Buku Pembelajaran Prosa Teoridan Penerapandalam Kajian Prosa Arab
Buku Pembelajaran Prosa Teoridan Penerapandalam Kajian Prosa Arab
net/publication/336837940
Buku Pembelajaran Prosa Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa Arab
CITATIONS READS
7 3,893
1 author:
Hanik Mahliatussikah
State University of Malang
91 PUBLICATIONS 82 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Hanik Mahliatussikah on 27 October 2019.
i
ii
Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa Arab
iii
iv
Mahliatussikah, H
Pembelajaran Prosa Teori dan Penerapan dalam Kajian Prosa Arab –
Oleh: Dr. Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum. – Cet. I – Universitas
Negeri Malang, 2018.
ISBN: 978-602-470-054-6
PEMBELAJARAN PROSA
TEORI DAN PENERAPAN DALAM KAJIAN PROSA ARAB
Dr. Hanik Mahliatussikah, S.Ag., M.Hum.
• Cetakan I : 2018
v
vi
Kata Pengantar...
vii
ilmu. Terimakasih penulis sampaikan kepada suami penulis;
Eko Purnomo, S.Pd. dan kedua anakku; Dzikrika Rahmatu
Hayati dan Muhammad Fikri Nur Rahman yang telah
menemani, mendampingi, dan menjadi penyemangat penulis.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada para dosen
saya S1 Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab IAIN Sunan
Kalijaga dan S2 Ilmu Sastra Fakultas ilmu Budaya UGM yang
telah mencurahkan wawasan ilmu kesastraan sehingga penulis
dapat mengembangkannya menjadi buku ini. Ucapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada para dosen saya di
S3 Pendidikan bahasa Arab yang telah membuka cakrawala
pikir dan keilmuan secara lebih luas.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Universitas Negeri
Malang, utamanya LP3 UM yang telah memotivasi penulisan
buku ini melalui kegiatan Applied Approach (AA). Kegiatan ini
telah menambah cakrawala pengetahuan tentang pembelajaran
dengan berbagai aspek-aspeknya. Semoga ilmu yang kami
peroleh dan buku yang kami hasilkan dapat bermanfaat dan
meningkatkan mutu pembelajaran, utamanya di prodi Pendidikan
Bahasa Arab Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas
Negeri Malang, tempat penulis mengabdi. Terimakasih penulis
sampaikan kepada Fakultas Sastra yang telah membantu
mendanai penerbitan buku ini. Buku sederhana ini tentu saja
masih jauh dari yang diharapkan. Kritik, saran, dan masukan
yang bijak dan membangun dari pembaca sangat kami
harapkan.
Malang, 10 Oktober 2018
Penulis
viii
Kata Pengantar __ iii
ix
BAB 7 TEORI DAN METODE ANALISIS SEMIOTIK __ 123
A. Pengertian Semiotik __ 124
B. Tanda-tanda Tekstual __ 126
C. Metode Analisis __ 130
D. Kajian Al-Quran dengan Pisau Semiotika __ 132
x
BAB 13 TEORI DAN METODE ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA
__ 251
A. Teori Sosiologi Sastra __ 252
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra __ 261
C. Metode Analisis __ 262
xi
BAB 18 TEOTI DAN METODE KAJIAN INTERDISIPLINER __
405
A. Pengertian Interdisipliner __ 406
B. Hubungan Sastra dengan Keilmuan Lain __ 408
C. Hubungan Karya Sastra dengan Masyarakat Pembaca __ 414
D. Hubungan Karya Sastra dengan Sistem Sosial Budaya __ 417
E. Era Interdisipliner dan Multidisipliner __ 419
xii
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
B A B Sastra dan
____ 1
Karya Sastra
I. Deskripsi
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang sastra, unsur-
unsur sastra, jenis-jenis sastra, dan macam-macam karya sastra.
Penjelasan tersebut dirinci dan diurutkan agar mudah difahami
dengan baik dan mendalam. Di samping itu, terdapat latihan
evaluasi pemahaman dan rangkuman guna membantu belajar
mahasiswa.
II. Relevansi
Penjelasan tersebut merupakan materi dasar kesastraan
untuk menunjang pembelajaran pada bab selanjutnya, yaitu
sastra Arab dan periodesasinya. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan mampu menguasai materi dasar kesastraan agar
mudah memahami materi yang akan disajikan pada bab
berikutnya.
-1-
… Hanik Mahliatussikah …
-2-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
-3-
… Hanik Mahliatussikah …
-4-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
-5-
… Hanik Mahliatussikah …
-6-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
B. Unsur-Unsur Sastra
Menurut Josef Al-Hasyimi, dkk., unsur-unsur sastra ada 4,
yaitu:
1) Unsur akal pikiran/gagasan ()اﻟﻔﻜﺮة. Sastra diciptakan dengan
menggunakan pikiran yang mendalam mengenai suatu
fenomena dalam hidup. Pencipta sastra hendaknya memiliki
pikiran yang jernih, mendalam dan cerdas. Gagasan me-
rupakan ide yang harus muncul sebelum seorang pengarang
membuat karya sastra. Gagasan itu tidak akan bermakna jika
ungkapan yang bernilai seni tidak terpenuhi, karena penyam-
paian seni adalah simbol dari kandungan sastra yang dapat
dilihat dan dinikmati oleh pembaca. Pada karya sastra,
unsur akal dapat dikaji melalui ide dan tema yang diusung
oleh pengarang dan kaitan antara tema tersebut dengan
-7-
… Hanik Mahliatussikah …
-8-
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
-9-
… Hanik Mahliatussikah …
C. Jenis-jenis Sastra
Ditinjau dari sisi tema, terdapat dua jenis sastra (adab),
yaitu Adab washfi dan Adab insya`i. Adab washfi berupa
sejarah, kritik dan teori sastra. Adapun Adab insya’i adalah
karya sastra itu sendiri yang telah diciptakan pengarang ( اﻹﻧﺘﺎج
اﻟﻌﻤﻞ اﻷدﺑﻲ/ )اﻷدﺑﻲyang meliputi puisi, prosa, dan drama.
Adapun dalam sastra non Arab, adab washfi dikenal dengan
ilmu sastra. Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks
sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam
- 10 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 11 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 12 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 13 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 14 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 15 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 16 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 17 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 18 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
IV. Rangkuman
1. Sastra adalah karya imajinatif yang unsur estetiknya
dominan. Sastra berfungsi sebagai dulce et utile, yaitu
menyenangkan dan berguna. Sastra berfungsi sebagai katarsis,
yaitu membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan
emosi, mendapatkan ketentraman pikiran, pensucian jiwa, dan
ketenangan batin. Sastra memiliki 5 fungsi dalam kehidupan,
yaitu rekreatif, didaktif, estetis, moralitas, dan religius.
2. Kesusastraan adalah segala tulisan atau karangan yang
mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan
bahasa yang indah sehingga sastra adalah suatu komunikasi
yang hidup bersama bahasa. Karya sastra merupakan hasil
kreativitas manusia.
3. Menurut Josef Al-Hasyimi, dkk., unsur-unsur sastra ada 4,
yaitu: (1) unsur akal pikiran/gagasan (( ;)اﻟﻔﻜﺮة2) unsur emotif
(( ;)اﻟﻌﺎطﻔﺔ3) unsur khayal/imajinasi (( ;)اﻟﺨﯿﺎل4) unsur seni ( ّ )اﻟﻔﻦ.
4. Mutu karya sastra dapat dilihat dari bentuk, isi, ekspresi dan
bahasanya. Karya sastra dikatakan bermutu jika (1) merekam
isi jiwa sastrawannya, (2) dapat dikomunikasikan dengan
orang lain, (3) bentuknya teratur, memenuhi bentuk seni,
yaitu memiliki pola sendiri dalam dirinya, (4) ada integrasi
antar unsur (isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pengarang), (5)
mengandung unsur penemuan dan pembaruan (ada unsur
baru yang tidak dimiliki oleh sastra sebelumnya), (6) ekspresi
- 19 -
… Hanik Mahliatussikah …
yang jujur dan tidak dibuat-buat, (7) padat isi, bentu, dan
ekspresi. Sastra yang bermutu merupakan hasil kepekatan,
kepadatan (intens) sastrawan dalam menghayati kehidupan-
nya, dan (8) merupakan penafsiran kehidupan.
5. Ditinjau dari sisi tema, terdapat dua jenis sastra (adab), yaitu
Adab washfi dan Adab insya`i. Menurut pakar strukturalis-
me Rene Wellek terdapat tiga ilmu sastra, yaitu teori sastra,
kritik sastra, dan sejarah sastra. Ketiga bagian ilmu sastra
tersebut saling mendukung dan saling membutuhkan.
6. Karya sastra berdasarkan genre atau jenis atau kelompoknya
dibagi menjadi 3, yaitu prosa ( )ﻧﺜﺮ, puisi ()ﺷﻌﺮ, dan drama
()ﻣﺴﺮﺣﯿﺔ. Berdasarkan isinya, prosa dibagi menjadi 2, yaitu:
(1) prosa fiksi dan (2) prosa non fiksi. Berdasarkan bentuknya,
karya fiksi dibedakan menjadi roman/novel, novelette dan
cerpen. Berdasarkan isinya, fiksi dapat diklasifikasikan atas
romantik, realisme, sosialis realisme, naturalisme, ekspresio-
nisme dan simbolisme.
7. Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama berdasarkan
bentuknya meliputi drama prosa dan drama puisi. Drama
berdasarkan isinya ada beberapa macam: drama komedi,
tragedi, tragedi-komedi, opera yang diiringi musik dan
nyanyian, sendratari, pantomime/tablau, passie (agama,
religious), dan drama wayang.
8. Puisi menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984),
merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama,
matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Perbedaan
prosa dan puisi bukan pada bahannya, melainkan pada
perbedaan aktivitas kejiwaan.
- 20 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory
and the Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press.
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cet. IV.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Depdikbud.
Herawati, Yudianti.2010. Pemanfaatan Sastra Lokal Dalam
Pengajaran Sastra. Dalam jurnal Lingua Didaktika Volume 3
No 2, Juli 2010. Hal. 197-208.
http://www.dosenpendidikan.com
http://www.hasan sadily.my.id
http://www. mawdoo3.com
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra.
Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mahliatussikah, Hanik. 2015. Telaah Prosa. Diktat. Malang: UM
Muzakki, Akhmad. 2006. Kesusastraan Arab, Pengantar teori dan
Terapan. Jogjakarta: Ar Ruz
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik dan penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rachman, Arief. 2008. ”Pendidikan Bahasa dan Sastra dalam Me-
wujudkan Lulusan Generasi Muda yang Beretika dan Ber-
estetika”. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas.
- 21 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 22 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 23 -
… Hanik Mahliatussikah …
I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan sekilas tentang sastra Arab,
dan periodisasi sastra Arab dengan runtut dan rinci agar
mudah dipahami. Di samping itu, terdapat evaluasi dan
rangkuman yang dapat membantu mahasiswa belajar.
II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang sastra
Arab dan periodisasinya, akan dijelaskan pada bab selanjutnya
tentang sastra, baik fungsi maupun aliran-alirannya. Oleh
karena itu, diharapkan mahasiswa dapat memahami materi
pada bab ini dengan sebaik-baiknya.
- 24 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 25 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 26 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
Adab (sastra)
- 27 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 28 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
Qois, Nabighah Adz Dzibyani dan Zuhair bin Abi Sulma. Pada
masa Jahiliyah terdapat pasar sastra yang bernama Ukaz ()عُكاَظ.
Di pasar inilah tiap-tiap kabilah menampilkan kemampuan
bersastra mereka baik berupa puisi maupun pidato. Karya
pemenang dari perlombaan itu kemudian ditulis dengan tinta
emas dan digantungkan pada dinding ka’bah, sehingga
tergolong sebagai jenis mua’llaqât.
- 29 -
… Hanik Mahliatussikah …
masa ini Hasan Basri, Thariq bin Ziyad, Abu Duaib Al-
Hadzli, Jarir, Malik bin Raib al-Tamrini. Pada masa ini
banyak puisi yang bernuansa politik dan untuk keperluan
sekte masing-masing. Banyak puisi yang mengajak kepada
fanatisme. Adapun prosa yang terkenal pada masa ini
adalah pidato/ khithobah baik untuk keperluan agama,
politik, dan peperangan.
- 30 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 31 -
… Hanik Mahliatussikah …
IV. Rangkuman
1. Pengertian adab selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Pada masa jahiliyyah bermakna ‚mengajak makan الدعوة إلى
‛الطعام. Pada abad 6H, sastra (Adab) bermakna ‘akhlak atau
budi pekerti’. Pada abad ke-3M, Adab meliputi musik, pe-
ngetahuan kedokteran, dan kimia. Pada masa kini, penger-
tian sastra menjadi menyempit, yaitu puisi dan prosa. Sastra
pada masa sekarang dimaknai sebagai bentuk seni tentang
pengalaman manusia, ungkapan tentang kehidupan dengan
media bahasa, dan buah pikiran manusia yang diungkapkan
dengan bentuk seni yang indah.
2. Terdapat beberapa pendapat tentang periodisasi Sastra
Arab. Di antaranya periodisasi sastra Arab meliputi (1)
Zaman Jahiliyah (Jahiliyah Awal yang berakhir pada abad 5
- 32 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 33 -
… Hanik Mahliatussikah …
DAFTAR PUSTAKA
- 34 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
LATIHAN
بالتىفيق والسداد
- 35 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
Sastra: Fungsi
dan Aliran
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang fungsi-fungsi sastra dan
aliran-aliran sastra. Selain itu, terdapat evaluasi dan rangkuman
pembelajaran untuk mempermudah mahasiswa belajar.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang fungsi-fungsi sastra
dan aliran-aliran sastra, pada bab selanjutnya akan mempelajari
diksi dan gaya bahasa pada salah satu cabang karya sastra,
yaitu puisi. Diksi dan gaya bahasa mencerminkan aliran sastra
puisi pengarang. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan dapat
memahami materi pada bab ini untuk memudahkan
memahami materi selanjutnya.
- 36 -
A. Fungsi Sastra
Sastra mempunyai dua manfaat atau fungsi utama sebagai-
mana dikemukakan oleh Horatius, yaitu dulce et utile (sweet
and useful). Dulce (sweet) berarti sangat menyenangkan atau
kenikmatan, sedangkan utile (useful) berarti isinya bersifat men-
didik (mikics, 2007:95). Bressler (1999:12) menyebut dua fungsi
tersebut dengan istilah to teach ‘mengajar’ dan to entertain
‘menghibur’. Fungsi menghibur (dulce) artinya sastra memberi-
kan kesenangan tersendiri dalam diri pembaca sehingga pembaca
merasa tertarik membaca sastra. Fungsi mengajar (utile) artinya
sastra memberikan nasihat dan penanaman etika sehingga
pembaca dapat meneladani hal-hal positif dalam karya sastra.
Sastra mampu membuat manusia menjadi lebih manusiawi:
mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan
kehidupan (Sarumpaet, 2010: 1).
Sebuah karya sastra dapat dikatakan bernilai sastra tinggi
jika karya itu mampu memberikan hiburan kepada pembaca,
serta mampu memberikan pengajaran positif bagi pembacanya.
Sastra dapat dikatakan sebagai media hiburan yang mengajar,
dan media pengajaran yang menghibur. Dua fungsi utama
sastra tersebut dapat diturunkan ke beberapa fungsi sastra
sebagai berikut.
1) Fungsi estetis
Fungsi estetis adalah fungsi keindahan dari dalam karya
sastra yang ditampilkan melalui penggunaan bahasa-bahasa
yang indah dan memikat. Fungsi estetis, yaitu karya sastra
mampu memberikan keindahan bagi pembacanya. Karya
sastra diciptakan dengan mempertimbangkan sifat kein-
dahannya. Melalui bentuk yang indah inilah karya sastra
dapat hadir dan diterima oleh banyak orang.
2) Fungsi etis/moralitas
Fungsi etis adalah fungsi etika atau moral yang diberikan
sastra melalui nasihat atau amanat yang terkandung di
- 37 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 38 -
Terkadang ajaran itu tidak dapat diterima secara langsung
oleh seseorang melalui ceramah. Akan tetapi, melalui karya
sastra yang dikemas dalam bentuk cerita, maka ajaran itu
dapat tersampaikan dan diterima dengan senang hati tanpa
merasa ada paksaan (Damono dan Sapardi Djoko, 1993: 18).
- 39 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 40 -
merupakan aliran yang mementingkan curahan perasaan yang
indah dan menggetarkan yang diungkapkan dalam estetika
diksi dan gaya bahasa yang mendayu-dayu membuai sukma.
Aliran romantis masa Jahiliyyah adalah Umru`ul Qais (Kamil,
2009:167).
2). Aliran Simbolik )(المذهب الرمزي
Aliran simbolik merupakan aliran sastra yang menampil-
kan simbol-simbol atau isyarat dan lambang dalam karyanya.
Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang mencoba meng-
ungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan sugesti-sugesti
daripada menggunakan ekspresi langsung, melalui objek-objek,
kata-kata dan bunyi. Aliran ini merupakan reaksi terhadap
realisme dan naturalisme yang hanya berpijak pada kenyataan
semata.
Karya simbolik terkadang sukar dipahami dan hanya secara
samar-samar ditangkap maknanya. Penyair simbolik bahkan
menyukai yang samar-samar, banyak menggunakan kata-kata
kias, lambang-lambang, kata-kata yang bermakna simbolik
untuk melukiskan sesuatu. Untuk mencapai keindahan, suatu
objek diungkapkan secara tidak langsung, secara sugestif, dan
dengan memperhitungkan efek musiknya yang mengandung
makna.
- 41 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 42 -
hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat
berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya
yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya.
Aliran ini mengutamakan realitas kehidupan. Sastra realis
merupakan kutub seberang dari sastra imajis. Sastra realis juga
berbeda dengan berita surat kabar atau laporan kejadian,
karena ia tidak semata-mata realistik, tetapi tetap ada aspek
imajinatif. M.H. Abrams dalam kamusnya ‚Glossary of Literary
Terms‛ menyebutkan bahwa realisme digunakan dalam 2
pengertian:
a. Untuk mengidentifikasi gerakan sastra pada abad XIX,
khususnya prosa fiksi.
b. Menunjukkan cara penggambaran kehidupan di dalam
sastra. Fiksi realistik sering dioposisikan dengan fiksi
romantik. Di dalam romantik disajikan kehidupan yang
lebih indah, lebih berani mengambil resiko, dan lebih
heroik, dari pada yang nyata.
6) Aliran Naturalisme )(المذهب الطبيعي
Aliran ini menggambarkan objek setepat-tepatnya, meng-
gambarkan kehidupan masyarakat yang sungguh-sungguh dan
ada renungan kejiwaan. Aliran naturalisme adalah aliran yang
mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi
karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya.
Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada kekuatan alam.
Aliran ini menampilkan peristiwa sebagaimana adanya. Karena
itu, ia tidak jauh berbeda dengan realisme.
7). Aliran Impresionisme)(المذهب االنطباعي
Impresionisme berarti aliran yang lebih mengutamakan
kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek
itu sendiri. Yang dipentingkan dalam aliran impresionisme
adalah kesan yang diperoleh tentang objek yang diamati penulis.
Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan
- 43 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 44 -
1). Aliran Eksistensialisme )(المذهب الىجىدي
Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari
rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan
aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran
idealisme yang hanya mementingkan ide sebagai sumber
kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap
materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan
manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan
sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme
melihat manusia hanya sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran,
sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek.
Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek
karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari jalan ke
luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang
berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun
juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad
Tafsir 1994: 193). Dasar eksistensialisme adalah ide tentang
keberadaan manusia. Aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa
yang khas yang mencerminkan aliran tertentu, melainkan mene-
kankan kepada pandangan pengarang terhadap kehidupan dan
keberadaan manusia.
2). Aliran heroik )(المذهب البطىلي
Aliran heroik mencuatkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan
terhadap tanah air dan figur teladan bangsa, serta semangat
membela tanah air.
- 45 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 46 -
kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat
dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini
juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung
pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam
kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan.
IV. Rangkuman
1. Sastra mempunyai dua manfaat utama yaitu dulce et utile
(sweet and useful). Dulce (sweet) berarti sangat menyenangkan
dan utile (useful) berarti isinya bersifat mendidik. Dua fungsi
utama sastra tersebut dapat diturunkan ke beberapa fungsi
sastra, yaitu (1) Fungsi estetis; (2) Fungsi etis/ moralitas; (3)
Fungsi didaktis; (4) Fungsi reflektif; (5) Fungsi rekreatif; (6)
Fungsi religious.
2. Aliran sastra yaitu keyakinan yang dianut golongan-golongan
pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang
paham-paham lama. Ada beberapa aliran sastra, yaitu (1).
Aliran Romantisme; (2). Aliran Simbolik; (3). Aliran Mistisisme;
(4). Aliran Surealisme; (5). Aliran Realism); (6) Aliran Natural-
isme; (7). Aliran Impresionism ; (8) Aliran Ekspresionisme.
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya,
terdapat pula aliran kesusastraan, yaitu (1) Aliran Eksis-
tensialisme; (2) Aliran Heroik (3) Aliran Religiusme; (4)
Aliran Transendentalisme, dan (5) Aliran komedialisme.
- 47 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, 2001. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales
sampai Capra, cetakan ke-9. Bandung: Remaja Rosdakarya
Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism: An Introduction to
Theory and Practice . New Jersey: Prentice-Hall
Damono, Sapardi Djoko, 1993, Sastra dan Pendidikan, makalah
seminar internasional sastra, Film, dan Pendidikan, FS, UI.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muham-
madiyah University Press.
Mikics, David. 2007. A New Handbook of Literary Term. London:
Yale University Press.
Sarumpaet, Riris Toha. 2010, Pendidikan Sastra anak. Gramedia:
Yogyakarta.
- 48 -
LATIHAN
بالتوفيق والسداد
- 49 -
… Hanik Mahliatussikah …
B A B Sastra Anak
____ 4
I. Deskripsi
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang (a) Sastra anak dan
cirinya, (b) karakteristik anak berdasarkan usia, (c) karakteristik
pebelajar bahasa anak-anak, dan (d) penyeleksian materi untuk
anak. Penjelasan tersebut dirinci dan diurutkan agar mudah
difahami dengan baik dan mendalam. Di samping itu, terdapat
rangkuman dan latihan guna membantu belajar mahasiswa.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang sastra anak, akan
dipelajari unsur-unsur intrinsik yang merupakan unsur yang
membangun karya sastra. Oleh karena itu, mahasiswa diharapkan
dapat memahami materi pada bab ini untuk memudahkan
pemahaman materi selanjutnya.
- 50 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 51 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 52 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 53 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 54 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 55 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 56 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 57 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 58 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
VI. Rangkuman
1. Sastra anak menempatkan sudut pandang anak sebagai
pusat penceritaan. Sastra anak adalah karya sastra yang khas
dunia anak, di baca anak dengan dibimbing orang dewasa.
Sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasa
sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan
emosional anak.
2. Ciri sastra anak di antaranya berisi tentang cerita alam,
binatang dan budaya, mengandung tema yang mendidik,
alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting
yang dekat dengan dunia anak, dan para tokoh di dalam
cerita memiliki keteladanan yang baik. Gaya bahasa sastra
anak lebih sederhana, mudah dipahami, mengandung
imajinasi yang sesuai dengan usia mereka, dan isinya
menambah wawasan anak.
3. Sastra anak bermanfaat untuk memberikan kesenangan,
kegembiraan, dan kenikmatan kepada anak-anak. Sastra anak
dapat mengembangkan imajinasi anak-anak dan membantu
mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, insan,
- 59 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 60 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
- 61 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 62 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 63 -
… Hanik Mahliatussikah …
B A B Unsur Intrinsik
____ 5 dan Ekstrinsik
I. Deskripsi
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Penjelasan tersebut dirinci dan diurutkan agar
mudah difahami dengan baik dan mendalam. Di samping itu,
terdapat rangkuman dan latihan evaluasi guna membantu
belajar mahasiswa.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang unsur intrinsik dan
ekstrinsik, pada bab selanjutnya akan dipelajari teori dan
metode analisis struktural. Selain dibutuhkan unsur-unsur
dalam mengupas karya sastra, juga dibutuhkan metode dan
teori dalam analisis struktural. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan dapat memahami materi pada bab ini untuk
memudahkan memahami teori struktural tersebut.
- 64 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
A. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari dalam. Unsur-unsur intrinsik karya sastra adalah :
Pertama, tema adalah sesuatu yang menjadi pokok masa-
lah/pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam
karangannya. Tema, yaitu suatu yang menjadi pokok masalah
atau persoalan sebagai bahan karangan, yang diungkapkan dalam
suatu cerita oleh pengarang. Tema prosa fiksi terutama novel
dapat terdiri atas tema utama serta beberapa tema bawahan.
Tema bawahan berasal dari masalah-masalah yang muncul dari
setiap adegan atau sub cerita. Adapun cerpen (cerita pendek)
biasanya hanya memiliki tema utama saja.
Untuk dapat menentukan tema suatu cerita kita dapat
menempuh dengan jalan bertanya sebagai berikut.
a. Mengapa pengarang menulis cerita tersebut?
b. Apa tujuan pengarang menulis cerita tersebut?
c. Faktor apa yang menyebabkan atau menjadikan suatu
karangan bermutu dan berharga?
Kedua, amanat adalah pesan/kesan yang dapat memberikan
tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna
dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan
kekayaan batin kita terhadap hidup. Amanat, yaitu pesan-pesan
yang disampaikan oleh si pengarang melalui cerita yang digu-
bahnya. Si pengarang menyampaikan amanatnya dengan dua
cara, yaitu:
a. secara eksplisit (terang-terangan): pembaca dengan
- 65 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 66 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 67 -
… Hanik Mahliatussikah …
b. Macam-macam alur
1. Alur Maju adalah peristiwa–peristiwa diutarakan mulai
awal sampai akhir/masa kini menuju masa datang.
2. Alur Mundur/Sorot Balik/Flash Back adalah peristiwa-
peristiwa yang menjadi bagian penutup diutarakan
terlebih dahulu/masa kini, baru menceritakan peristiwa-
peristiwa pokok melalui kenangan/masa lalu salah satu
tokoh.
3. Alur Gabungan/Campuran adalah peristiwa-peristiwa
pokok diutarakan. Dalam pengutarakan peristiwa-peris-
tiwa pokok, pembaca diajak mengenang peristiwa-peris-
tiwa yang lampau, kemudian mengenang peristiwa
pokok yang dialami oleh tokoh utama.
c. Berdasarkan cara menyusun tahapan-tahapan alur,
maka dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Alur Lurus (Alur Maju/Alur Agresif), yaitu rangkaian
cerita dikisahkan dari awal hingga cerita berakhir tanpa
mengulang kejadian yang telah lampau.
2. Alur Sorot Balik (Alur Mundur/Alur Regresif/Flash Back),
yaitu kebalikan dari alur lurus. Rangkaian ceritanya
mengisahkan kembali tokoh pada waktu lampau.
3. Alur Campuran, yaitu gabungan antara alur maju dan
alur sorot balik.
d. Berdasarkan hubungan tahapan-tahapan dalam alurnya,
maka dapat dibedakan menjadi dua, yaitu.
1. Alur Rapat, yaitu alur yang terbentuk apabila alur pem-
bantu mendukung alur pokoknya.
2. Alur Renggang, yaitu sebaliknya, alur yang terbentuk
apabila alur pokok tidak didukung oleh alur pembantu.
e. Berdasarkan kuantitasnya, maka dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1. Alur tunggal, yaitu alur yang hanya terjadi pada sebuah
cerita yang memiliki satu jalan cerita saja, biasanya
- 68 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 69 -
… Hanik Mahliatussikah …
2. Latar/Setting
Latar/setting adalah sesuatu atau keadaan yang melingkupi
pelaku dalam sebuah cerita. Macam-macam latar yaitu latar
tempat, latar waktu, dan latar suasana.
a. Latar tempat adalah latar di mana pelaku berada atau
cerita terjadi, seperti masjid, sekolah, lapangan, di rumah
sakit, daerah wisata, di daerah transmigran, di kantor, di
kamar tidur, dan di halaman dan seterusnya.
- 70 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
4. Gaya bahasa
Gaya Bahasa, yaitu cara yang digunakan oleh si pengarang
untuk mengungkapkan maksud dan dan tujuannya baik dalam
bentuk kata, kelompok kata, atau kalimat. Gaya bahasa meliputi;
- 71 -
… Hanik Mahliatussikah …
B. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari luar. Unsur-unsur ektrinsik yaitu latar belakang
penciptaan adalah kapan karya sastra tersebut diciptakan dan
kondisi masyarakat pada saat karya sastra diciptakan adalah
keadaan masyarakat baik itu ekonomi, sosial, budaya, politik
pada saat karya sastra diciptakan.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar
aspek sastra, yang ikut membangun penyusunan suatu karya
sastra. Unsur-unsur luar ini meliputi:
1. Nilai-nilai dalam cerita (agama, budaya, politik, ekonomi);
2. Latar belakang kehidupan pengarang; dan
3. Situasi sosial ketika cerita itu diciptakan.
Teori aspek ekstrinsik ini akan dibahas satu persatu pada
bab-bab berikutnya.
IV. Rangkuman
1. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari dalam. Unsur intrinsik terdiri dari tema,
amanat, alur, latar/setting dan sudut pandang serta
penggunaan gaya bahasa.
2. Sedangkan Unsur ekstrinsik adalah unsur yang
membangun karya sastra dari luar. karya sastra diciptakan
- 72 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 73 -
… Hanik Mahliatussikah …
DAFTAR PUSTAKA
- 74 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 75 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 76 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan sekilas tentang teori dan
metode analisis struktural dengan runtut dan rinci agar mudah
dipahami. Di samping itu, terdapat rangkuman dan latihan
yang dapat membantu mahasiswa belajar.
II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang teori dan
metode analisis struktural, akan dijelaskan pada bab berikutnya
tentang teori dan metode analisis semiotik. Analisis semiotik
merupakan kelanjutan dari analisis struktural. Analisis struktural
- 77 -
… Hanik Mahliatussikah …
1. Orientasi Mimetik
Orientasi ini menitikberatkan pada semesta. Istilah
mimetik berasal dari Yunani mimesis yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara karya seni dan kenyataan. Semakin
karya itu mirip dengan kenyataan, maka semakin bernilailah
karya itu menurut orientasi mimetik.
2. Orientasi Pragmatik
Secara pragmatik degresi yang bernuansa pendidikan
tidak menjadi masalah karena tujuan utama kritik pragmatik
- 78 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
3. Kritik ekspresif
Berdasarkan orientasi ekspresif, karya sastra merupakan
pikiran, perasaan, riwayat hidup pengarang. Orientasi ekspresif
muncul pada zaman romantik. kritik ini muncul sekitar abad
17-19. Karya sastra menurut pandangan ini merupakan luapan
perasaan pengarang dan biografi pengarang (aliran romantik).
Aliran ini berpendapat bahwa karya sastra yang bukan merupa-
kan luapan perasaan pengarang merupakan sampah. Sastrawan
romantisme mengutamakan curahan perasaan.
Kemudian di Eropa setelah perang dunia I muncul aliran
realisme yang berdasar pada kehidupan nyata, yaitu melukis-
kan kehidupan masyarakat sebagaimana adanya. Karya sastra
menurut pandangan realisme adalah untuk memperbaiki keadaan
masyarakat yaitu dengan mengkritik hal-hal yang tidak baik
yang terjadi di masyarakat pada saat itu.
Ketika muncul aliran realisme di Eropa maka di Indonesia
baru muncul aliran romantik ini (baru muncul tahun 30-40-an
dan di Eropa sudah berganti dengan aliran realisme). Aliran
romantisme itu baru muncul kemudian karena para sastrawan
Indonesia beru mengenal aliran tersebut. Di Belanda, sastra
romantik baru muncul tahun 1980-an.
4. Orientasi Objektif
Teori objektif muncul di Indonesia tahun 1970-an yang
mementingkan struktur dalam teks. Struktur terdiri atas unsur-
unsur yang saling terkait satu sama lain.
B. Prinsip Strukturalisme
Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang
tak bisa lepas dari apek-aspek linguistik. Sejak jaman Yunani,
- 79 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 80 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 81 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 82 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 83 -
… Hanik Mahliatussikah …
satu sama lain. Oleh karena itu pengkajiannya pun akan selalu
terpadu dan saling berhubungan.
Unsur-unsur prosa meliputi: tema, peristiwa atau ke-
jadian, latar atau seting, penokohan atau perwatakan, alur atau
plot, sudut pandang, dan gaya bahasa. Adapun unsur-unsur
puisi meliputi: tema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau
daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau
pilihan kata, simbol, nada, dan enjambemen. Unsur-unsur
drama meliputi tema, dialog, peristiwa atau kejadian, latar atau
seting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, dan gaya
bahasa.
- 86 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 87 -
… Hanik Mahliatussikah …
3. Alur
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang disusun secara
logis dan kronologis, saling bait dan yang diakibatkan atau
dialami oleh para pelaku. Luxemburg (1992:149) menyatakan
bahwa hubungan peristiwa hendaknya bersifat logis dalam
jalinan kausal.
Menurut Moeliono dkk (1990:24), alur adalah (a) rang-
kaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama dan
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan
selesaian, (b) jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu (pautannya dapat diwujudkan oleh
hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau
sebab akibat.
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang bersebab
akibat (Forster, 1971:72). Sejalan dengan hal tersebut, Nurgi-
yantoro (1995: 141-142) bahwa alur sebuah cerita, bagaimana-
pun juga, tentu mengandung urutan waktu, baik dikenukakan
secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam
- 88 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 90 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
4. Latar
Menurut Stanton (1965: 9) latar merupakan suatu ling-
kungan terjadinya peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita.
Bagian-bagian latar merupakan latar belakang yang nyata
seperti kafe, gunung-gunung, dan jalan buntu. Dijelaskannya
pula bahwa latar berupa waktu, hari, tanggal dan keadaan
cuaca.
Sumardjo (1994: 12) berpendapat bahwa latar bukan
berarti tempat atau local saja, melainkan daerah dengan segala
watak kehidupannya. Misalnya Jakarta di waktu damai dengan
Jakarta di waktu perang harus dinilai dua latar yang berbeda.
Sudjiman (1988: 46) mengatakan bahwa segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan
susunan terjadinya peristiwa dalam karya sastra membangun
latar cerita.
Abrams (1957: 157) mengemukakan bahwa latar cerita
fiksi atau drama menunjukkan perhatian pada tempat masa
secara umum dan periode sejarah dari peristiwa yang terjadi.
- 91 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 92 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 93 -
… Hanik Mahliatussikah …
5. Pusat pengisahan
Dalam menceritakan suatu cerita, pengarang dapat
mempergunakan bermacam-macam sudut pandang. Ia dapat
memilih posisi (kedudukan) sebagai orang yang ada di luar
cerita atau juga dapat mengambil kedudukan sebagai tokoh
yang ikut andil dalam ceritanya.
S. Tasrif mengemukakan macam-macam pusat pengisahan
sebagai berikut:
(1) Author Omniscient (orang ketiga). Di sini pengarang
menggunakan kata "dia" untuk pelaku utama, tetapi ia
turut hidup dalam pribadi tokoh.
(2) Author Participant, pengarang turut mengambil bagian
dalam cerita. Ada dua kemungkinan yang bisa ditempuh
dalam cara ini. Pertama, pengarang dapat menjadi pelak
utama dengan mempergunakan bentuk "aku" atau main
character, atau kedua, ia hanya mengambil bagian kecil
saja sebagai pelaku bawahan atau subordinat character.
Ini juga mempergunakan gaya "aku", tetapi bukan
pelaku utama.
(3) Author observer. Pengarang hanya sebagai peninjau;
seolah-olah ia tidak dapat mengetahui jalan pikiran
pelaku. Dengan demikian, ia mengayuh pelaku-pelaku-
- 94 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 95 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 96 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
D. Metode Analisis
Penelitian stuktural akan memandang karya sastra
sebagai sosok yang berdiri sendiri, mengesampingkan unsur
karya sastra. Karya sastra yang dipandang bermutu, manakala
karya sastra mampu menjalin unsur-unsur secara terpadu dan
bermakna. Hubungan antar unsur hendaknya memiliki tujuan
dan bersifat estesis. Dengan demikian aspek bentuk dan isi
merupakan hal yang harus dikedepankan dalam penelitian.
Menurut Endaswara (2003, 52-53) langkah yang dilakukan
seorang peneliti struktural adalah sebagai berikut:
1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre
yang diteliti.
2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat
unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
3. Unsur tema sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum
membahas unsur lain karena tema akan selalu terkait
langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
4. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan
pentingnya keterkaitan antar unsur.
Terdapat beberapa macam model kajian struktur. Peneliti
dapat memilih dari yang tersedia. Misalnya analisis novel
dengan teori struktur E.M. Forster dalam Aspects of the Novel
atau John Maredhit Fitgerald dalam Structuring Young Novel.
- 97 -
… Hanik Mahliatussikah …
E. Contoh Telaah
1. Novel Qalbul Lail karya Najib Mahfudh
Contoh telaah kajian struktural adalah telaah terhadap
novel yang berjudul Qalbul Lail (QL). Qalbul Lail merupakan
karya Najib Mahfudh yang terbit pada tahun 1975. Novel ini
memiliki struktur yang kompleks sehingga memerlukan analisis
untuk memahaminya. Salah satu bentuk analisis yang dapat
diterapkan adalah analisis stuktural.
Berdasarkan analisis struktural, tema pergeseran idiologi
dari idealism menuju realism diperankan oleh tokoh utama
Ja'far dengan dibantu oleh tokoh tambahan Ar-Rawi dan Ibrahim.
Ideologi yang sedang berkuasa sebagai unsur antagonisnya.
Novel ini beralur sorot balik dengan teknik dramatik dan
memanfaatkan variasi retorika sehingga mampu mempeng-
aruhi jiwa pembacanya.
Latar pendidikan pengarang, yaitu sarjana dan master
filsafat yang diperoleh tahun 1930-1936 (Brugman, 1984: 234)
telah berpengaruh dalam penciptaan karya sastra QL. Pengaruh
tersebut tampak pada penggunaan istilah-istilah filsafat seperti
kapitalisme, realism, idealism dan liberalism sera fasisme
dalam novel QL.
Telaah novel ini secara struktural meliputi (1) tema, (2)
tokoh, (3) alur, dan (4) gaya bahasa, kemudian dilanjutkan
dengan (5) hubungan intrinsik antar unsur dalam membangun
cerita QL.
- 98 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
1. Tema
Tema sentral dalam novel ini adalah "pergeseran idiologi
dari idealism menuju realism". Tema pokok ini merupakan
generalisasi dari tema tambahan, yaitu tokoh Ja'far datang ke
pengadilan, tokoh Ja'far ditinggal mati oleh kedua orang
tuannya disaat ia masih kecil, tokoh Ja'far hidup bersama
kakeknya, penolakan Ja'far terhadap perjodohan, Ja'far menikah
dengan Mirwanah, Ja'far ditinggalkan oleh Mirwanah dan
anak-anaknya, Ja'far menikah dengan Huda, keinginan Ja'far
untuk mendirikan partai, Ja'far masuk penjara dan kehidupan
Ja'far sebagai pengemis jalanan setelah keluar dari penjara.
Idealism tokoh Ja'far diawali ketika ia tidak mau dipaksa
kawin dengan putri bangsawan pilihan kakeknya. Ia lebih
memilih harta yang dicintainnya, Mirwanah. Ja'far tidak mau
mendengar nasehat Syakrun, temannya untuk menikah dengan
wanita pilihan kekeknya yang senasab dengannya. Ja'far tidak
mau kembali ke rumah Ar-Rawi meskipun telah ditinggal istri
dan anak-anaknya. Ja'far tetap bersikeras untuk mendirikan
partai baru meskipun telah dilarang oleh keduanya, Huda.
Untuk mempertahankan idealismenya Ja'far tega membunuh
gurunya, Sa'dun Kabir. Ja'far tetap menyebarkan pahamnya
meskipun berada dalam penjara dan meskipun telah menjadi
pengemis jalanan.
Idelialisme Ja'far terbentur dengan realitas yang dihadapi-
nya. Realitas tersebut antara lain dengan kembalinya Ja'far
dalam masyarakat golongan bawah (rakyat jelata). Ja'far hidup
sederhana di sebuah kampung bersama ibunya sebelum ia
hidup mewah di rumah kakeknya. Setelah menikah dengan
Mirwanah ia hidup miskin bahkan kemudian ia ditinggal istri
dan anaknya.
Partai baru yang akan dibentuk menimbulkan konflik
dengan guruya sehingga ia dipenjara karena membunuh
- 99 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 101 -
… Hanik Mahliatussikah …
3. Alur (plot)
Alur merupakan rangkaian peristiwa yang disusun secara
logis dan kronologis dan dalam jalinan kausal (Luxemburg,
1992: 149). Alur dalam novel QL adalah sorot bali (flashback).
Dikatakan demikian karena cerita diawali oleh alur yang
seharusnya terletak di paling belakang, yaitu tokoh Ja'far yang
tua renta menuntut harta di pengadilan. Padahal alur itu
- 102 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
4. Gaya bahasa
Gaya bahasa dalam novel QL sebagaiamana gaya bahasa
dalam novel secara umum cenderung denotatif. Berbeda halnya
- 103 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 104 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
Sinopsis
Mariamin dan Aminuddin adalah sepasang kekasih.
Aminuddin adalah saudara sepupu Mariamin. Menurut adat
Tapanuli sebenarnya perkawinan dengan sepupu adalah
perkawinan yang ideal. Namun karena perbedaan status sosial
maka keduanya dipisahkan oleh perkawinan yang dipaksakan
oleh orang tua.
Roman ini diawali dengan kisah Aminuddin yang di
suatu senja minta izin kepada Mariamin bahwa ia akan pergi ke
Deli, Medan untuk mencari pekerjaan. Setelah itu kisah
dilanjutkan dengan persahabatan mereka di waktu masih kecil.
Aminuddin dan Mariamin sering bermain, pergi ke sawah dan
sekolah bersama-sama. Aminuddin lebih tua usianya dibanding
Mariamin. Ketika Mariamin berusia 8 tahun maka Aminuddin
berusia 11 tahun.
Sepulang sekolah Aminuddin sering mampir ke rumah
Mariamin dan bahkan Aminuddin pun sering membantu
keluarga Mariamin dalam mengerjakan sawah karena datu
Baringin ayah Mariamin telah tiada. Kebersamaan mereka
ketika sekolah, bermain dan ke sawah inilah yang akhirnya
memupuk rasa kasih dan cinta di antara keduanya.
Suatu ketika, mereka pergi ke sawah bersama. Karena
asyik berbincang akhirnya mereka pun lupa jika gelap sudah
tiba. Hujan lebat disertai angin kencang dan halilintar pun
datang sehingga mereka tidak bisa langsung pulang di sore itu.
Sambil menunggu hujan reda, keduanya mampir ke gubuk di
tengah-tengah sawah yang luas itu. Aminuddin bercerita
kepada Mariamin untuk melenyapkan ketakutannya pada alam
di sore itu. Aminuddin bercerita tentang seorang wanita yang
tidak pernah puas dengan penghasilannya, bahkan setelah
malaikat merubah hidupnya sesuai dengan yang kehendaknya
- 105 -
… Hanik Mahliatussikah …
pun ia tetap ingin menjadi lebih dari itu. Akhirnya wanita itu
meninggal disambar petir akibat ketidakpuasan dengan
apapun nikmat yang diberikan kepadanya.
Ketika keduanya mendengar suara tabuh yang
menandakan maghrib sudah tiba, keduanya bersepakat untuk
pulang dengan melewati sungai yang sedang banjir. Ketika
Mariamin menyeberang maka terpelesetlah kakinya dan jatuh
ke sungai yang banjir itu. Aminuddin menyelami sungai itu
dan menangkap Mariamin yang terapung-apung di sungai dan
akhirnya Aminuddin berhasi membawa Mariamin keluar dari
bahaya besar itu.
Setelah empat belas hari lamanya Mariamin sakit maka
kemudian ia sudah bisa ke sekolah lagi. Sejak peristiwa itu,
hubungan mereka bertambah akrab dan Mariamin pun merasa
berhutang nyawa dengan Aminuddin yang telah menyelamat-
kannya dari bahaya banjir itu.
Kisah dilanjutkan dengan cerita keluarga Mariamin
ketika ayahnya, Sutan Baringin (Tohir) masih hidup. Sutan
Baringin termasuk orang kaya di antara penduduk sipirok.
Namun ia memiliki perilaku yang tidak baik, tidak meng-
hormati istri, tinggi hati, pemarah, pemalas dan pemboros serta
tidak mendengar nasehat istri. Ia juga tidak mau membagi
harta warisan kepada adik kandungnya. Karena ketamakan-
nya itu, Sutan Baringin ingin memiliki seluruh harta yang
seharusnya dibagi bersama adiknya. Adik Sutan Baringin amat
baik budinya dan sangat sayang kepada kakaknya. Namun
karena Sutan Baringin membalasnya dengan air toba maka
akhirnya iapun menuntut harta bagiannya.
Sutan Baringin mempertahankan harta itu di pengadilan
hingga habislah harta itu untuk alat memenangkan perkara di
pengadilan. Sutan Baringin kalah dan hartapun telah habis dan
iapun akhirnya meninggal duani dengan meninggalkan
- 106 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 107 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 108 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 109 -
… Hanik Mahliatussikah …
kejadiannya.
Setelah terjadi backtracking, pengarang kembali mene-
ruskan perjalanan cerita Aminuddin dan Mariamin. Aminuddin
dan Aminuddin melakukan korespondensi lewat surat karena
mereka berjauhan. Aminuddin berada di Medan dan Mariamin
berada di kota Sipirok, Tapanuli. Peristiwa yang bersebab
akibat terus bergerak (generating circumstances) ketika Aminuddin
meminta ayahnya melalui surat untuk membawa Mariamin ke
Medan untuk dijadikan Istrinya. Ayah Aminuddin tidak setuju
dan bahkan menjodohkan Aminuddin dengan wanita anak
kepala kampung yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Peristiwa mulai memuncak (rising action) ketika ayah Aminuddin
membawa gadis pilihannya itu ke Medan, Mariamin menunggu
ayah Aminuddin yang tiada kunjung datang dan kisah
Aminuddin yang menunggu kehadiran kekasihnya bersama
ayahnya untuk menemuinya.
Peristiwa puncak (climax) terjadi saat Aminuddin
bertemu dengan orang tuanya yang membawa jodoh lain
untuknya. Aminuddin tidak bisa menolak perjodohan itu
karena ayahnyalah yang telah meminta gadis itu kepada orang
tuanya untuk menjadi jodohnya. Peristiwa mulai menurun
ketika Aminuddin menulis surat kepada Mariamin tentang apa
yang telah terjadi.
Penyeleseian (denoument) dari peristiwa ini adalah
Mariamin menikah dengan Kasibun atas paksaan ibunya,
kemudian pergi ke Medan. Mariamin sering disiksa Kasibun
karena ia menolak melayaninya. Mariamin kemudian pulang
ke kampung halaman dan meninggal di usia muda setelah azab
dan sengsara terus menerus menimpanya.
Roman balai pustaka yang berjudul Azab dan Sengsara
ini tergolong sad ending, yaitu berpisahnya Mariamin dan
Aminuddin sebagai pasangan kekasih karena adanya kawin
- 110 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
b. Penokohan
Tokoh utama protagonis dalam roman ini adalah
Mariamin dan Aminuddin. Adapun kekuatan antagonisnya
adalah adat kawin paksa yang telah mengakibatkan pende-
ritaan tokoh utama. Kekuatan antagonis ini diperankan kaum
tua, yaitu orang tua Aminuddin. Pengarang mendeskripsikan
fisik tokoh secara detil, baik tokoh utama maupun tokoh
tambahan.
Pelukisan fisik tokoh tersebut dapat diketahui di
antaranya melalui teks berikut:
c. Latar
Pengarang juga melukiskan latar secara detil,
khususnya latar tempat. Contoh:
- 111 -
… Hanik Mahliatussikah …
e. Gaya bercerita
Dalam bercerita muncul banyak degresi, seperti pantun,
syair, nasehat untuk pembaca (bersifat didaktis) dan uraian
adat serta cerita dalam cerita yang tidak secara langsung terkait
dengan alur cerita.
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang terdapat dalam roman ADZ adalah
perumpamaan, metafora, memanfaatkan peribahasa dan syair.
Contoh:
- 113 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 114 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 115 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 117 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 118 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 119 -
… Hanik Mahliatussikah …
DAFTAR PUSTAKA
- 120 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 121 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 122 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
I. Deskripsi
Pada bab sebelumnya kalian telah mempelajari teori dan
metode analisis struktural yang merupakan teori utama dan per-
tama yang harus dipahami oleh pembaca sebelum menginjak
ke teori-teori yang lain. Pada bab ini akan dijelaskan sekilas
tentang teori dan metode analisis semiotik dengan runtut dan
rinci agar mudah dipahami. Materi meliputi pengertian semiotik,
tanda-tanda tekstual, metode analisis, kajian Al-Quran dengan
semiotika, dan contoh telaah. Di samping itu, terdapat rang-
kuman dan evaluasi yang dapat membantu mahasiswa belajar
dan berlatih.
- 123 -
… Hanik Mahliatussikah …
II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang teori dan
metode analisis semiotik, akan dijelaskan pada bab berikutnya
tentang teori dan metode analisis Struktural Semiotik. Keduanya
memiliki hubungan yang erat. Oleh karena itu, diharapkan
mahasiswa dapat memahami materi pada bab ini dengan baik
dan tidak melewatkannya karena antara bab ini dan selanjut-
nya memiliki keterkaitan yang relevansi.
A. Pengertian Semiotik
Dalam linguistik, semiotika dikenal melalui Ferdinand de
Saussure dengan istilah semiologi. Kemudian istilah semiotics
muncul dalam tulisan Charles Sander Pierce. Semiotik adalah
ilmu tentang tanda atau ilmu yang mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda itu memiliki arti. Ilmu semiotik adalah ilmu yang
menganggap kebudayaan termasuk sastra sebagai tanda.
Menurut De Saussure, bahasa adalah sistem tanda, dan
tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak
terpisahkan, yaitu penanda dan petanda. Penanda: signifiant:
signifier: yang menandai: aspek formal atau bunyi pada tanda
itu, misalnya kata: ibu. Petanda: signifie: signified: yang ditandai:
aspek kemaknaan atau konseptual, misalnya: orang yang
melahirkan.
Ada tiga tanda yang dikenalkan dalam teori semiotic,
yaitu:
- 124 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 125 -
… Hanik Mahliatussikah …
B. Tanda-Tanda Tekstual
Tanda-tanda tekstual dalam suatu teks adalah segala
sesuatu yang mungkin dapat dianggap sebagai tanda Tipografi
(penyusunan baris dan bat), penyusunan kalimat (keteraturan
suku kata, pengulangan fonetik) semua adalah tanda dan
penanda bahwa teks ini adalah teks ini adalah sajak. Dalam
cerita rekaan unsur-unsur cakapan, latar, pergantian sudut
pandang, peristiwa, nama tokoh, dan segala sesuatu yang
dapat diamati dan diidentifikasi, semua adalah tanda. Jadi
jumlah tanda dalam teks sastra sebenarnya tidak terbatas
- 126 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 127 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 128 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 129 -
… Hanik Mahliatussikah …
C. Metode Analisis
Karya sastra menurut pandangan semiotik memiliki sistem
sendiri yang berupa sistem tanda yang bermakna. Pendekatan
semiotik memiliki pertalian dengan pendekatan struktural dan
pendekatan stilistika. Semiotik merupakan lanjutan dari pende-
katan struktural yang menekankan unsur formal karya sastra
- 130 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 131 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 132 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 133 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 134 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
E. Contoh Telaah
1. Kajian Semiotik terhadap kisah Ashabul Kahfi dalam
Al-Quran
Semiotik dapat pula dijadikan alat telaah terhadap teks Al-
Qur’an dalam rangka pemahaman secara lebih mendalam. Al-
Qur’an merupakan kitab suci sekaligus mu’jizat Nabi Muhammad
saw. yang mengalahkan segala bentuk karya sastra bangsa
Arab Jahiliah yang terkenal akan kehebatannya. Bahasa Al-
Qur’an mengandung nilai sastra yang tak tertandingi, baik oleh
- 135 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 136 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
terjadi, termasuk hal yang seakan tidak bisa dinalar oleh fikiran
manusia, hal itu karena Allah kuasa atas segala-galanya. Mereka
yang tidak percaya janji tersebut kelak akan menyaksikan
kebenaran dengan mata kepala mereka, pada waktu itu barulah
mereka percaya dan mengakui telah melakukan kesalahan
besar selama hidupnya (Komaruddin, 1996: 14).
Nilai yang dapat dipetik dari kisah Ashabul Kahfi adalah
a) tauhidillah b) tadh-chiyyah (pengorbanan), c) tawakkal
(pasrah kepada Allah), d) al-futuwah al-qudwah (pencurahan
segala kebaikan, menahan atau menghindari hal-hal yang
menyakiti dan meninggalkan pengaduan kepada selain Allah
swt. Tokoh yang dipilih Allah dalam kisah ini adalah golongan
pemuda dan bukan golongan orang tua. Pemuda adalah yang
paling siap dan interest menerima kebenaran, dibandingkan
golongan tua; dan e) nilai pembenaran akan janji Allah, yaitu
akan dibangkitkannya semua manusia dari mati menuju hari
pembalasan (Nasruddin, 2012).
- 137 -
… Hanik Mahliatussikah …
IV. Rangkuman
1. Semiotik adalah ilmu tentang tanda atau ilmu yang
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensi-
konvensi yang memungkinkan tanda itu memiliki arti.
Ilmu semiotik adalah ilmu yang menganggap kebudayaan
termasuk sastra sebagai tanda.
2. Ada tiga tanda yang dikenalkan dalam teori semiotic,
yaitu: (1) ikon: hubungan alamiah, yaitu hubungan antara
tanda dengan acuannya yang berupa hubungan kemiripan,
(2) indeks: hubungan kausalitas, hubungan antara tanda
dengan acuannya yang berupa hubungan kedekatan
eksistensi, dan (3) simbol: hubungan arbitrer menurut
konvensi yang berlaku, hubungan antara tanda dengan
acuannya yang berupa hubungan konvensional.
3. Menurut Jonathan Culler menyatakan bahwa dalam
menelaah sastra secra semiotik dapat dilakukan dengan
cara mengidentifikasi:
(a) jenis-jenis tanda (ikon, indeks, simbol)
(b) menyendirikan satuan-satuan (alur, tokoh, latar, tema)
yang digunakan
(c) menganalisis secara intertekstual
4. Menurut Michael Riffaterre, terdapat 4 prosedur dalam
menelaah karya sastra secara semiotik, khususnya puisi,
yaitu:
(a) ketidaklangsungan ekspresi
(b) pembacaan heuristik dan hermeneutik
(c) matriks, model dan varian
(d)hubungan intertekstual
5. Tanda-tanda yang harus diburu menurut Rachamad
Djoko Pradopo:
a. Jenis-jenis tanda: tanda-tanda penting dari ikon, indeks
dan simbul
- 138 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
- 140 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 141 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 142 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
B A B Strukturalisme
____ 8
Semiotik
I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan sekilas tentang struktural
semiotik. Teori strukturalisme semiotik merupakan gabungan
dari teori struktural dan teori semiotik. Teori ini muncul akibat
adanya kekurangan dan keterbatasan dari teori struktural yang
hanya melihat aspek intrinsik teks saja. Dengan pembahasan ini
diharapkan kalian lebih memahami teori struktural semiotik. Di
akhir pembahasan disajikan rangkuman dan latihan yang akan
menguatkan pemahaman.
II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu strukturalisme
Semiotik, akan dijelaskan pada bab berikutnya tentang analisis
struktural dinamik. Oleh karena itu, diharapkan mahasiswa
dapat memahami materi pada bab ini dengan baik sehingga
- 143 -
… Hanik Mahliatussikah …
A. Struktural Semiotik
Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan,
dan keinginan pengarang lewat bahasa. Ketiga aspek tersebut
tidak bisa dipisah-pisahkan dan sebaliknya selalu berjalan
beriringan dan menyatu. Bahasa itu akan membentuk sistem
ketandaan yang dinamakan semiotik dam ilmu yang mempelajari
masalah ini, adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan
semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam
karya sastra.
Model struktural semiotik muncul sebagai akibat ketidak-
puasan terhadap kajian struktur. Jika struktural sekadar me-
nitikberatkan aspek intrinsik, semiotik yang demikan halnya,
karena paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra
memiliki sistem tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian
struktural semiotik, artinya penelitian yang menghubungkan
aspek-aspek struktural dengan tanda-tanda. Tanda sekecil
apapun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan.
Kajian struktural semiotik akan mengungkap karya
sastra sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana
komunikasi yang bersifat elastis. Karenanya setiap tanda
membutuhkan pemaknaan (Segers, 2000:6), membagi tiga jenis
sarana komunikasi, yaitu signal dan symbol. Signal adalah
tanda-tanda yang merupakan elemen terendah, seperti halnya
- 144 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 145 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 146 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
B. Konsep Semiotik
1. Konsep Saussure tentang semiotik
Konsep Saussure tentang semiotik berkaitan dengan
bahasa sebagai sistem tanda yang bermakna. Bahasa sebagai
sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak
terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau
penanda dan petanda. Wujud penanda dapat berupa bunyi-
bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda
adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung
dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002:
43). Penanda dan petanda merupakan konsep Saussure yang
terpenting, sedangkan konsep Saussure yang lain menurut
Ratna (2010: 99) adalah parole dan langue; paradigmatik dan
sintagmatik; serta sinkroni dan diakroni.
Perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech,
utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem
yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole
bersifat konkret yang kemudian membentuk sistem bahasa
yang bersifat abstrak yaitu langue.
Hubungan sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan
paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan,
hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir
dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro (2002: 47)
kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang
muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi
puitik. Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman
(hubungan paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hu-
bungan linier, hubungan sintagmatik – bentuk yang dipilih
dalam puisi tersebut adalah bentuk yang paling tepat (Jabrohim,
wordpress.com).
Diakronis mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah,
dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi
mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda.
- 147 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 148 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 149 -
… Hanik Mahliatussikah …
Contoh Kajian:
Citra Tokoh dalam Kadurakan Ing Kidul Dringu Karya
Saparto: Sebuah Analisis Struktur-semiotik
Penulis: Dhanu Priyo Prabowo
Abstrak:
Penelitian terhadap novel Kadurakan ing Kidul Dringu
(KKD) ini bertujuan untuk mencari makna citra tokoh, makna
hubungan struktur, makna hubungan intertekstualitas novel
tersebut dengan novel Lara Lapane Kaum Republik (LLKR),
dan makna hubungan intertekstualitasnya dengan filsafat atau
pandangan pengarangnya.
Dalam analisis ini dipergunakan metode strukturalisme
dan metode semiotik. Struktur novel dalam tesis ini berupa
penokohan, alur, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.
Tokoh utama adalah seorang laki-laki mantan pegawai Jawatan
Listrik dan Gas Probolinggo, penakut, dan mempunyai
kesenangan menulis. Ia ikut berjuang membela negara ketika
Probolinggo diduduki tentara Belanda. Alur dimulai dari
urutan tekstual, kemudian dilanjutkan dengan urutan sekuen,
urutan kronologis, dan urutan logis. Latar tempat novel KKD
berada di selatan Dringu dan Sala, sedangkan latar waktu
terjadinya peristiwa adalah saat perang kemerdekaan dan
setelah perang.
Pusat pengisahan yang digunakan dalam KKD adalah
pusat pengisahan orang pertama sentral dan orang pertama
pinggiran. Adapun gaya bahasa yang digunakan adalah gaya
bahasa kiasan dan sarana retorika. Gambaran itu menunjukkan,
secara struktural, novel KKD dibangun oleh satuan naratif dan
satuan naratif diikat oleh penanda struktural sehingga secara
keseluruhan tercipta satu struktur yang padu dan bulat.
- 150 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
IV. Rangkuman
1. Kajian struktural semiotik akan mengungkap karya sastra
sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana
komunikasi yang bersifat elastis. Penelitian semiotik
menurut Fokkema dan Kunne-Ibsch sekurang-kurangnya
perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu (a) the
- 151 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 152 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
- 153 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 154 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
B A B Analisis Struktur
Dinamik
____ 9
I. Deskripsi
Pada bab ini akan dijelaskan tentang analisis struktural
dinamik yang merupakan tindak lanjut dari analisis struktural.
Untuk membantu pendalaman dalam pemahaman, dikemukakan
pula rangkuman dan evaluasi. Semoga paparan analisis
struktural yang telah dideskripsikan sebelumnya sudah dapat
dipahami dengan baik sehingga memudahkan kalian untuk
memahami materi ini.
II. Relevansi
Setelah memahami materi bab ini, yaitu tentang analisis
struktural dinamik, akan dijelaskan pada bab berikutnya
tentang teori dan metode analisis struktural genetik. Oleh
karena itu, diharapkan mahasiswa dapat memahami materi
pada bab ini dengan baik dan tidak melewatkannya karena
antara bab ini dan selanjutnya memiliki keterkaitan dan
- 155 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 156 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
a. Strukturalisme Formalis
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti
bentuk, wujud) berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik
sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis,
ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk
karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya
pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa
lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk
- 157 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 158 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
b. Strukturalisme Dinamik
Strukturalisme dinamik dipelopori oleh Mukarovsky
sebagai tokoh strukturalisme praha. Aliran ini berkembang
tahun 1930-an namun karena kebanyakan tertulis dalam
bahasa Ceko maka baru dikenal di Eropa tahun 1960-an melalui
terjemahannya dalam bahasa Jerman dan tahun 70-an dalam
bahasa Inggris. Dengan demikian teori ini berpangkal pada
aliran formalis, yaitu sebagai usaha memahami karya sastra
- 159 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 160 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 161 -
… Hanik Mahliatussikah …
c. Strukturalisme Genetik
Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural
formalis dan teori semiotik. Hampir sama dengan struktural
genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi penekanan-
nya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur,
tanda, dan realitas. Tokoh-tokohnya Julia Cristeva dan Roland
Bartes (Strukturalisme Prancis).
Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian
terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik
baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda,
- 162 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 163 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 164 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
1. Strukturalisme murni
Strukturalis pada dasarnya merupakan cara berpikir
tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan
dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya
sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur
yang saling terkait satu sama lain. Kodrat struktur itu akan
bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur
tersebut memiliki bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan
harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara
keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian
atau fragmen struktur (Endraswara, 2004: 49).
Strukturalisme murni menganggap bahwa karya sastra
merupakan sebuah kesatuan yang utuh. Pradopo, dkk (2001:
54), mengemukakan bahwa satu konsep dasar yang menjadi
ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di
dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur
yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan
yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang paling
berjalinan.
Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan
hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-
mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana
keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar,
sudut pandang (Nurgiyantoro, 1995: 37). Unsur-unsur intrinsik
tersebut sangatlah luas, sehingga penulis hanya membatasi
pada penokohan, alur/plot, latar/setting, serta tema dan
amanat.
- 165 -
… Hanik Mahliatussikah …
a. Penokohan
Perlu diketahui, bahwa istilah “penokohan” lebih luas
pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan”. Istilah
“tokoh” menunjuk pada orangnya (orang yang terdapat/
diceritakan dalam novel). Sedangkan penokohan mencakup
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca (Nurgiyantoro, 1995: 165-166).
b. Alur/Plot
Alur/plot adalah proses jalannya cerita dari awal sampai
akhir atau selesai. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995: 113),
mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
terjadinya peristiwa yang lain. Kenny, mengatakan bahwa plot
sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita
yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun
peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.
c. Latar/setting
Latar/setting adalah suatu penjelasan tentang tempat,
ruang dan waktu dalam sebuah cerita atau karya sastra.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 216), berpendapat bahwa
latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Menurut Nurgiyantoro (1995: 227-234), unsur latar
dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok:
- Latar tempat: menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
- 166 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 167 -
… Hanik Mahliatussikah …
2. Pendekatan Sosiologi
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang
bersifat reflektif, artinya cermin kehidupan masyarakat pada
masa itu. Oleh karena itu, pendekatan sosiologi sastra lebih
banyak membicarakan hubungan antara pengarang dengan
kehidupan sosialnya. Sastra adalah konsep cermin (mirror).
Sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Namun,
sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan
yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang
kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis (Endraswara,
2004: 78).
Tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk
mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh
tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra,
dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan
timbal balik antara ketiga anasir tersebut penting artinya bagi
peningkatan pemahaman dan penghargaan kita terhadap sastra
itu sendiri (Pradopo, dkk, 2001: 159).
3. Pendekatan Semiotik
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari
sistim-sistim, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memung-
kinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Pradopo, dkk,
2001: 67-68). Sedangkan Endraswara (2004: 64), meng-
- 168 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 169 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 170 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
IV. Rangkuman
1. Strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-
kelemahan strukturalisme murni. Strukturalisme dinamik
lebih merupakan pengembangan strukturalisme murni,
yaitu dengan menggabungkan antara strukturalisme
murni, sosiologi, dan semiotik.
2. Strukturalisme dinamik dipelopori oleh Mukarovsky
sebagai tokoh strukturalisme praha. Aliran ini berkem-
bang tahun 1930-an namun karena kebanyakan tertulis
dalam bahasa Ceko maka baru dikenal di Eropa tahun
1960-an melalui terjemahannya dalam bahasa Jerman dan
tahun 70-an dalam bahasa Inggris. Menurut Mukarovsky,
karya sastra tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial
budaya serta norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Menurutnya, karya sastra
adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas
tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda
yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh
sebab itu, karya seni harus dikembalikan pada kompetensi
penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca
sebagai penerima. Kunci strukturalime dinamik Mukarovsky:
karya sastra, pembaca, pengarang, dan dunia yang baru.
- 171 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 172 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
- 173 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 174 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan sekilas tentang teori dan metode
analisis struktural genetik. Kajian ini merupakan kelanjutan
dari kajian struktural. Jika kajian struktural hanya berfokus
pada aspek intrinsik karya sastra, maka kajian struktural
genetik sudah merambah pada aspek latar belakang kemunculan
karya sastra. Pada akhir bab ini, terdapat rangkuman dan
latihan soal.
II. Relevansi
Metode analisis struktural genetik memiliki relevansi
dengan metode analisis struktural yang telah dipaparkan pada
bab sebelumnya. Materi ini juga berkaitan dengan materi
setelahnya, yaitu tentang teori dan metode analisis stilistika.
- 175 -
… Hanik Mahliatussikah …
A. Stuktural Genetik
Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung
sosiologi sastra. Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog
Perancis, Lucien Goldmann. Kemunculannya disebabkan, adanya
ketidakpuasan terhadap pendekatan strukturalisme, yang
kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik
tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra,
sehingga karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya.
Bagi Goldman, tidak ada pertentangan antara sosiologi
sastra dan aliran strukturalisme. Bagi Goldman studi karya
sastra harus dimulai dari analisis struktur. Strukturalisme
genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan
strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik di
dalam memahami karya sastra. Strukturalisme Genetik sering
juga disebut strukturalisme historis, yang menganggap karya
sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldmann bermaksud
menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme
yang merupakan kajian intrinsik dan pendekatan sosiologi
yang termasuk kajian ekstrinsik (https://pusatbahasaalazhar.
wordpress.com/pesona-puisi/teori-strukturalisme-genetik/).
Dari sudut pandang sosiologi sastra, strukturalisme genetik
memiliki arti penting, karena menempatkan karya sastra sebagai
data dasar penelitian, memandangnya sebagai suatu sistem
makna yang berlapis-lapis yang merupakan suatu totalitas
yang tak dapat dipisah-pisahkan (Damono, 1979:42). Karya
- 176 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 177 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 179 -
… Hanik Mahliatussikah …
diburu, siapa dia, apa karya yang telah dihasilkan, buku apa
kesukaannya dan bagaimana penilaian orang terhadapnya.
Karya sastra adalah bagian dari kehidupan masyarakat.
Apapun yang kita lakukan selalu berada dan dipengaruhi oleh
struktur social” everithing we do is located in, and there fore affected
by social structure” (Janet Wolf, 1981:9).
Strukturalisme genetik (genetik structuralism) adalah
cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Ini
merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan
metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian
struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek
eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling
tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.
Strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur masyarakat melalui pandangan
dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Karya sastra tidak
akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan
masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu
saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra
menjadi pincang.
Pandangan dunia yang selalu terbayang dalam karya sastra
agung, adalah abstraksi dan bukan fakta empiris yang memiliki
eksistensi objektif. Abtraksi itu akan mencapai bentuknya yang
konkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia itu suatu
bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya,
maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan
inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh
karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya
(unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu.
Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu
tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik,
- 180 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
B. Metode Analisis
Dasar konsep strukturalisme genetik adalah pandangan
ontologi sastra (pandangan mengapa sastra itu ada) karena
strukturalisme genetik merupakan penelitian tentang asal usul
sastra yang obyeknya adalah sastra secara ontologis. Karya sastra
itu merupakan kehadiran yang ditarik-tarik oleh berbagai
unsur, yaitu pembaca, pengarang dan semesta. Oleh karena itu,
- 181 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 186 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
IV. Kesimpulan
1. Strukturalisme genetik disebut juga strukturalisme historis.
Dikembangkan oleh Lucien Goldman, berasal dari ilmu sastra
marxis Georg Lukacs, seorang yang menulis buku historical
novel. Bagi Goldman tidak ada pertentangan antara sosiologi
sastra dan aliran strukturalisme.
2. Struktur menurut Goldman identik dengan struktur menurut
Aristoteles, yaitu berciri khas adanya unsur kesatuan, kohen-
rensi dan kekayaan bahannya dan sifat non konseptual.
3. Kunci dari strukturalisme genetik adalah historis, trans-
individual, homologi, pandangan dunia: pengarang sebagai
juru bicara kelompok, dan strukturasi.
- 187 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 188 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
- 189 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 190 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode analisis
stilistika, gaya bahasa, macam-macam gaya bahasa, dan gaya
bahasa perbandingan dalam bahasa Arab. Selain itu, terdapat
evaluasi dan rangkuman pembelajaran untuk mempermudah
mahasiswa belajar serta terdapat latihan untuk pendalaman
materi.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis stilistika, pada bab selanjutnya akan mempelajari teori
dan metode analisis intertekstual. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan dapat memahami materi pada bab ini untuk
memudahkan memahami materi selanjutnya.
- 191 -
… Hanik Mahliatussikah …
A. Teori Stilistika
Terdapat kedekatan makna antara stilistika, retorika,
Wacana, Logika dan Bahasa. Stilistika adalah ilmu yang
meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya
sastra. Retorika adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang
secara khusus memusatkan perhatiannya terhadap tutur dan
kegiatan bertutur. Wacana adalah ungkapan pikiran yang
beruntun, secara lisan atau tulisan tentang suatu pokok
(Sudjiman, 1984: 80). Logika dan Bahasa berkaitan dengan
kedudukan dan fungsi bertutur, yaitu sebagai pembeda antara
manusia dan binatang, menyangkut kegiatan sosial budaya,
dan berfungsi informatif.
Gaya bahasa itu meliputi semua hierarki kebahasaan
pilihan kata secara individual. Dr. Gorys Keraf (1981:99)
mensyaratkan bahwa sebuah gaya bahasa yang baik harus
mengandung tiga unsur dasar: kejujuran, sopan-santun, dan
menarik. Stilistika menurut Sudjiman adalah ilmu yang
meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya
sastra. Dalam perkembangan linguistik terapan muncul minat
untuk menerapkan teori dan pendekatan linguistik dalam
rangka pengkajian sastra (Satoto, 1995:6).
Stilistika adalah studi yang menjembatani pengkajian
bahasa dan sastra dengan mengkaji apa sebenarnya hubungan
antara bahasa dan sastra (Satoto, 1995:6). Ciri khas sebuah
karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan genrenya, tetapi
dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi
- 192 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 193 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 194 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 195 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 196 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 197 -
… Hanik Mahliatussikah …
c). Metafora
Metafora adalah bentuk gaya bahasa perbandingan secara
langsung yang tidak menggunakan kata-kata pembanding.
Moliono (1989) menyebutnya dengan perbandingan yang
implisit karena metafora tidak menggunakan kata pembanding
secara langsung di antara dua hal yang berbeda. Metafora itu
menurut Becker adalah melihat sesuatu dengan perantaraan
benda yang lain. Selanjutnya menurut Altenbernd, metafora
menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga
dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Pradopo,
1995).
Pada dasarnya, metafora adalah simile yang penanda
perbandingan dan motifnya dihilangkan. Jika pada gaya bahasa
simile muncul empat unsur perbandingan maka pada gaya
bahasa metafora hanya terdapat dua unsur pokok saja
(Pradopo, 1995), yakni Tenor (hal yang dibandingkan) dan
Vehicle (hal yang untuk membandingkan). Contoh: Engkau
adalah rembulan. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa
gaya bahasa metafora lebih padat dan ringkas dibanding
dengan gaya bahasa simile.
Menurut Noth, istilah metafora dalam arti luas dan arti
sempit telah dipergunakan sejak jaman kuno. Dalam arti luas,
metafora mencakup semua bentuk kiasan. Dalam arti sempit,
metafora merupakan salah satu bentuk kiasan (Murtadho,
1999). Percy (dalam Murtadho, 1999) mendefinisikan metafora
dalam arti sempit dengan an indirect way to compare things
- 198 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 200 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 201 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 203 -
… Hanik Mahliatussikah …
D. Contoh Telaah
Analisis Cerpen “Daun-daun di Samirono” Karya NH
Dini
NH Dini adalah salah satu penulis wanita Indonesia.
Nama lengkapnya Nurhayati Srihardini, tetapi ia lebih dikenal
lewat nama singkatnya NH Dini. Pengarang kelahiran
Semarang, 29 Februari 1936 ini telah menghasilkan begitu
banyak karya dan telah diterbitkan dalam bentuk buku.
Kumpulan cerpenya, Dunia Dunia, pertama kali muncul pada
tahun 1956 dan diterbitkan oleh NV Nusantara, Bukittinggi.
Hingga tahun 2004, sudah puluhan buku yang memuat
karyanya telah diterbitkan.
Di antara karya-karya awal Nh Dini yang cukup dikenal
luas adalah Pada Sebuah Kapal (Novel), Namaku Hiroko (Novel),
Keberangkatan (Novel), Sebuah Lorong di Kotaku (Novel), La Barka
(Novel), dan sebuah cerita kenangan berjudul Sekayu. Nh Dini
dan keluarganya sering brpindah tempat tinggal di berbagai
negara. Saat tinggal di Perancis (1977), ia sempat bekerja
sebagai penjaga orang lanjut usia, sebelum akhirnya kembali ke
- 204 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 206 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 207 -
… Hanik Mahliatussikah …
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sa’îd, Ahmad, dkk. 1968. A`l-Mufîd fi`l Adab a`l-Arabiy. A`l-
Juz a`ts-Tsâniy. Beirut: A`l-Maktab a`t-Tijârî li`th-Thibâ’ah
wa`n-Nasyr wa`t-Tauzî’.
Al-Hasyimî, Sayyid Ahmad. 1960. Jawâhiru`l-Balâghah
Aminuddin. 1990. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar
Baru.
Aminuddin. 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa
dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Asrari, Imam. 1998. Penggunaan Gaya Bahasa Kias dalam Al-
Quran. Tesis belum diterbitkan. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak: teori, metodologi, dan Aplikasi.
Bandung: Angkasa.
Jarim Ali dan Mustofa Utsman. 1993. A`l-Balaghatu`l Wadhîchah.
Diterjemahkan oleh Mujiyo Nurkholis, dkk. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Mahliatussikah, Hanik. 2004. Gaya Bahasa Perbandingan dalam
Ayat-ayat Al-Quran tentang Hari Kiamat. Dalam jurnal
Bahasa dan Seni. Malang: Fakultas sastra UM.
Moeliono, Anton. 1989. Diksi atau Pilihan Kata. Kembara Bahasa
Kumpulan Karangan tersebar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dini, NH.2005. Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005: Daun-
daun Waru di Samirono. Jakarta: PT. Gramedia
Nuroh, Ermawati Zulikhatin. 2011. Analisis Stilistika dalam
Cerpen Daun-daun Waru di Samirono kaya NH Dini. Dalam
Pedagogia: Jurnal Pendidikan Vol. 1, No. 1, Desember
2011: 21-34. http://journal.umsida.ac.id/files/ErmaV1.1.pdf
- 208 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 209 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 210 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
Teori &
BAB Metode Analisis
___ 12 Intertekstual
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode analisis
intertekstual, prinsip intertekstual dan peranannya terhadap
karya sastra, hubungan intertekstual, dan intertekstual sastra
bandingan. Selain itu, terdapat evaluasi dan rangkuman
pembelajaran untuk mempermudah mahasiswa belajar.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis intertekstual, pada bab selanjutnya akan mempelajari
Pendekatan Moral-Filosofis. Oleh karena itu, mahasiswa
diharapkan dapat memahami materi pada bab ini untuk
memudahkan memahami materi selanjutnya.
- 211 -
… Hanik Mahliatussikah …
A. Teori Intertekstual
Yang dimaksud dengan intertekstualitas adalah bahwa
“dalam sebuah teks terdapat beberapa buah teks”. Teks
merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan
teks-teks lain. Setiap teks terjalin hasil dari kutipan, peresapan,
dan transformasi dari teks-teks lain. Kajian intertekstualitas ini
digunakan untuk mengimbangi dan memadukan antara teks
dalaman dan teks luaran (Napiah, 1994: ix-xv, Culler, 1977:
139).
Harold Bloom berpendapat bahwa intertekstual adalah
sebuah teks yang berasal dari hubungan antara karya baru
dengan karya pendahulunya. Hubungan tersebut dapat berupa
kata, frasa, kalimat, atau masalah yang terdapat dalam suatu
karya sastra (Culler, 1981: 107-109; Sangidu, 2005: 25). Roland
Barthes juga menyatakan bahwa teks sastra merupakan
tenunan kata-kata (fabric of the words) atau jalinan antar kode,
dirumuskan dan ditandai (Young dalam Sangidu, 2005: 25).
Culler (1981: 103, 117) menyatakan bahwa teks-teks yang
terdahulu memberikan sumbangan terhadap pembentukan teks
yang muncul kemudian. Oleh karena itu, teks terdahulu
sebagai prior teks dan sebagai penyumbang kode yang
memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi menjadi
penting. Dalam kajian intertekstual, perlu dicari presupposition,
baik yang bersifat logis maupun pragmatis. Presupposition
merupakan landasan signifikasi, perkiraan “tanda” terjadinya
- 212 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 213 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 214 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
1. Transformasi
Transformasi bermakna pemindahan, penjelmaan atau
penukaran suatu teks kepada teks lain. Transformasi itu ada
yang bersifat formal dan ada pula yang bersifat abstrak.
Transformasi formal atau dalam istilah Junus (1985: 87-88)
disebut fisikal adalah memindahkan teks sepenuhnya atau
hampir sepenuhnya ke sebuah teks baru yang diciptakan, baik
dari aspek strukturnya, dialognya, maupun judul teks itu
sendiri. Adapun yang bersifat abstrak adalah memasukkan
teks-teks lain secara implisit, seperti kesesuaian idenya saja,
tetapi diungkapkan dengan bahasa yang berbeda (Napiah,
1994: xxiv; Junus, 1985: 87-88).
a. Modifikasi
Modifikasi adalah penyesuaian, perubahan suatu teks ke
dalam teks yang lain. Dengan kreativitasnya, seorang pengarang
dapat menambah atau melengkapi teks yang dibacanya dengan
menghadirkan teks yang baru. Modifikasi merupakan perubahan
dalam tataran linguistik (Napiah, 1994: xxv; Endraswara, 2003:
132).
b. Demitefikasi
Demitefikasi adalah penentangan ide terhadap teks hipo-
gram (Napiah, 1994: xxv; Endraswara, 2003: 132).
B. Prinsip Intertekstualitas
Pengertian, paham, atau prinsip interteksualutas berasal
dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam struktualismme
Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filusuf Perancis,
- 215 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 216 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 217 -
… Hanik Mahliatussikah …
C. Hubungan Intertekstual
Dalam mengalisis karya sastra, krtitikus secara aktif
memberi makana kepada unsure-unsur katrya sastra dan
keseluruhan karya sastra. Pemberian makna ini berdasarkan
sisitem tanda dalam karya sastra yang khusu disebut Preminger
dkk (1974:1981) sebagai konvensi tambahan, disamping konvensi
bahasa yang menjadi mediumnya.
Untuk mendapatkan makana sepenuhnya itu dlam
menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks
sejarah dan konteks social budayanya. Dalam hubungan
pembicaraan intertekstualitas ini berkenaan dengan konteks
sejarah sastranya.
Karya sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong
kebudayaannya (Teeuw, 1980:11), termasuk dalamnya situasi
sastranya. Dalam hal ini, karya sastra dicipta berdasarkan
konvensi sastra yang ada, yaitu meneruskan konvensi sastra
yang ada, di samping juga sebagai sifat hakiki sastra, yaitu sifat
kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian itu dicipta
menyimpang cirri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada.
- 218 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 219 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 220 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 221 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 222 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 223 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 224 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 225 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 226 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 227 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 228 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
waktu lama, hubugan teks satu dengan yang lain boleh dalam
rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak,
hubungan interteks juga sering terjadi penghilangan-peng-
hilangan bagian tertetu, (6) pengaruh mediasi dalam interteks
sering mempengaruhi juga pada penghilangan gaya amupun
norma-norma sastra, (7) dalam melakukan identifikasi interteks
diperlukan proses interprestasi, (8) analisis interteks berbeda
dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep
pengaruh.
Jika dicermati dari asumsi di atas, penelitian interteks
semula memang pengembangan dari resepsi sastra, terutama
resepsi teks. Asumsi paham interteks adalah bahawa teks sastra
tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain.
Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi
karya sebelumnya. Hanya saja, terjadinya interteks tersebut ada
yang sanagt vulgar dan ada pula yang menyembunyikan atau
sebaliknya memang ingin menampakkan karya orang lain
dalam karyanya.
Pemerhati interteks dan karya perbandingan sebenarnya
kurang lebih sama. Baik interteks maupun sastra perbandingan,
sebenarnya ingin melacak orisinalitas sebuah teks sastra. Jika
karya sastra semakin tidak memuat tekslain, berarti fungsi
kreativitas sangat tinggi. Pencipta telah memanfaatkan
kemampuan berkreasi sehingga seakan-akan tak ada teks lain
yangmuncul di dalamnya. Namun jika peneliti interteks dan
atau sastra pperbandingan sangat jeli, apa yang disembunyikan
pencipta atau teks lain sering terungkap.
Julai Kristeva (Junus, 1986:87) munculnya interteks
sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang masuk ke teks
lain itu dapat saja hanya setitik saja. Jika kemungkian unsure
yangmasuk itu banyak, berate telah terjadi resepsi yang berarti.
Jika dalam suatu teks terdaapat berbagai teks lain berarti teks
sastra tersebut disebut karnaval. Teks yang lahir kemudian
- 229 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 230 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 231 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 232 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 233 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 234 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 235 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 236 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 237 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 238 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 239 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 240 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 241 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 242 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 243 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 244 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 245 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 246 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 247 -
… Hanik Mahliatussikah …
IV. Rangkuman
1. Intertekstual adalah sebuah teks yang berasal dari hubungan
antara karya baru dengan karya pendahulunya
2. Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan antara teks
yang satu dengan teks yang lain
3. Di antara prinsip intertekstualitas terdiri atas transformasi,
modifikasi, dan demitefikasi.
4. Hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran
karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan
karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan
berjalan terus menerus sejauh proses sastra itu hidup.
Hipogram merupakan “induk” yang akan menuntaskan
karya-karya baru, dalam hal ini peneliti sastra berusaha
membandingkan antara karya.”induk” dengan karya baru
5. Sastra bandingan dapat digolongkan ke dalam empat bidang
utama, yaitu: kajian yang bersifat komparatif, kajian
bandingan historis, kajian bandingan teoritik, dan kajian
antardisiplin ilmu.
- 248 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
- 249 -
… Hanik Mahliatussikah …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 250 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
Teori &
BAB Metode Analisis
___ 13 Sosiologi Sastra
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori sosiologi sastra,
sasaran penelitian sosiologi sastra, dan metode analisis
sosiologi sastra. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis sosiologi sastra, pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian psikologi sastra. Mahasiswa diharapkan
mempelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.
- 251 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 253 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 254 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 255 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 256 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 257 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 258 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 259 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 260 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 261 -
… Hanik Mahliatussikah …
C. Metode Analisis
Menurut Atar Semi (1994), metode dan langkah kerja
dalam penelitian sosiologis sebagai berikut.
1. Mengkaji sosok pengarang, aspek sosial yang ada dalam
karya sastra, segi pembaca atau khalayak pendukung yang
dibicarakan. Aspek pengarang dibicarakan terlebih dahulu
karena ia merupakan kunci penentu tentang apa dan
bagaimana aspek sosial kebudayaan dimanfaatkan.
2. Aspek falsafah, idiologi politik, status sosial dan pendidikan
pengarang serta sosialisasinya, serta kehidupan keagamaan-
nya. Hal ini akan menentukan visi kepengarangan dan pola
perjuangannya yang kemudian tercurah melalui karyanya.
3. Telaah aspek intrinsik dikaitkan dengan kepentingan masyara-
kat serta misi sastra dalam meningkatkan taraf kehidupan
misalnya melihat tema dalam kaitannya dengan kepentingan
masyarakat, watak yang memperlihatkan perjuangan dalam
membela masyarakat, dan lain-lain.
4. Resepsi, kesan dan sambutan masyarakat terhadap karya,
terkait dengan unsur didaktik dan moral dalam karya serta
aspek keindahan teks.
5. Pengaruh karya tersebut terhadap penulis dan pembaca.
6. Tata nilai, etika, budaya, falsafah yang ada dalam karya
sastra, termasuk dogma, didaktik dan protes sosial yang
terdapat dalam teks.
- 262 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
IV. Rangkuman
1. Objek kajian sosiologi sastra (1) konteks sosial pengarang, (2)
sastra sebagai cermin masyarakat, (3) fungsi sosial sastra.
Pada bagian ini yang diteliti adalah (1) bagaimana
pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (2) sejauh
mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi,
dan (3) masyarakat apa yang dituju pengarang.
2. Hubungan yang nyata antara sastra dan masyarakat oleh
Wellek dan Werren dapat diteliti melalui sosiologi
pengarang, sosiologi karya sastra dan sosiologi pembaca.
Sosiologi pengarang menyangkut masalah pengarang
sebagai penghasil karya satra. Mempermasalahkan status
sosial, ideologi sosial pengarang, dan ketertiban pengarang
di luar karya sastra. Sosiologi karya sastra terkait dengan
eksistensi karya itu sendiri, yang memuat isi karya sastra,
tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu
sendiri, dan yang berkaitan masalah-masalah sosial. Adapun
sosiologi pembaca mempermasalahkan pembaca dan
pengaruh sosial karya tersebut, yakni sejauh mana dampak
sosial sastra bagi masyarakat pembacanya.
3. Metode dan langkah kerja dalam penelitian sosiologis
sebagai berikut (1) mengkaji sosok pengarang, aspek sosial
yang ada dalam karya sastra, segi pembaca atau khalayak
pendukung yang dibicarakan (2) mengkaji aspek falsafah,
idiologi politik, status sosial dan pendidikan pengarang
serta sosialisasinya, serta kehidupan keagamaannya. (3)
mengkaji aspek intrinsik dikaitkan dengan kepentingan
masyarakat serta misi sastra dalam meningkatkan taraf
kehidupan.(4) resepsi, kesan dan sambutan masyarakat
terhadap karya, terkait dengan unsur didaktik dan moral
dalam karya serta aspek keindahan teks, (5) Pengaruh karya
tersebut terhadap penulis dan pembaca, (6) tata nilai, etika,
budaya, falsafah yang ada dalam karya sastra, termasuk
dogma, didaktik dan protes sosial yang terdapat dalam teks.
- 263 -
… Hanik Mahliatussikah …
DAFTAR PUSTAKA
- 264 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 265 -
… Hanik Mahliatussikah …
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori psikologi, psikologi
sastra, landasan pijak psikologi sastra, pendekatan psikologi sastra,
psikoanalisis sigmund freud, teori kepribadian Jung, langkah dan
proses analisis psikologi sastra, dan contoh analisis. Pada akhir
bab, akan disajikan rangkuman dan latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis psikologi sastra, pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian sastra feminis. Mahasiswa diharapkan mem-
pelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.
- 266 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
A. Teori Psikologi
Secara etimologis, kata psikologi berarti ilmu jiwa. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani Kuno; psyche yang berarti jiwa dan
logos yang berarti ilmu. Adapun secara terminologis, terdapat
beberapa definisi psikologi. Di antaranya, Adkinson
menjelaskan bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari perilaku dan proses mental (study of behavior
and mental processes). Muhibbin menyatakan bahwa psikologi
merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas
tingkah laku manusia, baik yang terbuka seperti duduk dan
berjalan maupun yang tertutup seperti berpikir dan berbahasa.
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
penghayatan tingkah laku manusia sebagai makhluk individu
dan penghayatan terhadap intern relasi manusia terhadap diri
dan lingkungannya sebagai makhluk social beserta implikasi-
implikasi lainnya (Nursalim, 2007:1-2; Chaer, 2009: 2; Siswantoro,
2005: 26).
Psikologi merupakan satu cabang ilmu Psikologi merupa-
kan ilmu yang membicarakan persoalan-persoalan manusia dari
aspek kejiwaan. Pendekatan psikologi dalam penelitian
terhadap karya sastra dapat berpijak dari psikologi kepribadian
yang dikemukakan oleh Sigmund Freud atau yang lainnya.
Dalam perkembangannya, psikologi terbagi menjadi 3
aliran sesuai paham filsafat, yaitu psikologi mentalistik yang
- 267 -
… Hanik Mahliatussikah …
B. Psikologi Sastra
Yang dimaksud dengan kajian psikologi sastra bukanlah
kajian terhadap teks yang ditinjau dari 2 aspek; psikologi dan
sastra, melainkan kajian psikologi terhadap teks berbahasa
sastra, dalam hal ini teks Al-Quran (QS 12). Begitu pula halnya
dengan psikologi anak, psikologi komunikasi, dan seterusnya.
Kata “sastra” dalam psikologi sastra, “anak” dalam psikologi
anak, dan “komunikasi” dalam psikologi komunikasi merupakan
objek material yang dikaji.
Adapun objek formal atau sudut pandang dan analisisnya
adalah psikologi. Dengan demikian, hasil kajian psikologi sastra
tidak berbeda dengan psikologi yang diterapkan pada non
sastra ditinjau dari aspek objek formalnya. Semuanya mem-
bicarakan psikis manusia. Pembedanya hanya pada objek
material; terdapat objek material sastra jika teks yang dikaji
- 268 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
adalah sastra, objek material anak jika yang dikaji adalah anak
dan objek material komunikasi jika yang dibahas tentang
komunikasi.
Psikologi sastra membicarakan karya sastra dalam kaitan-
nya dengan aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam
suatu karya sastra (Sangidu, 2005: 30). Untuk mengungkap
unsur-unsur psikologi dalam karya sastra diperlukan bantuan
teori-teori psikologi. Teori psikologi yang paling banyak
digunakan dalam analisis adalah teori psikoanalisa Sigmund
Freud (1856-1939) yang membedakan kepribadian menjadi 3
macam, yaitu id, ego, dan Superego (Ratna, 2006:343-344).
Munculnya kajian psikologi sastra tidak terlepas dari
pertautan antara ilmu psikologi dan sastra. Keduanya memiliki
sumber kajian yang sama yaitu manusia dan kehidupan.
Keduanya memiliki hubungan fungsional, yaitu sama-sama
mempelajari aspek kejiwaan. Kajian psikologi sastra dapat
diarahkan pada kajian tekstual yang mengkaji tokoh dalam cerita,
kajian reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologis
pembaca, dan kajian ekspresif yang mengkaji aspek psikologis
pengarang. Wellek dan Warren (1990) dan Hardjana (1985)
menambahkan kajian pada penelitian hukum-hukum psikologi
yang diterapkan dalam teks sastra (Endraswara, 2003: 97).
Kajian reseptif terkait dengan estetika eksperimental yang
dikemukakan D.E. Berlyne, yaitu studi pengaruh efek-efek
motivasional dari teks sastra bagi pembaca. Aspek motivasional
itu muncul melalui aspek kolatif, yaitu bagian teks yang merupa-
kan stimulus yang dapat membangkitkan perasaan pembaca.
Dalam kajian estetika ini, terdapat 3 kategori perilaku estetik
“esthetic behavior, yang dimungkinkan menjadi objek estetika
eksperimental, yaitu pengarang, pembaca dan aktor (Segers,
2000:74-75; Suwardi: 90).
- 269 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 270 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 271 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 272 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 273 -
… Hanik Mahliatussikah …
1. Id
Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar.
Ia merupakan aspek bawah sadar manusia yang berisi sifat-sifat
keturunan, insting dan nafsu (kenikmatan) yang tak kenal nilai.
Id cenderung menghendaki penyaluran untuk setiap ke-inginan
dan jika terhalangi akan terjadi ketegangan. Id merupa-kan
prinsip kesenangan dan kenikmatan (the pleasure principle) dan ia
akan mengejawantahkan penyalurannya dengan jalan irasional,
tanpa mempertimbangkan akibat atau konsekuensi. Watak ini
tidak mengenal rasa takut dan cemas sehingga tidak memiliki
tindakan hati-hati dalam upaya penyaluran hasrat (Milner, 1992;
Endraswara, 2003; Siswantoro, 2005: 38-39).
Untuk keperluan mencapai maksud dan tujuannya itu, id
memiliki dua macam proses, yaitu proses tindakan-tindakan
refleks dan proses primer. Tindakan refleks yaitu bentuk tin-
dakan yang mekanisme kerjanya otomatis dan segera. Adapun
proses primer adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah
reaksi psikologis yang rumit. Tindakan memuaskan suatu
kebutuhan yang berlangsung dalam mimpi oleh Freud juga
dipandang sebagai proses primer (Koeswara, 1991: 33).
Id merupakan gudang tempat menyimpan semua insting.
Ia sudah ada sejak manusia dilahirkan. Pada mulanya, semua
energi psikis disalurkan ke id untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang memang harus dipenuhi untuk kelangsungan
diri. Energi id dikendalikan sepenuhnya oleh prinsip kenik-
matan ini. Energi id berada dalam keadaan bebas tanpa kekangan
apapun dan tidak bisa membedakan antara yang nyata dan tidak
nyata. Pemikiran yang tidak membedakan antara khayalan dan
kenyataan ini disebut pemikiran proses primer (primary process
thinking). Energi psikis yang terkait dengan id bersifat bawah
sadar, karena hal itu tidak disadari oleh individu dan tidak bisa
ia bicarakan atau pikirkan (Salkind: 158).
- 274 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 275 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 276 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
3. Superego
Superego berkembang mengontrol perilaku yang ditimbul-
kan oleh id. Superego merupakan sistem kepribadian yang berisi
nilai-nilai dan aturan yang bersifat evaluatif, menyangkut baik-
buruk (Suwardi: 101; Milner: 43). Menurut Freud, energi psikis
yang terkait dengan superego terdiri atas ego ideal dan kesadaran
nurani. Ego ideal berwujud penilaian tertentu, yang secara moral
dipandang baik. Adapun hati nurani berwujud hal-hal yang
secara moral dipandang baik. Id, ego, dan superego itu hendaknya
berjalan seimbang. Jika tidak, akan menimbulkan neurosis
dalam diri manusia.
Dalam Islam juga dikenal 3 tingkatan nafsu, yaitu an nafs
al ammârah, an-nafs al lawwâmah dan an-nafs al muthma`innah. An-
nafs al ammârah merupakan nafsu yang selalu mendorong
pemiliknya kepada perbuatan yang buruk. An-nafs al lawwâmah
merupakan nafsu yang selalu mengecam pemiliknya setiap kali
berbuat kesalahan, sehingga timbul penyesalan dan berjanji untuk
tidak mengulangi kesalahan. Adapun an nafs al muthma’innah
adalah jiwa yang tenang karena selalu mengingat Allah dan jauh
dari segala pelanggaran dan dosa.
- 278 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 279 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 280 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 281 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 282 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 284 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
َ َ َ َ َ ْ َْ َ ْ اش َت َر ُاه م ْن م
ْ َّ َ َ َ 2
(QS.12:21) ص َر ِِل ْم َرأ ِت ِه أك ِر ِمي َمث َو ُاه َع َس ى أ ْن َي ْن َف َع َنا أ ْو ن َّت ِخذ ُه َول ًدا ِ ِ ال ال ِذيوق
- 286 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
َّ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ُ َّ ُ ْ َ َ َ َر
َّللا ِإ َّن ُه
ِ ال معاذ و اودته ال ِتي هو ِفي بي ِتها عن نف ِس ِه وغلق ِت اْلبواب وقالت هيت لك ق
َ ُ َّ ْ َ ُ َّ َ َ بي َأ ْح َس َن َم ْث َو
(QS.12:23)اي ِإنه ِل ُيف ِل ُح الظ ِاْلون ِر
Kata râwadathu berasal dari kata râwada yang asalnya
adalah râda. Dalam tafsir Al-Mishbah, kata ini mengandung arti
meminta sesuatu dengan lemah lembut agar apa yang diharapkan
-dan enggan diberi oleh orang yang dimintai- dapat diperoleh.
Bentuk kata yang digunakan ini mengandung makna upaya
berulang-ulang. Pengulangan itu terjadi karena langkah
pertama ditolak, sehingga diulangi lagi dan begitu seterusnya.
Ini menunjukkan bahwa perempuan itu benar-benar menyukai
Yusuf. Hal ini juga dipertegas pada ayat berikutnya (QS.12:24)
yang menggunakan penanda taukid sebanyak 2 kali َولَقَدْ َه َّمتْ بِ ِه
(dan sungguh perempuan itu telah berhasrat kepada Yusuf)
yang ditujukan pada hasrat perempuan kepada Yusuf, sedangkan
untuk Yusuf tanpa diberi penanda taukid ( َو َه َّم بِ َهاdan Yusuf pun
berkehendak kepadanya). Artinya, Yusuf pun sebagai manusia
yang punya id, ego, dan superego juga memiliki sikap senang
kepada lawan jenis. Hanya saja, rasa itu tidak seberapa
dibanding dengan Zulaikha.
َ ْ َ ُّ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ َ
وء َوال َف ْحش َاءولقد همت ِب ِه وهم ِبها لوِل أن رأى برهان رِب ِه كذ ِلك ِلنص ِرف عنه الس
َ ْ ُْ َ
(QS 12:24) ِإ َّن ُه ِم ْن ِع َب ِادنا اْلخل ِصين
Sikap seorang istri itu telah didominasi oleh kepribadian id
dan egonya. Sementara Nabi Yusuf dengan berpegang pada
wahyu, telah dikendalikan sikapnya oleh superegonya. Kepri-
badian id yang mendominasi wanita itu juga ditunjukkan oleh
sikapnya yang mengoyak baju Yusuf dari belakang. Hasrat
birahi yang muncul dari dalam diri wanita itu tidak terbendung
akibat gejolak cinta yang sudah lama terpendam.
Berdasarkan sikap yang ditampakkan oleh Zulaikha dan
Yusuf, diketahui bahwa secara psikologis, Zulaikha mengalami
- 287 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 288 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
- 289 -
… Hanik Mahliatussikah …
Huruf sin dan ta’ pada kata ista’shama pada ayat 32 dari
surat ini menunjukkan makna kesungguhan Yusuf dalam
menolak istri Al-Aziz.
ْ َو َل َق ْد َر َاو ْد ُت ُه َع ْن َن ْفسه َف
َ اس َت ْع
(QS.12:32(… ص َم ِ ِ
Selanjutnya kata layusjananna menggunakan nun taukid ats
tsaqîlah menurut al biqa`i menggambarkan gejolak jiwa
pengucapnya, yaitu istri Al-Aziz yang kecewa dengan sikap
Yusuf yang menolaknya. Akhirnya, Yusuf pun di penjara atas
kemauan sendiri (QS.12: 34). Yusuf lebih menyukai dipenjara
jasadnya asal jiwanya tidak seperti di penjara.
Pada episode ke enam, diceritakan bahwa Nabi Yusuf
berada di penjara bersama dua orang pemuda. Di penjara inilah
Nabi Yusuf menjadi penta’wil mimpi 2 orang pemuda tadi.
Ta’wil pertama menggembirakan bagi yang menerima mimpi
itu, yaitu ia akan kembali ke rumah tuannya, melakukan pekerjaan
semula dan takwil kedua merupakan takwil yang mencekam
jiwa yang bermimpi itu sehingga ia berkata bahwa mimpinya
tadi hanyalah bohong belaka. Takwilnya adalah ia akan disalib
dan digantung, lalu burung makan sebagian kepalanya.
Pada episode ke tujuh, Yusuf mendapat kesempatan untuk
menakwilkan mimpi sang raja. Karena ta’wilnya benar, maka ia
dibebaskan. Adapun pada episode ke delapan, Yusuf menjadi
pejabat pemerintah (QS.12: 54-55). Ia minta jabatan sebagai
bendaharawan Negara. Permintaan ini didorong oleh rasa
percaya diri Yusuf dan sikapnya yang jujur. Ia meminta jabatan
sesuai dengan spesifikasi yang dimilikinya, yaitu chafîdzun ‘alîm.
Dalam teori psikologi, kekuasaan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan (needs) adalah keadaan
yang menimbulkan motivasi. Maslow membagi kebutuhan
menjadi lima tingkat, yaitu (1) kebutuhan biologis, (2) kebutuhan
rasa aman, terhindar dari kecemasan dan ketakutan, (3) kebu-
- 290 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
IV. Ringkasan
1. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
penghayatan tingkah laku manusia sebagai makhluk individu
dan penghayatan terhadap intern relasi manusia terhadap
diri dan lingkungannya sebagai makhluk social beserta
implikasi-implikasi lainnya.
- 291 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 292 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
DAFTAR PUSTAKA
- 293 -
… Hanik Mahliatussikah …
- 294 -
… Pembelajaran Prosa, Teori dan Penerapan dalam Prosa Arab …
LATIHAN
بالتوفيق والسداد
- 295 -
Teori &
BAB Metode Analisis
___ 15 Sastra Feminis
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori Sastra Feminis,
Kritik Sastra feminis, masalah teori feminis, metode analisis,
perempuan dalam budaya Mesir, dan contoh analisis. Pada
akhir bab, akan disajikan rangkuman dan latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis sastra feminis, pada bab selanjutnya akan dipela-
jari tentang kajian resepsi sastra. Mahasiswa diharapkan
mempelajari dengan baik materi ini dengan baik agar
dapat mengikuti materi berikutnya dengan mudah.
- 296 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori sastra feminis, Kritik Sastra feminis,
masalah teori feminis, perempuan dalam budaya Mesim, serta
dapat menerapkan teori kritik sastra feminis dalam teks prosa
Arab.
- 297 -
sosial suatu masyarakat tertentu. Sastra adalah social product
(Wolf, 1989: 1). Kritik sastra feminis berupaya untuk menawar-
kan usulan mempelajari sastra sebagai suatu manifestasi
bentuk kekuatan yang asasi dalam masyarakat yang harus
diubah jika memang diinginkan adanya perubahan yang lebih
baik.
Persoalan yang paling mendasar dalam kajian feminis
bukanlah persoalan biologis, tetapi lebih berfokus pada per-
soalan laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
budaya (Ratna, 2004:194). Perbedaan laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksi oleh budaya tersebut tampak pula pada
bahasa (Coates, 1993: 12). Bahasa merupakan salah satu unsur
kebudayaan. Laki-laki memiliki pengaruh yang kuat dalam
pemakaian bahasa, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa
Indonesia.
Dalam Bahasa Indonesia misalnya, kata TKI sebenarnya
sudah mewakili laki-laki dan wanita sebagai tenaga kerja
Indonesia, tetapi masih ada penyebutan lain, yaitu TKW dan
tidak ada TKL. Wanita yang menjadi polisi disebut POLWAN
dan tidak ada POLLAK dan masih banyak lagi penggunaan
bahasa yang bias gender. Di samping bahasa, konstruksi dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat yang lebih meng-
utamakan laki-laki juga berpengaruh terhadap aspek psikologis
yang termanifestasikan dalam perilaku sehari-hari, baik oleh
laki-laki maupun perempuan.
Konstruksi sosial dunia patriarkhi yang panjang akhirnya
melahirkan citra wanita yang kurang baik. Citra perempuan
yang tidak baik yang telah dikonstruksi laki-laki dan bahkan
perempuan sendiri dalam budaya masyarakat tersebut pada
era dewasa ini mulai dinaturalisasikan dan diangkat setahap
demi setahap oleh masyarakat yang sadar gender dan
- 298 -
kesetaraannya. Di antara bentuk penyadaran tersebut adalah
lewat karya sastra.
Apresiasi sastra Arab di Indonesia telah banyak
dilakukan, baik melalui jalur non akademis maupun akademis
(Bunyamin, 2003: 153-154). Jalur non akademis misalnya,
dilakukan melalui penerjemahan karya sastra Arab ke dalam
bahasa Indonesia. Hal ini tentunya tidak terlepas dari muatan
isinya yang universal dan dibutuhkan oleh seluruh kalangan.
Novel Arab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia di antaranya adalah karya-karya Kahlil Gibran, Najib
Mahfudh, Lukman Hakim, Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, Najib
Kailani, Samirah dan Nawal Sa’dawi. Penerbit Obor Jakarta
Misalnya, menerbitkan terjemahan novel Nawal Sa’dawi, baik
dari bahasa Arab maupun bahasa Inggris.
Apresiasi sastra Arab di Indonesia melalui jalur akademis
ditandai dengan munculnya jurusan dan program studi Sastra
Arab, baik di perguruan tinggi yang berada di bawah naungan
departemen Agama, seperti UIN, maupun yang berada di
bawah naungan Diknas, seperti UM, UI, UPI, UAD, dan
UNPAD. Program-program studi tersebut telah menghasilkan
banyak penelitian sastra Arab yang merupakan bentuk
apresiasi sastra Arab di Indonesia. Novel Tenggelamnya kapal
Van Derwick karya Hamka juga sebagai bukti sambutan
pembaca Indonesia terhadap karya sastra Arab. Novel tersebut
merupakan bentuk transformasi dari karya Lutfi Al-Manfaluthi
yang berjudul Majdulin yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Magdalena dan diterbitkan oleh
Navila, Yogyakarta.
Salah satu novelis terkenal yang memperhatikan nasib
kaum wanita adalah Nawal Sa’dawi. Nawal, di samping
seorang novelis bergelar doktor, juga berprofesi sebagai dokter
di Kairo. Dia juga pendiri beberapa organisasi, khususnya
- 299 -
organisasi yang peduli terhadap nasib kaum wanita. Di
samping itu, ia juga pernah mengajar di berbagai perguruan
tinggi di dalam dan di luar negeri Mesir. Keberaniannya dalam
mengungkap fakta wanita di Mesir dianggap melanggar
peraturan pemerintah dan menyebabkan dirinya dipenjara
pada bulan September 1981. Karya-karyanya dalam bahasa
Arab telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, di
antaranya ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Swedia,
Portugis, Italia Belanda, Jepang, Iran, Turki, Urdu dan
Indonesia (Bunyamin, 2003:150- 152). Salah satu karyanya yang
bermuatan gender adalah novel Mautur-Rajulil-Wahîdi-Alal-
Ardhi (selanjutnya disingkat MRWA).
Novel MRWA termasuk karya populer. Kepopulerannya
dibuktikan dengan sambutan yang diberikan oleh masyarakat
pembaca dari berbagai kalangan, baik melalui penerjemahan
maupun melalui penerbitan dan penelitian. Novel ini meng-
gambarkan realitas yang terjadi dalam masyarakat Mesir.
Hampir dalam keseluruhan karyanya, Sa’dawi mengungkap
kesewenang-wenangan kaum laki-laki terhadap perempuan.
Budaya patriarkhi yang kuat di Mesir telah membuat kaum
wanita tertindas dan tersubordinasi. Keberanian Nawal dalam
mengungkap budaya wanita di Mesir ini mendapat kritikan
keras dari penguasa Mesir yang memang identik dengan laki-
laki. Sebagai akibatnya, ia pun pernah di penjara karena
dianggap melawan pemerintahan Mesir.
Permasalahan perempuan tidak saja terjadi di Mesir,
tetapi juga di seluruh belahan dunia. Perempuan yang juga
manusia sebagaimana laki-laki tidak diperlakukan secara
seimbang, tetapi di nomor duakan. Masalah inilah yang
kemudian memunculkan gerakan feminisme dan disambut
pula dalam sastra melalui perspektif kritik sastra feminis.
Karya sastra yang menggunakan bahasa kedua, Secondary
- 300 -
Modeling Sistem dalam istilah Juric Lotman atau Second Order
Semiotic dalam istilah Alex Preminger selalu dapat dimaknai
secara universal. Dalam pengertian ini, novel MRWA dapat
bermakna bagi pembaca non Arab yang melakukan interpretasi
karena setiap karya sastra dapat ditransendensikan sehingga
selalu memberi makna bagi masyarakat walau berada dalam
lintas budaya.
- 301 -
Fase Tradisi Penulisan Wanita
Elaine Showalter dalam bukunya A literature of Their Own
mengkaji para novelis wanita Inggris sejak Brontes dari sudut
pandang pengalaman wanita. Menurutnya ada perbedaan
mendalam antara hasil tulisan perempuan dengan laki-laki
karena tidak ada seksualitas atau imajinasi wanita yang
berpembawaan halus atau pasti (Selden, 1986: 135).
Ada tiga Pola dan Fase Perkembangan Tradisi Wanita
menurut Elain Showalter (Newton, 1990: 270, Selden, 1986: 135-
136), yaitu:
- 302 -
C. Masalah Teori Feminis
Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex (1949 dalam
Selden, 1986: 129-130) menetapkan masalah dasar feminis
modern, yaitu:
1. Wanita membatasi dirinya dengan mengatakan “aku
seorang perempuan”. Sementara laki-laki tidak menyatakan
demikian. Laki-laki membatasi diri sebagai manusia tidak
sebagaimana perempuan.
2. Wanita terikat dalam suatu hubungan berat sebelah
dengan laki-laki; laki-laki adalah satu sedangkan perem-
puan adalah yang lain (the others).
3. Kekuasaan laki-laki telah membuat mantapnya ideologi
bahwa para wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis,
ahli ilmu pengetahuan telah berusaha menunjukkan
bahwa kedudukan wanita yang rendah itu diinginkan di
surga dan bermanfaat di bumi.
4. Wanita telah dibuat lebih rendah dan tekanan ini menjadi
berlipat ganda oleh keyakinan para lelaki bahwa wanita
adalah lebih rendah menurut kodratnya. Gagasan per-
samaan “nyata” biasanya ditentang kaum lelaki.
Pokok perbedaan seksual antara laki-laki dan perempuan
berfokus pada 5 (lima) hal pokok, yaitu biologi, pengalaman,
wacana, ketaksadaran, dan kondisi sosial ekonomi. Untuk
penjelasannya, sebagai berikut:
1. Biologi
Para lelaki menyatakan bahwa perempuan adalah sebuah
kandungan. para feminin radikal menganggap atribut
biologis wanita sebagai sebuah keunggulan.
2. Pengalaman
Pengalaman wanita yang khusus dalam hidup (ovulasi,
menstruasi, dan melahirkan) merupakan sumber nilai-
nilai perempuan yang positip dalam kehidupan dan seni.
- 303 -
Pengalaman tersebut akan mempengaruhi perbedaan
persepsi dan kehidupan emosi; para wanita tidak melihat
suatu hal dengan cara yang sama dengan laki-laki. Wanita
memiliki perbedaan dengan laki-laki mengenai ide dan
perasaan tentang apa yang penting dan tidak penting.
3. Wacana
Dale Spender dalam bukunya Man-Made menganggap
bahwa wanita secara mendasar ditindas oleh bahasa yang
dikuasai laki-laki. Menurut Foucoult, apa yang “benar”
tergantung pada siapa yang menguasai wacana. Menurut
Lakolff, ucapan lelaki lebih kuat.
4. Ketaksadaran
Proses ketidaksadaran ini terdapat dalam teori
psikoanalitik Lacan dan Julia Kristeva. Para penulis
feminis telah menentang biologisme. Seksualitas wanita
bersifat revolusioner, subversif beragam dan terbuka.
Pendekatan ini menolak untuk mendefinisikan seksualitas
perempuan; jika ada prinsip wanita maka berada di luar
definisi laki-laki tentang perempuan.
5. Kondisi sosial dan ekonomi
Virginia Woolf adalah kritikus wanita pertama yang
memasukkan dimensi sosiologi dalam analisisnya
mengenai tulisan wanita. Sejak itu dan selanjutnya, kaum
feminis Marxis telah mencoba menghubungkan
perubahan kondisi sosial dan ekonomi dan perubahan
imbangan kekuatan di antara kedua jenis kelamin. Kaum
feminis Marxis ini menolak hakekat keperempuanan yang
universal.
D. Metode Analisis
Metode analisis kritik sastra feminis didasarkan pada
macam-macam kritiknya, yaitu sebagai berikut.
- 304 -
1. Woman as Reader (wanita sebagai pembaca)
Woman as Reader menempatkan wanita sebagai konsumen
dari produk sastra laki-laki dan pembaca wanita merubah
pengertian terhadap teks. Kritik ini membangunkan kita untuk
menandai kode-kode seksual.
Showalter menyebutnya sebagai kritik feminis, dan
sebagaimana macam kritik lain ada landasan sejarah yang
mengasumsikan ideologi fenomena sastra ini, yaitu: (a) citra
dan stereotipe wanita dalam sastra, (b) pengabaian dan
kesalahan konsep mengenai wanita dalam kritik, (c) keretakan
dalam sejarah sastra yang dikonstruksi oleh laki-laki dan (d)
eksploitasi dan manipulasi penonton wanita (Newton, 1990:
268-269).
Showalter menyatakan bahwa pendekatan kritik “wanita
sebagai pembaca” sebagaimana dalam sekolah “images of
Woman“ merupakan pembatasan dengan fokus pandangan
laki-laki terhadap wanita. Pendekatan “Images of Woman”
didominasi oleh studi sastra feminis pada awal tahun 1970-an
dan masih menjadi pusat pendidikan studi wanita dalam
sastra. Melalui pendekatan “Images of Woman” kritik ini
menentukan bagaimana karakter perempuan tergambar dalam
karya sastra. Kritik feminis berakar dari intuisi apriori funda-
mental yang hakiki bahwa wanita tersusun atas seperangkat
kesadaran, yaitu mereka sendiri, bukan yang lain. Wanita dalam
sastra ditulis laki-laki kebanyakan tampak sebagai yang lain,
sebagai obyek, menarik hanya sejauh sebagai pelayan mereka
atau mengurangi keberhasilan seorang tokoh protagonis laki-
laki (Newton, 1990: 263).
3. Reading as Woman
Selain dua model kritik yang disebutkan oleh Swowalter
tersebut di atas, Culler memperkenalkan teori Reading as woman.
Culler mengemukakan konsep Reading as Woman dalam bukunya
On Deconstruction. Yang dimaksud dengan Reading as Woman
adalah pembaca yang memandang sastra dengan kesadaran
khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan
- 306 -
dengan budaya, sastra dan kehidupan. Jenis kelamin ini
menimbulkan berbagai perbedaan perlakuan, baik perbedaan
yang ada dalam diri pengarang, karya sastra, pembaca atau
kesemestaan yang diacunya (Culler,1982: 43-63). Konsep Culler
ini digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi
kekuasaan laki-laki yang andrisentris atau patriarkis yang sampai
sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan
sastra sehingga wanita berada di bawah naungannya.
4. Kritik Moral
Selanjutnya, Kritik feminis menurut Josephin merupakan
moral karena kritik itu memperlihatkan problem sentral sastra
Barat, yaitu wanita sebagai obyek, wanita tidak diperlakukan
sebagai manusia yang berhak menyusun kesadarannya, wanita
itu obyek-obyek yang digunakan untuk mengfasilitasi laki-laki.
Kritik feminis menjadi politis ketika kritik itu menegaskan
bahwa sastra, dan standar hukum kritik harus berubah. Dengan
demikian, sastra tidak lama berfungsi sebagai propaganda,
lebih lanjut sebagai ideologi seksual (Newton, 1990: 263).
Dimensi estetik sastra tak dapat dipisahkan dari dimensi
moral. Sejak Aristoteles, pengalaman estetik pada kenyataan-
nya dipahami sebagai sebuah katarsis, gambaran dan pembe-
basan dan kesenangan secara menyeluruh. “images of Woman”
(citra wanita) awalnya merupakan sekolah kritik feminis. Fokus
perhatiannya pada bagaimana karakter wanita tergambar
dalam karya sastra. Josefin Donovan sebagai salah tokoh kritik
ini menyatakan bahwa dalam kritik feminis tidak dapat
dipisahkan antara aspek estetik dan aspek moral dalam karya
sastra (Newton, 1990: 263).
5. Feminisme Politis
Kritik model ini diperkenalkan oleh Kate Millet dan
Michele Barret. Dalam bukunya Sexual Politics (1970), Millet
menyatakan bahwa sebab penindasan wanita adalah patriarkhi
- 307 -
yang telah meletakkan wanita di bawah laki-laki. Patriarkhi
memperlakukan perempuan sebagai laki-laki yang inferior.
Mereka menggunakan kekuatan untuk membatasi wanita.
Menurutnya demokrasi tidak begitu berpengaruh karena
wanita masih terus dikuasai oleh suatu sistem peranan
kejenisan yang telah menguasai wanita sejak muda.
Pemahaman tentang perempuan dalam suatu masyarakat
dapat dilihat dari karya sastranya. Menurut Soenarjati, pada
awalnya karya sastra perempuan di Amerika pun pernah
dianggap tidak ada artinya. Anggapan itu muncul dari
stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal
yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada
karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan,
dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan
kredibilitas pengarang laki-laki. Menurut Maria, tidak heran
kalau pada awalnya pengarang perempuan di Amerika pun
pernah menggunakan nama samaran laki-laki agar karya
mereka bisa diterima masyarakat. "Padahal, belum tentu
penulis perempuan akan menghasilkan karya sastra yang
membela perempuan, begitu juga sebaliknya, tidak semua
penulis laki-laki pasti tidak berpihak pada perempuan
(Djayanegara, 2000).
Paling tidak ada empat landasan yang bisa digunakan
dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme. Pertama,
kelompok feminis yang berusaha menjadi kritikus sastra
dengan melihat ideologinya. Mereka ini umumnya akan
menyoroti persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik
yang mencari ja-waban apakah penulis perempuan itu
merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa
dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok feminis
yang menggunakan konsep sosialis dan marxis. Logikanya,
bahwa perempuan itu faktanya tertindas karena tidak memiliki
- 308 -
alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasil-
kan uang. Akibatnya, perempuan tidak memiliki kekuasaan
dalam keluarga. Keempat, menggunakan psiko-analisis yang
diambil dari Sigmund Freud. Bagi kelompok feminis ini,
perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang
dimilikinya (Djayanegara,2000). Dengan kritik Feminis
diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks
yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional.
Fokus di dalam kritik ini ada 2, yaitu (1) pengkajian ulang
sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon
yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke
generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-
karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang
ter(di)pendam selama ini. (2) mengkaji kembali teori-teori dan
pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini
dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan
dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada
pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di
sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis
perempuan yang mendukung mereka agar mampu
mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang
selama ini diredam (Gunoto, dalam http://www.suarakarya-
online.com/news .html?id =113881).
Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis,
sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, posmodern, dan
lain-lain, yang masing-masing memiliki perbedaan
pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada
feminisme yang sangat maskulin, ada yang antimaskulin, ada
pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas. Hal ini
berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan
menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan
pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous,
- 309 -
Virginia Wolf, Kate Millet, dan lain-lain, yang merupakan
kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous
misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah
seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal.
Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan
dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.
Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis
ditemukan kritik gynocritics, ideologis, melakukan kajian
terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan,
tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan
perbedaannya dengan tulisan laki-laki. Kritik sastra feminis
ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks
yang melibatkan pembaca perempuan. Yang dikaji adalah
citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman me-
ngenai perempuan. Kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat
tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-
kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik
menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra.
Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis
lesbian, dan ras (etnik).
Dalam pandangan Elain Showalter, terdapat 3 macam
kritik sastra feminis. Tahap pertama, kritik sastra feminis,
menganalisis berbagai citra stereotip perempuan dengan kritis.
Kebanyakan kritikus menganalisis bagaimana kaum pria
memandang dan menggambarkan perempuan. Tahap kedua,
perhatian diarahkan kepada para pengarang perempuan dan
menitikberatkan pada penemuan kembali para penulis perem-
puan yang terlupakan serta evaluasi ulang terhadap sastra oleh
kaum perempuan. Tahap ketiga, berusaha memecahkan
masalah-masalah teoretis, merevisi pelbagai asumsi teoretis
yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan
- 310 -
menulis yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-
laki.
- 312 -
perempuan berada dalam posisi kelas dua, tertindas dan
menjadi “budak”, khususnya mereka yang berada dalam taraf
ekonomi yang lemah. Perempuan mendapatkan penindasan
dari negara, suami dan keluarga patriarkat (Sa’dawi, 2001: 17).
Pada tahun 1973, Sa’dawi melakukan riset terhadap 160
perempuan Mesir dari berbagai kelompok sosial. Hasil riset
menunjukkan bahwa kekerasan seksual oleh laki-laki dewasa
terhadap anak-anak perempuan atau gadis-gadis muda adalah
yang paling sering terjadi. Kejadian dalam keluarga berpen-
didikan adalah 45% dan dalam keluarga yang tidak berpen-
didikan 33,7% (Sa’dawi, 2001: 38). Akibat kejadian tersebut,
banyak gadis Arab hidup dalam kegelisahan yang terus
menerus terhadap hilangnya keperawanannya sebelum malam
pertama dilalui. Perempuan yang tidak mengeluarkan darah
ketika berhubungan di malam pertama dianggap tidak
perawan lagi dan laki-laki kemudian cenderung menceraikan-
nya tanpa mau mengetahui sebab-sebabnya (Sa’dawi, 2001: 48).
Hasil riset juga menunjukkan 75,6% perempuan menikah
tidak berdasarkan cinta. Banyak istri yang membenci suaminya
namun tidak berani meminta cerai karena akibat yang akan
dideritanya. Kemiskinan dan ketiadaan sumber ekonomi
karena larangan bekerja ketika menjadi istri memainkan
peranan penting sebagai penyebab penderitaan para janda
yang mempertahankan kelangsungan hidup diri dan anaknya
(Sa’dawi, 2003a).
Persoalan penting yang dihadapi perempuan Arab adalah
kehamilan, baik setelah menikah maupun di luar nikah. Bila
seorang perempuan miskin hamil tanpa suami maka hidupnya
akan celaka. Ia harus membayar perbuatannya dengan seluruh
hidupnya meskipun ia sebenarnya tidak bersalah karena hanya
diperkosa dari orang kalangan atas dan kemudian tidak
bertanggung jawab. Para pembantu di bawah umur juga
- 313 -
banyak yang diperkosa oleh majikannya atau anak majikan
yang berada dalam taraf ekonomi yang lebih tinggi. Banyak
anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual baik
oleh bapaknya sendiri atau saudaranya dan tetangganya
(Sa’dawi, 2003a).
Dalam masyarakat pertanian Mesir, sebagian besar
perempuan bekerja keras di ladang, berdampingan dengan
seorang lelaki selama beberapa tahun. Ekonomi negara dan
produksinya dengan demikian tergantung pada petani laki-laki
dan perempuan. Perempuan desa dilarang untuk keluar rumah
kecuali untuk dieksploitir. Inilah keadaan yang menimpa
perempuan desa yang bekerja di ladang. Petani-petani perem-
puan yang bekerja di negara Arab merupakan jumlah terbesar.
Mereka berada di bawah kekuasaan mutlak laki-laki (Sa’dawi,
2001: 372-377).
Mesir dan negara Arab yang lain masih melihat bahwa
perempuan diciptakan dengan kodratnya untuk menjadi ibu
atau istri. Meskipun ia bekerja di luar rumah, ia kemudian
harus juga mengurus keluarga dan anak-anak dan melaksana-
kan tugasnya sebagai istri dan ibu. Kebanyakan sistem di
negara Arab masih jauh dari keadilan. Undang-undang perka-
winan masih memberikan hak kepada suami untuk melarang
istrinya bekerja. Seorang istri bekerja harus berdasar ijin suami.
Kebanyakan perempuan Mesir adalah petani yang
bekarja tanpa upah demi suami dan keluarga. Kenyataan ini
juga berlaku pada perempuan di negara-Arab lainnya. Hampir
seluruh perempuan yang bekarja adalah para petani. Karena
mereka bekerja tanpa upah maka para petugas sensus meng-
abaikan keberadaan mereka dan tidak dihitung sebagai tenaga
produktif. Perempuan-perempuan pekerja tersebut memainkan
peran penting dalam usaha pembebasan perempuan Mesir.
Sebagian dari mereka menolak menikah untuk menghindari
- 314 -
ketidakadilan dan perampasan hak sebagai istri dan
perempuan.
F. Contoh Analisis
- 315 -
membayar secara kontan atau menyerahkan tanah
untuk disita? (Sa’dawi, 2003b: 176)
- 316 -
laki-laki. Zakiyah sendiri juga sering dipukuli ketika
melahirkan anak perempuan.
Penguasa memanfaatkan tokoh lembaga agama untuk
melanggengkan kekuasaannya karena rakyat amat patuh pada
imam masjid. Dalam novel ini, tampak bahwa guru Hamzawi
(seorang imam masjid) menjadi kaki tangan Umdah. Lewat
khutbah-khutbah Hamzawi inilah, rakyat dibodohi dengan
mengatakan bahwa Umdah seorang pemimpin yang mulia.
Dalam kaitannya dengan kritik sastra feminis, yang
menjadi pusat perhatian adalah citra dan stereotipe wanita
dalam novel MRWA dengan kesadaran pembaca sebagai
wanita. Wanita dalam novel ini adalah Zakiyah, Zainab dan
Nafisah. Sebagai rakyat, para tokoh wanita ini dioposisikan
dengan tokoh laki-laki sebagai penguasa, yaitu Umdah, tuan
Zuhran, guru Hamzawi dan tabib Ismail. Kritik ini meneliti
kesalahpahaman mengenai wanita dan sebab-sebab mengapa
wanita diabaikan hingga ditemukan ideologi kekuasaan laki-
laki yang androsentris/ patriarkhis.
Berdasarkan penelusuran cerita, ditemukan citra dan
stereotipe wanita serta idiologi patriarkhis. Citra dan stereotipe
ini kemudian ditolak oleh Nawal Sa’dawi sebagai tokoh feminis
melalui tokoh Zakiyah yang merupakan transformasi diri
pengarang. Ia juga menolak ideologi patriarkhis yang berlaku
dalam budaya masyarakatnya.
Penolakan tersebut secara lebih jelas tampak pada
kutipan dan ulasan berikut ini:
1. Wanita distereotipekan sebagai manusia yang lemah,
lembut dan tidak memiliki kekuatan. Hal ini ditolak
pengarang melalui cerita Zakiyah yang setiap hari pergi ke
ladang untuk mencangkul dan menggembalakan kerbau
dari terbit fajar hingga petang menjelang.
- 317 -
ﺗ ﻮن زﻛﻴﺔ ﻗﺪ وﺻﻠﺖ،ء اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻗﺒﻞ أن ﻳﻨ ﺸﺮ ﻧﻮر اﻟ ﺎر وﺗ
،ﺣﺎﻓﺔ اﻟ ﻋﺔ اﻟﺴﺎﻗﻴﺔ ﻋ إ ﺣﻘﻠ ﺎ ور ﻄﺖ ا ﺎﻣﻮﺳﺔ
وﺧﻠﻌﺖ ﻃﺮﺣ ﺎ اﻟﺴﻮداء وﺷﻤﺮت أﻛﻤﺎﻣ ﺎ ورﻓﻌﺖ ذﻳﻞ ﺟﻠﺒﺎ ﺎ
ﻳﺮن..ور ﻄﺘﮫ ﺣﻮل ﺧﻀﺮ ﺎ ﺛﻢ ﺣﻤﻠﺖ اﻟﻔﺄس و ﺪأت ﺗﻔﺘﺢ رض
و ﻋﻀﻠﺖ ذراﻋ ﺎ،ا ﻘﻮل اﳌﺠﺎورة ﻗﻮ ﺎ ﺛﺎﺑﺘﺎ ﺻﻮت ﻓﺄﺳ ﺎ
ﺗﺮﻓﻊ اﻟﻔﺄس إ أﻋ ﻛﺄﻧﻤﺎ ﺗﻀﺮب ﺑﮫ اﻟﺴﻤﺎء ﺛﻢ...ﻗﻮ ﺔ ﻣﺸﺪودة
(٩ :ﻮي ﺑﮫ إ أﺳﻔﻞ )اﻟﺴﻌﺪوي
Sebelum sinar panas menyebar dan menyinari alam
semesta, Zakiyah telah sampai di ladangnya. Ia
menambatkan tali kerbaunya di tepi tanggul, mele-
paskan kerudung penutup kepalanya, menggulung
lengan baju, mengangkat ujung gamis dan mengikat-
nya di sekitar pinggul, kemudian mengambil cangkul
dan mulai menggarap tanah. Suara cangkul yang
melibas tanah itu menggema menyelusup ke lading-
ladang tetangga. Otot lengannya tampak menonjol…
dia mengangkat cangkul setinggi-tingginya, seolah
ingin meruntuhkan langit lantas menghujamkannya
keras ke bawah …
Dari kutipan di atas jelas bahwa seorang perempuan itu
juga kuat sebagaimana laki-laki dan mampu untuk
mengerjakan pekerjaan kasar seperti mencangkul dan
menggembala kerbau. Ideologi patriarkhis menganggap
bahwa laki-laki itu kuat sehingga berkuasa dan menguasai
perempuan yang dianggap lemah. Ideologi ini ditolak
karena perempuan pun juga memiliki kekuatan fisik yang
sama jika sudah terbiasa bekerja sejak kecil.
2. Wanita hanya dipandang dari aspek fisiknya saja; memiliki
lekuk tubuh yang indah dan menggaerahkan laki-laki.
Laki-laki yang mengikuti budaya patriarkhi menganggap
wanita sebagai barang yang menyenangkan, yang bisa
- 318 -
dipakai kapan mereka suka. Ia dipandang bukan dari
aspek manusia yang memiliki kemampuan dan sumber
daya manusia, tetapi dianggap sebagai barang yang menarik
untuk dicicipi dan dinikmati. Laki-laki memandang wanita
dari aspek fisik untuk kepentingan seksualitas, seperti
memiliki tubuh yang indah dan cantik.
ﺬﻩ ﺸﺒﮫ:وﻗﺮب اﻟﻌﻤﺪة رأﺳﮫ ﻣﻦ رأس ا ﺎج إﺳﻤﺎﻋﻴﻞ وﻗﺎل
أﺧ ﺎ ﺻﻐﺮ، إ ﺎ ز ﺐ: ورد ا ﺎج اﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺴﺮﻋﺔ.ﻧﻔ ﺴﮫ
... . ﻟﻢ أﻛﻦ أﻋﺮف أن ﻧﻔ ﺴﺔ ﻟ ﺎ أﺧﺖ:وﺳﺄل اﻟﻌﻤﺪة. ﻳﺎ ﻋﻤﺪة
ﺳﻜﺖ اﻟﻌﻤﺪة... ﺻﻐﺮ داﺋﻤﺎ أﺣ... .ﻣﻦ ﻌﺾ ﺛﻨﺎن أﺣ
ﺴ ﻓﻮق ﻳ ﺐ اﻟﻔﺎرع اﳌﺸﻮق و.ﻃﻮ ﻼ وﻋﻴﻨﺎﻩ ﺗ ﺒﻌﺎن ﺟﺴﺪ ز
ردﻓﺎ ﺎ اﳌﺴﺘﺪﻳﺮان ﻳﻀﺮ ﺎن ا ﻠﺒﺎب اﻟﻄﻮ ﻞ ﻣﻦ.ا ﺴﺮ
و ﺪا ﺎ اﳌﺪﺑﺒﺎن ﻳﺼﻌﺪان و ﺒﻄﺎن ﻣﻊ ﺣﺮﻛﺔ ﺳﺎﻗ ﺎ،ا ﻠﻒ
اﻟﻄﻮ ﻠﺘ ن اﳌﻤﺸﻮﻗﺘ ن اﳌﻨ ﻴﺘ ن إ ﻛﻌﺒ ن ﻧﺎﻋﻤﻴﺖ ﻣﺘﻮردﻳﻦ
(٢٦-٢٥ :)اﻟﺴﻌﺪوى
Umdah mendekatkan kepalanya ke haji Ismail dan
berkata” Perempuan itu mirip dengan Nafisah”. “Dia
Zainab adiknya, jawab haji Ismail spontan. Umdah
bertanya lagi,” aku tidak tahu jika Nafisah mamiliki
adik”… dan seorang adik itu biasanya lebih
manis… Umdah terdiam sekian lama. Kedua
matanya terfokus pada tubuh Zainab yang tinggi
langsing yang berjalan melintas tanggul. Pantatnya
yang padat bundar menggerak-gerakkan gamisnya
yang panjang dari belakang. Buah dadanya yang
kenyal bergoyang-goyang bersamaan dengan gerak
kakinya yang panjang langsing yang berujung pada
dua mata kaki yang berwarna merah lembut.
- 323 -
berwarna hitam, menggulung lengan baju,
mengangkat ujung gamis dan mengikatnya di
sekitar pinggul. Lantas mengambil cangkul dan
mulai menggarap tanah. …Otot-otot lengannya
tampak menonjol...hentakan-hentakan cangkulnya
ganas menikam tanah, seperti wajahnya. Dia
mengangkat cangkul setinggi-tingginya, seolah ingin
meruntuhkan langit, lantas menghujamkannya keras
ke bawah seolah-olah ingin menghancurkan isi bumi
(MS, 2003: 3).
Dari kutipan tersebut, tampak bahwa perempuan sejajar
dengan laki-laki. Tidak hanya laki-laki saja yang kuat fisiknya
dan kemudian kerja di luar rumah untuk mencari nafkah, tetapi
perempuan pun mampu melakukannya. Dengan demikian,
stereotipe bahwa laki-laki lebih kuat fisiknya dan perempuan
itu lebih lemah dapat di tolak oleh novel ini.
- 325 -
“Lelaki itu menatap kedua kakinya yang tidak
beralas dan pecah-pecah dipenuhi debu dan tanah
lantas berkata,”Sudah lamakah engkau berjalan?”.
Perempuan itu berkata sambil menatap ke depan,
”Ya”. “Sepanjang malam?” tanyanya lebih lanjut.
“Ya”, jawabnya... lelaki itu terdiam dan memandang
ke depan kemudian berkata,” malam amat berba-
haya”. Perempuan itu pun berkata sambil masih
berjalan ke arah jalan,”malam lebih aman dari
siang, paman”. (MS, 2003: 38).
Keberanian mengambil resiko juga diperankan oleh tokoh
Fathiyah, istri Guru Hamzawi. Keberanian Fathiyah ini tampak
ketika rakyat mengepungnya untuk membunuh anak angkat-
nya yang diduga sebagai anak haram dan penyebab musibah
kebakaraan dan kesengsaraan rakyat desa. Fathiyah berlari
dengan menggendong anaknya dan kemudian sempat ber-
tarung mempertahankan diri dan anaknya hingga akhirnya ia
terpelanting bersama anaknya dan meninggal dunia.
- 328 -
dari laki-laki. Wanita yang tidak tunduk pada perintah laki-laki
(bapak, penguasa desa) dicambuk sebagaimana binatang.
- 329 -
Kedua mata lelaki itu pun mulai liar memandangi
tubuhnya...jika saja perempuan itu berpaling dan
menyunggingkan senyuman kepadanya sekarang,
maka lelaki itu akan menyandarkan kepala di
dadanya... (MS, 2003: 36,39)
Umdah menyeka air mata dengan telapak tangan-
nya. Umdah merasakan aliran darah panas menjalar
di dadanya. Dia beringsut semakin mendekatinya...
Umdah hampir saja memeluknya... Tapi ia tidak
ingin membuat Zainab ketakutan. Ia harus bersabar
sebentar (MS, 2003: 160).
Zainab menjerit karena tubuhnya jatuh ke lantai.
Sebelum ia menapakkan telapak tangannya ke
lantai untuk mengangkat tubuhnya dan bangkit,
lengan Umdah telah berada di atas pinggulnya
sambil merapatkan tubuhnya (MS, 2003: 165)
IV. Ringkasan
1. Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-
laki dan perempuan dalam bidang politik, ekonomi,
sosial atau kegiatan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita
2. Metode analisis kritik sastra feminis didasarkan pada
macam-macam kritiknya, yaitu sebagai berikut.
a. Woman as Reader (wanita sebagai pembaca)
Woman as Reader menempatkan wanita sebagai kon-
sumen dari produk sastra laki-laki dan pembaca
wanita merubah pengertian terhadap teks. Kritik ini
membangunkan kita untuk menandai kode-kode
seksual. Melalui pendekatan “Images of Woman” kritik
ini menentukan bagaimana karakter perempuan
tergambar dalam karya sastra.
- 330 -
b. Wanita sebagai penulis (Ginokritik).
Subyek kritik ini di antaranya psikodinamis krea-
tivitas wanita, linguistik dan masalah dalam bahasa
wanita, karir sastra wanita kolektif, sejarah sastra,
dan studi tertentu terhadap penulis dan karyanya.
Fokus kritik ini adalah wanita sebagai penulis.
c. Reading as Woman
Yang dimaksud dengan Reading as Woman adalah
pembaca yang memandang sastra dengan kesadaran
khusus bahwa ada jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan.
Jenis kelamin ini menimbulkan berbagai perbedaan
perlakuan, baik perbedaan yang ada dalam diri
pengarang, karya sastra, pembaca atau kesemestaan
yang diacunya.
d. Kritik Moral
Kritik moral muncul karena adanya anggapan bahwa
wanita sebagai objek, wanita tidak diperlakukan
sebagai manusia yang berhak menyusun kesadaran-
nya, wanita itu obyek-obyek yang digunakan untuk
mengfasilitasi laki-laki. Dimensi estetik sastra tak
dapat dipisahkan dari dimensi moral.
e. Feminisme Politis
Sebab penindasan wanita adalah patriarkhi yang
telah meletakkan wanita di bawah laki-laki.
Patriarkhi memperlakukan perempuan sebagai laki-
laki yang inferior. Mereka menggunakan kekuatan
untuk membatasi wanita. Menurutnya demokrasi
tidak begitu berpengaruh karena wanita masih terus
dikuasai oleh suatu sistem peranan kejenisan yang
telah menguasai wanita sejak muda.
- 331 -
DAFTAR PUSTAKA
- 332 -
of Eve Woman in the Arab World). Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Saadawi, Nawal -2003a. Wajah Telanjang Perempuan (dialih-
bahasakan oleh Azhariah dari Al-Wajhu Al-Ari Lil Mar’a
Al-Arabiyyah). Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Saadawi, Nawal -2003b. Matinya Seorang Laki-Laki (dialih
bahasakan oleh joko Suryatno dari Mautu ar Rajul al
Wahi:di ala al Ardhi. Yogyakarta: Jendela.
Saadawi, Nawal. 1999. Mautu ar Rajul al Wahi:di ala al Ardhi.
Iskandariyah: Dar wa matabi’ al-mustaqbal
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary
Theory.British: The Harvester Press hal 128-147).
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini
(diterjemahkan oleh Rh. Djoko Pradopo dan Imran T.
Abdullah dari A Reader’s Guide to Contemporary
Literary Theory). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.hal.135-155
Showalter, Elaine. 1985. The New Feminist Criticism, New York:
Basil Blackwell
Suryami. 2001. Eksistensi Perempuan dalam Kumpulan Puisi Mimpi
dan Pretensi Karya Toeti Heraty.Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa
- 333 -
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 334 -
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode analisis
resepsi sastra. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis resepsi sastra. Pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian hermeneutik. Mahasiswa diharapkan mem-
pelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.
- 335 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan
dapat:
mendeskripsikan teori resepsi sastra, dan dapat menerapkan
teori tersebut dalam teks prosa Arab.
- 336 -
genre sastra, yang seringkali lebih radikal dan tidak selalu lebih
produktif. Oleh karena itu, empat wilayah reseptif yang meliputi
teks, pembaca, interpretasi, dan sejarah sastra, perlu
direfleksikan kembali agar perbedaan ramifikasi dan limitasi-
nya dengan kecenderungan lain dalam kritik sastra kontem-
porer menjadi lebih tampak.
Hans Robert Jauss merupakan tokoh teori resepsi. Jauss
dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan
sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersem-
bunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep
yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik
atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah
yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya
sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu
menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan
estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya
seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-
masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya sastra
mendapat makna dan fungsinya.
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan
bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-
macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi
pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaan-
nya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang
berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Peng-alaman
pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara
tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya
hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini,
kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta
literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang
dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya. (Jauss 1983: 21)
- 337 -
Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya
sastra dalam bentangan historis berkenaan dengan pemaha-
mannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi
bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan
kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman kesas-
trannya. Pada tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap
sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan
dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari
pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk
dan permasalahan moral yang ditinggalkan oleh karya
sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan
baru.
Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama
dalam teori resepsi adalah pembaca karya sastra di antara jalinan
segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca.
Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mem-punyai
kekuatan pembentuk sejarah. Dalam pandangan Jauss (1983: 12)
suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa tertentu
berdasarkan suatu horizon penerimaan tertentu yang
diharapkan.
7 tesis Jauss adalah sebagai berikut:
1. Pembaharuan sejarah sastra menuntut pembuangan pra-
sangka objektivisme historis dan estetika karya sastra dan
penggambaran kenyataan yang tradisional. Karya sastra
adalah orkestrasi yang selalu memberi hal-hal baru bagi
pembacanya.
2. Analisis pengalaman kesastraan pembaca menyisihkan
perangkap-perangkap psikologi yang mengancam-menen-
tang kan skeptisisme-luas
3. Horison harapan- jarak estetik dapat diobjektivikasikan- ada
perubahan horison
4. Ada rekonstruksi horison harapan
- 338 -
5. Teori estetika resepsi tidak hanya menuntut makna dan
bentuk karya sastra dalam penjelasan historis melainkan
menuntut pula kerja individual
6. Analisis sinkronis dan diakronis
7. Sejarah umum
Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan
bahwa karya sastra sejak awal kemunculannya selalu men-
dapatkan tanggapan pembacanya. Apresiasi pembaca pertama
terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tang-
gapan-tanggapan pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14).
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu
yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang
meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang
memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut.
Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca
yang lain disebabkan adanya perbedaan horizon harapan dari
masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa
setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya
penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan
penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya
seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya.
Pradopo (2007: 210-211) mengemukakan bahwa pene-
litian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis merupakan
penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu
periode. Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada
dalam satu periode. Sedangkan penelitian diakronis merupa-
kan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang
menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap
periode. Karya sastra menurut perspektif estetika resepsi
merupakan gambaran relitas sosial sehingga dapat dibuat
sejarah, dan bukan sebagai imitasi.
- 339 -
B. Horizon Harapan
Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya
sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai
wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison
harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk
masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk
dan pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya yang
telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis.
Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan
kondisi tersebut, teks karya sastra mampu mensti-mulus proses
psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang
dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut meng-
implikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang
dibacanya.
Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat
pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan
seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut
Segers (dalam Pradopo 2007: 208) horizon harapan ditentukan
oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang
terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua,
ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks
yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi
dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami,
baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun
dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Hal ini terilhami oleh penyataan Jauss bahwa horizon
harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi (1) pengetahuan
pembaca mengenai genre-genre sastra; (2) pengetahuan dan
pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka
dapat melalui pengalaman membaca karya sastra; (3) penge-
tahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa
- 340 -
sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra pada
umumnya; dan (4) sidang pembaca bayangan.
Kehadiran makna suatu karya sastra oleh pembaca
merupakan jawaban dari persepsi pembaca yang juga menun-
jukkan horizon harapannya. Horizon harapan ini merupakan
interaksi antara karya seni di satu pihak dan sistem interpretasi
dalam masyarakat pembaca di lain pihak. Interpretasi pembaca
merupakan jembatan antara karya sastra dan sejarah, dan antara
pendekatan estetik dengan pendekatan historis. Dengan kata
lain, penerimaan pembaca sebenarnya tidak dapat dielakkan
menjadi bagian dari ciri estetik atau fungsi sosialnya. Kehidupan
historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif
pembaca. Horizon harapan pembaca meng-ubah penerimaan
sederhana menjadi pemahaman kritis, dari penerimaan pasif
menjadi aktif, dari norma estetik yang dimilikinya menjadi
produksi baru yang mendominasi.
Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama
dijembatani oleh horizon-horizon harapan pengalaman kesas-
traan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang
(Jauss 1983: 21). Horizon harapan tidak hanya berhubungan
dengan aspek sastra dan estetika, melainkan juga menyangkut
aspek lain, yaitu: (1) hakikat yang ada disekitar pembaca, yang
berhubungan dengan seks, pekerjaan, pendidikan, tempat
tinggal, dan agama; (2) sikap dan nilai yang ada pada pembaca;
(3) kompetensi atau kesanggupan bahasa dan sastra pembaca;
(4) pengalaman analisanya yang memungkinkannya
mempertanyakan teks; dan (5) siatuasi penerimaan seorang
pembaca.
Konsep horizon harapan yang menjadi teori Jauss (1983:
24) ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) norma-norma umum
yang keluar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca; (2)
pengetahuan dan pengalaman pembaca atau semua teks yang
- 341 -
telah dibaca sebelumnya; dan (3) pertentangan antara fiksi dan
kenyataan, misalnya kemampuan pembaca memahami teks
baru baik dari harapan-harapan sastra maupun dari penge-
tahuan tentang kehidupan.
Estetika resepsi adalah suatu ajaran yang menyelidiki teks
sastra dengan dasar reaksi pembaca yang riil dan mungkin
terhadap suatu teks sastra. Dalam kaitannya dengan orientasi
karya sastra yang dikemukakan Abrams, resepsi sastra ber-
orientasi pragmatis (Teeuw, 1983: 59). Karya sastra ditujukan
kepada pembaca untuk kepentingan pembaca. Pembacalah yang
menentukan makna dan tanpa tanggapan pembaca maka sebuah
Karya sastra tidak dapat dikatakan bernilai. Teori ini dapat
dilakukan untuk menyusun sejarah sastra, yaitu penyusunan
sejarah sastra berdasarkan tanggapan pembaca. Estetika resepsi
membicarakan sejarah karya sastra itu sendiri yang selalu
berubah tanggapannya oleh pembaca.
Perbedaan dalam menanggapi karya sastra itu terjadi
akibat adanya cakrawala harapan yang berbeda-beda.
Cakrawala harapan adalah harapan pembaca terhadap karya
sastra. Cakrawala harapan itu akan dipengaruhi oleh pen-
didikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan dalam
menanggapi karya sastra. Cakrawala harapan menurut Segers
dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu (1) norma-norma sastra yang
pernah dibaca, (2) semua teks yang sudah pernah dibaca, dan (3)
pertentangan antara fiksi dan kenyataan,
Horison harapan pembaca akan selalu berkembang karena
pengalaman yang dimiliki pembaca juga berkembang seiring
perkembangan waktu. Tanggapan pembaca dari waktu ke
waktu akan selalu berkembang sesuai dengan horison
harapannya. Oleh karena itu pembaca dianggap penting dalam
teori estetika resepsi.
- 342 -
Horison pembaca (horizon of expectation) memungkinkan
terjadinya penerimaan dan pegolahan dalam batin pembaca
terhadap teks sastra. Horison harapan pembaca yang bersifat
estetis berupa penerimaan unsur-unsur strukjtur pembangun
karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, dan sebagainya.
Bagi Jauss, karya sastra memiliki implikasi estetik dan historis.
Implikasi estetik muncul apabila sebuah teks dibandingkan
dengan teks lain yang telah dibaca, dan implikasi historis
muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian
penerimaan atau resepsi sebelumnya.
c. Macam-macam pembaca
Penafsiran teks terjadi akibat adanya pertemuan antara
pembaca dan teks sastra. Pembacalah yang memberikan makna
terhadap teks. Dalam menanggapi karya sastra, pembaca selalu
membentuk unsur estetik melalui pertemuan antara horizon
harapan, bentuk teks, dan norma-norma sastrawi yang berlaku.
Pembaca selaku pemberi makna akan senantiasa ditentukan oleh
ruang, waktu, golongan sosial, budaya dan pengalam-annya.
Implikasi estetik terhadap suatu karya sastra terletak pada
kenyataan bahwa resepsi pertama suatu karya oleh pembaca
mencakup pengujian nilai estetiknya dalam perban-dingannya
dengan karya-karya yang sudah dibaca. Kejelasan implikasi
historis mengenai hal ini ialah pemahaman pembaca pertama
akan ditopang dan diperkaya dalam sebuah rantai resepsi dari
generasi ke generasi sehingga makna historis suatu karya akan
diputuskan dan nilai estetiknya dibuktikan (Jauss 1983: 20;
Rokhmansyah, 2011)
Pembaca memungkinkan untuk menampilkan makna
secara tak terbatas, baik pembaca sezaman maupun pembaca
dalam konteks sejarah. Pembaca jelas berbeda antara satu
dengan yang lain, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas
- 343 -
sosial, dan wilayah geografis. Pembaca dalam teori resepsi
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu pembaca biasa
dan pembaca ideal.
Pembaca biasa merupakan pembaca dalam arti sebe-
narnya, yaitu yang membaca suatu karya sastra, bukan sebagai
bahan penelitian. Penelitian untuk pembaca ini dapat dilaku-kan
secara diakronik maupun sinkronik. Adapun pembaca ideal
adalah pembaca yang berpengetahuan. Pembaca ini adalah
pembaca yang kompeten dalam pengetahuan maupun
penguasaan bahasa yang digunakan dalam karya sastra.
pembaca ideal dapat dikatakan sebagai pembaca yang ahli
dalam bidang sastra. Pembaca ini adalah pembaca yang
melakukan pembacaan secara mendalam. Pembaca peneliti
masuk dalam kategori ini.
Pada waktu melakukan interpretasi suatu teks, pembaca
sudah mempunyai bekal yang berkaitan dengan karya yang
dibacanya. Bekal pengetahuan inilah yang selanjutnya
menyediakan kepada si pembaca satu cakrawala harapan.
Kedalaman bekal pembaca diangkat dari gudang pengetahuan
dan pengalamannya, yaitu gudang pembaca yang berisikan
seperangkat norma-norma sosial, historis, dan budaya yang
dimanfaatkan dalam proses pembacaannya (Rokhmansyah,
2011).
Bekal pembaca senantiasa bertambah dan berubah. Latar
belakang pengetahuan mereka berbeda sehingga hasil
penerimaan dan tanggapannya berbeda pula. Keadaan ini
memperlihatkan gejala bahwa dalam tindak pembacaan terjadi
interaksi dialog antara pembaca dengan teks yang dibacanya
yang selanjutnya melahirkan beragam makna. Kehadiran ragam
makna tersebut menunjukkan bahwa sebuah teks jika belum
dibaca, ia masih berada dalam tatanan artefak yang tidak
tersusun rapat. Karya sastra akan berubah menjadi karya seni,
- 344 -
yaitu menjadi objek estetik dan berfungsi estetik, setelah dibaca
atau ditanggapi. Ketika dilakukan pembacaan, teks serasa
bergoyang dan terdapat celah-celah kosong yang dapat diisi oleh
pembaca dengan interpretasinya terhadap teks yang dibaca
(chamamah Soeratno, 2002).
D. Teori penerimaan
Tokoh estetika resepsi dari Jerman, Wolfgang Iser, semasa
dengan Jauss. Beliau membicarakan konsep Wirkung
(pengaruh), yaitu cara sebuah teks mengarahkan reaksi-reaksi
pembaca kepadanya. Teks sastra itu tidak dapat disamakan
dengan objek-objek nyata dari dunia pembaca atau dengan
pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Kurangnya keter-
kaitan antara teks sastra dengan objek nyata tersebut
menghasilkan area ketidakpastian (unbestimmheit). Teks sastra
secara luas dapat didefinisikan sebagai indeterminasi yang
seharusnya tidak hadir dalam tulisan. Secara internal, teks sastra
dikarakterisasi oleh gap-gap atau bagian-bagian indeterminasi.
Hal itu tidak dianggap cela tetapi justru dianggap sebagai
elemen dasar dalam respon estetis (1971: 12 dalam segers, 2000:
36). Gap-gap tersebut merupakan faktor penting dalam
pengaruh yang dikeluarkan oleh teks karena tugas pembaca
adalah untuk mengisinya ruang kosong tersebut (Segers,
2000:36).
Iser menyatakan bahwa fiksi itu bukanlah satu entitas
(kesatuan) yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu
struktur komunikasional. Fokus tidak lagi pada arti dan makna
sastra tetapi pada apa pengaruhnya bagi pembaca. Ini berarti
perhatian difokuskan pada dimensi pragmatik sebuah teks.
Yang dimaksud pragmatik Iser adalah sejalan dengan Morris,
yaitu relasi tanda-tanda tekstual dengan penafsirnya (Iser, 1978:
54 dalam segers, 2000: 40 dalam Jabrohim: 148). Iser menyebut
- 345 -
karya sastra sebagai performative utterance “pengungkapan
performatif”. Hal ini berarti karya sastra harus didasarkan pada
tiga kriteria, yaitu ekspresi pengarang, penggunaan konvensi,
dan partisipasi pembaca.
Ekspresi pengarang seharusnya konvensi yang juga
berlaku bagi penerima (repertoire), yaitu seperangkat norma-
norma sosial, historis dan budaya yang yang diungkapkan oleh
teks yang berasal dari ide filosofis dan sosial yang berlaku
dalam masyarakat pada waktu karya itu diciptakan. Adapun
penggunaan konvensi itu seharusnya disesuaikan dengan
konteks komunikasi. Konvensi harus diarahkan pada prosedur
yang dapat diterima, dapat dikomunikasikan dengan
pembacanya. Sedangkan partisipasi pembaca untuk mau
melakukan komunikasi atau realisasi teks.
Partisipasi pembaca untuk mengungkapkan citraan sastra
dimungkinkan karena pada hakekatnya, dalam teks sastra itu
terdapat tempat-tempat kosong yang menjadi tempat bagi
pembaca untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi.
Kondisi teks seperti inilah yang menimbulkan berbagai ragam
pemaknaan. Teks dan pembaca dengan demikian saling
berdialog (Jauss 1974) dan berinteraksi (Iser 1978). Dalam proses
interaksi tersebut, wujud struktur yang terdapat dalam teks
berperan memberi arahan kepada pembaca yang diangkat dari
repertoire sehingga lahirlah realisasi teks. Teks dan pembaca
sama-sama aktif. Jadi resepsi sastra memberikan penghargaan
penting terhadap keberadaan pembaca.
Setiap tindak pembacaan terdapat dua kutub, yaitu artistik
dan estetik. Kutub artistik mengacu kepada teks yang diciptakan
oleh sang pengarang. Kutub estetik mengacu pada realisasi yeng
terwujud dalam proses pembacaan (Iser, 1975 dalam Chamamah
2002: 149). Jadi resepsi sastra berfungsi menempatkan pembaca
- 346 -
dan proses pembacaan dalam konteks komunikasi dan juga
memperlihatkan suatub teks dalam sejarah perkembangannya.
Iser berdasarkan Ingarden mencurahkan perhatian kepada
potensi yang terkandung dalam karya seni untuk mengadakan
efek tertentu kepada pembaca. Ingarden mengatakan bahwa
karya sastra itu tidak mengikat pembaca secara penuh tetapi
memberikan tempat kosong yang diserahkan pembaca dalam
pengisiannya. Pembaca hanya diarahkan oleh bunyi dan arti
teks dan kemudian mengisi tempat kosong untuk proses
konkretisasi. Tempat kosong itu mengaktifkan daya cipta
pembaca dan menciptakan perspektif dalam bagi sebuah teks
(Innerperspektif) (Teeuw, 1984: 202-203).
Teori penerimaan Iser berdasarkan pada idiologi
humanisme liberal: suatu kepercayaan bahwa dalam membaca
kita harus bersikap luas dan mempunyai akal pikiran yang
terbuka bersedia mempersoalkan kepercayaan kita sendiri dan
mengizinkannya diubah (Eagleton, 1988: 87). Studi yang terkait
dengan teks sastra dan pembaca memerlukan ilmu lain, seperti
semiotik (ilmu tanda untuk mengungkapkan ketandaan teks
sastra), sosiologi sastra untujk mengungkapkan latar belakang
yang membuat komunikasi berkembang dan psikologi sastra
untuk memberi bantuan metodologik dalam meneliti pengaruh
teks terhadap sekelompok pembaca (Segers, 1978: 55, dalam
Chamamah, 2002: 150).
Jauss berorientasi pada bekal pembaca dan seterusnya
digunakan untuk penyusunan sejarah sastra. Iser berorientasi
pada efek teks pada pembaca dan proses pembacaan. Fish
berorientasi pada penyajian tataran gramatikal. Riffaterre
berorientasi pada tanggapan pembaca. Norman Holland
berorientasi pada psikologi sastra. David Bleich dan segers
berorientasi pada penilaian. Dalam pandangan Iser, tugas
kritikus bukan menerangkan teks sebagai obyek melainkan lebih
- 347 -
menerapkan efeknya kepada pembaca. Kodrat teks itulah yang
memungkinkan adanya keanekaragaman kemungkinan
pembacaan sehingga muncul macam-macam pembaca.
- 348 -
penelitian pragmatik yaitu penelitian sastra yang
menitikberatkan pada aspek pembaca sebagai penyambut karya
sastra.
- 349 -
penelitian eksperimental berarti terfokus pada penelitian
sinkronik.
Penelitian resepsi juga dapat dilakukan dengan jalan kritik
sastra. Pembaca sebagaimana dikatakan oleh Vodicka sebagai
pemeran konkretisasi karya sastra. Dalam kaitannya dengan
resepsi melalui kritik sastra, Vodicka meneliti resepsi penyair
Tsjeko dalam rangka perkembangan sastra modern. Menurut
Vodicka, peneliti harus sadar bahwa yang penting dalam karya
sastra bukanlah tanggapan seorang individu, melainkan
pengritik yang baik mau mewakili norma sastra yang terikat
pada masa tertentu atau pada golongan masyarakat tertentu.
Adapun pendekatan lain terhadap penelitian resepsi
adalah intertekstualitas, penyalinan di mana penyalin
memberikan tanggapan atau catatan, tambahan terhadap
salinannya, penyaduran dengan menyesuaikan dengan norma-
norma baru sehingga muncul pergeseran horison harapannya,
dan penerjemahan.
Penelitian resepsi sastra pada dasarnya merupakan
penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks. Reaksi termaksud
dapat positif dan juga negatif. Resepsi yang bersifat positif,
mungkin pembaca akan senang, gembira, tertawa, dan segera
mereaksi dengan perasannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran
Mukarovsky (Fokkema, 1977:1347) bahwa peranan pembaca
amat penting yaitu sebagai pemberi makna teks sastra. Karya
sastra hanya artefak yang harus dihidupkan kembali dan diberi
makna oleh pembaca sehingga menjadi obyek estetik.
Pendekatan yang sering digunakan oleh peneliti resepsi
adalah fenomenologi. Peneliti resepsi mencermati gejala yang
tampak pada si pembaca teks sastra, berterima atau tidak
terhadap teks yang dibaca (Ingarden, dalam Iser, 1978:170).
Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum
dikatakan lengkap karena hanya menghadirkan bentuk
- 350 -
skematik dan sejumlah “tempat tanpa batas” yangb perlu
dilengkapi secara individual menurut penghalamannya akan
karya-karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks lain
yang dikenal dengan model sastra perbandingan, dianggap
belum sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi
struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretasi atau
penyelarasan atau pengisian makna oleh pembacanya
berdasarkan pengalaman yang dimilikinya.
IV. Ringkasan
1. Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks
sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi
sambutan atau tanggapan
2. 7 tesis Jauss terdiri atas (1) Pembaharuan sejarah sastra
menuntut pembuangan prasangka objektivisme historis dan
estetika karya sastra dan penggambaran kenyataan yang
tradisional. (2) Analisis pengalaman kesastraan pembaca
menyisihkan perangkap-perangkap psikologi yang
mengancam-menentang kan skeptisisme-luas, (3) Horison
harapan- jarak estetik dapat diobjektivikasikan- ada
perubahan horison, (4) Ada rekonstruksi horison harapan,
(5) Teori estetika resepsi tidak hanya menuntut makna dan
bentuk karya sastra dalam penjelasan historis melainkan
menuntut pula kerja individual, (6) Analisis sinkronis dan
diakronis, dan (7) Sejarah umum.
3. Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya
sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai
wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya.
4. Horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi (1)
pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra; (2)
pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk
sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca
- 351 -
karya sastra; (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap
pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-
hari atau bahasa nonsastra pada umumnya; dan (4) sidang
pembaca bayangan.
5. Setiap tindak pembacaan terdapat dua kutub, yaitu artistik
dan estetik. Kutub artistik mengacu kepada teks yang
diciptakan oleh sang pengarang. Kutub estetik mengacu
pada realisasi yeng terwujud dalam proses pembacaan.
6. Menurut Segers, penelitian estetika dapat dilakukan
melalui angket dengan mengelompokkan pembaca ke
dalam (1) kelompok umum,(2) kelompok Mahasiswa, (3)
kelompok sastrawan, dan (4) kelompok guru atau dosen
sastra.
- 352 -
DAFTAR PUSTAKA
- 353 -
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
- 354 -
LATIHAN
بالتوفيق والسداد
- 355 -
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode
hermeneutik kaitannya dengan analisis sastra. Pada akhir bab,
akan disajikan rangkuman dan latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
analisis hermeneutik. Pada bab selanjutnya akan dipelajari
tentang kajian interdisipliner. Mahasiswa diharapkan mem-
pelajari dengan baik materi ini dengan baik agar dapat
mengikuti materi berikutnya dengan mudah.
- 356 -
III. Capaian Pembelajaran MK
A. Pengertian
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari
istilah Yunani, yaitu kata kerja herme>neuein, yang berarti
“menafsirkan”, dan kata benda herme>neia, yang berarti “inter-
pretasi atau penafsiran” (Palmer,2003:14). Kata ini kemudian
diasosiasikan pada dewa Hermes. Palmer menjelaskan bahwa
mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang
diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga
makna dasar dari kata kerja herme>neuein, yaitu mengungkap-
kan kata-kata, menjelaskan dan menerjemahkan.
Secara terminologis, terdapat banyak pengertian yang
diberikan para tokoh mengenai hermeneutik yang semuanya
berpangkal pada interpretasi. Hermeneutik merupakan usaha
untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang
lebih terang. Jadi, dalam waktu seseorang menafsirkan sesuatu,
ia melewati suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas menuju
ke yang lebih jelas. Bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah
menjadi bentuk pemikiran yang lebih jelas itulah menafsirkan
(Hardiman, 2002).
Sebagai tokoh sastra, Abrams (1981) memberikan
pengertian hermeneutik dalam makna luas dan sempit dalam
kaitannya dengan interpretasi karya sastra. Menurutnya,
menginterpretasi karya sastra dalam makna sempit berarti
- 357 -
menerangkan arti bahasanya dengan cara analisis, paraphrase,
dan mengomentarinya. Fokus utama interpretasi adalah pesan
yang masih kabur dan tidak jelas, ambiguitas dan penuh kiasan.
Dalam makna luas, menginterpretasi karya sastra berarti
membuat jelas arti keseluruhan karya sastra dengan meng-
gunakan bahasa sebagai mediumnya. Interpretasi dalam arti
luas ini mencakup penafsiran berbagai aspek seperti genre (jenis-
jenis karya), elemen-elemen, struktur, tema dan pengaruhnya.
Bleicher (Permata, 2003 pen.) mengatakan bahwa herme-
neutik secara umum berarti suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna. Di dalam kelompok sastra Anglo Amerika,
istilah hermeneutika juga disinonimkan dengan interpretasi.
Referensi utamanya adalah pemahaman teks, khususnya teks
teologi (Hawthorn, 1994).
Hermeneutik pada mulanya digunakan untuk menafsir-
kan kitab suci. Di dalam mitologi Yunani ada tokoh bernama
Hermes. Menurut mitos, Hermes bertugas menafsirkan
kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Jadi hermeneutik kitab suci artinya menafsirkan kehendak
Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab
suci (Hardiman, 2002).
Sejak abad 19, istilah “hermeneutik” digunakan untuk
menandai teori umum tentang interpretasi (Abrams, 1981,
Beckson & Ganz, tt). Oleh karena itu, formulasi prosedur dan
prinsipnya mencakup penangkapan arti pada seluruh teks yang
ditulis, termasuk keabsahannya, pemaparannya, dan kesastra-
annya sebagaimana ada dalam teks injil (Abrams, 1981). Jadi
sejak abad ke-19 pengertian itu diperluas dalam berbagai
bidang; menafsirkan karya sastra, hukum atau teks-teks ilmu
sosial (Becson & Ganz, tt). Sejak abat 19, hermeneutik sudah
tidak sekedar digunakan untuk interpretasi teks kitab suci saja
- 358 -
melainkan sudah digunakan untuk menafsirkan berbagai
bidang ilmu, khususnya ilmu humaniora (Geisteswissenschaften).
Definisi terminologis di atas akan lebih jelas jika dikaitkan
dengan definisi terminologis yang dikemukakan oleh Palmer
(2003: 38) berikut ini. Menurut Palmer, ada enam definisi
modern hermeneutik. Definisi ini cenderung bersifat historis,
kronologi makna interpretasi. Enam definisi yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
- 359 -
Pengertian ini berangkat dari pendapat Schleiermacher
yang punya distingsi tentang pemahaman hermeneutika sebagai
“ilmu” atau “seni” pemahaman. Hermeneutik dalam pengertian
ketiga ini merupakan sistematisasi-koherensi, seba-gai ilmu
yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam
semua dialog. Hermeneutik tidak lagi filologis melain-kan
hermeneutik umum yang prinsip-prinsipnya dapat diterapkan
dalam semua ragam interpretasi teks.
- 360 -
6. Hermeneutik sebagai sistem interpretasi: menemukan makna
melalui ikonoklasme
Menurut Paul Recoeur, hermeneutika berfokus pada
eksegesis tekstual. Hermeneutika adalah teori tentang kaidah-
kaidah yang menata sebuah eksegesis. Hermeneutika adalah
sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dianggap sebagai sebuah teks.
Interpretasi mimpi termasuk hermeneutik. Mimpi adalah teks,
teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik. Psikoanalisa
menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan
penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna
tersembunyi. Obyek interpretasi adalah teks dalam pengertian
yang luas. Obyeknya dapat berupa mimpi, mitos-mitos dalam
masyarakat atau karya sastra. Ricoeur membedakan simbul
univokal dan equivokal. Simbul univokal adalah tanda dengan
satu makna yang ditandai. Simbul equivokal adalah tanda
dengan multi makna. Simbul equvokal inilah yang menjadi
fokus hermeneutik (Palmer, 2003: 38-49).
Proses hermaneutik itu berawal ketika seorang penutur
mencoba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-
kata yang memiliki makna objektif yang dapat dimengerti
pendengarnya. Kemudian pendengar melakukan proses
subyektifikasi, yaitu memahami kata-kata atau percakapan
tersebut sesuai dengan pemahamannya. Kemudian penafsir itu
mengembalikan kata-kata itu ke makna aslinya, sabagaimana
yang dimaksudkan penuturnya sebelum dipadatkan dalam
bentuk kata-kata.
Hermeneutik adalah fenomen khas manusia. Seseorang
menafsirkan karena ada bahasa yang merupakan simbol. Salah
satu gejala yang membedakan manusia dengan hewan adalah
manusia itu berbahasa, memakai lambang, berupa bahasa.
Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah animal simbolicum
- 361 -
atau langue-using animal. Karena manusia selalu berbahasa maka
manusia pun tiada berhenti menafsirkan. Dengan demikian
hermeneutik merupakan gejala khas manusia. Manusia punya
kecenderungan untuk selalu memberi makna. Manusia adalah
makhluk yang mampu memberi makna kepada realitas dengan
bahasa sebagai peranan sentralnya. Merleau Ponty mengatakan
bahwa man is condemned to meaning. Memberi makna sama
dengan memahami. Proses memahami bahasa tersebut terkait
dengan hermeneutik (Hardiman, 2002).
Bahasa terdiri atas kata-kata dan kalimat yang memiliki
makna sesuai dengan konteks. Dua kalimat yang sama bisa
berarti beda jika konteksnya berbeda. Konteks ini disebut pula
gaya bahasa. Konteks yang lebih luas lagi dari GB adalah gaya
sastra (literary genre) . Gaya sastra erat kaitannya dengan konteks
sosial. Dengan demikian, gaya sastra mampu mengungkapkan
psikologis suatu bangsa dan kedudukan karya tersebut dalam
masyarakat(Hardiman, 2002).
Menurut Hidayat, 1996), hermeneutika sebagai ilmu
interpretasi merupakan proses yang bersifat triadik (mem-
punyai tiga aspek yang saling berhubungan), yaitu dunia teks
(the world of the text), (b) dunia pengarang (the world of author),
dan (c) dunia pembaca (the world of reader) (Hidayat: 1996: 3). Hal
ini berarti seseorang yang melakukan tindak interpretasi tidak
dapat lepas dari tiga aspek pokok tersebut.
Teks adalah wujud ekspresi bahasa yang mengandung
substansi materi. Dalam teks terdapat proses penciptaan dan
proses penerimaan yang tentu saja terkait dengan dimensi
tempat, ruang dan waktu. Karena teks bermedium bahasa dan
bahasa merupakan produk budaya maka teks terkait dengan
latar budaya yang memiliki ketentuan-ketentuan yang
mengikat. Termasuk teks, Al-Quran, diwahyukan pertama kali
untuk komunitas bangsa Arab. Oleh karena itu, Al-Quran
- 362 -
berbahasa Arab, mengikuti konvensi bahasa, sastra dan budaya
Arab pada saat teks tersebut diturunkan.
Persoalan yang muncul berkaitan dengan hermeneutik
adalah sebagaimana ungkapan Newton bahwa kata-kata yang
ditulis pada masa lampau (khususnya) masih tetap ada
sebagaimana asalnya, namun konteks yang menghasilkan kata-
kata itu yang sudah tidak ada lagi pada saat ini (1990: 103). Itulah
yang kemudian memunculkan berbagai pendapat dari para
tokoh terkait dengan kerja hermeneutika.
- 364 -
umum” sebagai “seni memahami” teks apapun jenisnya
(Abrams: 1981).
Menurut orang romantik Jerman ini, kalimat yang
diucapkan memiliki dua momen pemahaman, yaitu apa yang
dikatakan oleh konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh
pembicara. Sebelum manusia mengucapkan sesuatu tentu ia
memikirkannya terlebih dahulu. Dengan demikian, ada jurang
pemisah antara berbicara (berpikir yang sifatnya internal) dan
ucapan (yang bersifat aktual). Jeda dari pikiran ke ucapan ini
mengakibatkan tidak adanya impresi langsung sehingga dapat
menimbulkan kesalahan linguistik. Untuk itulah diperlukan
hermeneutik yang menjembataninya (Sumaryono, 1993).
Friedrich Schleiermacher menawarkan rekonstruksi
historis, obyektif dan subyektif dalam penafsiran. Maksudnya,
dengan rekonstruksi obyektif historis, seseorang dapat mema-
hami pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai
keseluruhan. Adapun rekonstruksi subyektif historis maksud-
nya seseorang dapat membahas awal mula sebuah pernyataan
masuk ke dalam pikiran seseorang (Sumaryono, 1993).
Istilah “lingkaran hermeneutik” dikemukakan pertama
kali oleh Schleiermacher, yaitu awal abad ke-19. pada akhir abad
ke-19 pengertian tersebut dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey.
Maksud dari lingkaran hermeneutik adalah bahwa setiap
bagian dari suatu peristiwa hanya dapat dipahami dalam
konteks keseluruhan bagian-bagiannya, dan juga sebaliknya.
Jadi terdapat hubungan timbal balik antar kata, kalimat,
paragraf dan wacana secara keseluruhan (Becson & Ganz, tt).
Jadi menurutnya, pemahaman dapat kita peroleh dengan
melihat bagaimana semua bagian itu berhubungan satu sama
lain. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah “lingkaran
hermeneutika” oleh Dilthey (Hawthorn, 1994).
- 365 -
Friedrich Schleiermacher mengemukakan pandangannya
mengenai pemahaman intuitif ( divinatorisches Verstehen). Sebuah
tafsir membutuhkan intuisi tentang karya yang sedang
dipelajari. Menurutnya, perlu dilakukan rekonstruksi imajinatif
atas situasi zaman dan kondisi batin pengarang dan berempati
dengannya (Hardiman, 2002). Dengan demikian, dia mem-
fokuskan pada pengarang sebagai obyektivikasi hermeneutik
dan steril dari intervensi historisitas penafsir. Jadi penafsir
melepaskan diri dari konteks sosial budayanya untuk bisa
masuk ke dalam konteks sosial budaya pengarang.
Menurut Schleiermacher, untuk memahami suatu teks
harus dijembatani dengan memahami si pengarang, karena
interpretasi teks berarti pula interpretasi psikologis. Menu-
rutnya, untuk memahami teks, seseorang dituntut untuk keluar
dari zaman hidupnya sekarang dan kemudian merekonstruksi
zaman si pengarang dan menampilkan kembali suasana saat ia
menulis teksnya. Dengan demikian Schleiermacher kurang
memperhatikan rentang waktu yang panjang antara pengarang
dan pembaca sebagai penafsirnya. Interpreter hanya berupaya
menyusun kembali (reproduksi) teks aslinya (Newton, 1990).
Inilah yang kemudian dipermasalahkan oleh tokoh berikutnya,
seperti Gadamer.
Berdasarkan pemikiran Schleiermacher, interpretasi dapat
dilakukan dengan mengambil intisari dari situasi sehari-hari
yang mirip dengan yang terdapat dalam kitab suci. Dia lebih
condong pada interpretasi sebagai seni. Artinya tidak ada yang
mengikat dan membatasi interpretasi. Dengan demikian perlu
adanya intuisi (pandangan ke dalam karena pikiran kita adalah
sebuah proses yang mengalir dan bergerak dan bukan sekedar
fakta yang serba komplit (Sumaryono, 1993).
- 366 -
3. Wilhelm Dilthey (1833-19211)
Pandangan Schleiermacher di kembangkan oleh filosof
berpengaruh, Wilhelm Dilthey (1883-1911). Dialah orang yang
mengemukakan bahwa ilmu hermeneutik merupakan dasar
penafsiran terhadap segala macam bentuk tulisan dalam ilmu-
ilmu humaniora. Oleh karena itu, ilmu sastra, ilmu-ilmu huma-
niora dan ilmu-ilmu sosial berbeda dengan ilmu-ilmu alam.
Dilthey menganggap bahwa ilmu-ilmu humaniora marupakan
cara menghadapi pengalaman hidup yang sewaktu, dan
konkret. Dia membedakan ilmu alam dari ilmu sosial. Di
manapun ilmu-ilmu alam selalu bertujuan untuk menjelaskan
perilaku yang statis, kategorinya reduktif. Pada hal tujuan
hermeneutik adalah untuk membangun teori pemahaman
secara umum. Pemahaman teks secara khusus berisi interpre-
tasi terhadap karya, yang mana jalinan dalam kehidupan secara
penuh dapat diekspresikan (Abrams: 1981).
Dalam memahami makna suatu teks, Dilthey memberi
istilah “lingkaran hermeneutik”. Maksudnya, untuk memahami
makna tertentu mengenai bagian linguistik, kita harus
mendekatinya dengan merasakan terlebih dahulu keseluruhan
makna. Akhirnya kita tahu keseluruhan makna hanya dengan
mengetahui arti dari bagian unsur pokoknya (Abrams, 1981
Hawthorn,1994 Newton, 1990). Jadi interpretasi dilakukan
dalam hubungannya antara arti dari komponen kata dengan
suatu kalimat dan arti kalimat secara keseluruhan, sebagai-mana
antara arti seluruh unsur kalimat dan karya secara keseluruhan.
Jadi, di antara prosedur interpretasi adalah melihat
hubungan antara arti dari komponen kata dengan suatu kalimat
dan arti kalimat secara keseluruhan dan antara seluruh unsur
kalimat dan karya secara keseluruhan. Jadi setiap bagian dari
suatu peristiwa hanya dapat dipahami dalam konteks
keseluruhan bagian-bagiannya, dan juga sebaliknya. Atau
- 367 -
dengan bahasa lain, penafsir harus memiliki pandangan yang
menyeluruh sebelum ia melakukan interpretasi. Friedrich
Schleiermacher sebagai pencetus pertama teori tersebut
mengatakan bahwa pemahaman dapat kita peroleh dengan
melihat bagaimana semua bagian itu berhubungan satu sama
lain (Karl Becson & Arthur Ganz: Literary Term Dictionary).
Bagaimanapun, Dilthey mempertahankan bahwa lingkaran
hermeneutik itu bukan lingkaran setan (lingkaran yang tak
berujung pangkal). Oleh karena itu kita dapat melakukan
interpretasi secara benar dengan kerja terus menerus.
Wilhelm Dilthey sebagaimana Schleiermacher meng-
anggap hermeneutik sebagai penafsiran reproduktif; meng-
hadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak peng-
arang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Wilhelm
Dilthey menawarkan bahwa peristiwa yang termuat dalam teks
kuno itu harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan
sejarah, maka yang direproduksi bukanlah keadaan psikis
pengarang melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu.
Jadi hermeneutik itu pada dasarnya bersifat menyejarah. Suatu
makna tidak pernah berhenti pada satu masa saja tetapi selalu
berubah menurut modifikasi sejarah. Interpretasi laksana benda
cair yang selalu bergerak dan berubah. Dengan demikian
penafsiran terhadap sesuatu itu bersifat dinamis.
Selanjutnya Wilhelm Dilthey mengemukakan syarat
dalam menafsirkan ilmu-ilmu humaniora, yaitu (a) memahami
cara pandang dan gagasan pelaku itu sendiri, (b) memahami
makna kegiatan pelaku yang berkaitan secara langsung dengan
peristiwa sejarah, kemudian (c) menilainya berdasarkan gagasan
yang berlaku pada saat penafsir hidup. Dilthey termasuk
penggagas aliran hermeneutika obyektivis yang berfokus pada
teks dan tidak mengakui adanya intervensi penafsir dalam
penafsiran (Atho’, Fahrudin, 2003).
- 368 -
4. Emilio Betti (1890-1968)
Emilio Betti adalah seorang teolog modernis dan seja-
rawan hukum yang lahir di Italia tahun 1890-1968. Herme-
neutika, bagi Betti adalah Auslegung, yaitu bagaimana
mendapatkan sebuah bentuk penafsiran yang valid dan objektif
dan bukan Deutung (speculative interpretation) sebagaimana yang
dilakukan Schleiermacher. Tujuan utama interpretasi ini adalah
untuk mengklarifikasi perbedaan esensial antara penafsiran
(auslegung) dan peran penafsir dalam penyerahan makna
terhadap obyek. Penafsiran terhadap obyek merupakan sebuah
obyektivasi dari semangat manusia yang diekspresikan dalam
bentuk pikiran yang sehat (Atho’, Fahrudin, 2003).
Maksud bahasa pengarang bukanlah pikiran total pada
satu waktu ketika menulis. Akan tetapi hanya merupakan aspek
saja di mana ia menggunakan potensi konvensi dan norma
bahasa, dia ekspresikan ke dalam kata-kata dan juga mungkin
merupakan hasil shering dengan pembaca yang mengetahui
bagaimana memainkan konvensi dan norma itu ke dalam
praktek interpretasi.
Jika teks dibaca secara terpisah dari maksud pengarang-
nya hal itu akan memunculkan ketidaktentuan. Oleh karena itu
dapat menimbulkan ketidaktentuan dan perbedaan arti.
Pembaca dapat menentukan artinya dengan menggunakan
logika validasi secara diam-diam (tak diucapkan). Pembaca
dapat menginterpretasikan maksud pengarang dengan melihat
aspek internal dan eksternal, melihat secara umum norma-
norma bahasa, lingkungan pengarang dan memperhatikan
aspek yang relevan dengan horizon pengarang (Abrams, tt).
Jadi interpretasi menurut Betti adalah rekognitif
(pengenalan yang bersifat otentik, pemahaman dari sudut diri
sendiri sebagai orang pertama), reproduktif (penyusunan
kembali yang ditujukan untuk mengkomunikasikan beberapa
- 369 -
pengalaman), dan normatif yaitu memberikan panduan dalam
pelaksanaannya (Atho’, Fahrudin, 2003).
Betti menawarkan 4 momen dalam proses hermeneutika
yang akan memfasilitasi pemahaman, yaitu (1) penafsir
melakukan investigasi fenomena linguistik dari teks, (2) penafsir
menghindari kepentingan sosial, ideologi, komitmen atau
sumber-sumber yang intoleran yang bisa menghalangi
pemahaman, (3) penafsir menempatkan diri dalam posisi
seseorang untuk dipahami, dengan menggunakan imajinasi dan
wawasan, dan (4) melakukan rekonstruksi untuk memasukkan
situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai
dari teks (Atho’, Fahrudin, 2003).
Dengan demikian, menurut Betti, proses penafsiran perlu
dibawa pada pikiran penciptanya dan kemudian dihidupkan
kembali oleh subyek penafsir sebagai upaya reproduksi. Hal ini
dilakukan untuk mengukur unsur subyektivitas penafsir
sebagai parameter yang menentukan terhadap obyektitivitas
penafsiran penafsir. Betti adalah pengikut aliran tradisional
(Schleiermacher & Dilthey). Betti dan juga tokoh aliran
tradisional berupaya menyediakan sebuah teori umum tentang
bagaimana “obyektivasi” ekspresi manusia dapat ditafsirkan.
Dia menyatakan secara tegas otonomi obyek interpretasi dan
mungkinnya “obyektivitas” ekspresi manusia itu dapat
ditafsirkan. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Gadamer
yang menyatakan bahwa obyektivitas itu tidak mungkin dapat
dicapai dalam interpretasi (Palmer, 2003: 52).
5. E.D. Hirsch
E.D. Hirsch sebagaimana Emilio Betti mengemukakan
bahwa interpretasi dapat dilakukan secara obyektif untuk me-
ngetahui arti yang diekspresikan pengarang. Dalam karyanya
“Validity in Interpretation” (1967) di ikuti dengan “The Aims of
interpretation” (1976), Hirsch menegaskan bahwa teks berarti apa
- 370 -
yang dimaksudkan pengarang. Jadi menurutnya, arti suatu teks
adalah arti bahasa yang dimaksudkan pengarang. Penafsir teks
memiliki tugas moral untukm memahami teks dalam relasinya
dengan konteks aslinya.
Maksud bahasa pengarang bukanlah pikiran total pada
satu waktu ketika menulis. Akan tetapi hanya merupakan satu
aspek saja di mana ia menggunakan potensi konvensi dan
norma bahasa, dia ekspresikan ke dalam kata-kata dan juga
mungkin merupakan hasil shering dengan pembaca yang
mengetahui bagaimana memainkan konvensi dan norma itu ke
dalam praktek interpretasi.
Jika teks dibaca secara terpisah dari maksud penga-
rangnya hal itu akan memunculkan ketidaktentuan. Oleh karena
itu dapat menimbulkan ketidaktentuan dan perbedaan arti.
Pembaca dapat menentukan artinya dengan mengguna-kan
logika validasi secara diam-diam (tak diucapkan). Pembaca
dapat menginterpretasikan maksud pengarang dengan melihat
aspek internal dan eksternal, melihat secara umum norma-
norma bahasa, lingkungan pengarang dan memperhatikan
aspek yang relevan dengan horison pengarang.
Hirsch mengikuti aliran hermeneutik tradisional dan
membuat jarak yang esensi antara arti bahasa dan makna. Arti
bahasa itu tetab dan stabil sedangkan maknanya selalu berubah
sesuai dengan minat penafsir dan kemampuannya dalam
menafsirkan. Pada hal makna teks adalah hubungan antara arti
bahasa dengan material lain, seperti situasi personal,
kepercayaan dan respon pembaca individual atau bahkan
budaya zaman. Arti bahasa teks menurut Hirsch adalah tertentu
dan stabil, itulah makna. Arti bahasa merupakan bagian yang
diperhatikan dalam bidang hermeneutik. Makna teks dalam
beberapa aspek diperhatikan oleh kritik sastra.
- 371 -
Hirsch mengformulasikan kembali konsep Dilthey
mengenai lingkaran hermeneutik sebagai berikut: kemampuan
pembaca membentuk hipotesis sebagai arti bagian atau
keseluruhan teks yang menerima perbaikan yaitu hipotesis
dapat juga dikonfirmasikan atau tidak dikonfirmasikan dengan
referensi selanjutnya dari teks.
Dengan demikian Hirsch merupakan pembela utama
pendekatan hermeneutik tradisional Dilthey dan Schleiermacher.
Menurutnya penafsir memiliki tugas moral untuk memahami
dengan konteks keasliannya. Hirsch bertentangan dengan
Heidegger dan muridnya Gadamer yang membawa manusia
pada interpretasi total sehingga muncul subyektivitas
pemahaman (Newton, 1990).
6. Rudolf Bultman
Rudolf Bultman lahir di Jerman tahun 1884. Bultman
menolak pendapat Dilthey yang mengatakan bahwa seorang
penafsir harus mampu memahami pengarang teks melebihi
pengalaman pengarang atas dirinya. Bagi Bultman, esensi
makna terletak pada ekspresi sebuah teks, serta menemukan apa
yang dikatakan dan dimaksudkan oleh teks.
Sumbangan yang sangat berarti dalam perkembangan
hermeneutik diberikan oleh teolog modern, Rudolf Bultmann
adalah konsep demitologisasi. Menurut Bultman gambaran
tentang dunia yang dilukiskan perjanjian baru itu bersifat
mitologis, dan itu bertentangan dengan manusia modern yang
rasional dan positivistik. Untuk itu Bultman menawarkan
demitologisasi, yaitu berupaya menterjemahkan bahasa mitos
manusia masa lalu ke dalam bahasa manusia modern agar bisa
dipahami secara komprehensif. Mitologi perlu dikupas untuk
substansi mitos itu sendiri. (Atho’, Fahrudin, 2003).
Dalam melakukan demitologisasi ini Bultman mengguna-
kan interpretasi historis dan psikologis sebagai instrumen utama
- 372 -
dalam mendeterminasi pesan-pesan yang terkandung dalam
AL-Kitab. Konsep ini bertujuan untuk menterjemahkan bahasa
mitos secara komprehensif ke dalam bahasa manusia modern.
Dengan konsep ini, Bultman bermaksud menginter-pretasi
simbul untuk mengumpulkan kembali keorisinalan makna yang
tersembunyi.
Demitologisasi merupakan upaya untuk memberi arahan
soal “percaya” dan “mengerti” akan berita kristiani dalam
kacamata pemikiran zaman modern. Ia mau menjadikan Al-
Kitab dapat dipercaya dan dimengerti oleh manusia modern,
sehinga mereka dapat mendengar sabda Allah di dalamnya.
Bultman melihat adanya pembungkus dalam firman Allah
sehingga manusia sulit mempercayainya. Untuk itu pem-
bungkus tersebut haruslah dibuat transparan (Atho’, Fahrudin,
2003).
Selanjutnya, dalam menghadapi Al-Kitab, Bultman
sebagai pengikut agama nasrani yang taat berupaya untuk
menghadirkan kembali Al-Kitab. Artinya menjadikan suatu
dokumen yang bersifat historis itu bisa berarti bagi masyarakat
sekarang, berfungsi dan berhasil menjadikan umat yang hidup
masa sekarang juga disapa oleh Allah sebagaimana yang terjadi
di masa lalu. Pemahaman menurut Bultman berlangsung dalam
proses historis. Dengan demikian, interpretasi tidak dapat
dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya. Pemahaman
sangat tergantung pada situasi historis yang baru (Atho’,
Fahrudin, 2003).
Ada dua gagasan untuk memindahkan teks Al-Kitab dari
masa dahulu ke masa sekarang itu dengan cara (1) berita Al-
kitab harus dibawa menyeberang, artinya ilmu teologi itu harus
mengangkut berita itu dari seberang masa dahulu ke seberang
masa sekarang, (2) berita Al-Kitab seluruhnya harus dapat
diseberangkan.
- 373 -
Bultman juga mengemukakan teori umum tentang
interpretasi, yaitu, pertama, semua interpretasi dokumen-
dokumen tertulis harus dianalisis secara formal dalam struktur
dan gayanya. Penafsir harus menganalisis karya dan mema-
hami bagian-bagiannya agar dapat memahami keseluruhan dan
sebaliknya. Penafsir harus menginterpretasikan karya
berdasarkan pemahaman terhadap tata bahasa yang digunakan
penulisnya. Aturan-aturan hermeneutik tersebut akan
menghasilkan metode historis mengenai pendalaman teks.
Kedua, penafsir harus memiliki relasi hidup dengan
sesuatu yang dinyatakan oleh sebuah teks untuk mendapatkan
pemahaman yang memadai. Menurutnya penafsir paling tidak
merasakan pengalaman yang sama dengan keadaan pada waktu
dokumen tersebut dibuat. Namun demikian herme-neutika
bukan hanya memberikan gambaran tentang masa lampau atau
merekonstruksi masa lampau, melainkan belajar dari teks yang
ada itu apa yang dibutuhkan manusia saat ini untuk praktisnya
menjalani hidup.
7. Martin Heidegger
Martin Heidegger menulis “Being and Time” (1927 dan
diterjemahkan tahun 1962). Dia menggabungkan tindak inter-
pretasi dalam phenomenology dan eksistensi filosofi. Oleh
karena itu filsafat memusatkan pada dasein, yaitu apa yang
terdapat di dunia (apa yang sudah ada). Makna hermeneutik
yang radikal diberikan oleh fisuf Martin Heidegger yang
menganggap bahwa hermeneutik merupakan bagian dari
eksistensi manusia yang lekat pada diri manusia. Menurutnya
dasein (apa yang terdapat di dunia) itu hidup dan selalu
diketemukan dalam kerangka waktu; lampau, sekarang dan
yang akan datang.
Manusia sebagai pemberi makna tidak lepas dari konteks.
Teks tercipta berdasarkan konteks. Begitu pula pembaca teks
- 374 -
berada dalam suatu konteks. Konteks teks dan pembaca ini akan
menimbulkan berbagai pemahaman. Proses pemahaman adalah
proses menemukan makna (Atho’, Fahrudin, 2003). Makna
berada dalam teks dan dibalik teks dan makna selalu berubah
karena setiap interpretasi baru akan memunculkan makna baru
akibat repertoar yang semakin bertambah.
Pemahaman menurut Heidegger merupakan dasar
interpretasi. Dasar pemahaman terletak dalam realitas yang
lebih dahulu daripada suatu ungkapan tematis. Pengertian
tentang objek baru terjadi karena ada pra paham yang
mendahuluinya. Artinya, manusia mencari pengetahuan karena
belum tahu dan sudah tahu (ada pra anggapan).
- 376 -
adanya sendiri sesuai dengan proses dialektik dan linguistik
yang melampaui batas-batas metodo-logis yang diaplikasikan
oleh penafsir teks (Atho’, Fahrudin, 2003).
Gadamer yakin bahwa hermeneutiknya itu bukanlah
sekedar usaha membangun norma untuk interpretasi yang
benar melainkan merupakan usaha secara sederhana untuk
menjelaskan bagaimana kita sebenarnya dapat sukses dalam
menginterpretasikan teks.
9. Jurgen Habermas
Gagasan Habermas dapat dilihat dalam bukunya yang
berjudul Knowledge and Human Interest (pengetahuan dan
minat manusia). Menurut Habermas, penjelasan menuntut
penerapan proposisi-proposisi teoritis terhadap fakta yang
terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis.
Pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan
pengertian teoritis terpadu menjadi satu. Habermas mengutip
pandangan Charles Sanders Pierce yang mengatakan bahwa
setiap pertanyaan yang diajukan pasti ada jawabannya yang
benar, ada kesimpulan akhirnya, yang hendak dituju oleh
pendapat setiap orang secara ajeg (Sumaryono, 1999: 82).
Habermas membedakan antara penjelasan dan pema-
haman. Manusia tidak dapat memahami seluruhnya makna
sesuatu fakta sebab ada fakta yang tidak dapat diinterpretasi,
bahkan manusia tidak dapat menafsirkan fakta secara tuntas.
Menurutnya, selalu ada makna yang bersifat lebih yang tidak
dapat dijangkau oleh interpretasi tetapi terus menerus muncul
dalam kehidupan kita. Habermas mengatakan bahwa sebuah
penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis
terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui peng-
amatan sistematis. Sedangkan pemahamanadalah suatu
kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu
- 377 -
menjadi satu. Hermeneutik Habermas terkait dengan bahasa,
tindakan dan pengalaman (Sumaryono, 1999: 84-85).
“Memahami” menurut Habermas pada dasarnya
membutuhkan dialog, sebab proses memahami adalah proses
kerjasama di mana pesertanya saling menghubungkan diri satu
sama lain secara serentak di bawah lebenswelt (dunia kehidupan).
Lebenswelt mempunyai tiga aspek, yaitu dunia obyektif, dunia
sosial dan dunia subyektif (Sumaryono, 1999: 94).
- 379 -
memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan.
Kedua metode itu memaksa peneliti untuk melakukan tafsir
berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-
kultural., Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran
hermeneutik.
Dalam kaitan dengan interpretasi, Smith (Luxemburg,
1989:51) mensugestikan bahwa “ our interpretation of a work and
our experience of its value are mutually dependent, and each depend
upon wahat might be called the psychological ‘set’ our encounter with
it”. Dari sugesti ini, berarti intrerpretasi teks sastra sangat
tergantung pada pengalaman di peneliti. Semakin dewasa si
peneliti, tentu kematangan psikologisnya dalam menafsirkan
semakin bisa diandalkan pula. Pengalaman peneliti juga amat
penting dalam menggali makna sebuah teks sastra.
Penafsiran teks sastra setidaknya mengikuti salah satu
atau lebih dari enam pokok rambu-rambu yaitu :
(1). Penafsiran bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sendiri
sudah jelas.
(2). Penafsiran berusaha menyusun kembali arti historik.
Penaafsir dapat berpedoman pada maksud si pengarang
seperti nampak pada teks sendiri atau diluar teks.
(3). Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh
Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masa
kini.
(4). Penafsiran bertolak pada pandangannya sendiri
mengenai sastra.
(5). Penafsiran berpangkal pada suatu problematik tertentu,
seperti aspek politik, psikologis, sosiologis, dan moral.
(6). Tafsiran yang tak langsung berusaha untuk menunjukkan
kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks,
sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya.
- 380 -
D. Ringkasan buku: Hermeneutik: Sebuah Teori Filsafat
Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein
yang berarti menafsirkan. Kata benda hermeneia berarti
penafsiran atau interpretasi. Istilah ini biasanya dikaitkan
dengan Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas untuk
menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Ia menerjemah-
kan pesan-pesan dari dewa ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh umat manusia (h.34). Ia harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam
bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Kemudian pada
akhirnya hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Palmer,
1969:3) dalam sumaryono, 24).
Dalam bukunya de interpretatione, Aristoteles berkata
bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari
pengalaman mental kita dan kata-kata yang kita tulis adalah
simbol dari kata-kata yang kita ucapkan (h.24). Oleh karena itu
seseorang tidak akan dapat memiliki bahasa tulisan yang sama,
demikian pula dengan bahasa ucapan. Itulah hasil dari parole.
Sebagai implikasinya maka penafsiran pun tidak akan sama
antara satu orang dengan yang lainnya. Kalaupun seseorang
ketepatan memiliki pengalaman mental yang sama tapi ekspresi
oralnya tentu berbeda. Pengalaman mental biasanya menjadi
menyempit ketika ditulis dalam kata-kata sehingga tidak
seluruhnya pengalaman itu dapat tertuang dalam kata-kata
(h.25). Penyempitan ini kemudian akan menimbulkan berbagai
interpretasi tergantung siapa yang menginterpretasi-kannya dan
dalam konteks apa ia menginterpretasikannya.
Hermeneutik berkaitan dengan bahasa karena kita
berpikir, mengerti dan membuat interpretasi, berkomunikasi
dan mengkomunikasikan sesuatu yang tidak menggunakan
bahasa melalui bahasa. Gadamer mengatakan bahwa bahasa
- 381 -
merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan
merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh
konstitusi tentang dunia ini. Bahasa adalah sesuatu yang
memiliki ketertujuan di dalam dirinya(h.26). Kata-kata penuh
dengan maksud, meskipun arti kata-kata itu konvensional tetapi
kata-kata itu tidak pernah dibuat secara asal-asalan (aksidental).
Gadamer kemudian menyatakan bahwa mengerti adalah
mengerti melalui bahasa (h.27).
Penerapan hermeneutik sangat penting dalam memahami
ilmu-ilmu kemanusiaan (geisteswissenschaften), begitu kata
Dilthey (h.23). begitu juga dalam kesusasteraan, perlu
interpretasi untuk mengerti artinya. Interpretasi menurut Betti
(dalam Bleicher (1980:39) adalah sarana untuk mengerti.
Interpretasi tersebut akan berbeda-beda tergantung pada
pemahaman dan cakrawala penafsirnya. Kegiatan interpretatif
itu merupakan proses yang bersifat triadik, yaitu teks, konteks
dan penafsir.
Menurut Betti, makna bukanlah diambil dari kesimpulan
melainkan harus diturunkan dan bersifat instruktif. Penafsir
tidak pasif melainkan harus merekonstruksi makna. Adapun
heidegger dengan teorinya tentang dasein (untuk menyebut
manusia autentik >< das man: manusia semu: artifisial: hanya
buatan) diketemukan dalam kerangka waktu yang lalu , kini dan
yang akan datang. Manusia autentik selalu dilihat dalam
konteks ruang dan waktu di mana manusia sendiri mengalami
atau menghayatinya. Untuk memahami dasein perlu konteks.
Manusia autentik hanya bisa dimengerti hanya melalui ruang
dan waktu yang tepat di mana ia berada. Setiap individu selalu
tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami di dalam
situasinya h.32). Setiap objek berada dalam ruang waktu tertentu
dan konteks tersebut memberi ciri khusus pada obyek tersebut.
- 382 -
Filsuf Paul Ricoeur dan Jacquis Derrida menulis herme-
neutik dalam kesusasteraan, Filsuf Martin Heidegger dan Hans
Georg Gadamer berkecimpung dalam dunia metafisika.
Fredrich Schleiermacher seorang penafsir hukum, Wilhelm
Dilthey penafsir sejarah keduanya merupakan pelopor
hermeneutik filosofis.
Menurut Schleiermacher (1768-1834/abad 18- awal 19),
hermeneutik adalah bagian dari seni berpikir (h.34). Mula-mula,
buah pikiran kita mengerti dahulu, baru kemudian kita ucapkan.
Pembicaraan kita kemudian berkembang seiring dengan buah
pikiran yang telah kita mengerti.
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari
istilah Yunani, yaitu kata kerja herme>neuein, yang berarti
“menafsirkan”, dan kata benda herme>neia, yang berarti
“interpretasi atau penafsiran” (Palmer,2003:14). Kata ini
kemudian diasosiasikan pada dewa Hermes. Palmer menjelas-
kan bahwa mediasi dan proses membawa pesan “agar
dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di
dalam tiga makna dasar dari kata kerja herme>neuein, yaitu
mengungkapkan kata-kata, menjelaskan dan menerjemahkan.
Secara terminologis, hermeneutik merupakan usaha untuk
beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih
terang. Jadi, dalam waktu seseorang menafsirkan sesuatu, ia
melewati suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas menuju ke
yang lebih jelas. Bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah
menjadi bentuk pemikiran yang lebih jelas itulah menafsirkan
(Hardiman, 2002).
Sebagai tokoh sastra, Abrams (1981) memberikan penger-
tian hermeneutik dalam makna luas dan sempit dalam
kaitannya dengan interpretasi karya sastra. Menurutnya,
menginterpretasi karya sastra dalam makna sempit berarti
menerangkan arti bahasanya dengan cara analisis, paraphrase,
- 383 -
dan mengomentarinya. Fokus utama interpretasi adalah pesan
yang masih kabur dan tidak jelas, ambiguitas dan penuh kiasan.
Dalam makna luas, menginterpretasi karya sastra berarti
membuat jelas arti keseluruhan karya sastra dengan meng-
gunakan bahasa sebagai mediumnya. Interpretasi dalam arti
luas ini mencakup penafsiran berbagai aspek seperti genre
(jenis-jenis karya), elemen-elemen, struktur, tema dan
pengaruhnya.
Bleicher (Permata, 2003 pen.) mengatakan bahwa herme-
neutik secara umum berarti suatu teori atau filsafat tentang
interpretasi makna. Di dalam kelompok sastra Anglo Amerika,
istilah hermeneutika juga disinonimkan dengan interpretasi.
Referensi utamanya adalah pemahaman teks, khususnya teks
teologi (Hawthorn,1994).
Hermeneutik pada mulanya digunakan untuk
menafsirkan kitab suci. Di dalam mitologi Yunani ada tokoh
bernama Hermes. Menurut mitos, Hermes bertugas menafsir-
kan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata
manusia. Jadi hermeneutik kitab suci artinya menafsirkan
kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat
kitab-kitab suci (Hardiman, 2002).
Sejak abad 19, istilah “hermeneutik” digunakan untuk
menandai teori umum tentang interpretasi (Abrams, 1981,
Beckson & Ganz, tt). Oleh karena itu, formulasi prosedur dan
prinsipnya mencakup penangkapan arti pada seluruh teks yang
ditulis, termasuk keabsahannya, pemaparannya, dan kesas-
traannya sebagaimana ada dalam teks injil (Abrams, 1981). Jadi
sejak abad ke-19 pengertian itu diperluas dalam berbagai bidang;
menafsirkan karya sastra, hukum atau teks-teks ilmu sosial (Becson
& Ganz, tt). Sejak abat 19, hermeneutik sudah tidak sekedar
digunakan untuk interpretasi teks kitab suci saja melainkan sudah
- 384 -
digunakan untuk menafsirkan berbagai bidang ilmu, khususnya
ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaften).
Definisi terminologis di atas akan lebih jelas jika dikaitkan
dengan definisi terminologis yang dikemukakan oleh Palmer
(2003: 38) berikut ini. Menurut Palmer, ada enam definisi
modern hermeneutik. Definisi ini cenderung bersifat historis,
kronologi makna interpretasi. Enam definisi yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
- 385 -
Pengertian ini berangkat dari pendapat Schleiermacher
yang punya distingsi tentang pemahaman hermeneutika sebagai
“ilmu” atau “seni” pemahaman. Hermeneutik dalam pengertian
ketiga ini merupakan sistematisasi-koherensi, sebagai ilmu yang
mendeskripsikan kondisi-kondisi pemaham-an dalam semua
dialog. Hermeneutik tidak lagi filologis melainkan hermeneutik
umum yang prinsip-prinsipnya dapat diterapkan dalam semua
ragam interpretasi teks.
- 386 -
6. Hermeneutik sebagai sistem interpretasi: menemukan
makna melalui ikonoklasme
Menurut Paul Recoeur, hermeneutika berfokus pada
eksegesis tekstual. Hermeneutika adalah teori tentang kaidah-
kaidah yang menata sebuah eksegesis. Hermeneutika adalah
sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dianggap sebagai sebuah teks.
Interpretasi mimpi termasuk hermeneutik. Mimpi adalah teks,
teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik. Psikoanalisa
menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan
penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna
tersembunyi. Objek interpretasi adalah teks dalam pengertian
yang luas. Obyeknya dapat berupa mimpi, mitos-mitos dalam
masyarakat atau karya sastra. Ricoeur membedakan simbul
univokal dan equivokal. Simbul univokal adalah tanda dengan
satu makna yang ditandai. Simbul equivokal adalah tanda
dengan multi makna. Simbul equvokal inilah yang menjadi
fokus hermeneutik (Palmer, 2003: 38-49).
Proses hermaneutik itu berawal ketika seorang penutur
mencoba mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk kata-
kata yang memiliki makna objektif yang dapat dimengerti
pendengarnya. Kemudian pendengar melakukan proses
subjektifikasi, yaitu memahami kata-kata atau percakapan
tersebut sesuai dengan pemahamannya. Kemudian penafsir itu
mengembalikan kata-kata itu ke makna aslinya, sebagaimana
yang dimaksudkan penuturnya sebelum dipadatkan dalam
bentuk kata-kata.
Hermeneutik adalah fenomen khas manusia. Seseorang
menafsirkan karena ada bahasa yang merupakan simbol. Salah
satu gejala yang membedakan manusia dengan hewan adalah
manusia itu berbahasa, memakai lambang, berupa bahasa.
Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah animal simbolicum
- 387 -
atau langue-using animal. Karena manusia selalu berbahasa maka
manusia pun tiada berhenti menafsirkan. Dengan demikian
hermeneutik merupakan gejala khas manusia. Manusia punya
kecenderungan untuk selalu memberi makna. Manusia adalah
makhluk yang mampu memberi makna kepada realitas dengan
bahasa sebagai peranan sentralnya. Merleau Ponty mengatakan
bahwa man is condemned to meaning. Memberi makna sama
dengan memahami. Proses memahami bahasa tersebut terkait
dengan hermeneutik (Hardiman, 2002).
Bahasa terdiri atas kata-kata dan kalimat yang memiliki
makna sesuai dengan konteks. Dua kalimat yang sama bisa
berarti beda jika konteksnya berbeda. Konteks ini disebut pula
gaya bahasa. Konteks yang lebih luas lagi dari GB adalah gaya
sastra (literary genre). Gaya sastra erat kaitannya dengan konteks
sosial. Dengan demikian, gaya sastra mampu mengungkapkan
psikologis suatu bangsa dan kedudukan karya tersebut dalam
masyarakat (Hardiman, 2002).
Menurut Hidayat, 1996), hermeneutika sebagai ilmu
interpretasi merupakan proses yang bersifat triadik (mem-
punyai tiga aspek yang saling berhubungan), yaitu dunia teks
(the world of the text), (b) dunia pengarang (the world of author),
dan (c) dunia pembaca (the world of reader) (Hidayat: 1996: 3). Hal
ini berarti seseorang yang melakukan tindak interpretasi tidak
dapat lepas dari tiga aspek pokok tersebut.
Teks adalah wujud ekspresi bahasa yang mengandung
substansi materi. Dalam teks terdapat proses penciptaan dan
proses penerimaan yang tentu saja terkait dengan dimensi
tempat, ruang dan waktu. Karena teks bermedium bahasa dan
bahasa merupakan produk budaya maka teks terkait dengan
latar budaya yang memiliki ketentuan-ketentuan yang
mengikat. Termasuk teks, Al-Quran, diwahyukan pertama kali
untuk komunitas bangsa Arab. Oleh karena itu, Al-Quran
- 388 -
berbahasa Arab, mengikuti konvensi bahasa, sastra dan budaya
Arab pada saat teks tersebut diturunkan.
Persoalan yang muncul berkaitan dengan hermeneutik
adalah sebagaimana ungkapan Newton bahwa kata-kata yang
ditulis pada masa lampau (khususnya) masih tetap ada
sebagaimana asalnya, namun konteks yang menghasilkan kata-
kata itu yang sudah tidak ada lagi pada saat ini (1990: 103). Itulah
yang kemudian memunculkan berbagai pendapat dari para
tokoh terkait dengan kerja hermeneutika.
Para tokoh hermeneutika sebagaimana telah dipaparkan
dalam bab ini yang telah tersebut di atas, yaitu F.D.E.
Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-19211),
Emilio Betti, E.D. Hirsch, Bultmann, Martin Heidegger (1889-
1976), Hans Georg Gadamer , Jurgen Habermas, dan Paul
Recoeur.
Pokok bahasan filsafat adalah spekulasi dan analisis.
Spekulasi adalah subyek atau gagasan dan merenungkannya
secara mendasar. Spekulasi itu dilakukan dengan mengemuka-
kan mengenai apa, mengapa, bagaimana, dimana dan bilamana
dan seterusnya. Spekulasi seperti ini disebut dengan berpikir
filosofis. Perbedaannya dengan berpikir dalam kehidupan
keseharian adalah kesungguhan dan sistematisasinya.
Adapun analisis memuat mengajukan pertanyaan,
menjawab, berteori, menyelidiki, menguraikan, menggunakan
data fisik untuk membantu dan mempergunakan penalaran
logika. Analisis dapat dikatakan juga sebagai mempertanyakan
tentang pertanyaan dan jawabannya (h. 14). Analisis dalam
sastra biasanya berarti menguraikan, memilah-milah kemudian
menggabungkan kembali. Jadi berfilsafat sebenarnya adalah
berspekulasi dan melakukan analisis.
Filsafat tidak mengenal ruang dan waktu. Filsafat
menyelidiki realitas dalam arti sepenuhnya. Filsafat tidak selalu
- 389 -
menyajikan bukti-bukti ilmiah sebagaimana dalam sains. Sains
memiliki metode sendiri yaitu adanya bukti-bukti ilmiah yang
diperoleh melalui statistik, penjumlahan, uji coba, analisis,
pembenaran dan pembuktian. Dengan demikian, sains memi-
liki batas ruang lingkup yang jelas sedang dalam filsafat, apapun
yang disebut ada berada dalam pembahasannya.
Kemudian para filsuf berupaya menyususn metode untuk
mendapatkan pengakuan universal bahwa tindakannya juga
termasuk tindakan ilmiah. Plato (427-347 SM) merumuskan
bahwa kebenaran diperoleh melalui metode dialektis, yaitu
tanya jawab. Namun metode ini juga tidak mampu sepenuhnya
mengatasi permasalahan filsafat.
Kemudian Aristoteles (384-322 SM) menawarkan metode
silogisme atau logika, yaitu dengan menggabungkan
pembenaran dan penyangkalan di antara tiga term sehingga
kesimpulan yang meyakinkan dapat diperoleh. Jika dua term
secara terpisah membenarkan term ketiga maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa dua term tersebut saling membenarkan satu
sama lain. Tetapi jika hanya satu term yang membenarkan term
ketiga maka term pertama dan kedua saling menyangkal satu
sama lain. Metode ini juga tidak mampu sepenuhnya
menyeleseikan masalah karena metode ini hanya mampu
meyakinkan kebenaran suatu pernyataan dan tidak
menimbulkan pernyataan baru. Metode ini hanya berlaku untuk
penyimpulan deduksi dan tidak untuk induksi. Metode ini
hanya dapat menerapkan hukum-hukum yang bersifat
universal pada semua hal yang khusus dan tidak dapat
digunakan untuk menyusun suatu hukum universal yang
ditarik dari penyimpulan hal-hal yang khusus. Aristoteles
dikenal dengan bapak logika.
Kemudian Rene Descartes (1596-1650 ) seorang ahli
matematika Prancis menyusun metode ragu-ragu. Descartes
- 390 -
dikenal dengan bapak filsafat modern. Segala sesuatu diuji
hingga terbebas dari keraguan. Ia meletakkan prinsip-prinsip
untuk menilai validitas sebagai tuntutan kebenaran. Setelah itu
muncul metode empirisme yaitu sesuatu dianggap benar jika
sudah dapat dibuktikan dengan perantaraan panca indra.
Lalu muncul metode analitis yang menganalisis
terminologi linguistik, menyusun tabel-tabel linguistik untuk
menentukan kebenaran sebuah kalimat. Namun, metode ini juga
lemah yaitu, pemikir dibatasi aturan yang ketat mengenai
makna dan tidak bebas melakukan interpretasi untuk
mendapatkan arti yang baru (h.19). kemudian muncul metode
refleksi.
Kemudian muncul metode fenomenologis yang dikemu-
kakan oleh Edmund Husserl ( 1895-1939), yaitu kesadaran
sebagai alat pengukuran validitas di dalam pengalaman hidup
sehari-hari. Metode ini bersifat subyektif. Dari metode ini
kemudian muncul aliran eksistensialisme yang menggunakan
fenomenologi sebagai metodenya. Dari seluruh metode yang
dikemukakan para tokoh tersebut meskipun sangat berjasa
namun menurut Sumaryono belum dapat dikatakan sebagai
metode filsafat (h.19).
Metode adalah dasar penalaran manusia. Oleh karena itu,
tidak boleh membekukan pemikiran filosofis. Metode yang ideal
memiliki ciri: harus menampilkan suatu bentuk struktur, yaitu
suatu struktur yang memungkinkan pengembangan lebih lanjut,
konkret tapi tidak bertentangan dengan yang bersifat abstrak,
objektif tapi tidak kaku karena harus juga menampakkan aspek
subyektifnya, dan dapat diterapkan secara universal seperti
metode ilmiah. Kemudian pada akhir-akhir ini muncul metode
hermeneutik yang dianggap sebagai alternatif metode filsafat
(h.20).
- 391 -
Bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah menjadi
bentuk pemikiran yang lebih jelas itulah menafsirkan (h. 37). Di
dalam mitologi Yunani ada tokoh bernama Hermes. Menurut
mitos, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel)
dengan bantuan kata-kata manusia. Jadi hermeneutik kitab suci
artinya menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana terkandung
di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci.
Salah satu gejala yang membedakan manusia dengan
hewan adalah manusia itu berbahasa, memakai lambang,
berupa bahasa. Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah
animal simbolicum atau langue-using animal. Karena manusia
selalu berbahasa maka manusia pun tiada berhenti menafsir-
kan. Dengan demikian hermeneutik merupakan gejala khas
manusia.
Seorang penutur mencoba mengekspresikan pengalaman-
nya dalam bentuk kata-kata yang memiliki makna objektif yang
dapat dimengerti pendengarnya. Kemudian pendengar
melakukan proses subyektifikasi, yaitu memahami kata-kata
atau percakapan tersebut sesuai dengan pemahamannya.
Kemudian penafsir itu mengembalikan kata-kata itu ke makna
aslinya, sabagaimana yang dimaksudkan penuturnya sebelum
dipadatkan dalam bentuk kata-kata.
Manusia punya kecenderungan untuk selalu memberi
makna. Merleau Ponty mengatakan bahwa man is condemned to
meaning. Memberi makna sama dengan memahami. Taraf-taraf
pemahaman manusia ada tiga, yaitu pemahaman langsung
mengenai alam material, pemahaman atas kebudayaan dan
pemahaman mengenai diri sendiri atau memahami manusia
lain. Proses memahami bahasa terkait dengan hermeneutik.
Bahasa terdiri atas kata-kata dan kalimat yang memiliki makna
sesuai dengan konteks. Dua kalimat yang sama bisa berarti beda
jika konteksnya berbeda. Konteks ini disebut pula gaya bahasa.
- 392 -
Konteks yang lebih luas lagi dari aya bahasa adalah gaya sastra
(literary genre) . Gaya sastra erat kaitannya dengan konteks sosial.
Dengan demikian mampu mengungkapkan psikologis suatu
bangsa dan kedudukan karya tersebut dalam masyarakat (h.
40).
Secara antropologis hermeneutik adalah kegiatan eksis-
tensial manusia yang memberi ciri khas dan radikal pada
manusia, maka manusia dapat didefinisikan secara herme-
neutik yaitu makhluk yang mampu memberi makna kepada
realitas dengan bahasa sebagai peranan sentralnya (41).
Hermeneutik, berdasarkan sejarahnya, awalnya diterap-
kan orang Kristen dalam menghadapi kitab perjanjian lama.
Hasil tafsir tersebut termuat dalam perjanjian baru. Orang
Kristen mencoba melakukan dua model penafsiran, yaitu
penafsiran harfiah dan penafsiran simbolis. Penafsiran harfiah
mengikuti madzhab antiokhia dan penafsiran simbolis
mengikuti madzhab Alexandria. Kemudian puncak perpecahan
kaum kristiani karena adanya perbedaan hermeneutis.
Sumbangan yang sangat berarti dalam perkembangan
hermeneutik diberikan oleh teolog modern, Rudolf Bultmann
dengan konsepnya demitologisasi. Sumbangannya yang lain
adalah penerapan gagasan Heidegger yaitu pra paham pada
teologi. Jadi, untuk memahami sebuah teks, kita harus memiliki
pra paham tentang teks itu.
Dalam filsafat, refleksi kritis mengenai hermeneutik
dirintis oleh Friedrich Schleiermacher dengan pandangannya
mengenai pemahaman intuitif (divinatorisches Verstehen). Se-
buah tafsir membutuhkan intuisi tentang karya yang sedang
dipelajari. Kita mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas
situasi zaman dan kondisi batin pengarang dan berempati
dengannya. Tapi, teori ini dikritik karena kita harus mengatasi
kesenjangan waktu dengan pengarang yang tentunya memiliki
- 393 -
budaya yang berbeda pula. Kemudian Wilhelm Dilthey
menawarkan bahwa peristiwa yang termuat dalam teks kuno itu
harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah, maka
yang direproduksi bukanlah keadaan psikis pengarang
melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu. Dua tokoh
filsafat tersebut menganggap hermeneutik sebagai penafsiran
reprodutif.
Makna hermeneutik yang radikal diberikan oleh fisuf
Martin Heidegger yang menganggap bahwa hermeneutik
merupakan bagian dari eksistensi manusia yang lekat pada diri
manusia. Pengertian tentang objek baru terjadi karena ada pra
paham yang mendahuluinya. Inilah yang disebut dengan
lingkaran hermeneutis. Gagasan tentang lingkaran hermeneutis
ini diterima oleh Hans Georg Gadamer. Ia menolak gagasan
Dilthey dan Schleiermacher. Menurutnya kesenjangan antara
waktu antara kita dan pengarang tidak harus diatasi seolah-olah
sebagai sesuatu yang negative, melainkan justru harus
dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawala-cakrawala pema-
haman. Penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka melainkan
juga produktif. Maksudnya, teks bukanlah makna bagi
pengarangnya melainkan juga makna bagi jkita yang hidup di
jaman ini. Dengan demikian menafsirkan teks adalah proses
kreatif manusia(h. 44).
Pemahaman yang kita capai pada masa kini suatu saat
akan menjadi pra paham baru pada taraf yang lebih tinggi
karena adanya proses pengayaan kognitif dalam spiral
pemahaman itu. Jika pemahaman dilakukan melalui bahasa,
pemahamanpun bersifat intersubyektif atau dialogis.
Kesulitan yang akan kita hadapi dalam menafsirkan teks
masa lampau adalah jarak waktu antara kita dengan teks itu
ketika ditulis (h. 48). Pengarang dan pembaca memilimki latar
belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Hermeneutik
- 394 -
romantis Dilthey dan Shlaiermacher berusaha mencapai
identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan tugas
reproduktif; menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran,
kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan
rekonstruksi.
Gadamer kemudian tidak sependapat dan menawarkan
gagasan bahwa menafsirkan teks adalah tugas produktif dan
kreatif; kita justru membiarkan diri kita mengalami perben-
turan antara cakrawala kita dengan cakrawala pengarang.
Dengan cara ini maka pemahaman kita diperkaya dengan
unsure-unsur yang tak terduga. Perbenturan itu hendaknya
dihadapi secara produktif, kreatif dan terbuka sehingga
memperkaya pemahaman kita. Suatu teks perlu dipahami dalam
cakrawala masa lampau dan masa depan untuk menfaatnya di
masa kini (h.50).
Dunia kehidupan sosial seperti agama dan kesusasteraan
tak dapat begitu saja diketahui melalui observasi akan tetapi
terutama melalui pemahaman (verstehen). Yang ingin ditemu-
kan adalah makna. Untuk memahami dan kemudian menemu-
kan makna ia harus berpartisipasi ke dalam proses menghasil-
kan dunia kehidupan itu. Jadi, tidak membuat distansi antara
objek dan subyeknya. Verstehen mencoba memadukan antara
pemahaman teori dan pengalaman. Kehidupan sosuial harus
dilibati dari dalam diri subyek sosial. Jadi untuk mencapai
pemahaman makna dituntut berpartisipasi di dalamnya dengan
melangsungkan proses komunikasi (h. 63).
Hermeneutika romantis yang dicetuskan oleh Schleier
Macher dan Dilthey mempergunakan teori emphatic untuk
menjelaskan bahwa obyek dapat diketahui secara reproduktif.
Menurut hermeneutik romantis, pembaca teks harus mampu
beremphati secara psikologis ke dalam isi teks dan penga-
rangnya; pembaca haruis mampu ‘mengalami kembali’
- 395 -
pengalaman yang dialami pengarang yang termuat dalam teks
itu. Emphatic psikologistis itu terutama dicetuskan oleh
schalaiermacher dan kemudian Dilthey lebih menekankan pada
proses bagaimana karya itu diciptakan, membuat rekonstruksi
terhadap produk budaya tersebut. Jadi, perhatian kepada
struktur-struktur psikis dialihkan kepada struktur-struktur
simbolis. Namun demikian, keduanya berpendapat bahwa
hermeneutik adalah penafsiran secara reproduktif.
Tetapi Gadamer memahami makna dengan jalan
produktif. Jadi, penafsir terikat dengan konteks sosio historis
tempat ia berpijak, jadi kesenjangan waktu itu tak mungkin
dijembatani oleh emphatic atau sekedar mereproduksi struktur-
struktur simbolik. Menurutnya cara yang tepat menafsirkan teks
adalah keterbukaan antara masa kini dan masa depan. Dengan
demikian tugas penafsiran tak kunjung selesei dan bersifat
kreatif (h. 64).
Metode hermeneutik sejak awal berurusan dengan
penafsiran, dan yang ditafsirkan adalah teks. Teks dapat
diperluas pengertiannya ke teks sosial. Teks dihasilkan oleh
“pengarang” atau pelaku sosial. Teks hendak ditafsirkan, begitu
pula dengan masyarakat. Tujuannya adalah untuk memahami
maknanya (sinverstehen), maka peneliti harus melibatinya dari
dalam. Ada dua cara untuk melibatinya, pertama adalah cara
empati (disarankan oleh Fredrich Schleiermacher dan Wilhelm
Dilthey). Schleiermacher meng-usulkan empati psikologis, yaitu
peneliti harus mampu masuk ke dalam isi teks sosial sampai
“mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya,
yaitu pengalaman para pelaku sosial. Dilthey memperbaiki
theori empati ini untuk menemukan obyektivitas, karena
schleiermacher terlalu psikologistis. Menurut Dilthey yang
direproduksi bukanlah pengalaman pengarang melainkan
bagaimana proses teks sosial itu terbentuk. Kalau kita meneliti
- 396 -
karya seni misalnya maka kita harus menemukan kaitan-kaitan
antara pranata-pranata atau teks sosial itu. Bukan struktur
praksis yang penting melainkan struktur simbolis.
Cara empati yang reproduktif itu kemudian dikoreksi
oleh Gadamer dengan cara produktif. Karena teks sosial itu
berasal dari masa lampau dan sudah berlangsung. Untuk itu
Gadamer mengusulkan bahwa teks sosial itu harus ditafsirkan
secara kreatif-produktif dengan keterbukaan terhadap masa kini
dan masa depan. Di sini peneliti bukan sekedar mereproduksi
teks-sosial melainkan menafsirkannya secara kreatif.
Setelah menemukan keterlibatan metodis itu, peneliti
perlu menangkap unsure hakiki yang terkandung dalam teks
sosial. Pengalaman adalah unsure subjektif yang dalam
penghayatan internal pelaku-sosial (hasrat-cita-cita, harapan).
Itu semua mendapat wujud lahiriyah berupa karya seni, tulisan,
tingkah laku (ekspresi sosial). Jadi terjadi pemahaman dan
proses dialog antara teks dengan peneliti sehingga
penafsirannya tidak hanya hermeneutis melainkan praksis
komunikasi. Penelitian hermeneutik berbentuk spiral, artinya
totalitas menafsirkan bagian dan bagian menafsirkan totalitas.
Pola spiral itu menampilkan pola kominikasi manusiawi yang
bersifat intersubyektif dan sosial. Dengan demikian, penelitian
sosial dalam perspektif teori kritis itu bukan hanya meng-
gunakan komunikasi melainkan komunikasi itu sendiri;
penelitian sosial sebagai praksis komunikasi.
Di dalam mitologi Yunani ada tokoh bernama Hermes.
Menurut mitos, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata
(orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Jadi hermeneutik
kitab suci artinya menafsirkan kehendak tuhan sebagaimana
terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci.
Hermeneutik sebagai fenomen khas manusia. Salah satu
gejala yang membedakan manusia dengan hewan adalah
- 397 -
manusia itu berbahasa, memakai lambang, berupa bahasa.
Manusia dalam istilah Erns Cassirer adalah animal simbolicum
atau langue-using animal. Karena manusia selalu berbahasa maka
manusia pun tiada berhenti menafsirkan. Dengan demikian
hermeneutik merupakan gejala khas manusia.
Seorang penutur mencoba mengekspresikan pengalaman-
nya dalam bentuk kata-kata yang memiliki makna objektif yang
dapat dimengerti pendengarnya. Kemudian pendengar
melakukan proses subyektifikasi, yaitu memahami kata-kata
atau percakapan tersebut sesuai dengan pemahamannya.
Kemudian penafsir itu mengembalikan kata-kata itu ke makna
aslinya, sebagaimana yang dimaksudkan penuturnya sebelum
dipadatkan dalam bentuk kata-kata.
Alam pikir masyarakat abad pertengahan secara kualitatif
berbeda dengan alam pikir masyarakat modern. Alam pikir
masyarakat abat pertengahan adalah metafisika. Mereka
meyakini adanya suatu tatanan dunia obyektif yang berdiri
lepas dari subyek yang berpikir. Mereka menekankan obyek
pengetahuan dan mengabaikan subyek. Rene Descartes adalah
sosok dalam filsafat yang berperan sebagai juru bicara
keruntuhan abad pertengahan. Semua makana dunia objektif
dipertanyakan dan disangsikan secara metodis, sehingga
sampailah ia pada keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa: aku
berpikir maka aku ada (je pense donc je suis).
- 398 -
teks yang ditulis pada masa lampau seperti bible tetap ada tetapi
konteks yang menghasilkannya sudah tidak ada lagi
keberadaannya. Schleiermacher menunjukkan bahwa tujuan
dari hermeneutik adalah untuk menyusun kembali konteks
aslinya sehingga kata-kata dalam teks tersebut dapat dipahami
dengan tepat. Hermeneutik selanjutnya dikembangkan pada
abat 19 oleh Wilhelm Dilthey, yang mencoba membangun dasar
yang lebih ilmiah untuk tujuan pengkajian ilmu-ilmu
kemanusiaan yakni kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial yang
bertentangan dengan ilmu-ilmu alam.
Oleh karena itu, fokus utama hermeneutik adalah
pemahaman dibanding penjelasan yang diterapkan dalam ilmu
alam, karena dalam penafsiran ilmu-ilmu alam diarahkan pada
dunia non kemanusiaan. Sebaliknya interpretasi ilmu-ilmu
kemanusiaan justru diarahkan pada apa yang telah dihasilkan
oleh manusia sehingga pemahaman harus dilakukan untuk
menampilkan obyek-obyek produk manusia supaya bisa hidup,
seperti teks yang ditulis pada masa lampau. Dilthey juga
mengedepankan masalah “lingkaran hermeneutik”, yaitu untuk
memahami sebuah teks seseorang harus mempunyai ide utama
dari keseluruhan arti, juga seseorang hanya dapat mengetahui
arti dari keseluruhan hanya dengan mengerti arti dari bagian-
bagiannya. Dilthey percaya bahwa perputaran ini dapat
dihindari melalui suatu permainan tetap yang saling
menentukan dan arah balik antara bagian-bagian dan
keseluruhan itu.
Sebuah perubahan besar dalam pemikiran hermeneutik
terjadi pada abad ini sebagai dampak dari filsafat Martin
Heidegger yang karyanya berpengaruh besar terhadap salah
satu tokoh terpenting dalam hermeneutik modern, yaitu Hans
Georg Gadamer. Gadamer mengembangkan pernyataan
Heidegger bahwa situasi historis dan temporal penafsiran tidak
- 399 -
dapat dilepaskan dari hermeneutis. Oleh karena itu, tidak ada
yang harus lepas dari lingkaran hermeneutik. Dalam karya
besarnya, Truth and Method, dia berpendapat bahwa: masa lalu
dapat ditangkap hanya melalui relasinya dengan masa kini.
Oleh karena itu, pemahaman masa lampau melibatkan fusi
horison (peleburan cakrawala) antara teks sebagai perwujudan
pengalaman masa lampau dan minat dan bahkan pra andaian
dari penafsir pada saat ini dan tidak seperti Schleiermacher dan
Dilthey yang percaya bahwa rekonstruksi konteks original dari
teks dalam istilahnya sendiri dengan minat dan prasangka
penafsir dijauhkan sejauh mungkin.
E.D. Hirsch barangkali pengikut paling utama pende-
katan hermeneutik tradisional dari schleiermacher dan Dilthey,
bertentangan dengan gadamer dan Heidegger karena Hirsch
percaya bahwa heidegger dan Gadamer membawa kita pada
bentuk hermeneutik yang mengarah kepada relativisme total.
Hirsch beralasan bahwa penafsir dari sebuah teks memiliki
tugas moral untuk memahami teks dalam relasinya dengan
konteks aslinya. Tetapi Hirsch berupaya untuk mempertahan-
kan beberapa peran bagi minat penafsir dengan menarik
perbedaan antara arti dan makna. Apabila arti dari teks dapat
tetap maka makna akan berubah dalam kaitannya dengan minat
penafsir.
P.D. Juhl dalam bukunya Interpretation juga tertarik atau
berminat pada hermeneutik tradisional tetapi tidak seperti
Hirsch. Dia (Juhl) melakukan sesuatu dengan dasar inten-
sionalis. Dia berpendapat bahwa kita hanya dapat menginter-
pretasi teks jika kita dapat mengasumsikan bahwa teks itu
diciptakan sebagai satu hasil dari keniatan manusia (human
intentionality). Oleh karena itu, menginterpretasi teks seolah-
olah tidak berpengarang. Jadi yang harus ada dalam
- 400 -
hermeneutik adalah usaha untuk merekonstruksi maksud
pengarang yang asli dari bukti-bukti apapun yang ditemukan.
Gadamer menyatakan bahwa bahasa sebagai penentu
objek hermeneutik. Menulis merupakan proses pemindahan
diri. Lebih-lebih membaca teks. Membaca teks merupakan tugas
tertinggi dari pemahaman, bahkan tanda-tanda prasasti secara
murni dapat dilihat secara tepat dan dapat diartikulasikan secara
benar hanya jika teks dapat ditransformasikan kembali kepada
bahasa. Bagaimanapun, transformasi itu selalu membangun
hubungan dengan apa yang dimaksudkan, dengan obyek yang
sedang dibicarakan. Di sini proses pemahaman pndah dengan
masuk ke ke bidang arti yang dijembatani oleh tradisi bahasa.
Jadi tugas hermeneutik dengan suatu inskripsi permulaan
hanya setelah diuraikan. Hanya dalam arti luas bukan
merupakan sastra monumen yang menghadirkan tugas
hermeneutik. Jadi tidak dapat dipahami oleh dirinya sendiri.
Yang dimaksudkan adalah sebvuah pertanyaan tentang
interpretasi, bukan uraian dan pemahaman terhadap apa yang
mereka katakan.
Dalam penulisan, bahasa mencapai kebenaran kualitas
intelektualnya ketika bertentangan dengan tradisi pemahaman
kesadaran yang mendapatkan kekuasaannya secara penuh.
IV. Ringkasan
1. Hermeneutika sebagai ilmu interpretasi merupakan proses
yang bersifat triadik (mempunyai tiga aspek yang saling
berhubungan), yaitu dunia teks (the world of the text), (b)
dunia pengarang (the world of author), dan (c) dunia pembaca
(the world of reader)
2. Tokoh-tokoh hermeneutik yaitu (1) F.D.E. Schleiermacher
(1768-1834), (2) Wilhelm Dilthey (1833-19211), (3) Emilio
Betti, (4) E.D. Hirsch, (5) Bultmann, (6) Martin Heidegger
- 401 -
(1889-1976), (7) Hans Georg Gadamer, (8) Jurgen Habermas,
(9) Paul Recoeur.
3. Hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada
di balik struktur. Permahaman makna, tak hanya pada
simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di
dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penliti
harus menukik ke arah teks dan konteks hermeneutik
sehingga ditemukan makna utuh.
4. Pada dasarnya paradigma hermeneutik telah menawarkan
dua metode tafsir sastra. Pertama, metode dialektik antara
masa lalu dengan masa kini dan Kedua, metode yang
memperhatikan persoalan antara bagian dengan
keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti untuk
melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas
konteks historis-kultural.
5. Intrerpretasi teks sastra tergantung pada pengalaman
peneliti. Semakin dewasa si peneliti, tentu kematangan
psikologisnya dalam menafsirkan semakin bisa diandalkan
pula. Pengalaman peneliti juga amat penting dalam
menggali makna sebuah teks sastra.
6. Penafsiran teks sastra setidaknya mengikuti salah satu atau
lebih dari enam pokok rambu-rambu yaitu : teks sudah jelas,
berusaha menyusun kembali arti historik, Penafsir dapat
berpedoman pada maksud si pengarang seperti nampak
pada teks sendiri atau diluar teks, berusaha memadukan
masa silam dan masa kini, bertolak pada pandangannya
sendiri mengenai sastra. berpangkal pada suatu
problematik tertentu, seperti aspek politik, psikologis,
sosiologis, dan moral, serta pembaca dapat menafsirkan
sendiri teks yang dibaca.
- 402 -
DAFTAR PUSTAKA
- 403 -
LATIHAN
بالتوفيق والسداد
- 404 -
Teori &
BAB Metode Kajian
___ 18 Interdisipliner
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode kajian
interdisipliner. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode kajian
interdisipliner. Pada bab selanjutnya akan dipelajari tentang
kajian dekonstruksi. Mahasiswa diharapkan mempelajari de-
ngan baik materi ini dengan baik agar dapat mengikuti materi
berikutnya dengan mudah.
- 405 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori dan metode kajian interdisipliner, dan
dapat menerapkan teori tersebut dalam teks prosa Arab.
A. Pengertian Interdisipliner
Pendekatan Interdisipliner adalah pendekatan dalam
pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan
berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan atau
tepat guna secara terpadu. Adapun Pendekatan Multi-
disipliner adalah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah
dengan menggunakan berbagai sudut pandang banyak ilmu
yang relevan.
Interdisipliner (interdisciplinary) adalah interaksi intensif
antar satu atau lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan
maupun yang tidak, melalui program-program pengajaran dan
penelitian, dengan tujuan melakukan integrasi konsep, metode,
dan analisis. Multidisipliner (multidisciplinay) adalah peng-
gabungan beberapa disiplin untuk bersama-sama mengatasi
masalah tertentu. Transdisipliner (transdisciplinarity) adalah
upaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru
dengan membangun kaitan dan keterhubungan antar berbagai
disiplin (Prentice, A.E (1990); http://www.darmayanti.
wordpress.com/2012/02/25/interdisipliner-multidisipliner-dan-
transdisipliner/
Penelitian sastra memerlukan sumbangan ilmu-ilmu
bantu, lebih-lebih dalam interpretasi karya sastra, penafsiran/
penguraian maksud atau makna karya sastra. Bila peneliti
sudah membekali diri dengan ilmu-ilmu bantu diharapkan
- 406 -
mudah baginya untuk memahami karya sastra. Ilmu-ilmu
bantu yang dimaksud adalah ilmu-ilmu sosial yang ada
hubungannya dengan sastra, seperti bahasa, biografi, psikologi,
sosiologi, sejarah, filsafat, etnologi, dan cabang-cabang seni
yang lain.
Sastra merupakan produk masyarakat, sastra itu
merupakan pengalaman yang intens, yang ditunjukkan melalui
keberadaan jiwa dan perilaku tokoh-tokohnya. Jadi jelas betapa
penelitian sastra memerlukan sekali uluran tangan ilmu-ilmu
bantu tersebut. Penelitian intrinsik misalnya, jelas memerlukan
bantuan linguistik (bahasa). Demikian pula penelitian eks-
trinsik perlu bantuan psikologi, sosiologi, sejarah, filsafat, dan
sebagainya.
Ilmu-ilmu bantu itu diharapkan dapat memberi kemung-
kinan lebih besar bagi pemahaman sastra. Dengan sumbangan
ilmu bantu, peneliti sastra diharapkan menjadi peneliti sastra
yang baik. Akan tetapi itu bukan berarti dimaksudkan agar
peneliti sastra menjadi linguis, sejarawan, psikolog, atau
sosiolog. Memang mungkin saja terjadi karya sastra dikajikan
objek studi sosiologi, psikologi, atau sejarah, tetapi bila karya
sastra dijadikan objek kajian sastra tentu saja berbeda
persoalannya. Oleh sebab itu pengajaran ilmu-ilmu bantu itu
harus dibedakan untuk kepentingan studi sastra atau untuk
kepentingan studi yang lain.
Dalam kaitannya dengan studi sastra, ilmu-ilmu bantu itu
cenderung lebih banyak dimanfaatkan untuk penelitian
ekstrinsik (Wellek & Warren, 1968: 73). Ilmu-ilmu bantu ada
kemungkinan diperlukan dalam penelitian aspek-aspek sosial
dalam teks sastra, atau diperlukan dalam penelitian hubungan
teks sastra dengan segi-segi sosiologisnya. Misalnya hubungan
sastra dengan pengarang, dengan pembaca, penerbit atau
proses saling pengaruh, serta sebab akibat dalam hubungan itu.
- 407 -
Manfaat ilmu-ilmu bantu itu terhadap penelitian sastra secara
teoritis akan terlihat apabila kita berbicara tentang hubungan
sastra dengan ilmu-ilmu bantu satu demi satu.
- 408 -
1. Nivenu anorginis
Merupakan tingkatan jiwa terendah, sifatnya seperti
benda mati. Bila tejelma dalam karya sastra berupa pola bunyi,
irama, baris sajak, kalimat, gaya bahasa, dan sebagainya.
2. Niveauvegetatif
Meruapakn tingkatan kedua, seperti halnya tumbuhan,
pada tingkat ini telah ada kehidupan, ada gerak, tetapi belum
ada perasaan, keinginan, dan sebagainya. Bila tingkatan ini
terjelma dalam karya sastra berupa suasana yang ditimbulkan
oleh rangkaian kata misalnya mesra, senga, sedih dan
sebagainya.
3. Niveau animal
Tingkatan jiwa seperti yang dimiliki binatang, telah ada
hasrat, nafsu, kemauan yang didorong oleh nafsu jasmaniah
yang bersifat naluri. Tingkat jiwa ini bila terjelma dalam karya
sastra berupa hasrat, keinginan, harapan, cita-cita dan
sebagainya.
4. Niveau human
Tingkatan jiwa ini hanya dapat dicapai oleh manusia
berupa perasaan, akal. Bila terjelma dalam karya sastra berupa
renungan moral, batin, sikap, pertimbangan pikiran, dan
sebagainya.
5. Niveau religius
Merupakan tingkatan jiwa tertinggi yang tidak dialami
manusia sehari-hari, hanya ada saat dalam renungan. Misalnya
berdoa, bersemedi, meditasi dan sebagainya. Bila terjelma
dalam karya sastra berupa hubungan manusia dengan Tuhan,
misalnya doa-doa, pengalaman mistik, renungan filsafat,
hakikat, dan lain-lain.
Setiap proses penciptaan seharusnya meliputi unsur-
unsur sadar dan tak sadar. Akan tetapi, kadang-kadang suatu
- 409 -
teori ilmu jiwa dipakai pengarang untuk melukiskan tokoh-
tokoh dan lingkungan sosialnya. Tipe-tipe jiwa dan norma-
norma tingkah laku tokoh-tokoh dalam karya sastra sedikit
banyak berpengaruh pula terhadap jiwa pembaca. Dalam skala
kecil berupa reaksi emosional yang bersifat spontan. Dalam
skala besar bisa berupa sikap, pendirian, prinsip, watak, dan
lain-lain apabila pembaca sampai pada renungan dan
pemahaman yang dalam.
Menurut Darma, nilai-nilai seni yang terkandung dalam
karya sastra selain membawa ajaran moral juga mampu
membentuk jiwa halus, berperasaan dan sifat-sifat humanitat
yang lain (1984:47). Ada pendapat yang mengatakan bahwa
semakin banyak seseorang membaca karya sastra, maka orang
tersebut cenderung lebih kritis, bijak, dan mempunyai peng-
hargaan yang tinggi terhadap nilai kemanusiaan. Adakalanya
nilai seni suatu karya sastra mampu menumbuhkan watak
tertentu dari suatu masyarakat.
Sastra berhubungan dengan Filsafat. Sastra adalah wadah
filsafat tertentu atau perwujudan dari suatu aliran filsafat.
Dalam sejarah kebudayaan, masa keemasan filsafat dalam
sastra dapat ditemui pada waktu seorang pujangga berfungsi
sebagai filsuf, atau sebaliknya bila seorang filsuf berfungsi
sebagai seorang penulis.
Sastra setiap saat selalu mengalami perkembangan.
Karena itu sastra berkaitan dengan sejarah. sejarah sedikit
banyak mencatat perkembangan sastra. Hanya saja karena
sejarah sastra erat kaitannya dengan sejarah kebudayaan, maka
pertalian sastra yang khusus ialah dengan sejarah kebudayaan.
Hasil sastra terkadang juga menceritakan tokoh-tokoh tertentu
atau dengan situasi politik dan kebudayaan yang berkembang
pada kurun waktu tertentu.
- 410 -
Sastra juga berhubungan dengan sosiologi. Wellek dan
Warren mengatakan bahwa karya sastra itu sebuah lembaga
masyarakat yang bermedium bahasa, sedang bahasa sendiri
adalah ciptaan masyarakat (1968:94). Oleh sebab itu, kebanyaan
unsur-unsur dalam karya sastra bersifat sosial, yaitu norma-
norma yang dapat tumbuh dalam masyarakat. Karya sastra
juga mewakili kehidupan, sedang kehidupan adalah kenyataan
sosial yang dalam diri sastrawan dapat menjadi objek
penciptaan karya sastra.
Pengarang adalah anggota masyarakat, ia mempunyai
hak penuh untuk mengharapkan kebebasan dari masyarakat-
nya, yakni kebebasan berbicara, melontarkan gagasan,
memandang setiap persoalan serta menentukan cara berkreasi
sesuai konsepnya. Sebaliknya, masyarakat juga mempunyai
alasan untuk mengharapkan tanggung jawab sosial pengarang.
Mungkin berupa kritik atau protes terhadap situasi dan kondisi
sosial tertentu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat.
Problem masyarakat sebenarnya juga problem karya sastra,
karena karya sastra tidak hanya berfaedah bagi perseorangan,
tetapi juga berfungsi sosial.
Menurut pendapat Marxis, karya sastra harus berorientasi
pada kepentingan masyarakat tanpa membedakan kelas
berdasarkan norma politik dan etika. Namun demikian, betapa
pun besarnya kesadaran sosial yang dikandung suatu karya
sastra belum tentu menjamin nilai artistiknya. Ada karya sastra
besar yang tidak mengungkapkan soal-soal masyarakat. Karya
sastra yang berbicara tentang masyarakat bukan berarti pusat
dari karya sastra, melainkan hanya cabang kecil dari karya
sastra. Sebab, hakikatnya karya sastra bukan tiruan kehidupan,
juga bukan pengganti sosiologi atau politik tetapi karya sastra
mempunyai nilai dan maksud sendiri (Sumardjo, 1982:15-16).
- 411 -
Antara karya sastra dengan seni rupa dan seni musik juga
saling berkaitan. Puisi kadang-kadang mendapat ilham dari
lukisan, pahatan, atau nyanyian. Penyair sendiri juga mem-
punyai minat terhadap seni rupa dan kesukaan pada pelukis-
pelukis tertentu yang teorinya dapat dihubungkan dengan teori
dan citarasa karya sastra (Wellek & Warren, 1968:125).
Sebaliknya, tema-tema seni sastra dapat dipakai dalam
seni rupa dan seni suara, terutama dalam vokal sebagaimana
puisi lirik dan drama yang berhubungan erat dengan musik.
Karya sastra sering mengusahakan diri menimbulkan efek
seperti dalam seni lukis dan seni suara atau sebaliknya. Dalam
karya sastra yang beraliran simbolisme, anasir suara dipenting-
kan. Selain itu ada juga anasir-anasir umum dalam puisi seperti
irama, metrum yang juga menjadi objek penelitian musik.
Musik dan karya sastra sebagai dua jenis penyataan seni sama-
sama menggunakan lambang. Hubungan seni sastra dengan
seni lukis tampak pada peminjaman istilah. Seni sastra dan seni
lukis menggunakan istilah yang sama, misalnya realisme,
surrealisme, ekspresionisme, romantisme, dan lain-lain,
terutama untuk menyebut aliran atau gaya (Wellek & Warren,
1968:131). Hubungan yang lebih erat terlihat karena kedua seni
itu termasuk bidang estetika.
Sastra juga berhubungan dengan etnologi. Hubungan
karya sastra dengan etnologi terlihat dalam pemakaian bentuk
bahasa. Hubungan karya sastra dengan kepercayaan masya-
rakat kepada hal-hal gaib yang ada dalam kehidupan, misalnya
ada tabu bahasa, mantra, dan sebagainya. Hubungan itu
terlihat pula jika kita membicarakan bagaimana cerita lisan
(folklor) itu menjadi cerita tertulis.
Sastra juga berhubungan dengan Pengarang. Sebuah
karya sastra sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari penga-
rangnya. Sebuah karya sastra sebelum sampai kepada pembaca,
- 412 -
tentunya ia melewati suatu proses yang panjang. Proses dari
mulai munculnya dorongan untuk menulis, pencarian inspirasi,
pengendapan ide (ilham), penulisan sampai akhirnya tercipta
sebuah karya sastra yang siap untuk dinikmati masyarakat.
Sastra diciptakan pengarang tidak dalam keadaan kosong.
Pengarang tentu mempunyai misi tertentu yang harus
disampaikan kepada pembaca. Mungkin berupa gagasan, cita-
cita, dan saran. Pengarang menulis tentu ada sesuatu yang
ingin disampaikan kepada pembaca. Kepekaan naluri
pengarang dengan kreativitas dan latar belakang sosialnya
mampu mendorong untuk mengungkapkan realitas istimewa
yang ditangkap batin melalui indera itu untuk disampaikan
kepada orang lain. Dalam sastra, pengarang mencurahkan
segala yang ada pada dirinya dengan ketulusan yang tidak ada
taranya, sehingga tidak boleh ada sesuatu yang tidak berkaitan
dan mempunyai arti dalam karya sastra (1977:33). Jadi
pengarang dalam mencipta, sadar ataupun tidak, selalu
memasukkan kehidupan pribadinya ke dalam karya yang
diciptakannya. Kehidupan pribadi itu mungkin perasaan,
keinginan atau pengalamannya.
Oleh sebab itu, dalam penelitian sastra (struktur atau
sosiologi) faktor pengarang tidak dapat dikesampingkan begitu
saja, sebab faktor pengarang erat kaitannya dnegan karya
sastra. Kaitan itu terlihat pada hubungan latar belakang
pengarang dengan proses penciptaan teks; latar belakang sosial
pengarang dengan aspek intrinsik dan ekstrinsik karya sastra.
Jadi latar belakang pengarang yang menyangkut biografi
sangat menunjang penelitian karya sastra. Bahkan dikatakan
Wellek dan Warrren bahwa sebab terpenting lahirnya karya
sastra adalah pengarang (1968:75-76). Oleh sebab itu latar
belakang pengarang yang menyangkut biografi tidak dapat
dikesampingkan. Biografi mengandung bermacam-macam
- 413 -
nilai, dapat menerangkan sebab timbulnya karya sastra, dapat
merupakan bahan ilmu jiwa pengarang, dan dapat
menunjukkan proses terciptanya sebuah teks sastra.
- 414 -
menjadi tiga golongan, yaitu golongan atas, yang terdiri atas
orang-orang yang makmur, hidup lebih dari cukup, dan status
sosial tinggi. Golongan masyarakat menengah, yang umumnya
berpendidikan tinggi, tetapi karena pendidikan tinggi belum
tentu menjamin hidup yang lebih baik, maka banyak lulusan
pendidikan tinggi yang menempati kelas ini. Golongan
masyarakat bawah, meliputi rakyat pinggiran yang terdiri dari
buruh, pedagang kecil, buruh kasar, petani dan yang rata-rata
kurang berpendidikan atau tidak berpendidikan.
Sumardjo menjelaskan bahwa jika ditinjau dari segi
intelektual dan kultural maka golongan masyarakat bawah
sulit ditarik ke dalam kehidupan sastra. Selain pendidikan yang
kurang bahkan buta huruf, mereka hidup penuh kesulitan
sehingga tidak ada waktu luang untuk mengisi kekayaan batin
mereka dengan membaca karya sastra. Masyarakat atas juga
sulit menjadi masyarakat sastra, sebab kehidupan mereka yang
makmur diwarnai kesibukan pekerjaan dan berbagai kegiatan.
Umumnya karya sastra adalah produk lapisan masyarakat
menengah, sebab lapisan ini adalah kaum terpelajar, banyak
yang mencapai pendidikan tinggi (1982:28).
Damono membagi golongan masyarakat pembaca atas
dua kelompok. Pertama, golongan pembaca sastra klas dua.
Pembaca golongan ini menyukai karya sastra yang dihasilkan
pengarang klas dua, yaitu yang isinya hanya sekedar
reproduksi realitas sosial dan kesadaran kolektif. Karya ini
hanya berupa pembeberan pengalaman pengarang tanpa
upaya rekonstruksi. Kedua, golongan pembaca yang menyukai
karya sastra yang dihasilkan pengarang utama, yaitu karya
sastra yang isinya menjajagi kedalaman nilai-nilai realitas
dengan diimbangi oleh struktur yang sepadan sehingga
pemahamannya perlu penafsiran yang dalam (1979:5-6).
- 415 -
Luxemburg menerangkan hubungan karya sastra dengan
pembaca, bahwa ada pembaca ”di dalam” teks dan ”di luar”
teks. Pembaca ”di dalam” teks meliputi pembaca implisit dan
eksplisit, pembaca ”di luar” meliputi pembaca sesungguhnya
dan pembaca yang diandaikan (1984:76-79). Pembaca yang
diandaikan dijumpai dalam uraian tentang puisi dan
interpretasi-interpretasinya. Pembaca yang sesungguhnya ialah
pembaca yang dapat dianggap sebagai objek penelitian resepsi
eksperimental, misalnya peneliti dan kritikus. Tentang pem-
baca ”di dalam” teks yang dimaksud dengan pembaca implisit
atau pembaca yang sebetulnya disapa oleh pengarang ialah
gambaran pembaca yang merupakan sasaran pengarang dan
yang terwujud oleh sengaja petunjuk yang terdapat dalam teks.
Pembaca yang mengerti akan petunjuk-petunjuk itu akan dapat
memahami bagaimana teks yang bersangkuan harus dibaca.
Pembaca eksplisit dasarnya sama dengan pembaca implisit,
yaitu pembaca yang disapa pengarang. Hamya saja menya-
panya secara langsung, Jadi seolah-olah ada yang diajak bicara
oleh pengarang.
Karya sastra sebagai ekspresi masyarakat yang sepenuh-
nya mewakili zaman dan masyarakatnya. Karya sastra lahir
tidak saja disebabkan oleh masyarakat, tetapi juga mempe-
ngaruhi masyarakat. Sekali pun karya sastra adalah ciptaan
pengarang, tetapi apabila telah dilempar ke masyarakat ia akan
menjadi milik masyarakat, disukai atau tidak. Sebab kenyataan
bahwa masyarakat pembaca tidak memiliki tingkat apresiasi,
selera, kepentingan, dan minat baca yang sama, tentu saja
karena faktor latar belakang yang snagat heterogen. Namun
begitu masyarakat pembaca sebagai salah satu pendukung
kehidupan duni sastra tetap merupakan bagian yang penting.
- 416 -
D. Hubungan Karya Sastra dengan Sistem Sosial Budaya
Karya sastra erat kaitannya dengan sistem sosial budaya.
Sebagai bagian dari budaya, karya sastra mempunyai kaitan
dengan segi-segi budaya lainnya, seperti bahasa, agama,
bermacam-macam kesenian, dan sistem sosial. Tentang fungsi
sosial karya sastra, Damono menjelaskan bahwa ada tiga hal
yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan fungsi sosial karya
sastra. Pertama, ada karya sastra sama derajatnya dengan karya
pendeta atau nabi; dalam anggapan ini tercakup pendirian
bahwa karya sastra harus berfungsi sebagai pembaharu, pe-
rombak dan mengajarkan sesuatu secara terus-menerus.
Kedua, anggapan bahwa karya sastra bertugas sebagai peng-
hibur saja; dalam hal ini gagasan ”seni untuk seni” tak ada
bedanya dengan praktek melariskan dagangan. Ketiga,
anggapan bahwa karya sastra harus emngajarkan sesuatu
dengan cara menghibur (1984:4).
Tentang fungsi kultural karya sastra, Damono berpen-
dapat bahwa setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal
balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan
karya sastra itu sendiri sebenarnya kultur yang rumit. Sebab
bagaimanapun juga karya sastra bukanlah suatu gejala
tersendiri. Oleh sebab itu, karya sastra tidak dapat dipahami
selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan
kebudayaan dan peradaban yang telah menghasilkannya. Ia
harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak
hanya dirinya sendiri (1984:4). Untuk memahami suatu teks
sastra dibutuhkan pengetahuan bermacam-macam sistem kode
yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Selain kode
bahasa dan kode sastra yang khas, penting pula adalah sistem
kode budaya (Teeuw, 1984:13-14).
Hubungan karya sastra dengan sistem sosial budaya lebih
jauh dapat kita ketahui dengan mempelajari hubungan nilai
- 417 -
dalam karya sastra dengan sistem nilai dalam masyarakat. Nilai
dalam karya sastra maksudnya ialah sistem norma yang
diberlakukan dalam karya sastra dan sistem nilai dalam masya-
rakat artinya sistem norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Nilai dalam karya sastra yang sesuai
dengan sistem nilai dalam masyarakat berarti tidak membawa
inovasi bai dinamika budaya, peradaban dan pola pikir
masyarakat. Idelanya karya sastra harus membawa pembaruan
bagi masyarakatnya, harus inovatif. Oleh karena itu sebaiknya
nilai dalam karya sastra tidak sesuai dengan sistem nilai dalam
masyarakat, tetapi justru harus mendahuluinya.
Sebagai bagian dari sistem sosial budaya, moral dengan
karya sastra juga tidak dapat dipisahkan begitu saja. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa karya sastra yang baik
selalu memberi pesan kepada pembaca supaya berbuat baik.
Pesan itu dinamakan moral, orang biasa menyebutnya amanat.
Maksudnya sama, yaitu karya sastra yang baik selalu mengajak
pembaca untuk menjunjung tinggi moral.
Terdapat kemiripan antara agama, filsafat dan sastra.
Darma berpendapat bahwa karya sastra, agama dan filsafat
sama-sama bercerita tentang manusia, yaitu sama-sama ber-
tugas mendidik jiwa manusia menjadi halus, yang memenuhi
fungsi dan hakikatnya serta sufatnya sebagai manusia, meski-
pun dengan cara yang berbeda-beda. Jika agama langsung
menunjuk pada kebenaran moral berdasarkan kesadaran dan
keyakinan, maka karya sastra justru mengungkap dunia yang
seharusnya menurut moral tidak terjadi (1984:47).
Karya sastra yang lahir karena agama menurut Darma
sudah mempunyai ciri yang jelas. Karya sastra digunakan
sebagai sarana manusia untuk bertaqwa, untuk memberikan
pengakuan manusia akan keterbatasannya. Namun begitu
tidak sedikit hasil sastra yang jelas-jelas bernafaskan keaga-
- 418 -
maan, baik berupa cerpen, novel, maupun puisi. Sebenarnya
dapat dikatakan hampir setiap karya sastra mengandung nilai
moral betapa pun kecilnya (1984:53).
- 419 -
kritis kehidupan. Gerakan saling-silang dan kerja sama
mengakibatkan adanya gerak konvergensi dalam tradisi ilmu-
ilmu modern, yaitu gerak perapatan, penggabungan, penya-
tuan, pemaduan, dan pengombinasian teori dan metodologi
ilmu-ilmu yang beraneka ragam dan majemuk. Pada awal
tahun 1990-an juga mulai muncul dan berkembang pula
gerakan memadukan atau meleburkan metodologi kualitatif
dan kuantitatif.
Ideologi multidisipliner menurut Saryono (2015) memiliki
orientasi pada penuntasan masalah-masalah yang dihadapi
oleh manusia dengan menggunakan berbagai teori dan
metodologi secara serempak. Bangun teoretis [ontologis] dan
metodologis [epistemologis] yang tersekat-sekat atau terfrag-
mentasi di-bongkar dan aksiologi dirangkul kembali dalam
‘ideologi’ multidisipliner serta kemudi-an diduetkan atau
dipertemukan dalam konteks ideologi multidisipliner. Dari
sinilah kemudian lahir studi-studi tertentu.
‘Ideologi’ monodisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu
sastra mendorong timbulnya (semacam) “krisis ontologis dan
epistemologis [metodologis]”. Kenyataan tersebut jelas
merupakan kondisi dunia ilmu bahasa dan dunia ilmu sastra
yang tak ideal, bahkan “terbelakang” dan terancam mengalami
senjakala kematian. ‘Ideologi’ multidisipliner dalam ilmu
bahasa dan ilmu sastra kemudian muncul untuk merespons
dan mengubah kondisi dunia ilmu bahasa dan ilmu sastra
tersebut. Bangunan teoretis [ontologis] dan epistemologis atau
metodologis yang monodisipliner lalu mulai dibongkar,
digeser, malah diganti. Sebagai gantinya, mulailah dikem-
bangkan bangun teoretis dan metodologis yang bersifat
multidisipliner dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra. Semenjak
paruh terakhir dasawarsa 1980-an mulai berkembang pesat
- 420 -
teori dan metodologi ilmu bahasa dan ilmu sastra yang
multi(inter)disipliner (Saryono, 2015).
Bidang-bidang multidisipliner dalam ilmu bahasa dan
ilmu sastra misalnya fonetik, psikologi bahasa, sosioilmu
bahasa, geografi bahasa, etnografi komunikasi, dan neurologi
bahasa serta wacana kritis; psikologi sastra, sosiologi sastra,
estetika, kri-tisisme baru, etnopuitika, dan pascakolonialisme.
Metode-metode multidisipliner juga mendapat tempat dalam
penelitian ilmu bahasa dan ilmu sastra, bahkan lazim dipakai
dalam kegiatan penelitian ilmu bahasa dan kajian sastra,
misalnya semiotika bersama hermeneutika. Pada dasawarsa
1980-an multidiplineritas dalam ilmu bahasa dan ilmu sastra
sudah tumbuh dan berkembang baik. Sekarang perspektif,
teori, dan metode multidisipliner sudah berkembang jauh
dalam kajian bahasa dan kajian sastra. Dunia ilmu bahasa dan
ilmu sastra sekaligus kajian bahasa dan kajian sastra sekarang
memasuki era multidisipliner.
Saryono menjelaskan bahwa pertumbuhan dan perkem-
bangan kajian bahasa dan kajian sastra sekaligus ilmu bahasa
dan ilmu sastra multidisipliner tersebut memberikan dua arti
penting. Pertama,kajian bahasa dan kajian sastra sekaligus ilmu
bahasa dan ilmu sastra akan semakin terbuka-inklusif
memanfaatkan dan mendayagunakan paradigma, pendekatan,
dan teori serta metode kajian dari manapun, baik dari dalam
dunia kajian bahasa dan kajian sastra maupun dari dunia ilmu-
ilmu hermeneutis pada umumnya, malah ilmu-ilmu emansi-
patoris. Kedua, kajian bahasa dan kajian sastra akan dapat
semakin berkembang secara otonom dan mandiri tanpa harus
selalu bergantung pada ilmu-ilmu lain, terbebas dari bayang-
bayang dominan atau hegemonis ilmu-ilmu emansipatoris atau
ilmu-ilmu analitis, kendati tetap terbuka menerima pikiran-
pikiran eksternal. Kajian sastra bisa bebas mengambil dan
- 421 -
menerapkan paradigma, pendekatan, teori, dan atau metode
darimanapun asalkan cocok dengan kebutuhan kajian sastra,
dan kalau bisa memperkaya kajian sastra. Dua arti penting
tersebut niscaya akan menjadikan kajian bahasa dan kajian
sastra memiliki kebebasan berkembang pada satu sisi dan pada
sisi lain akan memiliki konstribusi penting pada ilmu-ilmu
hermeneutis pada umumnya, malahan mungkin pada ilmu-
ilmu emansipatoris. Tersirat di sini bahwa kajian bahasa dan
kajiansastra multidisipliner yang sehat-berkembang akan selalu
memiliki otonomi sekaligus kontribusi hasil kajian bahasa dan
kajian sastra.
Gerak divergensi kajian bahasa dan kajian sastra sudah
beralih atau bergeser ke gerak konvergensi. Monodisiplineritas
kajian bahasa dan kajian sastra sudah beralih atau bergeser ke
multidisiplineritas yang menjadikan ilmu bahasa dan ilmu
sastra maupun kajian bahasa dan kajian sastra bisa tetap eksis.
Ini mengimplikasikan, kajian bahasa dan kajian sastra dapat
berkembangbaik. Perkembangan yang baik itu paling tidak
ditandai oleh pemilikan otonomi sekaligus kemampuan
berkontribusi hasil kajian bagi pihak lain. Tanda-tanda otonomi
dankontribusi tersebut tampak pada kajian bahasa dan kajian
sastra konvergen-multidisi-pliner (disarikan dari makalah
Djoko Saryono, Menuju Era Multidisipliner Dalam Kajian
Bahasa Dan Sastra, 2015 via Library.um.ac.id)
IV. Ringkasan
1. Pendekatan Interdisipliner adalah pendekatan dalam
pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan
berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan atau
tepat guna secara terpadu.
- 422 -
2. Adapun Pendekatan Multidisipliner adalah pendekatan
dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan
berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan.
3. Sastra memiliki hubungan dengan keilmuan lain, seperti
antropologi, etnografi, sosiologi, psikologi, budaya,dan
masyarakat.
4. Kajian multidisipliner menjadi penting karena hal-hal
berikut. (1) masalah-masalah dalam kehidupan manusia
ternyata banyak yang tidak dapat diselesaikan ilmu-ilmu
disipliner yang spesialistis-partikular, (2) ilmu-ilmu
disipliner yang spesialistis-partikular kehilangan relevansi
dan nilai guna dalam masyarakat, dan (3) bangunan
teoretis dan epistemologis atau metodologis dari ilmu-ilmu
disipliner banyak yang tidak andal; dan (4) watak ideologis
(dan subjektivistis) ilmu-ilmu disipliner tidak dapat
diketahui dan dimanfaatkan secara pasti dalam konteks
kepentingan masyarakat, serta (5) watak ilmu-ilmu
monodisipliner terbukti orientalistis dan kolonialistis.
- 423 -
DAFTAR PUSTAKA
- 424 -
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 425 -
Teori &
BAB Metode Kajian
___ 19 Dekonstruksi
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode kajian
dekonstruksi. Pada akhir bab, akan disajikan rangkuman dan
latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode kajian
dekonstruksi. Pada bab selanjutnya akan dipelajari tentang
kajian post struktural, post modernisme dan post kolonial.
Mahasiswa diharapkan mempelajari dengan baik materi ini
dengan baik agar dapat mengikuti materi berikutnya dengan
mudah.
- 426 -
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan dapat:
mendeskripsikan teori dan metode kajian dekonstruksi, dan
dapat menerapkan teori tersebut dalam teks prosa Arab.
A. Pengertian Dekonstruksi
Dekonstruksi secara leksikal berasal dari prefiks ‘de’
berarti penurunan, pengurangan, penokohan, penolakan.
Konstruksi berarti gagasan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan
sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu
gagasan.
Kristeva (1980:36-37) menjelaskan bahwa dekonstruksi
merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif.
Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan,
tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya
pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan
tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak
terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan
maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang
secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Derida (dalam, Tuloli. 2000: 58) mengatakan dekonstruksi
adalah pembalikan. Dekonstruksi adalah cara membaca yang
dimulai dengan pencatatan (penelusuran) secara hirarki, dan
akhirnya menantang (menolak) pertanyaan hirarki. Menurut
paham dekonstruksi, stuktur adalah bagian yang dinamis,
sehingga menjadi pusat, tetapi banyak pusat dalam struktur
(plural). Menurut paham ini, tidak ada kebenaran dan logika
- 427 -
yang mutlak. Johnson (dalam Tuloli. 2000: 59) menyatakan
bahwa dekonstruksi adalah suatu analisis yang berfokus pada
latar dari peluang-peluang yang terdapat di dalam sistem.
Dekonstruksi juga berupaya menyingkapkan hal-hal yang
tersembunyi titik berangkat itu, dan menyungkirbalikan
seluruh gagasan yang menyertainya (Budiman dalam Tuloli,
2000: 59).
Menurut Abrams, dekonstuksi adalah suatu cara mem-
baca sebuah teks yang menumbangkan anggapan bahwa
sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang
berlaku untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna
yang telah pasti (dalam Nurgiantoro, 1993:30).Pembacaan karya
sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan
untuk menegaskan makna tetapi untuk menemukan makna
kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstrusi
bermaksud untuk melacak unsure-unsur yang berupa makna
paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya
sastra yang dibaca.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk mem-
bawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik
konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat
pada diri ini ke hadapan kita. Dekonstruksi adalah testimoni
terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan
oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Dekonstruksi
merupakan sebuah metode pembacaan teks. Setiap teks selalu
hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal,
setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir
sebagai konstruksi sosial yang menyejarah (Al-fayyadl, 2011:
232).
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi
sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi
justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu
- 428 -
yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan
untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja,
tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku
universal.
Tokoh terpenting dalam dekonstruksi adalah Jacques
Derrida, ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Ia menun-
jukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks
dari konteksnya. Kritik sastra dan teori-teori postrukturalisme
dikembangkan berangkat dari pemahamannya mengenai
fenomenologi dan strukturalisme. Di pihak lain, postruk-
turalisme juga dikembangkan atas dasar pemahamannya
mengenai hakikat subjektivitas dan objektivitas. Sebagai ciri
khas postrukturalisme, dekonstruksi dikembangkan atas dasar
pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata
memberikan perhatian terhadap ucapan (Norris, 2006: 10).
Pendekatan yang terlalu mengutamakan universal, totalitas,
keutuhan organis, dan segala macam legitimasi, ditolak dengan
pendekatan dekonstruksi. Pendekatan ini menolak kemam-
panan atau kebakuan teori-teori modern, seperti strukturalisme
(Pradopo, 1995: 42; http://yesalover.wordpress. com/2007/03/16/
dekonstruksi -derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-konsep/).
Dekonstruksi Derrida selalu diawali dengan hal-hal yang
tidak terpikirkan atau tidak boleh dipikirkan. Ia menolak
pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, seba-
gaimana yang disodorkan oleh strukturalisme. Tidak ada ung-
kapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan
untuk membahasakan objek dan yang bermakna tertentu dan
pasti. Oleh karena itulah dekonstruksi termasuk dalam aliran
poststrukturalisme. Jika strukturalisme dipandang sebagai
sesuatu yang sistematik, bahkan dianggap sebagai the science of
sign maka poststrukturalisme menolak hal tersebut (Rokh-
mansyah, 2014).
- 429 -
B. Sejarah dan Tokoh Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode
membaca teks. Melalui pembacaan ini akan ditemukan problem-
problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa
mengarahkan ke makna makna alternatif, di pojok-pojok teks
termasuk catatan kaki yang mungkin kurang diperhatikan.
Dekonstruksi memperhatikan hal-hal yang biasanya tidak
dianggap penting menjadi penting. Dekonstruksi menyatakan
bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan
(undacidabality), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang
mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang
ditulisnya.
Ketika sesorang melakukan aktivitas menulis, proses
penulisan tersebut mengungkapkan hal yang tersembunyi dan
menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinam-
bungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu
berlandaskan pada teks dan mengapa term-term kuncinya
selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa
yang ia cari untuk didekonstruksi, sehinggga titik pengekalan
selalu dilokasikan di tempat yang berbeda (Syaridomo, 2012).
Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada
umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas
dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976)
adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosen-
trisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan
cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis.
Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak
Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure,
sign, and play in the discourse of the human sciences “,di
universitas Johns Hopkins tahun 1966. Aliran dekonsruksi lahir
di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
- 430 -
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun
1980-an.
Dalam aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk mem-
balikkan herarkis terhadap sistem oposisional yang sudah ada.
Mempertanyakan oposisi dengan memakainya dalam argumen
sendiri dan menerima kembali dengan suatu pembalikan yang
memberinya status akibat dan akibat yang berbeda. Derrida
menyatakan bahwa bentuk oposisi tidak pernah hadir secara
damai tetapi merupakan herarki yang kasar secara logis dan
aksiologis, yang satu mendominasi yang lain, menduduki
posisi komando. Untuk mendekonstruksi bentuk oposisi pada
moment tertentu harus diperlukan pembalikan herarki
(Rokhmansyah, 2014).
Dalam hubungan oposisi sulit ditemukan mana yang
lebih dominan. Dekonstruksi mencoba untuk bergerak dari sisi
yang satu ke sisi yang lainnya dengan menunjukkan kegagalan-
kegagalan dari kedua sisi itu (aporia). Penerapan dekonstruksi
dalam karya sastra, menurut Culler tidak dengan menjelaskan
teks dalam cita rasa tradisional yang menangkap kesatuan isi
(tema), tetapi meneliti oposisi metafisik dalam argumentasinya
dan dilanjutkan dengan mencari hubungan tekstual yang
menghasilkan logika ganda, yaitu logika aporetis.
Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi meta-
fisika Barat seperti strukturalisme saussurean, strukturalisme
Perancis, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian.
Tugas dekonstruksi, di satu pihak mengungkap problematika
wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual
(Sarup, 2003:51). Sedangkan tujuan metode dekonstruksi
adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran
kebenaran absolut, dan ingin mengungkap oposisi biner dari
yang tidak tersurat dalam hasil analisis dan kurang mendapat
- 431 -
perhatian (Norris, 2006). Culler (melalui Nurgiyantoro, 2007:
60) mengungkapkan bahwa mendekonstruksi suatu wacana
(kesastraan) adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan
filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis
terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara
mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada
dalam teks itu, yang memproduksi dasar argument yang
merupakan konsep utama.
Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika
wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar
metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual.
Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale.
Tokoh dekonstruksi adalah Jacques Derrida dan Nietzsche.
Adapun Tokoh-tokoh dekonstruksi Amerika di antaranya: Paul
de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, dan Harold Bloom
(Eagleton,1983:145 ;Selden, 1986: 96).
- 432 -
memperlakukan suatu teks. Strukturalisme melihat bahwa
makna bahasa merupakan hasil hubungan antara penanda dan
petanda yang bersifat tertutup, satu penanda mewakili satu
petanda, dan memiliki perbedaan dengan penanda lainnya.
Post-strukturalisme atau dekonstruksi melihat bahwa makna
bahasa sebagai rangkaian penanda-penanda, karena petanda
adalah penanda juga sebenarnya. Sebuah petanda tidak
memiliki arti dalam pengertian yang sempurna, karena adanya
siklus tidak terputus dalam pemaknaan petanda.
Oleh karena itu, hubungan antara petanda-penanda
dalam dekonstruksi bersifat terbuka, lebih tepat jika disebut
sebagai hubungan antarpenanda yang tidak terbatas. Hu-
bungan ini dibangun atas dasar konsep trace (jejak). Jejak dalam
teks hadir dalam sebuah teks dengan ‘tidak sadar’, tetapi
keberadaannya dapat memiliki pengaruh dalam aktivitas pem-
bacaan dekonstruksi. Karena kehadiran jejak dalam dekons-
truksi dapat digunakan sebagai penentu makna teks itu sendiri.
Penentuan makna teks dalam teks dengan meng-hadirkan jejak
dilakukan karena tanda-tanda yang hadir dalam teks saling
berkait. Tanda-tanda dalam teks bersifat bolak-balik, hadir dan
tidak hadir, dan ke segala arah. Pemberian makna terhadap
tanda-tanda tidak dapat dilakukan secara definitif, melainkan
dengan menghadirkan oposisi, di mana oposisi yang hadir juga
berdasarkan tanda.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui
pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda.
Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda
dengan petanda bersifat pasti. Derrida (Spivak, 1976:xliii)
memunculkan istilah differEnce dan difference. Derrida (Norris,
1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan
tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya.
Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang
- 433 -
antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap
kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata
difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda,
sesuai dengan ruang dan waktu.
Menurut Derrida (2002:45,61), perbedaaan difference dan
differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa
Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat dike-
tahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya,
tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut
Derrida, makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu
lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan
dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir
dalam rangkaian penanda (Eagleton, 1983:127-128).
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida
adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya
memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai
non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan
pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek
yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedang-
kan tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan
mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja diba-
lik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan,
ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun
sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk
asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang
lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan
kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis (Barkah,
2013).
Upaya untuk menemukan makna tunggal dari sebuah
karya sastra adalah sesuatu yang mustahil. Sebab setiap
- 434 -
penemuan jejak makna dalam sebuah teks, akan melahirkan
jejak baru dibalik makna tersebut (Derrida dalam Norris, 2003:
12). Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat
itu relatif. Ia mengingkari makna monosemi (Selden, 1985:88).
Dekonstruksi merupakan strategi untuk membuktikan bahwa
sastra bukanlah bahasa yang sederhana (Norris, 2003:24), tetapi
kompleks dan multi tafsir.
Teks mempunyai otonomi penuh, segalanya hanya
dimungkinkan oleh teks. Sebuah teks punya banyak kemung-
kinan makna. Seorang pembaca tak akan mengkonkretkan satu
makna saja, tetapi akan membiarkan segala kemungkinan
makna hidup, sehingga teks itu ambigu dan membuka ruang
interpretasi yang luas (Junus, 1985:98). Karya sastra memiliki
sifat multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Dalam dekonstruksi,
Derrida menggunakan istilah “trace” yaitu konsep dalam
menelusuri makna. Makna itu bergerak dan harus dilacak terus
menerus. Bekal pengetahuan yang berupa horizon harapan
menjadi penting dalam upaya mencari jejak (trace) sebagai
metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca
akan bisa mengisi tempat kosong dalam teks.
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dike-
nal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini
bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif
bahasa, tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang
tuturan. Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan
wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks
berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis
yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa terjadi pada teks
itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah
teks (Sarup, 2003:77-79; Fauzan Ahmad, 2009).
Pembacaan dekonstruksi berbeda dari pembacaan biasa.
Pembacaan biasa selalu mencari makna yang lebih benar, yang
- 435 -
teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedang-
kan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan
atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna
atau kebenaran tunggal. Metode penerapan dekonstruksi teks
adalah sebagai berikut.
1. mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks
2. oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan
3. memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang
ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori
oposisional lama.
Dalam membaca sebuah teks dengan dekonstruksi,
pembaca diwajibkan untuk mengikuti tahapan-tahapan dalam
dekonstruksi, antara lain adalah melakukan pencarian jejak
(trace), menemukan sesuatu dalam teks (difference), menulis
kembali hasil temuan dalam teks (re-writing), membaca kembali
teks (re-reading), membongkar kode terhadap bagian-bagian
teks yang tidak dapat dimaknai (rupture), dan mencari duplikat
untuk memahami teks (re-doubling). Dengan melakukan
tahapan-tahapan dalam dekonstruksi, pembaca dapat mene-
mukan hal-hal yang bersifat oposisi-hirarkis dalam teks,
kemudian menggantikan oposisi dengan menempatkan hal-hal
dominan dalam sous rapture, dan kemudian dapat menem-
patkan hal-hal yang tidak dominan menjadi dominan. Pembaca
dapat meletakkan hal-hal yang beroposisi dalam kerangka
pemahaman teks hingga diperoleh pemahaman bahwa
sebenarnya oposisi dalam teks tidak ada, karena yang ada
adalah teks itu sendiri (Rengganis, 2004; Phianz,1989).
Pembacaan karya sastra dengan pendekatan dekonstruksi
tidak mencari makna sebenarnya pada pendekatan lain, tetapi
mencari makna kontradiktif dalam karya sastra yang dibaca.
- 436 -
Makna yang logis disangkal dan ditolak. Langkah-langkah
yang perlu diperhatikan dalam kajian dekonstruksi adalah:
a) membaca karya sastra secara totalitas untuk menegaskan
struktur, keutuhan atau makna yang telah pasti pada
karya sastra;
b) unsur atau bentuk-bentuk dalam karya sastra itu dicari
dan dipahami justru arti kebalikannya;
c) unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan dipenting-
kan, diberi nama pesan sehingga akan terlihat atau
menonjol perannya dalam karya sastra yang bersang-
kutan (Nurgiyantoro, 1993: 61).
- 438 -
melalui pertahanannya, dan mencari oposisi biner yang tertulis
di dalam teks. Keberadaan oposisi biner menunjuk pada suatu
pasangan kata-kata yang saling beroposisi antara satu dengan
lainnya yang bersifat hirarkis, di mana kehirarkisannya bersifat
kondisional. Bahasa dianggap sebagai sesuatu yang labil, dapat
berubah-ubah, menurut kondisi yang mempengaruhinya,
sehingga oposisi biner dalam dekonstruksi bersifat tidak tetap
dan berubah-ubah.
Dekonstruksi menekankan pemaknaan pada hubungan
antarpenanda yang bersifat terbuka bahwa sebagian makna
tanda ada pada tanda lainnya, sehingga tidak adanya per-
bedaan antara petanda-penanda yang satu dengan petanda-
penanda yang lainnya. Meski dianggap sebagai strategi
pembalikan, dekonstruksi bukanlah strategi pembalikan yang
sederhana tentang kategori-kategori yang sudah jelas dan tidak
dibuat-buat. Pembacaan dekonstruksi merupakan aktivitas
pembacaan teks dengan cara baru secara radikal. Dalam
praktiknya, dekonstruksi meliputi pembalikan dan pemindah-
an. Dalam melakukan pembalikan, oposisi-oposisi hirarkis
ditiadakan. Kemudian pembalikan ini dipindahkan, ditempat-
kan ‘di bawah penghapusan’ (sous rapture), sehingga dapat
memunculkan teks yang berada di pinggiran. Teks yang dibaca
secara dekonstruktif akan terlihat acuannya melampaui dirinya
sendiri, referensi pada akhirnya dapat menjadi teks lain. Seperti
halnya tanda hanya dapat mengacu pada tanda-tanda lain, teks
juga hanya dapat mengacu pada teks lain, penyebab suatu
perpotongan dan jaringan yang dapat dikembangkan untuk
waktu yang tidak terbatas, suatu intertektualitas (Rengganis,
2004; 2010).
- 439 -
D. Contoh Pembacaan Dekonstruksi
1. Ringkasan: Kisah Siti Nurbaya dalam Kajian Dekonstruksi
Pada umumnya, pembaca beranggapan bahwa Samsul
Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih,
sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang
serba jahat, tokoh hitam. Analisis itu justru terbalik jika ditinjau
dari analisis dekonstruksi.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan
seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit.
Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis, ia
putus asa dan bunuh diri. Sikap ini menunjukkan bahwa ia
bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha
bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan masuk serdadu
kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatra Barat, yang
merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena
masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberon-
takan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur
karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap
Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan
cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia memerangi
bangsanya sendiri dan membela penjajah. Ia tidak memiliki
sikap nasionalisme terhadap NKRI.
Berdasarkan teori Jauss yang mempertimbangkan aspek
sejarah, perbuatan ini termasuk pengkhianatan bangsa. Ia
sama sekali bukan seorang pahlawan bangsa, bahkan bukan
pahlawan cinta sekalipun. Datuk Maringgih, di pihak lain, ia
seorang nasionalis dan pahlawan karena menggerakkan pem-
berontakan terhadap penjajah Belanda itu, apapun motivasi-
nya. Ahmad Maulana dan Halimah, dalam novel Siti Nurbaya
itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya
dianggap kurang penting. Pada hal keduanya banyak mem-
pengaruhi sikap dan pandangan Siti Nurbaya (Salamah, 2015).
- 440 -
2. Ringkasan: Analisis Tokoh Pada Novel Tak Putus
Dirundung
Malang Karya Sutan Takdir Alisyahbana (Melalui
Pendekatan Dekonstruksi) Sitti Rachmi Masie,
INOVASI, Volume 7, Nomor 1, Maret 2010 ISSN 1693-
9034
- 441 -
putus asa, sampai pada perbuatan bunuh diri yang dilarang
agama. Sifat yang demikian itu tidak dapat diteladani.
Tokoh Mansur dan Laminah secara struktural sebagai
tokoh protagonis, tetapi setelah didekonstruksi telah menjadi
tokoh antagonis. Sebaliknya, Madang, Sarmin, dan Darwis
secara struktural sebagai tokoh Antagonis, tetapi setelah
didekonstruksi menjadi tokoh protagonis.
- 442 -
cerita dan cerita dapat dianggap sebagai perluasan dari judul.
Akan tetapi, dalam pemahaman dekonstruksi hubungan antara
judul dan cerita tidak bersifat oposisi-hirarkis. Hubungan
antara judul dan cerita merupakan hubungan yang saling
melengkapi. Judul dapat disebut sebagai judul karena ada
cerita, karena bila tidak ada cerita, barisan kata tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai judul. Cerita tanpa judul akan tetap
dapat menjadi cerita, hanya sebuah cerita. Dalam konteks
pembacaan ini cerita menjadi lebih dominan.
Dalam pembacaan dekonstruktif, tidak ada maksud
untuk menjatuhkan judul atau cerita, tetapi hanya untuk
menyadarkan bahwa semuanya adalah teks belaka. Meskipun
cerita terlihat lebih dominan dibanding judul, tetapi pada
kenyataannya tidak demikian. Dalam kenyataannya, cerita
perlu mengalami metafora agar mudah diceritakan. Metafora
yang dialami adalah dengan pemberian judul, sehingga judul
juga dianggap pentimg keberadaannya. Pemaknaan terhadap
judul dan cerita bersifat interdependensi, karena di dalam judul
terdapat cerita dan dalam cerita terdapat judul.
IV. Ringkasan
1. Dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi
metafisika Barat. tujuan metode dekonstruksi adalah
menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran
kebenaran absolut, dan ingin mengungkap oposisi biner
dari yang tidak tersurat dalam hasil analisis dan kurang
mendapat perhatian.
2. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam kajian
dekonstruksi adalah:
a) membaca karya sastra secara totalitas untuk menegaskan
struktur, keutuhan atau makna yang telah pasti pada
karya sastra;
- 443 -
b) unsur atau bentuk-bentuk dalam karya sastra itu dicari
dan dipahami justru arti kebalikannya;
c) unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan dipenting-
kan, diberi nama pesan sehingga akan terlihat atau
menonjol perannya dalam karya sastra yang bersang-
kutan (Nurgiyantoro, 1993: 61).
3. Dalam bidang sastra, dekonstruksi digunakan sebagai
metode pembacaan kritis yang bebas, memproduksi
makna-makna baru yang plural, tanpa klaim, absolut atau
universal.
4. Dekonstruksi termasuk dalam pendekatan posmo-
dernisme. Penghargaan terhadap perbedaan, pada
“yang lain” ini membuka jalan bagi penelitian yang
bersifat lokal, regional, dan etnik. Penelitian semacam
ini akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau
narasi-narasi khas kajian budaya.
- 444 -
DAFTAR PUSTAKA
- 445 -
Nur Fawzan Ahmad. 2009. Dekonstruksi Terhadap Figur
Keturunan Darah Biru Dalam Cerpen Ndara Mat Amit.
(http://staff.undip.ac.id /sastra/
fauzan/2009/07/22/dekonstruksi-terhadap-figur-
keturunan- darah-biru/). Diunduh pada tanggal 1 Januari
2018
Phianz. 1989. Teori Dekonstruksi Derrida dalam
http://phianz1989. blogspot. com/2011/03/teori-
dekonstruksi-derrida.html
Pradopo, Rachmat Dj.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik
dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rengganis, ririe. 2004. Sebuah pembacaan dekonstruksi
terhadap cerpen anakmu bukanlah anakmu, ujar gibran
dalam ekspresi: Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Vol.10,. Tahun 4, 2004. , edisi Seni dan Perempuan
Rengganis, ririe. 2010. Pendekatan Dekonstruksi. Dalam http://
sastranesia.wordpress.com/2010/10/16/pendekatan-
dekonstruksi/ ririe rengganis
Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Sastra. Jogjakarta:
Gajah Mada University Press.
Salamah, umi. 2015. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema
Sosial Politik kontemporer. Penerbit Kafnun
Sarup, Madan. 2003. Poststrukturalisme dan Postmodernisme:
Sebuah Pengantar. Kritis, terj. M.A. Hidayat. Yogyakarta:
Jendela. Schechter, Danny. 2007.
Selden, Raman. 1986. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini.
Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
Masie. Sitti Rachmi.2010. Analisis Tokoh Pada Novel Tak Putus
Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisyahbana (Melalui
- 446 -
Pendekatan Dekonstruksi) dalam INOVASI, Volume 7,
Nomor 1, Maret 2010 ISSN 1693-9034
Spivak, Gayatri Chakravorty (1976): 'Translator's Preface'.
In Derrida op. cit., pp. ix-lxxxvii
Syaridomo, Susdamita. Makalah Dekonstruksi. Dalam
http://susdamitasyaridomo.blogspot.com/2012/10/makala
h-dekonstruksi_7262.html
Teeuw, A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra, cetakan ke-2. Jakarta:
Pustaka Jaya-Girimukti Pusaka
Tuloli, Nani. 1999. Teori Fiksi. Gorontalo : BTM Nurul Jannah
Yesalover. 2007. Dekonstruksi Derrida upaya untuk memecah-mecah
konsep http://yesalover.wordpress.com/2007/03/16/
dekonstruksi -derrida-upaya-untuk-memecah-mecah-
konsep/
- 447 -
LATIHAN
ﺑﺎﻟﺘﻮﻓﻴﻖ واﻟﺴﺪاد
- 448 -
I. Deskripsi
Pada bab ini dijelaskan tentang teori dan metode Kajian
Post Struktulal, Post Kolonial, Dan Post Modern. Pada akhir bab,
akan disajikan rangkuman dan latihan.
II. Relevansi
Setelah mempelajari materi tentang teori dan metode
kajian dekonstruksi pada bab sebelumnya, pada bab ini kalian
akan belajar tentang 3 teori sekaligus, yaitu teori dan metode
kajian Post Struktulal, Post Kolonial, dan Post Modern. Kajian
dekonstruksi merupakan bagian dari kajian post struktural.
- 449 -
Mahasiswa diharapkan mempelajari dengan baik materi ini
sehingga mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
III. Capaian Pembelajaran MK
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa diharapkan
dapat:
mendeskripsikan teori dan metode kajian teori dan metode
kajian Post Struktulal, Post Kolonial, dan Post Modern, dan
dapat menerapkan teori tersebut dalam kajian teks prosa
Arab.
- 450 -
bagaimana interpretasi terhadap struktur tersebut berlangsung
(Dugis 2013); tidak hanya mengkritisi tetapi juga merupakan
bentuk emansipatori terhadap perspektif yang telah ada
sebelumnya. Struktur itulah yang membentuk identitas aktor
dan memberi makna dalam dunia sosial pada strukturalisme.
Adapun pada post-strukturalisme, konsep mengenai identitas-
lah yang memberi makna terhadap suatu struktur (Campbell
2007).
Tokoh filsafat Prancis, Michel Foucault menyatakan
bahwa post-strukturalisme lebih merupakan pendekatan, sikap,
dan etos yang memiliki sifat kritis daripada sebuah teori yang
cenderung statis. Post-strukturalisme menyatakan bahwa subjek
menentukan bagaimana abstraksi, representasi dan interpretasi
terhadap objek (Campbell 2007). Inilah yang menyebabkan post-
strukturalisme tidak memberikan teori-teori secara spesifik.
Ada tiga konsep utama dalam post-strukturalisme, yaitu
identitas, subjektivisme dan power. Identitas mengacu pada
pemberian makna terhadap kejadian sosial. Subjektivisme
merupakan wujud dari penolakan terhadap objektivitas.
Adapun power berkaitan erat dengan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa.
Foucault menjelaskan adanya hubungan yang erat antara
wacana, pengetahuan dan kekuasaan. Menurut Foucault, Bahasa
berarti adalah wacana yang merupakan pengetahuan yang
terstruktur. Wacana berkaitan erat dengan konsep kekuasaan.
kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan
tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi
struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta
melekat pada kehendak untuk mengetahui (Rusdiarti, 2008).
Kekuasaan menurut Foucault merupakan strategi. Bahasa
merupakan interpretasi atas fenomena yang menjadi landasan
post-strukturalisme bahwa melalui hal seperti bahasa juga dapat
- 451 -
menunjukkan betapa besar power dari suatu negara tersebut.
Adapun kontribusi nyata dari prespektif post-strukturalisme ini
memungkinkan adanya pendekatan yang bersifat interdisipliner
dengan menempatkan batas-batas suatu disiplin dalam suatu
kritik dan mempertanyakan kembali. Post-strukturalisme
merupakan prespektif yang bersifat emansipa-toris serta
memperkaya metodologi yang bersentuhan dengan masalah-
masalah sosial (Ashley, 1996).
Post-strukturalisme merupakan antitesis dari strukturalis-
me yang dipelopori Jacques Derrida. Berseberangan dengan
strukturalisme yang mengutamakan pemikiran mengenai ba-
hasa, post strukturalisme menurut Derrida lebih memfokuskan
pada tulisan, yang kemudian tercipta grammatology. Ide-ide
dasar Derrida mengenai post strukturalisme, mulai dari writing
(tulisan), trace (jejak), differance (perbedaan), dan arche-writing
(pergerakan differance). Menurut Derrida, selalu ada suatu
realitas yang bersembunyi di belakang tanda; di balik apa yang
hadir (Ritzer 2003:202- 204).
Dekonstruksi dari Derrida tidak pernah diarahkan pada
kepastian kebenaran dan akan terjadi dekonstruksi terus
menerus. Ritzer menjabarkan dekonstruksi Derrida, sebagai-
mana dijelaskan oleh Awuy (1994) tentang konsep “differance”-
nya Derrida bahwa pemikiran metafisika Barat adalah logo-
sentrisme dan fonosentrisme. Pada logosentrisme, pemikiran
kita dibawa ke dunia ideal, sebagai prinsip rasional untuk
mengantisipasi ke-khaos-an dunia pengalaman. Dengan logos
ini, ruang, waktu dan peristiwa bergerak secara linier. Logos
adalah konsep yang mampu mentotalitaskan segala sesuatu.
Dengan prinsip ini, siapapun dapat menguasai baik ruang,
waktu dan peristiwa. Menurut Derrida, pemahaman logos dan
phonos inilah yang menjadi pondasi peradaban Barat. Baik
logosentrisme dan fonosentrisme sebagai konsep murni
- 452 -
metafisika barat, bagi Derrida adalah mistifikasi, yang harus
didekonstruksi, dilakukan demistifikasi.
Post-strukturalis mengusung pembebasan dalam abstraksi,
representasi dan interpretasi ilmu pengetahuan. Post-struk-
turalisme membantah bahwa pengalaman empiris merupakan
dasar ilmu pengetahuan dikarenakan pengalaman empiris itu
sendiri membatasi subjektivitas, objektivitas, serta praktek
dalam kehidupan politik global (Ashley 1996, 242).
Strukturalisme beranggapan bahwa struktur akan
membentuk individu, sementara post-strukturalisme meyakini
bahwa individulah yang menciptakan suatu struktur. Dari
struktur tersebutlah kemudian tercipta identitas. Post-struk-
turalisme juga membahas keterkaitan antara teori dan praktek.
Mereka memandang teori juga merupakan sebuah praktek
(Benu,2013).
Pemikiran post-strukturalisme ini lalu diikuti oleh post-
kolonialisme. Post-kolonialisme hadir sebagai bentuk
kekecewaan pada teori-teori mainstream. Post-kolonialisme
tidak setuju dengan pemikiran realisme yang memisahkan power
dan knowledge. Menurut post-kolonialisme, kedua hal tersebut
pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan (David, 2007).
Strukturalisme adalah sebuah teori dari konstruksi sosial,
budaya dan struktur yang dapat memberikan makna atau arti
terhadap apa yang ada dalam kehidupan manusia. Sedangkan
teori Post-strukturalisme adalah suatu cara analisa bagaimana
struktur memproduksi arti atau makna secara konsisten dengan
transformasi cara-cara pemberian perintah sosial pada akhir
abad 20 (Campbell, 2007: 213). Post-strukturalisme hadir sebagai
sebuah perspektif ilmiah yang merupakan reaksi dari adanya
keterikatan yang kuat antara subyek dan ilmu pengetahuan
terhadap suatu mainstream yang telah berakar kuat dalam
sebuah sistem, struktur atau masyarakat.
- 453 -
Post-strukturalisme secara khusus mengkritisi teori
strukturalisme yang jelas telah berkembang terlebih dahulu.
Kaum post-strukturalis ini bagaikan kaum teori-teori kritis
sebelumnya yang juga mengkritisi perspektif sebelumnya. Post-
strukturalisme yang merupakan dekonstruksi dari strukturalis-
me, berusaha untuk mengkritisi cara pandang kaum struk-
turalis. Post-strukturalisme berusaha menelaah bagaimana
kondisi ilmu pengetahuan telah dikonstruksi oleh para
perspektif tradisional, terutama dalam konstruksi sosial, budaya
dan struktur dari perspektif strukturalisme.
Dalam tulisan David Campbell, Jacques Derrida
mempunyai pandangan terhadap persoalan dualisme. Jacques
Derrida telah memiliki pendekatan dalam menganalisa
dualisme ini melalui dekonstruksi, yakni pembalikan makna
orisinal menjadi pasangan binernya untuk mendemonstrasikan
bahwa arti kedua memiliki makna yang sama pentingnya seperti
makna semula (Campbell, 2007).
Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang
membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang
dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Struk-
turalisme lebih memusatkan perhatian pada struktur linguistik.
Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa.
Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya
Ferdinand de Saussure yang diorientasikan untuk memahami
struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal
dari linguistik. (Sociolovers, 2012).
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik
maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik
struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap
mampu melampaui strukturalisme. Post-strukturalisme
menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna
melalui pasangan biner, seperti hitam-putih, baik-buruk, atas-
- 454 -
bawah. Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu
tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata,
kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil
hubungan antar teks (belovers, 2012).
Prespektif strukturalisme menilai individu atau subjek
pelaku yang tidak bebas karena ditentukan oleh struktur
tersebut dalam praktik sosialnya. Sedangkan prespektif post-
strukturalisme memiliki tiga kata kunci yang bisa dikatakan
sebagai asumsi dasar dari prespektif ini yakni identity,
subjectivism, dan power. Identity berkaitan erat dengan
keterbentukan power. Subjectivism berarti tidak mengakui
adanya objektivitas yang absolut. Adapun power dimaknai
dengan kemampuan berbahasa dan berwacana (knowledge) yang
membentuk identitas sosial. Berbeda dengan prespektif
kontruktivisme yang menekankan adanya hubungan identitas
dengan struktur serta menekankan bahwa ada nilai-nilai yang
tidak bisa diterangkan yang membuat dua pihak atau lebih
berhubungan, prespektif post-strukturalisme ini menekankan
bahwa bahasa merupakan unsur yang dapat menjajah atau
mengekspansi (Dugis & Baiq, 2013).
Post-strukturalisme (Barat) secara umum diperlakukan
sebagai pelopor intelektual postmodernisme (Barthes, dalam
Ritzer, 2003:57). Post-strukturalisme menurut Ritzer merupa-
kan untaian-untaian pemikiran yang membentang dalam
perkembangan teori sosial postmodern. Bahkan Ritzer (2003:57)
menyatakan bahwa post-strukturalisme adalah suatu sumber
teoretis penting bagi teori sosial postmodern. Menurut Ritzer,
post-strukturalis cenderung sangat abstrak, sangat filosofis, dan
kurang politis dibanding dengan postmodern.
Sedangkan dalam makna intelektual, post-strukturalisme
banyak dipengaruhi pemikiran Jean Paul Sartre (Muhadjir 2002:
249) yang menggagas strukturalisme. Meskipun menurut Ritzer
- 455 -
(2003: 54) tokoh sentral strukturalisme adalah Claude Levi
Strauss, antropolog Perancis. Sedangkan menurut Kuntowijoyo
(2004: 34), asal-usul strukturalisme dapat ditemukan dalam
metode linguistik yang dipakai Ferdinand de Saussure dalam
kuliah-kuliahnya di Jenewa sejak 1906.
Strukturalisme muncul dari perkembangan yang ber-
macam-macam dalam berbagai bidang kajian, namun sumber
strukturalisme modern adalah linguistik, meskipun, kebanyak-
an sosiolog konsern dengan struktur sosial. Strukturalisme
merupakan usaha untuk menemukan struktur umum yang
terdapat dalam aktivitas manusia. Suatu struktur dapat
didefinisikan sebagai sebuah unit yang tersusun dari beberapa
elemen (Ritzer 2003, 51-54).
Ciri strukturalisme adalah memperhatikan keseluruhan
atau totalitas. Unsur hanya bisa dimengerti melalui kesaling-
terkaitan antar unsur. Kedua, strukturalisme tidak mencari
struktur di permukaan, pada tingkat pengamatan, tetapi di
bawah atau di balik realitas empiris. Apa yang ada di
permukaan adalah cerminan struktur yang ada di bawah (deep
structure), lebih ke bawah lagi ada kekuatan pembentuk struktur
(innate structuring capacity). Ketiga, dalam peringkat empiris,
keterkaitan antar unsur bisa berupa binary opposition. Keempat,
strukturalisme memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis,
bukan yang diakronis, yaitu unsur-unsur dalam satu waktu
yang sama, bukan perkembangan antar waktu, diakronis atau
historis (Lane, dalam Kuntowijoyo, 2004, 35).
- 456 -
atau dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui
bagaimana kekuasaan itu bekerja, dipihak lain membongkar
disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya.
Kajian dalam bidang kolonialisme mencakup seluruh
khazanah tekstual nasional, khususnya karya sastra yang per-
nah mengalami kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi
hingga sekarang. Teori postkolonial relevan dalam kaitannya
dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbul-
kannya.
Teori postkolonialisme, khususnya postkolonialisme
Indonesia melibatkan tiga pengertian, pertama, abad
berakhirnya imperium kolonial di seluruh dunia. Kedua, segala
tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman
kolonial sejak abad ke-17 hingga sekarang. Ketiga, segala tulisan
yang ada kaitannya dengan paradigma superioritas Barat
terhadap inferioritas Timur, baik sebagai orientalisme maupun
imperialisme dan kolonialisme. Pengertian pertama di atas
memiliki jangkauan paling sempit, postkolonialisme semata-
mata sebagai wakil masa postkolonial. Di Indonesia mulai
pertengahan abad ke-20, sejak proklamasi kemerdekaan tahun
1945 hingga sekarang. Pengertian kedua lebih luas, meliputi
semua tulisan sejak kedatangan bangsa-bangsa barat di
Indonesia untuk pertama kali, diawali dengan kedatangan
bangsa Portugis dan Spayol awal abad ke-16 disusul oleh bangsa
Belanda awal abad ke-17. Adapun pengertian ketiga paling luas,
dimulai sebelum kehadiran bangsa Barat secara fisik di
Indonesia, tetapi telah memiliki citra tertentu terhadap bangsa
timur.
Teori postkolonial mampu mengungkap masalah-
masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang
pernah terjadi, karena:
- 457 -
1. Secara definitif, postkolonialisme menaruh perhatian
untuk menganalisis era kolonial.
2. Postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalis-
me. Teori postkolonial dianggap dapat memberikan
pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar selalu
mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan,
kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi.
3. Sebagai teori baru, sebagai varian post-strukturalisme,
postkolonialisme memperjuangkan narasi kecil, meng-
galang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa
lampau untuk menuju masa depan.
4. Postkolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa pen-
jajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melain-kan
psikis.
5. Postkolonialisme bukan semata-mata teori melainkan
suatu kesadaran itu sendiri, bahwa masih banyak
kesadaran besar yang harus dilakukan, seperti meme-
rangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai
bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual,
baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa
sendiri.
Prespektif post-kolonialisme menilai moderenisasi yang
muncul setelah masa kolonialisme ini tidak terlalu memberikan
dampak yang positif terhadap kehidupan di dunia. Justru
mengundang kemunduran di dalamnya, bahkan karena
moderenisasi ini terdapat sebuah pengelompokan atau struktur
yang menyatakan pembagian kategori negara-negara, seperti fist
world yang ditunjukkan untuk negara-negara maju atau negara-
negara barat seperti Eropa dan Amerika, kemudian second world
yang ditujukan untuk negara-negara komunis dan third world
untuk negara-negara bekas jajahan dan under development.
- 458 -
Masalah inilah yang ingin di kritisi oleh perspektif post-
kolonialisme.
Pelabelan negara-negara ini menurut prespektif post-
kolonialisme merupakan bentuk-bentuk penjajahan lainnya
yang dapat berdampak sebagai pelabelan identitas suatu negara.
Post-kolonialisme mendukung dengan adanya sikap negara
yang anti-kolonialisme, karena bentuk penjajahan yang terjadi
sekarang bukan lagi bersikap ekspansi secara nyata dan melalui
fisik tapi cenderung ekspansi yang menyerang ide-ide.
Prespektif Post-kolonialisme ini ingin melawan penjajahan yang
berpotensi merusak tatanan dunia yang telah ada dengan
dominasi-dominasi yang dimilikinya.
Strukturalisme mengkaji karya sastra hanya berdasarkan
strukturnya, Sedangkan Post-kolonialisme merupakan kajian
terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang
berkaitan dengan praktik kolonialisme atau imperialism baik
secara sinkronik maupun diakronik. Kajian post-kolonial
berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik
sejumlah karya sastra sebagai superstruktur dari suatu
kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang memiliki
kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau
sebaliknya sebagai konter hegemoni. Hal ini terlihat adanya
sejumlah karya sastra Barat yang memperkuat hegemoninya
dalam memandang negara Timur (Rusdiarti, 2008)
Tonggak kelahiran teori postkolonial ditandai dengan
terbitnya buku Edward W. Said (1978), Orientalism. Tesis utama
buku karya Said tersebut menggunakan pendekatan hubungan
antara kekuasaan dan pengetahuan. Sebagaimana diantarkan
oleh Michael Foucault dalam bukunya, The Archeology of
Knowledge (1972) dan Discipline and Punish: The Birth of the Prison
(1977), kaum orientalis berpendapat bahwa masalah studi ilmiah
Barat mengenai Timur tidaklah semata-mata didorong oleh
- 459 -
kepentingan pengetahuan, tetapi juga kepentingan
kolonialisme.
Pengetahuan bagi kaum orientalis adalah untuk
mempertahankan kekuasaannya, yakni pengetahuan yang
dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis. Studi tersebut
juga semata-mata merupakan bentuk lain atau kelanjutan dari
kolonialisme. Bangsa Timur dikontruksikan sebagai bangsa
yang identik dengan irasionalitas, kekanak-kanakan, dan
“berbeda” dengan Barat yang rasional, bijaksana, dewasa, dan
“normal”.
Pandangan Said tersebut seolah-olah menyuarakan secara
eksplisit apa yang terpendam dalam kesadaran banyak orang,
terutama orang-orang di negara bekas jajahan Barat, yang kini
disebut sebagai “dunia ketiga”, untuk bangkit berjuang
menemukan kesadaran dengan menuntut keadilan dan
kesetaraan. Kritik postkolonial yang dikembangkan Spivak
meliputi pemikiran poststruktualisme pada kritik sastra, filsafat
kontinental, psikoanalisis, teori feminis, Marxisme, dan post-
Marxisme. Secara umum postkolonial dipahami sebagai teori,
wacana, dan istilah yang digunakan untuk memahami
masyarakat bekas jajahan, terutama sesudah berakhirnya
imperium kolonialisme modern. Dalam pengertian yang lebih
luas, postkolonial juga mengacu pada objek sebelum dan pada
saat terjadinya kolonialisme.
Ratna (2008:81—82) mengemukakan lima pokok
pengertian postkolonial, yaitu:
1. Menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial,
2. Memiliki kaitan erat dengan nasionalisme,
3. Memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari
bawah, sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju
masa depan,
- 460 -
4. Membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan
semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan juga psikis,
dan
5. Post-kolonial bukan semata-mata teori, melainkan
kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang harus
dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme,
rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya.
Dalam kaitannya dengan kritik sastra, postkolonial
dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra
mengungkapkan jejak perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi
antarras, antarbangsa, dan antarbudaya dalam kondisi
hubungan kekuasaan tidak setara, yang telah membentuk
sebagian yang signifikan dari pengalaman manusia sejak awal
zaman imperialisme Eropa (Day dan Foulcher, 2008:2—3).
Menurut Day dan Foulcher, kritik postkolonial adalah strategi
membaca sastra yang mempertimbangkan kolonialisme dan
dampaknya dalam teks sastra, posisi, atau suara pengamat
berkaitan dengan isu tersebut.
Kritik postkolonial merupakan suatu jaringan sastra atas
rekam jejak kolonialisme. Wujud nasionalisme yang dinyatakan
dalam karya sastra misalnya (1) cinta tanah air, (2) patriotisme,
(3) pemujaan terhadap pahlawan, (4) Harapan kemerdekaan, (5)
Kebanggaan akan bahasa nasional, dan (6) pengenangan
kejayaan masa lalu. Wacana yang digunakan sebagai sarana
pengungkap semangat nasionalisme itu berupa wacana repetisi,
personifikasi, perbandingan, metafora, alegori, realis, paradoks,
metonimi, simile, hiperbolisme, verbalisme
(http://badanbahasa.kemdikbud.go.id).
Kajian postkolonial dalam bidang budaya terkait dengan
dengan konteks penjajah-terjajah. Hegemoni penjajah yang luar
biasa, akan menjadi bahan kajian peneliti budaya. Begitu pula
persinggungan pluralisme budaya, telah banyak menyuguhkan
- 461 -
persoalan etnis, sehingga menarik bagi paham post kolonialis-
me. Tradisi postkolonial mengenal dua kunci utama pema-
haman budaya: Pertama, dominasi-subordinasi dan kedua,
hibriditas dan kreolisasi. Isu dominasi dan subordinasi muncal
berkenaan dengan krontrol militer kolonial genocide dan
keterbelakangan ekonomi. Keduanya tak hanya terjadi antara
negara dan etnis, tetapi juga antar negara dengan negara, etnis
dengan etnis. Sistem kolonial ini memunculkan hubungan
atasan-bawah, patron-clien, dan majikan-buruh, termasuk
suborniasi dan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Kedua, hibriditas dan kreolisasi. Budaya lama di era
kolonial, melalui proses hibriditas akan semakin pudar. Bahasa
juga akan mengalami kreolisasi, yaitu ke arah penciptaan
bentuk-bentuk ekspresi baru. Budaya kolonial akan diubah
(transkultural) ke dalam wacana hidup baru. Identitas budaya
yang konon selalu dianggap halus dan adiluhung, kemung-
kinan besar segera bergeser maknanya. Era global-lokal dan
otonomi daerah, sedikit banyak telah memoles budaya lama ke
dalam budaya baru.
Peneliti budaya dapat mengkaji lebih jauh tentang
eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum
terjajah adalah inferior, sedangkan penjajah superior. Budaya
kaum penjajah sering memaksakan kehendak. terdapat dua tipe
kolonialisme. Pertama, berhubungan dengan penaklukan fisik.
Kedua, penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu
bergerak pada dua hal, yaitu menguntungkan si penjajah dan
menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar
banyak tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah
menyisakan pengalaman kultural yang luar biasa. Jika penjajah
telah sampai menanamkan imperalismenya, maka pada tataran
ideologis tentu akan lebih berbahaya dalam kehidupan terjajah.
- 462 -
Akibatnya, kehidupan si terjajah secara tak sadar akan
mengikuti kehendak penjajah.
Di era modern yang serta global ini, terdapat penjajahan
teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan
pengalaman pahit. Bahkan, bangsa terjajah akan mengalami
stress berat, karena merasa diombang-ambingkan oleh penjajah.
Peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke arah
penjajahan kultural. Tradisi postkolonialisme tak berarti harus
menarik waktu dalam rentang panjang. Peneliti tak harus mena-
rik mundur kacamatanya ke aspek historis belaka. Peneliti
budaya seharusnya tak terkecoh dengan lama tidaknya
kolonialisme. Kolonialisme dapat berlangsung singkat, datang
pergi, dan tak pernah berhenti sepanjang bangsa dan etnis satu
berhubungan dengan yang lain.
Kajian postkoloniasme budaya berkaitan dengan aspek
politik. Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum
kolonialis. Studi postkolonialisme yang berhasil akan menjadi
dokumentasi kritik sejarah. Dokumentasi ini akan menjadi
pelajaran berharga bagi pemilik budaya itu sendiri
(http://teguhimanprasetya. wordpress.com/2008)
Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial
yang telah menindas kelompok-kelompok marjinal. Post
kolonial kemudian membongkar (dekonstruksi) kembali
wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan
politik dan kekuasaan. Ide Ferdinand de Saussure tentang
oposisi biner misalnya, telah dipakai dalam struktur-struktur
kesadaran pengetahuan. Oposisi biner telah membagi dunia
dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik
atau lebih buruk dari yang lain. Bagi postkolonial, oposisi yang
merupakan struktur tak disadari ini merugikan dua hubungan
tersebut, sebab akan terjadi dualitas masyarakat atau
- 463 -
pemahaman yang saling menindas, dan muncullah apa yang
disebut primordalisasi, dan sektarianisasi kelompok.
Banyak term-term yang terjebak pada ide oposisi biner
yang dikorelasikan dengan kekuasan, dan arahnya menjadi
penindasan-penindasan baru. Seperti oposisi minoritas/mayo-
ritas, pusat/pinggiran, global/lokal. Dari ide oposisi ini,
postkolonial tidak hanya bicara soal penjajah dan yang terjajah
dalam masa kolonial dan sesudahnya. Inti dari kritik
postkolonial atas kolonialisme adalah tidak dalam bentuk ‘fisik
penjajahan’, melainkan juga dalam bangunan wacana dan
pengetahuan, bahkan bahasa.
Edward Said dalam ide postkolonial misalnya melakukan
dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan
membawa slogan “kesadaran tandingan” dengan paradigma
orientalismenya di tahun 1978. Katanya, Timur adalah sebentuk
panggung tertentu yang didirikan dihadapan Barat. Said
menguliti orientalisme sebagai wacana ilmiah yang didorong
oleh motif-motif kekuasaan yang amat buas (kolonialisme).
Bahwa kolonialisme pun dapat lahir dari ‘negeri yang terjajah’,
maka tak ada lagi teritorial verbal tentang penjajah dan yang
dijajah. Kekuasaan dan penindasan dapat dilakukan oleh
siapapun dalam bentuk apapun, tanpa harus ditempatkan
dalam dikotomi tertentu. Ini semakin menunjukan bahwa
postkolonialisme selain satu nafas dengan feminisme, ia juga
bersanding dengan postmodernisme. Pertemuan antara
poskolonial, posmodern dan postfeminis adalah terletak pada
adanya ‘wacana pembalikan’(http://www.interseksi.org). Teori
postkolonial lahir sesudah kebayakan negara-negara terjajah
memperoleh kemerdekaannya. Teori postkolonial mencakup
seluruh khazanah sastra nasional yang pernah mengalami
kekuasaan imperial sejak awal kolonialisasi hingga sekarang
(Ratna, 2008:207).
- 464 -
Bila dikaitkan dengan tujuannya maka wacana post
kolonial adalah wacana yang mewakili sistem ideologi Timur
untuk menanamkan pemahaman ulang sekaligus memberikan
citra diri yang baru terhadap bangsa Timur mengenai hege-moni
Barat. Sedangkan wacana orientalisme adalah wacana yang
mewakili sistem ideologi barat dalam kaitannya untuk
menenamkan hegemoni terhadap bangsa Timur (Ratna,
2008:219).
Teori postkolonialisme memiliki arti penting mampu
mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung
di balik kenyataan yang pernah terjadi, dengan beberapa
pertimbangan.
(1) postkolonialisme menaruh perhatian untuk meng-
analisis era kolonial.
(2) postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasio-
nalisme, sedangkan kita sendiri juga sedang diper-
hadapkan dengan berbagai masalah yang berkaitan
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Teori
postkolonialisme dianggap dapat memberikan pema-
haman terhadap masing-masing pribadi agar selalu
mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan,
kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi
(3) teori poskolonialisme memperjuangkan narasi kecil,
menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari
masa lampau untuk menuju masa depan.
(4) membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan
semata-mata dalam bentuk fisik tetapi juga aspek psikis.
Tidak kalah pentingnya juga bahwa teori post kolonialis-
me bukan semata-mata teori, melainkan suatu kesadaran itu
sendiri, bahwa masih banyak pekerjaan besar yang harus
dilakukan, seperti memerangi imperialisme, orientalisme,
rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material
- 465 -
maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun
bangsa sendiri (Ananta Toer: 81).
Kaum post-kolonialis meyakini bahwa semua stigma yang
melekat pada negara dunia ketiga adalah akibat kolonialisasi.
Masa post-kolonialisme adalah masa di mana negara-negara
dunia ketiga dibebaskan dari segala bentuk kolonisasi, tidak
hanya secara fisik, namun juga secara ide. Karena kebanyakan
negara dekolonialisasi bukan berarti lepas dari penjajahan,
namun justru dimulainya bentuk penjajahan hegemoni secara
ide (Wardhani, 2013).
Post-kolonialisme memiliki tiga tujuan utama. Pertama,
mengangkat kembali sejarah ilmu, teknologi dan pengobatan
barat, seperti ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam, India,
Cina maupun pengetahuan pribumi dan pengetahuan dari
budaya lain melalui kajian empiris dan histories. Kedua,
mengembangkan wacana kontemporer tentang sifat, gaya dan
lingkup ilmu pengetahuan, teknologi dan pengobatan non-
Barat. Ketiga, mengembangkan kebijakan ilmu pengetahuan
yang mengakui dan menghargai praktek-praktek ilmiah,
teknologi dan pengobatan pribumi atau asli (David, 2007).
Kata ‘post’ yang terkandung dalam post-strukturalisme
dan post-kolonialisme menunjukkan aspek kritis yang bertujuan
untuk membongkar sesuatu yang sudah mapan (Dugis, 2012).
Kedua teori ini lebih merujuk pada level ide daripada fenomena.
Bagi post-strukturalis dan post-kolonialis didunia ini tidak ada
objektivitas, uiversalisme, dan sesuatu yang bersifat mapan
(Dugis, 2013). Namun, post-kolonialisme dan post-
strukturalisme memberikan suatu kontribusinya dengan
memberikan atau membuka jalan bagi pemikiran-pemikiran
baru untuk muncul dalam disiplim ilmu Hubungan
Internasional.
- 466 -
Post-kolonialisme merupakan periode setelah kolonialis-
me berakhir. Post-kolonialsme mulai dikenal pada tahun 1961
melalui tulisan Orientalism karya Edward Said dan The Wretched
of The Earth karya Frantz Fanon, yang merupakan bentuk
aspirasi dalam memberantas kolonialisme. Post-kolonialisme
tumbuh subur ketika pergerakan anti kolonialisme begitu marak
dilakukan. Dalam konteks Hubungan Internasional, post-
kolonialisme lahir sebagai wujud kekecewaan terhadap teori
mainstream yang hanya memfokuskan pada aspek power, politik
dan negara. Di samping itu juga aspek kultural dan
kemanusiaan, terutama pasca kolonialisme. Post-kolonialisme
menyatakan bahwa kebodohan dan kemiskinan merupakan
akibat kolonisasi. Kemajuan negara koloni tidak terlepas dari
sumbangsih negara jajahan (Wardhani 2013). Tujuan
pengembangan teori postkolonialisme ini sendiri adalah untuk
melawan sisa-sisa dampak dari terjadinya kolonialisme dalam
pengetahuan termasuk pada sisi budaya (Grovogui 2007). Kaum
post-kolonialisme mendambakan adanya tatanan dunia yang
lebih baik setelah kolonialisme berakhir. Tatanan dunia yang
lebih baik ini didorong melalui adanya self determination dan
decolonization.
Kolonialisme meninggalkan warisan budaya di negara
jajahan, misalnya cara berpakaian, cara makan, life style bahkan
pola pikir. Warisan kolonialisme semacam inilah yang ingin
dihapuskan oleh post-kolonialisme. Pada masa penjajahan
Eropa muncul istilah The Man (bangsa eropa) dan The Native
(non eropa). The Man menganggap diri mereka adalah ciptaan
terbaik sehingga berhak untuk menguasai The Native. Post-
kolonialisme menolak pembagian golongan ini karena hal
pembagian ini dianggap sebagai penyelewengan kekuasaan oleh
Eropa dan merupakan suatu tindakan tidak manusiawi melalui
marginalisasi golongan tertentu.
- 467 -
Post-kolonialisme menyuarakan adanya emansipasi
negara atas pengaruh kolonialisme. Kebebasan dan politik
adalah dua hal yang menjadi sorotan post-kolonialisme. Kedua
aspek tersebut hendaknya dimiliki oleh negara yang telah
dinyatakan merdeka dari apapun (Grovogui 2007). Post-
kolonialisme mengarahkan negara untuk melakukan self
determintion. Self determination mendorong adanya kebebasan
berpolitik.
- 468 -
menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti
emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman
personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi,
magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik.
Teoretisi postmodern menolak kecenderungan modern yang
meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin
akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan
realitas.
Kebudayaan postmodern menurut Bauman (1992:31)
adalah: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan,
kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal,
melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi
tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang
dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah
tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Postmodernitas
berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern
khusus, ia merupakan modernitas yang telah mengakui
ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan
semula, modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya
dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup
dengannya.
Menuru Jameson (1989), masyarakat postmodern tersusun
atas lima elemen utama, yaitu: (1) masyarakat postmodern
dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah
pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern;
(3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia
postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-
teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilam-bangkan
oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis
multinasional (http://bintangchiyan.blogspot. com).
Kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionali-
tas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya,
- 469 -
melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif
kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan
kebaruan, tanpa standar yang pasti. Mereka lebih menghargai
perbedaan, pertentangan, paradoks, dan misteri di balik
fenomena budaya.
Teori modernisasi mengungkapkan bahwa negara dunia
ketiga membutuhkan transformasi kultural untuk membangkit-
kan mereka menjadi negara dunia pertama. Menurut negara
dunia pertama, mereka telah melakukan banyak hal bagi negara
dunia ketiga seperti transfer modal, sumberdaya, dan teknologi,
namun negara dunia ketiga tetap tidak dapat menyamai mereka,
karena memang sudah dikonstruksikan seperti itu, bahkan
sebelum masa penjajahan juga sudah demikian (Wardhani,
2013).
Menurut Foucault, postmodernisme akan menghubung-
kan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”.
Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan postmodernis-
me akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandalkan
pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak
menentu, dan penafsiran. Salah satu karakteristik postmo-
dernisme adalah tak suka pada makna tunggal sebuah fenomena
budaya. Mereka cenderung memandang budaya itu bermakna
banyak (plural). Budaya menyuguhkan makna yang bersifat
poliinterpretable. Postmodernisme seirama dengan kajian
pascastrukturalisme. Dia menolak ide struktur sebagai
penopang makna yang mapan. Bahkan Strorey (2003:123)
menyatakan pascastrukturalisme percaya bahwa makna selalu
dalam proses, tak pernah final. Postmodernisme lebih menolak
segala asumsi-asumsi yang membelenggu pemaknaan.
Kehadiran postmodernisme merupakan upaya penafsiran
yang bergabung dengan semiotik yang menyangkut `bagai-
mana’ makna teks, dan tidak lagi hanya seperti hermeneutika
- 470 -
yang lebih menyangkut `apa’ makna teks. Eagleton (1988:397)
menyatakan bahwa postmodernisme memang mengambil ide
dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang
lebih masak dengan disiplin lain. Postmodernisme mencoba
mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari
avant-garde, postmodernisme ingin mencoba memecahkan
masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai
oposisi “high” culture. Habermas menyatakan bahwa postmo-
dernismeime itu sebagai langkah “counter culture”, artinya
kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme
justru dihancurkan (Hardiman, 1993:179).
Postmodernisme mengembangkan paradoks-paradoks
penafsiran makna. Artinya, yang semula oleh kaum modern ada
unsur budaya yang disisihkan, dianggap kecil, dianggap
pinggiran, dan kurang mendukung makna – oleh kaum postmo
justru dikejar. Kemungkinan hal-hal yang sepele yang kurang
“bernyawa” itu menjadi bermakna istimewa. Grass roots dari
postmodernisme adalah kontradiksi. Melalui asumsi ke hal-hal
yang kontradiktif dengan yang telah lazim, justru mereka
mampu menemukan malma hakiki sebuah fenomena budaya
(Esneva dan Prakash,1998:3).
Postmodernisme memang menolak sebuah hirarkhi,
genealogik, kontinuitas, keseragaman, dan perkembangan.
Postmodernisme ingin merepresentasikan segala sesuatu yang
buntu pada masa modern. Oleh karena kaum modern sering taat
pada standar logis, posmodernisme lebih dari itu, yaitu tidak
menggunakan standar baku, melainkan bersifat kreatif. Demda
selalu menyarankan agar pengkaji postmodernisme tak ragu-
ragu melakukan dekonstruksi. Pembalikan struktur sah-sah saja,
asalkan bertujuan untuk memahami rnakna. Paham
postmodernisme selalu berada pada posisi: plural makna
dibanding otoritas kesatuan makna, lebih berupa kritikan
- 471 -
dibanding kepatuhan, ke arah perbedaan dibanding persama-
an, dan lebih bersikap skeptis terhadap sistem budaya.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan ketika mengkaji
postmodernisme menurut Derrida (Sugiharto, 2001:45) yaitu:
pertama, mengidentifikasi hirarkhi oposisi dalam teks di mana
biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan
secara sistematik. Kedua, oposisi itu dibalik, misalnya dengan
menunjukkan saling ketergantungan di antara yang berlawan-
an itu, atau dengan mengusulkan privilese secara terbalik.
Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang
ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi
lama.http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/post-
modernisme-dan-post-kolonialisme/
Menurut paham post modernis, sejarah tidak lagi
dipahami sebagai peristiwa yang linier, berlangsung bertahap,
mulai dari masyarakat primitif yang percaya pada kekuatan gaib
(teosentris), lalu ke tahap metafisis, hingga mencapai puncaknya
pada tahap antroposentris. Antropolog postmodernis
berkeyakinan bahwa masyarakat primitif pun mempunyai sistem
pemikiran yang tidak “sekuno” gambaran kaum modernis.
Postmodernisme berada dalam wilayah “abu-abu”, meno-
lak distingsi tegas kategori-kategori biner. Kritik atas rasio; kritik
atas kritik. Rasio manusia dipertanyakan sebab, alih-alih
membantu manusia menjadi lebih beradab, sering kali merusak
kemanusiaan itu sendiri. Post modernisme juga memiliki sikap
polisentrisme, relativisme, perspektivisme, pluralisme. Kebe-
naran tidak universal/absolut, melainkan tergantung dari
situasi, konteks, dan perspektif yang dipakai.
Post modernisme menganggap realitas sebagai kolase,
yaitu perpaduan dan pencampuradukkan unsur-unsur yang
selama ini dianggap memiliki “posisi/maknanya sendiri-
sendiri”. Menurut paham ini, realitas itu tidak tunggal,
- 472 -
melainkan majemuk, hibrid, gabungan. Post modernisme
menandai sebuah perubahan pemikiran yang pascastruktural,
memiliki sikap dekonstruktif. Postmodernisme ingin mendu-
dukkan persoalan pemahaman kebudayaan yang sering
dikesampingkan kaum modernisme. Kaum modernisme
menepikan pemahaman budaya dari aspek historis, menaifkan
budaya terpencil, budaya terjajah, cenderung mendewakan
oposisi-oposisi biner.
Paham postmodernisme menyerang otoritas akal manusia.
mengkritik rasionalitas dan konsep self sebagai hal yang hidup.
Menurut Lyotard, postmodernisme merupakan gerakan
penelitian budaya “radikal”. Logika postmodernisme
kontroversial dan paradoks. Logika berpikir mereka tidak
menghendaki kemapanan dalam mencari kebenaran makna.
Kendati logika mereka cerdas, tetapi sering dicap tidak
konsisten. Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan
menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan
sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat
kebenaran aktif kreatif. (http://kuliahsosiologi. blogspot.com
/2011/05/post-modernisme-dan-post-kolonial.html)
IV. Kesimpulan
1. Post-strukturalisme muncul akibat respon terhadap gagasan
strukturalisme, namun bergerak keluar dan melampaui
strukturalisme. Post-strukturalisme menolak ide tentang
struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan
biner, seperti hitam-putih, baik-buruk, atas-bawah.
2. Teori postkolonial merupakan teori kritis yang mencoba
mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kolonialisme. Teori postkolonialisme, meliputi abad ber-
akhirnya imperium kolonial di seluruh dunia, segala tulisan
yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial
- 473 -
sejak abad ke-17 hingga sekarang, dan segala tulisan yang ada
kaitannya dengan paradigma superioritas Barat ter-hadap
inferioritas Timur. Masa post-kolonialisme adalah masa di
mana negara-negara dunia ketiga dibebaskan dari segala
bentuk kolonisasi, tidak hanya secara fisik, namun juga secara
ide. Karena kebanyakan negara dekolonialisasi bukan berarti
lepas dari penjajahan, namun justru dimulai-nya bentuk
penjajahan hegemoni secara ide.
3. Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern.
Teoritisi postmodern cenderung menolak pandangan dunia
(world view), metanarasi, dan totalitas. Langkah-langkah yang
perlu dilakukan ketika mengkaji postmodernisme yaitu
mengidentifikasi hirarkhi oposisi dalam teks, oposisi itu
dibalik, dengan menunjukkan saling ketergantungan di
antara yang berlawanan itu, serta memperkenalkan sebuah
istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan
ke dalam kategori oposisi lama.
- 474 -
DAFTAR PUSTAKA
- 475 -
Post modern dan Post Struktural dalam http://bintangchiyan.
blogspot.com /2012/04/ pengertianpost-modern-jean-
francois.html
Prasetya, teguh Iman. Post modernisme dan Post kolonialisme
dalam
(http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008)/09/25/po
st-modernisme-dan-post-kolonialisme.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra.
Ritzer, George – Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi
Modern. terjemahan dari Modern Sociological Theory. Mc
Graw Hill.
Rusdiarti, Samuel. 2008. Struktur dan Sifatnya dalam Pemikiran
Michel Faocault
Santosa, Puji. Kritik Postkolonial: Jaringan Sastra atas Rekam Jejak
Kolonialisme dalam http://badanbahasa. kemdikbud.go.id/
lamanbahasa /artikel/1266
Setiawan, Akbar Kuntardi (2017) Wacana Postkolonial Dalam
Roman Larasati Karya Pramoedya. Staf Pengajar pada
Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, FBS UNY. Proceding
Seminar Nasional Rumpun Sastra FBS UNY 2007
Sugiharto, Bambang.1996. Postmodernisme. Yogyakarta: PT
Kanisius.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (Ed.).2016. Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Cetakan ke-5, Yogyakarta:
Kanisius.
- 476 -
LATIHAN
بالتوفيق والسداد
- 477 -
View publication stats