Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer e-ISSN: 2548-964X

Vol. 5, No. 11, November 2021, hlm. 5030-5039 http://j-ptiik.ub.ac.id

Perbandingan Kinerja Routing Multi-Copy dengan Manajemen Buffer Last


In First Out pada Delay Tolerant Network
Benedict Abednego Hasibuan1, Nurul Hidayat2

Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Email: 1hasibuanbenedict@gmail.com, 2ntayadih@ub.ac.id

Abstrak
Di beberapa daerah koneksi internet tidak cukup memadai karena adanya delay yang besar dan tingginya
tingkat loss pada jaringan. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menerapkan konsep Delay
Tolerant Network (DTN). DTN memiliki keunggulan dalam mengatasi jaringan dengan konektivitas
rendah, delay yang besar, serta tingkat loss yang tinggi. Pada jaringan DTN terdapat routing Multi-Copy
yang dapat meningkatkan kecepatan transmisi data dan mengurangi delay, tetapi model routing ini
memerlukan lebih banyak sumber daya jaringan seperti ukuran buffer. Dalam mengoptimalkan ruang
buffer dapat diatasi dengan penambahan manajemen buffer dan Packet Priority, sedangkan Stationary
Relay Node dapat digunakan untuk menambah kemungkinan pesan berhasil terkirim. Penelitian
menerapkan protokol routing Multi-Copy dengan menambahkan manajemen buffer Last In First Out,
Stationary Relay Node dan Packet Priority mensimulasikannya dengan ONE simulator. Pengujian
dilakukan pada routing Spray and Wait, Epidemic dan MaxProp menggunakan tiga parameter uji yaitu
Overhead Ratio, Delivery Probability dan Latency Average. Hasil pengujian menunjukkan kinerja
routing Spray and Wait lebih optimal dibandingkan dengan kinerja protokol routing lainnya dengan
nilai Overhead Ratio sebesar 5,1298 dengan penambahan Stationary Relay dan Delivery Probability
sebesar 94,93% pada buffer 5MB dengan Stationary Relay. Sedangkan untuk nilai Latency Average
terendah ada pada routing MaxProp sebesar 993,8513detik tanpa penambahan Stationary Relay Node.
Kata kunci: delay tolerant network, last in first out, routing multi-copy, stationary relay node, packet priority,
manajemen buffer
Abstract
Some areas do not have adequate internet connectivity due to large delays and high loss rates on the
network. These problems can be solved by applying the concept of Delay Tolerant Network (DTN). DTN
has advantages in overcoming networks with low connectivity, large delays and high loss rates. In DTN
network there is Multi-Copy routing which can increase data transmission speed and reduce delay, but
this routing model requires more network resources such as buffer size. Optimizing the buffer space can
be overcome by adding buffer management and Packet Priority, while the Stationary Relay Node can
be used to increase the possibility of sending messages successfully. The research applies the Multi-
Copy routing protocol by adding buffer management Last In First Out, Stationary Relay Node and
Packet Priority simulating it with ONE simulator. Tests were carried out on Spray and Wait, Epidemic
and MaxProp routing using three test parameters, namely Overhead Ratio, Delivery Probability and
Latency Average. The test results show that the Spray and Wait routing performance is more optimal
than other routing protocols with an Overhead Ratio value of 5.1298 with the Stationary Relay and
Delivery Probability of 94.93% in a 5MB buffer with Stationary Relay. Meanwhile, the lowest Latency
Average value is in MaxProp routing of 993.8513 seconds without the addition of a Stationary Relay
Node.
Keywords: delay tolerant network, last in first out, routing multi-copy, stationary relay node, packet priority,
buffer management

DTN telah digunakan untuk mengatasi


1. PENDAHULUAN masalah di lingkungan dengan tingkat latency
tinggi dengan koneksi ujung ke ujung tidak

Fakultas Ilmu Komputer


Universitas Brawijaya 5030
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5031

selalu tersedia dikarenakan terdapat delay yang telah ditentukan.


besar pada jaringan dan banyak data yang
terbuang (loss) tanpa sampai ke tujuan 2. LANDASAN KEPUSTAKAAN
(Kushwaha dan Gupta, 2019).
Diperlukan sebuah routing untuk 2.1 Delay Tolerant Network (DTN)
mengirimkan koneksi secara end-to-end untuk Delay Tolerant Network (DTN) adalah
memaksimalkan waktu kedatangan pesan dan konsep jaringan bersifat end-to-end yang mampu
mengurangi pemakaian sumber daya jaringan. bekerja di lingkungan yang memiliki
DTN menggunakan dua skema routing yaitu keterbatasan infrastruktur dengan konektivitas
Single-Copy routing dan Multi-Copy routing. yang terbatas dan sumber daya jaringan yang
Routing Single-Copy memungkinkan satu terbatas. Dalam mengatasi keterbatasan sumber
salinan untuk disebarkan ke setiap node, daya jaringan, pesan pada jaringan DTN
sementara routing Multi-Copy menyebarkan disimpan terlebih dahulu pada buffer node
pesan ke semua node di jalur yang ada. Di antara sebelum nantinya diteruskan ke node selanjutnya
dua protokol perutean DTN, protokol routing (Rashid dkk., 2014).
Multi-Copy lebih unggul dalam meminimalisasi Berdasarkan arsitekturnya, DTN
delay sehingga meningkatkan proporsi pesan menggunakan storage untuk menyimpan paket
yang dikirim di jaringan (Muis dkk., 2013). sebuah node sebelum ditransimisikan ke node
Namun, skema routing ini memiliki keterbatasan lain. Metode ini dinamakan store and forward.
pada kapasitas energi dan buffer. Dilihat pada Gambar 1, terdapat protokol utama
Keterbatasan buffer dapat menurunkan yang terdapat pada arsitektur DTN, yaitu lapisan
kinerja dari protokol routing sehingga bundle. Lapisan bundle memiliki kegunaan
meningkatkan delay transmisi yang akan untuk menyimpan atau meneruskan bundle
mengakibatkan penurunan kecepatan transmisi diantara node pada jaringan. Karena sifat
data. Oleh karena itu, dalam mengoptimalkan jaringan DTN yang bekerja melewati jaringan
kinerja protokol routing memerlukan strategi regional, maka adanya penambahan lapisan ini
manajemen buffer yang optimal. Last In First sangat dibutuhkan (Siswanti, 2013). Gambar 1
Out (LIFO) merupakan manajemen buffer yang menunjukkan arsitektur DTN dan
memiliki karakteristik pesan yang datang perbandingannya dengan arsitektur internet
terakhir akan menjadi pesan yang pertama secara umum.
keluar. Ketika muncul pesan baru, LIFO
memeriksa ketersediaan ruang buffer jika ruang
buffer tersedia maka pesan akan dimasukkan ke
dalam daftar pesan. Jika pada buffer node tidak
tersedia ruang yang cukup atau kapasitas buffer
penuh maka pesan terakhir yang masuk pada
buffer harus dibuang.
Dalam penelitian ini, dilakukan
implementasi manajemen buffer LIFO dengan
menambahkan Packet Priority dan Stationary
Relay Node. Pada packet priority setiap paket
data diseleksi berdasarkan kriteria prioritas
pesan. Sedangkan stationary relay node Gambar 1. Arsitektur DTN
bertindak sebagai media transmisi di suatu area Sumber: (Siswanti, 2013)
yang perannya untuk menyimpan paket
sementara atau meneruskan pesan ke node lain, 2.2 Manajemen buffer LIFO
sehingga meningkatkan kemungkinan sebuah Metode dalam mengelola ruang buffer serta
node bertemu dengan node lain. Diharapkan dari mengatur pengolahan data pada buffer disebut
penelitian ini diperoleh pengetahuan tentang manajemen buffer. Salah satu metode sederhana
mekanisme DTN dan kinerja dari masing- dalam pengelolaan buffer adalah algoritma Last
masing protokol routing Multi-Copy dengan In First Out (LIFO).
tambahan Stationary Relay Node dan Cara kerja manajemen buffer LIFO merujuk
manajemen buffer LIFO, dengan tujuan pada waktu tiba pesan ke dalam node. Pesan
mengetahui protokol routing paling optimal pertama akan diproses kemudian masuk ke
untuk diterapkan berdasarkan parameter yang dalam buffer kemudian pesan terakhir masuk

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5032

akan langsung dikirimkan ke node selanjutnya. 2.3.2 Routing MaxProp


Ezife (2017) dalam jurnalnya menyimpulkan
Routing MaxProp merupakan jenis
bahwa manajemen buffer LIFO termasuk ke
protokol floading-based. Fungsi utamanya
dalam kategori statis dan nonprotokol, dalam
menemukan probabilitas pertemuan node
artian cara kerja pengiriman pesan yang bersifat
kemudian apabila node bertemu akan segera
statis dan dapat diterapkan pada semua jenis
melakukan mekanisme pengiriman paket. Paket
protokol DTN.
data dalam routing Maxprop diklasifikasikan
berdasarkan prediksi dari probabilitas node
2.3 Routing Multi-Copy pada jaringan DTN
bertemu. Mekanisme kerja routing MaxProp
Secara garis besar, protokol routing Multi- ditunjukkan pada Gambar 3.
Copy membuat salinan pesan dari tiap node
kemudian mengirimkannya ke setiap node pada
jaringan. Cara kerja routing ini meningkatkan
efektivitas pengiriman pesan ke setiap node yang
ada tetapi membutuhkan lebih banyak sumber
daya tambahan pada jaringan, seperti energy,
buffer, dan bandwidth.
Gambar 3. Strategi routing MaxProp
2.3.1 Routing Epidemic Sumber: (Burgess dkk., 2006)

Epidemic merupakan Flooding-Based Cara kerja routing MaxProp dimulai dari


Forwarding Routing, dengan artian cara kerja mengurutkan paket data yang akan dikirimkan
routing ini dengan meneruskan pesan broadcast atau dihapus setelah transmisi. Mekanisme
ke node sekitarnya. Tujuan utama penyebaran routing Maxprop dibagi menjadi dua inti
secara broadcast adalah agar pesan selalu penting, yaitu cost dan acknowledgement. Cost
tersedia pada setiap node hingga mencapai node adalah perkiraan jumlah pesan yang dikirim dari
target. Cara kerja ini mengakibatkan node. Acknowledgement adalah pemberitahuan
peningkatan terhadap pengiriman pesan tetapi yang dikirim ke semua node untuk menunjukkan
nilai latency tetap rendah. Routing Epidemic bahwa pesan telah dikirim. Paket terbaru
bekerja seperti pada Gambar 2. menjadi prioritas utama yang akan dikirimkan
untuk meminimalkan pengiriman paket secara
berulang (Burgess dkk., 2006).

2.3.3 Routing Spray and Wait


Spray and Wait merupakan forwarding
routing based yang menjadikan skema
meneruskan pesan secara replikasi sebagai
metode transmisi data. Pada protokol ini sumber
daya jaringan yang rendah dapat dimanfaatkan
Gambar 2. Penyebaran pesan pada routing Epidemic dengan cara menetapkan batas pada jumlah
Sumber: (Mehta dan Shah, 2014) salinan pesan yang ada di jaringan. Penentuan
batas salinan dilakukan berdasarkan jumlah node
Penyebaran pesan pada Routing Epidemic pada jaringan.. Ada dua fase dalam skema
mirip dengan penularan penyakit. Ketika routing ini, yaitu Spray dan Wait yang
koneksi terjadi antara dua node yang berdekatan, ditunjukkan pada Gambar 4.
masing-masing node saling memeriksa pesan
yang tidak mereka miliki, dan kemudian
mengirimkan pesan tersebut untuk mengurangi
situasi dimana ditemukannya beberapa salinan
identik pada node. Nilai Time To Live juga diatur
pada setiap penyebaran paket, penyalinan paket
akan terus dilakukan dan ditransmisikan hingga
TTL pada paket tersebut habis (Mehta & Shah,
2014). Gambar 4. Fase Spray dan Fase Wait

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5033

Sumber : (Arbi dkk., 2015) pesan yang memiliki jumlah hop yang lebih
tinggi, atau dalam kata lain jumlah node yang
Bagian (a) pada Gambar 4 adalah fase dilewati oleh pesan sebelum tiba pada node saat
Spray, penyebaran pesan dimulai dari node ini.
sumber, setiap nilai “L” salinan disalurkan ke
nilai “L” relay berbeda dari node pertama 2.3.6 Parameter Kinerja
terdekat. Pada fase pertama jika pesan tidak
menemukan tujuan, maka pesan akan diteruskan Parameter kinerja adalah karakteristik, alat
kembali ke tetangga terdekat hingga mencapai ataupun kebutuhan yang digunakan sebagai
tujuan dan masuk ke fase wait. Bagian (b) pada pengukur hasil pengujian. Ada 3 parameter
gambar 4 adalah fase wait, setiap node dengan kinerja yang digunakan yaitu Delivery
nilai “L” salinan pesan akan langsung Probability, Overhead Ratio dan Latency
dikirimkan ke node tujuan. Nilai L sebagai Average.
parameter tergantung kepadatan lalu lintas pada 1) Delivery Probability: tingkat keberhasilan
jaringan dan ditentukan sesuai rata-rata waktu pesan yang diukur berdasarkan rasio
yang sudah ditetapkan. perbandingan jumlah total pesan yang
dikirimkan dengan jumlah pesan yang
2.3.4 Stationary Relay Node sampai pada tujuan.
2) Overhead Ratio: Rasio antara banyaknya
Stationary Relay Node merupakan node pesan yang dibuat berbanding dengan
relay tetap (tidak bergerak) yang memiliki jumlah keseluruhan salinan pesan.
fungsi forward dan store. Setiap node bergerak 3) Latency Average: Waktu rata-rata yang
yang melewati jalur jaringan stationary dibutuhkan oleh pesan untuk sampai pada
diberikan hak untuk menyimpan, mengambil tujuan.
data, atau meneruskan pesan ke node yang
menjadi tujuan selanjutnya. Stationary Relay 3. METODOLOGI
Node berfungsi sebagai terminal data node,
sehingga penempatannya harus dilakukan Penelitian diawali dengan studi literatur
dengan benar untuk meningkatkan probabilitas yang menjadi dasar dan gagasan penelitian.
frekuensi pertukaran data antar node dan Kemudian dilanjutkan dengan analisis
peningkatan transmisi paket (Spyropoulos dkk., kebutuhan, yaitu perangkat keras dan perangkat
2005). lunak untuk mendukung jalannya simulasi.
Setelah analisis kebutuhan selesai dilakukan
2.3.5 Packet Priority maka dilanjutkan ke tahap perancangan dan
implementasi yang menerapkan manajemen
Packet Priority adalah aturan seleksi buffer dan packet priority pada simulator.
terhadap prioritas pesan, apakah pesan disimpan Selanjutnya akan dilakukan simulasi pada tiap
sementara atau akan dibuang guna protokol routing Multi-Copy di The One
memaksimalkan kinerja manajemen buffer. Tiap Simulator. Hasil simulasi kemudian dianalisis
pesan yang masuk ke node diprioritaskan dengan membandingkan data yang diperoleh
berdasarkan jumlah hop dan nilai time-to-live dari tiap protokol routing berdasarkan parameter
(Sobin, 2016). Pada Gambar 5 ditunjukkan kinerja yang telah ditetapkan. Kemudian
aturan Packet Priority. melakukan pengambilan kesimpulan dan saran
sebagai tahapan akhir penelitian ini.

4. SIMULASI
Gambar 5. Aturan Packet Priority Simulasi dilakukan dengan
Sumber : (Sobin, 2016) mengkonfigurasi The One Simulator dari tahap
menentukan jalur peta, menetapkan parameter
Pesan yang diklasifikasikan sebagai simulasi, dan menentukan skenario simulasi.
prioritas tinggi memiliki nilai TTL cukup besar Simulasi dilakukan untuk menguji kinerja dari
dengan jumlah hop rendah akan dimasukkan ke protokol routing Multi-Copy yang dilakukan
dalam antrian buffer. Pada saat yang sama, pesan dengan penambahan manajemen buffer, Packet
yang diklasifikasikan sebagai prioritas rendah Priority dan Stationary Relay Node.
dengan nilai hop tinggi dan TTL rendah akan
dibuang terlebih dahulu. Hal ini disebabkan oleh 4.1 Parameter Simulasi

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5034

Parameter simulasi yang digunakan pada Latency Average dilakukan dengan dua
saat pengujian di simulator ditampilkan pada skenario, skenario 1 tanpa penambahan
Tabel 1. stationary relay dan skenario 2 dengan
Tabel 1. Parameter Simulasi stationary relay. Hasil pengujian berupa data-
data kemudian ditampilkan menggunakan grafik
Parameter Nilai
untuk nantinya dilakukan analisis terhadap
Waktu simulasi 12 jam kinerja masing-masing protokol routing Multi-
Panjang Rute 13km Copy.
Jumlah Node 78 node
5.1 Delivery Probability
Stationary Relay Node 6 buah
Delivery Probability merupakan
Time to Live 300 menit probabilitas keberhasilan paket yang sampai
Kecepatan node bergerak 15km-25km/jam pada tujuan berbanding dengan jumlah paket
yang dikirimkan secara keseluruhan. Berikut ini
Lokasi Jalur Pusuk Buhit
adalah hasil delivery probability pada tiap
Ukuran buffer 5MB,7MB,10MB dan protokol routing dengan skenario 1 (tanpa
15MB stationary relay node) dan skenario 2 (dengan
Ukuran pesan 500KB-1MB stationary relay node) yang ditampilkan pada
Routing Epidemic, MaxProp, Gambar 6 dan Gambar 7.
dan Spray and Wait
Network Interface Bluetooth Interface
Jarak 25 meter
Movement Model ShortestPathMap
Based Movement,
StationaryMovement
Kecepatan pengiriman 250kbps
data

Gambar 6. Grafik Delivery Probability Skenario 1


4.2 Skenario Simulasi
Skenario simulasi penelitian dibuat
berdasarkan jalur pengiriman data dengan rute
Pusuk Buhit–Hadabuan dan dijalankan di
simulator The One. Banyaknya node yang
disimulasikan menyesuaikan kondisi jalur peta
sepanjang 13km. Sepanjang jalur peta berisi
node yang terdiri dari 2 node statis, 6 stationary
relay node, dan 70 node bergerak. Parameter uji
pada Tabel 1 diterapkan pada simulasi untuk
kemudian diuji. Terdapat dua skenario simulasi Gambar 7. Grafik Delivery Probability Skenario 2
yang diuji, yaitu skenario dengan penambahan
stationary relay node dan tanpa penambahan Dari kedua hasil pengujian yang disajikan
stationary relay node dengan ukuran masing- dalam grafik pada Gambar 6 dan Gambar 7
masing buffer sebesar 5MB, 7MB, 10MB, dan kemudian dilakukan analisis terhadap kinerja
15MB. Hasil pengujian kinerja pada protokol protokol routing.
routing dipengaruhi oleh peningkatan nilai
5.1.1 Routing Epidemic
ukuran buffer (Sobin, 2016).
Dari Gambar 6 dan Gambar 7 dapat dilihat
5. HASIL DAN ANALISIS bahwa setiap kali ukuran buffer ditingkatkan,
Setelah skenario simulasi diterapkan nilai delivery probability pada routing Epidemic
kemudian diuji dengan tiga parameter uji, akan meningkat. Ukuran buffer yang semakin
Overhead Ratio, Delivery Probability dan besar mengakibatkan pesan yang ditampung
pada node semakin banyak, sehingga pesan lebih

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5035

banyak tersebar pada jaringan. Selain itu, dari protokol routing Maxprop dan Epidemic,
peningkatan juga disebabkan oleh cara kerja dari meskipun ukuran buffer pada ketiga protokol
routing epidemic. Pesan terus didistribusikan ke routing sama besar. Nilai yang didapatkan
node yang ditemui di seluruh jaringan, sehingga routing ini berbeda karena ada dua tahap dalam
tiap salinan pesan dimiliki oleh setiap node. proses penyebaran paket data pada routing Spray
Selain itu, peningkatan nilai delivery juga karena and Wait. Tahap pertama merupakan tahap
adanya manajemen buffer yang membuang penyebaran paket data ke semua node dalam
pesan berdasarkan urutan masuknya pesan, dan jaringan atau disebut sebagai tahap spray. Jika
pesan lainnya di ruang buffer diurutkan sesuai dalam penyebarannya belum juga menemukan
prioritas berdasarkan jumlah hop dan TTL yang node tujuan,maka akan memasuki tahap wait.
akan mengurangi jumlah pesan yang menumpuk Setiap node pada fase wait akan terus berjalan
pada buffer. Dengan adanya stationary node sampai adanya pertukaran informasi yang telah
maka kemungkinan pesan untuk sampai pada dikonfirmasi oleh node lain, kemudian
tujuan semakin tinggi. Dapat dilihat pada memasuki tahap spray kembali. Faktor pembeda
Gambar 6 dan Gambar 7 untuk nilai delivery lain adalah dengan adanya manajemen buffer
probability tertinggi diperoleh oleh skenario 2 LIFO yang telah ditambahkan aturan packet
sebesar 73,79% dengan buffer sebesar 15MB. priority. Pesan yang tiba di node kemudian
diurutkan sesuai dengan prioritas untuk
5.1.2 Routing MaxProp meminimalkan kemungkinan penumpukan
Gambar 6 dan Gambar 7 menampilkan paket data dalam ruang buffer. Penempatan
bahwa bahwa setiap kali ukuran buffer stationary relay akan meningkatkan
ditingkatkan, nilai delivery probability pada kemungkinan pesan diteruskan. Berdasarkan
routing MaxProp akan meningkat. Ukuran Gambar 6 dan Gambar 7 untuk nilai delivery
buffer yang mengalami peningkatan probability tertinggi diperoleh oleh skenario 2
mengakibatkan pesan yang ditampung pada sebesar 94,93% dengan buffer sebesar 15MB.
node semakin banyak, sehingga pesan lebih
5.2 Overhead Ratio
banyak tersebar pada jaringan. Banyaknya pesan
yang tiba di node tujuan juga akibat dari Penggunaan parameter uji overhead ratio
penambahan manajemen buffer LIFO dan aturan bertujuan untuk melihat banyaknya salinan paket
packet priority yang menetapkan bahwa pesan redundant selama proses pengiriman paket pada
yang terakhir masuk akan dibuang ketika buffer saat simulasi. Berikut ini adalah hasil overhead
pada sebuah node penuh, kemudian pesan yang ratio pada tiap protokol routing dengan skenario
masih berada di buffer node akan diurutkan 1 (tanpa stationary relay node) dan skenario 2
berdasarkan prioritas. Dari gambar tersebut, nilai (dengan stationary relay node) yang ditampilkan
delivery routing MaxProp lebih tinggi pada Gambar 8 dan Gambar 9.
dibandingkan dengan routing Epidemic.
Perbedaan ini dikarenakan protokol ini lebih
memprioritaskan pesan yang belum ada pada
buffer sehingga mencegah kemungkinan paket
data yang berlebihan. Dalam meningkatkan
keberhasilan pesan mencapai tujuan, maka
dilakukan penambahan Stationary Relay Node.
Stationary relay memiliki sifat store and
forward yang dapat membuat pesan disimpan
kemudian diteruskan saat node bergerak
terhubung dengan stationary. Hal ini terlihat
pada Gambar 6 dan Gambar 7 untuk nilai Gambar 8. Grafik Overhead Ratio Skenario 1
delivery probability tertinggi diperoleh oleh
skenario 2 sebesar 86,45% dengan buffer sebesar
15MB.

5.1.3 Routing Spray and Wait


Dilihat dari grafik pada Gambar 6 dan 7,
nilai delivery routing Spray and Wait lebih tinggi

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5036

yang rendah juga merupakan hasil dari


ditambahkannya manajemen buffer LIFO dan
packet priority, yang bekerja berdasarkan
prioritas pesan kemudian mengurutkannya ke
dalam buffer. Bila dibandingkan dengan nilai
overhead ratio pada routing Epidemic, nilai
overhead routing MaxProp lebih rendah.
Routing MaxProp lebih memprioritaskan
pengiriman pesan baru sehingga paket yang
Gambar 9. Grafik Overhead Ratio Skenario 2
bertumpuk pada buffer dapat diminimalkan.
Dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9
Dari kedua hasil pengujian yang disajikan untuk nilai overhead ratio terendah diperoleh
dalam grafik pada Gambar 8 dan Gambar 9 oleh skenario 1 sebesar 60,4855 dengan buffer
kemudian dilakukan analisis terhadap kinerja sebesar 15MB sedangkan pada skenario 2
protokol routing. didapatkan nilai sebesar 67,4226 untuk ukuran
buffer yang sama.
5.2.1 Routing Epidemic
5.2.3 Routing Spray and Wait
Dari Gambar 8 dan Gambar 9 terlihat
bahwa setiap kali ukuran buffer ditingkatkan, Dilihat dari grafik pada Gambar 8 dan 9,
overhead ratio dalam routing epidemic akan semakin besar ukuran buffer, nilai overhead
menurun. Ukuran buffer yang semakin besar ratio semakin menurun. Dibandingkan dengan
mengakibatkan pesan yang ditampung pada dua protokol routing sebelumnya, Epidemic dan
node semakin banyak, sehingga pesan lebih MaxProp, pada routing Spray And Wait nilai
banyak tersebar pada jaringan. Penurunan nilai overhead ratio merupakan yang terendah,
overhead ratio ini dipengaruhi oleh cara kerja meskipun ukuran buffer yang diuji sama. Nilai
routing Epidemic yang mereplikasi pesan dan yang didapatkan routing ini berbeda karena ada
kemudian mendistribusikannya ke seluruh dua tahap dalam proses penyebaran paket data
jaringan node yang mengakibatkan pada setiap pada routing Spray and Wait. Tahap pertama
buffer node memiliki salinan pesan. merupakan tahap penyebaran paket data ke
Namun, nilai overhead ratio pada routing semua node dalam jaringan atau disebut sebagai
ini lebih tinggi dibandingkan dua routing tahap spray. Jika dalam penyebarannya belum
lainnya. Cara kerja routing ini mengakibatkan juga menemukan node tujuan, maka akan
menumpuknya pesan pada buffer yang memasuki tahap wait. Tahap wait ini yang
mengakibatkan lebih banyak salinan pesan yang menjadi alasan nilai overhead yang rendah,
ada pada setiap buffer node dibandingkan karena jika node tujuan belum ditemukan maka
banyaknya pesan yang sampai pada tujuan. Hal node tidak akan melanjutkan relay.
inilah yang menyebabkan peningkatan nilai Penyebab lain turunnya rasio overhead
overhead ratio. Dilihat dari sifat store dan adalah manajemen buffer LIFO dengan
forward yang dimiliki oleh stationary relay, penambahan aturan packet priority. Setiap kali
penambahan stationary relay akan pesan tiba pada node maka akan diurutkan sesuai
meningkatkan nilai dari overhead ratio. Pada dengan waktu kedatangan pesan, kemudian
skenario stationary relay didapatkan nilai pesan yang masih berada pada buffer diurutkan
sebesar 100,3599 untuk ukuran buffer 15MB berdasarkan prioritas. Apabila buffer penuh
sedangkan pada skenario tanpa stationary maka pesan akan di drop guna mengurangi
memperoleh nilai sebesar 85,9533 dengan buffer kemungkinan terjadinya redundant pada buffer.
yang sama. Sifat stationary relay node sebagai node relay
tidak menjadikan nilai overhead ratio lebih
5.2.2 Routing MaxProp tinggi pada skenario ini. Pada Gambar 8 dan
Gambar 9 dapat dilihat bahwa skenario 2 dengan
Routing MaxProp pada Gambar 8 dan ukuran buffer 15MB mendapatkan nilai
Gambar 9 dapat dilihat ketika ukuran buffer overhead sebesar 5,1298, sedangkan untuk
ditingkatkan, overhead ratio akan mengalami skenario 1 yang tanpa penambahan stationary
penurunan. Penurunan ini karena semakin besar relay mendapatkan nilai overhead sebesar
buffer pada setiap node maka semakin dapat 5,1567 untuk ukuran buffer yang sama.
menampung banyak pesan. Nilai overhead ratio

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5037

5.3 Latency Average di buffer sebelum sampai pada tujuan. Adanya


Stationary Relay Node dapat meningkatkan
Latency average merupakan parameter
latency average, karena jumlah node yang
yang menguji kinerja tiap protokol routing
dilewati lebih banyak sehingga mengakibatkan
berdasarkan waktu pesan sampai ke node tujuan.
pertukaran pesan sering dilakukan.
Semakin cepat waktunya, semakin baik kinerja
protokol routing tersebut. Berikut adalah hasil
5.3.2 Routing MaxProp
latency average pada tiap protokol routing
dengan skenario 1 (tanpa stationary relay node) Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11
dan skenario 2 (dengan stationary relay node) peningkatan nilai latency average sejalan
yang ditampilkan pada Gambar 10 dan Gambar dengan ditingkatkannya ukuran buffer.
11. Meskipun terdapat kenaikan pada nilai latency,
tetapi menjadi routing yang memiliki nilai
terendah untuk parameter latency average bila
dibandingkan dengan dua protokol routing
lainnya, Epidemic dan Spray and Wait. Nilai
terendah sebesar 991.0180s ada pada skenario 1
dengan ukuran buffer 5MB, nilai tertinggi ada
pada skenario 2 sebesar 1663,3752s dengan
ukuran buffer 15MB. Rendahnya nilai latency
average akibat dari cara kerja routing ini yang
memprediksi kemungkinan pertemuan node,
Gambar 10. Grafik Latency Average Skenario 1 selain itu, ditambahkannya packet priority dan
manajemen buffer LIFO menjadikan pesan
dalam buffer diurutkan berdasarkan waktu pesan
dan jumlah hop yang dilewati, sehingga pesan
dapat mencapai node tujuan dengan cepat. Jika
ditinjau kembali, penambahan stationary relay
node mengakibatkan nilai latency tinggi. Dilihat
dari sifat store dan forward yang dimiliki oleh
stationary relay, penambahan stationary relay
akan menyebabkan pesan disimpan terlebih
dahulu sebelum diteruskan menuju node yang
melewati Stationary.
Gambar 11 Grafik Latency Average Skenario 2
5.3.3 Routing Spray and Wait
Dari kedua hasil pengujian yang disajikan Berdasarkan grafik Gambar 10 dan 11,
dalam grafik pada Gambar 10 dan Gambar 11 semakin besar ukuran buffer, nilai latency
kemudian dilakukan analisis terhadap kinerja average semakin meningkat. Dibandingkan
protokol routing. routing Epidemic dan routing MaxProp,
peningkatan nilai latency pada routing ini
5.3.1 Routing Epidemic merupakan yang tertinggi. Dengan penambahan
Setiap kali ukuran buffer ditingkatkan, packet priority pada manajemen buffer LIFO
latency average pada routing epidemic akan dapat meminimalkan latency, karena pesan
meningkat. Dari grafik latency average dalam buffer akan diurutkan berdasarkan waktu
didapatkan nilai terendah sebesar 993.8513s ada pesan dan jumlah hop yang dilewati, sehingga
pada skenario 1 dengan besar buffer 5MB, nilai penumpukan pesan dalam buffer dapat
tertinggi ada pada skenario 2 dengan ukuran diminimalkan. Namun hal ini masih
buffer 15MB sebesar 1919.1457s. Meningkatnya mengakibatkan nilai latency tinggi dikarenakan
nilai delay ini disebabkan oleh prinsip kerja dari mekanisme spray dan wait yang dimiliki oleh
routing Epidemic, yaitu mendistribusikan pesan routing ini. Ketika fase spray pesan disebar ke
yang sudah direplikasi ke seluruh node yang ada seluruh node, pesan yang telah disebar tapi
pada jaringan yang mengakibatkan terjadinya belum menemukan tujuan selanjutnya maka
penumpukan pada buffer. Penumpukan pesan di akan memasuki tahap wait. Tahapan inilah yang
buffer menyebabkan pesan bertahan lebih lama mengakibatkan kenaikan nilai latency, karena

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya


Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5038

sebelum menemukan node tujuan, maka node networks. Proceedings - IEEE


tidak akan melanjutkan relay. Nilai terendah INFOCOM, May 2014.
sebesar 1391,8617s didapatkan pada skenario 1 https://doi.org/10.1109/INFOCOM.2006.
dengan ukuran buffer 5MB, nilai tertinggi 228
sebesar 1919,1457s dengan besar buffer 15MB
Ezife, F., Li, W., & Yang, S. 2017. A Survey of
ada pada skenario 2. Nilai tertinggi didapat pada
Buffer Management Strategies in Delay
skenario 2 karena adanya stationary sebagai
Tolerant Networks. Proceedings-14th
node relay yang meningkatkan kemungkinan
IEEE International Conference on Mobile
bahwa node sedang berada dalam tahap wait.
Ad Hoc and Sensor Systems, MASS 2017,
599–603.
6. PENUTUP
https://doi.org/10.1109/MASS.2017.103
Penelitian ini membandingkan kinerja dari
Kushwaha, V., & Gupta, R. 2019. Delay
tiga protokol routing Multi-Copy, yaitu Spray
Tolerant Networks (Issue April).
and Wait, MaxProp dan Epidemic dengan
https://doi.org/10.4018/978-1-5225-
menggunakan tiga parameter kinerja sebagai alat
8407-0.ch020
uji, yaitu Delivery Probability, Overhead Ratio
dan Latency Average. Selain itu, untuk Mehta, N., & Shah, M. (2014). Kinerjance of
memaksimalkan hasil kinerja masing-masing Efficient Routing Protocol in Delay
protokol routing, dilakukan penambahan Tolerant Network: A Comparative
manajemen buffer Last In First Out dengan Survey. International Journal of Future
aturan Packet Priority. Pengujian dilakukan di Generation Communication and
The One Simulator dengan menerapkan tiap-tiap Networking, 7(1), 151–158.
parameter yang telah dirincikan pada tahap https://doi.org/10.14257/ijfgcn.2014.7.1.
perancangan sesuai skenario yang telah dibuat, 15
dengan penambahan Stationary Relay Node
Muis, A., 2013. Optimization Performance
maupun tanpa penambahan Stationary Relay
Buffer Management in Delay Tollerant
Node.
Network Using Network Routing
Hasil pengujian disajikan dalam grafik yang
Protocols Multicopy. Makassar:
kemudian dianilisis. Dari analisis didapatkan
Universitas Indonesia Timur Makassar.
bahwa nilai delivery probability dan latency
average meningkat seiring bertambahnya Rashid, S., Ayub, Q., & Abdullah, A. H. (2014).
ukuran buffer. Berbanding terbalik dengan Reactive Weight Based Buffer
semakin menurunnya nilai overhead ratio setiap Management Policy for DTN Routing
kali ukuran buffer ditingkatkan. Dari ketiga Protocols. Wireless Personal
protokol routing, dalam nilai delivery Communications, 80(3), 993–1010.
probability dan overhead ratio, kinerja routing https://doi.org/10.1007/s11277-014-
Spray and Wait lebih optimal. Hal ini dapat 2066-7
dilihat dengan tingkat delivery probability Siswanti, S. (2013). Pengembangan Sistem
sebesar 94,93% pada ukuran buffer 15MB dan Aplikasi Pengiriman Data Daerah
overhead ratio terendah sebanyak 5,1298 pada Terpencil Berbasis Delay Tolerant
ukuran buffer 15MB. Sedangkan untuk latency Network. Jurnal Generic, 8(2), 238–253.
average, routing MaxProp mengungguli
protokol routing Epidemic dan Spray and Wait Sobin, C. C. (2016). An Efficient Buffer
dengan nilai latency sebesar 991,0180detik pada Management Policy for DTN. Procedia
buffer berukuran 5MB. Computer Science, 93(September), 309–
314.
7. DAFTAR PUSTAKA https://doi.org/10.1016/j.procs.2016.07.2
15
Anjula Mehto, M. C. (2013). Comparing Delay
Tolerant Network Routing Protocols for Spyropoulos, T., Psounis, K., & Raghavendra,
Optimizing L-Copies in Spray and Wait C. S. (2005). Spray and wait: An efficient
Routing for Minimum Delay. April. routing scheme for intermittently
connected mobile networks. Proceedings
Burgess, J., Gallagher, B., Jensen, D., & Levine,
of the ACM SIGCOMM 2005 Workshop
B. N. (2006). MaxProp: Routing for
on Delay-Tolerant Networking, WDTN
vehicle-based disruption-tolerant
Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer 5039

2005, 252–259.
https://doi.org/10.1145/1080139.1080143

Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai