiri
dari lima tingkatan. Bagi pengarang tingkatan-tingkatan itu
dapat tercermin dalam karya-karyanya melalui tahapan-
tahapan tertentu.

- 408 -
1. Nivenu anorginis
Merupakan tingkatan jiwa terendah, sifatnya seperti
benda mati. Bila tejelma dalam karya sastra berupa pola bunyi,
irama, baris sajak, kalimat, gaya bahasa, dan sebagainya.

2. Niveauvegetatif
Meruapakn tingkatan kedua, seperti halnya tumbuhan,
pada tingkat ini telah ada kehidupan, ada gerak, tetapi belum
ada perasaan, keinginan, dan sebagainya. Bila tingkatan ini
terjelma dalam karya sastra berupa suasana yang ditimbulkan
oleh rangkaian kata misalnya mesra, senga, sedih dan
sebagainya.

3. Niveau animal
Tingkatan jiwa seperti yang dimiliki binatang, telah ada
hasrat, nafsu, kemauan yang didorong oleh nafsu jasmaniah
yang bersifat naluri. Tingkat jiwa ini bila terjelma dalam karya
sastra berupa hasrat, keinginan, harapan, cita-cita dan
sebagainya.

4. Niveau human
Tingkatan jiwa ini hanya dapat dicapai oleh manusia
berupa perasaan, akal. Bila terjelma dalam karya sastra berupa
renungan moral, batin, sikap, pertimbangan pikiran, dan
sebagainya.

5. Niveau religius
Merupakan tingkatan jiwa tertinggi yang tidak dialami
manusia sehari-hari, hanya ada saat dalam renungan. Misalnya
berdoa, bersemedi, meditasi dan sebagainya. Bila terjelma
dalam karya sastra berupa hubungan manusia dengan Tuhan,
misalnya doa-doa, pengalaman mistik, renungan filsafat,
hakikat, dan lain-lain.
Setiap proses penciptaan seharusnya meliputi unsur-
unsur sadar dan tak sadar. Akan tetapi, kadang-kadang suatu
- 409 -
teori ilmu jiwa dipakai pengarang untuk melukiskan tokoh-
tokoh dan lingkungan sosialnya. Tipe-tipe jiwa dan norma-
norma tingkah laku tokoh-tokoh dalam karya sastra sedikit
banyak berpengaruh pula terhadap jiwa pembaca. Dalam skala
kecil berupa reaksi emosional yang bersifat spontan. Dalam
skala besar bisa berupa sikap, pendirian, prinsip, watak, dan
lain-lain apabila pembaca sampai pada renungan dan
pemahaman yang dalam.
Menurut Darma, nilai-nilai seni yang terkandung dalam
karya sastra selain membawa ajaran moral juga mampu
membentuk jiwa halus, berperasaan dan sifat-sifat humanitat
yang lain (1984:47). Ada pendapat yang mengatakan bahwa
semakin banyak seseorang membaca karya sastra, maka orang
tersebut cenderung lebih kritis, bijak, dan mempunyai peng-
hargaan yang tinggi terhadap nilai kemanusiaan. Adakalanya
nilai seni suatu karya sastra mampu menumbuhkan watak
tertentu dari suatu masyarakat.
Sastra berhubungan dengan Filsafat. Sastra adalah wadah
filsafat tertentu atau perwujudan dari suatu aliran filsafat.
Dalam sejarah kebudayaan, masa keemasan filsafat dalam
sastra dapat ditemui pada waktu seorang pujangga berfungsi
sebagai filsuf, atau sebaliknya bila seorang filsuf berfungsi
sebagai seorang penulis.
Sastra setiap saat selalu mengalami perkembangan.
Karena itu sastra berkaitan dengan sejarah. sejarah sedikit
banyak mencatat perkembangan sastra. Hanya saja karena
sejarah sastra erat kaitannya dengan sejarah kebudayaan, maka
pertalian sastra yang khusus ialah dengan sejarah kebudayaan.
Hasil sastra terkadang juga menceritakan tokoh-tokoh tertentu
atau dengan situasi politik dan kebudayaan yang berkembang
pada kurun waktu tertentu.

- 410 -
Sastra juga berhubungan dengan sosiologi. Wellek dan
Warren mengatakan bahwa karya sastra itu sebuah lembaga
masyarakat yang bermedium bahasa, sedang bahasa sendiri
adalah ciptaan masyarakat (1968:94). Oleh sebab itu, kebanyaan
unsur-unsur dalam karya sastra bersifat sosial, yaitu norma-
norma yang dapat tumbuh dalam masyarakat. Karya sastra
juga mewakili kehidupan, sedang kehidupan adalah kenyataan
sosial yang dalam diri sastrawan dapat menjadi objek
penciptaan karya sastra.
Pengarang adalah anggota masyarakat, ia mempunyai
hak penuh untuk mengharapkan kebebasan dari masyarakat-
nya, yakni kebebasan berbicara, melontarkan gagasan,
memandang setiap persoalan serta menentukan cara berkreasi
sesuai konsepnya. Sebaliknya, masyarakat juga mempunyai
alasan untuk mengharapkan tanggung jawab sosial pengarang.
Mungkin berupa kritik atau protes terhadap situasi dan kondisi
sosial tertentu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.
Problem masyarakat sebenarnya juga problem karya sastra,
karena karya sastra tidak hanya berfaedah bagi perseorangan,
tetapi juga berfungsi sosial.
Menurut pendapat Marxis, karya sastra harus berorientasi
pada kepentingan masyarakat tanpa membedakan kelas
berdasarkan norma politik dan etika. Namun demikian, betapa
pun besarnya kesadaran sosial yang dikandung suatu karya
sastra belum tentu menjamin nilai artistiknya. Ada karya sastra
besar yang tidak mengungkapkan soal-soal masyarakat. Karya
sastra yang berbicara tentang masyarakat bukan berarti pusat
dari karya sastra, melainkan hanya cabang kecil dari karya
sastra. Sebab, hakikatnya karya sastra bukan tiruan kehidupan,
juga bukan pengganti sosiologi atau politik tetapi karya sastra
mempunyai nilai dan maksud sendiri (Sumardjo, 1982:15-16).

- 411 -
Antara karya sastra dengan seni rupa dan seni musik juga
saling berkaitan. Puisi kadang-kadang mendapat ilham dari
lukisan, pahatan, atau nyanyian. Penyair sendiri juga mem-
punyai minat terhadap seni rupa dan kesukaan pada pelukis-
pelukis tertentu yang teorinya dapat dihubungkan dengan teori
dan citarasa karya sastra (Wellek & Warren, 1968:125).
Sebaliknya, tema-tema seni sastra dapat dipakai dalam
seni rupa dan seni suara, terutama dalam vokal sebagaimana
puisi lirik dan drama yang berhubungan erat dengan musik.
Karya sastra sering mengusahakan diri menimbulkan efek
seperti dalam seni lukis dan seni suara atau sebaliknya. Dalam
karya sastra yang beraliran simbolisme, anasir suara dipenting-
kan. Selain itu ada juga anasir-anasir umum dalam puisi seperti
irama, metrum yang juga menjadi objek penelitian musik.
Musik dan karya sastra sebagai dua jenis penyataan seni sama-
sama menggunakan lambang. Hubungan seni sastra dengan
seni lukis tampak pada peminjaman istilah. Seni sastra dan seni
lukis menggunakan istilah yang sama, misalnya realisme,
surrealisme, ekspresionisme, romantisme, dan lain-lain,
terutama untuk menyebut aliran atau gaya (Wellek & Warren,
1968:131). Hubungan yang lebih erat terlihat karena kedua seni
itu termasuk bidang estetika.
Sastra juga berhubungan dengan etnologi. Hubungan
karya sastra dengan etnologi terlihat dalam pemakaian bentuk
bahasa. Hubungan karya sastra dengan kepercayaan masya-
rakat kepada hal-hal gaib yang ada dalam kehidupan, misalnya
ada tabu bahasa, mantra, dan sebagainya. Hubungan itu
terlihat pula jika kita membicarakan bagaimana cerita lisan
(folklor) itu menjadi cerita tertulis.
Sastra juga berhubungan dengan Pengarang. Sebuah
karya sastra sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari penga-
rangnya. Sebuah karya sastra sebelum sampai kepada pembaca,

- 412 -
tentunya ia melewati suatu proses yang panjang. Proses dari
mulai munculnya dorongan untuk menulis, pencarian inspirasi,
pengendapan ide (ilham), penulisan sampai akhirnya tercipta
sebuah karya sastra yang siap untuk dinikmati masyarakat.
Sastra diciptakan pengarang tidak dalam keadaan kosong.
Pengarang tentu mempunyai misi tertentu yang harus
disampaikan kepada pembaca. Mungkin berupa gagasan, cita-
cita, dan saran. Pengarang menulis tentu ada sesuatu yang
ingin disampaikan kepada pembaca. Kepekaan naluri
pengarang dengan kreativitas dan latar belakang sosialnya
mampu mendorong untuk mengungkapkan realitas istimewa
yang ditangkap batin melalui indera itu untuk disampaikan
kepada orang lain. Dalam sastra, pengarang mencurahkan
segala yang ada pada dirinya dengan ketulusan yang tidak ada
taranya, sehingga tidak boleh ada sesuatu yang tidak berkaitan
dan mempunyai arti dalam karya sastra (1977:33). Jadi
pengarang dalam mencipta, sadar ataupun tidak, selalu
memasukkan kehidupan pribadinya ke dalam karya yang
diciptakannya. Kehidupan pribadi itu mungkin perasaan,
keinginan atau pengalamannya.
Oleh sebab itu, dalam penelitian sastra (struktur atau
sosiologi) faktor pengarang tidak dapat dikesampingkan begitu
saja, sebab faktor pengarang erat kaitannya dnegan karya
sastra. Kaitan itu terlihat pada hubungan latar belakang
pengarang dengan proses penciptaan teks; latar belakang sosial
pengarang dengan aspek intrinsik dan ekstrinsik karya sastra.
Jadi latar belakang pengarang yang menyangkut biografi
sangat menunjang penelitian karya sastra. Bahkan dikatakan
Wellek dan Warrren bahwa sebab terpenting lahirnya karya
sastra adalah pengarang (1968:75-76). Oleh sebab itu latar
belakang pengarang yang menyangkut biografi tidak dapat
dikesampingkan. Biografi mengandung bermacam-macam

- 413 -
nilai, dapat menerangkan sebab timbulnya karya sastra, dapat
merupakan bahan ilmu jiwa pengarang, dan dapat
menunjukkan proses terciptanya sebuah teks sastra.

C. Hubungan Karya Sastra dengan Masyarakat Pembaca


Pengarang tidak hanya dipengaruhi masyarakat, tetapi
juga mempengaruhi masyarakat. Literature is an expression of
society yang dikemukakan De Bonald dapat digunakan sebagai
pangkal pembicaraan hubungan karya sastra dengan masyarakat,
meskipun tidak sepenuhnya benar bahwa karya sastra adalah
pencerminan masyarakat. Sebab, apa yang diucapkan pengarang
sebenarnya adalah pengalaman dan keseluruhan pendapatnya
tentang hidup, bukan keseluruhan hidup itu sendiri (Wellek &
Warren, 1968:91). Memang ada beberapa karya sastra yang dapat
dipandang sebagai bayangan kemasyarakatan. Karya sastra
yang demikian dapat dikatakan sebagaia karya sastra yang
mendukung masyarakat, mungkin dapat dihubungkan dengan
keadaan ekonomi, politik, keamanan, dan sebagainya.
Ada pengarang yang memisahkan diri dari masyarakat
karena merasakan adanya kontradiksi antara harapannya
dengan harapan masyarakatnya. Ada kemungkinan pengarang
demikian tidak disukai masyarakat pembaca, karena memang
karyanya tidak mempunyai pengaruh terhadap masyarakat.
Orang muda cenderung lebih mudah dipengaruhi bacaan, juga
orang yang belum berpengalaman akan menelan semua apa
saja yang tertulis. Itulah sebabnya di kalangan masyarakat
pembaca dengan sendirinya biasanya terjadi pembagian tingkat
dalam mengkonsumsi bacaan sastra.
Sumardjo mengatakan bahwa pembagian itu disebabkan
oleh latar belakang kehidupan masyarakat yang heterogen,
baik segi ekonomi, pendidikan, pekerjaan, maupun ling-
kungannya (1982:27). Secara formal ia membagi masyarakat

- 414 -
menjadi tiga golongan, yaitu golongan atas, yang terdiri atas
orang-orang yang makmur, hidup lebih dari cukup, dan status
sosial tinggi. Golongan masyarakat menengah, yang umumnya
berpendidikan tinggi, tetapi karena pendidikan tinggi belum
tentu menjamin hidup yang lebih baik, maka banyak lulusan
pendidikan tinggi yang menempati kelas ini. Golongan
masyarakat bawah, meliputi rakyat pinggiran yang terdiri dari
buruh, pedagang kecil, buruh kasar, petani dan yang rata-rata
kurang berpendidikan atau tidak berpendidikan.
Sumardjo menjelaskan bahwa jika ditinjau dari segi
intelektual dan kultural maka golongan masyarakat bawah
sulit ditarik ke dalam kehidupan sastra. Selain pendidikan yang
kurang bahkan buta huruf, mereka hidup penuh kesulitan
sehingga tidak ada waktu luang untuk mengisi kekayaan batin
mereka dengan membaca karya sastra. Masyarakat atas juga
sulit menjadi masyarakat sastra, sebab kehidupan mereka yang
makmur diwarnai kesibukan pekerjaan dan berbagai kegiatan.
Umumnya karya sastra adalah produk lapisan masyarakat
menengah, sebab lapisan ini adalah kaum terpelajar, banyak
yang mencapai pendidikan tinggi (1982:28).
Damono membagi golongan masyarakat pembaca atas
dua kelompok. Pertama, golongan pembaca sastra klas dua.
Pembaca golongan ini menyukai karya sastra yang dihasilkan
pengarang klas dua, yaitu yang isinya hanya sekedar
reproduksi realitas sosial dan kesadaran kolektif. Karya ini
hanya berupa pembeberan pengalaman pengarang tanpa
upaya rekonstruksi. Kedua, golongan pembaca yang menyukai
karya sastra yang dihasilkan pengarang utama, yaitu karya
sastra yang isinya menjajagi kedalaman nilai-nilai realitas
dengan diimbangi oleh struktur yang sepadan sehingga
pemahamannya perlu penafsiran yang dalam (1979:5-6).

- 415 -
Luxemburg menerangkan hubungan karya sastra dengan
pembaca, bahwa ada pembaca ”di dalam” teks dan ”di luar”
teks. Pembaca ”di dalam” teks meliputi pembaca implisit dan
eksplisit, pembaca ”di luar” meliputi pembaca sesungguhnya
dan pembaca yang diandaikan (1984:76-79). Pembaca yang
diandaikan dijumpai dalam uraian tentang puisi dan
interpretasi-interpretasinya. Pembaca yang sesungguhnya ialah
pembaca yang dapat dianggap sebagai objek penelitian resepsi
eksperimental, misalnya peneliti dan kritikus. Tentang pem-
baca ”di dalam” teks yang dimaksud dengan pembaca implisit
atau pembaca yang sebetulnya disapa oleh pengarang ialah
gambaran pembaca yang merupakan sasaran pengarang dan
yang terwujud oleh sengaja petunjuk yang terdapat dalam teks.
Pembaca yang mengerti akan petunjuk-petunjuk itu akan dapat
memahami bagaimana teks yang bersangkuan harus dibaca.
Pembaca eksplisit dasarnya sama dengan pembaca implisit,
yaitu pembaca yang disapa pengarang. Hamya saja menya-
panya secara langsung, Jadi seolah-olah ada yang diajak bicara
oleh pengarang.
Karya sastra sebagai ekspresi masyarakat yang sepenuh-
nya mewakili zaman dan masyarakatnya. Karya sastra lahir
tidak saja disebabkan oleh masyarakat, tetapi juga mempe-
ngaruhi masyarakat. Sekali pun karya sastra adalah ciptaan
pengarang, tetapi apabila telah dilempar ke masyarakat ia akan
menjadi milik masyarakat, disukai atau tidak. Sebab kenyataan
bahwa masyarakat pembaca tidak memiliki tingkat apresiasi,
selera, kepentingan, dan minat baca yang sama, tentu saja
karena faktor latar belakang yang snagat heterogen. Namun
begitu masyarakat pembaca sebagai salah satu pendukung
kehidupan duni sastra tetap merupakan bagian yang penting.

- 416 -
D. Hubungan Karya Sastra dengan Sistem Sosial Budaya
Karya sastra erat kaitannya dengan sistem sosial budaya.
Sebagai bagian dari budaya, karya sastra mempunyai kaitan
dengan segi-segi budaya lainnya, seperti bahasa, agama,
bermacam-macam kesenian, dan sistem sosial. Tentang fungsi
sosial karya sastra, Damono menjelaskan bahwa ada tiga hal
yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan fungsi sosial karya
sastra. Pertama, ada karya sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup pendirian
bahwa karya sastra harus berfungsi sebagai pembaharu, pe-
rombak dan mengajarkan sesuatu secara terus-menerus.
Kedua, anggapan bahwa karya sastra bertugas sebagai peng-
hibur saja; dalam hal ini gagasan ”seni untuk seni” tak ada
bedanya dengan praktek melariskan dagangan. Ketiga,
anggapan bahwa karya sastra harus emngajarkan sesuatu
dengan cara menghibur (1984:4).
Tentang fungsi kultural karya sastra, Damono berpen-
dapat bahwa setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal
balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan
karya sastra itu sendiri sebenarnya kultur yang rumit. Sebab
bagaimanapun juga karya sastra bukanlah suatu gejala
tersendiri. Oleh sebab itu, karya sastra tidak dapat dipahami
selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan
kebudayaan dan peradaban yang telah menghasilkannya. Ia
harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak
hanya dirinya sendiri (1984:4). Untuk memahami suatu teks
sastra dibutuhkan pengetahuan bermacam-macam sistem kode
yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Selain kode
bahasa dan kode sastra yang khas, penting pula adalah sistem
kode budaya (Teeuw, 1984:13-14).
Hubungan karya sastra dengan sistem sosial budaya lebih
jauh dapat kita ketahui dengan mempelajari hubungan nilai

- 417 -
dalam karya sastra dengan sistem nilai dalam masyarakat. Nilai
dalam karya sastra maksudnya ialah sistem norma yang
diberlakukan dalam karya sastra dan sistem nilai dalam masya-
rakat artinya sistem norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Nilai dalam karya sastra yang sesuai
dengan sistem nilai dalam masyarakat berarti tidak membawa
inovasi bai dinamika budaya, peradaban dan pola pikir
masyarakat. Idelanya karya sastra harus membawa pembaruan
bagi masyarakatnya, harus inovatif. Oleh karena itu sebaiknya
nilai dalam karya sastra tidak sesuai dengan sistem nilai dalam
masyarakat, tetapi justru harus mendahuluinya.
Sebagai bagian dari sistem sosial budaya, moral dengan
karya sastra juga tidak dapat dipisahkan begitu saja. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa karya sastra yang baik
selalu memberi pesan kepada pembaca supaya berbuat baik.
Pesan itu dinamakan moral, orang biasa menyebutnya amanat.
Maksudnya sama, yaitu karya sastra yang baik selalu mengajak
pembaca untuk menjunjung tinggi moral.
Terdapat kemiripan antara agama, filsafat dan sastra.
Darma berpendapat bahwa karya sastra, agama dan filsafat
sama-sama bercerita tentang manusia, yaitu sama-sama ber-
tugas mendidik jiwa manusia menjadi halus, yang memenuhi
fungsi dan hakikatnya serta sufatnya sebagai manusia, meski-
pun dengan cara yang berbeda-beda. Jika agama langsung
menunjuk pada kebenaran moral berdasarkan kesadaran dan
keyakinan, maka karya sastra justru mengungkap dunia yang
seharusnya menurut moral tidak terjadi (1984:47).
Karya sastra yang lahir karena agama menurut Darma
sudah mempunyai ciri yang jelas. Karya sastra digunakan
sebagai sarana manusia untuk bertaqwa, untuk memberikan
pengakuan manusia akan keterbatasannya. Namun begitu
tidak sedikit hasil sastra yang jelas-jelas bernafaskan keaga-

- 418 -
maan, baik berupa cerpen, novel, maupun puisi. Sebenarnya
dapat dikatakan hampir setiap karya sastra mengandung nilai
moral betapa pun kecilnya (1984:53).

E. Era Interdisipliner dan Multidisipliner


Roman Jakobson– salah seorang tokoh terkemuka bidang
fungsionalisme ilmu bahasa, di samping tokoh kajian sastra–
mengatakan bahwa semua teori dan metodologi yang berwatak
monodisipliner-posivistis-partikular akan kewalahan mengeks-
planasi objek ilmu. Tidak ada kesempurnaan dan kelengkapan
teori dan metodologi apapun– kesempurnaan hanyalah ilusi,
utopia atau halusinasi sehingga klaim kesempurnaan dan
kelengkapan suatu teori dan metodologi justru akan menim-
bulkan banyak masalah epistemologis (Jakobson, dalam
Saryono, 2015).
Kajian multidisipliner menjadi penting karena hal-hal
berikut. (1) masalah-masalah dalam kehidupan manusia
ternyata banyak yang tidak dapat diselesaikan ilmu-ilmu
disipliner yang spesialistis-partikular, (2) ilmu-ilmu disipliner
yang spesialistis-partikular kehilangan relevansi dan nilai guna
dalam masyarakat, dan (3) bangunan teoretis dan epistemologis
atau metodologis ternyata mengalami ‘kebocoran serius’
sehingga klaim-klaim teoretis dan metodologis dari ilmu-ilmu
disipliner banyak yang tidak andal dan tak dapat diandalkan;
dan (4) watak ideologis (dan subjektivistis) ilmu-ilmu disipliner
tidak dapat diketahui dan dimanfaatkan secara pasti dalam
konteks kepentingan masyarakat, bisa jadi hanya kepentingan
kekuasaan non-demokratis; serta (5) watak ilmu-ilmu
monodisipliner terbukti orientalistis dan kolonialistis (Fauzi,
Said, dan Linda Smith, dalam Saryono, 2015].
Kerjasama dan saling silang ilmu-ilmu dan metode
penelitian dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan

- 419 -
kritis kehidupan. Gerakan saling-silang dan kerja sama
mengakibatkan adanya gerak konvergensi dalam tradisi ilmu-
ilmu modern, yaitu gerak perapatan, penggabungan, penya-
tuan, pemaduan, dan pengombinasian teori dan metodologi
ilmu-ilmu yang beraneka ragam dan majemuk. Pada awal
tahun 1990-an juga mulai muncul dan berkembang pula
gerakan memadukan atau meleburkan metodologi kualitatif
dan kuantitatif.
Ideologi multidisipliner menurut Saryono (2015) memiliki
orientasi pada penuntasan masalah-masalah yang dihadapi
oleh manusia dengan menggunakan berbagai teori dan
metodologi secara serempak. Bangun teoretis [ontologis] dan
metodologis [epistemologis] yang tersekat-sekat atau terfrag-
mentasi di-bongkar dan aksiologi dirangkul kembali dalam
‘ideologi’ multidisipliner serta kemudi-an diduetkan atau
dipertemukan dalam konteks ideologi multidisipliner. Dari
sinilah kemudian lahir studi-studi tertentu.
‘Ideologi’ monodisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu
sastra mendorong timbulnya (semacam) “krisis ontologis dan
epistemologis [metodologis]”. Kenyataan tersebut jelas
merupakan kondisi dunia ilmu bahasa dan dunia ilmu sastra
yang tak ideal, bahkan “terbelakang” dan terancam mengalami
senjakala kematian. ‘Ideologi’ multidisipliner dalam ilmu
bahasa dan ilmu sastra kemudian muncul untuk merespons
dan mengubah kondisi dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra
tersebut. Bangunan teoretis [ontologis] dan epistemologis atau
metodologis yang monodisipliner lalu mulai dibongkar,
digeser, malah diganti. Sebagai gantinya, mulailah dikem-
bangkan bangun teoretis dan metodologis yang bersifat
multidisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Semenjak
paruh terakhir dasawarsa 1980-an mulai berkembang pesat

- 420 -
teori dan metodologi ilmu bahasa dan ilmu sastra yang
multi(inter)disipliner (Saryono, 2015).
Bidang-bidang multidisipliner dalam ilmu bahasa dan
ilmu sastra misalnya fonetik, psikologi bahasa, sosioilmu
bahasa, geografi bahasa, etnografi komunikasi, dan neurologi
bahasa serta wacana kritis; psikologi sastra, sosiologi sastra,
estetika, kri-tisisme baru, etnopuitika, dan pascakolonialisme.
Metode-metode multidisipliner juga mendapat tempat dalam
penelitian ilmu bahasa dan ilmu sastra, bahkan lazim dipakai
dalam kegiatan penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra,
misalnya semiotika bersama hermeneutika. Pada dasawarsa
1980-an multidiplineritas dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra
sudah tumbuh dan berkembang baik. Sekarang perspektif,
teori, dan metode multidisipliner sudah berkembang jauh
dalam kajian bahasa dan kajian sastra. Dunia ilmu bahasa dan
ilmu sastra sekaligus kajian bahasa dan kajian sastra sekarang
memasuki era multidisipliner.
Saryono menjelaskan bahwa pertumbuhan dan perkem-
bangan kajian bahasa dan kajian sastra sekaligus ilmu bahasa
dan ilmu sastra multidisipliner tersebut memberikan dua arti
penting. Pertama,kajian bahasa dan kajian sastra sekaligus ilmu
bahasa dan ilmu sastra akan semakin terbuka-inklusif
memanfaatkan dan mendayagunakan paradigma, pendekatan,
dan teori serta metode kajian dari manapun, baik dari dalam
dunia kajian bahasa dan kajian sastra maupun dari dunia ilmu-
ilmu hermeneutis pada umumnya, malah ilmu-ilmu emansi-
patoris. Kedua, kajian bahasa dan kajian sastra akan dapat
semakin berkembang secara otonom dan mandiri tanpa harus
selalu bergantung pada ilmu-ilmu lain, terbebas dari bayang-
bayang dominan atau hegemonis ilmu-ilmu emansipatoris atau
ilmu-ilmu analitis, kendati tetap terbuka menerima pikiran-
pikiran eksternal. Kajian sastra bisa bebas mengambil dan

- 421 -
menerapkan paradigma, pendekatan, teori, dan atau metode
darimanapun asalkan cocok dengan kebutuhan kajian sastra,
dan kalau bisa memperkaya kajian sastra. Dua arti penting
tersebut niscaya akan menjadikan kajian bahasa dan kajian
sastra memiliki kebebasan berkembang pada satu sisi dan pada
sisi lain akan memiliki konstribusi penting pada ilmu-ilmu
hermeneutis pada umumnya, malahan mungkin pada ilmu-
ilmu emansipatoris. Tersirat di sini bahwa kajian bahasa dan
kajiansastra multidisipliner yang sehat-berkembang akan selalu
memiliki otonomi sekaligus kontribusi hasil kajian bahasa dan
kajian sastra.
Gerak divergensi kajian bahasa dan kajian sastra sudah
beralih atau bergeser ke gerak konvergensi. Monodisiplineritas
kajian bahasa dan kajian sastra sudah beralih atau bergeser ke
multidisiplineritas yang menjadikan ilmu bahasa dan ilmu
sastra maupun kajian bahasa dan kajian sastra bisa tetap eksis.
Ini mengimplikasikan, kajian bahasa dan kajian sastra dapat
berkembangbaik. Perkembangan yang baik itu paling tidak
ditandai oleh pemilikan otonomi sekaligus kemampuan
berkontribusi hasil kajian bagi pihak lain. Tanda-tanda otonomi
dankontribusi tersebut tampak pada kajian bahasa dan kajian
sastra konvergen-multidisi-pliner (disarikan dari makalah
Djoko Saryono, Menuju Era Multidisipliner Dalam Kajian
Bahasa Dan Sastra, 2015 via Library.um.ac.id)

IV. Ringkasan
1. Pendekatan Interdisipliner adalah pendekatan dalam
pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan
berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan atau
tepat guna secara terpadu.

- 422 -
2. Adapun Pendekatan Multidisipliner adalah pendekatan
dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan
berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan.
3. Sastra memiliki hubungan dengan keilmuan lain, seperti
antropologi, etnografi, sosiologi, psikologi, budaya,dan
masyarakat.
4. Kajian multidisipliner menjadi penting karena hal-hal
berikut. (1) masalah-masalah dalam kehidupan manusia
ternyata banyak yang tidak dapat diselesaikan ilmu-ilmu
disipliner yang spesialistis-partikular, (2) ilmu-ilmu
disipliner yang spesialistis-partikular kehilangan relevansi
dan nilai guna dalam masyarakat, dan (3) bangunan
teoretis dan epistemologis atau metodologis dari ilmu-ilmu
disipliner banyak yang tidak andal; dan (4) watak ideologis
(dan subjektivistis) ilmu-ilmu disipliner tidak dapat
diketahui dan dimanfaatkan secara pasti dalam konteks
kepentingan masyarakat, serta (5) watak ilmu-ilmu
monodisipliner terbukti orientalistis dan kolonialistis.

- 423 -
DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sebuah Pengantar.


Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra (Sebuah
Pengantar Ringkas). Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra . Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
http://darmayanti. wordpress.com/2012/02/25/interdisipliner-
multidisipliner-dan-transdisipliner/
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra.
Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Prentice, A.E (1990), “Introduction” dalam Information Science
– The Interdisciplinary Context, ed. J. M. Pemberton dan
A.E. Prentice, New York : Neal-Schuman Publishers.
Saryono, Djoko. 2015. Menuju Era Multidisipliner Dalam Kajian
Bahasa Dan Sastra Library.um.ac.id
Sumarjo, Jakop dan Saini, K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1968. Theory of Literature.
Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books

- 424 -
LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan penelitian interdisipliner?


2. Sebutkan hubungan karya sastra dengan psikologi!
3. Sebutkan hubungan karya sastra dengan sosiologi!
4. Sebutkan hubungan karya sastra dengan sejarah!
5. Jelaskan apa pentingnya kajian interdisipliner dan multi-
disipliner dalam bahasa dan sastra!
6. Sebutkan hubungan karya sastra dengan system sosial
budaya!
7. Carilah bersama kelompok kalian contoh kajian interdisip-
liner atau multidisipliner dalam bidang bahasa dan sastra
8. Presentasikan hasil bacaan kalian!
9. Carilah satu teks cerpen atau novel untuk dikaji secara
interdisipliner!
10. Presentasikan bersama kelompok kalian hasil kajian yang
telah dilakukan!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 425 -
Teori &
BAB Metode Kajian
___ 19 Dekonstruksi

I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode kajian
dekonstruksi. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode kajian
dekonstruksi. Pada bab selanjutnya akan dipelajari tentang
kajian post struktural, post modernisme dan post kolonial.
Mahasiswa diharapkan mempelajari dengan baik materi ini
dengan baik agar dapat mengikuti materi berikutnya dengan
mudah.

- 426 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori dan metode kajian dekonstruksi, dan
dapat menerapkan teori tersebut dalam teks prosa Arab.

A. Pengertian Dekonstruksi
Dekonstruksi secara leksikal berasal dari prefiks ‘de’
berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan.
Konstruksi berarti gagasan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan
sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu
gagasan.
Kristeva (1980:36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi
merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif.
Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan,
tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya
pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan
tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak
terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan
maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang
secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Derida (dalam, Tuloli. 2000: 58) mengatakan dekonstruksi
adalah pembalikan. Dekonstruksi adalah cara membaca yang
dimulai dengan pencatatan (penelusuran) secara hirarki, dan
akhirnya menantang (menolak) pertanyaan hirarki. Menurut
paham dekonstruksi, stuktur adalah bagian yang dinamis,
sehingga menjadi pusat, tetapi banyak pusat dalam struktur
(plural). Menurut paham ini, tidak ada kebenaran dan logika

- 427 -
yang mutlak. Johnson (dalam Tuloli. 2000: 59) menyatakan
bahwa dekonstruksi adalah suatu analisis yang berfokus pada
latar dari peluang-peluang yang terdapat di dalam sistem.
Dekonstruksi juga berupaya menyingkapkan hal-hal yang
tersembunyi titik berangkat itu, dan menyungkirbalikan
seluruh gagasan yang menyertainya (Budiman dalam Tuloli,
2000: 59).
Menurut Abrams, dekonstuksi adalah suatu cara mem-
baca sebuah teks yang menumbangkan anggapan bahwa
sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang
berlaku untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna
yang telah pasti (dalam Nurgiantoro, 1993:30).Pembacaan karya
sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan
untuk menegaskan makna tetapi untuk menemukan makna
kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstrusi
bermaksud untuk melacak unsure-unsur yang berupa makna
paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya
sastra yang dibaca.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk mem-
bawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik
konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat
pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi adalah testimoni
terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan
oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Dekonstruksi
merupakan sebuah metode pembacaan teks. Setiap teks selalu
hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal,
setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir
sebagai konstruksi sosial yang menyejarah (Al-fayyadl, 2011:
232).
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi
sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi
justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu

- 428 -
yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan
untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja,
tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku
universal.
Tokoh terpenting dalam dekonstruksi adalah Jacques
Derrida, ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Ia menun-
jukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks
dari konteksnya. Kritik sastra dan teori-teori postrukturalisme
dikembangkan berangkat dari pemahamannya mengenai
fenomenologi dan strukturalisme. Di pihak lain, postruk-
turalisme juga dikembangkan atas dasar pemahamannya
mengenai hakikat subjektivitas dan objektivitas. Sebagai ciri
khas postrukturalisme, dekonstruksi dikembangkan atas dasar
pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata
memberikan perhatian terhadap ucapan (Norris, 2006: 10).
Pendekatan yang terlalu mengutamakan universal, totalitas,
keutuhan organis, dan segala macam legitimasi, ditolak dengan
pendekatan dekonstruksi. Pendekatan ini menolak kemam-
panan atau kebakuan teori-teori modern, seperti strukturalisme
(Pradopo, 1995: 42; http://yesalover.wordpress. com/2007/03/16/
dekonstruksi -derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-konsep/).
Dekonstruksi Derrida selalu diawali dengan hal-hal yang
tidak terpikirkan atau tidak boleh dipikirkan. Ia menolak
pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, seba-
gaimana yang disodorkan oleh strukturalisme. Tidak ada ung-
kapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan
untuk membahasakan objek dan yang bermakna tertentu dan
pasti. Oleh karena itulah dekonstruksi termasuk dalam aliran
poststrukturalisme. Jika strukturalisme dipandang sebagai
sesuatu yang sistematik, bahkan dianggap sebagai the science of
sign maka poststrukturalisme menolak hal tersebut (Rokh-
mansyah, 2014).

- 429 -
B. Sejarah dan Tokoh Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode
membaca teks. Melalui pembacaan ini akan ditemukan problem-
problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa
mengarahkan ke makna makna alternatif, di pojok-pojok teks
termasuk catatan kaki yang mungkin kurang diperhatikan.
Dekonstruksi memperhatikan hal-hal yang biasanya tidak
dianggap penting menjadi penting. Dekonstruksi menyatakan
bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan
(undacidabality), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang
mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang
ditulisnya.
Ketika sesorang melakukan aktivitas menulis, proses
penulisan tersebut mengungkapkan hal yang tersembunyi dan
menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinam-
bungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu
berlandaskan pada teks dan mengapa term-term kuncinya
selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan
selalu dilokasikan di tempat yang berbeda (Syaridomo, 2012).
Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada
umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas
dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976)
adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosen-
trisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan
cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis.
Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak
Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure,
sign, and play in the discourse of the human sciences “,di
universitas Johns Hopkins tahun 1966. Aliran dekonsruksi lahir
di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh

- 430 -
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun
1980-an.
Dalam aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk mem-
balikkan herarkis terhadap sistem oposisional yang sudah ada.
Mempertanyakan oposisi dengan memakainya dalam argumen
sendiri dan menerima kembali dengan suatu pembalikan yang
memberinya status akibat dan akibat yang berbeda. Derrida
menyatakan bahwa bentuk oposisi tidak pernah hadir secara
damai tetapi merupakan herarki yang kasar secara logis dan
aksiologis, yang satu mendominasi yang lain, menduduki
posisi komando. Untuk mendekonstruksi bentuk oposisi pada
moment tertentu harus diperlukan pembalikan herarki
(Rokhmansyah, 2014).
Dalam hubungan oposisi sulit ditemukan mana yang
lebih dominan. Dekonstruksi mencoba untuk bergerak dari sisi
yang satu ke sisi yang lainnya dengan menunjukkan kegagalan-
kegagalan dari kedua sisi itu (aporia). Penerapan dekonstruksi
dalam karya sastra, menurut Culler tidak dengan menjelaskan
teks dalam cita rasa tradisional yang menangkap kesatuan isi
(tema), tetapi meneliti oposisi metafisik dalam argumentasinya
dan dilanjutkan dengan mencari hubungan tekstual yang
menghasilkan logika ganda, yaitu logika aporetis.
Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi meta-
fisika Barat seperti strukturalisme saussurean, strukturalisme
Perancis, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian.
Tugas dekonstruksi, di satu pihak mengungkap problematika
wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual
(Sarup, 2003:51). Sedangkan tujuan metode dekonstruksi
adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran
kebenaran absolut, dan ingin mengungkap oposisi biner dari
yang tidak tersurat dalam hasil analisis dan kurang mendapat

- 431 -
perhatian (Norris, 2006). Culler (melalui Nurgiyantoro, 2007:
60) mengungkapkan bahwa mendekonstruksi suatu wacana
(kesastraan) adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan
filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis
terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara
mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada
dalam teks itu, yang memproduksi dasar argument yang
merupakan konsep utama.
Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika
wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar
metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual.
Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale.
Tokoh dekonstruksi adalah Jacques Derrida dan Nietzsche.
Adapun Tokoh-tokoh dekonstruksi Amerika di antaranya: Paul
de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, dan Harold Bloom
(Eagleton,1983:145 ;Selden, 1986: 96).

C. Prinsip-prinsip dan Metode Dekonstruksi


Prinsip-prinsip dekonstruksi yaitu (a) melacak unsur-
unsur aporia: makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna
ironi, (b) membalikkan atau merubah makna-makna yang
sudah dikonvensionalkan. Nietzsche telah berusaha untuk
memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat.
Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap
sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche
menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala
metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan nama orang
atau benda-benda pada pusat objek yang lain (Culler, 1983:86-
87).
Munculnya dekonstruksi menurut kaum post-strukturalis
karena adanya ketidakpuasan terhadap strukturalisme dalam

- 432 -
memperlakukan suatu teks. Strukturalisme melihat bahwa
makna bahasa merupakan hasil hubungan antara penanda dan
petanda yang bersifat tertutup, satu penanda mewakili satu
petanda, dan memiliki perbedaan dengan penanda lainnya.
Post-strukturalisme atau dekonstruksi melihat bahwa makna
bahasa sebagai rangkaian penanda-penanda, karena petanda
adalah penanda juga sebenarnya. Sebuah petanda tidak
memiliki arti dalam pengertian yang sempurna, karena adanya
siklus tidak terputus dalam pemaknaan petanda.
Oleh karena itu, hubungan antara petanda-penanda
dalam dekonstruksi bersifat terbuka, lebih tepat jika disebut
sebagai hubungan antarpenanda yang tidak terbatas. Hu-
bungan ini dibangun atas dasar konsep trace (jejak). Jejak dalam
teks hadir dalam sebuah teks dengan ‘tidak sadar’, tetapi
keberadaannya dapat memiliki pengaruh dalam aktivitas pem-
bacaan dekonstruksi. Karena kehadiran jejak dalam dekons-
truksi dapat digunakan sebagai penentu makna teks itu sendiri.
Penentuan makna teks dalam teks dengan meng-hadirkan jejak
dilakukan karena tanda-tanda yang hadir dalam teks saling
berkait. Tanda-tanda dalam teks bersifat bolak-balik, hadir dan
tidak hadir, dan ke segala arah. Pemberian makna terhadap
tanda-tanda tidak dapat dilakukan secara definitif, melainkan
dengan menghadirkan oposisi, di mana oposisi yang hadir juga
berdasarkan tanda.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui
pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda.
Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda
dengan petanda bersifat pasti. Derrida (Spivak, 1976:xliii)
memunculkan istilah differEnce dan difference. Derrida (Norris,
1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan
tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya.
Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang

- 433 -
antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap
kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata
difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda,
sesuai dengan ruang dan waktu.
Menurut Derrida (2002:45,61), perbedaaan difference dan
differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa
Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat dike-
tahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya,
tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut
Derrida, makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu
lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan
dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir
dalam rangkaian penanda (Eagleton, 1983:127-128).
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida
adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya
memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai
non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan
pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek
yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedang-
kan tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan
mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja diba-
lik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan,
ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun
sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk
asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang
lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan
kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis (Barkah,
2013).
Upaya untuk menemukan makna tunggal dari sebuah
karya sastra adalah sesuatu yang mustahil. Sebab setiap

- 434 -
penemuan jejak makna dalam sebuah teks, akan melahirkan
jejak baru dibalik makna tersebut (Derrida dalam Norris, 2003:
12). Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat
itu relatif. Ia mengingkari makna monosemi (Selden, 1985:88).
Dekonstruksi merupakan strategi untuk membuktikan bahwa
sastra bukanlah bahasa yang sederhana (Norris, 2003:24), tetapi
kompleks dan multi tafsir.
Teks mempunyai otonomi penuh, segalanya hanya
dimungkinkan oleh teks. Sebuah teks punya banyak kemung-
kinan makna. Seorang pembaca tak akan mengkonkretkan satu
makna saja, tetapi akan membiarkan segala kemungkinan
makna hidup, sehingga teks itu ambigu dan membuka ruang
interpretasi yang luas (Junus, 1985:98). Karya sastra memiliki
sifat multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Dalam dekonstruksi,
Derrida menggunakan istilah “trace” yaitu konsep dalam
menelusuri makna. Makna itu bergerak dan harus dilacak terus
menerus. Bekal pengetahuan yang berupa horizon harapan
menjadi penting dalam upaya mencari jejak (trace) sebagai
metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca
akan bisa mengisi tempat kosong dalam teks.
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dike-
nal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini
bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif
bahasa, tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang
tuturan. Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan
wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks
berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis
yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa terjadi pada teks
itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah
teks (Sarup, 2003:77-79; Fauzan Ahmad, 2009).
Pembacaan dekonstruksi berbeda dari pembacaan biasa.
Pembacaan biasa selalu mencari makna yang lebih benar, yang

- 435 -
teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedang-
kan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan
atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna
atau kebenaran tunggal. Metode penerapan dekonstruksi teks
adalah sebagai berikut.
1. mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks
2. oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan
3. memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang
ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori
oposisional lama.
Dalam membaca sebuah teks dengan dekonstruksi,
pembaca diwajibkan untuk mengikuti tahapan-tahapan dalam
dekonstruksi, antara lain adalah melakukan pencarian jejak
(trace), menemukan sesuatu dalam teks (difference), menulis
kembali hasil temuan dalam teks (re-writing), membaca kembali
teks (re-reading), membongkar kode terhadap bagian-bagian
teks yang tidak dapat dimaknai (rupture), dan mencari duplikat
untuk memahami teks (re-doubling). Dengan melakukan
tahapan-tahapan dalam dekonstruksi, pembaca dapat mene-
mukan hal-hal yang bersifat oposisi-hirarkis dalam teks,
kemudian menggantikan oposisi dengan menempatkan hal-hal
dominan dalam sous rapture, dan kemudian dapat menem-
patkan hal-hal yang tidak dominan menjadi dominan. Pembaca
dapat meletakkan hal-hal yang beroposisi dalam kerangka
pemahaman teks hingga diperoleh pemahaman bahwa
sebenarnya oposisi dalam teks tidak ada, karena yang ada
adalah teks itu sendiri (Rengganis, 2004; Phianz,1989).
Pembacaan karya sastra dengan pendekatan dekonstruksi
tidak mencari makna sebenarnya pada pendekatan lain, tetapi
mencari makna kontradiktif dalam karya sastra yang dibaca.

- 436 -
Makna yang logis disangkal dan ditolak. Langkah-langkah
yang perlu diperhatikan dalam kajian dekonstruksi adalah:
a) membaca karya sastra secara totalitas untuk menegaskan
struktur, keutuhan atau makna yang telah pasti pada
karya sastra;
b) unsur atau bentuk-bentuk dalam karya sastra itu dicari
dan dipahami justru arti kebalikannya;
c) unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan dipenting-
kan, diberi nama pesan sehingga akan terlihat atau
menonjol perannya dalam karya sastra yang bersang-
kutan (Nurgiyantoro, 1993: 61).

Dalam bidang sastra, dekonstruksi digunakan sebagai


metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah,
kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud
pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimak-
sudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan peng-
arang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna
baru yang plural, tanpa klaim, absolut atau universal.
Penafsir, dalam proses ini tidak bisa mengambil posisi
netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri
dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah dibaca.
Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-
mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang
juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang
mempengaruhinya.
Dalam pembacaan karya sastra, dekonstruksi bukan
dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana yang
biasa dilakukan. Derrida selalu ingin memulai filsafat dekons-
truksinya dari hal-hal yang tidak terpikirkan atau hal-hal yang
tidak boleh dipikirkan. Maksudnya, bahwa unsur-unsur yang
dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, bukanlah hal yang
remeh temeh, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi
- 437 -
penentu atau unsur yang menjadikan teks tersebut menjadi
filosofis (Norris, 2006: 12).
Dekonstruksi termasuk dalam pendekatan posmodernis-
me. Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini
membuka jalan bagi penelitian yang bersifat lokal, regional,
dan etnik. Penelitian semacam ini akan memperkaya dan
menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas kajian budaya.
Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya
dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Setiap orang bebas
memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas.
Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak. Era
dekonstruksi dikatakan sebagai era pembunuhan suatu makna
akibat adanya makna baru yang melahirkan makna-makna lain.
Kelemahan dekonstruksi adalah bahwa makna menjadi
tak berarti lagi. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna
kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna, retailisme
makna. Dekonstruksi juga menimbulkan ketidakbernilaian
makna, asumsi matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan
ketidakberdayaan terhadap makna. Dekonstruksi tidak menye-
diakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam
proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu
diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang
makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih fresh. Hal ini
dilakukan untuk mencegah kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan
pemaknaan. Kelemahan dekonstruksi yang lain adalah tidak
adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghan-
curan makna karena makna-makna baru dianggap lebih
bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin
justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru tersebut
(Syaridomo, 2012).
Dekonstruksi adalah suatu metode pembacaan teks
secara teliti, yaitu dengan menginterogasi teks, merusaknya

- 438 -
melalui pertahanannya, dan mencari oposisi biner yang tertulis
di dalam teks. Keberadaan oposisi biner menunjuk pada suatu
pasangan kata-kata yang saling beroposisi antara satu dengan
lainnya yang bersifat hirarkis, di mana kehirarkisannya bersifat
kondisional. Bahasa dianggap sebagai sesuatu yang labil, dapat
berubah-ubah, menurut kondisi yang mempengaruhinya,
sehingga oposisi biner dalam dekonstruksi bersifat tidak tetap
dan berubah-ubah.
Dekonstruksi menekankan pemaknaan pada hubungan
antarpenanda yang bersifat terbuka bahwa sebagian makna
tanda ada pada tanda lainnya, sehingga tidak adanya per-
bedaan antara petanda-penanda yang satu dengan petanda-
penanda yang lainnya. Meski dianggap sebagai strategi
pembalikan, dekonstruksi bukanlah strategi pembalikan yang
sederhana tentang kategori-kategori yang sudah jelas dan tidak
dibuat-buat. Pembacaan dekonstruksi merupakan aktivitas
pembacaan teks dengan cara baru secara radikal. Dalam
praktiknya, dekonstruksi meliputi pembalikan dan pemindah-
an. Dalam melakukan pembalikan, oposisi-oposisi hirarkis
ditiadakan. Kemudian pembalikan ini dipindahkan, ditempat-
kan ‘di bawah penghapusan’ (sous rapture), sehingga dapat
memunculkan teks yang berada di pinggiran. Teks yang dibaca
secara dekonstruktif akan terlihat acuannya melampaui dirinya
sendiri, referensi pada akhirnya dapat menjadi teks lain. Seperti
halnya tanda hanya dapat mengacu pada tanda-tanda lain, teks
juga hanya dapat mengacu pada teks lain, penyebab suatu
perpotongan dan jaringan yang dapat dikembangkan untuk
waktu yang tidak terbatas, suatu intertektualitas (Rengganis,
2004; 2010).

- 439 -
D. Contoh Pembacaan Dekonstruksi
1. Ringkasan: Kisah Siti Nurbaya dalam Kajian Dekonstruksi
Pada umumnya, pembaca beranggapan bahwa Samsul
Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih,
sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang
serba jahat, tokoh hitam. Analisis itu justru terbalik jika ditinjau
dari analisis dekonstruksi.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan
seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit.
Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis, ia
putus asa dan bunuh diri. Sikap ini menunjukkan bahwa ia
bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha
bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan masuk serdadu
kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatra Barat, yang
merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena
masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberon-
takan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur
karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap
Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan
cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia memerangi
bangsanya sendiri dan membela penjajah. Ia tidak memiliki
sikap nasionalisme terhadap NKRI.
Berdasarkan teori Jauss yang mempertimbangkan aspek
sejarah, perbuatan ini termasuk pengkhianatan bangsa. Ia
sama sekali bukan seorang pahlawan bangsa, bahkan bukan
pahlawan cinta sekalipun. Datuk Maringgih, di pihak lain, ia
seorang nasionalis dan pahlawan karena menggerakkan pem-
berontakan terhadap penjajah Belanda itu, apapun motivasi-
nya. Ahmad Maulana dan Halimah, dalam novel Siti Nurbaya
itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya
dianggap kurang penting. Pada hal keduanya banyak mem-
pengaruhi sikap dan pandangan Siti Nurbaya (Salamah, 2015).
- 440 -
2. Ringkasan: Analisis Tokoh Pada Novel Tak Putus
Dirundung
Malang Karya Sutan Takdir Alisyahbana (Melalui
Pendekatan Dekonstruksi) Sitti Rachmi Masie,
INOVASI, Volume 7, Nomor 1, Maret 2010 ISSN 1693-
9034

Novel Tak Putus Dirundung Malang (Alisyabana, 1992)


mengisahkan tentang dua tokoh kakak beradik yang selalu
dirundung malang, yaitu tokoh Mansur dan Laminah. Sebe-
lumnya kehidupan Mansur dan Laminah bersama ayahnya
selalu tak berkecukupan, terlebih sejak rumahnya terbakar dan
istrinya meninggal. Mata pencahariannya adalah mencari
durian dan ranting-ranting kayu yang dijual ke kota. Beberapa
bulan kemudian kemalangan pun menimpa kedua kakak
beradik itu yang tak disangka-sangka ayahnya jatuh saat
bekerja dan meninggal.
Sesuai dengan pendekatan dekonstruksi dalam mengana-
lisis tokoh pada novel Tak Putus Dirundung Malang, maka
terjadi perubahan tokoh protagonis Mansur dan Laminah
menjadi tokoh antagonis. Adapun Madang, Sarmin, dan
Darwis berubah menjadi tokoh protagonis. Tokoh Madang,
Sarmin, dan Darwis berubah menjadi tokoh protagonis karena
sikap dan peran mereka dapat diterima pembaca dan
mendukung jalannya cerita. Dalam cerita ini mereka berperan
sebagai pahlawan, yang kuat dan berani dalam menjalani
hidup.
Sedangkan Laminah dan Mansur termasuk tokoh
antagonis dalam kajian dekonstruksi karena sikap dan peran
mereka bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan agama.
Dalam cerita ini mereka berperan sebagai tokoh yang cengeng,
tidak mampu menghadapi problematika kehidupan dan cepat

- 441 -
putus asa, sampai pada perbuatan bunuh diri yang dilarang
agama. Sifat yang demikian itu tidak dapat diteladani.
Tokoh Mansur dan Laminah secara struktural sebagai
tokoh protagonis, tetapi setelah didekonstruksi telah menjadi
tokoh antagonis. Sebaliknya, Madang, Sarmin, dan Darwis
secara struktural sebagai tokoh Antagonis, tetapi setelah
didekonstruksi menjadi tokoh protagonis.

3. Ringkasan: Sebuah Pembacaan Dekonstruksi Terhadap


Cerpen “Anakmu Bukanlah Anakmu,” Ujar Gibran,
oleh: Ririe Rengganis
Pembacaan dekonstruksi didahului dengan menganggap
cerpen “AbauG” sebagai metafora. Sebagai metafora, cerpen
“AbauG” mengemukakan realitas-realitas yang ada dalam
dirinya saling berkontradiksi antara satu dengan lainnya.
Kontradiksi-kontradiksi ini kemudian disebut sebagai oposisi
biner. Dalam dekonstruksi, oposisi biner selalu bersifat hirarkis,
yang kemudian berusaha ditiadakan dan mengembalikannya
sebagai tulisan.
Setelah melakukan pembacaan terhadap cerpen “AbauG”
terdapat oposisi-oposisi biner, yaitu (1) oposisi antara judul (1)
oposisi antara judul dan cerita; (2) oposisi antara penalaran
logis dan penghayatan intuitif; (3) oposisi antara fiksi dan fakta;
(4) oposisi antara fiksi dan sains; (5) oposisi antara ‘si aku’ dan
‘orang banyak’; (6) oposisi antara “AbauG” dan karya-karya
lain; (7) oposisi antara penulis dan pembaca.
Oposisi antara judul dan cerita. Judul merupakan pusat
struktur, karena: (1) ditulis dengan porsi ruang yang cukup
luas dan dengan jumlah huruf yang jauh lebih sedikit; (2)
ditulis di bagian paling atas; (3) ditulis dengan huruf kapital;
dan (4) merupakan intisari dari cerita. Berbeda halnya dengan
cerita. Secara struktural, judul dapat dianggap sebagai pusat

- 442 -
cerita dan cerita dapat dianggap sebagai perluasan dari judul.
Akan tetapi, dalam pemahaman dekonstruksi hubungan antara
judul dan cerita tidak bersifat oposisi-hirarkis. Hubungan
antara judul dan cerita merupakan hubungan yang saling
melengkapi. Judul dapat disebut sebagai judul karena ada
cerita, karena bila tidak ada cerita, barisan kata tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai judul. Cerita tanpa judul akan tetap
dapat menjadi cerita, hanya sebuah cerita. Dalam konteks
pembacaan ini cerita menjadi lebih dominan.
Dalam pembacaan dekonstruktif, tidak ada maksud
untuk menjatuhkan judul atau cerita, tetapi hanya untuk
menyadarkan bahwa semuanya adalah teks belaka. Meskipun
cerita terlihat lebih dominan dibanding judul, tetapi pada
kenyataannya tidak demikian. Dalam kenyataannya, cerita
perlu mengalami metafora agar mudah diceritakan. Metafora
yang dialami adalah dengan pemberian judul, sehingga judul
juga dianggap pentimg keberadaannya. Pemaknaan terhadap
judul dan cerita bersifat interdependensi, karena di dalam judul
terdapat cerita dan dalam cerita terdapat judul.

IV. Ringkasan
1. Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi
metafisika Barat. tujuan metode dekonstruksi adalah
menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran
kebenaran absolut, dan ingin mengungkap oposisi biner
dari yang tidak tersurat dalam hasil analisis dan kurang
mendapat perhatian.
2. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam kajian
dekonstruksi adalah:
a) membaca karya sastra secara totalitas untuk menegaskan
struktur, keutuhan atau makna yang telah pasti pada
karya sastra;

- 443 -
b) unsur atau bentuk-bentuk dalam karya sastra itu dicari
dan dipahami justru arti kebalikannya;
c) unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan dipenting-
kan, diberi nama pesan sehingga akan terlihat atau
menonjol perannya dalam karya sastra yang bersang-
kutan (Nurgiyantoro, 1993: 61).
3. Dalam bidang sastra, dekonstruksi digunakan sebagai
metode pembacaan kritis yang bebas, memproduksi
makna-makna baru yang plural, tanpa klaim, absolut atau
universal.
4. Dekonstruksi termasuk dalam pendekatan posmo-
dernisme. Penghargaan terhadap perbedaan, pada
“yang lain” ini membuka jalan bagi penelitian yang
bersifat lokal, regional, dan etnik. Penelitian semacam
ini akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau
narasi-narasi khas kajian budaya.

- 444 -
DAFTAR PUSTAKA

Alex, Shobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja


Rosydakarya.
Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Sign, Semiotics, Literature,
Deconstruction. London and Henley: Rouledge and Kegan
Paul.
Derrida, Jacques.1976: Of Grammatology (trans. Gayatri
Chakravorty Spivak). Baltimore, MD: Johns Hopkins
University Press
Eagleton, Terry.1983: Literary Theory: An Introduction. Oxford:
Basil Blackwell
Eagleton, Terry. 2007. Teori Sastra, sebuah Pengantar Komprehensif
(Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini pentj.). Yogyakarta:
Jalasutra.
Barkah, Hendri Jihadul. 2013. Claude Lévi-Strauss: Si Empu
Strukturalisme dalam http://fauziteater76.blogspot.co.id/
2013/07/claude-levi-strauss-si-empu.html
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: sebuah Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia.
Junus, Umar. 1996. Teori Sastera dan Permasalahan Sastra Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language. A Semiotic Approach to
Literature and Art, ed. by Leon S. Roudiez, Eng. trans. by
Thomas Gora, Alice Jardine and Leon S. Roudiez. New
York: Columbia University Press.
Norris, Christopher. 1983. Deconstruction: Theory and Practice.
London and New York: Methuen.
Norris, Christopher. 2006. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques
Derrida. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

- 445 -
Nur Fawzan Ahmad. 2009. Dekonstruksi Terhadap Figur
Keturunan Darah Biru Dalam Cerpen Ndara Mat Amit.
(http://staff.undip.ac.id /sastra/
fauzan/2009/07/22/dekonstruksi-terhadap-figur-
keturunan- darah-biru/). Diunduh pada tanggal 1 Januari
2018
Phianz. 1989. Teori Dekonstruksi Derrida dalam
http://phianz1989. blogspot. com/2011/03/teori-
dekonstruksi-derrida.html
Pradopo, Rachmat Dj.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik
dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rengganis, ririe. 2004. Sebuah pembacaan dekonstruksi
terhadap cerpen anakmu bukanlah anakmu, ujar gibran
dalam ekspresi: Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Vol.10,. Tahun 4, 2004. , edisi Seni dan Perempuan
Rengganis, ririe. 2010. Pendekatan Dekonstruksi. Dalam http://
sastranesia.wordpress.com/2010/10/16/pendekatan-
dekonstruksi/ ririe rengganis
Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Sastra. Jogjakarta:
Gajah Mada University Press.
Salamah, umi. 2015. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema
Sosial Politik kontemporer. Penerbit Kafnun
Sarup, Madan. 2003. Poststrukturalisme dan Postmodernisme:
Sebuah Pengantar. Kritis, terj. M.A. Hidayat. Yogyakarta:
Jendela. Schechter, Danny. 2007.
Selden, Raman. 1986. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini.
Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
Masie. Sitti Rachmi.2010. Analisis Tokoh Pada Novel Tak Putus
Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisyahbana (Melalui

- 446 -
Pendekatan Dekonstruksi) dalam INOVASI, Volume 7,
Nomor 1, Maret 2010 ISSN 1693-9034
Spivak, Gayatri Chakravorty (1976): 'Translator's Preface'.
In Derrida op. cit., pp. ix-lxxxvii
Syaridomo, Susdamita. Makalah Dekonstruksi. Dalam
http://susdamitasyaridomo.blogspot.com/2012/10/makala
h-dekonstruksi_7262.html
Teeuw, A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra, cetakan ke-2. Jakarta:
Pustaka Jaya-Girimukti Pusaka
Tuloli, Nani. 1999. Teori Fiksi. Gorontalo : BTM Nurul Jannah
Yesalover. 2007. Dekonstruksi Derrida upaya untuk memecah-mecah
konsep http://yesalover.wordpress.com/2007/03/16/
dekonstruksi -derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-
konsep/

- 447 -
LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut dengan benar!


1. Sebutkan pengertian dekonstruksi menurut para pakar!
2. Mengapa dekonstruksi masuk dalam pendekatan post-
strukturalisme?
3. Sebutkan prinsip-prinsip dekonstruksi!
4. Sebutkan tokoh-tokoh dekonstruksi!
5. Jelaskan selintas tentang sejarah dekonstruksi!
6. Sebutkan langkah-langkah kajian dekonstruksi!
7. Bacalah satu kajian dekonstruksi dan presentasikan di
hadapan teman-teman kalian!
8. Carilah satu teks dan kajilah secara dekonstrukti bersama
kelompok kalian!
9. Presentasikan hasil kajian kelompok di depan kelas!
10. Unggahlah hasil kajian kalian ke media sosial!

‫ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد‬

- 448 -
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode Kajian
Post Struktulal, Post Kolonial, Dan Post Modern. Pada akhir bab,
akan disajikan rangkuman dan latihan.

II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
kajian dekonstruksi pada bab sebelumnya, pada bab ini kalian
akan belajar tentang 3 teori sekaligus, yaitu teori dan metode
kajian Post Struktulal, Post Kolonial, dan Post Modern. Kajian
dekonstruksi merupakan bagian dari kajian post struktural.

- 449 -
Mahasiswa diharapkan mempelajari dengan baik materi ini
sehingga mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan
dapat:
mendeskripsikan teori dan metode kajian teori dan metode
kajian Post Struktulal, Post Kolonial, dan Post Modern, dan
dapat menerapkan teori tersebut dalam kajian teks prosa
Arab.

A. Teori dan Metode Kajian Post Struktural


Kata post pada Post-strukturalisme berarti melewati dan
mendekonstruksi. Sedangkan strukturalisme berarti konstruksi
sosial, budaya dan struktur-struktur yang dapat memberi
makna terhadap kehidupan masyarakat dan dapat membentuk
perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan ber-
negara. Post-strukturalisme muncul sebagai teori yang meng-
kritisi dan mendekonstruksi teori strukturalisme (Campbell,
2007; Denata, 2013).
Post-strukturalisme muncul akibat respon terhadap gagasan
strukturalisme, namun bergerak keluar dan melampaui
strukturalisme. Menurut faham strukturalisme, bahasa sebagai
simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara univer-
sal. Sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya
kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Struk-
turalisme merujuk pada konstruksi sosial, budaya dan struktur
kehidupan manusia.
Post-strukturalisme tidak hanya konstruksi semata, tetapi
merupakan bentuk dekonstruksi dari strukturalisme (David,
2007); tidak hanya belajar mengenai struktur, tetapi juga

- 450 -
bagaimana interpretasi terhadap struktur tersebut berlangsung
(Dugis 2013); tidak hanya mengkritisi tetapi juga merupakan
bentuk emansipatori terhadap perspektif yang telah ada
sebelumnya. Struktur itulah yang membentuk identitas aktor
dan memberi makna dalam dunia sosial pada strukturalisme.
Adapun pada post-strukturalisme, konsep mengenai identitas-
lah yang memberi makna terhadap suatu struktur (Campbell
2007).
Tokoh filsafat Prancis, Michel Foucault menyatakan
bahwa post-strukturalisme lebih merupakan pendekatan, sikap,
dan etos yang memiliki sifat kritis daripada sebuah teori yang
cenderung statis. Post-strukturalisme menyatakan bahwa subjek
menentukan bagaimana abstraksi, representasi dan interpretasi
terhadap objek (Campbell 2007). Inilah yang menyebabkan post-
strukturalisme tidak memberikan teori-teori secara spesifik.
Ada tiga konsep utama dalam post-strukturalisme, yaitu
identitas, subjektivisme dan power. Identitas mengacu pada
pemberian makna terhadap kejadian sosial. Subjektivisme
merupakan wujud dari penolakan terhadap objektivitas.
Adapun power berkaitan erat dengan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa.
Foucault menjelaskan adanya hubungan yang erat antara
wacana, pengetahuan dan kekuasaan. Menurut Foucault, Bahasa
berarti adalah wacana yang merupakan pengetahuan yang
terstruktur. Wacana berkaitan erat dengan konsep kekuasaan.
kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan
tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi
struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta
melekat pada kehendak untuk mengetahui (Rusdiarti, 2008).
Kekuasaan menurut Foucault merupakan strategi. Bahasa
merupakan interpretasi atas fenomena yang menjadi landasan
post-strukturalisme bahwa melalui hal seperti bahasa juga dapat

- 451 -
menunjukkan betapa besar power dari suatu negara tersebut.
Adapun kontribusi nyata dari prespektif post-strukturalisme ini
memungkinkan adanya pendekatan yang bersifat interdisipliner
dengan menempatkan batas-batas suatu disiplin dalam suatu
kritik dan mempertanyakan kembali. Post-strukturalisme
merupakan prespektif yang bersifat emansipa-toris serta
memperkaya metodologi yang bersentuhan dengan masalah-
masalah sosial (Ashley, 1996).
Post-strukturalisme merupakan antitesis dari strukturalis-
me yang dipelopori Jacques Derrida. Berseberangan dengan
strukturalisme yang mengutamakan pemikiran mengenai ba-
hasa, post strukturalisme menurut Derrida lebih memfokuskan
pada tulisan, yang kemudian tercipta grammatology. Ide-ide
dasar Derrida mengenai post strukturalisme, mulai dari writing
(tulisan), trace (jejak), differance (perbedaan), dan arche-writing
(pergerakan differance). Menurut Derrida, selalu ada suatu
realitas yang bersembunyi di belakang tanda; di balik apa yang
hadir (Ritzer 2003:202- 204).
Dekonstruksi dari Derrida tidak pernah diarahkan pada
kepastian kebenaran dan akan terjadi dekonstruksi terus
menerus. Ritzer menjabarkan dekonstruksi Derrida, sebagai-
mana dijelaskan oleh Awuy (1994) tentang konsep “differance”-
nya Derrida bahwa pemikiran metafisika Barat adalah logo-
sentrisme dan fonosentrisme. Pada logosentrisme, pemikiran
kita dibawa ke dunia ideal, sebagai prinsip rasional untuk
mengantisipasi ke-khaos-an dunia pengalaman. Dengan logos
ini, ruang, waktu dan peristiwa bergerak secara linier. Logos
adalah konsep yang mampu mentotalitaskan segala sesuatu.
Dengan prinsip ini, siapapun dapat menguasai baik ruang,
waktu dan peristiwa. Menurut Derrida, pemahaman logos dan
phonos inilah yang menjadi pondasi peradaban Barat. Baik
logosentrisme dan fonosentrisme sebagai konsep murni

- 452 -
metafisika barat, bagi Derrida adalah mistifikasi, yang harus
didekonstruksi, dilakukan demistifikasi.
Post-strukturalis mengusung pembebasan dalam abstraksi,
representasi dan interpretasi ilmu pengetahuan. Post-struk-
turalisme membantah bahwa pengalaman empiris merupakan
dasar ilmu pengetahuan dikarenakan pengalaman empiris itu
sendiri membatasi subjektivitas, objektivitas, serta praktek
dalam kehidupan politik global (Ashley 1996, 242).
Strukturalisme beranggapan bahwa struktur akan
membentuk individu, sementara post-strukturalisme meyakini
bahwa individulah yang menciptakan suatu struktur. Dari
struktur tersebutlah kemudian tercipta identitas. Post-struk-
turalisme juga membahas keterkaitan antara teori dan praktek.
Mereka memandang teori juga merupakan sebuah praktek
(Benu,2013).
Pemikiran post-strukturalisme ini lalu diikuti oleh post-
kolonialisme. Post-kolonialisme hadir sebagai bentuk
kekecewaan pada teori-teori mainstream. Post-kolonialisme
tidak setuju dengan pemikiran realisme yang memisahkan power
dan knowledge. Menurut post-kolonialisme, kedua hal tersebut
pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan (David, 2007).
Strukturalisme adalah sebuah teori dari konstruksi sosial,
budaya dan struktur yang dapat memberikan makna atau arti
terhadap apa yang ada dalam kehidupan manusia. Sedangkan
teori Post-strukturalisme adalah suatu cara analisa bagaimana
struktur memproduksi arti atau makna secara konsisten dengan
transformasi cara-cara pemberian perintah sosial pada akhir
abad 20 (Campbell, 2007: 213). Post-strukturalisme hadir sebagai
sebuah perspektif ilmiah yang merupakan reaksi dari adanya
keterikatan yang kuat antara subyek dan ilmu pengetahuan
terhadap suatu mainstream yang telah berakar kuat dalam
sebuah sistem, struktur atau masyarakat.

- 453 -
Post-strukturalisme secara khusus mengkritisi teori
strukturalisme yang jelas telah berkembang terlebih dahulu.
Kaum post-strukturalis ini bagaikan kaum teori-teori kritis
sebelumnya yang juga mengkritisi perspektif sebelumnya. Post-
strukturalisme yang merupakan dekonstruksi dari strukturalis-
me, berusaha untuk mengkritisi cara pandang kaum struk-
turalis. Post-strukturalisme berusaha menelaah bagaimana
kondisi ilmu pengetahuan telah dikonstruksi oleh para
perspektif tradisional, terutama dalam konstruksi sosial, budaya
dan struktur dari perspektif strukturalisme.
Dalam tulisan David Campbell, Jacques Derrida
mempunyai pandangan terhadap persoalan dualisme. Jacques
Derrida telah memiliki pendekatan dalam menganalisa
dualisme ini melalui dekonstruksi, yakni pembalikan makna
orisinal menjadi pasangan binernya untuk mendemonstrasikan
bahwa arti kedua memiliki makna yang sama pentingnya seperti
makna semula (Campbell, 2007).
Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang
membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang
dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Struk-
turalisme lebih memusatkan perhatian pada struktur linguistik.
Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa.
Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya
Ferdinand de Saussure yang diorientasikan untuk memahami
struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal
dari linguistik. (Sociolovers, 2012).
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik
maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik
struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap
mampu melampaui strukturalisme. Post-strukturalisme
menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna
melalui pasangan biner, seperti hitam-putih, baik-buruk, atas-

- 454 -
bawah. Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu
tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata,
kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil
hubungan antar teks (belovers, 2012).
Prespektif strukturalisme menilai individu atau subjek
pelaku yang tidak bebas karena ditentukan oleh struktur
tersebut dalam praktik sosialnya. Sedangkan prespektif post-
strukturalisme memiliki tiga kata kunci yang bisa dikatakan
sebagai asumsi dasar dari prespektif ini yakni identity,
subjectivism, dan power. Identity berkaitan erat dengan
keterbentukan power. Subjectivism berarti tidak mengakui
adanya objektivitas yang absolut. Adapun power dimaknai
dengan kemampuan berbahasa dan berwacana (knowledge) yang
membentuk identitas sosial. Berbeda dengan prespektif
kontruktivisme yang menekankan adanya hubungan identitas
dengan struktur serta menekankan bahwa ada nilai-nilai yang
tidak bisa diterangkan yang membuat dua pihak atau lebih
berhubungan, prespektif post-strukturalisme ini menekankan
bahwa bahasa merupakan unsur yang dapat menjajah atau
mengekspansi (Dugis & Baiq, 2013).
Post-strukturalisme (Barat) secara umum diperlakukan
sebagai pelopor intelektual postmodernisme (Barthes, dalam
Ritzer, 2003:57). Post-strukturalisme menurut Ritzer merupa-
kan untaian-untaian pemikiran yang membentang dalam
perkembangan teori sosial postmodern. Bahkan Ritzer (2003:57)
menyatakan bahwa post-strukturalisme adalah suatu sumber
teoretis penting bagi teori sosial postmodern. Menurut Ritzer,
post-strukturalis cenderung sangat abstrak, sangat filosofis, dan
kurang politis dibanding dengan postmodern.
Sedangkan dalam makna intelektual, post-strukturalisme
banyak dipengaruhi pemikiran Jean Paul Sartre (Muhadjir 2002:
249) yang menggagas strukturalisme. Meskipun menurut Ritzer

- 455 -
(2003: 54) tokoh sentral strukturalisme adalah Claude Levi
Strauss, antropolog Perancis. Sedangkan menurut Kuntowijoyo
(2004: 34), asal-usul strukturalisme dapat ditemukan dalam
metode linguistik yang dipakai Ferdinand de Saussure dalam
kuliah-kuliahnya di Jenewa sejak 1906.
Strukturalisme muncul dari perkembangan yang ber-
macam-macam dalam berbagai bidang kajian, namun sumber
strukturalisme modern adalah linguistik, meskipun, kebanyak-
an sosiolog konsern dengan struktur sosial. Strukturalisme
merupakan usaha untuk menemukan struktur umum yang
terdapat dalam aktivitas manusia. Suatu struktur dapat
didefinisikan sebagai sebuah unit yang tersusun dari beberapa
elemen (Ritzer 2003, 51-54).
Ciri strukturalisme adalah memperhatikan keseluruhan
atau totalitas. Unsur hanya bisa dimengerti melalui kesaling-
terkaitan antar unsur. Kedua, strukturalisme tidak mencari
struktur di permukaan, pada tingkat pengamatan, tetapi di
bawah atau di balik realitas empiris. Apa yang ada di
permukaan adalah cerminan struktur yang ada di bawah (deep
structure), lebih ke bawah lagi ada kekuatan pembentuk struktur
(innate structuring capacity). Ketiga, dalam peringkat empiris,
keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition. Keempat,
strukturalisme memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis,
bukan yang diakronis, yaitu unsur-unsur dalam satu waktu
yang sama, bukan perkembangan antar waktu, diakronis atau
historis (Lane, dalam Kuntowijoyo, 2004, 35).

B. Teori dan Metode Kajian Post Kolonial


Teori postkolonial merupakan teori kritis yang mencoba
mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolo-
nialisme (Ratna, 2008: 120). Analisis postkolonial dapat diguna-
kan, di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek tersembunyi

- 456 -
atau dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui
bagaimana kekuasaan itu bekerja, dipihak lain membongkar
disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya.
Kajian dalam bidang kolonialisme mencakup seluruh
khazanah tekstual nasional, khususnya karya sastra yang per-
nah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi
hingga sekarang. Teori postkolonial relevan dalam kaitannya
dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbul-
kannya.
Teori postkolonialisme, khususnya postkolonialisme
Indonesia melibatkan tiga pengertian, pertama, abad
berakhirnya imperium kolonial di seluruh dunia. Kedua, segala
tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman
kolonial sejak abad ke-17 hingga sekarang. Ketiga, segala tulisan
yang ada kaitannya dengan paradigma superioritas Barat
terhadap inferioritas Timur, baik sebagai orientalisme maupun
imperialisme dan kolonialisme. Pengertian pertama di atas
memiliki jangkauan paling sempit, postkolonialisme semata-
mata sebagai wakil masa postkolonial. Di Indonesia mulai
pertengahan abad ke-20, sejak proklamasi kemerdekaan tahun
1945 hingga sekarang. Pengertian kedua lebih luas, meliputi
semua tulisan sejak kedatangan bangsa-bangsa barat di
Indonesia untuk pertama kali, diawali dengan kedatangan
bangsa Portugis dan Spayol awal abad ke-16 disusul oleh bangsa
Belanda awal abad ke-17. Adapun pengertian ketiga paling luas,
dimulai sebelum kehadiran bangsa Barat secara fisik di
Indonesia, tetapi telah memiliki citra tertentu terhadap bangsa
timur.
Teori postkolonial mampu mengungkap masalah-
masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang
pernah terjadi, karena:

- 457 -
1. Secara definitif, postkolonialisme menaruh perhatian
untuk menganalisis era kolonial.
2. Postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalis-
me. Teori postkolonial dianggap dapat memberikan
pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu
mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan,
kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi.
3. Sebagai teori baru, sebagai varian post-strukturalisme,
postkolonialisme memperjuangkan narasi kecil, meng-
galang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa
lampau untuk menuju masa depan.
4. Postkolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa pen-
jajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melain-kan
psikis.
5. Postkolonialisme bukan semata-mata teori melainkan
suatu kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak
kesadaran besar yang harus dilakukan, seperti meme-
rangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai
bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual,
baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa
sendiri.
Prespektif post-kolonialisme menilai moderenisasi yang
muncul setelah masa kolonialisme ini tidak terlalu memberikan
dampak yang positif terhadap kehidupan di dunia. Justru
mengundang kemunduran di dalamnya, bahkan karena
moderenisasi ini terdapat sebuah pengelompokan atau struktur
yang menyatakan pembagian kategori negara-negara, seperti fist
world yang ditunjukkan untuk negara-negara maju atau negara-
negara barat seperti Eropa dan Amerika, kemudian second world
yang ditujukan untuk negara-negara komunis dan third world
untuk negara-negara bekas jajahan dan under development.

- 458 -
Masalah inilah yang ingin di kritisi oleh perspektif post-
kolonialisme.
Pelabelan negara-negara ini menurut prespektif post-
kolonialisme merupakan bentuk-bentuk penjajahan lainnya
yang dapat berdampak sebagai pelabelan identitas suatu negara.
Post-kolonialisme mendukung dengan adanya sikap negara
yang anti-kolonialisme, karena bentuk penjajahan yang terjadi
sekarang bukan lagi bersikap ekspansi secara nyata dan melalui
fisik tapi cenderung ekspansi yang menyerang ide-ide.
Prespektif Post-kolonialisme ini ingin melawan penjajahan yang
berpotensi merusak tatanan dunia yang telah ada dengan
dominasi-dominasi yang dimilikinya.
Strukturalisme mengkaji karya sastra hanya berdasarkan
strukturnya, Sedangkan Post-kolonialisme merupakan kajian
terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang
berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialism baik
secara sinkronik maupun diakronik. Kajian post-kolonial
berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik
sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu
kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki
kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau
sebaliknya sebagai konter hegemoni. Hal ini terlihat adanya
sejumlah karya sastra Barat yang memperkuat hegemoninya
dalam memandang negara Timur (Rusdiarti, 2008)
Tonggak kelahiran teori postkolonial ditandai dengan
terbitnya buku Edward W. Said (1978), Orientalism. Tesis utama
buku karya Said tersebut menggunakan pendekatan hubungan
antara kekuasaan dan pengetahuan. Sebagaimana diantarkan
oleh Michael Foucault dalam bukunya, The Archeology of
Knowledge (1972) dan Discipline and Punish: The Birth of the Prison
(1977), kaum orientalis berpendapat bahwa masalah studi ilmiah
Barat mengenai Timur tidaklah semata-mata didorong oleh

- 459 -
kepentingan pengetahuan, tetapi juga kepentingan
kolonialisme.
Pengetahuan bagi kaum orientalis adalah untuk
mempertahankan kekuasaannya, yakni pengetahuan yang
dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis. Studi tersebut
juga semata-mata merupakan bentuk lain atau kelanjutan dari
kolonialisme. Bangsa Timur dikontruksikan sebagai bangsa
yang identik dengan irasionalitas, kekanak-kanakan, dan
“berbeda” dengan Barat yang rasional, bijaksana, dewasa, dan
“normal”.
Pandangan Said tersebut seolah-olah menyuarakan secara
eksplisit apa yang terpendam dalam kesadaran banyak orang,
terutama orang-orang di negara bekas jajahan Barat, yang kini
disebut sebagai “dunia ketiga”, untuk bangkit berjuang
menemukan kesadaran dengan menuntut keadilan dan
kesetaraan. Kritik postkolonial yang dikembangkan Spivak
meliputi pemikiran poststruktualisme pada kritik sastra, filsafat
kontinental, psikoanalisis, teori feminis, Marxisme, dan post-
Marxisme. Secara umum postkolonial dipahami sebagai teori,
wacana, dan istilah yang digunakan untuk memahami
masyarakat bekas jajahan, terutama sesudah berakhirnya
imperium kolonialisme modern. Dalam pengertian yang lebih
luas, postkolonial juga mengacu pada objek sebelum dan pada
saat terjadinya kolonialisme.
Ratna (2008:81—82) mengemukakan lima pokok
pengertian postkolonial, yaitu:
1. Menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial,
2. Memiliki kaitan erat dengan nasionalisme,
3. Memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari
bawah, sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju
masa depan,

- 460 -
4. Membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan
semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis,
dan
5. Post-kolonial bukan semata-mata teori, melainkan
kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus
dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme,
rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
Dalam kaitannya dengan kritik sastra, postkolonial
dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra
mengungkapkan jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi
antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam kondisi
hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk
sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal
zaman imperialisme Eropa (Day dan Foulcher, 2008:2—3).
Menurut Day dan Foulcher, kritik postkolonial adalah strategi
membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan
dampaknya dalam teks sastra, posisi, atau suara pengamat
berkaitan dengan isu tersebut.
Kritik postkolonial merupakan suatu jaringan sastra atas
rekam jejak kolonialisme. Wujud nasionalisme yang dinyatakan
dalam karya sastra misalnya (1) cinta tanah air, (2) patriotisme,
(3) pemujaan terhadap pahlawan, (4) Harapan kemerdekaan, (5)
Kebanggaan akan bahasa nasional, dan (6) pengenangan
kejayaan masa lalu. Wacana yang digunakan sebagai sarana
pengungkap semangat nasionalisme itu berupa wacana repetisi,
personifikasi, perbandingan, metafora, alegori, realis, paradoks,
metonimi, simile, hiperbolisme, verbalisme
(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id).
Kajian postkolonial dalam bidang budaya terkait dengan
dengan konteks penjajah-terjajah. Hegemoni penjajah yang luar
biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti budaya. Begitu pula
persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan

- 461 -
persoalan etnis, sehingga menarik bagi paham post kolonialis-
me. Tradisi postkolonial mengenal dua kunci utama pema-
haman budaya: Pertama, dominasi-subordinasi dan kedua,
hibriditas dan kreolisasi. Isu dominasi dan subordinasi muncal
berkenaan dengan krontrol militer kolonial genocide dan
keterbelakangan ekonomi. Keduanya tak hanya terjadi antara
negara dan etnis, tetapi juga antar negara dengan negara, etnis
dengan etnis. Sistem kolonial ini memunculkan hubungan
atasan-bawah, patron-clien, dan majikan-buruh, termasuk
suborniasi dan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Kedua, hibriditas dan kreolisasi. Budaya lama di era
kolonial, melalui proses hibriditas akan semakin pudar. Bahasa
juga akan mengalami kreolisasi, yaitu ke arah penciptaan
bentuk-bentuk ekspresi baru. Budaya kolonial akan diubah
(transkultural) ke dalam wacana hidup baru. Identitas budaya
yang konon selalu dianggap halus dan adiluhung, kemung-
kinan besar segera bergeser maknanya. Era global-lokal dan
otonomi daerah, sedikit banyak telah memoles budaya lama ke
dalam budaya baru.
Peneliti budaya dapat mengkaji lebih jauh tentang
eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum
terjajah adalah inferior, sedangkan penjajah superior. Budaya
kaum penjajah sering memaksakan kehendak. terdapat dua tipe
kolonialisme. Pertama, berhubungan dengan penaklukan fisik.
Kedua, penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu
bergerak pada dua hal, yaitu menguntungkan si penjajah dan
menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar
banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah
menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa. Jika penjajah
telah sampai menanamkan imperalismenya, maka pada tataran
ideologis tentu akan lebih berbahaya dalam kehidupan terjajah.

- 462 -
Akibatnya, kehidupan si terjajah secara tak sadar akan
mengikuti kehendak penjajah.
Di era modern yang serta global ini, terdapat penjajahan
teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan
pengalaman pahit. Bahkan, bangsa terjajah akan mengalami
stress berat, karena merasa diombang-ambingkan oleh penjajah.
Peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke arah
penjajahan kultural. Tradisi postkolonialisme tak berarti harus
menarik waktu dalam rentang panjang. Peneliti tak harus mena-
rik mundur kacamatanya ke aspek historis belaka. Peneliti
budaya seharusnya tak terkecoh dengan lama tidaknya
kolonialisme. Kolonialisme dapat berlangsung singkat, datang
pergi, dan tak pernah berhenti sepanjang bangsa dan etnis satu
berhubungan dengan yang lain.
Kajian postkoloniasme budaya berkaitan dengan aspek
politik. Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum
kolonialis. Studi postkolonialisme yang berhasil akan menjadi
dokumentasi kritik sejarah. Dokumentasi ini akan menjadi
pelajaran berharga bagi pemilik budaya itu sendiri
(http://teguhimanprasetya. wordpress.com/2008)
Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial
yang telah menindas kelompok-kelompok marjinal. Post
kolonial kemudian membongkar (dekonstruksi) kembali
wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan
politik dan kekuasaan. Ide Ferdinand de Saussure tentang
oposisi biner misalnya, telah dipakai dalam struktur-struktur
kesadaran pengetahuan. Oposisi biner telah membagi dunia
dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik
atau lebih buruk dari yang lain. Bagi postkolonial, oposisi yang
merupakan struktur tak disadari ini merugikan dua hubungan
tersebut, sebab akan terjadi dualitas masyarakat atau

- 463 -
pemahaman yang saling menindas, dan muncullah apa yang
disebut primordalisasi, dan sektarianisasi kelompok.
Banyak term-term yang terjebak pada ide oposisi biner
yang dikorelasikan dengan kekuasan, dan arahnya menjadi
penindasan-penindasan baru. Seperti oposisi minoritas/mayo-
ritas, pusat/pinggiran, global/lokal. Dari ide oposisi ini,
postkolonial tidak hanya bicara soal penjajah dan yang terjajah
dalam masa kolonial dan sesudahnya. Inti dari kritik
postkolonial atas kolonialisme adalah tidak dalam bentuk ‘fisik
penjajahan’, melainkan juga dalam bangunan wacana dan
pengetahuan, bahkan bahasa.
Edward Said dalam ide postkolonial misalnya melakukan
dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan
membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma
orientalismenya di tahun 1978. Katanya, Timur adalah sebentuk
panggung tertentu yang didirikan dihadapan Barat. Said
menguliti orientalisme sebagai wacana ilmiah yang didorong
oleh motif-motif kekuasaan yang amat buas (kolonialisme).
Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari ‘negeri yang terjajah’,
maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang
dijajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh
siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan
dalam dikotomi tertentu. Ini semakin menunjukan bahwa
postkolonialisme selain satu nafas dengan feminisme, ia juga
bersanding dengan postmodernisme. Pertemuan antara
poskolonial, posmodern dan postfeminis adalah terletak pada
adanya ‘wacana pembalikan’(http://www.interseksi.org). Teori
postkolonial lahir sesudah kebayakan negara-negara terjajah
memperoleh kemerdekaannya. Teori postkolonial mencakup
seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami
kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi hingga sekarang
(Ratna, 2008:207).

- 464 -
Bila dikaitkan dengan tujuannya maka wacana post
kolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Timur
untuk menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan
citra diri yang baru terhadap bangsa Timur mengenai hege-moni
Barat. Sedangkan wacana orientalisme adalah wacana yang
mewakili sistem ideologi barat dalam kaitannya untuk
menenamkan hegemoni terhadap bangsa Timur (Ratna,
2008:219).
Teori postkolonialisme memiliki arti penting mampu
mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung
di balik kenyataan yang pernah terjadi, dengan beberapa
pertimbangan.
(1) postkolonialisme menaruh perhatian untuk meng-
analisis era kolonial.
(2) postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasio-
nalisme, sedangkan kita sendiri juga sedang diper-
hadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Teori
postkolonialisme dianggap dapat memberikan pema-
haman terhadap masing-masing pribadi agar selalu
mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan,
kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi
(3) teori poskolonialisme memperjuangkan narasi kecil,
menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari
masa lampau untuk menuju masa depan.
(4) membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan
semata-mata dalam bentuk fisik tetapi juga aspek psikis.
Tidak kalah pentingnya juga bahwa teori post kolonialis-
me bukan semata-mata teori, melainkan suatu kesadaran itu
sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus
dilakukan, seperti memerangi imperialisme, orientalisme,
rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material

- 465 -
maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun
bangsa sendiri (Ananta Toer: 81).
Kaum post-kolonialis meyakini bahwa semua stigma yang
melekat pada negara dunia ketiga adalah akibat kolonialisasi.
Masa post-kolonialisme adalah masa di mana negara-negara
dunia ketiga dibebaskan dari segala bentuk kolonisasi, tidak
hanya secara fisik, namun juga secara ide. Karena kebanyakan
negara dekolonialisasi bukan berarti lepas dari penjajahan,
namun justru dimulainya bentuk penjajahan hegemoni secara
ide (Wardhani, 2013).
Post-kolonialisme memiliki tiga tujuan utama. Pertama,
mengangkat kembali sejarah ilmu, teknologi dan pengobatan
barat, seperti ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam, India,
Cina maupun pengetahuan pribumi dan pengetahuan dari
budaya lain melalui kajian empiris dan histories. Kedua,
mengembangkan wacana kontemporer tentang sifat, gaya dan
lingkup ilmu pengetahuan, teknologi dan pengobatan non-
Barat. Ketiga, mengembangkan kebijakan ilmu pengetahuan
yang mengakui dan menghargai praktek-praktek ilmiah,
teknologi dan pengobatan pribumi atau asli (David, 2007).
Kata ‘post’ yang terkandung dalam post-strukturalisme
dan post-kolonialisme menunjukkan aspek kritis yang bertujuan
untuk membongkar sesuatu yang sudah mapan (Dugis, 2012).
Kedua teori ini lebih merujuk pada level ide daripada fenomena.
Bagi post-strukturalis dan post-kolonialis didunia ini tidak ada
objektivitas, uiversalisme, dan sesuatu yang bersifat mapan
(Dugis, 2013). Namun, post-kolonialisme dan post-
strukturalisme memberikan suatu kontribusinya dengan
memberikan atau membuka jalan bagi pemikiran-pemikiran
baru untuk muncul dalam disiplim ilmu Hubungan
Internasional.

- 466 -
Post-kolonialisme merupakan periode setelah kolonialis-
me berakhir. Post-kolonialsme mulai dikenal pada tahun 1961
melalui tulisan Orientalism karya Edward Said dan The Wretched
of The Earth karya Frantz Fanon, yang merupakan bentuk
aspirasi dalam memberantas kolonialisme. Post-kolonialisme
tumbuh subur ketika pergerakan anti kolonialisme begitu marak
dilakukan. Dalam konteks Hubungan Internasional, post-
kolonialisme lahir sebagai wujud kekecewaan terhadap teori
mainstream yang hanya memfokuskan pada aspek power, politik
dan negara. Di samping itu juga aspek kultural dan
kemanusiaan, terutama pasca kolonialisme. Post-kolonialisme
menyatakan bahwa kebodohan dan kemiskinan merupakan
akibat kolonisasi. Kemajuan negara koloni tidak terlepas dari
sumbangsih negara jajahan (Wardhani 2013). Tujuan
pengembangan teori postkolonialisme ini sendiri adalah untuk
melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam
pengetahuan termasuk pada sisi budaya (Grovogui 2007). Kaum
post-kolonialisme mendambakan adanya tatanan dunia yang
lebih baik setelah kolonialisme berakhir. Tatanan dunia yang
lebih baik ini didorong melalui adanya self determination dan
decolonization.
Kolonialisme meninggalkan warisan budaya di negara
jajahan, misalnya cara berpakaian, cara makan, life style bahkan
pola pikir. Warisan kolonialisme semacam inilah yang ingin
dihapuskan oleh post-kolonialisme. Pada masa penjajahan
Eropa muncul istilah The Man (bangsa eropa) dan The Native
(non eropa). The Man menganggap diri mereka adalah ciptaan
terbaik sehingga berhak untuk menguasai The Native. Post-
kolonialisme menolak pembagian golongan ini karena hal
pembagian ini dianggap sebagai penyelewengan kekuasaan oleh
Eropa dan merupakan suatu tindakan tidak manusiawi melalui
marginalisasi golongan tertentu.

- 467 -
Post-kolonialisme menyuarakan adanya emansipasi
negara atas pengaruh kolonialisme. Kebebasan dan politik
adalah dua hal yang menjadi sorotan post-kolonialisme. Kedua
aspek tersebut hendaknya dimiliki oleh negara yang telah
dinyatakan merdeka dari apapun (Grovogui 2007). Post-
kolonialisme mengarahkan negara untuk melakukan self
determintion. Self determination mendorong adanya kebebasan
berpolitik.

C. Teori dan Metode Kajian Post Modernisme


Tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Post
modernisme dalam filsafat adalah Jean-Francois Lyotard (1984).
Post modernisme menolak hirarkhi, geneologik, menolak
kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersen-
tasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme.
Logika modernisme terikat pada logika standar, sedangkan
posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna
baru, menggunakan logika yang tidak standar. Kapitalisme atau
modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia
dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan, nilainya
ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Post modernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas
gambaran dunia, epistimologi dan idiologi modern. Adapun
postmodernitas menunjuk pada situasi dan tata sosial produk
teknologi informasi, globalisasi dan fragmentasi gaya hidup,
konsumerisme yang berlebihan (Sugiharto, 1996: 24).
Postmodernisme menurut Pauline Rosenau (1992) meru-
pakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya
memenuhi janji-janjinya. Postmodern cenderung mengkritik
segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Teoritisi
postmodern cenderung menolak pandangan dunia (world view),
metanarasi, dan totalitas. Pemikir postmodern cenderung

- 468 -
menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti
emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman
personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi,
magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik.
Teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang
meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin
akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan
realitas.
Kebudayaan postmodern menurut Bauman (1992:31)
adalah: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan,
kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal,
melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi
tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang
dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah
tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Postmodernitas
berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern
khusus, ia merupakan modernitas yang telah mengakui
ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan
semula, modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya
dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup
dengannya.
Menuru Jameson (1989), masyarakat postmodern tersusun
atas lima elemen utama, yaitu: (1) masyarakat postmodern
dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah
pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern;
(3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia
postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-
teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilam-bangkan
oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis
multinasional (http://bintangchiyan.blogspot. com).
Kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionali-
tas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya,

- 469 -
melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif
kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan
kebaruan, tanpa standar yang pasti. Mereka lebih menghargai
perbedaan, pertentangan, paradoks, dan misteri di balik
fenomena budaya.
Teori modernisasi mengungkapkan bahwa negara dunia
ketiga membutuhkan transformasi kultural untuk membangkit-
kan mereka menjadi negara dunia pertama. Menurut negara
dunia pertama, mereka telah melakukan banyak hal bagi negara
dunia ketiga seperti transfer modal, sumberdaya, dan teknologi,
namun negara dunia ketiga tetap tidak dapat menyamai mereka,
karena memang sudah dikonstruksikan seperti itu, bahkan
sebelum masa penjajahan juga sudah demikian (Wardhani,
2013).
Menurut Foucault, postmodernisme akan menghubung-
kan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”.
Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan postmodernis-
me akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandalkan
pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak
menentu, dan penafsiran. Salah satu karakteristik postmo-
dernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena
budaya. Mereka cenderung memandang budaya itu bermakna
banyak (plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat
poliinterpretable. Postmodernisme seirama dengan kajian
pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai
penopang makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123)
menyatakan pascastrukturalisme percaya bahwa makna selalu
dalam proses, tak pernah final. Postmodernisme lebih menolak
segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan.
Kehadiran postmodernisme merupakan upaya penafsiran
yang bergabung dengan semiotik yang menyangkut `bagai-
mana’ makna teks, dan tidak lagi hanya seperti hermeneutika

- 470 -
yang lebih menyangkut `apa’ makna teks. Eagleton (1988:397)
menyatakan bahwa postmodernisme memang mengambil ide
dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang
lebih masak dengan disiplin lain. Postmodernisme mencoba
mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari
avant-garde, postmodernisme ingin mencoba memecahkan
masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai
oposisi “high” culture. Habermas menyatakan bahwa postmo-
dernismeime itu sebagai langkah “counter culture”, artinya
kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme
justru dihancurkan (Hardiman, 1993:179).
Postmodernisme mengembangkan paradoks-paradoks
penafsiran makna. Artinya, yang semula oleh kaum modern ada
unsur budaya yang disisihkan, dianggap kecil, dianggap
pinggiran, dan kurang mendukung makna – oleh kaum postmo
justru dikejar. Kemungkinan hal-hal yang sepele yang kurang
“bernyawa” itu menjadi bermakna istimewa. Grass roots dari
postmodernisme adalah kontradiksi. Melalui asumsi ke hal-hal
yang kontradiktif dengan yang telah lazim, justru mereka
mampu menemukan malma hakiki sebuah fenomena budaya
(Esneva dan Prakash,1998:3).
Postmodernisme memang menolak sebuah hirarkhi,
genealogik, kontinuitas, keseragaman, dan perkembangan.
Postmodernisme ingin merepresentasikan segala sesuatu yang
buntu pada masa modern. Oleh karena kaum modern sering taat
pada standar logis, posmodernisme lebih dari itu, yaitu tidak
menggunakan standar baku, melainkan bersifat kreatif. Demda
selalu menyarankan agar pengkaji postmodernisme tak ragu-
ragu melakukan dekonstruksi. Pembalikan struktur sah-sah saja,
asalkan bertujuan untuk memahami rnakna. Paham
postmodernisme selalu berada pada posisi: plural makna
dibanding otoritas kesatuan makna, lebih berupa kritikan

- 471 -
dibanding kepatuhan, ke arah perbedaan dibanding persama-
an, dan lebih bersikap skeptis terhadap sistem budaya.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan ketika mengkaji
postmodernisme menurut Derrida (Sugiharto, 2001:45) yaitu:
pertama, mengidentifikasi hirarkhi oposisi dalam teks di mana
biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan
secara sistematik. Kedua, oposisi itu dibalik, misalnya dengan
menunjukkan saling ketergantungan di antara yang berlawan-
an itu, atau dengan mengusulkan privilese secara terbalik.
Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang
ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi
lama.http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/post-
modernisme-dan-post-kolonialisme/
Menurut paham post modernis, sejarah tidak lagi
dipahami sebagai peristiwa yang linier, berlangsung bertahap,
mulai dari masyarakat primitif yang percaya pada kekuatan gaib
(teosentris), lalu ke tahap metafisis, hingga mencapai puncaknya
pada tahap antroposentris. Antropolog postmodernis
berkeyakinan bahwa masyarakat primitif pun mempunyai sistem
pemikiran yang tidak “sekuno” gambaran kaum modernis.
Postmodernisme berada dalam wilayah “abu-abu”, meno-
lak distingsi tegas kategori-kategori biner. Kritik atas rasio; kritik
atas kritik. Rasio manusia dipertanyakan sebab, alih-alih
membantu manusia menjadi lebih beradab, sering kali merusak
kemanusiaan itu sendiri. Post modernisme juga memiliki sikap
polisentrisme, relativisme, perspektivisme, pluralisme. Kebe-
naran tidak universal/absolut, melainkan tergantung dari
situasi, konteks, dan perspektif yang dipakai.
Post modernisme menganggap realitas sebagai kolase,
yaitu perpaduan dan pencampuradukkan unsur-unsur yang
selama ini dianggap memiliki “posisi/maknanya sendiri-
sendiri”. Menurut paham ini, realitas itu tidak tunggal,

- 472 -
melainkan majemuk, hibrid, gabungan. Post modernisme
menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural,
memiliki sikap dekonstruktif. Postmodernisme ingin mendu-
dukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang sering
dikesampingkan kaum modernisme. Kaum modernisme
menepikan pemahaman budaya dari aspek historis, menaifkan
budaya terpencil, budaya terjajah, cenderung mendewakan
oposisi-oposisi biner.
Paham postmodernisme menyerang otoritas akal manusia.
mengkritik rasionalitas dan konsep self sebagai hal yang hidup.
Menurut Lyotard, postmodernisme merupakan gerakan
penelitian budaya “radikal”. Logika postmodernisme
kontroversial dan paradoks. Logika berpikir mereka tidak
menghendaki kemapanan dalam mencari kebenaran makna.
Kendati logika mereka cerdas, tetapi sering dicap tidak
konsisten. Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan
menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan
sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat
kebenaran aktif kreatif. (http://kuliahsosiologi. blogspot.com
/2011/05/post-modernisme-dan-post-kolonial.html)

IV. Kesimpulan
1. Post-strukturalisme muncul akibat respon terhadap gagasan
strukturalisme, namun bergerak keluar dan melampaui
strukturalisme. Post-strukturalisme menolak ide tentang
struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan
biner, seperti hitam-putih, baik-buruk, atas-bawah.
2. Teori postkolonial merupakan teori kritis yang mencoba
mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kolonialisme. Teori postkolonialisme, meliputi abad ber-
akhirnya imperium kolonial di seluruh dunia, segala tulisan
yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial

- 473 -
sejak abad ke-17 hingga sekarang, dan segala tulisan yang ada
kaitannya dengan paradigma superioritas Barat ter-hadap
inferioritas Timur. Masa post-kolonialisme adalah masa di
mana negara-negara dunia ketiga dibebaskan dari segala
bentuk kolonisasi, tidak hanya secara fisik, namun juga secara
ide. Karena kebanyakan negara dekolonialisasi bukan berarti
lepas dari penjajahan, namun justru dimulai-nya bentuk
penjajahan hegemoni secara ide.
3. Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern.
Teoritisi postmodern cenderung menolak pandangan dunia
(world view), metanarasi, dan totalitas. Langkah-langkah yang
perlu dilakukan ketika mengkaji postmodernisme yaitu
mengidentifikasi hirarkhi oposisi dalam teks, oposisi itu
dibalik, dengan menunjukkan saling ketergantungan di
antara yang berlawanan itu, serta memperkenalkan sebuah
istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan
ke dalam kategori oposisi lama.

- 474 -
DAFTAR PUSTAKA

Ashley, Richard, 1996. The achievements of post-structuralism,


in; Steve Smith, Ken Booth & Marysia Zalewski (eds.)
International Theory: Positivism and Beyond, Cambridge
University Press, pp. 240-253.
Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas-Posmodernitas.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2000.
Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja
Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations
Theories, Oxford University Press, pp. 203-228.
Dugis,Vinsensio dan Baiq Wardhani. 2013. Post-kolonialisme dan
post-strukturalisme, materi disampaikan pada kuliah Teori
Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga, 13
Juni 2013.
Endraswara, Suwardi. 2003. “Penelitian Sastra: Model Postmo-
dernisme dan Postkolonialisme”. Dalam Metodologi
Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Faruk.2007.Belenggu Pasca Kolonial.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Grovogui, Siba N., 2007. Postcolonialism, in; Tim Dunne, Milja
Kurki & Steve Smith (eds.) International Relations
Theories, Oxford University Press, pp. 229-246.
Hardianti, Ika Devi. Post-Kolonialisme dan Post-Strukturalisme.
Dalam
http://ikadevihardianti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-
81376-THI-
PostKolonialisme%20dan%20PostStrukturalisme.html
Meitasari, Indah. 2012. Teori Strukturalisme dan Post Struk-
turalisme dalam http://sociolovers-ui.blogspot.com/2012/
06/ strukutralisme-bahasan-dalam-topik-ini.html.

- 475 -
Post modern dan Post Struktural dalam http://bintangchiyan.
blogspot.com /2012/04/ pengertianpost-modern-jean-
francois.html
Prasetya, teguh Iman. Post modernisme dan Post kolonialisme
dalam
(http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008)/09/25/po
st-modernisme-dan-post-kolonialisme.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra.
Ritzer, George – Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi
Modern. terjemahan dari Modern Sociological Theory. Mc
Graw Hill.
Rusdiarti, Samuel. 2008. Struktur dan Sifatnya dalam Pemikiran
Michel Faocault
Santosa, Puji. Kritik Postkolonial: Jaringan Sastra atas Rekam Jejak
Kolonialisme dalam http://badanbahasa. kemdikbud.go.id/
lamanbahasa /artikel/1266
Setiawan, Akbar Kuntardi (2017) Wacana Postkolonial Dalam
Roman Larasati Karya Pramoedya. Staf Pengajar pada
Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, FBS UNY. Proceding
Seminar Nasional Rumpun Sastra FBS UNY 2007
Sugiharto, Bambang.1996. Postmodernisme. Yogyakarta: PT
Kanisius.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (Ed.).2016. Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Cetakan ke-5, Yogyakarta:
Kanisius.

- 476 -
LATIHAN

Jawablah pertanyaan berikut dengan benar!


1. Apakah yang dimaksud dengan kajian post struktural?
2. Bagaimanakah langkah kerja teori post struktural dalam
kajian sastra?
3. Apakah yang dimaksud dengan kajian post kolonial?
4. Bagaimanakah langkah kerja teori post kolonial dalam
kajian sastra?
5. Apakah yang dimaksud dengan kajian post modernisme?
6. Bagaimanakah langkah kerja teori post modernisme dalam
kajian sastra?
7. Jelaskan perbedaan prinsip struktural dan post struktural!
8. Jelaskan perbedaan prinsip kolonial dan post kolonial!
9. Jelaskan perbedaan prinsip modern dan post modern!
10. Analisislah sebuah cerpen berdasarkan salah satu dari teori
post struktural, post kolonial dan post modernisme!

‫بالتوفيق والسداد‬

- 477 -
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai