Anda di halaman 1dari 9

PENERAPAN KONSEP KOTA KOMPAK DARI ASPEK TATA GUNA LAHAN DAN

SISTEM TRANSPORTASI DI KOTA JANTHO, KABUPATEN ACEH BESAR

LATAR BELAKANG

Jumlah penduduk terus menerus mengalami peningkatan berpengaruh terhadap pertumbuhan


dan perkembangan suatu kota. Meningkatnya jumlah penduduk seringkali menyebabkan
pertumbuhan yang tidak terkendali, sehingga kualitas hidup masyarakat menjadi menurun,
terjadinya perserakan kota (urban sprawl), pola pergerakan yang tidak terkendali dan
permasalahan lainnya. Urbanisasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakseimbangan
(Jamaludin, 2015). Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, diperlukan suatu upaya untuk
mengoptimalkan banyaknya jumlah penduduk dengan kapasitas suatu kawasan perkotaan.
Kepadatan penduduk harus diimbangi oleh perencanaan yang baik. Salah satu gagasan yang kini
berkembang untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mengupayakan penerapan
keberlajutan (sustainability) pada suatu kawasan yang lebih dikenal dengan New Urbanism
Movement. Konsep ini bertujuan untuk menata kembali suatu kawasan sesuai dengan prinsip-
prinsip pembangunan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan menjadikan kota yang
berkelanjutan dan unggul dalam berbagai aspek.
Salah satu konsep kota berkelanjutan adalah kota kompak (Compact City). Kota kompak dapat
menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan seperti urban sprawl. Kota kompak
adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan yang berfokus pada kota yang memiliki tingkat
kepadatan yang relatif tinggi, mendorong perkembangan bangunan dengan fungsi campuran
(Mixed Used) dan memiliki batas kota yang jelas (Jenk et al, 1996). Kota kompak juga
memaksimalkan penggunaan transportasi umum dan kualitas desain perkotaan (Arbury dalam
Oswar, 2022), konsumsi energi yang rendah serta mengurangi polusi (Dempsey, 2010). Menurut
Roychansyah (2006) terdapat enam elemen penting kota kompak yaitu pemadatan populasi,
penguatan sentral kegiatan, penggunaan transportasi umum secara optimal, ukuran kota yang
optimal, ekonomi sosial masyarakat yang sejahtera dan proses menuju kota kompak. Konsep
compact city menekankan pada peningkatan intensitas kawasan terbangun dan kepadatan
penduduk pada suatu permukiman, pengintesifan berbagai aktivitas, manupulasi sistem
transportasi publik dalam mencapai keberlanjutan lingkungan, sosial dan global (Newman dan
Kenworthy, 1989; Hilman, 1996).
Indonesia berada dalam kategori urbanisasi menengah (Pusparisa, 2019). Hampir seluruh
daerah di Indonesia mengalami urbanisasi. Salah satu provinsi yang turut mengalami urbanisasi
adalah adalah provinsi Aceh. Pada tahun 1956, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1956,
Aceh Besar menjadi daerah otonom dengan Banda Aceh sebagai Ibukotanya. Kota Banda Aceh
menjadi tujuan masyarakat pedesaan untuk melakukan transmigrasi dengan berbagai tujuan dan
keperluan baik dalam hal pekerjaan maupun pendidikan. Hal ini menyebabkan penduduk kota
Banda Aceh semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sehubungan perkembangan daerah yang
semakin maju, kota Banda Aceh dianggap tidak lagi efisien dalam menampung berbagai aktivitas
perkotaan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1969 muncul gagasan untuk pemindahan
Ibukota dan kecamatan Indrapuri dipilih sebagai lokasi pemindahan. Namun gagasan tersebut
urung terjadi. Kemudian pada tahun 1976, pemindahan tersebut kembali dilaksanakan, akan tetapi
pada lokasi berbeda yaitu kecamatan Seulimum tepatnya kemukiman Janthoi dengan lahan seluas
59.300,16 Ha dan berjarak sekitar 52 km dari kota Banda Aceh. Setelah ditetapkan Kota Jantho
sebagai ibu kota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, kemudian pada tanggal 29
Agustus 1983, seluruh aktivitas perkantoran resmi dipindahkan secara serentak dari kota Banda
Aceh ke kota Jantho. Akan tetapi, Kota Jantho tidak serta merta menjadi kawasan yang banyak
ditempati oleh masyarakat. Bahkan setelah menjadi ibukota sekalipun, Kota Jantho tetap menjadi
salah satu kawasan dengan kepadatan penduduk rendah di Kabupaten Aceh Besar. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan. Salah satu penyebab
Kota Jantho berpenduduk rendah adalah kurangnya pemanfaatan tata ruang berupa infrastruktur
dan fasilitas publik sebagai pendukung sarana dan prasarana perkotaan dan kurang maksimalnya
sistem transportasi dan aksesibilitas untuk mendukung moda perkotaan yang bertujuan untuk
mewujudkan efesiensi waktu aktifitas di perkotaan dan antar kota.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa Kota Jantho memiliki isu-isu perkotaan terkait
tata guna lahan dan sistem transportasi. Untuk menciptakan kota yang berkelanjutan penerapan
konsep kota kompak dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada di Kota Jantho.
Penelitian ini difokuskan melihat isu tata guna lahan dan isu sistem transportasi Kota Jantho yang
merupakan elemen dari konsep kota kompak.

TINJAUAN PUSTAKA

Melihat permasalahan dan potensi yang terdapat di Kota Jantho, maka studi pustaka yang
dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas tiga teori utama yaitu:
1. Kota Kompak (Compact City)
a. Konsep kota Kompak (Compact City)

Kota kompak adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan yang berfokus pada kota yang
memiliki tingkat kepadatan yang relatif tinggi, mendorong perkembangan bangunan dengan fungsi
campuran (Mixed Used) dan memiliki batas kota yang jelas (Jenk et al, 1996). Song & Knaap
(dalam Neuman, 2005) mengatakan bahwa kota kompak memiliki karakteristik kepadatan hunian,
penggunaan lahan campuran, peningkatan interaksi sosial dan ekonomi, pembangunan kota yang
terkendali, transportasi multimoda, tingkat aksesibilitas yang tinggi, dan rasio ruang terbuka hijau
(RTH) yang rendah. Kota kompak mendukung intensifikasi lahan, perumahan yang lebih tinggi
dengan tujuan perencanaan untuk kekompakan dan integrasi antara penggunaan lahan (Burgess &
Jenks, 2000).

b. Komponen kota kompak


Menurut pendapat Lim (1998) komponen kota kompak diantaranya adalah:
• Self-sufficiency, adalah upaya memenuhi kebutuhan kota seoptimal mungkin, bekembang
dari kegiatan produksi dan reproduksi kota itu sendiri, dan meminimalkan ketergantungan
pada area sekitar (hinterland), terutama dengan mengatur keseimbangan perbandingan
penyediaan fasilitas layanan dan sumber pendanaan di dalam kotanya sendiri.
• Land as Resource, mengoptimalkan penggunaan tanah sebagai sumber yang berpengaruh
untuk pembentukan kota dengan cara menentukan penempatan lokasi, optimalisasi
kapasitas dan intensitas dan pengendalian yang erat terhadap pembangunan yang hendak
dicanangkan. Pembangunan kawasan tidak selalu berpusat di pusat kota, namun dilakukan
di lokasi perkembangan kawasan yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat.
• Shifting and Floating Values, merupakan teori tentang nilai lahan yang mengambang, dan
bisa ditaruh di lokasi pertumbuhan. Cara ini digunakan sebagai pencegahan ekspansi
bidang komersial untuk jangan sampai mengganggu tatanan/struktur kawasan yang sudah
mencapai titik optimal dan melindungi kawasan-kawasan yang telah memiliki karakter dan
sejarah, kemudian kawasan untuk hunian dapat ditempatkan di lokasi yang optimal bagi
masyarakat.
• Transport and Mobility, dengan adanya bentuk transportasi massal yang dapat dijangkau
serta layak untuk masyarakat, konsep ini juga berfungsi untuk mengurangi polusi dan
degradasi lingkungan kota akibat pemakaian angkutan pribadi yang melampaui ukuran
maksimal pada ruang pergerakan di dalam kota. Pemanfaatan sarana tradisional masih
dimungkinkan dengan mengatur hierarki pelayanannya.
• Conservation of Environmental Areas, yaitu upaya melestarikan bangunan atau kawasan
bersejarah dari tekanan ekonomi ruang, supaya identitas dan karakter kota tetap terjaga.
Usaha yang digencarkan yaitu dengan memberikan nilai ekonomi pada gedung atau daerah
lama (adaptive use), sehingga memiliki legitimasi dan peranan yang berpotensi sebagai
salah satu aset komponen kota.

Sedangkan menurut Roychansyah (2006) terdapat enam elemen penting kota kompak yaitu:
1. Pemadatan populasi
2. Penguatan sentral kegiatan
3. Penggunaan transportasi umum secara optimal
4. Ukuran kota yang optimal
5. Ekonomi sosial masyarakat yang sejahtera
6. Proses menuju kota kompak.

c. Keunggulan kota kompak


Menurut Dantzig (1973) terdapat beberapa keunggulan kota kompak yaitu:
• Save money, yaitu mengurangi pengeluaran biaya transportasi atau perjalanan yang tinggi
• Save time, meminimalisir waktu perjalanan dengan jarak yang dekat
• Save lives, jarak dekat akan meminimalisir hilangnya nyawa akibat kecelakaan
• Save land, mengkonservasi lahan sehingga dapat digunakan sebagai fungsi ekosistem
• Save energy mengurangi penggunaan energi bahan bakar
• Save material resources, mengurangi penggunaan material yang digunakan sebagai
produksi massal kendaraan bermotor
• Reduces air and noise pollution, meminimalisir timbulnya polusi udara dan suara akibat
jumlah kendaraan yang tidak terkendali.

2. Tata Guna Lahan


Tata guna lahan dapat digambarkan dengan tertatanya suatu lahan dalam suatu wilayah sesuai
dengan fungsinya. Menurut Catanese (1986), tata guna lahan merupakan rancangan kota yang
dipengaruhi oleh manusia, aktivitas, dan lokasi, sehingga diketahui bahwa perubahan guna lahan
dipengaruhi oleh ketiga elemen tersebut. Sedangkan menurut Chapin & Kaiser (1979) mengatakan
bahwa terdapat tiga sistem yang mempengaruhi tata guna lahan, yaitu sistem kegiatan (macam-
macam kegiatan yang ada di lahan), sistem pengembangan lahan (lahan yang sudah dikembangkan
maupun yang belum dikembangkan), dan sistem lingkungan (penggunaan lahan yang perlu
dilindungi sumber dayanya).

3. Sistem Transportasi
Sistem transportasi kota adalah komponen transportasi yang saling terintegrasi untuk melayani
wilayah perkotaan. Komponen tersebut meliputi manusia, barang, alat angkut, tempat bergerak,
sarana transportasi, dan sistem yang mengaturnya (Miro, 1997). Transportasi adalah kegiatan
pemindahan, pengangkutan atau pengiriman manusia ataupun barang yang didukung dengan
sistem yang baik dari suatu lokasi ke lokasi lainnya sehingga memperoleh keuntungan ekonomi.
Sistem jaringan adalah jaringan transportasi yang dapat memudahkan pergerakan manusia
dan/atau barang. Sedangkan sistem pergerakan merupakan manajemen lalu lintas sehingga
menciptakan pergerakan barang dan/atau barang dengan aman, nyaman, dan sesuai dengan
lingkungan (Tamin, 2000).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kota Jantho, Aceh Besar. Jenis penelitian yang digunakan adalah
kualitatif dengan teknik studi literatur. Adapun variabel penelitian ini mengadopsi dari penelitian
yang dilakukan oleh Ratnaningtyas, et al (2022). Variabel penelitian dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 1. Variabel Penelitian


Variabel Indikator
Kepadatan Guna Lahan Kepadatan lahan terbangun
Kepadatan Permukiman
Sistem kegiatan Penggunaan lahan campuran
Ketersediaan fasilitas perkotaan Commented [CNH1]: Ini masukin ke kesimpulan
Aksesibilitas kekurangannya dan kasih saran

Sistem Jaringan Konektivitas jaringan jalan


Ketersediaan fasilitas pedestrian Commented [CNH2]: Kasih solusi
Sistem pergerakan Ketersediaan transportasi umum Commented [CNH3]: Ini masukin ke kesimpulan
kekurangannya dan kasih saran
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kepadatan Guna Lahan


Kota Jantho memiliki sebanyak 13 desa/kelurahan dengan luas total 593 Km 2. Berdasarkan
data yang dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Besar, diketahui bahwa Gampong Jantho
Makmur memiliki kepadatan penduduk tertinggi sebesar 821 Jiwa/Km2 dengan jumlah penduduk
sebesar 2.548 jiwa dan luas gampong 3,1 Km2. Sedangkan Gampong Bueng dan Gampong Jalin
memiliki kepadatan penduduk terendah sebesar 1 Jiwa/ Km 2 dengan jumlah penduduk masing-
masing sebesar 236 jiwa dan 295 jiwa serta luas gampong masing-masing sebesar 150,12 Km2 dan
273,04 Km2.

Gambar 1. Jumlah Penduduk Kota Jantho

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan 13 Gampong yang berada di Kecamatan
Kota Jantho, gampong Jalin merupakan gampong yang memiliki luas terbesar dengan luas wilayah
sebesar 273.04 Ha dan ukuran terluasnya merupakan lahan non pertanian sebesar 268.29 Ha
sedangkan gampong Bukit Meusara merupakan gampong yang memiliki luas terkecil dengan luas
wilayah sebesar 2.99 Ha dan ukuran terluasnya merupakan lahan non pertanian sebesar 2.61 Ha.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kota Jantho termasuk ke dalam kategori
kepadatan guna lahan rendah di Kabupaten Aceh Besar. Hal ini terlihat dari masih banyaknya
lahan terbuka hijau. Penggunaan lahan di Kota Jantho terdiri dari area permukiman, area
perkantoran, sekolah, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, area wisata, dan fasilitas publik seperti
gedung olahraga, penginapan, dll. Hal ini menunjukkan konsep kota kompak yang identik dengan
kepadatan penduduk yang tinggi tidak dimiliki oleh Kota Jantho. Oleh karena itu penerapan
konsep kota dari segi kepadatan penduduk sudah teratasi. Commented [CNH4]: Sudah di perbaiki Bahasa di
paragraph ini

2. Kepadatan Permukiman
Berdasarkan data dari Materi Teknis RTRW Kabupaten Aceh Besar 2012 – 2032, luas
permukiman di kota Jantho berdasarkan data spasial adalah 937, 96 Ha dari luas total Kota Jantho
sebesar 593 Km2. Angka tersebut menunjukkan bahwa kawasan permukiman hanya sebesar
kurang lebih 1,6% dari luas total Kota Jantho.

Gambar 2. Luas Permukiman Kota Jantho

3. Penggunaan Lahan Campuran


Berdasarkan hasil observasi, tidak ditemukan adanya penerapan lahan campuran (mixed used)
di Kota Jantho. Setiap bangunan hanya memiliki 1 fungsi saja dan tidak dijumpai bangunan yang
cukup tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan konsep kota kompak yang menerapkan berbagai fungsi
dalam suatu bangunan, namun hal tersebut terjadi pada kota yang memiliki lahan sempit. Sehingga
pemanfaatan lahan di Kota Jantho dengan 1 fungsi dapat di lakukan dikarenakan adanya
ketersediaan lahan.

4. Ketersediaan Fasilitas Perkotaan


Kota Jantho memiliki berbagai fasilitas. Berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2020-2022.
Adapun fasilitas-fasilitas tersebut dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut.

Tabel 2. Fasilitas di Kota Jantho


Fasilitas Jumlah
Taman Kanak-Kanak (TK) 6
Raudatul Athfal (RA) 1
Sekolah Dasar (SD) 10
Madrasah Ibtidaiyah (MI) 1
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 4
Madrasah Tsanawiyah (MTs) 1
Sekolah Menengah Atas (SMA) 1
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2
Perguruan Tinggi 1
Kantor pos 1
Poliklinik/Balai Pengobatan 2
Puskesmas Rawat Inap 1
Apotek 2
Masjid/Meunasah 28
Penginapan 4

Selain fasilitas yang disebutkan diatas, terdapat pula fasilitas lain seperti perkantoran, gedung
olahraga, dan kawasan wisata. Fasilitas-fasilitas tersebut tentunya belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat perkotaan. Fasilitas umum seperti rumah sakit dan hotel belum tersedia,
sedangkan pusat perbelanjaan yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sehingga masyarakat harus ke daerah lain seperti Kota Banda Aceh untuk memenuhi keperluan-
keperluanya.

5. Aksesibilitas
Aksesibilitas menuju Kota Jantho sudah cukup baik, mulai dari entrance sudah diterapkan
jalan dua jalur sehingga memudahkan pengguna jalan. Jarak tempuh dari jalan raya menuju kota
Jantho sekitar 25 menit perjalanan. Hal lainnya juga dapat dilihat saat memasuki Kota Jantho
aksesibilitas juga sudah cukup baik, kualitas jalan baik dengan median jalan yang lebar. Adanya
penambahan bundaran pada pertemuan antar jalur menambah kenyamanan pengguna dalam
menggunakan sarana dan prasarana jalur transportasi.

Gambar 3. Aksesibilitas Kota Jantho

6. Konektivitas Jaringan Jalan


Terdapat dua jalan utama menuju kota Jantho, yaitu Jalan Medan-Banda Aceh yaitu melalui
jalan raya. Jalan ini dapat digunakan oleh semua kendaraan, baik mobil, sepeda motor, bus dan
lain-lain. Jalan lainnya adalah melalui Tol Banda Aceh-Seulimum. Untuk tol sendiri hanya dapat
diakses oleh mobil dan bus. Berdasarkan konsep kota kompak, hal ini tentunya belum sesuai,
mengingat konsep kota kompak adalah meringkas jarak tempuh, sehingga jarak dan waktu
perjalanan menjadi lebih efisien, mengehemat biaya serta energi dan menghindari kecelakaan lalu
lintas.
Gambar 4. Tol Menuju Kota Jantho

7. Ketersediaan Fasilitas Pedestrian


Kota Jantho memiliki aksesibilitas kendaraan yang cukup baik. Rendahnya jumlah penduduk
mengakibatkan aksesibilitas menjadi sangat lengang dan kendaraan yang melintas hanya sedikit.
Berdasarkan hasil observasi, fasilitas seperti pedestrian dan jalur sepeda di kota Jantho belum
memadai. Jarak antar bangunan yang cukup jauh mengakibatkan masyarakat lebih memilih
menggunakan kendaraan seperti sepeda motor dan sangat sedikit masyarakat yang berjalan kaki.
Kota Jantho belum memiliki pedestrian yang baik, hanya trotoar pada beberapa area tertentu.

Gambar 5. Pedestrian Kota Jantho

8. Ketersediaan Transportasi Umum


Kota Jantho terus diupayakan agar mudah diakses oleh masyarakat. Masyarakat yang
mendatangi kota Jantho umumnya berdomisili di kota Banda Aceh dan sekitarnya, sehingga harus
menempuh jarak yang cukup jauh agar sampai di kota Jantho. Untuk mengatasi hal tersebut,
Pemerintah menyediakan transportasi umum agar masyarakat merasa aman dan nyaman ketika
menuju kota Jantho. Pemerintah menyediakan Bus Trans Jantho dengan rute Banda Aceh-Jantho.
Rute perjalanan Trans Jantho adalah Lambaro-Blang Bintang-Jantho. Trans Jantho menuju kota
Jantho melalui pintu tol Blang Bintang. Trans Jantho beroperasi mulai dari jam 07.00 WIB hingga
16.00 WIB. Namun, Pemerintah hanya menyediakan 1 jenis transportasi umum di Kota Jantho.
Transportasi umum lainnya belum tersedia sehingga fasilitas seperti terminal tidak dapat
beroperasi. Terminal di Kota Jantho sampai saat ini tidak berfungsi, karena rute kendaraan Kota
Jantho sangat terbatas hanya di fungsikan antar dua kota saja. Hal ini disebabkan perhubungan
jalan menuju Kota Jantho dari Kota Banda Aceh hanya searah dan tidak meneruskan ke kota
lainnya, sehingga fungsi Kota Jantho sebagai ibukota kabupaten baru terbatas pada pelayanan
administrasi dan pemerintahan, sementara kegiatan lainnya belum berkembang. Diperlukan
tindaklanjut penambahan Moda transportasi untuk masyarakat serta pembukaan beberapa rute baru
antar kota, dengan begitu dapat menarik masyarakat dari kota-kota lainnya untuk berkunjung.

Gambar 6. Moda Transportasi Kota Jantho

Anda mungkin juga menyukai