Disusun oleh:
Ariesa Ertamy (08151004)
Semakin bertambahnya jumlah penduduk perkotaan, maka tiap negara di dunia akan
menghadapi sejumlah tantangan dalam penyediaan kebutuhan penduduk, kebutuhan
terhadap tempat tinggal, infrastruktur, transportasi, energi, sarana dan prasarana, dan
lapangan pekerjaan, juga akan mempengaruhi peningkatan kebutuhan akan ruang di
perkotaan. Di antara konsep-konsep yang berkembang, bahkan diimplementasikan adalah
konsep Kota Kompak (Compact City). Compact city adalah konsep perkotaan yang
menekankan konsep morfologi kota yang kompak, dengan mendorong guna lahan
campuran (mixed use) di area perkotaan yang didukung oleh sistem transportasi yang
handal. Dengan banyaknya tantangan yang akan dihadapi suatu perkotaan maka diperlukan
konsep perencanaan kota yang dapat mengatasi dan mencegah permasalahan tersebut
dengan menggunakan kosep Kota Kompak (Compact City).
DASAR TEORI
A. Definisi Compact City
Menurut Jenks (2000), Kota Kompak merupakan salah satu dari pendekatan
perencanaan kota, yang merupakan tanggapan terhadap berkembangnya fenomena
urban sprawl yang dianggap merugikan perkembangan suatu kota. Kota Kompak
diharapkan dapat memberikan solusi permasalahan perkotaan dan menjadi ciri kota
yang berkelanjutan yang ditunjukkan melalui beberapa karakteristik yaitu penggunaan
lahan campuran dengan kepadatan tinggi, intensifikasi aktivitas, kombinasi fungsi, dan
menekankan pada transport publik (Burton, 2001). Karakteristik Kota Kompak, memiliki
keterkaitan dengan komponen-komponen struktur ruang yaitu; penggunaan lahan,
jaringan transportasi, dan pergerakan penduduk.
Kota kompak memiliki konsep yang kuat pada perencanaan urban containment,
yaitu menyediakan suatu konsentrasi penggunaan campuran secara sosial
berkelanjutan (socially sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunan dan
mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi setiap kendaraan. Oleh karena itu
promosi penggunaan transportasi massal, kenyamanan dalam berlalu lintas, berjalan
kaki, dan bersepeda sering digunakan sebagai solusi (Elkin dkk., 1991; Newman, 1994).
Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan fasilitas pendukung dan yang
secara ekonomis layak, serta mempertinggi keberlanjutan sosial (Haughton, 1997).
Dengan demikian, kota kompak diartikan sebagai kebijakan perwujudan keberlanjutan
kota, melalui sinergi antara kepadatan penduduk kota dengan ukuran ideal kota,
pengkonsentrasian kegiatan-kegiatan, intensifikasi transportasi publik, dan peningkatan
kualitas hidup kota (Roychansyah, 2006).
STUDI KASUS
Pembentukan kota kompak memiliki lima atribut utama yang harus dipenuhi, yaitu;
kepadatan tinggi, guna lahan campuran, berskala manusia, ketersediaan transportasi publik
dan kesejahteraan sosial yang tinggi. Kampung kota yang berada di Kotagede, Yogyakarta
merupakan salah satu contoh konsep penerapan perencanaan kota kompak. Dimana pada
studi kasus Kampung di Kotagede ini menerapkan lima atribut utama yang harus dipenuhi
dalam menerapkan konsep kota kompak ini.
a) Atribut pertama kepadatan sebagai langkah dalam efisiensi penggunaan lahan
perkotaan yang semakin menipis. Kampung di Kotagede memiliki kepadatan bangunan
yang menunjukkan angka KDB wilayah sebesar 80%-90%. Jalan yang sempit dengan
hanya sebesar 2-3 meter yang berbatasan langsung terhadap dinding bangunan
menunjukkan terjadinya kepadatan tinggi, dapat mendukung masyarakat untuk berjalan
kaki atau bersepeda daripada menggunakan kendaraan bermotor.
b) Atribut kedua guna lahan campuran, dimana sejak awal adanya Kampung Kotagede
fungsi perdagangan dan jasa dari skala kecil yaitu industry rumah tangga perak menjadi
ciri khas di Kampung Kotagede. Guna lahan campuran pada Kampung Kotagede yaitu
secara horizontal antar bangunan, horizontal satu bangunan, dan vertikal.
c) Atribut ketiga skala manusia. Skala manusia adalah setiap kondisi fisik seperti bentuk,
ukuran, jangkauan yang ada di Kampung didasarkan pada ukuran manusia. Pada
Kampung Kotagede hal yang menunjukan pembentukan kampung menggunakan skala
manusia antara lain jalan sempit, bangunan kecil dan detail bangunan yang atraktif.
Sehingga penduduk lebih banyak berjalan kaki atau bersepeda bahkan pada
masyarakat yang menggunaan kendaraan bermotor menyesuaikan diri dengan
menuntun kendaraannya keluar daerah permukiman baru kemudian digunakan, dengan
demikian dapat menguntungkan bagi penyandang cacat dan anak-anak karena mereka
dapat berkegiatan diluar rumah tanpa harus takut bahaya kendaraan bermotor.
d) Atribut keempat transportasi publik, khususnya di Kotagede yang bersifat informal dan
tradisional seperti becak dan andong biasanya menghubungkan tempat tinggal
(perkampungan) dengan pusat perdagangan (pasar), pendidikan (sekolah), dan
kesehatan (puskesmas). Berbagai macam transportasi public, merupakan ciri khas yang
membentuk kampung kota sebagai model kota kompak.
e) Atribut terakhir kesejahteraan sosial. Kondisi perekonomian masyarakat yang hidup di
kampung tidak sebaik masyarakat yang tinggal di perumahan elit. Mata pencaharian
masyarakat di kampung pun didominasi oleh perajin perak berskala lokal dan pedagang
kecil yang dapat digolongkan dalam keluarga prasejahtera hingga keluarga sejahtera
satu. Namun, hal tersebut membuat masyarakat memiliki hubungan dan interaksi sosial
yang baik dan kompak dengan masyarakat di sekitarnya.
CRITICAL REVIEW
Lima atribut yang terkandung dalam strategi kota kompak telah teridentifikasi dalam
studi kasus kampung kota di Kotagede, seperti kepadatan tinggi, guna lahan campuran,
berskala manusia, ketersediaan transportasi publik, dan kesejahteraan sosial, walaupun
diartikan melalui praktik-praktik yang berbeda karena dipengaruhi oleh budaya lokal
setempat. Akan tetapi, semangat peningkatan kualitas hidup kota dalam kota kompak (city
compact) dapat dilihat dalam kampung kota sebagai salah satu bagian dari permukiman
kota yang sering dipandang sebelah mata.
Setiap konsep perencanaan kota khususnya konsep kota kompak, akan menghadapi
tantangan dalam penerapannya pada negara berkembang. Karena bentuk kota kompak
belum tentu akan sesuai dengan karakteristik kota di negara berkembang yang situasi
perkotaannya berbeda dengan negara maju. Selain itu, tantangan dalam menerapkan
konsep kota kompak di negara berkembang karena banyaknya permasalahan perkotaan,
sebagai berikut;
PENUTUP
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, maka tiap negara maju
maupun berkembang di dunia akan menghadapi sejumlah tantangan, model konsep kota
kompak dapat dijadikan sebagai pilihan sebagai konsep perencanaan perkotaan. Namun,
untuk mencoba menerapkan model kompak ini masih memerlukan waktu yang cukup
panjang dan perlu kehati-hatian untuk mendiskusikan implikasi dari hasilnya. Oleh karena
itu, penerapan kebijakan kota kompak ini tidak dapat dipisahkan dari karekter masing-
masing kota, khususnya jika akan diterapkan di negara berkembang yang masih memiliki
banyak permasalahan perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA
Burton, E. (2000). The Compact City: Just or Just Compact? A Preliminary Analysis. Urban
Studies, Vol. 37, No. 11, 1969 2001, 2000, 1970-2006.
Dharma, A. (2005). Sustainable Compact City; sebagai Alternatif Kota Hemat Energi. Depok:
Universitas Gunadarma.
Haughton, G. (1997). Developing Sustainable Urban Development Models. Cities, Vol. 14,
No. 4, , pp. 189-195.
Jenks, M., Burton, E., & Williams, K.. (1996). The Compact City : A Sustainable Urban Form.
London: E & FN Spon.
Roychansyah, M. (2006, Juni 5). Papers. Retrieved Februari 26, 2017, from M. Sani
Roychansyah: http://saniroy.archiplan.ugm.ac.id/?p=53
Novitasari, M. R., Irawati, N. A., & Izzati, D. N. (2013). Kampung Kota sebagai Bentuk
Spasial dari Model Kota Kompak (Compact City), Studi Kasus; Kotagede, Yogyakarta.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.