Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH CRITICAL REVIEW

Konsep Perencanaan Kota Kompak (Compact


City)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Perencanaan Kota

Dosen Pengajar; Achmad Ghozali, S.T., M.T. dan


Ariyaningsih., S.T., M.T., M.Sc

Disusun oleh:
Ariesa Ertamy (08151004)

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota


Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Kalimantan
Balikpapan
2017
PENDAHULUAN
Kota adalah kawasan permukiman yang didalamnya terdapat berbagai kegiatan sosial
dan ekonomi, terdapat pula fasilitas-fasilitas pendukung untuk menunjang kegiatan
masyarakat yang ada di dalam wilayah tersebut. Kota dapat dilihat dari kepadatan
penduduk, status hukum, batas administrasi dan kepentingannya. Perkembangan kota yang
terdapat di Indonesia merupakan kota-kota berkembang yang dipengaruhi oleh faktor
ekonomi dan mobilitas penduduk yang berkegiatan di dalam suatu kawasan kota tersebut.
Menurut data dari United Nations (2004), saat ini sekitar 54% dari total jumlah penduduk di
bumi bertempat tinggal di perkotaan, dan akan terus meningkat hingga 66% di tahun 2050.
Dari data diatas, 53% merupakan populasi penduduk di perkotaan dunia yang akan
menempati negara-negara Asia. Kota-kota besar yang berada di Asia akan muncul sebagai
kota raksasa seperti; Tokyo, New Delhi, Shanghai, dan Mumbai yang telah memiliki populasi
sebanyak sepuluh juta jiwa. Di Indonesia sendiri kota dengan populasi sepuluh juta jiwa
berada pada; Jakarta, Bandung, dan Surabaya yang juga sedang dalam proses menjadi
kota raksasa.

Semakin bertambahnya jumlah penduduk perkotaan, maka tiap negara di dunia akan
menghadapi sejumlah tantangan dalam penyediaan kebutuhan penduduk, kebutuhan
terhadap tempat tinggal, infrastruktur, transportasi, energi, sarana dan prasarana, dan
lapangan pekerjaan, juga akan mempengaruhi peningkatan kebutuhan akan ruang di
perkotaan. Di antara konsep-konsep yang berkembang, bahkan diimplementasikan adalah
konsep Kota Kompak (Compact City). Compact city adalah konsep perkotaan yang
menekankan konsep morfologi kota yang kompak, dengan mendorong guna lahan
campuran (mixed use) di area perkotaan yang didukung oleh sistem transportasi yang
handal. Dengan banyaknya tantangan yang akan dihadapi suatu perkotaan maka diperlukan
konsep perencanaan kota yang dapat mengatasi dan mencegah permasalahan tersebut
dengan menggunakan kosep Kota Kompak (Compact City).

DASAR TEORI
A. Definisi Compact City
Menurut Jenks (2000), Kota Kompak merupakan salah satu dari pendekatan
perencanaan kota, yang merupakan tanggapan terhadap berkembangnya fenomena
urban sprawl yang dianggap merugikan perkembangan suatu kota. Kota Kompak
diharapkan dapat memberikan solusi permasalahan perkotaan dan menjadi ciri kota
yang berkelanjutan yang ditunjukkan melalui beberapa karakteristik yaitu penggunaan
lahan campuran dengan kepadatan tinggi, intensifikasi aktivitas, kombinasi fungsi, dan
menekankan pada transport publik (Burton, 2001). Karakteristik Kota Kompak, memiliki
keterkaitan dengan komponen-komponen struktur ruang yaitu; penggunaan lahan,
jaringan transportasi, dan pergerakan penduduk.

B. Konsep Compact City

Kota kompak memiliki konsep yang kuat pada perencanaan urban containment,
yaitu menyediakan suatu konsentrasi penggunaan campuran secara sosial
berkelanjutan (socially sustainable mixed use), mengkonsentrasikan pembangunan dan
mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi emisi setiap kendaraan. Oleh karena itu
promosi penggunaan transportasi massal, kenyamanan dalam berlalu lintas, berjalan
kaki, dan bersepeda sering digunakan sebagai solusi (Elkin dkk., 1991; Newman, 1994).
Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan fasilitas pendukung dan yang
secara ekonomis layak, serta mempertinggi keberlanjutan sosial (Haughton, 1997).
Dengan demikian, kota kompak diartikan sebagai kebijakan perwujudan keberlanjutan
kota, melalui sinergi antara kepadatan penduduk kota dengan ukuran ideal kota,
pengkonsentrasian kegiatan-kegiatan, intensifikasi transportasi publik, dan peningkatan
kualitas hidup kota (Roychansyah, 2006).

Di Indonesia dalam menerapkan kota kompak sebagai konsep perencanaan kota


masih membutuhkan kajian, studi, dan riset tersendiri. Konsep kota kompak bukanlah
konsep yang kaku dan sederhana dalam menggambarkan sebuah bentuk kota tertentu.
Setiap perkotaan akan memiliki perbedaan karakteristik kota dan budaya masyarakat
yang menghuninya, maka kota kompak perlu dilihat pula dalam konteks kekhasan
budaya, ekonomi dan identitas fisik kotanya pada saat ini untuk perubahan kota di masa
datang yang lebih baik dan efisien. Sejalan dengan Burton, menurut Roychansyah
(2006) kota kompak juga merincikan atribut yang terdapat dalam kota kompak, antara
lain : (a) peningkatan kepadatan penduduk dan lingkungan (population densification);
(b) pengkonsentrasian kegiatan (activity concentration); (c) intensifikasi transportasi
umum (public transport intensification); (d) pertimbangan besaran dan akses kota (city
size consideration); dan (e) target kesejahteraan sosial dan ekonomi (social welfare
target)

C. Kelebihan dan Kekurangan Compact City

Konsep kota kompak berupaya dalam mengefektifkan penggunaan lahan, sehingga


dapat mengatasi permasalahan kekurangan lahan, juga penggunaan lahan yang tidak
efektif dengan membangun gedung secara vertikal. Kota kompak tidak hanya berfokus
pada aspek fisik saja namun juga aspek ekonomi, sosial, dan kependudukan. Pada
aspek sosial, kota kompak dapat meningkatkan interaksi sosial serta penurunan tingkat
kesenjangan sosial antar masyarakat karena konsepnya yang mendesain kawasan
permukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran dan lain-lain menjadi terpusat.
Kelebihan lainnya dari konsep perkotaan kota kompak adalah dapat meminimalisir
ketergantungan akan kendaraan pribadi, biaya transportasi, dan mengurangi waktu
yang terbuang dalam perjalanan. Segala keunggulan desain kota kompak agar fasilitas-
fasilitas penunjang perekonomian dekat dengan kawasan permukiman masyarakat.

Menurut Roychansyah (2006), kota kompak selain memiliki keuntungan dalam


penerapannya secara alami juga mampu mengakibatkan beberapa kerugian, seperti
bertambah mahalnya lahan di dalam kota karena pembatasan ketersediaan tanah untuk
membangun, kekhawatiran kualitas hidup berkurang dengan adanya upaya menaikkan
kepadatan penduduk dalam kota, serta kemungkinan tergusurnya penduduk yang
mempunyai akses lemah, termasuk para lansia dan kurang mampu. Kelemahan lainnya
dari konsep perencanaan ini adalah dengan adanya gedung maupun pembangunan
secara vertikal akan menyebabkan meningkatnya suhu panas, menambah
pengguanaan energi karena menggunakan lift, dan penurunan ketersediaan air bersih.
Lain halnya dampak dari kota kompak menurut Dharma (2005), yaitu dari segi
keuntungan dalam penghematan energi, pengurangan emisi, dan peningkatan taraf
hidup akibat kepadatan tinggi dan daerah peruntukan campuran. Serta dampak
kerugiaan dalam kejenuhan kota, polusi, menurunnya keramahan penduduk, dan
pencegahan bencana.

Tabel 1 Keuntungan dan Kerugian Ide Kota Kompak berdasarkan Atributnya

Atribut Keuntungan Kerugian


Peningkatan ke- Aglomerasi ekonomi, pengurang- Harga lahan dan properti naik,
padatan penduduk an kebutuhan perjalanan dan berkurangnya perumahan
dan lingkungan waktu, preservasi lahan pertanian layak, berkurangnya beberapa
atau lahan terbuka hijau, ameniti kota, biaya operasi dan
penanggulangan degradasi ling- perawatan naik, sedikit
kungan, tata guna lahan yang bermasalah dalam akses ke
hemat energi, performa untuk ruang hijau
kegiatan ekonomi rendah
Pengkonsentrasian Penyedia fasilitas dan Kualitas hidup masa depan
kegiatan infrastruktur kota efisien, masih diperdebatkan,
pendistribusian servis dan barang pembangunan berbiaya tinggi
lebih merata, gaya dan budaya jika strategi pembangunan
hidup semakin variatif, vitalitas kotanya benar-benar baru,
sosial-ekonomi pengurangan kualitas
kesehatan, kondisi lebih
Atribut Keuntungan Kerugian
overcrowded
Intensifikasi Transportasi umum yang lebih Kualitas dan penyesuaian
transportasi umum baik, energi untuk transportasi lingkungan, akan tetap banyak
lebih hemat, pengurangan kemacetan dan tambahan
ketergantung-an pada mobil polusi udara
pribadi, naiknya alternatif akses
dan pilihan perjalanan dalam kota
Pertimbangan Skala kota yang mudah dicapai Cengkraman sentralisasi kota
besaran dan akses bagi semua moda transportasi, akan lebih kuat, rintangan pada
kota pengurangan jarak berpergian, komunikasi dan jaringan
servis dan fasilitas yang lebih
mudah, kontrol pembangunan
secara tepat
Target Interaksi sosial meningkat, Berkurangnya ruang hunian,
kesejahteraan sedangkan pemisahan sosial displasibagi kelas sosial yang
sosial dan ekonomi dapat diturunkan, penurunan lemah, menurunnya faktor
perbedaan kelas sosial, privasi dalam kota
penurunan angka kejahatan,
interaksi sosial yang lebih baik
Roychansyah, 2006

Dalam pemilihan konsep perencanaan kota pasti akan memiliki dampak


keuntungan dan kerugiaan tergantung dari bagaimana merealisasikannya. Maka dalam
Dharma (2005) skenario kebijakan yang biasa dipakai untuk mencapai sebuah kota
kompak, yaitu;

a) Meningkatkan biaya transportasi pribadi


b) Mengembangkan hunian berkepadatan tinggi dan pembauran sosial
c) Menggabungkan fungsi-fungsi komersial
d) Mengembangkan tata guna lahan campuran antara hunian dan komersial
e) Pemisahan yang tegas antara hunian dan pertanian

STUDI KASUS

Pembentukan kota kompak memiliki lima atribut utama yang harus dipenuhi, yaitu;
kepadatan tinggi, guna lahan campuran, berskala manusia, ketersediaan transportasi publik
dan kesejahteraan sosial yang tinggi. Kampung kota yang berada di Kotagede, Yogyakarta
merupakan salah satu contoh konsep penerapan perencanaan kota kompak. Dimana pada
studi kasus Kampung di Kotagede ini menerapkan lima atribut utama yang harus dipenuhi
dalam menerapkan konsep kota kompak ini.
a) Atribut pertama kepadatan sebagai langkah dalam efisiensi penggunaan lahan
perkotaan yang semakin menipis. Kampung di Kotagede memiliki kepadatan bangunan
yang menunjukkan angka KDB wilayah sebesar 80%-90%. Jalan yang sempit dengan
hanya sebesar 2-3 meter yang berbatasan langsung terhadap dinding bangunan
menunjukkan terjadinya kepadatan tinggi, dapat mendukung masyarakat untuk berjalan
kaki atau bersepeda daripada menggunakan kendaraan bermotor.
b) Atribut kedua guna lahan campuran, dimana sejak awal adanya Kampung Kotagede
fungsi perdagangan dan jasa dari skala kecil yaitu industry rumah tangga perak menjadi
ciri khas di Kampung Kotagede. Guna lahan campuran pada Kampung Kotagede yaitu
secara horizontal antar bangunan, horizontal satu bangunan, dan vertikal.
c) Atribut ketiga skala manusia. Skala manusia adalah setiap kondisi fisik seperti bentuk,
ukuran, jangkauan yang ada di Kampung didasarkan pada ukuran manusia. Pada
Kampung Kotagede hal yang menunjukan pembentukan kampung menggunakan skala
manusia antara lain jalan sempit, bangunan kecil dan detail bangunan yang atraktif.
Sehingga penduduk lebih banyak berjalan kaki atau bersepeda bahkan pada
masyarakat yang menggunaan kendaraan bermotor menyesuaikan diri dengan
menuntun kendaraannya keluar daerah permukiman baru kemudian digunakan, dengan
demikian dapat menguntungkan bagi penyandang cacat dan anak-anak karena mereka
dapat berkegiatan diluar rumah tanpa harus takut bahaya kendaraan bermotor.
d) Atribut keempat transportasi publik, khususnya di Kotagede yang bersifat informal dan
tradisional seperti becak dan andong biasanya menghubungkan tempat tinggal
(perkampungan) dengan pusat perdagangan (pasar), pendidikan (sekolah), dan
kesehatan (puskesmas). Berbagai macam transportasi public, merupakan ciri khas yang
membentuk kampung kota sebagai model kota kompak.
e) Atribut terakhir kesejahteraan sosial. Kondisi perekonomian masyarakat yang hidup di
kampung tidak sebaik masyarakat yang tinggal di perumahan elit. Mata pencaharian
masyarakat di kampung pun didominasi oleh perajin perak berskala lokal dan pedagang
kecil yang dapat digolongkan dalam keluarga prasejahtera hingga keluarga sejahtera
satu. Namun, hal tersebut membuat masyarakat memiliki hubungan dan interaksi sosial
yang baik dan kompak dengan masyarakat di sekitarnya.

CRITICAL REVIEW

Lima atribut yang terkandung dalam strategi kota kompak telah teridentifikasi dalam
studi kasus kampung kota di Kotagede, seperti kepadatan tinggi, guna lahan campuran,
berskala manusia, ketersediaan transportasi publik, dan kesejahteraan sosial, walaupun
diartikan melalui praktik-praktik yang berbeda karena dipengaruhi oleh budaya lokal
setempat. Akan tetapi, semangat peningkatan kualitas hidup kota dalam kota kompak (city
compact) dapat dilihat dalam kampung kota sebagai salah satu bagian dari permukiman
kota yang sering dipandang sebelah mata.

Setiap konsep perencanaan kota khususnya konsep kota kompak, akan menghadapi
tantangan dalam penerapannya pada negara berkembang. Karena bentuk kota kompak
belum tentu akan sesuai dengan karakteristik kota di negara berkembang yang situasi
perkotaannya berbeda dengan negara maju. Selain itu, tantangan dalam menerapkan
konsep kota kompak di negara berkembang karena banyaknya permasalahan perkotaan,
sebagai berikut;

a) Kurangnya infrastruktur sosial yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang


melebihi pertumbuhan ekonomi
b) Meningkatnya hunian liar
c) Spekulasi tanah
d) Lemahnya sistem publik
e) Kurangnya kapasitas perencanaan kota

PENUTUP

Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk perkotaan, maka tiap negara maju
maupun berkembang di dunia akan menghadapi sejumlah tantangan, model konsep kota
kompak dapat dijadikan sebagai pilihan sebagai konsep perencanaan perkotaan. Namun,
untuk mencoba menerapkan model kompak ini masih memerlukan waktu yang cukup
panjang dan perlu kehati-hatian untuk mendiskusikan implikasi dari hasilnya. Oleh karena
itu, penerapan kebijakan kota kompak ini tidak dapat dipisahkan dari karekter masing-
masing kota, khususnya jika akan diterapkan di negara berkembang yang masih memiliki
banyak permasalahan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

Burton, E. (2000). The Compact City: Just or Just Compact? A Preliminary Analysis. Urban
Studies, Vol. 37, No. 11, 1969 2001, 2000, 1970-2006.
Dharma, A. (2005). Sustainable Compact City; sebagai Alternatif Kota Hemat Energi. Depok:
Universitas Gunadarma.
Haughton, G. (1997). Developing Sustainable Urban Development Models. Cities, Vol. 14,
No. 4, , pp. 189-195.
Jenks, M., Burton, E., & Williams, K.. (1996). The Compact City : A Sustainable Urban Form.
London: E & FN Spon.
Roychansyah, M. (2006, Juni 5). Papers. Retrieved Februari 26, 2017, from M. Sani
Roychansyah: http://saniroy.archiplan.ugm.ac.id/?p=53
Novitasari, M. R., Irawati, N. A., & Izzati, D. N. (2013). Kampung Kota sebagai Bentuk
Spasial dari Model Kota Kompak (Compact City), Studi Kasus; Kotagede, Yogyakarta.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai